• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kebijakan Pendidikan Pemerataan pendidikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Kebijakan Pendidikan Pemerataan pendidikan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN

PEMERATAAN PENDIDIKAN DI WILYAH 3T

MANAJEMEN PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Mata kuliah : Analisis Kebijakan Pengampu : Prof. Dr. Etty Soesilowat

Di Susun Oleh : NOVA MEGA PERSADA

(2)

Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT, Sang Pemilik ilmu pengetahuan, dimana apabila seluruh lautan menjadi tinta untuk menuliskan pengetahuan itu maka tak akan pernah cukup. Dialah Sang Pencipta dan Sang Pemberi rizqi yang rahman dan rahiimnya senantiasa melimpahi kita sekalian. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita sekalian, murabbi, guru besar kebenaran dan kehidupan Rasulullah SAW, Karena dengan perjuangan dan jihad dari dakwah beliau sekarang kita bisa merasakan nikmatnya iman dan islam dari agama yang beliau sebarkan. Dan semoga kelak kita menjadi umat yang beliau syafaati di padang tandus yang tidak kita temui syafaat selain dari beliau.

Makalah ini dibuat dengan judul “Analisis Kebijakan Pendidikan : Pemerataan Pendidikan di Wilayah 3T” merupakan tugas dalam mata kuliah Analisis kebijakan yang diampu oleh Prof. Dr. Etty Soesilowati. Diharapkan bisa membuat pembaca mengerti tentang bagaimana melakukan Analisis terhadap kebijakan pendidikan yang di buat oleh pemerintah serta dalam makalah ini pembaca dapat memahami kebijakan mengenai pemerataan pendidikan di wilayah 3T (terluar, terdepan dan tertinggal) kacamata penulis.

Akhir kata, makalah ini masih sangat sederhana dan masih banyak sekali ditemukan kekurangan baik isi, atau penggunaan kata yang kurang tepat didalam penyajiannya dan penulis sangat mengharap kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Walaupun demikian penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat semua pihak yang memiliki kepentingan dalam melakukan analisis kebijakan pendidikan serta pada semua masyarakat yang membacanya.

(3)

DAFTAR ISI

Halaman Judul

Kata Pengantar ... 1

Daftar Isi ... 2

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ... 3

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II Kajian Pustaka A. Kajian Teori Dasar Kebijakan Publik ... 6

B. Pengertian Kebijakan Publik ... 6

BAB III Kajian Praktis A. Analisis Praktis Kebijakan Pendidikan ... 11

BAB IV Pembahasan A. Analisis Kebijakan Pendidikan di Wilayah 3T ... 15

BAB IV Penutup A. Kesimpulan ... 20

B. Saran ... 20

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Pendidikan untuk semua, setiap warga negara berhak mengenyam pendidikan yang sama, berhak memperoleh pendidikan setinggi-tingginya, mendapatkan perlakuan yang sama dan berhak mendapatkan fasilitas yang sama dalam memperoleh pendidikan. Baik itu di wilayah Jawa ataupun diluar jawa, baik di kota maupun di dusun terpelosok yang jauh.

Kondisi geografis, sosial, dan budaya bangsa Indonesia yang sangat heterogin berkonsekuensi langsung terhadap ragamnya kondisi warga Indonesia. Ada yang mudah mengakses pendidikan, sebaliknya sangat banyak yang mengalami mengakses pendidikan disebabkan berbagai kendala yang dihadapinya. Kondisi yang demkianlah yang membuat pemerataan pendidikan sembilan tahun belum dapat dituntaskan, terlebih-lebih dikaitkan dengan pemerataan mutunya.

Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan wilayah yang luas dan secara geografis maupun sosiokultural sangat heterogen, pada beberapa wilayah penyelenggaraan pendidikan masih terdapat berbagai permasalahan, terutama pada daerah yang tergolong terdepan, terluar, dan tertinggal (daerah 3T).

Permasalahan penyelenggaraan pendidikan, utamanya di daerah 3T antara lain adalah permasalahan pendidik, seperti kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched). Permasalahan lain dalam penyelenggaraan pendidikan adalah angka putus sekolah juga masih relatif tinggi, angka partisipasi sekolah masih rendah, sarana prasarana belum memadai, dan infrastruktur untuk kemudahan akses dalam mengikuti pendidikan masing sangat kurang.

(5)

sebagai guru (PNS/GTY), untuk ditugaskan selama satu tahun di daerah 3T. Program SM-3T dimaksudkan untuk membantu mengatasi kekurangan guru, sekaligus mempersiapkan calon guru profesional yang tangguh, mandiri, dan memiliki sikap peduli terhadap, sesama, serta memiliki jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa, agar dapat maju bersama mencapai cita-cita luhur seperti yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dikembangkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah yang dimaksud dengan Kebijakan pendidikan?

2. Apa sajakan kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah? 3. Mengapa perlu dibuat kebijakan pendidikan?

4. Bagaimanakan analisis kebijakan pendidikan di wilayah 3T (terluar, Terdepan dan tertinggal)?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang dilakukan dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui definisi dari kebijakan pendidikan

2. Untuk mengetahui apasaja kebijakan pendidikan yang diambil pemerintah Indonesia 3. Untuk mengetahui alasan harus pemerintah mengeluarka kebijakan pendidikan 4. Untuk menganalisis bagaimana pelaksanaan kebijakan pendidikan di wilayah 3T

(Terluar, terdepan, dan tertinggal)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan mengenai analisis kebijakan pendidikan di wilayah 3T adalah sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis 1) Verifikasi teori

(6)

2) Pengembangan Teori

Diharapkan penyusunan makalah ini dapat memberikan sumbangsih berupa pengembangan teori yang sudah ada menjadi lebih aplikatif dan dapat memberikan gambaran yang lebih luas dalam memahami analisis kebijakan pendidikan di wilayah 3T

b. Manfaat Praktis 1) Perbaikan kinerja

Bagi lembaga pendidikan makalah ini memberikan gambaran analisis kebijakan pendidikan yang dapat digunakan sebagai dasar perbaikan kinerja, dan memberikan manfaat bagi lembaga pendidikan dalam melakukan dan melaksanakan kebijakan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah.

2) Perbaikan strategi

Hasil yang didapat dalam penulisan makalah ini, semoga dapat menjadi rujukan dalam memperbaiki strategi kebijakan pendidikan dan memberikan masukan yang bermanfaat bagi perbaikan strategi, taktik, tehnik dan prosedur kerja agar kebijakan pendidikan dapat lebih efektif dalam mencapai tujuannya.

3) Pengembangan SDM

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori Dasar Kebijakan Publik

Kebijakan adalah kata benda yang berasal dari kata “bijak” dan mempunyai makna pandai, mahir, selalu menggunakan akal budinya. Kebijakan berarti sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam menjalankan suatu pekerjaan. Kebijaksanaan berasal dari kata “bijaksana” yang artinya sering menggunakan akal budinya Kebijaksanaan berarti sebagai kepandaian menggunakan akal budi apabila menghadapi kesulitan (Raba, 2006 :1 dalam Etty, 2016 )

Kebijakan publik merupakan suatu ilmu multidisipliner karena melibatkan banyak disiplin ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, dan psikologi. Studi kebijakan berkembang pada awal 1970-an terutama melalui tulisan Harold D. Laswell. Definisi dari kebijakan publik yang paling awal dikemukakan oleh Harold Laswell dan Abraham Kaplan dalam Howlett dan Ramesh (1995:2) yang mendefinisikan kebijakan publik/public policy sebagai “suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan praktik-praktik tertentu (a projected of goals, values, and practices)”.

B. Pengertian Kebijakan publik

Kebijakan dipakai sebagai istilah yang diterjemahkan dari kata “policy”. Policy sendiri secara etimologis diambil dari bahasa Yunani, Sansekerta dan Latin. Akar kata “policy” dalam bahasa Yunani adalah “polis” berarti negara kota, sedang bahasa Sansekerta “pur” berarti kota. Kata ini berkembang dalam bahasa Latin “politic” yang berarti negara. Dalam bahasa Inggris Pertengahan kata “policie” menunjuk kepada perbuatan yang berhubungan dengan masalah kenegaraan dan administrasi pemerintahan. Asal kata “policy” sama dengan asal kata dua kata latin yaitu “polis” dan “politic”.

(8)

Senada dengan definisi Dye, George C. Edwards III dan Ira Sharkansky dalam Suwitri (2008: 9) juga menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan: Apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang dapat ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan atau dalam policy statement yang berbentuk pidato-pidato dan wacana yang diungkapkan pejabat politik dan pejabat pemerintah yang segera ditindaklanjuti dengan program-program dan tindakan pemerintah.

Kedua definisi baik dari Dye dan Edwards III dan Sharkansky sama-sama menyetujui bahwa kebijakan publik juga termasuk juga dalam hal “keputusan untuk tidak melakukan tindakan apapun”. Suwitri (2008: 11) memberi contoh bahwa keputusan pemerintah untuk menunda pelaksanaan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi sehingga dalam hal ini pemerintah tidak melakukan tindakan apapun untuk menjalankan Undang-Undang tersebut juga termasuk kebijakan publik.

Menurut James A. Anderson dalam Subarsono (2005: 2), kebijakan publik merupakan “kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah”. Senada dengan Laswell dan Kaplan, David Easton dalam Subarsono (2005:2) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat”, karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai di dalamnya.Dari dua definisi ini dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik juga menyentuh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Suwitri (2008: 13) mencontohkan bahwa pergeseran nilai-nilai masyarakat dapat mengakibatkan pergeseran kebijakan publik seperti dicontohkan tatanan masyarakat yang sangat terbuka akan nilai-nilai baru membuat beberapa negara melegalkan perkawinan sesama jenis. Sebaliknya negara juga dapat mengkampanyekan atau bahkan memaksakan suatu nilai kepada masyarakat, seperti dicontohkan program KB yang mula-mula ditentang sebagian kalangan masyarakat pada akhirnya dapat diterima oleh masyarakat setelah pemerintah membuat kebijakan tentang KB, memberi penyuluhan, menyediakan sarana dan prasarana dan merangkul pemuka-pemuka agama untuk mendukung program tersebut.

Berdasarkan definisi-definisi kebijakan publik yang dipaparkan di atas, maka kebijakan publik memiliki konsep-konsep sebagai berikut :

a. Kebijakan publik berisi tujuan, nilai-nilai, dan praktik/pelaksanaannya.

c. Kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta.

(9)

Dari poin-poin di atas maka kita bisa menarik benang merah dari definisi kebijakan publik dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam Peraturan Menteri ini, kebijakan publik adalah “keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak”.

Kebijakan harus dapat membantu merealisasikan kebutuhan manusia, yang antara lain meliputi: (a) kekuasaan (power) yaitu keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, (b) pencerahan dari kebodohan (enlightenment) yaitu pemahaman, pengetahuan informasi, (c) kekayaan (wealth) yaitu penghasilan dan hak milik, (d) kesejahteraan (well-being) yaitu kesehatan, rasa aman, kenyamanan dan keselamatan, (e) keterampilan (skill) yaitu kemahiran dalam melaksanakan tugas, (f) perasaan kasih sayang (affection) yaitu cinta, persahabatan, kesetiaan dan solidaritas, (g) penghargaan (respect) yaitu kehormatan, status, reputasi dan nondiskrimasi, (h) kejujuran (rectitude) yaitu kecocokan dengan standar etik dan keagamaan.

Dalam Peraturan Menteri tersebut, kebijakan publik mempunyai 2 (dua) bentuk yaitu peraturan yang terkodifikasi secara formal dan legal, dan pernyataan pejabat publik di depan publik. Menurut Subarsono (2005:3) kebijakan publik dapat berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah Kota/Kabupaten, dan Keputusan Walikota/Bupati. Berdasarkan Peraturan Menteri ini, pernyataan pejabat publik juga merupakan bagian kebijakan publik. Hal ini dapat dipahami karena pejabat publik adalah salah satu aktor kebijakan yang turut berperan dalam implementasi kebijakan itu sendiri.

C. Pengertian Kebijakan Pendidikan

Pengertian Kebijakan pendidikan adalah proses suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional yang sudah dirumuskan secara strategis oleh lembaga pendidikan yang dijabarkan dari visi dan misi pendidikan dan dioperasikan dalam sebuah lembaga pendidikan sebagi perencanaan umum dalam rangka untuk mengambil keputusan agar tujuan pendidikan yang di inginkan bisa tercapai.

(10)

mendapat input dari kebutuhan masyarakat, selanjutnya kebijakan berdasarkan kenyataan-kenyataan dilapangan. Riset yang telah divalidasi dapat disebar luaskan dalam berbagai eksperimen. Eksperimen pendidikan inilah yang akan membuahkan kebijakan pendidikan yang telah tervalidasi. Demikian seterusnya terjadi siklus yang berkesinambungan antara kebijakan pendidikan, praktik pendidikan, riset dan eksperimen.

Dalam artikel jurnal Manajemen Pendidikan yang ditulis Mada sutapa (2008) berjudul Kebijakan Pendidikan dalam Perspektif Kebijakan Publik ditulis “Secara prinsip, manajemen pendidikan merupakan aplikasi ilmu manajemen ke dalam lingkup pendidikan dan merupakan bagian dari applied sciences terutama pada bidang pendidikan baik di sekolah maupun

luar sekolah. Prinsip-prinsip yang dimiliki oleh manajemen pendidikan tidak berbeda dengan prinsip-prinsip yang ada pada konsep manajemen pada umumnya, demikian pula dengan fungsi-fungsi manajemen pendidikan adalah juga merupakan rangkaian konsep dari rumusan manajemen”. Penerapan manajemen di bidang pendidikan diarahkan pada usaha untuk menunjang kelancaran pencapaian tujuan pendidikan, sedangkan untuk fungsi dan strategi dari konsep manajerial pada prinsipnya sama dengan yang diterapkan dalam lingkup manajemen.

Manajemen pendidikan dapat dikatakan sebagai kegiatan penataan aspek pendidikan, termasuk

dalam sistem penyelenggaraan pendidikan yang tercakup dalam proses pembuatan kebijakan pendidikan, seperti yang dilakukan dalam kegiatan manajemen pendidikan di level nasional (makro) maupun level regional (messo).

(11)

melaksanakannya, utamanya peranan mendasar menyediakan kesempatan belajar. Oleh karena pendidikan merupakan public goods, maka sudah semestinya kajian kebijakan pendidikan masuk dalam perspektif kebijakan publik dalam dimensi kajian manajemen pendidikan yang multidisipliner.

Istilah kebijakan dalam dunia pendidikan sering disebut dengan istilah perencanaan pendidikan (educational planning), rencana induk tentang pendidikan (master plan of education), pengaturan pendidikan (educational regulation), kebijakan tentang pendidikan (policy of education) namun istilah-istilah tersebut itu sebenarnya memiliki perbedaan isi dan cakupan makna dari masing-masing yang ditunjukan oleh istilah tersebut (Arif Rohman, 2009: 107-108).

Pengertian Kebijakan Pendidikan menurut (Riant Nugroho, 2008: 37) sebagai bagian dari kebijakan publik, yaitu kebijakan publik di bidang pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan harus sebangun dengan kebijakan publik dimana konteks kebijakan publik secara umum, yaitu kebijakan pembangunan, maka kebijakan merupakan bagian dari kebijakan publik. Kebijakan pendidikan di pahami sebagai kebijakan di bidang pendidikan, untuk mencapai tujuan pembangunan Negara Bangsa di bidang pendidikan, sebagai salah satu bagian dari tujuan pembangunan Negara Bangsa secara keseluruhan.

(12)

BAB III KAJIAN PRAKTIS

A. Kebijakan Pendidikan & Program Pemerintah

Pendidikan sejatinya tidak dibolehkan mengekang antara pendidik dengan yang terdidik. Pendikan tidak membenarkan penindasan dan pembedaan strata sosial. Singkatnya pendidikan merupakan hak yang dimiliki oleh manusia, sebab dengan pendidikan akan mengantarkannya menjadi resource person dalam menunjukan jalan kemanusiaan. Maka dari itu hak untuk memperoleh pendidikan sebagai hak bangsa, juga dianut dalam konstitusi kita (Undang-Undang Dasar NRI 1945); dalam pembukaannya eksplisit ditegaskan …”membentuk suatu pemerintahan yang… mencerdaskan kehidupan bangsa…” Bahkan keterlibatan negara menanggung perwujudan hak demikian masih ditegaskan lagi dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang terdiri atas 6 (enam) ayat:

1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan;

2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayaianya;

3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang;

4. Negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan belanja negara serta dari pendapatan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional;

5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan ummat manusia.

(13)

bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.” (http://www.negarahukum.com/hukum/4528.html).

1. Meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar bagi semua anak usia pendidikan dasar, dengan target utama daerah dan masyarakat miskin, terpencil, dan terisolasi.

2. Meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan dengan menerapkan standar nasional pendidikan sebagai acuan dan rambu-rambu hukum untuk meningkatkan mutu berbagai aspek pendidikan nasional termasuk mutu pendidik dan tenaga kependidikan, mutu sarana dan prasarana pendidikan, kompetensi lulusan, pembiayaan pendidikan dan penilaian pendidikan,

3. Meningkatkan anggaran pendidikan untuk dapat mencapai 20 persen dari APBN dan APBD sesuai amanat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

4. Mendorong pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pengelolaan pendidikan sampai dengan satuan pendidikan dalam menyelenggaraan pendidikan.

5. Memperkuat manajemen pelayanan pendidikan dalam rangka membangun pelayanan pendidikan yang amanah, efisien, produktif dan akuntabel melalui upaya peningkatan tata kelola yang baik (good governance) kelembagaan pendidikan.

6. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan termasuk meningkatkan peran dan fungsi komite sekolah dan dewan pendidikan dalam

(14)

1. Pemberdayaan Lembaga Pendidikan.

Kebijakan pendidikan nasional pada semua jenjang baik kini maupun ke depan terutama telah diarahkan kepada pemberdayaan lembaga pendidikan, sehingga memiliki otonomi yang tinggi dalam menghadapi setiap persoalan yang dihadapi. Pemberdayaan lembaga pendidikan ini lebih didasarkan pada pemberian trust kepada lembaga untuk mengelola dirinya sendiri secara bertanggung jawab.

2. Desentralisasi Pendidikan

Keragaman yang dimiliki oleh lembaga pendidikan baik dilihat dari jenis dan njenjangnya tidaklah relevan lagi jika semua pengelolaan pendidikan disentralkan, sebagaimana pada era-era sebelumnya. Desentralisasi pendidikan diharapkan dapat mewujudkan setiap program dan pelaksanaannya sesuai dengan kondisi masing-masing, sehingga dapat dijamin efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.

3. Akuntabilitas Pendidikan. Institusi dan sumber daya pendidikan dalam menunjukkan kegiatannya sering kali lepas dari tanggung jawabnya. Untuk dapat lebih dipertanggungjawabkan kepada public, maka setiap institusi seharusnya mampu menunjukkan kinerjanya secara bertanggung jawab sebagaimana amanat yang telah diberikan. Kegiatan pendidikan tidak hanya menghabiskan biaya yang telah disepakati, namun sejauh mana dapat diwujudkan dalam kegiatan yang bermakna. 4. Relevansi Pendidikan

Program pendidikan dan kurikulum telah dilakukan perbaikan secara terus menerus yang diharapkan dapat menyiapkan lulusan memiliki kesiapan dalam menghadapi tantangan pada jamannya. Namun lepas dari itu tetap berbagai kegiatan yang diciptakan perlu dirahkan juga untuk membekali peserta didik dalam menghadapi kebutuhan dalam hidupnya.

5. Pemberdayaan Msasyarakat

Masyarakat merupakan stakeholder utama dalam proses pendidikan. Oleh karena di samping pemerintah memenuhi tanggung jawabnya untuk mendukung terjadinya proses pendidikan, masyarakat perlu diberdayakan untuk berpartisipasi, baik secara finansial maupun substantive, sehingga mereka ikut memiliki tanggung jawab dalam mengawal proses pendidikan yang ada di sekitarnya.

(15)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pendidikan di Indonesia, di antaranya:

1. Mentalitas birokrat sektor pendidikan

Pengelolaan pendidikan tidak akan lebih produktif manakala pimpinan lebih menunjkukkan penampilan birokratis, dibandingkan dengan penampilan profesional. Penampilan birokratis cenderung mengatasi persoalan pendidikan akademik-profesional dan humanistik. Tentui saja untuk beberapa hal masih juga diperlukan pendekatan adminsitratif.

2. Politisasi birokrasi pendidikan.

Dampak negatif otonomi pendidikan memungkinkan terjadinya pembinaan karir tanpa batas, sehingga siapapun dapat mengelola birokrasi pendidikan. Jika birokrasi pendidikan dikelola dengan cara dan pendekatan seperti ini, maka pengembangan pendidikan tidak akan pernah menunjukkan kinerja yang membanggakan dan memuaskan semua stakeholder.

3. Penghargaan terhadap profesi pendidikan

Profesi pendidikan tidak akan pernah menggairahkan, selama pernghargaan yang diberikan masih belum menjanjikan dan memberikan prestisius bagi siapapun yang terlibat dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, baik secara material maupun non-material, perlu terus diupayakan peningkatan penghargaan bagi profesi pendidikan. 4. Mayoritas tenaga kependidikan belum menunjukkan keprofesionalan yang

membanggakan.

Tidaklah dapat dipnungkiri bahwa kebijakan pendidikan belum dapat diwujudkan secara optimal, karena mayoritas tenaga kependidikan masih menunjukkan tingkat kualifikasi dan kompetensi masih berada di bawah kualifikasi dan kompetensi minimal.

5. Kepedulian masyarakat bisnis dan industri yang masih rendah.

(16)
(17)

BAB IV

PEMBAHASAN

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN WILAYAH 3T

A. Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (SN-3T)

Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T, adalah Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. Program ini meliputi (1) Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi dengan Kewenangan Tambahan (PPGT), (2) Program Sarjana Mendidik di daerah 3T (SM-3T), dan (3) Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi Kolaboratif (PPGT Kolaboratif). Program-program tersebut merupakan sebagian jawaban untuk mengatasi berbagai permasalahan pendidikan di daerah 3T.

Program SM-3T sebagai salah satu Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia ditujukan kepada para Sarjana Pendidikan yang belum bertugas sebagai guru (PNS/GTY), untuk ditugaskan selama satu tahun di daerah 3T. Program SM-3T dimaksudkan untuk membantu mengatasi kekurangan guru, sekaligus mempersiapkan calon guru profesional yang tangguh, mandiri, dan memiliki sikap peduli terhadap sesama, serta memiliki jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa, agar dapat maju bersama mencapai cita-cita luhur seperti yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa Indonesia.

1. Pengertian

Program SM-3T adalah program pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi dalam percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T selama satu tahun sebagai penyiapan pendidik profesional yang akan dilanjutkan dengan Program Pendidikan Profesi Guru.

2. Tujuan

a. Membantu daerah 3T dalam mengatasi permasalahan pendidikan terutama kekurangan tenaga pendidik.

(18)

c. Menyiapkan calon pendidik yang memiliki jiwa keterpanggilan untuk mengabdikan dirinya sebagai pendidik profesional pada daerah 3T.

d. Mempersiapkan calon pendidik profesional sebelum mengikuti Program Pendidikan Profesi Guru (PPG).

3. Ruang lingkup SM-3T

1) Melaksanakan tugas pembelajaran pada satuan pendidikan sesuai dengan bidang keahlian dan tuntutan kondisi setempat.

2) Mendorong kegiatan inovasi pembelajaran di sekolah. 3) Melakukan kegiatan ekstrakurikuler.

4) Membantu tugas-tugas yang terkait dengan manajemen pendidikan di sekolah. 5) Melakukan tugas sosial dan pemberdayaan masyarakat untuk mendukung program

pembangunan pendidikan dan kebudayaan di daerah 3T. 4. Landasan Yuridis

1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

3) PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 4) PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.

5) Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.

6) Permendiknas Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.

7) Permendiknas Nomor 8 Tahun 2009 tentang Program Pendidikan Profesi Guru Prajabatan.

8) Permendiknas Nomor 9 Tahun 2010 tentang Program Pendidikan Profesi Guru bagi Guru Dalam Jabatan.

9) Kepmendiknas Nomor 126/P/2010 tentang Penetapan LPTK Penyelenggara PPG bagi Guru Dalam Jabatan

(19)

B. Analisis Kebijakan Pendidikan di wilayah 3T 1. Kesenjangan pendidikan

Di daerah-daerah 3T (terdepan, terluar dan tertingal), kesenjangan pendidikan sangat kentara dirasakan oleh masyarakat Indonesia, terlebih lagi di daerah-daerah perbatasan dengan Malaysia. Kabupaten Kapuas Hulu misalnya hanya terdapat satu SMA dari tiga kabupaten yang ada, kesempatan sertifikasi hanya dijatah 20 persen dari jumlah guru sehingga tunjangan profesi yang didapatkan sangat tidak merata, fasilitas sekolah dan buku-buku yang minim, guru yang jumlahnya sangat terbatas, sehingga 30 persen dari anak-anak daerah ini memilih bersekolah dimalaysia yang kondisinya sangat jauh berbeda, pemerintah Malaysia sangat bertanggunjawab masyarakatnya, apabila ada dalam satu keluarga memiliki 3 orang anak maka ketiganya dberikan beasiswa dan salah satunya diberikan laptop.

2. Kebijakan Peduli Pendidikan

Dibeberapa tahun terakhir ini, pemerintah mulai menampakkan semangat pencerahan dan semangat perbaikan terus menerus, hal ini dapat terlihat dari laporan yang dikeluarkan pemerintah mengenai angka “melek huruf” yang terus meningkat. Saat Indonesia baru merdeka angka buta huruf mencapai 95 % dari penduduk yang ada, lima belas tahun kemudian angka tersebut hanya menyisakan 40% angka buta huruf, dan di tahun 2012, angka tersebut dapat ditekan hingga hanya 6, 90 % dan diprediksikan angka tersebut akan terus membaik, hingga tidak ada lagi ditemui masyarakat yang tidak bisa membaca. (data dari Susenas BPS 2003 – 2012 dalam Purwo Uditomo). Namun ternyata keberhasilan itu, seakan hanya dilaporkan mewakili beberapa daerah di Indonesia saja, tapi tidak dari seluruh wilayah nusantara.

3. Ironi Pemerataan Pendidikan

(20)

sungai menggunakan perahu seadanya, berjalan hingga perpuluh-puluh kilometer untuk mencapai sekolahnya, belum lagi kualitas guru yang memperihatinkan, terlihat dari hasil UKG, hanya 7 dari 33 provinsi yang berhasil memperoleh nilai diatas rata-rata nasional.

Untuk dapat menilai kualitas pendidikan di Indonesia, haruslah melihat Indonesia secara utuh dari Sabang hingga Merauke, ketika di daerah kota besar terjadi kelebihan jumlah guru, di darah 3T, yakni daerah terdepan, terluar dan tertinggal Indoneisa memiliki masalah kekuarangan guru sehingga seorang guru dapat merangkap mengajar beberapa mata pelajaran yang tidak dikuasainya. Hal ini tidak serta merta melabelkan bahwa pemerintah hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, dan seakan-akan kebijakan pemerintah hanya milik beberapa provinsi saja.

Karena Pemerintah tentu saja melihat kesenjangan ini secaaa cermat, dan menggulirkan beberapa program dari kebijakan-kebijakan yang telah diambilnya, seperti SM-3T, atau sarjana Mengajar wilayah 3T, KKN (kuliah Kerja Nyata) bekerjasama dengan TNI, hingga pembangunnan perguruan tinggi di wilayah beranda Indonesia, butuh kerja keras agar program-program tersebut dapat mencapai tujuannya.

4. Kebijakan Yang Mengusik Keadilan

Beberapa kebijakan yang diambil pemerinta juga terkesan seperti kebijakan yang coba-coba dan tidak mencerminkan upaya pemerataan pendidikan di negeri ini, seperti kebijakan RSBI, sebelum dihapuskan, kebijakan ini dirasa sangat tidak adil bagi sebagian besar penduduk Indonesia di provinsi-provinsi perbatasan, program ini juga sangat memperlihatkan kesenjangan di dalam masyarakat itu sendiri.

(21)

memperoleh kelulusan yang sempurna, hasil dari kebijakan yang terlalu dipaksakan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Walaupun hasil ujian nasional kini tidak lagi menentukan kelulusan, tetapi tetap saja standar nilai yang diharapkan dan diwajibkan untuk dipenuhi sekolah-sekolah atas perintah pemimpin daerah haruslah tercapai tinggi, hingga sekolah-sekolah sangat sibuk untuk mempersiapkan ‘tim sukses’ dibandingkan dengan mempersipakan anak melalui ujian nasional itu sendiri. Dengan dalih kesuksesan UN di daerah tersebut merupakan kesuksesan pemimpin daerah tersebut, hingga tidak ‘malu’ bila dievaluasi dan diperingkatkan daerahnya dengan daerah lain baik secara nasional maupun lokal provinsi.

Begitu pula dalam kebijakan bantuan operasional sekolah (BOS), dimana anggaran bagi guru honorer sangat terbatas, sedangkan sebagian besar guru di daerah-dareah 3T merupakan guru honorer, sedangkan gaji PNS yang terus melambung tinggi hingga tidak ada lagi sebutan ‘guru umar bakri’, hal ini memang menggembirakan bagi guru-guru PNS yang selama memiliki kehidupan yang serta terbatas menjadi kualitas hidupnya jauh lebih baik, namun sekali lagi, terasa tidak adil bagi sebagian guru di daerah-daerah terpencil dan pelosok.

5. Kebijakan Wajar 9 tahun dan angka putus sekolah

Menurut laporan Departemen Pendididikan dan Kebudayaan, setiap menitnya ada empat anak Indonesia yang putus sekolah, seperti anak-anak yang tinggal di pedalaman Sulawesi Barat, bahkan di Banyumas Jawa Tengah, penyebabnya beragam, tetapi sebagian besar akibat kemiskinan. Gambaran ini tentu saja sangat memprihatinkan ditenngah maraknya sekolah-sekolah mahal berbayar yang dibangun di perkotaaan, dengan fasilitas serba wah bagi anak-anak dari keluarga kaya.

(22)

dilaporkan dalam Global Monitoring report. Raport indeks pembangunan pendidikan tersebut menggunakan 4 indikator, yaitu

universal Primary education (yang dilihat dari prosentase anak usia sekolah dasar yang masuk ke sekolah menengah), adult literacy rate (yang diukur dari angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas), quality of education (yang diperoleh dari angka bertahan siswa hingga kelas 5 SD), dan gender-related EFA (yang menunjukkan angka partisipasi pendidikan menurut kesetaraan gender, baik gender parity maupun gender quality). Lagi-lagi angka putus sekolah dan buta huruf akan menentukan capaian kualitas pendidikan suatu negara (Udiutomo, 2013)

(23)

BAB V sebagian lainnya tidak bisa dipertanggungjawabkan, potret-potret kesenjangangan yang terjadi dari berbagai kebijakan yang ada terkesa tertutupi oleh pencapaian prestasi di beberapa wilayah saja. Terutama di wilayah 3T, terdepan, terluar dan tertinggal, tingginya angka putus sekolah, akibat sulitnya menjangkau sekolah di wilayah tersebut, buruknya fasilitas yang ada serta kualitas dan kuantitas guru tang tersedia. Maka kebijakan yangg diambil pemerintah dirasa tidak adil bagi rakyat di wilayah itu, apalagi mereka yang berada di perbatasan melihat negara tetangga sebagai pembandinnya.

B. SARAN

Untuk menuntaskan masalah-masalah pendidikan yang ada, diperlukan kebijakan yang menyeluruh bukan hanya yang bersifat parsial, dan kebijakan yangg diambil bukanlah sebuah program ‘trial and error’. Perbaikan pengelolaan pendidikan nasional tidak bisa tidak, harus dilakukan. Reformasi kebijakan pendidikan yang mendasar dan lebih fokus memperhatikan kondisi aktual di tengah masyarakat dan memberikan prioritas yang tinggiuntuk pendidikan masyarakat yang kurang mampu dan kurang pintar, untuk kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan.

(24)
(25)

DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2012. Pedoman Pelaksanaan Program Sarjana Mendidik di Wilayah Terluar, terdepan dan Tertinggal (SM-3T), Jakarta.

Udiutomo, Purwo, dkk, 2013. Besar Janji daripada Bukti : Kebijakan dan Praktik Pendidikan Indonesia di Era Transisi Demokrasi, Dompet Dhuafa Makmal Pendidikan, Bogor.

Wahab, Rochmat, 2003. Mencermati RUUSPN dikaitkan dengan Masa Depan Bangsa, (paper), Yogyakarta..

Referensi

Dokumen terkait

Jika anda punya uang saya sarankan untuk bergabung dengan salah satu situs di atas. Anda akan mendapatkan manfaat yang tidak terbatas. Teknik Subjective communication

Orang, proses, atau sistem lain yang berinteraksi dengan sistem informasi yang akan dibuat diluar sistem informasi yang akan dibuat itu sendiri, jadi walaupun simbol dari

Pemberian adenin sulfat 20 mg/L pada media yang mengandung BAP konsentrasi rendah (1-2 mg/L) dengan atau tanpa TDZ secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap

Ketika saya pulang terlambat, orang tua saya melakukan kekerasan secara fisik terhadap saya tanpa menanyakan alasan keterlambatan saya terlebih dahulu.. Orang tua saya memarahi

Instrumen dalam penelitian ini berupa lembar wawancara kepada guru kelas I untuk mencari tahu permasalahan dan bagaimana pembelajaran IPA, lembar angket minat

Pengembangan Sistem Informasi Berbasis Web untuk Promosi Kerajinan Gerabah Kasongan ini berfungsi sebagai media promosi bagi sejumlah pemilik perusahaan gerabah Kasongan yang

Pengaruh Horizontal Interlocking Directorate Terhadap Kinerja Pasar ( Price to Book Value ) ... Pengaruh Horizontal Interlocking Directorate Terhadap Kinerja Pasar ( Tobin’s Q

Dengan asumsi bahwa faktor-faktor lain tidak mengalami perubahan atau cateris paribus, maka dalam teori ekonomi dianggap bahwa permintaan konsumen terhadap suatu