LESBIAN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN BAGI SUAMI
(“Kasus di Pengadilan AgamaJakarta Timur”)Skripsi
Oleh:
MOHAMMAD ANIQ KAMALUDDIN
NIM: 105044101375
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
i
KATA PENGANTAR
i
LESBIAN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN BAGI
SUAMI
ii
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada program studi Ahwal al-Syakhsiyyah.
Jakarta, 31 Maret 2011 Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP: 1955 0505 1982 0310 12
PANITIA UJIAN Ketua
: Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA
NIP : 195003061976031001 (………)
Sekretaris
: Rosdiana, MA
NIP : 196906102003122001
(………) Pembimbing I : H. Damanhuri Mushtofa, S.H.
NIP : 195003061976031001
(………) Pembimbing II
: H. Jasir, SH. MH
NIP : 194407091966041001
(………) Penguji I
: Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP: 1955 0505 1982 0310 12
(………) Penguji II
: Dr. Djawahir Hejazziey S.H. M.A. NIP : 195510151979031002
iii
Assallamu’allikum. Wr. wb
Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Penguasa alam semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis terutama dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam kita sanjungkan kepada pemimpin revolusioner umat islam tiada lain yakni junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan keluarga, serta para sahabat yang telah banyak berkorban dan menyebarkan dakwah Islam.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis hingga terselesaiakannya skripsi ini.
Dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis mengugkapkan rasa hormat serta ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak:
1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan
iv
menyelesaiakan skripsi ini, dan Kamarusdiana, S.Ag, MH. Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah.
4. Para Narasumber dan Staff Lembaga Pengadilan Agama Tangerang. Yang telah memberikan penulis izin dan membantu meluangkan waktunya untuk melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian khususnya Dra. Ai Jamilah, M.H. Yang telah memberikan informasi kepada penulis.
5. Seluruh Staff Pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan memberikan motivasi sepanjang penulis berada di sini. Selain itu, para Pimpinan dan Staff Perpustakaan baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
v
senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga ananda dapat menyelesaiakan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan doa, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan.
7. Teman-teman senasib dan seperjuangan konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2006. Terkhusus buat Yani, Nela, Pipih, Rika, Milah, Teh Ai, Zumi, Milky, Wawad, Cahya, Silvy, Lukman, Idam, Qisty, Lutfi, dan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, trimakasih atas bantuannya dalam penulisan skripsi ini, dan kebersamaan yang tercipta selama penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberi warna dan memeriahkan hari-hari waktu kuliah, semoga persahabatan kita tak kan pernah memuadar walau waktu dan jarak memisahkan.
8. Rekan-rekan di organisasi kampus dan primodial seperti SaunG, IRMAFA, Himpunan Mahasiswa Pelalawan (HIPMAWAN) Jakarta, Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI) Banten, serta rekan-rekan lainnya yang tidak bias penulis sebutkan satu persatu. Yang selalu berbagi ilmu dan pengalamannya dengan penulis. Trimaksih atas motivasi dan dukungannya.
vi
Hikmah) Jakarta yang tak dapat disebut satu persatu. Terimakasih atas perhatian, dorongan dan do’anya. Canda tawa dan kebersamaan kita selama ini kan selalu
kukenang.
Kepada semua pihak yang telah banyak memotivasi dan memberi inspirasi kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita, dan yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materil. Hanya ucapan terima kasih yang penulis haturkan semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik disisi Allah SWT. Dan memperoleh pahala yang berlimpat ganda (amin).
Penulis meyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun perlu kiranya diberikan demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Maka akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.
-Amin Ya Rabbal A’lamin
-Jakarta, Agustus 2010
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN……… i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN………. ii
KATA PENGANTAR………. iii
DAFTAR ISI……… vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………. 1
B. Pembatasan dan Peruumusan Masalah……… 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 9
D. Review Studi Terdahulu………. 10
E. Metode Penelitian………... 13
F. Sistematika Penulisan………. 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERCERAIAN DALAM PERKAWINAN A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya………. 17
B. Alasan - AlasanPerceraian……… 25
C. Perbedaan Cerai Talak dengan Cerai Gugat………. 27
viii
C. Lesbi Menurut Ulama Fiqh……… 44
D. Lesbi MenurutHukum Positif……… 45
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR NOMOR PERKARA 207/Pdt.G/2009/PA.JT A. Duduk Perkara……… 48
B. Pertimbangan Hukum………. 51
C. Amar putusan……….. 59
D. Analisis Putusan………. 60
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……… 72
B. Saran-saran……… 74
DaftarPustaka……… 76
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia hidup di dunia diciptakan berpasang-pasangan, ada laki-laki dan
ada perempuan. Secara kodrat mereka saling membutuhkan antara satu sama
lainya juga cenderung menginginkan hidup bersama.
Didalam Al-Qur’an telah dijelaskan kepada kita bahwa Allah telah menciptakan
bagi manusia pasangan hidupnya masing-masing, dari jenisnya sendiri, supaya
merasa aman karenanya, dan supaya timbul rasa kasih sayang diantara mereka.
Dan hubungan antara perempuan dan laki-laki akan sah manakala telah diikat
dengan ikatan yang dinamakan pernikahan atau perkawinan sesuai dengan
cara-cara yang telah diatur dalamsyari’atIslam.
Perkawinan dalam bahasa arab disebut dengan kata al-nikah yang
bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut
dengan al-dammu wa al-jam;u, atau al-wath’u wa al-aqdu yang bermakna
bersetubuh, berkumpul, dan akad. Beranjak dari makna etimologis inilah para
ulama fiqh mendefinisikan perkawinan dalam konteks biologis.
Menurut Wahbah Zuhaily perkawinan ialah akad yang membolehkan
atau melakukan wathi’ dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang
diharamkan dinikahi baik sebab keturunan atau persusuan.1
Menurut hukum Islam pernikahan merupakan suatu ikatan yang paling suci
dan kokoh antara suami dan isteri. Oleh karena itu Islam menetapkan ikatan
tersebut untuk selamanya. Langgengnya pernikahan merupakan suatu tujuan yang
sangat diinginkan oleh Islam.2Begitu juga Islam mengatur masalah perkawinan
dengan tujuan agar membentuk keluarga yang bahagia dunia dan akhirat dibawah
cinta kasih dan ridho Allah.
Perkawinan merupakan suatu cara untuk menyalurkan kebutuhan biologis
antara laki-laki dan wanita dan menghubungkannya sebagai suami isteri. Hal
tersebut merupakan suatu ikatan yang paling kuat dalam hubungan pergaulan
manusia. Sebagaimana yang disebutkan dalam UU No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan pasal satu. “Yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita sabagai suami isteri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa3”
Sabagai nagara yang berdasarkan Pancasila dimana sila pertama adalah
Ketuhanan Yang Yaha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali
1
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan,Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 dan KHI. (Jakarta: Pranada Media, 2004). Cet, 2.h,38
2
Djam’an Nur, fiqh Munakahat. (Jakarta: Dira Utama Semarang, 1993). Cet. 1. h. 130
3
3
dengan persoalan agama dan kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mengenai
urusur lahiriyah (jasmaniyah) tetapi juga menyangkut urusan batiniyah (rohaniyah)
yang mempunyai peranan yang sangat penting.
Tujuan dari perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan
ialah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal abadi. Untuk itu suami isteri
harus saling pengertian, saling bantu membantu dan saling lengkap-melengkapi
antara satu sama lain, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
untuk membantu dan mencapai kesejahtraan baik spiritual maupun material. Karena
tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal. Maka UU
No.1 tahun 1974 tentang perkawinan menganut prinsip mempersulit terjadinya
perceraian.4
Jika akad nikah telah sah dan berlaku, maka ia akan menimbulkan akibat
hukum dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak serta kewajiban selaku
suami isrti.5 Hak-hak dan kewajiban suami isteri itu memegang peranan penting
dalam suatu rumah tangga. Apabila masing-masing pihak tidak dapat saling menjaga
dan memeliharanya maka tinggal tunggu saja saat-saat kehancurannya. Hak dan
kewajiban itu dapat juga diaplikasikan sebagai berikut: hak dan kewajiban suami
isteri, hak dan kewajiban suami terhadap isterinya, hak dan kewajiban isteri terhadap
suaminya.
4
M Idris Ramulyo,Beberapa Masalah Tentang hukum acara Perdata Pengadilan Agama, (Jakarta : Ind-Hill co, 1991), Cet Ke -2, h,179
5
Setiap keluarga merindukan kebahagian dan ketentraman hidup, karena dalam
keluargalah terjadi hubungan yang paling dekat, paling sering bahkan dapat dikatakan
terus-menerus. Namun pada kenyataannya perkara yang menyangkut hak dan
kewajiban ini, sungguh banyak menimbulkan masalah di tengah-tengah rumah
tangga, antara lain disebabkan :
a. Suami tidak sanggup memberi nafkah lahir terhadap isterinya, seperti memberi uang belanja sehari-hari, pakaian dan sebagainya. Pada waktu itu ada isteri yang
tidak pengertian dan tidak tabah menghadapinya serta tidak mau memikirkan
kekurangan ekonomi yang telah muncul dihadapan keluarganya, akhirnya
menimbulkan pertengkaran.
b. Isrti mempunyai suatu penyakit yang tidak sanggup bergaul dengan suami secara normal, atau isteri tidak mampu mengendalikan daya seksnya, timbullah krisis
rumahtangga karena menyalurkan seksnya dengan orang lain tanpa proses
perkawinan, dan hal tersebut tentu dirlarang keras dalam ajaran agama Islam yang
disebut perbuatan zina. Peristiwa-pristiwa ini menimbulkan pengaduan-pengaduan
suami kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkaranya.6 Selain
masalah yang disebutkan penulis diatas, ternyata ada bbeberapa masalah dari para
suami yang sampai ke Pengadilan Agama karena ketidak sediaan sang isrti untuk
melayani sang suami.
6
5
Dengan demikian, maka hal ini menjadi bukti bahwa masih banyak para
isteri yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri yakni melayani
suaminya dalam berhubungan biologis.
Apabila hal ini terus-menerus terjadi, maka akan menjadi persoalan yang
sangat penting karena dapat menimbulkan permasalahan yang mengakibatkan
putusnya pernikahan. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi perselingkuhan yang
dilakukan oleh salah satu pasangannya, sehingga kehidupan keluarga tidak berjalan
harmonis.
Putusnya sebuah pernikahan lazim disebut dengan sebutan cerai, atau yang
disebut dalam bahasa arab dengan sebutan at-Tholaq atau talak. Dalam
mengemukakan arti talak secara terminologi tampaknya ulama mengemukakan
essensinya sama yaitu melepaskan.7 Dalam hal ini adalah melepaskan ikatan tali
perkawinan.8
Akan tetapi terkadang timbulnya permasalahan para isteri tidak mau
memberikan nafkah batin kepada suaminya juga mempunyai alasan yang
berbeda-beda. Salah satu alasannya yaitu dikarenakan adanya faktor kelainan seks pada isteri.
Kelainan seks tersebut salah satunya yaitu si-isteri lebih menyukai sesama jenis
(lesbian) dari pada lawan jenisnya, atau yang kita kenal dengan istilah lesbi. Lesbi
adalah hubungan badan antara sesama jenis, antara wanita dengan wanita lainnya.
7
Amir Syarifuddin,Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet.1, h.125
8
Dengan adanya kelainan seks tersebut, isteri akan enggan atau tidak mau
memberi nafkah bathin kepada suaminya yang disebabkan isterinya lebih menyukai
orang lain sesama jenis, tidak tertarik dengan suaminya, akibatnya si suami akan
menjadi korban karena isterinya tidak bisa atau tidak mampu menjalankan tugasnya
sebagai seorang isteri, kemudian suami hidup tanpa ketenangan dan kasih sayang
serta ia tidak mendapatkan keturunan sekalipun ia subur.
Apabila dihubungkan dengan Undang-undang perkawinan dan kompilasi
hukum Islam, maka jelas bahwa perceraian (putusnya perkawinan) diperbolehkan jika
salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
Namun dari sumber hukum tersebut tidak ada yang menjelaskan tentang
diperbolehkannya perceraian dengan alasan kelainan seksual (lesbian/homoseksual).
Walaupun hal ini bisa dimasukan pada inpres no.1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pada pasal 116 poin e,“salah satu pihak mendapat cacat badan
atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajinabya sebagai suami atau
isteri”. Tetapi hal tersebut masih bisa diperdebatkan dan di tafsirkan lain. Karena
cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya bisa bermacam-macam, sedangkan bila isteri mempunyai kelainan
seksual (lesbian) ini dapat dijadikan sebagai alasan perceraian, maka akan
memungkinkan banyak pasangan yang mengalami perceraian. Sedangkan perceraian
7
Berawal dari latar belakang masalah inilah, penulis ingin sekali mengadakan
penelitian yang berkenaan dengan “Kelainan Seksual Pada Isteri (Lesbi) Sebagai
Alasan Perceraian (Analisis putusan No.perkara 207/Pdt.G/2009 di Pengadilan Agama Jakarta Timur), selanjutnya akan penulis tuangkan dalam bentuk skripsi yang
berjudul “Kelainan Seksual Pada Isteri (Lesbian) Sebagai Alasan Perceraian (analisis putusan no.perkara 207/Pdt.g/2009 di Pengadilan Agama Jakarta Timur).
B. Pembatasan dan perumusan masalah
1. Pembatasan masalah
Alasan-alasan perceraian yang diadukan ke Pengadilan Agama sangat banyak,
antara lain: faktor ekonomi, adanya pihak ke tiga, penganiayaan, pemabuk, penyakit,
kelainan seksual dan lain sebagainya. Hal ini sangat mempengaruhi agar pihak yang
bersangkutan dapat melakuakan perceraian. Dengan banyaknya alasan-alasan
perceraian tersebut, maka penulis akan membatasi pada kasus perceraian yang
disebabkan isteri mempunyai kelainan seksual (lesbi) dengan lebih menyukai sesama
jenis daripada suaminya sendiri. Kasus-kasus kelainan seksual yang kami bahas
adalah kasus yang terdata di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
2. Perumusan masalah
Dalam undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 37
tentang Perkawinan serta Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
pasal 116 tidak diatur secara jelas tentang perceraian yang disebabkan karena isteri
mengalami kelainan seksual (lesbi), tapi pada faktanya putusan cerai gugat karena
alasan isteri mengalami kelainan seksual (lesbi) terjadi di Pengadilan Agama Jakarta
Timur. Hal ini yang ingin penulis telusuri lebih dalam adalah tentang bagaimana
hakim mengambil pertimbangan keputusan dalam putusan cerai gugat karena isteri
mengalami kelainan seksual (lesbi) itu. Mengacu pada rumusan masalah tersebut,
maka penulius rinci dalam pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana hukum Islam dan hukum positif mengatur tentang lesbian sebagai
alasan perceraian bagi suami ?
2. Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara lesbian
sebagai alasan perceraian bagi suami di Pengadilan Agama Jakarta Timur?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan beberapa
permasalahan sebagi berikut :
1. Untuk memenuhi salah satu sarat mendapatkan gelar serjana S1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Memahami bagaimana hukum Islam dan hukum positif mengatur tentang
9
3. Memahami alasan hakim dalam memutuskan perkara tersebut.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Untuk penulis: memberikan wawasan kepada penulis, dalam rangka
meningkatkan disiplin ilmu, yang akan dikembangkan menjadi profesi penulis
sebagai mahasiswa, sesuai dengan bidang studi yang merupakan mata kuliah
pokok dan sebagai ilmu yang dimiliki penulis yang akan diperdalam lebih lanjut
melalui studi-studi lain yang serupa dengan disiplin ilmu tersebut.
b. Untuk kalangan akademis : seperti mahasiswa dan para pengamat akademis
dengan adanya sekripsi ini yang menyajikan wacana pemikiran, dan juga biasa
dijadikan informasi untuk dibahas lebih lanjut dan bahan untuk didiskusikan.
c. Untuk ilmu pengetahuan : memberikan sumbangan khususnya bidang Ilmu Fiqh
Munakahat sehingga mngetahui tantang pandangan Hukum Islam mengenai
kelainan seksual pada isteri (lesbi) sebagai sebab pengajuan perceraian di
Pengadilan Agama.
D. Review Studi Terdahulu
Untuk menemukan pembahasan dalam penulisan skripsi ini penulis
menelaah literatur yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis kemukakan
1. Agustina, perceraian akibat suami impoten (studi terhadap persepsi
karyawati Fakultas Syariah dan Hukum) skripsi ini menjelaskan mengenai
perceraian akibat impoten yang didalamnya mencakup tentang tinjauan
perceraian dalam Islam yang mencakup pengertian perceraian, bentuk dan
akibat perceraian, dan dalam skripsi ini menjelaskan tentang tinjauan
impotensi terhadap keutuhan rumah tangga dan pandangan hukum Islam
tentang isteri impoten terhadap keutuhan rumah tangga.
Perbedaan yang menonjol antara skripsi yang ditulis Agustina diatas
dengan skripsi yang kami tulis adalah : bila dalam skripsi Agustina
perceraian terjadi karena sang suami tidak bisa menjalankan kedudukanya
sebagai seorang suami disebabkan menderita impotensi, sedangkan pada
skripsi yang kami tulis perceraian itu terjadi disebabkan isteri tidak bisa
menjalankan tugasnya sebagai seorang isteri karena lebih menyukai sesama
jenisnya daripada suaminya sendiri. Kemudian pada skripsi Agustina
perceraian itu terjadi dipengadilan dengan cerai gugat, sedangkan pada
skripsi yang kami tulis perceraian itu terjadi dipengadilan dengan cerai talak.
2. Ahmad Madroji, cerai gugat menurut hukum Islam dan hukum positif (studi
kasus cerai talak karena cacat badan di Pengadilan Agama Jakarta Timur)
skripsi ini menjelaskan mengenai ketetapan hukum tentang cerai talak
karena cacat badan menurut hukum Islam dan hukum positif. Dalam
11
dengan pertimbangan agar isteri tercegah dari perbuatan terlarang karena
isteri tidak bisa menjalankan kewajibannya.
Perbedaan menonjol antara skripsi Ahmad Madroji dengan skripsi
yang kami tulis adalah : dalam skripsi Ahmad Madroji perceraiannya itu
akibat salah satu pihak itu memiliki cacat fisik yang menjadikan tidak bisa
menjalankan fungsinya sebagai rumahtangga, sedangkan skripsi yang kami
tulis perceraian itu terjadi karena salah satu pihak bukan karena memiliki
penyakit fisik tetapi memiliki kelainan seksual yaitu suka sesama jenis
(lesbian).
3. Gufron Tamim, tinjauan hukum Islam dan hukum positif terhadap impotensi sebagai alasan perceraian skripsi ini menjelaskan mengenai perceraian yang
diakibatkan karena impotensi yang didalamnya mencakup mengenai
pengertian perceraian, perceraian menurut hukum Islam dan hukum positif,
pengertian umum mengenai impotensi dalam hubungan rumah tangga. Yang
terakhir tinjauan hukum Islam dan hukum positif tentang impotensi sebagai
alasan perceraian. Dalam penulisannya skripsi ini menggunakan studi
pustaka.
Perbedaan skripsi Gufron Tamim diatas dengan skripsi yang kami
bahas adalah skripsi Gufron Tamim menitik beratkan pada impotensi
sebagai alasan perceraian, sedangkan sekripsi kami titik beratnya adalah
kepada sang isteri karena sang-isteri mengalami penyimpangan prilaku
seksual, yaitu lesbi
4. Imam Hanafi, Homo seksual sebagai alasan perceraian, skripsi ini membahas
dan meneliti khusus tentang perceraian akibat kelainan seksual pada suami
(homo seksual) skripsi Imam Hanafi ini juga membahas tentang cerai gugat
yang dilayangkan oleh seorang isteri ke Pengadilan Agama Depok dan
membahas pula tentang pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap
homoseks.
Perbedaan mendasar antara pembahasan skripsi Imam Hanafi dengan
skripsi yang kami tulis adalah : pada skripsi Imam Hanafi perceraian
diajukan oleh sang isteri dan terjadi di Pengadilan Agama Depok, sedangkan
skripsi yang kami tulis perceraian itu terjadi di Pengadilan Agama jakarta
Timur yang diajukan oleh pihak suami karena sang isteri memiliki kelainan
seksual yaitu Lesbian.
E. Metode Penelitian
Dalam penyelesaian skripsi ini, metode penulisan skripsi yang penulis
gunakan adalah sebagai berikut :
1. Pendekatan dan Jenis
Penulis memakai pendekatan hukum doktrinal atau hukum normatif, yaitu
13
relevan dengan norma-norma hukum.9 Terkait dengan jenis penelitian dalam
penelitian ini, maka penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif digunakan apabila data-data yang di
butuhkan berupa selembaran-selembaran informasi yang tidak perlu di kuantifikasi.
Jika ditinjau dari rancangan penelitian, maka penelitian ini di golongkan ke
dalam penelitian deskriptif, sebagaimana yang yang telah diungkapkan oleh
Soerjono Seokanto: Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang memberikan
data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejalanya. Adapun
tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk menggambarkan suatu objek
secara sistematis.10
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan menyusun skripsi ini, penulis
menggunakan beberapa metode, antara lain:
a. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara mengkaji buku-buku, literature-literatur dan yang lainnya yang
ada relevansinya dengan judul ini.
b. Penelitian lapangan (field research) untuk memperoleh informasi yang
akurat dengan melakukan pencarian data-data dari tempat penelitian melalui
interview kepada pihak yang berkepentingan seperti hakim. Sedangkan tempat
penelitian adalah Pengadilan Agama Jakarta Timur.
9
M. Syamsudin,operasionalisasi penelitian hukum, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007) h.143
10
2. Sumber Data Penelitian
Dalam pengumpulan data digunakan sumber data bahan dokumen yaitu:
a. Sumber data primer: Sumber data primer disini penulis merujuk pada
beberapa putusan Pengadilan Agama, yaitu Pengadilan Agama Jakarta Timur
yang berkaitan dengan isu hukum yang penulis hadapi,11dan juga wawancara
dengan hakim yang bersangkutan yang berkaitan dengan kelainan seksual
pada suami (lesbi) sebagai alasan perceraian.
b. Sumber Data Sekunder: Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan
jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan masalah yang di ajukan. Dokumen yang dimaksud
adalah al-Qur’an, Hadist’ Buku-buku Karangan Ilmiah, Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Inpres No.1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI), peraturan pemerintah Nomer 9 Tahun 1975
Hukum Acara Peradilan Agama dan dokumen-dokumen lain serta data arsip
di Jakarta Timur yakni yang berkaitan dengan judul yang penulis teliti.
3. Tehnik pengumpulan data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tehnik pengumpulan data dengan
cara sebagai berikut:
a. Menganalisa dan menafsirkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur yang
berkaitan dengan kelainan seksual pada isteri (lesbi) sebagai alasan perceraian.
11
15
b. Interview atau wawancara, adalah suatu percakapan dengan mempunyai tujuan.12
Interview yang sering disebut juga wawancara atau kuestioner lisan, adalah sebuah
dialog yang dilakukan oleh pewancara untuk memperoleh informasi dari
terwawancara.13 Dalam hal ini penulis mengadakan dialog langsung dengan
hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
4. Tehnik Analisa Data
Analisis data adalah proses pengecekan dan pengaturan secara sistimatis
transkip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk
meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat dipresentasikan
temuannya kepada orang lain. Adapun tahap yang dilakukan pertama kalinya adalah
dengan cara mengambil data yang sudah ada, contohnya berupa putusan dan hasil
dari hasil putusan itu dianalisis, diolah datanya dengan metode tertentu dan ditarik
kesimpulanya. Dan hasil laporan yang sudah didapat bisa diinterprestasikan dalam
bentuk laporan hasil penelitian yang berguna untuk khalayak yang membutuhkan data
penelitian tersebut.
5. Tehnik Penulisan Data
Sesuai dengan buku PPS / Pedoman Penulisan Sekripsi/ yang diterbitkan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2007. Dengan pengecualian : penulisan terjemah
12
Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Bidang-Bidang Ilmu Sosial dan Keagamaan, (Malang; Kalimasahada Press,1994), cet. ke-1, hal. 63
13
al-Qur’an dan Hadist ditulis satu spasi, dalam daftar pustaka al-Qur’an di tulis di
awal.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan sekripsi ini terdiri dari lima bab yang meliputi :
BAB PERTAMA PENDAHULUAN; Membahas tentang masalah yang melatar
belakangi skripsi ini yang meliputi ; Latar belakang masalah, Pembatasan dan
Rumusan masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian, Revew Studi terdahulu, Metode
penelitian serta Sistematika penelitian.
BAB KEDUA PENGERTIAN DAN PROSEDUR PERCERAIAN; Membahas
tentang pengertian perceraian dan dasar hukumnya, alasan perceraian, Perbedaan
cerai talak dan cerai gugat, Prosedur perceraian.
BAB KETIGA PANDANGAN ISLAM TERHADAP LESBI ; Membahas tentang
pengertian lesbi dan landasan hukumnya, dasar larangan lesbi dalam al-Qur’an dan
al-Hadis, lesbimenurut Ulama Fiqh dan Hukum Positif.
BAB KEEMPAT ANALISIS PUTUSAN PERKARA NOMOR
207/Pdt.G/2009/PA.JT
Duduk perkara, Pertimbangan hukum, Amar putusan, Analisa penulis
BAB KELIMA PENUTUP;yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran.
17 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERCERAIAN DALAM PERKAWINAN
A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya
Pengertian Perceraian
Dalam bahasa arab perceraian disebut talaq yang artinya terputusnya tali perkawinaan yang sah akibat ucapan cerai suami terhadap istrinya. Maksudnya perceraian karena talak adalah seorang suami yang menceraikan isterinya dengan menggunakan kata-kata cerai atau talaq atau kalimat lain yang mengandung arti dan maksud menceraikan isterinya, apakah talak yang diucapkan itu talak satu, dua atau tiga.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cerai / talaq adalah pisah atau putus hubungan sbg suami istri selagi kedua-duanya masih hidup. Kata cerai berasal dari bahasa arab yaitu Talaq yang dalam bahasa Indonesia disebut Talak. Secara harfiyah talaq berarti lepas atau bebas. Menurut Bahasa Arab talak adalah melepaskan ikatan, dan yang dimaksud disini adalah melepaskan ikatan perkawinan.1
Dalam mengemukakan arti talak secara terminology (secara istilah) para ulama mengemukakannya dengan essensi yang sama walaupun dengan redaksi yang berbeda-beda.2Sedangkan menurut Inpres No.1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam (
KHI ) pasal 117 “Talak adalahikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang
1
Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyya, 1976), cet.6, h.376
2
menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.”3
Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diutamakan dalam Islam. Akad nikah diadakan agar rumah tangga menjadi tempat berlindung, menikmati curahan kasih sayang dan memelihara anak-anaknya sehingga mereka tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ikatan antara suami isteri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh, sehingga tidak ada suatu dalil yang lebih jelas menunjukan tentang kesuciannya yang begitu agung selain Allah sendiri yang menamakan ikatan perjanjian antara suami isteri itu dengan kalimatmitsaqan ghaliza“perjanjian yang kokoh”.4
Sebagaimana disebutkan oleh Allah SWT, dalam fimannya:
)
ء ﺎ ﺴ ﻨ ﻟ ا
: 21 (
Artinya:
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat” .
(QS: An-Nisa :21).
Dari ayat diatas penulis menilai bahwa begitu kuat dan kokohnya hubungan antara suami isteri, maka tidak sepatutnya apabila hubungan tersebut dirusak dan disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekan hubungan pernikahan sangat di benci
3
Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 117
4
19
oleh Islam. Hal tersebut sama saja merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan.
Oleh karena itu, apabila terjadi perselisihan antara suami isteri, sebaiknya diselesaikan sedini mungkin agar tidak terjadi suatu masalah yang sangat besar, yang memungkinkan terjadinya perceraian. Karena bagaimanapun baik suami maupun isteri pasti tidak menginginkan hal itu terjadi.
Adanya khitbah (perkenalan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan sebelum perkawinan) pada umumnya hanya merupakan penilaian jasmani semata, sehingga tidak aneh jika cacat yang dimiliki oleh suami atau isteri baru di ketahui setelah pernikahan. Hal ini karena hampir tidak ada orang yang secara jujur menyebutkan tentang kekurangan dirinya terhadap calon pasangannya, Justru yang lebih banyak terjadi di masyarakat, apabila sudah timbul rasa cinta yang terlihat hanyalah yang baiknya saja. Sehingga bila talak dibolehkan oleh Islam, maka akan membahayakan kedua belah pihak, namun lebih berbahaya lagi apabila talak di bebaskan begitu saja.5
Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan. Ia dapat lepas dengan lafaz tertentu yang kemudian disebut dengan talak, yang mana makna dasar dari talak adalah melepaskan ikatan atau melepaskan perjanjian. Misalnya saja seorang suami berkata kepada isterinya “engkau telah ku talak”, dengan ucapan ini ikatan pernikahan
5
menjadi lepas.6Ulama fiqh berpendapat bahwa talak adalah melepaskan ikatan (hall al-aqid) atau biasa juga disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata
yang telah ditentukan.7
Sayyid sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dengan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.8 Definisi yang agak panjang dapat dilihat dalam kitab Kifayat Al-Akhyar yang menjelaskan talak adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan
Al-Qur’an, Al-Hadis, Al-Ijma dan Ahli Sunnah.9
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Islam datang dengan konsep pokok sebagai berikut:10
a. Talak tetap ada di tangan suami sebab suami mempunyai sikap rasional, sedang isteri bersifat emosional.
b. Talak dijatuhkan oleh suami atau pihak lain atas nama suami, seperti Pengadilan Agama.
c. Isteri berhak mengajukan talak kepada suami dengan alasan-alasan tertentu lewatqadi(Pengadilan Agama).
6
Muhammad Rifa’I, Fiqh Islam, (Semarang: PT. Thoha Karya Putra, 1978), h.48
7
Abdurrahman Al-jaziri,kitab al-fiqh ‘ala mazahib al-Arba’ah, juz IV, (Kairo: Dar al-fikr, t.t), h.278
8
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz II, (Beirut: Dar el-fikr, 1983), h. 206
9
Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, juz II, (Bandung: Al-Ma’arif, t. th), h.84
10
21
d. Talak bisa kembali lagi antara kedua suami isteri sesuai dengan ketentuan agama.
e. Bagi mantan isteri ada masa iddah dan memiliki hak menerima mut’at dan nafkah dari mantan suami.
Putusnya perkawinan disebabkan tiga hal yaitu11: kematian, perceraian, dan
keputusan Pengadilan. Putusnya perkawinan selain cerai mati terjadi karena cerai talak dan cerai gugat. Menurut Inpres No.1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 114: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi sebab talak atau sebab gugatan perceraian”Ada tiga hal yang perlu diketahui dalam hal yang berhubungan dengan putusnya perkawinan itu, yakni:
a. Terjadinya perceraian hanya mungkin kalau suami dan isteri tidak rukun lagi dalam berumah tangga.
b. Perceraian hanya dapat di lakukan di depan sidang Pengadilan dan terhitung
sejak perceraian dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama.12
c. Putusnya perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai.
Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan Agama.13 UU No.50//2009
tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada
11
Pasal 113 :Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan. (KHI) dan pasal 38 UU No. 1/ 1974.
12
Pasal 123 KHI dan pembahasan dalam pasal 39 UU No. 1/1974 tentang perkawinan.
13
Pasal 115 KHI: “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama
pasal 66 ayat (1) yang berbunyi: ”seseorang suami yang beragama Islam yang akan
menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak”.
Walaupun Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan Agama, UU No.50//2009 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama, tetapi yang terjadi di masyarakat masih banyak yang melakukan perceraian tanpa sepengetahuan Pengadilan Agama. Hal ini terjadi karna masyarakat bawah (grass root) menganggap bahawa pengadilan sangat bertele-tele dan mahal sehingga mereka melakukan perceraian sendiri dengan surat perjanjian bawah tangan bermaterai disaksikan dua orang saksi kemudian bercerai atas dasar suka sama suka karna percekcokan yang tidak bisa di damaikan lagi. Kebanyakan masyarakat kita menganggap hal ini sah menurut agama.
23
di depan sidang pengadilan. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
”
"
ن ﺎ ﻣ ز ﻷ
ا ﺮﯿﻐﺘﺑ مﺎﻜﺣﻷا ﺮﯿﻐﺗ ﺮﻜﻨﯾ ﻻ
"
14Artinya:Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman. Selain kaidah diatas, ibnu al Qoyim menyatakan:
ﻟا ﺮﯿﻐﺗ
ﻔ
ا و ى ﻮ ﺘ
ﺣ
ﺪﺋاﻮﻌﻟاو تﺎﯿﻨﻟاو لاﻮﺣﻷاو ﺔﻨﻣزﻷا ﺮﯿﻐﺗ ﺐﺸﺤﺑ ﺎﮭﻓﻼﺘ
”
15Artinya:Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat.
Dari penjelasan diatas jelas sekali bahwa didalam perundang-undangan yang berlaku, telah diatur bagi siapa saja yang ingin mengajukan talak dapat mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama baik lisan maupun tulisan, dan tentunya disertai dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang.
2. Dasar Hukum Perceraian:
Cerai / talak seperti yang telah penulis cantumkan diatas dasar hukumnya ialah firman Allah dalam Al-Qur’ansurat Al-Baqoroh ayat 228 dan 229, yaitu:
14
Samsul maarif , Kaidah-Kaidah Fiqih I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III (Jakarta: PUSTAKA RAMADHAN), 2005 , h. 3
15
) ة ﺮ ﻘ ﺒ ﻟ ا : ٢ ٢ ٨ ( Artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. (Q.S: Al-Baqarah : 228).
) ة ﺮ ﻘ ﺒ ﻟ ا : ٢ ٢ ٩ ( Artinya:25
Agama Islam membolehkan suami isteri bercerai, namun harus dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu sesuatu yang dibolehkan, namun sangat dibenci Allah SWT.16Sebagai dasar hukum dari hadis :
ﱠﻠ
ﱠﻠ
.
(
Artinya :
“Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, perbuatan halal yang dibenci Allah Azza Wazalla adalah talak”. (H.R. Abu Daud dan Hakim, dan disahkan olehnya)
Siapapun orangnya yang akan merusak hubungan suami isteri, dia tidak mempunyai tempat terhormat dalam Islam. Demikian dijelaskan dalam sebuah hadis B. Alasan-Alasan Perceraian
Yang dimaksud dengan alasan perceraian disini adalah suatu kondisi dimana suami atau isteri mempergunakannya sebagai alasan untuk mengakhiri atau memutuskan tali perkawinan mereka.
Di Indonesia masalah perceraian telah diatur dalam undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sebagai warga Negara Indonesia sudah kita harus mentaati dan menjalankan peraturan yang ada. Undangiundang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39 ayat 1 menerangkan bahwa “ perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
16
Dalam hal terjadinya perceraian haruslah memenuhi beberapa alasan-alasan perceraian, sehingga perceraian tersebut dapat terlaksana, hal ini sesuai dengan pasal 39 ayat 2 undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:” untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri”. Didalam muatan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menerangkan bahwa alasan-alasan perceraian yang dinyatakan pada pasal 19 sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
27
Sedangkan didalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 116 memberikan tambahan dua point untuk menyempurnaan alasan-alasan perceraian yang disebutkan dalam UU No.1 tahun 1974 yaitu, perceraian dapat terjadi karena:
a. Salah satu pihak berbuat zina atu menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik-talak.
C. Perbedaan Cerai Talak Dengan Cerai Gugat.
Cerai talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan yang dilakukan atas kehendak suami sendiri. Sebagaimna terdapat dalam undang-undang Peradilan Agama No.7 tahun 1989 pada pasal 66 ayat (1) seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna melaksanakan ikrar talak.17
MenurutInpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 117
menyebutkan “cerai talak yaitu ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal (129),(130) dan (131)”. Cerai talak ini hanya dapat dilakukan oleh suami, karena suamilah yang berhak untuk mentalak isrinya.
Bagi suami yang mengajukan talak maka harus melangkapi persyaratan administrasi sebagai berikut:
1. kartu tanda penduduk
2. Surat keterangan untuk talak dari Kepala Desa/Lurah 3. Kutipan akta nikah (model NA)
4. Membayar uang muka biaya perkara
Surat izin talak dari atasan atau kesatuan bagi pegawai negeri sipil atau anggota TNI/Polri.18
17
Artiket diakses pada 27 april 2010 http://www.legalitas.org
18
29
Sedangkan cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan atas kehendak isteri, hal ini diatur dalam undang No.3 tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 73 ayat (1) gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. Dalam Kompilasi Hukum Islam cerai gugat juga diatur pada pasal 132 ayat (1) yaitu: gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan kediaman bersama tanpa izin suami.
Seorang suami diberikan hak untuk cerai talak, tetapi bukan berarti cerai talak hanya mutlak milik suami karena apabila suami melanggar alasan-alasan perceraian yang tercantum dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 19 Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Maka isteri berhak mengajukan cerai gugat. Dengan demikian masing-masing pihak telah mempunyai jalur tertentu dalam upaya menentukan perceraian.19
Hukum Islam juga tidak mengenal istilah cerai gugat karena cerai gugat hanyalah istilah hukum yang digunakan dalam hukum acara di Indonesia. Akan
19
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan,Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI,(Jakarta:
tetapi dalam hukum Islam mengenal khulu, yang mempunyai kesamaan dengan cerai gugat dan tetap ada perbedaannya yaitu dalam khulu adaIwadl yang harus dibayar oleh isteri, dan yang mengucapkan kalimat perceraian (talak) adalah suami setelah adanya pembayaran iwadl tersebut. Sedangkan cerai gugat tidak ada pembayaran iwadl serta yang memutuskan perceraian adalah hakim.20
Selain itu dalam cerai talak apabila suami ingin mengajukan ikrar talak, suami tidak mengajukan gugatan melainkan mengajukan permohonan kepada isteri, karena dalam Islam isteri meminta izin untuk mengucapkan ikrar talak di Pengadilan Agama. Karena talak itu ada di tangan suami. Berbeda dengan cerai gugat yaitu isteri harus meminta cerai dulu kepada suami, karena dalam Islam isteri tidak punya hak untuk menceraikan suami serta mengembalikan iwadl kepada suami, hal inilah yang menjadi perbedaan antara cerai tlk dan cerai gugat. Perkara cerai gugat, juga ada persyaratan administrasi yang harus dilengkapi dalam mengajukan gugatan cerai sebagai berikut:
a. kartu tanda penduduk
b. Surat keterangan untuk talak dari Kepala Desa/Lurah c. Kutipan akta nikah (model NA)
20
M. Yasir Arafat,Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), h. 16
31
D. Prosedur Perceraian
Pemeriksaan sengketa perkawinan dan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian terbagi dua, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Yang dimaksud cerai talak adalah perceraian yang terjadi kerena talak suami kepada isterinya. Sedangkan yang dimaksud gugat cerai adalah permohonan perceraian yang diajukan oleh pihak isteri melalui gugatan.
Surat gugatan atau permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani dilampiri Kartu Tanda Penduduk, kutipan Akta Nikah (model NA), surat izin talak dari atasan atau kesatuan bagi Pegawai Negeri sipil (PNS) atau Anggota TNI/POLRI, Surat keterangan Untuk Talak dari Kepala Desa/Lurah, kemudian diajukan ke Panitera Pengadilan Agama (surat gugatan diajukan pada sub kepaniteraan gugatan sedangkan permohonan pada sub kepaniteraan permohonan). Undang-undang membedakan antara perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak isteri. Hal ini kerena karakteristik Hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian.21
Sebelum perkara terdaftar dikepaniteraan, panitera melakukan penelitian terlebih
dahulu terhadap kelengkapan berkas perkara ( penelitian terhadap bentuk dari isi gugatan
permohonan) sudah dilakukan sebelum perkara didaftarkan. Misalnya dalam membuat
surat gugatan, kepaniteraan dibolehkan memberikan arahan pada penggugat apabila
dalam gugatan yang dibuat tidak sesuai. Apabila terjadi kesalahan dalam gugatan atau
21
permohonan maka tidak boleh didaftarkan sebelum petita dan positanya jelas, seperti ada
petita namun tidak didukung oleh posita berarti gugatan atau permohonan tidak jelas.22
Jika hal tersebut terjadi maka gugatan atau permohonan tersebut terlebih dahulu harus diperbaiki, panitera sebagai pihak yang mempunyai otoritas dalam meneliti berkas gugatan atau permohonan sebaliknya melakukan penelitian tersebut disertai dengan membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara, lalu berkas perkara beserta resume tersebut diserahkan kepada Ketua Pengadilan ( dengan buku
ekspedisi lokal sebenarnya). Dengan disertai saran tidak misalnya berbunyi “
syarat-syarat cukup siap untuk disidangkan”.23
Kemudian penggugat atau pemohon kemeja I untuk menaksir besarnya biaya perkara dan menulisnya pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan pasal 193 Rbg / pasal 128 ayat (1) HIR / pasal 90 ayat (1) Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang No.50 yang meliputi:
a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai
b. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain
22
Mukti Arto,Perkatek perkara Perdata pada peradilan Agama,(Jakarta: pustaka pelajar,2003),cet.ke-4,h.76
23
33
d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.24
Ketentuan di atas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan diizinkan untuk mengajukan gugatan perkara secara prodeo (Cuma-cuma). Ketidak mampuannya dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Setelah itu, penggugat atau pemohon menghadap ke meja II dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian surat gugatan/permohonan tersebut dimasukan dalam map berkas acara, kemudian menyerahkannya pada Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera.25
Setelah terdaftar, gugatan diberi nomer perkara kemudian diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama, setelah Ketua Pengadilan Agama menerima gugatan maka ia menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada perinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka ketua menunjuk seorang hakim sebagai ketua majlis dan dibantu dua orang hakim anggota.26
24
Pasal 90 ayat (1),Unadng-undang No.3 tahun 2006 perubahan Undang-uandang No.7 Tahun 1989 Tentang pengadilan Agama,h.74
25
M. Fauzan,Pokok-pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ahDi Indonesia,(Jakarta: Sinar Garfika,2004), Cet.ke-2, h.14
26
Setelah itu hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapannya dapat menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan, ketua majlis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam persidangan. Pasal 121 HIR,27
untuk Membantu Majlis Hakim dalam menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang dalam hal ini panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti.28
Tatacara pemanggilan dimana harus secara resmi dan patut, yaitu:
a. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi yang dipanggil ditempat tinggalnya;
b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada Kepala Desa dimana ia tinggal;
c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli warisnya;
d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah ( tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil ) kepada hakim yang akan memeriksa perkara yang bersangkutan;
e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.29Sedangkan proses pemeriksaan perkara didepan sidang
27
M. FAuzan,Pokok-pokok Acara Peradilan Agama,h.13
28
A. Basiq Djalil,Peradialan Agma Di Indonesia,( Jakarta: Kencana, 2006), cet.ke-1,h.214
29
35
dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata sebagaimana yang telah tertera dalam UU No.2 tahun 2009 tentang Peradilan Agama30:
“Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.
Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum, dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini hanya bersifat cecking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada upaya perdamaian, inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim, penggugat ataupun tergugat. Hakim harus sungguh-sungguh mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya perdamaian yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum dilanjutkan ketahap pemeriksaan.diawali membaca surat gugatan.31
Selanjutnya pada tahap dari tergugat, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat melalui Hakim. Pada tahap replik penggugat kembali menegaskan isi gugatannya yang dilakukan oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas sanggahan
30
A. Basiq Djalil,Peradilan Agama Di Indonesia,h.202-203
31
sanggahan yang disangkal tergugat. Kemudian pada tahap duplik, tergugat dapat menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat.32
Tahap Replik Duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat memandang cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap pembuktian, penggugat dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang dimiliki untuk mendukung jawabannya ( sanggahan ), masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak lawannya.
Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulakan dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa.33
32
Ibid.,h.43
33
37 BAB III
PANDANGAN ISLAM TERHADAP LESBI A. Pengertian Lesbi dan Sejarahnya
Menurut Bahasa Lesbian berarti memiliki kelainan seksual yang sama. Sedangkan menurut istilah lesbi berarti ketertarikan seseorang untuk mengadakan hubungan seks dengan orang lain yang berjenis kelamin sama, dalam hal ini terkhusus perempuan dengan perempuan.1
Dalam Ensiklopedi Indonesia, lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan lain baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara sepiritual. Pada saat ini lesbian digunakan untuk menunjuk kaum gay wanita.2
Menurut Marzuki Umar Sa’abah dalambukunya yang berjudul Seks dan Kita menuturkan bahwa lesbi / homoseks adalah rasa tertarik dan mencintai sesama jenis. Untuk kaum pria dikenal sebagai kaum gay, sedangkan untuk kaum perempuan dikenal sebagai kaum lesbi.3 Dengan demikian mereka yang mempunyai kelainan seperti itu secara tidak sadar identitas diri mereka telah bertentangan dengan identitas social di suatu komunitas masyarakat.
1
Ali bin Abdul aziz Musa,Kekejian Perilaku Kaum Nabi Luth, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h.5
2
Hasan Sadhily.et. al.Ensiklopedi Indonesia,h.3059.
3
Hubungan sesama jenis baik lesbi maupun homoseks sebetulnya bukanlah hal yang baru ada didunia ini, karena sejak zaman Nabi Luth sekitar tahun 2245 SM kasus seperti ini sudah ada. Oleh sebab itu, lesbi / homoseks dalam istilah Arab dikenal dengan istilahLiwathyang dinisbatkan kepada perbuatan kaum Nabi Luth.4
Dalam bukunya Anang Zamroni dan Ma’ruf Ansori yang berjudulBimbingan
Seks Islami dijelaskan bahwa pada awalnya kaum Nabi Luth menyetubuhi wanita melalui duburnya, dan lama-kelamaan hal itu juga dilakukan terhadap kaum lelaki dan dikenal dengan istilah sodomi.5
Mereka didorong oleh hawa nafsu yang jahat untuk melakukan
perbuatan-perbuatan keji dan sangat dicela oleh tabi’at manusia dan tentu saja oleh agama. Perilaku keji tersebut adalah mengadakan hubungan kelamin dengan sesama jenis. Mereka secara terang-terangan mengadakan berbagai kemungkaran di setiap balai pertemuannya.
Kaum Luth yang sudah biasa mengerjakan hubungan kelamin sesama jenis, bergegas datang menghampiri tamu-tamu itu (para malaikat yang menyerupai pemuda tampan) untuk melaksanakan perbuatan yang keji, namun Nabi Luth berusaha untuk memalingkan kejahatan mereka dengan menawarkan puteri-puterinya dan gadis-gadis kaumnya untuk dinikahi, akan tetapi mereka tetap menolak.
4
Harun Nasution,Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992) h.581
5
39
Kota kediaman Luth, dalam Perjanjian Lama disebut sebagai kota Sodom. Karena berada di utara Laut Merah, kaum ini diketahui telah di-hancurkan sebagaimana termaktub dalam Al Quran. Kajian arkeologis mengungkapkan bahwa kota tersebut berada di wilayah Laut Mati yang terbentang memanjang di antara perbatasan Israel-Yordania.6
Dalam tafsir Al-Maraghi dijelaskan bahwa sesungguhnya Luth telah mengetahui bahwa kaumnya tidak mempunyai hasrat kepada wanita-wanita untuk mereka kawini, sehingga ketika Luth berusaha menawarkan puteri-puterinya untuk mereka nikahi, tetap saja mereka menolaknya karena tidak ada hasrat sedikitpun terhadap wanita. Yang menimbulkan hasrat dan birahi mereka justru sesama jenis bukan lawan jenis.7
Dalam kitab Lubab tafsir dari kitab Ibnu Katsir dijelaskan bahwa para malaikat berkata kepada Luth setelah mereka melihat kesusahan yang dilalui oleh
Luth karena perbuatan kaumnya. Malaikat berkata kepada Luth,” Sesungguhnya kami
adalah utusan-utusan tuhanmu, kami diutus untuk membinasakna mereka dan menyelamatkan kamu dari keburukan mereka. Oleh karena itu Luth diperintahkan untuk segera meninggalkan kampungnya bersama keluarganya untuk mencapai perbatasan kampung pada malam hari. Dari salah satu keluarganya, yaitu isteri Luth
6
Abufaiz99, “Kota Pompai yang dijungkirbalikkan” artikel di akses pada 10 Desember 2010 dari
http://google.com/2010/11/ Kot- Pompai-yang-dijungkirbalikkan.html.
7
sendiri cendrung ikut kepada kaumnya, karena ia merupakan seorang perempuan kafir dan pengkhianat maka turut binasa jugalah dia.
Dengan demikian, Allah memerintahkan Luth untuk meninggalkan kampungnya itu secepatnya, karena saat penyiksaan yang dijanjikan Allah kepada kaum Nabi Luth adalah pada waktu subuh, pada saat subuh itulah mereka telah berkumpul seluruhnya dirumah masing-masing, sehingga tidak akan ada seorang pun yang lolos. Saat itulah Allah menurunkan azab kepada mereka dengan cara menjungkir balik negerinya sehingga negeri itu hancur-lebur, lalu Allah menghujani mereka dengan hujan batu yang bercampur tanah secara bertubi-tubi.8
Pada dasarnya mereka itu tidak menikmati dan tidak pernah merasakan kenikmatan atas apa yang mereka lakukan, apalagi untuk kepuasan syahwat. Selain karena akal mereka telah rusak, dan hati mereka yang sakit, mereka juga selalu mendapat bisikan setan tentang hal-hal yang seolah-olah menyenangkan, padahal sesungguhnya hanyalah tipu daya belaka.9
Itulah gambaran kehancuran akan azab Allah yang diberikan kepada kaum Nabi Luth, dan merupakan sanksi yang setimpal dengan kedurhakaan mereka, karena mereka memutarbalikan fitrah, seharusnya pelampiasan syahwat dilakukan dengan lawan jenis bukan sesama jenis.
8
Quraisy Shihab,Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) vol.5 h.308
9
41
B. Dasar Larangan Lesbi Dalam Al-Quran dan Al-Hadis
Al-Quran dan al-Hadis dengan jelas dan gamblang menjelaskan bahwa Allah melarang dan mengharamkan perbuatan dan prilaku lesbi / homoseks dengan bentuk dan kondisi apapun. Ayat-ayat yang menyebutkan keharaman itu antara lain:10
1. Surat Al-A’raf ayat 80-81 yang berbunyi:
ð
) ﻑﺮﻋﻻﺍ : 81 -80 ( Artinya:"Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?"
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas".
(Q.S: al-A’raf ayat 80-81)
2. Surat as-Syua’ra ayat 165-166 yang berbunyi:
) ا ءاﺮﻌﺸﻟ : 165 -166 ( Artinya:"Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas". (as-Syua’ra ayat 165-166)
10
3. Surat Hud ayat 79-82 yang berbunyi:
<