• Tidak ada hasil yang ditemukan

Al Quran dalam Perspektif Hermeneutika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Al Quran dalam Perspektif Hermeneutika"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

AL-QUR’AN PERSPEKTIF HERMENEUTIKA: Sebuah Tinjauan Kritis

Donald Qomaidiansyah Tungkagi

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

donald.tungkagi@gmail.com

Pendahuluan

Bagi umat Islam al-Qur‘an merupakan kitab suci yang berisi petunjuk tanpa keraguan,1 petunjuk kepada jalan yang paling lurus,2 pembimbing kepada kebenaran,3 serta penjelas terhadap segalah sesuatu.4 Meski demikian keyakinan saja ternyata tidaklah cukup, sebab al-Qur‘an sebagai petunjuk tidaklah proaktif memberi petunjuk layaknya manusia. Manusialah yang bertanggung jawab membuat al-Qur‘an aktif berbicara sehingga ia berfungsi sebagai petunjuk. Agar al-Qur‘an proaktif memberi petunjuk kepada umat manusia ke jalan yang benar, para pemikir muslim pun melakukan pembacaan terhadapnya untuk menggali pesan petunjuk tersebut. Meski tujuannya sama, pembacaan tersebut tidak lantas dengan sendirinya melahirkan pemahaman yang sama terhadap al-Qur‘an. Ketidaksamaan pemahaman itu tidak hanya dilatari perbedaan latar belakang sosial mereka, tetapi juga pendekatan yang dipakai dan ideologi yang mendasarinya.5

Perkembangan pengkajian al-Qur‘an seiring dengan perkembangan kondisi sosial-budaya dan peradaban manusia selalu bersifat dinamis. Munculnya karya-karya tafsir, dengan berbagai corak, metode, dan pendekatan yang digunakan, mulai dari yang klasik hingga kontemporer, menjadi bukti betapa dinamisnya perkembangan pengkajian al-Qur‘an.6

Tanpa argumentasi-argumentasi teologis, siapa pun harus mengakui bahwa al-Qur‘an telah membuktikan diri sebagai sesuatu yang mampu menciptakan peradaban dan tradisi menulis yang sangat tinggi. Dari al-Qur‘an, berbagai produk dan karya telah memenuhi jutaan rak di berbagai perpustakaan. Semua ini muncul karena adanya kebenaran dan keyakinan bahwa al-Qur‘an adalah kalam Allah serta menjadi kitab suci umat Islam.

Adanya kecenderungan untuk selalu mendialogkan al-Qur‘an sebagai sebuah teks dengan problem sosial kemanusiaan merupakan spirit tersendiri bagi dinamika kajian tafsir al-Qur‘an. Hal ini karena meski Al-Qur‘an turun di masa lalu,

1

Kitab (Al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa,‖ (QS Al-Baqarah: 2).

2 ―Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling

lurus (QS Al-Isra‘: 9).

3... (Alquran) membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus” (QS Al-Ahqaf: 30).

4

―Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala

sesuatu,” (QS Ann-Nahl: 89).

5 Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur‟an Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis -Hermeneutis, (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 1.

6 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2011), h.

(2)

2

dengan konteks dan lokalitas sosial budaya tertentu, ia mengandung nilai-nilai universal yang diyakini senantiasa relevan untuk perbedaan ruang dan waktu (shālihun li kulli zamān wa makān).

Sebagai sebuah teks, al-Qur‘an dinilai terbatas sedangkan problem sosial kemanusian selalu berubah-ubah tanpa batas. Karena itu, di era modern-kontemporer dewasa ini, al-Qur‘an harus ditafsirkan untuk menjawab problem tuntutan zaman.7 Menafsirkan al-Qur‘an berarti upaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandungan al-Qur‘an. Karena objek tafsir adalah al-Qur‘an yang merupakan sumber pertama ajaran Islam sekaligus petunjuk bagi manusia, maka bukan hanya merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu, penafsiran terhadap al-Qur‘an merupakan suatu keharusan.8

Secara konseptual memang terdapat perbedaan yang sangat tegas antara teks al-Qur‘an dengan tafsir, bahkan al-Qur‘an juga secara tegas dibedakan dengan terjemahannya dalam bahasa apapun juga. Namun demikian al-Qur‘an sebagai kalām Allah, agar bisa dipahami manusia maka menjadi sebuah keniscayaan ketika al-Qur‘an hadir terangkaikan dalam bahasa manusia. Kenyataan dipilihnya salah satu bahasa (arab) sebagai pengantar –terlepas dari segala keistimewahannya— tidak lain karena manusia kenyataan bahwa manusia tidak bisa memahami keseluruhan bahasa. Ini tidak berarti tanpa konsekuensi, sebab bagaimanapun juga bahasa terkait dengan budaya, untuk itu setiap bahasa selalu terbatasi oleh kondisi dan pengalaman historis masyarakat penggunanya. Padahal realitas yang menjadi acuan firman Allah tidak hanya meliputi pengalaman historis manusia, tetapi juga realitas yang melampaui pengalaman historis mereka.9

Seiring dengan perkembangan jaman, yang ditandai dengan menyempitnya dunia dimana interaksi antara semua komunitas seakan tanpa batas, turut serta mempengaruhi perkembangan pengetahuan, tak terkecuali perkembangan pengetahuan umat Islam, khususnya Ulumul Qur‟an dan Tafsir. Tentunya ini menuntut adanya epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan peradaban manusia.10 Mengembangkan metodologi dan epistemologi ini merupakan keniscayaan sejarah yang tidak dapat dihindari. Apalagi dalam peta pemikiran ilmu-ilmu keislaman persoalan metodologi tafsir merupakan ilmu yang belum matang (ghair an-nadhj) sehingga selalu terbuka untuk diperbarui dan dikembangkan.11

Belakangan hermeneutika menjadi wacana menarik bagi kalangan ilmuan Islam. Sebagian di antara mereka menerima kehadiran hermeneutika sebagai salah satu metode yang relevan untuk dipergunakan dalam memahami teks-teks

7 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 1.

8 Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur‟ani: Antara Teks, Konteks, dan

Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2007, cet ke-4), h. 8.

9 Nur Rofiah, ―Hermeneutika al-Qur‟an: Melacak Akar Problem Krusial

Penafsiran,” MIMBAR Jurnal Agama dan Budaya, (Vol. 24, No. 1, 2007), h. 2-3. 10

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer ,h. 2.

11 Lihat Amin al-Khuli, Manahij at-Tajdid an-Nahwi wa al-Balaghah wa at-Tafsir

(3)

3

Qur‘ân, meskipun mereka menyadari asal-usul dan latar belakang metode ini bersumber dari luar khazanah keilmuan Islam. Sebagian lainnya bersikap apriori, bahkan menolak dengan tegas hermeneutika sebagai salah satu metode tafsir (manhaj al-tafsîr) dengan berbagai alasan.12 Ada yang menolak hermeneutika karena ia dinilai sebagai metode yang ―berbahaya‖ yang dapat merusak teks suci umat Islam dan lain sebagainya.13

Bagi sebagian kalangan, kajian kritis teks keagamaan lewat pendekatan hermeneutika tidak begitu popular dan untuk kalangan tertentu justru cenderung dihindari. Pasalnya, hermeneutika bukan orsinil ciptaan umat Islam. Kajian kritis gaya hermeneutikamerupakan tradisi Yunani yang kemudian diadopsi oleh Kristen yang digunakan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi teks Bible. Meski demikian, diakui ataupun tidak, kenyataannya hermeneutika telah menjadi bagian penting dalam kajian Islam dan pengembangan hukum Islam kontemporer. Hermeneutika sangat populer di kalangan akademisi tertutama di pendidikan tinggi Islam. Visi yang dibawa oleh hermeneutika sebagian maupun keseluruhan diserap oleh akademisi muslim tersebut.

Tulisan ini sebenarnya tidak berniat untuk terjun dalam daftar panjang perdebatan pro-kontra tersebut, melainkan hanya mendiskusikan gagasan al-Qur‘an dalam perspektif hermeneutika. Selain itu secara sederhana tulisan ini meninjau secara kritis metode hermeneutika, kemudian mengkomparasikannya dengan ilmu tafsir yang dikenal dalam tradisi umat Islam. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran tentang penggunaan hermeneutika dalam pengkajian kitab suci al-Qur‘an. Tinjauan Umum Hermeneutika

Istilah hermeneutika dapat ditemukan dalam literatur peninggalan Yunani Kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang di dalamnya terdapat istilah terkenal peri hermeneias. Istilah ini digunakan dengan bentuk nominal dalam Epos Oedipus at Colonus, yang beberapa kali muncul dalam tulisan tulisan Plato, dan pada karya karya para penulis kuno, seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus. Kedua istilah tersebut diasosiasikan kepada Hermes (hermeias), seorang utusan (dewa) dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan Dewata yang masih samar samar ke dalam bahasa yang bisa dipahami manusia.14 Menurut Sayyed Hossein Nasr, Hermes merupakan Nabi Idris15.

12 Nasaruddin Umar, ―Menimbang Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir‖, Jurnal

Studi Quran, (Vol. I, No. 1, Januari 2006), h. 33.

13 Achmad Khudori Soleh, ―Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir,‖

Jurnal TSAQAFAH (Vol. 7, No. 1, April 2011), h. 32. 14

Richard E. Palmer. Hermeneutika: Teori Baru mengenai Interpretasi, Schleiermacher, Dilthey, Heidager and Gadamer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 13.

15

(4)

4

Hermeneutika dalam bahasa aslinya disebut hermeneuine dan hermenia yang masing masing berarti ―menafsirkan‖ dan―penafsiran‖.16

Hermes itu merupakan kiasan untuk tiga tugas utama hermeneutika modern. Pertama,mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih berada dalampikiran melalui kata kata (utterance, speaking) sebagai mediumpenyampaian. Kedua, menjelaskan secara ra-sional (interpretation, explanation) sesuatu yang sebelumnya masih samarsamar sehingga maksud atau maknanya dapat dimengerti. Ketiga, menerjemahkan (translating) suatu bahasa yang asingke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai.Baik dalam bahasa Yunani, maupun dalam bahasa Inggris,tiga pengertian mengenai istilah hermeneutika di atas kemudiandirangkum dalam pengertian ―penafsiran‖ (interpreting, understanding). Hal ini karena segala sesuatu yang masihmembutuhkan pengungkapan secara lisan, penjelasan yangmasuk akal, dan penerjemahan bahasa, pada dasamyamengandung proses ―memberi pemahaman‖ atau, dengan katalain, ―menafsirkannya‖.17

Dalam perkembangannya, hermeneutika mengalami perubahan-perubahan, dan gambaran kronologis perkembangan pengertian dan pendifinisian hermeneutika dengan lengkap diungkapkan oleh Richard E. Palmer membagi perkembangan hermeneutika menjadi enam kategori, yakni (1) hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, (2) hermeneutika sebagai metode filologi, (3) hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, (4) hermeneutika sebagai fondasi dari ilmu

Toth, atau Nabi Musa. Menurut Quraish Shihab penamaannya dengan Idris boleh jadi karena beliau adalah orang pertama yang mengenal tulisan atau orang yang banyak belajar dan mengajar. Lafazh Idris seakar dengan darasa yang berarti ajar mengajar. Ini berarti bahwa Idris, atau katakanlah Hermes, adalah orang terpilih untuk menjelaskan pesan-pesan Yang Mahakuasa kepada manusia. Lihat M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahuan dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran, cet. Ke-III (Ciputat: Lentera Hati, 2015), 402. Sedangkan menurut Komaruddin Hidayat, berdasarkan legenda Nabi Idris adalah tukang tenun, yang ketika dikaitkan dengan mitos

Yunani tentang peran dewa Hermes, terdapat korelasi positif. Kata kerja ―memintal‖

padanannya dalam bahasa latin adalah tegere, sedangkan produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika. Lihat Kamaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 125-126.

16Hermeneutika juga berasal dari bahasa Yunani: hermeneuein, yang berarti

menafsirkan. Secara etimologis berasal dari nama dewa pembawa pesan bernama Hermes yang bertugas menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di gunung Olimpus agar dapat dimengerti oleh manusia. Maka hermeneutika, adalah cara mencapai pemahaman yang mempunyai fungsi seperti Hermes. Hermeneutikan mengusahakan penafsiran dan bahkan pehamaman antarmanusia, antargenerasi, dan antarbudaya. Artinya, dalam proses pemahaman, mereka menafsirkan tidak hanya berhadapan dengan fakta, tetapi juga makna dan realitas yang berdialog serta ikut memengaruhi dirinya. Hal yang ditafsirkan adalah

―teks‖ dalam arti luas. Termasuk di dalamnya; pemikiran, bahasa, tulisan, budaya dan

pengalamannya di dalam dunia. Lihat Megandika (ed), Menafsirkan Dunia: Sebuah Usaha Menyajikan Kembali Pemikiran George F. McLEAN dalam Rangka Merespons Zaman Global, cet ke-4 (Yogyakarta: KANISIUS), h. 25-27.

(5)

5

kemanusiaan (Geisteswissenschaften), (5) hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan (6) hermeneutika sebagai sistem interpretasi.18

Sejak berdiri sebagai sebuah pengetahuan, kehadiran hermeneutika telah mengalami berbagai perdebatan. Seiring berjalannya waktu, hermeneutika mengalami perkembangan bahkan beberapa pakar yang belakangan disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh hermeneutika memiliki pandangan berbeda ketika mengkaji hermeneutika itu sendiri. Beberapa tokoh yang mempunyai peran besar dalam perkembangan hermeneutika, yaitu: pertama Friedrich Ernest Daniel Schleiermacher (1768 -1834), tokoh hermeneutika romantisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural. Kedua, Wilhelm Dilthey (1833-1911), tokoh hermeneutika metodis, berpendapat bahwa proses pemahaman ber -mula dari pengalaman, kemudian men gekspresikan - nya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural yang mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini.19Ketiga, Edmund Husserl (1889-1938), tokoh hermeneutika fenomenologis, menyebutkan bahwa proses pemahaman yang benar harus mampu membebaskan diri dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara sendiri. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias-bias subjek penafsir dan membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.20 Keempat, Martin Heidegger (1889-1976), tokoh hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu me -rupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang.21Kelima, Hans George Gadamer (1900-2002), tokoh hermeneutika dialogis dan subjektif, baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengaju -kan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.22Keenam, Jurgen Habermas (1929), tokoh hermeneutika kritis, menye butkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horison pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan gender. Ketujuh, Paul Ricoeur (1913) yang membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya. Kedelapan, Jacques Derrida (1930), tokoh hermenutika dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan

18

Palmer, Richard E. Hermeneutika: Teori Baru mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 33.

19Megandika (ed), Menafsirkan Dunia, h. 37.

20

Megandika (ed), Menafsirkan Dunia, h. 41. 21Megandika (ed), Menafsirkan Dunia, h. 43.

(6)

6

makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan penanda. Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan pembacanya.

Di kalangan intelektual muslim kontemporer juga mengembangkan model hermeneutika pembebasan seperti Hasan Hanafi (1935), Farid Esack (1959) dan Nasr Hamid Abu Zayd. Dimana hermeneutikan ini sebenarnya didasarkan atas pemikiran hermeneutika subjektif, khususnya dari Gadamer. Namun, menurut para tokoh hermeneutika pembebasan ini, hermeneutikan mestinya tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi. 23 Karena itu, dalam kaitannya dengan al-Qur‘an, Hasan Hanafi menyatakan bahwa hermeneutikan adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.

Al-Qur’an dalam Perspektif Hermeneutika

Ada beberapa problem mengenai hermeneutika, terutama mengenai teks-teks. Sebagaimana apabila seseorang membaca sebuah teks dari seorang pengarang yang dikenalnya atau sezaman, maka pembaca tidak akan ada kesulitan memahami kalimat-kalimat ataupun istilah-istilah khusus yang termuat dalam teks tersebut, sehingga ketidak jelasan makna teks yang terkandung dapat di atasi secara lisan oleh pengarangnya apabila ia masih hidup. Atau dengan pemahaman kata, kalimat, dan terminologi khusus yang sudah dikenal pada zaman ini. Akan tetapi persoalannya akan lebih jauh apabila teks tersebut dari zaman dahulu, sebab orang yang hidup pada zaman ini terputus oleh sebuah rentang waktu yang panjang, sehingga kata-kata, kalimat, dan terminologi khusus dalam sebuah teks sulit untuk dipahami dan tidak jarang banyak yang salah paham. Disinilah problem-problem hermeneutika mulai tercuat baik dalam penafsiran teks kitab, sejarah, hukum, dan lainnya. Oleh sebab itu dalam memahami hermeneutika teks amat sangat bermanfaat untuk menambah wawasan atau cara pandang terhadap produk budaya masa lalu atau tradisi ilmu yang berkenaan dengannya.

Dari penjelasan tentang hermeneutika tersebut, sesungguhnya letak persoalannya adalah bahwa pada metode hermeneutika, manusia sebagai para penafsir menduduki posisi yang signifikan. Oleh karena itu, dalam pandangan hermeneutika tidak ada sebuah konsep kebenaran tunggal penafsiran, karena yang ada adalah sebuah relativisme penafsiran yang bersumber pada maksud dan tujuan manusia.

Yang dimaksud relativisme penafsiran di sini bukan berarti tidak ada sebuah kebenaran pada tafsir terhadap teks, akan tetap sebuah karya tafsir masih bisa dirubah dan disesuaikan dengan konteks yang berkembang. Sebab, tujuan sang

23Achmad Khudori Soleh, ―Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir‖,

(7)

7

penafsir dalam menafsirkan teks pertama kali adalah untuk menjembatani masa lalu dan masa sekarang.24

Hermeneutika sendiri hadir seiring dengan kehadiran teks-teks keagamaan dan agama itu sendiri. Dari sudut semiologi, apapun yang dijumpai di sekeliling manusia adalah teks yang bisa dibaca dan ditafsirkan. Teks dalam pengertian ini identik dengan ayat yang dalam bahasa Arab (Al-Qur‘ân) berarti tanda. Kemunculan tanda (signifiant/al-dâl/signifier) meniscayakan adanya obyek (signifiée/al-madlûl/signified) yang ditandai. Di sinilah teks memicu munculnya teks-teks yang lain. Dengan kemampuan berbahasa dan aktivitas penafsirannya, manusia menjadikan teks awal sebagai titik tolak untuk melakukan penafsiran dan penelusuran atas teks-teks lain yang saling berkaitan. Salah satu persoalan yang hendak dijembatani oleh hermeneutika adalah terjadinya jarak antara penulis dan pembaca, yang antara keduanya dihubungkan dengan teks. Di sinilah persoalan interpretasi muncul. Namun hal ini bukan berarti menafikan interpretasi dalam dialog langsung. Hanya saja hermeneutika lebih menekankan penafsiran teks, sebab pesan yang sudah mewujud dalam teks telah mengalami banyak reduksi. Teks tidak cukup menampung logat, intonasi, mimik bahkan suasana batin si penyampai pesan sekaligus sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan terdahulu. Hermeneutika hadir untuk membantu pembaca teks untuk sampai atau setidaknya mendekati keutuhan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang atau penyampai teks.25

Fakta bahwa Al-Qur‘an dihafalkan dan ditulis oleh para sahabat nabi dan disahkan pada zaman Utsman bin Affan merupakan sesuatu yang mendapat perhatian dari umat Islam. Artinya, Al-Qur‘an telah menjadi wahyu yang ditulis, dikodifikasi dalam bahasa Arab. Karena Al-Qur‘an merupakan diskursus yang ditulis, maka Al-Qur‘an adalah teks.26

Pandangan ini sejalan dengan kalangan penganut hermeneutikan atau studi tentang penafsiran bahwa setiap diskursus yang disusun atau disempurnakan dalam bentuk tulisan disebut teks.27Dari segi proses turunnya dari malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dapat dipahami, bahwa Al-Qur‘an merupaka Kitab Suci yang sejak awal berkomunikasi dengan realitas dan kebudayaan setempat. Bila dimensi bahasa Arab mendorong untuk dipahami secara terbuka, maka secara sosiologis bahasa Arab yang digunakan Al-Qur‘an dapat menjadi bagian terpenting dalam kebudayaan Arab. Dalam sebuah ungkap terkenal,

24Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis Menggagas Keberagamaan Liberatif,

(Jakarta: Buku Kompas, 2004), hlm. 89

25Nasaruddin Umar, ―Menimbang Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir‖, h. 50. 26Mengenai Al-Qur‘an sebagai teks ini sejalan dengan ungkapan Imam Ali ra.: ―Wa

hadza al-Qur‟an innama huwa khatthun masthur bayna daffatayn la yanthiqu. Innama yatakallamu bihi al-Rijal.‖ Artinya: ―Dan Al Qur‘an tidak lain hanyalah teks tertulis yang diapit dua sampul. Al-Qur‘an tidak bisa bicara sendiri. Manusialah yang berbicara

melaluinya.‖ Ini mengandung pengertian bahwa sebagai teks, Al-Qur‘an hanya bisa berbunyi melalui laku pembacaan, entah itu berupa penterjemahan, penafsiran, pantakwilan atau yang lain. Dan perlu diingat, pembacaan terhadap Al-Qur‘an tidak setara statusnya dengan Al-Qur‘an itu sendiri, karena manusia sebagai pembaca tidak bersifat qadim.

27Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan

(8)

8

― bahasa menunjukkan peradaban sebuah bangsa‖. Nilai estetika yang sangat tinggi, yang terkandung dalam bahasa Arab telah menjadi kehendak Tuhan untuk menurunkan Al-Qur‘an dalam bahasa Arab.28

Selain Al-Qur‘an dipahami sebagai Kalam Tuhan yang tertulis, maka keterlibatan Al-Qur‘an dengan budaya Arab merupakan sebuah implikasi yang tidak bisa dihindarkan. Keterlibatan budaya dalam turunnya Al-Quran, terutama pada fase penurunan dari malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW sama sekali tidak merendahkan Al-Quran, tetapi justru menguatkan posisinya. Artinya, sebagaimana disampaikan oleh Tuhan dalam Al-Quran; ―Sesungguhnya Kami turunkan Al-Qur‘an dalam bahasa Arab agar kalian berakal (QS Yusuf [12]: 2). Ayat ini dijelaskan bahwa pilihan Tuhan atas bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur‘an menunjukkan adanya dialektika antara wahyu dan budaya. Bukan hanya itu agar wahyu dapat diterjemahkan dalam konteks budaya tertentu. karena itu, konsep yang menyatakan bahwa Al-Qur‘an mengandung dan dikandung oleh unsur budaya merupakan pernyataan yang harus diterima dan dipahami dengan baik. Sebab dengan demikian teks Al-Qur‘an memberikan makna bagi kehidupan. Dalam tataran yang lebih luas, penyikapan yang unik itu mempunyai implikasi positif bagi konteks umat Islam kontemporer, yaitu Al-Qur‘an akan senantiasa menyemangati perubahan-perubahan sosial.

Sangat sulit terelakkan bahwa kenyataannya antara teks dan budaya saling mempengaruhi. Ada kalanya budaya mempengaruhi teks, yang kemudian melahirkan paradigma ―budaya sebagai faktor determinan atas teks‖ atau muntajun tsaqafiyyun, atau sebaliknya Al-Qur‘an dalam perjalanannya juga mengubah budaya Arab, yang kemudian dikenal ―teks sebagai produsen budaya‖ atau muntijun tsaqafiyyun.29 Mesti dipahami bahwa teks Al-Qur‘an lahir dan diturunkan Tuhan bukan dalam ruang hampa, tetapi dalam sejarah umat manusia (masyarakat Arab). Itu sebabnya, Fazlur Rahman menyebut Al-Qur‘an sebagai ―respon Ilahi melalui pikiran Muhammad saw. Terhadap situasi-situasi sosio-moral dan historis masyarakat Arab abad ke-7 M.30

Dengan demikian, budaya dan sejarah masyarakat Arab sebagai audiens Al-Qur‘an menjadi suatu wilayah yang harus dikaji untuk menemukan gagasan-gagasan pokok Al-Qur‘an. Analisis yang dilakukan itu, tentu tidak hanya bergantung pada asbab al-nuzul. Sebab, asbab al-nuzul sendiri tidak sepenuhnya

28

Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, h.80.

29 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi „Ulum Al-Qur‟an, (Beirut: al-Markaz al-‗Arabi al-Tsaqafi, 1996), 24. Pandangan Nashr Hamid seringkali disalahpahami hanya berhenti pada paradigma budaya sebagai faktor dominan bagi pembentukan teks. Padahal yang tidak bisa diabaikan adalah teks juga dapat membentuk budaya. Jadi, yang terjadi sesungguhnya adalah dialektika antara teks dan budaya. Pergulatan keduanya berputar dalam lingkaran hermeneutis sepanjang masa. Pada zaman sekarang yang menonjol adalah tafsir terhadap teks. Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, h. 83.

30 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung:

(9)

9

mampu menggambarkan secara sempurna bangunan sosio-historis masyarakat (Arab) sebagai audiens. Di samping memang tidak semua ayat mempunyai asbab al-nuzul. Langkah yang demikian penting karena dengan berbagai unsur tersebut teks al-Qur‘an terbentuk dan dalam konteks itu pula mestinya konsepsi-konsepsi yang dibangunnya harus dipahami.31

Menurut Farid Esack, Al-Qur‘an tidaklah ―unik‘, dalam hal hubungannya dengan proses pewahyuhan, bahasa dan isi di satu sisi; serta dengan komunitas masyarakat yang menerimanya di sisi lain. Wahyu selalu saja merupakan komentar terhadap satu kondisi masyarakat tertentu. Nuansa sosio-historis dan linguistik dalam pewahyuhan Al-Qur‘an itu tampak dalam isi, bentuk, tujuan dan bahasa yang dipakai Al-Qur‘an. Hal ini tampak pula misalnya dalam perbendaam antara ayat-ayat makkiyah dan ayat-ayat madaniyah.32

Patut diperhatikan bahwasannya Al-Qur‘an dalam perspektif hermeneutika ini lebih dipahami dalam dimensi ―relasional‖-nya daripada sebagai satu fenomena atau kategori keagamaan yang absolut. Sebagaimana dalam pandangan Esack, bahwasanya pemahaman yang lebih tepat dan berguna terhadap kitab suci adalah pemahaman yang disertai kesadaran bahwasannya kitab suci itu tidak hanya sekedar teks, tetapi selalu merupakan satu teks yang berhubungan dengan satu tradisi yang sedang berjalan, yakni yang berhubungan dengan pribadi atau masyarakat-masyarakat yang menganggapnya sakral dan normatif.33

Dalam sejarah hermeneutika tafsir Al-Qur‘an, setidaknya terbagi menjadi dua: (1) hermeneutik al-Quran tradisional, dan (2) hermeneutik Al-Qur‘an kontemporer. Dalam hermeneutik Al-Qur‘an tradisional, perangkat metodologi yang digunakan sebatas pada linguistik dan riwayah. Jadi, belum ada rajutan sistemik antara teks, penafsir, dan audiens sasaran teks, meskipun unsur triadi ini telah hidup di dalamnya waktu itu. Sedangkan hermeneutik Al-Qur‘an kontemporer telah melakukan perumusan sitematis unsur triadik tersebut. Di dalamnya, suatu proses penafsiran tidak lagi berpusat pada teks, tetapi penafsir di satu sisi dan audiens di sisi yang lain, secara metodologis merupakan bagian yang mandiri.34Muhammad Syahrur dalam bukunya Al-Kitab wa Al-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟asirah berkata: ―perlakukanlah Al-Qur‘an seolah-olah Nabi baru meninggal kemarin.

Menurut Muhammad ‗Abid al-jabiri, sebagian besar umat Islam disinyalir terjebak dalam tafsir yang lebih berdimensi taklid daripada berdimensi hermeneutis.Kondisi tersebut telah menyebabkan umat Islam mengalami ―krisis iman‖ di satu sisi dan ―krisis nalar‖ di sisi lain. Krisis iman, karena slogan kembali kepada Al-Qur‘an terjebak pada ideologi kekerasan. Sedangkan krisis nalar, karena

31

Islah Gusman, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Yogyakarta: LkiS, 2013), 220.

32 Farid Esack, Qur‟an Pluralism and Liberation, (Oxford: One World, 1997), 50. 33

Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur‟ani, h. 45-46.

34 Islah Gusman, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi,

(10)

10

iman tidak dilandasi pada analisa dan metodologi yang kuat.35 Selanjutnya al-Jabiri menawarkan cara padang baru terhadap Al-Qur‘an. Dimana model pembacaan terhadap Al-Quran, di satu sisi mempunyai relevansi pada konteks diturunkannya, tetapi di sisi lain juga mempunyai konteks pada zaman kontemporer (ja‟al al-maqru mu‟ashiran linafsihi wa mu‟ashiran lana). Sehingga dalam pandangan ini memerlukan dua metodologi sekaligus, yaktu klasik dan kontemporer. Sebab untuk memahami Al-Qur‘an sebagaiman konteks diturunkannya membutuhkan penguasaan yang kuat terhadap ilmu-ilmu Al-Qur‘an di masa lalu, seperti asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, dll. Penelusuran terhadap tradisi Islam klasik menjadi sangat penting, sehingga tafsir yang dihadirkan bukan tafsir yang terpisah dari apa yang sudah menjadi garis akademis ulama terdahulu. Di samping itu pembacaan dengan mengunakan metodologi klasik akan memberikan kesempatan untuk mengetahui sejauhmana konsistensi pemahaman ulama terhadap Al-Quran dalam kaitannya dengan metodologi yang tersedian dalam ilmu-ilmu Al-Quran.36

Al-Qur‘an sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada dasarnya adalah produk budaya.37 Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks Al-Qur‘an dalam 20 tahun lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya. Oleh karena itu, perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks (Al-Qur‘an) dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka teks Al-Qur‘an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan. Teks al-Qur‘an masih sangat mungkin menjadi obat mujarab, bacaan shalat, atau perhiasaan bacaan yang dikumandangkan tiap waktu. Akan tetapi visi transformatif dan kemanusiaan Al-Qur‘an akan bisa hilang begitu saja. Sedangkan Mohammed Arkoun menegaskan, bahwa sebuah tradisi akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Al-Qur‘an sebagai teks yang telah melahirkan tradisi

35

Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, h. 18. 36

Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, h.19

37Lihat misalnya pernyataanya tentang hal ini: “I‟m critical of old and modern

Islamic thought. I treat the Qur‟an as a nass (text) given by God to the Prophet Mohamed.

That text is put in a human language, which is the Arabic language. When I said so, I was

accused of saying that the Prophet Mohamed wrote the Qur‟an. This is not a crisis of thought, but a crisis of conscience”. (Aku seorang peneliti. aku kritis terhadap pemikiran Islam klasik dan modern. Aku memperlakukan Al-Qur‘an sebagai nash (teks) yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Teks itu dimasukkan dalam bahasa manusia, yaitu bahasa Arab. Ketika aku bilang begitu, aku dituduh mengatakan bahwa Nabi Muhammad menulis Al-Qur‘an. Ini bukan krisis pemikiran, tapi krisis hati nurani). Lihat: Wikipedia, the free encyclopedia, Nasr Hamid Abu Zayd. Dan dalam kesempatan lain ia

menulis: ―Al-Qur‘an adalah pesan Tuhan yang memiliki kode dan ―saluran‖, yaitu Bahasa Arab, untuk memahami teks saya memerlukan perangkat yang lebih dari sekedar filologi. Analisis ini menempatkan Al-Qur‘an sebagai teks peotik yang terstruktur. Oleh karena itu, Al-Qur‘an bukan teks puisi, ia tetap menjadi teks keagamaan yang memiliki banyak fungsi‖. Liha di: Dr. Phil HM. Nur Kholis, Nashr Abu Zayd, beberapa pembaca an terhadap Turats Arab, sebuah pendahuluan pada terjemahan buku Isykaliyah al-Qira‟ah wa Alliyat al

(11)

11

pemikiran, pergerakan, bahkan perilaku keagamaan yang luas dalam rentang waktu panjang, tentu saja tidak bisa mengabaikan hal ini. Oleh karena berbagai macam metode penafsiran dan model tafsir dalam kurun waktu sejarah Islam adalah upaya yang patut dibanggakan sebagai usaha mendinamiskan Al-Qur‘an yang sangat universal itu.38

Dalam usaha menangkap dan mendapatkan pesan dari teks Allah berwujud dalam Al-Qur‘an tentu saja mengandung problem. Karena, setiap usaha menerjemahkan, menafsirkan, atau mencari pemahaman terhadap teks klasik yang berjarak waktu, budaya, tempat sangat jauh dengan pembacanya, selalu digelayuti problem hermeneutika (penafsiran). Dengan adanya problem penafsiran teks tersebut, maka ada sebuah teori filsafat yang digunakan menganalisis problem penafsiran, sehingga teks bisa dipahami secara benar dan komprehensif. Hasan Hanafi juga mengajukan premis-premis metodis yang menjadi landasan filosofis bagi proses pembacaan atas teks suci. Ia menyatakan bahwa sebagaimana teks-teks lain, Qur‘an juga harus menerima perlakuan yang sama karena ia menjadi obyek interpretasi yang sama dengan yang diperkenankan pada secular text.39

Hermeneutika: Pergulatan Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi

Sejauh pembacaan penulis, para intelektual pengguna hermeneutika umumnya menganggap bahwa metodologi klasik belum bisa dibilang memadai. Sehingga diperlukan sebuah perangkat metodologis tambahan untuk menjadikan Al-Qur‘an sebagai Kitab Suci yang mempunyai relevansi dan signifikansi dengan realitas kekinian. Dalam hal ini, teori-teori tafsir kontemporer dapat menjadi metodologi pelengkap, terutama dalam rangka melihat secara kritis relasi antara tafsir keagamaan dengan kepentingan politik. Sikap ini sebenarnya tidak mempunyai tujuan apa-apa, kecuali menyelematkan Al-Qur‘an dari praktik politisasi Al-Qur‘an, sebagaimana yang telah dilakukan oleh kalangan Khawarij di masa lalu.

Paul Riceour menyatakan bahwa hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya. Hermeneutika membuka makna yang sesungguhnya sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol.40 Menurut Ricoeur, tugas utama hermeneutika adalah untuk memahami teks. Oleh karena itu, pengertian tetntang teks menjadi sangat sentral dalam pemikiran hermeneutika. Kemudian dengan mengunakan istilah discoursous, Ricoeur membagi bahasa dalam dua sifat, yakni bahasa sebagai meaning dan bahasa sebagai event. Dimana bahasa sebagai meaning adalah dimensi non-historis, dimensi statis, sedangkan bahasa sebagai event adalah dimensi yang hidup dan dinamis. Untuk konteks inilah

38Ahmad Fuad Fanani, ―Metode Hermeneutika untuk al

-Qur‘an‖,http://islamlib.com/id/index.php? page=article&id=124, (diakses pada 1 Nopember 2015), 2.

39A. Zainul Hamdi, ―Hermeneutika Islam,‖ Jurnal Gerbang, No. 14 Vol. V (2003),

h. 48.

(12)

12

artikulasi discourse dapat bermakna sebagai bahasa lisan dan bahasa tulisan.41 Pada bahasa lisan terbentuk komunikasi langsung yang dimana tidak terlalu membutuhkan metode hermeneutik, sebab apa yang disampaikan masih sangat melekat kepada penyampainya. Makna dari apa yang disampaikanpun masih bisa dirujuk langsung pada intonasi maupun gerak isyarat (gestures) dari si pembicara. Sedangkan teks merupakan korpus yang otonom, yang dalam hal ni Ricoeur menganggap bahwa teks memiliki kemandirian, totalitas, yang dicirikan oleh empat hal. Pertama, dalam sebuah teks makna yang terdapat pada ―apa yang dikatakan (what is said)‖ terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam bahasa lisan kedua proses itu tidak dapat dipisahkan.42

Istilah hermeneutik sendiri dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir Al-Qur‘an klasik memang tidak ditemukan. Meski demikian menurut Farid Esack, praktik hermeneutik sebenarnya telah dilakukan oleh umat Islam sejak lama, khususnya ketika menafsirkan Al-Qur‘an. Buktinya antaralain: 1) adanya kajian-kajian mengenai asbabun nuzul dan nasakh-mansukh. 2) perbedaan interpretasi terhadap Al-Qur‘an dengan aturan, teori dan metode yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir. 3) tafsir tradisional yang terdiri dari beberapa kategori, seperti tafsir fiqih, tafsir sufi, tafsir syi‘ah, tafsir filsafat, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa ada pengaruh kelompok, ideologi dan horison sosial tertentu terhadap tafsir.43

Sebagai metode penafsiran hermeneutika tidak saja berurusan dengan teks yang dihadapi secara tertutup, melainkan penafsiran teks tersebut membuka diri terhadap teks-teks yang melingkupinya. Sejalan dengan pemahaman tersebut, Fakhruddin Faiz menyebutnya sebagai "mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut", yakni horison teks, horison pengarang, dan horison pembaca.44Dengan mempertimbangkan tiga horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman ataupun penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang di samping melacak bagaimana suatu teks itu dimuncuIkan oleh pengarangnya, dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks yang dibuatnya;juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode pena [siran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi.45

Kesadaran akan pentingnya konteks sejarah dalam memahami ayat-ayat al-Quran ini dalam ilmu tafsir al-Qur‘an sangat dikenal dalam disimplin kajian Asbab al-Nuzul, dimana isi dari kajian ini adalah menelaah latar belakang diturunkannya

41

Paul Ricoeur, Filsafat Wacana: Membela Makna dalam Anatomi Bahasa , terj. Masnur Hery, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2002), 217-218.

42 Paul Ricoeur, Filsafat Wacana, h. 219.

43

(13)

13

ayat-ayat al-Quran kepada Nabi. Di samping bertujuan untuk mengetahui latar belakang turunnya ayat al-Quran. Disiplin kajian ini pada akhirnya juga sangat membantu dalam melacak makna dan spirit (semangat) dari suatu ayat, dimana hal ini tentunya sangat berguna dalam upaya kontekstualisasi ayat untuk waktu dan tempat yang berbeda.

Menurut Abu Zayd, ilmu asbab al-nuzul merupakan disiplin ilmu yang paling penting dalam menunjukkan hubungan dan dialektika antara teks dan realitas. Ilmu tentang asbab al-nuzul memberikan bekal kepada seorang mufasir mengenai materi teks yang merespons realitas, baik dengan cara menguatkan ataupun menolak, dan menegaskan hubungan yang dialogis dan dialektis antara teks dan realitas.46Bahwa asbab al-Nuzul merupakan salah satu bentuk dari perhatian terhadap konteks ayat, adalah sesuatu yang tidak bisa dibantah. Namun yang perlu diketahui yang dimaksud oleh hermeneutika dengan konteks disini bukan sekedar peristiwa yang melatarbelakangi munculnya sebuah teks, tetapi lebih tepatnya adalah setting sosial-historis dimana teks tersebut muncul. Setting sosial-historis yang dimaksud disini adalah kondisi-kondisi yang ada di seputar teks tersebut ketika ia muncul. Kondisi ini oleh hermeneutika diasumsikan sebagai sangat mempengaruhi makna teks dan bagaimana orang memahami teks tersebut, sehingga apabila kondisi-kondisi ini diabaikan, seorang yang menafsirkan satu teks sangat dimungkinkan untuk salah arah dan salah paham mengenai maksud yang sebenarnya dari teks.

Meski begitu disiplin kajian asbab al-Nuzul ternyata tidak cukup untuk mewakili gambaran konteks setting sosial-historis ini, meskipun harus diakui dalam hal ini disiplin asbab al-nuzul sangat membantu. Asbab al-nuzul harus dikatakan ‗hanya‘ mengungkap peristiwa atau kejadian apa yang melatar belakangi turunnya ayat. Perhatian terhadap konteks yang sekedar berhenti pada asbab al-nuzul seringkali membawa kelemahan. Kelemahan yang dimaksud misalnya sering hilangnya interaksi antara asbab al-nuzul dengan penafsiran, juga mengimplikasikan sikap tidak kritis. Dalam banyak kitab tafsir, kutipan-kutipan asbab al-nuzul ini sering menimbulkan pengabaian terhadap konteks kesejarahan yang melingkupinya.

Dengan kerangka pikir yang berlandaskan konteks ini akhirnya akan terasa wajar jika dalam al-Quran banyak ditemukan contoh-contoh yang secara spesifik dikenal di wilayah arab, seperti sebuah peringatan dengan penciptaan untuk dalam QS. Al-Ghasiyah47 atau dengan keindahan surga yang digambarkan dengan mengalirnya sungai di bawahnya. Semua itu tentunya gambaran kondisi masyarakat Arab yang kesehariannya akrab dengan unta dan hanya bisa membayangkan indahnya sungai dan air yang mengalir. Selain itu berkenaan dengan istilah khamr

46 Nasr Abu Zayd, Mahfum al-Nas: Dirasat fi „Ulum Al-Qur‟an (Kairo: al-Hay‘ah al-Misriyyah al-‗Ammah li al-Kitab, 1993), 119. Lihat Fakhruddin Faiz, Hermeneutika

Qur‟ani, h. 102-103. 47

ةىر ج ٌنْىع هْىـف

(14)

14

dalam QS. Al-Baqarah ayat 21948, banyak penafsir yang mengartikan khamr dalam tersebut sebagai perasan anggur, tetapi dengan melihat konteks historisnya bahwa ayat ini turun di Madinah, maka yang biasa dikonsumsi oleh penduduk madinah itu bukan hanya perasan anggur, tetapi juga perasan kurma, karena tradisi itulah yang ada di Madinah.

Pemahaman akan al-Quran dalam konteksnya masih belum cukup, karena pemahaman terbatas pada konteks hanya akan menjadi kajian yang semata-mata bersifat akademis murni bila tidak diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kontemporer. Disinilah perlunya kontekstualisasi, dalam arti upaya untuk menerapkan makna teks yang dipahami dari suatu wacana dalam konteks tertentu di masa yang telah lalu dengan konteks yang berbeda di masa kini. Dalam bahasa Fazlur Rahman, seorang penafsir harus melakukan double movements atau gerakan ganda, yaktu merumuskan visi Al-Quran yang utuh kemudian menerapkan prinsip umum tersebut dalam situasi sekarang.

Setidaknya ada dua asumsi dasar yang menjadi latar belakang perlunya kontekstualisasi ini‘ yaitu: 1) Al-Qur‘an adalah dokumen untuk manusia. Ia menyebut dirinya sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li al-nas). Sebagai dokumen untuk manusia, Al-Qur‘an harus selalu memberikan bimbingan kepada manusia dalam hidup dan kehidupan mereka. Dengan kata lain al-Qur‘an merupakan sumber dan tata nilai. 2) Sebagai petunjuk Allah kepada manusia, pesan-pesan Al-Qur‘an bersifat universal; dan ini disepakati oleh seluruh umat Islam. Persoalannya adalah bagaimana agar pesan-pesan al-Qur‘an yang universal itu bisa ditangkap dan dimanfaatkan oleh setiap orang pada setiap masa.

Upaya kontekstualisasi juga terdapat dalam ilmu tafsir yang dikenal dengan tafsir al-adab al-ijtima‟i dimana yang menjadi ciri khasnya adalah berupaya merumuskan petunjuk Al-Qur‘an agar bisa dipakai sebagai pedoman praktis dalam kehidupan umat Islam. Dalam perspektif hermeneutik, hal ini lebih dekat dengan teori Dilthey yang menyatakan bahwa hermeneutika berarti menafsirkan secara reproduktif, dalam arti tidak sekedar mencari pemahaman apa yang dimaksud oleh teks semata, tetapi juga mencari apakah teks bermakna untuk masa kini. Ini senada dengan Carl Braaten yang berpandangan bahwa berusaha memahami suatu teks berarti mencoba memahami horizon zaman yang berbeda untuk dipahami dan diwujudkan dalam situasi konteks masa kini.

Antara teks, konteks dan kontekstualisasi dalam tafsir klasik jarang digunakan secara bersamaan. Seringkali penafsiran satu ayat hanya mengeksplorasi setting historis (asbab al-nuzul) kemudian merumuskan pemahaman tanpa membawah ke arah kontekstualisasi, demikian juga sebaliknya, kadangkala muncul

48

(15)

15

upaya kontekstualisasi tanpa terlebih dahulu melacak setting historis saat ayat itu diturunkan. Sedangkan yang paling jarang muncul adalah terangkainya ketiga unsur hermeneutik secara bersama-sama.

Tradisi hermeneutika memusatkan perhatian terhadap ketiga aspek tersebut dalam circle yang tidak terputus, dalam arti ketika seorang melakukan penggalian dan sekaligus ‗reproduksi‘ makan, ketiga aspe tersebut harus dilibatkan tanpa terputus. Ketika seorang menggali makna teks, maka ketika itu pula ia harus memperhatikan konteks dimana teks tersebut muncul dan bagaimana teks tersebut dipahami dalam konteks asalnya, sehingga dengan pemahaman tersebut bisa dilakukan pemaknaan kembali teks yang dimaksud dalam konteks yang berbeda.

Dalam bahasanya Mohammed Arkoun, bahwa selalu ada keterkaitan antara bahasa, pemikiran dan sejarah. Umat Islam, dan umat beragama pada umumnya, perlu menyadari sepenuhnya adanya hubungan dialektik antara bahasa, pemikiran dan sejarah. Tidak ada pemikiran keagamaan apapun yang terlepas sama sekali dari bahasa dan sejarah. Dalam kaitannya dengan Al-Qur‘an, Arkoun menegaskan bahwa kitab suci kaum muslimin ini merupakan merupakan perkataan, fenomena bahasa, kebudayaan dan keagamaan yang lahir dalam suasanannya sendiri sehingga ia tidak akan melahirkan berbagai makna kecuali kalau dimasukkan dalam konteksnya; dan pada gilirannya melahirkan satu penstrukturan kesadaran,, terlebih pada kenyataannya Al-Quran merupakan teks keagamaan yang dimaksudkan untuk dibaca dan dihayati.49

Tinjauan Kritis Hermeneutika al-Qur’an

Seiring dengan dinamika intelektual manusia beserta tantangan-tantangan yang dihadapi semakin kompleks, maka perkembangan metodologi analisis Al-Qur‘an merupakan suatu keniscayaan. Sebuah metodologi boleh jadi akan dirasakan usang oleh si pemakainya, sehingga akan diusahakan mendapatkan yang baru. Proses pencarian ini akan akan bermuara pada perumusan metodologi baru dan akhirnya pembaruan pun tidak mungkin dihindari. Dalam hal ini hermeneutika merupakan metodologi baru yang sedang aktual dibicarakan oleh para ahli. Dalam realitasnya kehadiran hermeneutika telah memunculkan pro dan konra yang begitu sengit di tengah umat Islam. Ada yang berpandangan bahwa ketika hermeneutika diterapkan ke dalam studi al-Qur‘an, maka ―paradigma baru‖ akan muncul bukan saja terhadap tafsir al-Qur‘an, tetapi juga kepada status al-Qur‘an itu sendiri. Pendapat Schleiermacher yang mengasumsikan semua teks tidak memiliki keunikan akan bertentangan dengan keyakinan kaum Muslimin yang menganggap al-Qur‘an sebagai wahyu (tanzil/diturunkan/meta-historis) yang otentik dan final.50

Kehadiran hermeneutika dalam kejian tafsir Al-Qur‘an pada hakikatnya adalah sebuah tawaran baru yang berasal dari para ilmuan metodologi kontemporer

49 Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Al-Qur‟an, terj. Machasin (Jakarta: INIS, 1997), 185-186.

50

Adnin Armas, ―Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi Al

(16)

16

dari berbagai displin ilmiah. Sebagai sebuah tawaran baru, tidak serta merta hermeneutika ini harus diadopsi atau ditolak mentah-mentah. Pemahaman yang serius, upaya trial and error, dan evaluasi yang berkesinambungan kiranya perlu dilakukan sebelum kemudian diputuskan apakah hermeneutika akan menggantikan Ulumul Qur‘an ataukah ditolak seratus persen, atau sekedar menambah variable metodologi dalam Ulumul Qur‘an yang selama ini telah established.

Para pemerhati baik para ahli yang pro-hermeneutika maupun yang anti-hermeneutika memiliki hak untuk memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini, meskipun tentunya ketika perjuangan tersebut memasuki ruang publik, ada aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi, agar tidak terjadi hegemoni, diskriminasi maupun prilaku-prilaku tidak adil lainnya yang dilakukan oleh salah satu pihak. Karena diskusi hermeneutika pada hakikatnya merupakan wacana ilmiah-filosofis, penerimaan dan penolakan terhadap hermeneutika seharusnya didasarkan kepada argumen-argumen yang ilmiah dan bukannya kepada apologi-apologi serta asumsi-asumsi yang tidak perlu, seperti kecurigaan dan ketakukan tanpa dasar terhadap yang lain, maupun sentimentalisme emosional untuk memihak atau menjatuhkan pandangan tertentu.

Semestinya, umat Islam tidak menunjukkan sikap ekstrim dalam menyikapi setiap gagasan baru, baik bersikap latah untuk menerima atau menolaknya. Yang diperlukan adalah sikap kritis. Sikap inilah yang telah ditunjukkan oleh para ulama Islam terdahulu, sehingga mereka mampu menjawab setiap tantangan zaman, tanpa kehilangan jatidiri pemikiran Islam itu sendiri.

Penentangan beberapa pakar Muslim terkait penggunaan hermeneutika dalam pengkajian Al-Quran, pada umumnya disebabkan atas dua hal: Pertama, hermenentika tidak berasal dari khasanah keilmuan Islam. Seperti telah dijelaskan bahwa hermeneutika berasal dari khasanah filsafat Yunani, yang kemudian digunakan dalam merekonstruksi Bible. Kedua, karena hermeneutika pula keontentikan Bible sebagai sepenuhnya wahyu akhirnya diragukan oleh para sarjana Barat. Ada kekhawatiran jika hermeneutika digunakan dalam konteks menafsirkan Al-Quran maka akan bernasib sama dengan Bible.

Menurut penulis, menolak hermeneutika hanya karena ilmu ini tidak lahir dalam khasanah pengetahuan umat Islam justru tindakan yang begitu gegabah. Penolakan ataupun penerimaan terhadap sebuah pengetahuan seharusnya tidak melihat dari darimana pengetahuan itu berasala, melainkan seharusnya dari seberapa besar manfaat dan mudhorat dari pengetahuan tersebut. Mengenai hal ini, penulis ingin mengutip pandangan dari Imam Ali ra: ―hikmah (ilmu) itu merupakan harta yang hilang dari umat Muslim, dan dia berhak mengambil kembali ilmu itu darimana ia berasal‖.

(17)

17

keotentikan Al-Quran sebagai wahyu dari Tuhan tidak akan tetap terjamin, sebab Tuhan sendiri yang menjaminnya. Bahkan Al-Quran merupakan satu-satunya kitab suci di dunia ini menantang bagi orang yang meragukan kebenarannya sebagai wahyu Tuhan dengan meminta membuat satu surat semisal dengannya.

Selain dua pandangan tersebut, ada juga pakar yang menolak penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran karena ilmu tafsir yang digunakan para mufasirin sejak zaman klasik itu sudah sedemikian terang dan jelas. Menurut para ulama tersebut penggunaan hermeneutika justru merupakan upaya terselubung dari para oknum diluar Islam untung menggantikan metode para mufasirin sejak zaman klasik. Lebih jauh lagi ada kekhawatiran upaya tersebut justru berpretensi meruntuhkan khasanah keilmuan Islam. Dalam pandangan penulis, kekhawatiran seperti ini boleh jadi benar meski harus dibuktikan dahulu, akan tetapi dengan menafikan hermeneutika sedangkan pada kenyataannya metode ini dapat mendatangkan manfaat yang begitu besar bagi umat Islam justru tidak bisa sepenuhnya dibenarkan juga. Dalam konteks ini adagium, ―tetap mempertahankan yang lama yang baik, dan hanya menerima sesuatu yang baru yang lebih baik‖ merupakan langkah jalan tengah dalam pergulatan perbedaan pandangan ini.

Disamping itu, hermeneutika pada dasarnya adalah penafsiran dengan pemaksimalan penalaran. Dalam epitemologi penafsiran Islam, penggunaan akal (ra‘yu) dengan sepenuhnya tidak dibenarkan juga. Sebab, penggunaan akal secara serampangan akan mendatangkan subjekivitas dari penafsirnya. Subjekitivitas penafsir pasti ada dalam proses penafsiran, namun tidak semua subjektivitas itu menjadi penyebab kesalahan. Subjektivitas yang menjadi penyebab kesalahan adalah subjektivitas yang tidak lagi menghiraukan rambu-rambu penafsiran yang sudah digariskan para ahli tafsir, subjektivitas yang berusaha menaklukkan nash di bahwa kepentingan pribadi atau mazhabnya. Subjektivitas ini adalah subjektivitas negatif yang tercela yang menurut sebagian riwayat diancam masuk neraka.51

ر لا نم دعقم أوبتىْلف ىارب نا ْرقلا ىف ل ق ْنم .

Barangsiapa yang menafsirkan al-Qur‟an berdasarkan pandangan nalar (subjektifnya) semata (yakni terlepas dari kaidah-kaidah tafsir) maka hendaklah dia menduduki/mengambil tempatnya di neraka.

أطخأ دقف صأف ىارب نارقلا ىف ل ق نم .

Siapa menafsirkan al-Qur‟an dengan nalar (subjektif)-nya (yakni tanpa memperhatikan syarat-syarat yang dibutuhkan) dan penafsirannya benar, maka dia tetap dinilai salah.

Dari penjelasan sebagaimana teruraikan di atas, penulis berasumsi bahwa hermeneutika jelas tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi. Meski Al-Qur‘an sebagai teks namun dengan bersandar pada hermeneutika kemudian menganggap bahwa Al-Qur‘an sama seperti teks lainnya, itu mungkin perlu dikritisi. Hemat penulis, kritikan Prof. Quraish Shihab sedikitnya

51 Izzuddin & Zaenal Arifin, Faktor-Faktor Penyebab Penyimpangan dalam Tafsir ,

(18)

18

telah memberikan gambaran itu, berikut penulis cantumkan petikannya bahwa: ―karena al-Qur‟an yang ditangan umat Islam berbentuk lafazh, maka -kata sementara orang-lafazh Al-Quran itu tidak ada bedanya dengan lafazh-lafazh yang lainnya, sehingga Al-Quran pun dapat didekati sebagaimana mendekati teks apa pun.Bagi umat Islam pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Karena lafazh yang merangkai ayat-ayat Al-Quran diyakini sebagai bersumber dari Allah. Ini menjadikan Al-Quran tidak dapat diperlakukan oleh seorang Muslim sepenuhnya sama dengan karya-karya tertulis manusia. Berlian dan kerikil keduanya bebatuan, tetapi perlakuan kita terhadap berlian jauh berbeda dengan kerikil, betapapun indahnya kerikil itu. Lafazh Al-Quran memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh selainnya‖.

Dalam disiplin kajian hermeneutik, terdapat metode pemahaman dalam aspek tekstual, dimana salah satu bentuk metode ini adalah mencermati hubungan antar teks. Ibarat sebuah gambar foto mengenai suatu tempat di suatu waktu, maka untuk mendapat gambaran yang utuh mengenai tempat tersebut, foto-foto lain mengenai tempat dan waktu yang sama akan sangat membantu untuk memahami foto tersebut. Atau dapat pula digambarkan ibarat satu peta mengenai suatu kawasan. Kawasan yang dimaksud memang satu tetapi petanya bisa berbeda-beda. Jelas bahwa peta itu bukan kawasan itu sendiri, namun disisi lain peta-peta itu menunjukkan kesesuaian tertentu dengan kawasan tersebut. Maka berbagai peta itu justru diperlukan untuk sungguh-sungguh memahami kawasan yang dimaksud, sekaligus untuk lebih memahami nilai dan kebenaran setiap peta itu sendiri.

Salah satu tugas utama hermeneutika adalah menghidupkan dan merekonstruksi sebuah teks dalam jaringan interaksi antara pembicara, pendengar dan kondisi batin serta sosial yang melingkupinya agar sebuah pernyataan tidak mengalami alienasi dan menyesatkan pembacannya. Dengan kata lain, memahami sebuah teks selalu mengasumsikan interaksi dinamis antara variabel psiko-sosial yang muncul pada dunia pengarand dan pembacanya. Penggalian terhadap makna teks yang hanya berhenti pada isi teks tanpa mau melihat latar belakang dan setting historis yang ada di balik teks pada akhirnya hanya akan membawa pemahaman yang parsial dan penafsiran yang tidak tepat sasaran. Dalam kacamata hermeneutika, teks itu sendiri tidak berdiri sendiri, ia sangat tergantung kepada keberadaan konteks-konteks yang melingkupinya, baik dalam aspek bentuk maupun isinya. Ringkasnya menggali makna teks dengan mengabaikan konteks yang ada diseputar teks yang dimaksud hanya akan menghasilkan sebentuk ‗reduksi makna‘ yang sebenarnya dari teks tersebut.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa hermeneutika itu tidak lain adalah suatu metode pemahaman, metode memahami suatu pemahaman yang didasarkan pada beberapa langkah dan ciri khasnya, sebagai sarana untuk menguak kandungan teks tertentu, termasuk teks al-Qur‘an. Di dalam menyikapi dua kutub umat Islam yang berkomentar tentang hermeneutika sebenarnya terdapat beberapa cacatan yang dapat diambil, yakni :

(19)

19

kafir bagi penggunanya, karena bagaimanapun ia hanya sebatas sarana pemahaman. Sebab hermeneutika saat diaplikasikan pada Ulum Al-Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, dalam istilah Ulum Al-Qur`an telah dibahas secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf Al-Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks" dalam penafsiran Al-Qur`an. Dan di sinilah perlu ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.

Bagi pengguna heremenutika perlu menyadari bahwa Al-Qur‘an merupakan suatu Kitab suci yang memiliki nilai sakral ilahiah yang perlu dijaga. Prinsip hermeneutika yang mempertanyakan keorisinalitasan al-Qur‘an karena ada ayat dinilai berpihak pada otoritas tertentu, sehingga perlu direduksi – seperti halnya Injil – maka itu perlu ditinjau kembali. Sebab Al-Qur`an masih terjaga orisinalitasnya, dan tidak mengalami masalah-masalah seperti yang dialami Bible.

Penutup

Harus diakui bahwa hermeneutika memang menawarkan sesuatu yang sangat menarik dalam wacana penafsiran kitab suci. Pola penafsiran yang ditawarkannya disatu sisi mengungkapkan asumsi-asumsi metodologis yang ‗manusiawi‘ karena tidak hanya memperhatikan isi teks, tetapi juga mempertimbangkan keberadaan konteks yang melingkupi teks tersebut, baik konteks psikologis maupun konteks sosial. Di sisi lain, hermeneutika membuka jalan bagi upaya kontekstualisasi kitab suci sehingga dapat berdialog dan operasional-fungsional dalam berbagai ruang dan waktu yang berbeda, sebagaimana yang diidamkan dan dipegangi secara apologis oleh banyak kalangan umat beragama terhadap kitab sucinya masing-masing.

Dalam perspektif hermeneutik, Al-Qur‘an sebagai kitab suci dapat dikaji dari teks, konteks dan dikontekstualisasikan. Ini telah dilakukan oleh pemikir Islam kontemporer. Muhammad Abdu misalnya pernah mengembangkan hermeneutik Al-Qur‘an untuk masyarakat umum dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. Ia menegaskan al-Qur‘an haruslah dipahami dan diinterpretasikan berdasarkan atas materi-materi al-Qur‘an itu sendiri. Pada akhir 1980-an, muncul hermeneutik Al-Qur‘an feminis yang dikemukakan Riffat Hassan. Ada juga Farid Esack yang karena hidup dalam situasi wilayah Afrika Selatan dengan rezim apartheid-nya melahirkan Al-Qur‟an, Liberation and Pluralism. Di tanah air terdapat Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik karya Syu‘bah Asa, Al-Quran Kitab Toleransi karya Zuhairi Misrawi, dan Tafsir Tematik al-Quran tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama karya Tim Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah.

(20)

20

dapat kita lihat betapa aspek ini ditempatkan pada posisi yang sangat tinggi. Hermeneutik kontemporer telah mulai digunakan dalam menggali pandangan dunia Al-Qur‘an. Fenomena ini akan mengarahkan pada suatu momentum dimana tafsir akan muncul sebagai bagian produk ilmiah yang bisa dibaca dan dipahami isinya bukan hanya oleh umat Islam, tetapi juga umat agama lain. (karena Al-Qur‘an tidak hanya hanya diturunkan untuk umat Islam saja melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam).

Hermeneutika merupakan suatu pola pemahaman teks dari hasil pemikiran manusia. Suatu sarana untuk sampai kepada makna yang terkandung di dalam suatu teks dengan beberapa langkah dan tekniknya. Meskipun dinilai sebagai produk Barat akan tetapi tidak mesti dinafikan, karena dalam Islam dituntut mengembangkan kreatifitas pemikiran manusia. Sebagai hasil kreatifitas pemikiran itu ialah teori hermeneutika yang telah terbukti mampu melahirkan pemahaman baru yang berdampak pada peradaban yang lebih maju. Dalam kaitan dengan pemahaman teks al-Qur‘an, penggunaan hermeneutika tidak perlu dikhawatirkan meski akan bermunculan penfasiran berbeda-beda. Ada pepatah mengatakan: ―likulli maqal maqam wa li kulli maqam maqal‖. Kesadaran akan kemukjizatan dan keorisinalitasan al-Qur‘an juga harus tetap dijunjung tinggi. Wallahu a‟lam.

Daftar Pustaka

Buku

Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis Menggagas Keberagamaan Liberatif, (Jakarta: Buku Kompas, 2004).

Jean Grondin, Sejarah Hermeneutik: Dari Plato Sampai Gadamer, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012).

Paul Ricoeur, Filsafat Wacana: Membela Makna dalam Anatomi Bahasa, terj. Musnur Hery (Jogjakarta: IRCiSoD, 2002).

Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme, (Jakarta: Penerbit Fitrah, 2007).

Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi „Ulum Al-Qur‟an, (Beirut: al-Markaz al-‗Arabi al-Tsaqafi, 1996).

Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985).

Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur‟ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Qalam, 2003).

Islah Gusman, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Yogyakarta: LkiS, 2013).

(21)

21

Farid Esack, Qur‟an Pluralism and Liberation, (Oxford: One World, 1997).

Nur Kholis, ―Nashr Abu Zayd: Beberapa Pembacaan Terhadap Turats Arab, sebuah pendahuluan pada terjemahan buku Isykaliyah al-Qira‟ah wa Alliyat al-Ta‟wil,(Yogyakarta: LKiS, 2004).

Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Al-Qur‟an, terj. Machasin (Jakarta: INIS, 1997).

Makalah dan Jurnal

Achmad Khudori Soleh, ―Membanding Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir,‖ TSAQAFAH Jurnal Peradaban Islam, (Vol. 7, No. 1, April 2011). Adnin Armas, ―Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi Al-Quran,‖

dalam Islamic Worldview, ed: Adian Husaini, (Bogor: Universitas Ibn Khaldun, 2010).

Ahmad Fuad Fanani, ―Metode Hermeneutika untuk al

-Qur‘an‖, http://islamlib.com/id/index.php? page=article&id=124, (diakses pada 1 Nopember 2015).

Nasaruddin Umar, ―Menimbang Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir‖, Jurnal Studi Quran, (Vol. 1, No. 1, 2006).

Nur Rofiah, ―Hermeneutika al-Qur‟an: Melacak Akar Problem Krusial Penafsiran,”MIMBAR Jurnal Agama dan Budaya, (Vol. 24, No. 1, 2007).

Izzuddin & Zaenal Arifin, Faktor-Faktor Penyebab Penyimpangan dalam Tafsir, (Makalah Jenjang Doktoral tidak diterbitkan, 2015).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa merger dan akuisisi tidak dapat meningkatkan rata-rata kinerja keuangan pada perusahaan yang diteliti oleh

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id.. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3) Kajian kitab, tiap hari jum’at dengan kitab “Minhatus’sainah”.. 4) Sholat dhu’ha tiap pagi sebelum pembelajaran dimulai di masjid MAN Tlogo, dengan cara bergilir , dua

(2) Tingkat kelayakan media pembelajaran interaktif kompetensi dasar listrik berdasarkan hasil penilaian oleh ahli materi termasuk dalam kategori layak dengan rerata skor

Dalam metode ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara mendatangi langsung bagian pemasaran perusahaan PT Anugerah Nusa Sejahtera mengenai kegiatan promosi

Berdasarkan pengertian dari para ahli, maka peneliti menyimpulkan bahwa kecanduan internet merupakan suatu tingkah laku dimana individu mengalami ketergantungan terhadap

Berdasarkan penelitian terhadap pengukuran risiko yang ada sebelumnya pada umumnya penelitian dilakukan dengan menggunakan metode OCTAVE atau OCTAVE- S, oleh sebab itu

Untuk meningkatkan konsentrasi maka perlu diusahakan pembelajaran yang tepat yaitu dengan Tutor Sebaya, karena ketika siswa belajar dengan Tutor Sebaya, siswa dapat