• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI ALAT BUKTI SEBAGAI KEKUATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI ALAT BUKTI SEBAGAI KEKUATAN"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI ALAT BUKTI SEBAGAI

KEKUATAN PEMERIKSAAN GUGATAN

PERDATA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN

D

I

S

U

S

U

N

OLEH :

KELOMPOK III

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Manusia adalah mahluk sosial yang tidak terlepas dengan interaksi dengan sesama. Hubungan itu dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, antara lain dalam proses jual beli, hutang piutang, sewa menyewa, perkawinan, pewarisan dan lain sebagainya. Setiap manusia diciptakan dengan kehendak yang bebas dan oleh karena itu individu yang satu dengan yang lain pasti mempunyai keinginan yang berbeda-beda. Perbedaan kepentingan tersebut dapat menimbulkan suatu persoalan atau perselisihan yang berujung di pengadilan. Untuk menuntut hak-hak yang lahir dari hubungan tersebut diperlukan tata cara dan pengaturan agar penuntutan hak tersebut berjalan sesuai dengan hukum. Indonesia adalah negara hukum, demikian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai konsekuensi logis dari pengaturan tersebut, maka seluruh tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia harus berpedoman pada norma-norma hukum dalam hal ini berkaitan dengan hukum perdata. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur tentang segala peraturan tentang hubungan antar perorangan dalam masyarakat.

Setiap orang harus mengetahui peraturan hukum yang telah ditetapkan, tetapi dalam hubungan hukum yang telah terjadi mungkin timbul suatu keadaan di mana pihak yang satu tidak memenuhi kewajibannya terhadap pihak yang lainnya sehingga pihak lainnya merasa dirugikan haknya. Untuk mempertahankan haknya dan memenuhi kewajibannya orang tidak boleh bertindak semaunya saja, tidak boleh main hakim sendiri. Apabila para pihak yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikannya sendiri secara damai, dapat meminta bantuan kepada hakim. Cara menyelesaikan melalui hakim diatur dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata

(3)

onrechmatigdaad tersebut1. Inisiatif dari pihak yang berkepentingan untuk

mengajukan ke pengadilan memang sangat diperlukan supaya sengketa tersebut dapat diselesaikan. Tanpa adanya inisiatif dari pihak Penggugat, maka hakim tidak akan ikut campur atau tidak akan memeriksa, mengadili dan menyelesaikan sengketa tersebut. Dalam mengajukan gugatan, Penggugat sebelumnya harus mengetahui apakah Pengadilan Negeri dimana gugatan itu diajukan berwenang untuk memeriksa dan menyelesaikan gugatan tersebut seperti yang tercantum dalam Pasal 118 HIR / 142 Rbg. Gugatan tersebut akan diproses sesuai dengan prosedur yang ada, apabila Pengadilan Negeri dimana gugatan tersebut diajukan berwenang. Hakim dalam memeriksa gugatan akan mengumpulkan semua hasil pemeriksaan untuk menentukan hal-hal yang penting dan yang tidak penting. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, hakim akan berusaha menemukan peristiwanya. Hakim akan segera menjatuhkan putusannya sesuai dengan tuntutan dari penggugat, apabila hakim telah mengetahui peristiwa yang terjadi dan telah menemukan hukumnya.

Sebelum diadakan suatu vonis atau keputusan hakim, maka hakim berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak. Apabila usahanya gagal, maka hakim akan melakukan putusan berupa vonis dengan pertimbangan pemeriksaan alat bukti yang di miliki oleh tergugat dan tergugat. Namun banyak masyarakat indonesia yang belum paham bagaimana alat bukti yang lebih kuat di pengadilan. Mereka kerap hanya membawa saksi dari pihak masing-masing dan mempertahankan pendapatnya di depan hakim.

Pembuktian yang dilakukan hakim dalam mengadili perkara adalah untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihak-pihak yang berperkara. Tidak hanya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja yang dapat dibuktikan, akan tetapi adanya sesuatu hak yang dapat dibuktikan. Oleh karena itu, semua peristiwa yang menimbulkan hak harus dibuktikan oleh yang menuntun hak tersebut sedangkan peristiwa yang menghapuskan hak harus dibuktikan oleh pihak yang menyangkal hak tersebut2. Untuk itu hakim tidak

1 As’adi, Edi. 2012. Hukum acara perdata dalam perspektif Mediasi (ADR) di Indonesia.

(Yogyakarta : Graha Ilmu). Hal. 99.

2 Samudera, Teguh. 2004. Hukum Pembuktian dalam acara perdata. (Bandung : PT.

(4)

dapat menerima apa-apa yang telah dikemukakan oleh para pihak saja, tapi diperlukan adanya bukti-bukti yang cukup untuk hal tersebut, yang dalam hukum acara perdata dikenal dengan istilah pembuktian atau dikenal dengan beban pembuktian (Bewijlast Leer) yang ditemui dalam pasal 163 HIR atau 283 RBG 1865 KUHPerdata yang berbunyi : “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.

Dari uraian di atas dapat dilihat betapa pentingnya fungsi pembuktian dalam menyelesaikan sesuatu perkara perdata. Dapat dikatakan bahwa pembuktian ini akan menentukan jalannya pemeriksaan sesuatu perkara perdata di pengadilan. Oleh karena itu tim penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Alat Bukti Sebagai Kekuatan Pemeriksaan Perdata Di Pengadilan Negeri Medan”.

B. Rumusan masalah

Dalam Berdasarkan paparan yang di buat di dalam latar belakang, maka rumusan masalah adalah :

1. Bagaimanakah penggunaan alat-alat bukti pada perkara perdata di Pengadilan Negeri Medan?

2. Bagaimanakah pelaksanaan pemeriksaan setempat dalam penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri Medan?

3. Apakah kendala yang dihadapi pada pemeriksaan setempat terkait barang bukti yang di bawa kedua belah pihak dalam penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri Medan ?

I. KAJIAN TEORITIS A. Pengertian Pembuktian

(5)

peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta yang menjadi dasar bagi gugatan penggugat atau jawaban dari tergugat. Membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau peristiwa dalam suatu sengketa di pengadilan. Menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, membuktikan memiliki beberapa pengertian sebagai berikut3:

1. Membuktikan dalam arti logis, adalah pembuktian yang memberikan kepastian secara mutlak, karean berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti yang berlawanan. Dasar yang dianut dalam pembuktian logis adalah aksioma, aksioma dihubungkan menurut ketentuan-ketentuan logika dengan pengamatan yang diperleh dari pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan yang memberikan kepastian yang mutlak.

2. Membuktikan dalam arti konvensionil, adalah pembuktian yang memberikan kepastian tetapi tidak secara mutlak, melainkan kepastian yang relative. Kepastian relative ada 2 tipe, yakni:

a. Convection intime yaitu kepastian yang didasarkan atas perasaan yang bersifat intuisi.

b. Convection raisonnee yaitu kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal.

3. Membuktikan dalam arti yuridis, berarti memberikan dasar yang memadai bagi hakim yang memeriksa suatu perkara untuk membuat kepastian tentang kebenaran dalil atau peristiwa yang diajukan.

Supomo4 menerangkan bahwa pembuktian mempunyai arti luas dan arti

terbatas. Di dalam arti luas membuktikan berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Di dalam arti yang terbatas membuktikan hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apabila yang tidak dibantah itu tidak perlu dibuktikan. Kebenaran dari apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan Selanjutnya Menurut Agustiningsih5, Pembuktian adalah salah satu cara untuk dapat mengetahui

3 Nasir, Muhammad. 2005.Hukum Acara Perdata. (Jakarta: Djamban), Hal. 139.

4 Soeikromo, Deasy. 2014. Proses Pembuktian Dan Penggunaan Alat-Alat Bukti Pada

Perkara Perdata Di Pengadilan. Vol.II/No.1/Januari-Maret /2014. Hal. 126

(6)

kebenaran suatu peristiwa berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan. Hal-hal yang harus dibuktikan hanyalah Hal-hal-Hal-hal yang menjadi perselisihan (peristiwanya), yaitu segala apa yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi disangkal oleh pihak lain. jadi, pembuktian tersebut sangat penting dalam suatu pemeriksaan untuk memberikan pertimbangan kepada hakim dalam menjatuhkan sebuah keputusan. Tujuan Pembuktian bermakna memberikan kepastian kepada hakim terhadap dalil atau peristiwa tertentu yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perkara. Selanjutnya hakim akan menggunakan dalil dan peristiwa tersebut untuk dikostatir, diakualifisir, dan dikonstitutir, sehingga menjadi dasar putusan yang akan dijatuhkan.

Bila dipandang dari segi praktik dalam berusaha untuk mencapai kebenaran melalui pembuktian tersebut, maka pembuktian itu pada dasarnya dapat dibagikan dan dibedakan melalui suatu badan formal yang melukiskannya seperti berikut6:

Kebenaran yang dituju Pembuktian formal Pembuktian materiil Pembuktian

Sifat halnya Pembuktian positif Pembuktian negatif

Penjelasan :

a. Pembuktian formal ialah pembuktian yang bertujuan untuk dapat mewujudkan kebenaran formal dari dalil-dalil yang diajukan.

b. Pembuktian materiil ialah pembuktian yang bertujuan untuk dapat mewujudkan kebenaran materiil dan dalil-dalil yang diajukan.

6 Halim, A. Ridwan. (2005). Hukum Acara Perdata dalam Tanya Jawab. (Bogor : Penerbit

(7)

c. Pembuktian positif ialah pembuktian yang dilaksanakan untuk membuktikan sesuatu yang bersifat positif atau ada.

d. Pembuktian negatif ialah pembuktian yang dilaksanakan untuk membuktikan sesuatu yang bersifat negatif atau tidak ada (ketiadaan). Selain itu, pembuktian dilakukan dengan alat-alat bukti yang dapat di bandingkan alat bukti dalam hukum acara perdata dengan alat bukti hukum acara pidana sebagai berikut7.

Pasal 295 HIR Pasal 184 KUHAP

Tulisan/ surat Dengan demikian menurut kelompok kami pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh kedua belah pihak yang bersengketa kepada hakim untuk memperkuat kebenaran pendapat mereka sehingga hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.

B. Hukum Pembuktian

Menurut Abdurrachman8 Hukum pembuktian merupakan bagian daripada

Hukum Acara dan memuat selain autran-aturan tata tertib cara bagaimana kedua pihak berperkara harus bertindak dalam saling tukar menukar konklusi/kesimpulan dan mengajukan bahan-bahan bukti untuk menguatkan kebenaran pendiriannya masing-masing memuat juga aturan-aturan cara bagaimana hakim harus bertindak dalam meneliti apakah hubungan hukum yang

7 Sugeng, Bambang. 2012. Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh

Dokumen Litigasi. (Jakarta : Kencana Prenada). hal. 64

(8)

diperselisihkan kedua pihak dalam perkara itu berdasarkan dalil-dalil dan bahan-bahan bukti yang mereka ajukan benar-benar ada atau tidak untuk kemudian dapat menetapkan pihak manakah yang dianggap berhasil dalam membuktikan kebenaran pendiriannya. Dari keterangan tersebut diatas nyatalah, bahwa “pembuktian” semata-mata merupakan tugas hakim/Pengadilan dan pembuktian hanya diperlukan apabila ada perselisihan pendirian antara kedua pihak berperkara di muka hakim.

Selain itu Effendie dkk menyatakan bahwa hukum pembuktian ialah hukum yang mengatur tentang macam-macam alat bukti yang sah, syarat-syarat dan tata cara mengajukan alat bukti dan kewenangan hakim untk menolak serta menilai hasil pembuktian9. Hukum pembuktian yang terdapat dalam Buku IV

KUHPerdata disusun khusus untuk acara contradictoir dalam bidang hukum harta kekayaan di hadapan hakim perdata. Untuk acara declaratoir atau peradilan volunteer pada dasarnya tidak berlaku hukum pembuktian dari Buku IV KUHPerdata, melainkan diperiksa secara analogis. Hukum pembuktian terdapat dalam10:

1. HIR/RBg, yang belaku untuk pulau Jawa dan Madura.

2. RDS atau reglemen daerah seberang, yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura.

3. Buku IV BW yang berjudul pembuktian dan kadaluwarsa.

4. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan pembuktian khusus.

Sistem hukum pembuktian yang dianut di Indonesia adalah sistem tertutup dan terbatas dimana para pihak tidak bebas mengajukan jenis atau bentuk alat bukti dalam proses penyelesaian perkara11. Undang-undang telah menentukan

secara tegas apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti. Pembatasan kebebasan juga berlaku bagi hakim dimana hakim tidak bebas dan leluasa menerima apa saja yang diajukan para pihak sebagai alat bukti. Apabila pihak yang berperkara mengajukan alat bukti diluar ketentuan yang ada didalam

9 Effendie, Bachtiar, dkk. 2009. Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian dalam Perkara

Perdata. (Bandung : Citra Aditya Bakti). Hal. 49.

10 Nasir, Muhammad. 2005.Hukum Acara Perdata. (Jakarta: Djamban), Hal.140.

(9)

undang-undang yang mengatur, hakim harus menolak dan mengesampingkanya dalam penyelesaian perkara.

C. Penilaian Pembuktian

Secara umum, hakim bebas untuk melakukan penilaian pembuktian, sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya. Jadi pembuktian yang merupakan penilaian terhadap kenyataan yang bersifat judex factie adalah hakim. Dengan demikian bila perkara tersebut nantinya diteruskan ke kasasi, maka MA tidak perlu melakukan penilaian pembuktian yang telah pernah. Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, Hakim bebas untuk menilai pembuktian. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang dapat mengikat Hakim pada alat-alat bukti tertentu (misalnya alat bukti surat), sehingga Hakim tidak bebas menilainya. Salah satu contohnya adalah alat bukti surat yang mempunyai kekuatan pembuktian mengikat bagi Hakim maupun para pihak. Sebaliknya, pembentuk undang-undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan pada Hakim dalam menilai pembuktian terhadap alat bukti, misalnya keterangan saksi yang mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, artinya 31 diserahkan pada Hakim untuk menilai pembuktiannya, Hakim boleh terikat atau tidak pada keterangan yang diberikan oleh saksi12.

Ada tiga teori yang lazim digunakan dalam menentukan keterikatan hakim dan para pihak terhadap UU dalam membuktikan suatu peristiwa di persidangan yaitu13:

1. Teori pembuktian bebas, dimana adanya kebebas bagi hakim tanpa adanya ketentuan-ketentuan tertentu yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian tergantung kepada seberapa dapat alat bukti yang diserahkan kepada hakim tersebut.

2. Teori pembuktian negatif, artinya ketenuan ini harus membatasi pada larangan terhadap hakim dalam melakukan sesuatu yang berkaitan dengan pembuktian. Dengan kata lain, hakim di sini dilarang dengan pengecualian (Pasal 169 HIR, 306 RBg, dan 1905 KUHPerdata).

12 Efa Laela Fakhriah, 2013. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata. Cetakan

ke-2 (Bandung: PT Alumni), hal. 40.

(10)

3. Teori pembuktian positif, teori ini menekankan pada perlunya perintah terhadap hakim, di samping ada larangan. Di sini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (Pasal 165 HIR, 285 RBg, 360 RBg, dan 1870 KUHPerdata).

D. Beban Pembuktian

Pada Pasal 163 HIR dan Pasal 283 RBg memberikan pedoman tentang pembagian beban pembuktian. Dalam hal ini dijelaskan bahwa barangsiapa yang mengaku memiliki suatu hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

Pembagian beban pembuktian merupakan tugas Hakim/Pengadilan semata-mata, artinya bahwa Hakimlah yang akan menentukan apa yang harus dibuktikan dan pihak mana yang akan memikul risiko beban pembuktian, maka oleh karena itu Hakim harus bertindak adil dan menjaga adanya keseimbangan dalam memberi beban untuk membuktikan, artinya bahwa Hakim dalam memberi beban pembuktian tidak boleh berat sebelah. Untuk itu maka Hukum Pembuktian telah menentukan, barang siapa mengaku mempunyai hak atau mengajukan suatu peristiwa untuk menguatkan pengakuan haknya atau untuk membantah haknya orang lain, maka orang itu harus membuktikan kebenaran haknya atau peristiwa yang diajukannya (pasal 163 R.I.B./pasal 283 R.D.S.) dengan alasan, bahwa orang yang mengemukakan sesuatu hal akan lebih mudah dapat membuktikan hal itu daripada orang lain. Dalam hal pembuktian, hukum materiil sendiri tidak jarang sudah menetapkan suatu beban pembuktian, sepertinya14:

1. Pasal 1244 B.W. yang membebankan pembuktian kepada pihak debitur adanya keadaany yang memaksa.

2. Pasal 1365 B.W. yang membebankan pembuktian kepada sipenuntut ganti rugi yang disebabkan suatu perbuatan melanggar hukum, adanya kesalahan.

3. Pasal 1394 B.W. yang berbunyi: “siapa yang menunjukkan tiga kwitansi terakhir berturut-turut dianggap telah membayar semua cicilan sebelumnya”.

4. Pasal 1977 B.W. yang berbunyi: “barang siapa yang menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemiliknya”.

(11)

Ada beberapa ketentuan khusus mengenai beban pembuktian, selain Pasal 163 HIR dan 283 RBg yakni Pasal 533 BW, 535 BW, dan 1244 KUHPerdata. Menurut Prof.Sudikno Mertokusumo15, mengumakan lima teori pembebanan

pembuktian yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim dalam melakukan hukum pembuktian di pengadilan, yaitu:

1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan

Dasar pertimbangan teori adalah bahwa sesuatu hal yang negatif tidak mungkin untuk dibuktikan (negative non sunt probanda). Peristiwa negative tidak dapat menjadi dasar untuk suatu hak, meskipun pembuktiannya dimungkinkan, sehingga tidak dapat dibebankan kepada seseorang.

2. Teori pembuktian subyektif

Suatu proses perdata bertujuan untuk mempertahankan hukum subyektif. Barang siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak, maka ia harus membuktikannya. Dalam praktik, teori sering menimbulkan ketidak-adilan, meskipun hal ini dapat diatasi dengan memberikan kelonggoran kepada hakim untuk mengadakan pengadilan pembabasan pembuktian.

3. Teori hukum obyektif

Seorang penggugat yang mengajukan suatu gugatan berarti ia telah meminta kepada hakim agar menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu, penggugat harus membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan tersebut. Selanjutnya hakim akan mencari hukum objektif untuk diterapkan pada peristiwa tersebut. Kelemahan teori ini adalah tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh UU, sehingga teori ini cenderung bersifat formalitas.

4. Teori hukum publik

Upaya mencari keadilan suatu peristiwa di pengadilan merupakan kepantingan public. Oleh karena itu, hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran tersebut. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang bersifat hukum publik yaitu untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini tentunyaharus disertai dengan sanksi pidana.

5. Teori hukum acara

(12)

Menutur teori ini, hakim harus membagikan beban pembuktian berdasarkan kesamaan kkedudukan pihak. Oleh karena itu, hakim harus membagi beban pembuktian para pihak secara seimbang dan patut.

E. Alat-alat Bukti

Pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses perkara, karena dari hasil pembuktian dapat diketahui benar atau tidaknya suatu gugatan atau bantahan. Ahli hukum Subekti berpendapat tentang rumusan bukti dan alat bukti yakni16 Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil

atau pendirian. Alat bukti, alat pembuktian, upaya pembuktian adalah alat yang dipergunakan untuk membuktikan dalil-dalil suatu pihak di pengadilan, misalnya: bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah dan lain-lain. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Ahli Hukum Pidana, Andi Hamzah yang memberikan batasan pengertian yang hampir sama tentang bukti dan alat bukti yaitu sebagai berikut17:

Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan. Alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil, atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah.

Jadi alat-alat bukti adalah bahan-bahan atau macam-macam yang dipakai untuk pembuktian dalam suatu perkara perdata di depan persidangan pengadilan. Pada acara perdata, Hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa dalam pengambilan keputusan, Hakim harus tunduk dan berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang saja yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR/ 284 RBg dan 1866 KUHPerdata. Di luar Pasal 164 HIR/284 RBg, terdapat alat bukti yang dapat dipergunakan untuk mengungkap kebenaran terjadinya suatu peristiwa yang menjadi sengketa, yaitu pemeriksaan setempat (descente) sebagaimana diatur dalam Pasal 153 HIR/180 RBg dan keterangan ahli (expertise) yang diatur dalam Pasal 154 HIR/181 RBg. Alat bukti

(13)

atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai evidence, adalah informasi yang digunakan untuk menetapkan kebenaran fakta-fakta hukum dalam suatu penyelidikan atau persidangan. Paton dalam bukunya yang berjudul A Textbook of Jurisprudence, seperti yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo menyebutkan, bahwa alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau material. Alat bukti yang bersifat oral, merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang dalam persidangan. Alat bukti yang bersifat documentary, meliputi alat bukti surat atau alat bukti tertulis. Alat bukti yang bersifat material, meliputi alat bukti berupa barang selain dokumen18.

1. Bukti Tertulis (Surat)

Pada asasnya, dalam persoalan perdata alat bukti berbentuk tlisan merupakan alat bukti yang diutamakan atau alat bukti yang nomor satu dibandingkan dengan alat bukti lainnya. Alat bukti dengan bentuk tertulis yang disebut dengan surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksud untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian19. Alat bukti surat ini bahannya

biasanya terbuat dari kertas, karton, kain dan huruf yang digunakan bisa latin, cina, arab, kanji, sansekerta. Alat bukti surat sering disebut dengan akta dan hal ini diatur dalam Pasal 138 dan 165 – 176 HIR, Pasal 285 – 305 RBg, Pasal 1867 – 1894 KUHPerdata, Pasal 138 – 147 Rv, serta Ordonansi 1867 Nomor 29 mengenai ketentuan-ketentuan tentang kekuatan pembuktian daripada tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka. Pada praktiknya, alat bukti surat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Akta Otentik

Menurut Pasal 286 RBg/165 HIR akta Otentik adalah suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang

18 Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi enam (Yogyakarta:

Liberty). hal. 120.

19 Samudera, Teguh. 2004. Hukum Pembuktian dalam acara perdata. (Bandung : PT.

(14)

cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja tetapi yang tersebut kemudian hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut” Pejabat publik yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk membuat Akta Otentik, antara lain notaris, pegawai catatan sipil, panitera pengadilan, dan juru sita. Di dalam melakukan pekerjaannya, pejabat publik yang bersangkutan terikat pada syarat dan ketentuan undang-undang sehingga merupakan jaminan untuk mempercayai keabsahan hasil pekerjaannya. Akta Otentik dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu akta ambtelijk dan akta partij

(partai) yakni20 :

Akta ambtelijk adalah akta otentik yang dibuat oleh pejabat publik yang diberi wewenang untuk itu, dimana dia menerangkan apa yang dilihat, didengar, dan dilakukannya. Contoh: akta catatan sipil, akta protes pada wesel, akta sertifikat kelulusan jenjang pendidikan negeri. Akta partai adalah akta yang dibuat di hadapan pejabat publik, yang menerangkan apa yang dilihat, didengar, dan dilakukannya dan pihak-pihak yang berkepentingan mengakui keterangan dalam akta tersebut dengan membubuhkan tanda tangan mereka. Contohnya: akta jual beli tanah di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang sering di pakai sebagai sertifikat tanah yang diterbitkan oleh kantor pemerintahan kabupaten/kota setempat yang berwewenang untuk menandatangani sertifikat21,

akta pernikahan, dan akta pendirian perseroan terbatas. b. Akta dibawah tangan

Akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa pejabat umum. Misalnya kuitansi dan perjanjian

20 Abdulkadir, Muhammad. 2008. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra

Aditya Bakti). hal. 132.

(15)

sewa menyewa. Pengertian akta bawah tangan adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1874 KUHPerdata, Pasal 286 RBg. Menurut pasal tersebut, akta dibawah tangan22:

- Tulisan atau akta yang ditandatangani di bawah tangan;

- Tidak dibuat dan ditandatangani di hadapan pejabat yang berwenang (pejabat umum), tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak; - Secara khusus ada akta bawah tangan yang bersifat partai yang dibuat

oleh paling sedikit dua pihak. c. Surat bukan akta

Surat bukan akta ialah setiap surat yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Walaupun tulisan atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja di buat oleh yang bersangkutan, tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk alat bukti dikemudian hari. Misalnya register-register dan surat rumah tangga.

2. Bukti Saksi

Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139 – 152 dan Pasal 162 – 172 HIR, Pasal 165 – 179 dan Pasal 306 – 309 RBg, serta Pasal 1895 dan Pasal 1902 – 1908 KUHPerdata. Tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta. Bahwa pembuktian dengan saksi dalam perkara perdata di muka hakim diperkenankan dapat disimpulkan dari ketentuan dalam pasal 139 (1) R.I.B yang berbunyi:

“Jika penggugat atau tergugat akan menguatkan kebenarannya dengan saksi-saksi, akan tetapi saksi-saksi tidak dapat dibawa menurut pasal 121 R.I.B /pasal 145 R.D.S karena mereka tidak amu menghadap atau oleh sebab lain, maka pengadilan menentukan hari siding kemudian untuk memeriksa saksi itu dengan memerintahkan seorang pejabat yang berwenang untuk memanggil saksi tersebut supaya menghadap pada hari yang ditentukan”

Pada azasnya pembuktian dengan saksi baru diperlukan apabila bukti dengan surat (tertulis) tidak ada (kurang lengkap) untuk mendukung dan

22 Asikin, Zainal. 2015. Hukum Acara Perdata Di Indonesia. (Jakarta : Prenadamedia

(16)

menguatkan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar pendiriannya para pihak berperkara masing-masing. Saksi-saksi itu ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan kebenarannya di muka hakim, tetapi ada pula saksi-saksi yang sengaja diminta untuk datang menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang dilangsungkan, seperti: saksi diminta datang untuk menyaksikan akad nikah atau pembagian warisan dan sebagainya23.

3. Bukti Persangkaan

Persangkaan ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah ada dan terbukti kenyataannya ke arah suatu peristiwa lain yang belum ada dan belum terbukti kenyatannya misalnya: Dalam suatu gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan “perzinahan” biasanya sukar sekali pembuktiannya, karena pada umumnya tidak mudah, bahkan tidak mungkin untuk mendapatkan saksi yang melihat sendiri perbuatan zinah itu. Untuk dapat membuktikan peristiwa perzinahan seperti tersebut di atas perlu sekali hakim menggunakan alat bukti “persangkaan”. Menurut yurisprudensi yang sudah tetap, maka apabila sudah dapat “dibuktikan” kenyatannya, bahwa adanya dua orang pria dan wanita, yang bukan merupakan suami istri telah bersama-sama menginap dalam satu kamar tidur, di mana hanya terdapat satu tempat tidur saja, sudah terdapat “persangkaan” (kesimpulan yang ditarik dari peristiwa tersebut di atas, yang sudah terbukti kenyataannya), bahwa mereka melakukan perzinahan. Cara pembuktian yang sedemikian itu merupakan cara pembuktian yang ‘tidak langsung” artinya cara pembuktian yang harus melalui perantaranya pembuktian kenyataannya peristiwa-peristiwa lain. Dan yang berhak menarik kesimpulan tersebut hingga terdapatnya “persangkaan” hanyalah hakim atau undang-undang24.

4. Bukti Pengakuan

Dimasukkannya “pengakuan” dalam golongan alat-alat bukti menimbulkan berbagai pendapat dikalangan para ahli hukum. Ada yang

(17)

berpendapat dikalangan para ahli hukum. Ada yang berpendapat, bahwa sebenarnya tidak tepatlah untuk memasukkan “pengakuan” dalam golongan alat-alat bukti, karena justru apabila dalil-dalil yang dikemukakan oleh satu pihak diakui kebenaranoleh pihak lawan, maka yang mengemukakan dalil-dalilnya, atau dalam kata-kata lain ia dibebaskan dari pembuktian (Prof. R. Subekti,S.H dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pembuktian”). Di samping itu ada pula yang berpendapat, bahwa sudah tepatlah “pengakuan” dimasukkan dalam golongan alat-alat bukti, karena menurut suatu pernyataan oleh salah satu pihak yang berperkara dalam proses, suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), sehingga dengan demikian pengucapan pengakuan itu di muka hakimmerupakan suatu perbuatan hukum(rechtshadeling), suatu perbuatan hukum yang menentukan secara mutlak (beschikkingshandeling) dan oleh sebab itu maka mereka berpendapat bahwa “pengakuan” yang diucapkan di muka hakimmerupakan alat bukti yang menentukan dan hanya berlaku terhadap hal-hal yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang mengakui, misalnya :terhadap hak-hak kebendaan (vermogensrechtrn) yang dimiliki sendiri atau yang perbuatan yang dilakukan sendiri olehnya (Prof.Scholten dan Land Enggens)25.

5. Bukti Sumpah

Dalam rangkaian alat-alat bukti yang tercantum dalam pasal 164 R.I.B/pasal 284 R.D.S. maka “sumpah” merupakan alat bukti yang kelima. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama dalam perkara perdata “sumpah” yang diucapkan oleh salah satu pihak berperkara dipakai juga sebagai alat pembuktian. Dalam hukum acara perdata kita jumpai adanya dua macam sumpah, yaitu26:

a) Sumpah tambahan/penambah (suppletoire eed) diatur dalam pasal 155 R.I.B/pasal 182 R.D.S. merupakan suatu “sumpah” yang diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak berperkara dalam keadaan Apabila kebenaran tuntutan penggugat atau kebenaran bantahan/penyangkalan yang diajukan oleh tergugat terhadap tuntutan penggugat belum cukup

(18)

terbukti menurut hukum, tetapi sebaliknya tidak juga sepi dari adanya bukti-bukti, artinya sudah ada sedikit bukti sebagai bukti permulaan (begin vanbewijs) dan sama sekali tidak ada jalan untuk menguatkannya dengan alat bukti lain, maka hakim karena jabatannya (ambtshalve), dapat memerintahkan salah satu pihak berperkara bersumpah dihadapannya sebagai bukti tambahan, sehingga atas dasar sumpah tambahan tersebut perkaranya dapat diputus atau dapat ditentukan jumlah uang yangdikabulkan. Tentang penilaian kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang sudah ada dan penentuannya sebagai permulaan pembuktian termasuk wewenangya hakim pun siapa dari kedua pihak berperkara yang akan diperintahkan untuk melakukan sumpah tambahan termasuk wewenang dan kebijaksanaannya hakim yang memeriksa perkara itu.

b) Sumpah pemutus/penentu (litis deciore eed) yang diatur dalam pasal 156 R.I.B/pasal 183 R.D.S. merupakan sumpah yang dibebankan oleh pihak yang satu kepada pihak lawan untuk menggantungkanpenyelesaian perkaranya. “Sumpah pemutus/penentu” dapat dibebankan kepada pihak lawan mengenal segala persengketaan dan pada setiap waktu selama pemeriksaan perkara itu di pengadilan, jadi dapat dibebankan pada waktu permulaan perkara itu diperiksa oleh pengadilan, atau pada waktu saling tukar menukar kesimpulan/konklusi, bahkan dapat juga pada waktu perkara akan diputus. Menurut kebiasaannya “sumpah pemutus” dibebankan oelh pihak yang berkewajiban membuktikan kebenaran dalil-dalilnya, tetapi tidak mempunyai alat bukti apapun, kepada pihak lawan. Isi “sumpah pemutus” dirumuskan sendiri oleh pihak yang hendak membebankannya dan harus memuat perbuatan yang dilakukannya sendiri oleh pihak yang dibebani sumpah itu dan harus meliputi seluruh peristiwa yang menjadi perselisihan/sengketa dalam perkara itu sehingga sumpah tersebut dapat menyelesaikan perkaranya secara tuntas (litis decisoire eed).

(19)

kekuataanya (nilainya) sebagai alat bukti. Menurut Rasaid27, dalam praktek masih

ada satu macam bukti lain yang sering dipergunakan, yaitu pengetahuan Hakim, adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh Hakim dalam sidang, misalnya Hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat.

F. Pemeriksaan Perdata

Pemeriksaan perdata dalam sidang, menurut ketentuan sistem reglemen Indonesia berjalan secara lisan. Hakim mendengar kedua belah pihak, dan kedua pihak tersebut memajukan segala sesuatu secara lisan, sedangkan panitera pengadilan mencatan segala pemerikasaan dalam sutu catatan sidang (procesverbaal). Menurut pasal 132 Reglemen Indonesia, Hakim akan memberikan penerangan selayaknya kepada kedua belah pihak dan akan memperingatkan mereka tentang syarat-syarat hukum dan alat-alat bukti yang dipergunakannya. Diantara tindakan hakim dalam pemeriksaan perkara, yang penting ialah pemanggilan dan pendengaran saksi. Untuk tahapan dalam pemeriksaan perdata akan dijelaskan dalam bagan berikut28.

27 Rasaid, M. Nur. 2005. Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Sinar Grafika). hal. 37

28 Arto, H.A.Mukti. 2000. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama.

(20)

Bagan Tahap-Tahap Pemeriksaan Perdata

I II

III IV

V

VI

VII

Majelis Hukum

Upaya Damai

Tergugat

Penggugat

Pembedaan

Gugatan

Jawaban

Tergugat

Replik

Duplik

Pembuktian Dari

Penggugat & Tergugat

Kesimpulan Oleh

Penggugat & Tergugat

(21)

Keterangan :

1. Pada siding upaya perdamaian maka inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim, penggugat atapun tergugat. Hakim harus secara aktif dan sungguh-sungguh untuk mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya damai tidak berhasil, maka siding dapat dilanjutkan ke tahap pembacaan gugatan.

2. Pada tahap pembacaan gugatan, maka pihak penggugat berhak meneliti ulang apakah seluruh materi (dalil gugat dan petitum) sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam surat gugat itulah yang menjai acuan (obyek) pemeriksaan dan pemeriksaan tidak boleh keluar dari ruang lingkup yang memuat dalam surat gugatan.

3. Pada tahap jawaban ini, pihak tergugat diberi kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat melalui hakim.

4. Pada tahap replik, penggugat dapat menegaskan kembali gugatannya yang disangkal oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas serangan-serangan oleh tergugat.

5. Pada tahap duplik, maka tergugat dapat menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat. Replik dan duplik dapat diulang-ulang sehingga hakim memandang cukup untuk itu yang kemudian dilanjutkan dengan pembuktian.

6. Pada tahap pembuktian, maka penggugat mengajukan semua alat-alat bukti untuk mendukung dalil-dalil gugat. Demikian pula tergugat juga mendukung jawabannya (sanggahannya). Masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak lawannya.

7. Pada tahap kesimpulan, maka masing-masing pihak (penggugat dan tergugat) mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan.

8. Pada tahap putusan, maka hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara itu dan menyimpulkannya dalam amar putusan. Putusan hakim untuk mengakhiri sengketa.

(22)

Data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung oleh peneliti sebagai sumber pertamanya, melalui prosedur dan teknik pengambilan data berupa wawancara di Pengadilan Negeri medan. Yang menjadi responden dalam wawancara ini adalah Didik Setyo Handono, S.H, M.H yang merupakan hakim Penitera muda bagian Perdata. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka, literatur terkait, jurnal dan internet. Hasil penelitian yang diperoleh oleh kelompok kami dimana lokasi penelitian berada di Pengadilan Negeri Medan Jln. Pengadilan No. 8 Medan Petisah pada tanggal 1 Maret 2016. Hasil perolehan data yang kami peroleh adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana menurut Bapak mengenai prinsip hukum acara perdata, siapa yang mengajukan dalilnya maka dia harus membuktikan dalilnya dengan membawa alat bukti dan pembuktian ke pengadilan?

Jawaban: Iya, itu terdapat dalam ketentuan pasal 1865 KUHPerdata yang berbunyi “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Jadi dalam hal pengajuan dalil, maka penggugat harus membuktikan dalilnya tersebut dengan membawa bukti-bukti.

2. Apakah ada penggugat yang hanya mengucapkan dalilnya saja tanpa membawa alat bukti yang valid?

Jawaban: Tidak ada, karena semuanya harus mengajukan bukti. Sama seperti yang dikemukakan di atas harus berpedoman kepada pasal 1865 KUHPerdata.

3. Dalam suatu perkara gugatan, bukti seperti apakah yang paling inti atau kuat dalam suatu persidangan?

(23)

dengan si penggugat, kalau ada maka yang jadi saksi tersebut tidak akan diperbolehkan, terkecuali bila dia memaksa maka akan diberi keterangan. Hal ini dikhawatirkan akan memberikan kesaksian palsu yang lebih mendukung keluarganya. Dan keterangan saksi tanpa sumpah itu tidak memiliki kekuatan pembuktian yang mutlak dan hanya menambah bukti semata.

4. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses pemeriksaan perdata dalam perkara perdata?

Jawaban: Waktu yang dibutuhkan dalam proses persidangan itu dilihat dari lokasinya, jika lokasinya berada di Medan maka waktunya maksimal 1 minggu, sedangkan bagi daerah di luar Medan itu maksimal 3 minggu. Hal ini dikarenakan pemberian waktu untuk lokasi si penggugat dan si tergugat.

5. Bagaimana jika seorang tergugat/penggugat tidak menghadiri suatu persidangan?

Jawaban: Bagi si penggugat yang tidak menghadiri persidangan sebanyak dua kali, maka gugatan tersebut akan gugur. Sedangkan bagi yang tergugat apabila tidak memenuhi panggilan sebanyak dua kali, maka ia akan ditinggal dan dianggap mengabaikannya serta kemenangan akan mutlak pada penggugat. Dan apabila kedua belah pihak hadir, maka akan dilakukan mediasi (pendamaian), maka kalau tidak bisa didamaikan maka akan berlanjut pada proses seperti pembacaan gugatan, jawaban, pembuktian oleh kedua belah pihak serta kesimpulan berupa putusan hakim. Dan tenggang waktunya 5 bulan untuk persidangan tersebut.

6. Dari sekian banyaknya orang yang berperkara, apakah ada yang berakhir dengan cara mediasi (pendamaian) tersebut?

(24)

gugatannya tersebut. Dalam pencabutan gugatan apabila belum sampai pada jawaban oleh tergugat maka boleh langsung dicabut gugatannya. Tetapi, apabila telah sampai pada tahap jawaban diterima oleh tergugat, maka penggugat harus mendapatkan izin dari tergugat.

7. Bagaimanakah cara melihat bahwa suatu bukti yang diajukan dalam persidangan itu palsu?

Jawaban: Itu dapat dilihat sepanjang ada aslinya bukti tersebut, dan apabila tidak ada yang menyatakan bahwa bukti itu palsu maka kita dapat mempercayai bukti tersebut. Dan kalaupun ada bukti yang diduga kuat palsu, maka harus dibuktikan kebenarannya.

8. Berapa jumlah minimal alat bukti yang harus dibawa dalam persidangan? Jawaban: Minimal bukti yang harus dibawa dalam persidangan ialah

surat-surat asli dan saksi yang telah di ambil sumpahnya. Dalam pengambilan sumpah tersebut harus diperhatikan pula dengan ikatan kekerabatan dengan yang bersengketa.

9. Berapakah batasan umur bagi orang yang akan dijadikan sebagai saksi yang dapat disumpah?

Jawaban: Adapun batasan umur bagi saksi yang akan disumpah itu minimal genap berumur 15 tahun, dalam keadaan sehat baik itu jasmani dan rohaninya.

10. Apakah kendala yang dihadapi pada pemeriksaan dalam persidangan perkara perdata di Pengadilan Negeri Medan ini?

Jawaban: Kendala yang sering dihadapi itu ialah dari pihak pengunjung yang tidak disiplin waktu menghadiri persidangan, karena sering membuat para hakim terganggu dan hilang konsentrasinya dalam memutus perkara tersebut. Sedangkan kendala dari pihak penggugat/tergugat ialah ketidakpahaman mereka terhadap apa yang disampaikan oleh hakim.

11. Perkara dalam Perdata apasaja yang paling sering diajukan ke Pengadilan Negeri Medan?

(25)

dilakukan di Pengadilan Agama dan pada agama non Islam yaitu Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan Konghuchu.

2. Analisis Hasil Penelitian

Pembuktian merupakan tahap yang khas dan menentukan pemenang perkara dalam sengketa Perdata. Dalam acara pembuktian, para pihak mengajukan peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta yang menjadi dasar bagi gugatan penggugat atau jawaban dari tergugat. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dari narasumber, pada pembuktian dalil oleh penggugat seperti yang terdapat dalam ketentuan pasal 1865 KUHPerdata yang berbunyi “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut” telah terlaksana dengan baik di Pengadilan Negeri Medan. Hal ini dapat dilihat tidak adanya penggugat yang tidak membawa barang bukti ke pengadilan saat membuat gugatan. Dalam pembuktian tersebut alat bukti yang paling kuat adalah alat bukti tertulis yang asli dan saksi. Saksi yang diutamakan adalah saksi yang memiliki keahlian khusus sesuai dengan sengketa serta tersebut harus membuat sumpah sebelum di dengar pernyataannya dan dipertimbangkan oleh hakim. Berdasarkan kajian teori tentang sumpah, pernyataan dari narasumber bahwa sumpah bukanlah alat bukti melainkan pendamping dalam persangkaan. Setiap orang yang jadi saksi itu disumpah dan dilihat apakah dia ada hubungan kerabat dengan si penggugat, kalau ada maka yang jadi saksi tersebut tidak akan diperbolehkan, terkecuali bila dia memaksa maka akan diberi keterangan tetapi hanya sebagai bahan pertimbangan hakim. Hal ini dikhawatirkan akan memberikan kesaksian palsu yang lebih mendukung keluarganya. Dan keterangan saksi tanpa sumpah itu tidak memiliki kekuatan pembuktian yang mutlak dan hanya menambah bukti semata.

(26)

waktu untuk lokasi si penggugat dan si tergugat. Bagi si penggugat yang tidak menghadiri persidangan sebanyak dua kali, maka gugatan tersebut akan gugur. Sedangkan bagi yang tergugat apabila tidak memenuhi panggilan sebanyak dua kali, maka ia akan ditinggal dan dianggap mengabaikannya serta kemenangan akan mutlak pada penggugat. Dan apabila kedua belah pihak hadir, maka akan dilakukan mediasi (pendamaian), maka kalau tidak bisa didamaikan maka akan berlanjut pada proses seperti pembacaan gugatan, jawaban, pembuktian oleh kedua belah pihak serta kesimpulan berupa putusan hakim. Dan tenggang waktunya 5 bulan untuk persidangan tersebut.

Dalam hal pendamaian (meditasi) Akan tetapi tidak banyak atau sangat kecil persentasinya, karena biasanya penggugat yang membawa perkaranya ke pengadilan telah melakukan meditasi oleh warga setempat tetapi tidak mendapatkan hasil yang baik. Dalam pengajuan perkara ke pengadilan ada juga dari pihak penggugat yang mencabut gugatannya tersebut. Dalam pencabutan gugatan apabila belum sampai pada jawaban oleh tergugat maka boleh langsung dicabut gugatannya. Tetapi, apabila telah sampai pada tahap jawaban diterima oleh tergugat, maka penggugat harus mendapatkan izin dari tergugat. Adapun batasan umur bagi saksi yang akan disumpah itu minimal genap berumur 15 tahun, dalam keadaan sehat baik itu jasmani dan rohaninya.

3. Kesimpulan dan Saran

(27)

bukan sebagai alat bukti tetapi hanya digunakan sebagai pendamping dalam persangkaan.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, Muhammad. (2008). Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Abdurrachman. (2008). Hukum Acara Perdata. Jakarta : Universitas Trisakti. Agustiningsih, Dwi. (2008). Analisis kekuatan pembuktian keputusan desa dalam

Proses pemeriksaan sengketa perdata (studi kasus di pengadilan negeri sragen). Surakarta :Universitas Sebelas Maret.

Arto, H.A.Mukti. (2000). Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

As’adi, Edi. (2012). Hukum acara perdata dalam perspektif Mediasi (ADR) di Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Asikin, Zainal. (2015). Hukum Acara Perdata Di Indonesia. Jakarta : Prenadamedia Group.

Efa Laela Fakhriah. (2013). Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata. Cetakan ke-2 (Bandung: PT Alumni).

Effendie, Bachtiar, dkk. (2009). Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Halim, A. Ridwan. (2005). Hukum Acara Perdata dalam Tanya Jawab. Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia.

Lestari Asri. (2014). Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Pembuktian Perkara Perdata Dipengadilan Negeri Sleman.

Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Nasir, Muhammad. (2003). Hukum Acara Perdata. Jakarta : Djambatan. . (2005). Hukum Acara Perdata. Jakarta : Djambatan. Rasaid, M. Nur. (2005). Hukum Acara Perdata. Jakarta : Sinar Grafika. Santoso, Urip. (2015). Perolehan Hak atas Tanah. Jakarta : Kencana.

Sugeng, Bambang. 2012. Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi. Jakarta : Kencana Prenada.

Referensi

Dokumen terkait

Anak-anak memiliki kecenderungan bergerak karena kecenderungan anak selalu jangan bergerak membawa ia lebih tertarik pada ajaran agama yang mengandung gerak pula. Seperti

1) Tidak diperbolehkan penambahan plafond pinjaman KUR. 2) Dapat dilakukan penambahan jangka waktu dalam rangka restrukturisasi dengan jangka waktu maksimal yang dapat

Seperti pada siklus pertama akumulasi yang diperoleh yaitu 32,5% persentase tersebut menujukan kategori nilai yang sangat kurang, namun kenaikan yang sangat

Teknik yang digunakan ialah dengan cara menempatkan sebuah pencatu ( feed ) pada salah satu patch hingga pada posisi pencatu tersebut didapatkan lebih dari satu

alat ini juga terdiri dari sterilisasi, yaitu alat yang digunakan untuk sterilisasi. Sterilisasi adalah usaha untuk membebaskan alat-alat maupun

Pada konsentrasi 5 ppm merkuri, hanya dua jenis jamur yang menunjukkan pertumbuhan dan dapat bertahan hidup dalam media yang mengandung logam berat tersebut,

These are combined on the ongoing study CASCADE-IMEI that uses Web technology as a tool in order to support mathematics student teachers in teaching mathematics to the students

Sebagai kesimpulan dalam penelitian ini didapatkan bahwa pada proses pemboran dengan berbagai macam lapisan mata bor, lapisan mata bor TiN baik sebagai lapisan tunggal ataupun