• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI TAHAPAN INOVASI TEKNOLOGI BIOENERG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TEORI TAHAPAN INOVASI TEKNOLOGI BIOENERG"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

TEORI TAHAPAN INOVASI TEKNOLOGI BIOENERGI

Syukri M Nur

PENDAHULUAN

Perkembangan inovasi teknologi konversi biomassa menjadi energi, ternyata harus melalui beberapa tahap. Mulai dari tahap penelitian sampai pada tahappenerapannya pada skala industri atau komersial. Tahapan ini perlu dimengerti dengan baik karena untuk mengubah bahan baku (istilah teknis dalam bahasa Inggris disebut Feedstock) menjadi bioenergi dalam bentuk Panas (heat) atau Daya (power), cairan (liquid fuels) atau bahan bakar gas (Gaseous fuels) harus melalui beberapa alternatif pilihan konversi (Conversion routes) seperti yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Perubahan bahan baku biomass menjadi energi melalui beberapa alternatif rute konversi biomassa menjadi bioenergi (IEA-Bioenergy, 2009).

(3)

Proses perubahan biomassa, melalui rute konversi, menjadi bentuk energi lain (feedstockconversion. ruteenergytypes) menjadi pusat perhatian bagi pemerhati energi terbarukan. Alasannya, karena bagi peneliti kondisi ini menjadi tantangan untuk mendapat sumber bahan baku baru seperti tumbuhan Algae atau mempertajam penemuan terdahulu untuk proses konversi energi terbarukan; Bagi pengusaha, ada peluang bisnis untuk dikembangkan menjadi produk ekonomi dan menguntungkan. Bahkan secara umum, ada harapan baru untuk lebih banyak mendapatkan alternatif pilihan dalam pemenuhan kebutuhan energi dunia.

Namun demikian, kendati ada tantangan, peluang, dan harapan namun perjalanan biomassa menjadi energi terbarukan “tidak semulus jalan tol“. Teknologi inovasi konversi biomassa menjadi bioenergi, tidak seluruhnya mencapai tahap komersial. Ada yang masih tertahan di tahap penelitian dan pengembangan terapan (litbang terapan) seperti teknologi hidrogen, ada juga tertahan pada tahap pra komersial seperti teknologi yang dikembangkan oleh perusahaan Polandia, FLUID dengan teknologi torrefaction-nya (lihat di laman www.luid.pl). Kendati teknologi ini telah mampu memproduksi biocoal dan mampu memanfaatkan panas dari proses produksi untuk pemanasan ruangan di musim dingin, namun skalanya masih dalam katagori model dan belum mampu memenuhi kebutuhan pasar karena dua alasan. Pertama, kapasitas produksi biocoal belum mampu memenuhi target kebutuhan pasar. Kedua, masih perlu satu tahap inovasi lagi jika hendak memenuhi kebutuhan pasar di wilayah tropis yang menginginkan teknologi pembangkit listrik dan bukan sekadar penghasil biocoal.

Pemahaman yang baik terhadap status rute konversi dengan atribut teknologi dan mesin-mesin pengubah energinya akan menghindarkan pengguna akhir atau calon investor membuat kesalahan investasi. Bahkan bagi pengambil kebijakan, pemahaman ini akan mendukung penerbitan regulasi yang mendorong pengembangan inovasi teknologi konversi serta menciptakan iklim investasi bidang bioenergi.

Tulisan ini mengantarkan anda untuk memahami karakteristik inovasi teknologi konversi biomassa menjadi energi terbarukan dan menerapkannya pada posisi anda sebagai pengguna akhir atau pengambil kebijakan.

KENAPA HARUS MEMPERLAJARI TAHAPAN INOVASI KONVERSI BIOMASSA?

Alasan yang mendasarinya adalah untuk menghindari kesalahan investasi bagi pemodal terhadap prospek bisnis sebuah inovasi teknologi konversi biomassa menjadi energi. Pengalaman penting pernah dialami Indonesia dalam upaya pencarian alternatif energi baru yaitu penggunaan tanaman Jatropha curcasdan hidrogen dari air. Dua sumber bahan baku energi itu masih premature untuk diterapkan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Kendati tanaman Jatropha mampu menghasilkan minyak jarak untuk biofuel namun dalam penyediaan bahan bakunya masih banyak halangan yang seharusnya sudah terjawab dalam tahapan tahapan penelitian dan demontrasi. Tantangan utama adalah nilai ekonomis tanaman Jatropha kalah bersaing dengan tanaman Kelapa Sawit, bahkan dalam biaya produksinya masih belum mampu bersaing dengan harga solar non subsidi di pasar.

(4)

Contoh kasus adalah Permen ESDM No 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Wacana baik telah muncul karena ada upaya Pemerintah Indonesia untuk merevisi permen tersebut dengan beradaptasi beradaptasi dengan perkembangan inovasi teknologi, memperluas akses pasar, dan mendapatkan dukungan dari institusi lain. Permen ini hanya mengatur jenis bahan bakar nabati (BBN) dalam bentuk cair, kemudian diperluas deinisnya mencakup juga BBN padat dan BBN gas. Bahkan pada laman Forum Fakultas Teknik UI (2013) dicantumkan pokok-pokok usulan perubahan pengganti Permen No. 32/2008 sebagai berikut:

• Perubahan kewenangan penanganan pengelolaan BBN dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi

menjadi kewenangan Direktorat Jenderal EBTKE,

• Perluasan lingkup deinisi dan pengaturan BBN yang semula hanya mengatur tentang biofuel (sebagai

BBN cair) menjadi BBN yang terdiri dari BBN cair, BBN Padat, dan BBN gas,

• Penambahan kewajiban (mandatori) pemanfaatan BBN cair bagi industri pertambangan mineral dan

batu bara,

• Penambahan kewajiban (mandatori) pemanfaatan biomassa untuk dicampurkan dengan batubra pada

pembangkit listrik melalui coiring bagi Badan Usaha Pembangkit Tenaga Listrik yang menggunakan batubara,

• Penyediaan infrastruktur pendistribusian BBN oleh Badan Usaha (BU) BBM, • Pengaturan izin usaha niaga BBN,

• Pemberian sanksi administratif untuk BU BBN (oleh Dirjen EBTKE), BU BBM (oleh Dirjen Migas atas usul

dari Direjen EBTKE), dan BUPTL (oleh Dirjen Ketenagalistrikan atas usul dari Dirjen EBTKE) yang tidak melaksanakan kewajiban pemanfaatan BBN,

• Perubahan pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan BBN pada tiap sektor’

Boleh jadi, upaya Pemerintah RI harus lebih jeli lagi membuat payung hukum yang tepat dan menyiapkan anggaran, tim peneliti dari lembaga penelitian dan universitas, serta akses kerjasama internasional untuk mendapatkan semua tahapan inovasi teknologi konversi biomassa menjadi energi terbarukan. Selain karena karena kebutuhan energi nasional, adalah ketersedian bahan baku yang melimpah dan ada pasar dari bentuk energi ini.

PEMBAGIAN TAHAPAN INOVASI KONVERSI

Bauen et al., (2009) membagi empat tahap inovasi teknologi konversi (Lihat Gambar 2), dimulai dari Tahap 1. Penelitian Dasar (Basic Research) dan digabung dengan tahap Penelitian dan Pengembangan (Applied R&D), Tahap 2. Demonstrasi, Tahap 3. Awal Komersial, dan Tahap 4. Komersialisasi. Dalam empat tahap tersebut, dijelaskan juga perkembangan atau posisi terakhir dari beberapa inovasi konversi seperti inovasi pemadatan biomassa (biomass densiication), biomassa jadi panas (biomass to heat), pembakaran (combustion), gasiikasi (gasiication), co-iring, dan anaerobic-digestion untuk proses biogas, serta perkembangan teknologi yang mengubah biomassa menjadi bio etanol dan gas lainnya.

(5)
(6)

tidak langsung (Direct and co-iring), etanol dari tebu, serta dan biodiesel. Sedangkan biometan masih pada tahap awal komersial, dan inovasi untuk membuat hidrogen dari biomassa masih ditahap akhir demonstrasi.

Burge dan Wushagentagen (2009) membagi lebih rinci tahapan inovasi teknologi konversi biomassa menjadi energi menjadi enam bagian dengan memisahkan penelitian dasardengan penelitian dan pengembangan terapan, kemudian menambahkan celah pasar dan dukungan komersial sebagai satu tahapan tersendiri (lihat Gambar 3).

Gambar1

Tahapan inovasi teknologi konversi dengan faktor

pengendalinya yaitu pasar, modal investasi, kebijakan

pemerintah (Burge dan Wustenhagen, 2009)

Keenam tahapan tersebut adalah 1. Penelitian dan Pengembangan Dasar; 2. Penelitian dan Pengembangan Terapan; 3. Demonstrasi; 4. Pra Komersialisasi; 5. Celah Pasar dan Dukungan Komersial; 6. Komersial.

(7)

Tiga target yang hendak dicapai dengan keterlibatan mereka yaitu (1) menurunkan biaya produksi per satuan produk teknologi dan membuat sistem produksi energi terbarukan lebih eisien; (2) menurunkan resiko investasi karena ada jaminan teknologi baik dari segi kualitas dan ketersediaanya, sehingga pengguna akhir (pengusaha) akan lebih nyaman dan yakin terhadap penggunaan sistem produknya; (3) membuka dan meningkatkan akses pasar serta penerimaan masyarakat terhadap inovasi teknologi konversi, sistem produksi, dan produk bioenergi.

Karakteristik Tahapan Inovasi Konversi Bioenergi 1. TAHAP PENELITIAN DASAR

Pada penelitian dasar(Basic Research-R&D), lokasi yang digunakan adalah laboratorium dan menjadi ciri khas tahapan ini. Penelitian ini umumnya melibatkan peneliti dari kalangan perguruan tinggi atau lembaga penelitian sebagai. Upaya yang dilakukan merupakan pengisian peta pengetahuan atau realisasi ujicoba dari pemikiran dan studi kepustakaannya. Bahkan hasilnya penelitian digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan mendasar dari sebuah fenomena alam.

Umumnya juga dalam penelitian dasar, permasalahan yang dikaji merupakan masalah tunggal atau ruang lingkup masalah dan solusinya terbatas. Sumber dana penelitian ini umumnya berasal dari anggaran lembaga penelitian atau universitas yang juga berarti dari pemerintah. Waktu untuk mencapai satu target penelitian dasar tidak diketahui dengan pasti karena relatif dan tergantug pada kebutuhan dan kepuasan penelitinya.

2. TAHAP LITBANG TERAPAN

Pada tahap penelitian dan pengembangan (litbang) terapan (R&D Applied), lokasi sudah mulai bergeser dari laboratorium ke percobaan lapangan, atau pada skala laboratorium yang lebih komplit peralatannya dengan masalah-solusi yang mulai majemuk dan berinteraksi. Pelaksana penelitian sudah melibatkan peneliti lain ataupun dari lembaga lain. Bahkan dengan melibatkan peneliti dari negara lain. Kondisi ini juga didukung oleh pendanaan antar lembaga bahkan antara negara. Jika di Eropa maka penelitian dibiayai oleh Uni Eropa. Kisaran waktupenelitian sekitar 3-5 tahun.

3. TAHAP DEMONSTRASI

(8)

Sumber pembiayaan pada tahap ini sudah dapat melibatkan pihak swasta atau perusahaan yang tertarik karena melihat prospek bisnis di model tersebut. Artinya, pada tahap ini sudah ada jalinan kerjasama penelitian dimana tim peneliti universitas atau lembaga penelitian melaksanakan penelitian, sedangkan pembiayaannya bersumber dari pihak swasta.

Pihak swasta besar pada negara-negara maju, umumnya menggalang kerjasama dengan lembaga penelitian atau universitas untuk mengerjakan proyek penelitian sampai pada tahap komersialisasi dengan pertimbangan untuk mencapai posisi unggul dalam persaingan teknologi. Contohnya adalah Siemens dengan teknologi pembangkit listrik berskala besar.

4. TAHAP PRA KOMERSIAL

Tahap ini tim peneliti mencoba menawarkan inovasi teknologi dan telah diterima oleh kalangan swasta. Indikator penting pada tahap ini adalah meningkatkan skala teknologi tersebut dari model atau protipe untuk menjadi ukuran pabrik atau mesin yang sebenarnya, namun masih dalam uji coba untuk mendapatkan target kualitas yang layak bisnis. Lokasinya sudah dikembangkan dibeberapa tempat untuk mendapatkan informasi mengenai kualitas, proses, dan kendala dalam operasional di lapangan.

Tanggungjawab penelitian masih dipegang oleh peneliti yang sudah tergabung dalam perusahaan, sedangkan aspek produksi dan paten teknologi tersebut menjadi tanggungjawab dan hak penuh dari pihak perusahaan yang membiayainya.

5. TAHAP CELAH PASAR DAN DUKUNGAN KOMERSIAL

Pada tahap ini, inovasi teknologi konversi telah berhasil membuka pasar namun masih masih memerlukan dukungan komersial berupa modal untuk memperbesar skala produksi atau memperbanyak contoh pabrikan. Dukungan komersial pada tahap ini umumnya adalah dukungan pembiayaan dari negara produsen teknologi jika ingin dipasarkan ke negara lain. Bahkan dukungan kebijakan dari pemerintah untuk memberikan insentif ekonomi sehingga menarik minat swasta untuk menanamkan modalnya pada tahap ini.

(9)

6. TAHAP KOMERSIAL

Pada Tahap Komersial, inovasi teknologi konversi biomassa menjadi sudah menjadi satu kebutuhan bagi pengusaha karena terdapat peluang bisnis yang menguntungkan dan tersedia pasarnya. Nilai jual produk yang dihasilkan telah melampaui biaya produksinya. Jadi pada tahap ini, pertimbangan bisnis lebih mendominasi keputusan terhadap untuk penerapan inovasi tersebut.

Pelaksana kegiatan dalam tahap ini telah melebur dalam satu unit usaha, posisi peneliti telah beralih ke sistem manajemen perusahaan seperti menejer pengembangan proyek dan pemasaran.

(10)
(11)
(12)

M. Syukri Nur, lahir di Pare-Pare, 24 September 1966. Ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Samarinda. Lulus SMA Negeri 1 Samarinda pada tahun 1986 dan pada tahun yang sama di terima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui undangan PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) oleh Rektor IPB Prof. Dr. Ir. H. Andi Hakim Nasution karena menjadi juara I Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI Bidang Humaniora di tahun 1986.

Lulus dari program studi Agrometeorologi, IPB tahun 1991, kemudian bekerja di LKBN Antara Biro Samarinda sebagai wartawan selama dua tahun. Akhir September 1993 melanjutkan S2 dan S3 hingga tahun 2003 di IPB dengan pengalaman studi di musim panas, kegiatan penelitian dan pembentukan jaringan akademik di Swiss, Perancis, Jerman, Jepang, dan Austria.

Penelitian tentang model perubahan iklim global di Institut Bioklimatologie, Universitas Geottingen, Jerman selama 2 tahun lebih atas sponsor DAAD dan Proyek STORMA.

Penghargaan yang pernah diperoleh LIPI – UNESCO untuk PIAGAM MAB (Man and Biosphere) tahun 2003 dan sejumlah beasiswa dari START Amerika Serikat, DAAD Jerman, Yayasan Super Semar, Republika dan ICMI, serta KOMPAS selama menempuh pendidikan di IPB.

Penulis pernah tercatat sebagai staf dosen di STIPER Kabupaten Kutai Timur dan Peneliti bidang Agroindustri dan Teknologi Informasi di PT. VISIDATA RISET INDONESIA, serta tahun 2006-2009 menjadi staf Ahli Bupati Kutai Timur bidang pengembangan Agribisnis dan Agroindustri.

Pada tahun 2011-2012, menjadi Wakil Ketua Tim Likuidator PT. Kutai Timur Energi dan pernah menjabat sebagai Direktur HR&GA PT. Kutai Timur Energi. Saat ini menjadi Direktur di PT. Kutai Mitra Energi Baru.

Minat penulis adalah penelitian dan penulisan ilmiah untuk bidang kajian pertanian, teknologi informasi dan lingkungan hidup, serta energi baru dan terbarukan.

ALAMAT LENGKAP:

Gambar

Gambar 1. Perubahan bahan baku biomass menjadi energi melalui beberapa alternatif rute konversi biomassa menjadi bioenergi (IEA-Bioenergy, 2009)
Gambar 1 Pembagian empat tahap perkembangan inovasi teknonologi konversi

Referensi

Dokumen terkait

Menurut psikologi, remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia

pada Pasal 34 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Kudus Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan Susunan Organisasi Dinas

Tingkat pengelolaan yang dilakukan oleh nelayan baik dilihat dari usaha maupun hasil tangkapan yang didaratkan menunjukkan kondisi masih dibawah tingkat optimum sehingga masih

bahan teknik, baik yang termasuk kelompok logam maupun non

SARANA ANTARMUKA SISTEM PHOTOVOLTAIC DENGAN JARINGAN LISTRIK BERBASIS dsPIC30F4012 ” yang menjadi tugas studi Penulis sebagai mahasiswa Program Sarjana Jurusan

Tujuan penelitian ini adalah agar guru matematika di SMA Negeri 1 Karangrayng dapat: Meningkatkan ketrampilan siswa kelas X SMA Negeri 1 Karangrayung dalam

Definisi lain menurut Rusdji yaitu Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Wajib Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau