• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAJAK LAUT DALAM PERSPEKTIF ETIKA KONFUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAJAK LAUT DALAM PERSPEKTIF ETIKA KONFUS"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAJAK LAUT DALAM PERSPEKTIF ETIKA KONFUSIAN:

Kisah Bajak Laut dalam Masyarakat Maritim China Selatan pada

Masa Modern Awal

Slamet Subekti

Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro

Pendahuluan

Perbincangan akademis tentang bajak laut dalam konteks Indonesia telah berlangsung selama dua dasawarsa ini dipelopori oleh sejarawan tersohor Prof. AB Lapian. Beliau dianugerahi gelar sebagai “Nakhoda Pertama Maritim di Asia Tenggara” yang disematkan oleh Shaharil Talib, sejarawan dan guru besar Universitas Malaya sebagai bukti dedikasinya di bidang ilmu yang digelutinya (http://www.hariankomentar.com/arsip_2008/sep_11/L1006.html, diunduh 17 Februari 2010). Sementara di tempat lain, Prof. Djuliati Suroyo sejak menjelang milenium kedua telah menjadi lokomotif yang mengusung gerbong jurusan sejarah Universitas Diponegoro dengan visi kemaritiman, dan tulisan ini dipersembahkan kepada beliau.

Saya tertarik untuk menulis kisah bajak laut di China Selatan pada masa modern awal, karena terinspirasi artikel Robert Antony –beliau profesor sejarah pada Western Kentucky University USA—yang dimuat di IIAS Newsletter # 36, Maret 2005 (http://www.iias.nl/36/IIAS_NL36_07.pdf, diunduh 17 Februari 2010). Tulisan ini sekaligus merespon kekecewaan saudara Akhriyadi Sofian, seorang antropolog dan anggota forum komunikasi pekerja sosial masyarakat kota Singkawang sebagaimana diungkapkan dalam resensi buku Prof. AB Lapian,

Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX

(2)

buku tersebut. (http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/12/05493259/sejarah-oran..., diunduh 20 Februari 2010).

Sehubungan dengan minat saya mempelajari filsafat China, keberadaan bajak laut akan dikaitkan dengan etika Konfusian dalam artian sebagai ajaran moral, bukan mengacu pada Konfusianisme sebagai ideologi politik. Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk mengungkapkan aktivitas sekelompok orang yang lekat dengan tindakan kekerasan dan kejahatan di lautan. Betapa pun bajak laut China menurut ideal etika Konfusian telah melakukan pelanggaran, tetapi secara eksistensial pilihan jalan hidup mereka tidak lepas dari kondisi sosial ekonomi pada waktu itu.

Gambaran umum yang berkembang tentang bajak laut adalah sosok petualang pemberani, pemberontak heroik maupun penjahat yang haus darah. Kiranya fakta dan fiksi tentang bajak laut senantiasa mempesona orang dari segala usia, tetapi keberadaan bajak laut tetap menyisakan pertanyaan yang menggelitik. Apa arti penting bajak laut bagi kemaslahatan dan signifikansi kajian perompakan bagi pengembangan penulisan dan pembelajaran sejarah?

Bajak Laut dan Sejarah Maritim

(3)

(http://dutamasyarakat.com/artikel-24616-cerita-lapian-soal-bajak-laut.html, diunduh 17 Februari 2010).

Kajian tentang bajak laut penting karena dapat menginformasikan tentang kehidupan orang. Sebagian besar bajak laut berasal dari pekerja kelas bawah yang tidak puas, demikian halnya dengan pelaut dan nelayan terpaksa terjun ke dunia perompakan karena kemiskinan. Mereka biasanya orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan terjerat hutang, rentang usia bajak laut berkisar antara dua puluhan hingga empat puluhan tahun. Pekerjaan mereka di lautan memerlukan kecepatan bergerak dari satu pelabuhan ke lain pelabuhan, dan dari satu kapal ke lain kapal untuk melakukan penyerangan dan perampasan barang muatan (http://www.iias.nl/36/IIAS_NL36_07.pdf, diunduh 17 Februari 2010).

Pada masa sulit dan langka pekerjaan, banyak pelaut yang bekerja di kapal-kapal bajak laut. Perompakan dianggap sebagai tindakan rasional dan pekerjaan alternatif meskipun menghasilkan upah rendah. Bagi sebagian besar profesional bajak laut menggangap pekerjaan mereka tetap, sementara sebagian kecil lainnya sebagai pekerjaan sambilan. Oleh karena itu, perompakan mempunyai fungsi penting dalam menyediakan pekerjaan bagi mereka yang tidak terserap dalam pasar tenaga kerja.

Fenomena bajak laut bukan hanya menarik, tetapi signifikan dalam rangka menginformasikan sejarah suatu bangsa. Dalam konteks China antara 1520 hingga 1810 telah terjadi kebangkitan dalam perompakan di sepanjang pantai selatan, mulai dari provinsi Zhejiang hingga ke pulau Hainan. Kurun waktu itu merupakan masa keemasan perompakan di China, yang terdiri dari tiga periode: pertama, perompak-pedagang masa dinasti Ming pertengahan 1520 sampai 1575; kedua, perompak-pemberontak masa transisi dinasti Ming ke Qing antara 1620 dan 1684; dan ketiga, perompak-umum masa pertengahan dinasti Qing dari 1780-1810.

(4)

70.000 orang. Pada satu sisi, bajak laut membawa malapetaka bagi banyak masyarakat setempat dan mengganggu ekonomi; di lain sisi, mereka berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi, sosial dan budaya China pada masa modern awal.

Pada puncak kekuasaan bajak laut telah mencengkeram desa-desa pesisir dan kota-kota pelabuhan, baik terhadap usaha perkapalan maupun perikanan melalui penggunaan teror yang sistematis, penyuapan, dan pemerasan. Selama masa tertentu semua kapal yang beroperasi di sepanjang pantai China menghadapi serangan bajak laut, kecuali mereka membeli surat ijin melewati. Untuk menghindari serangan, para pedagang dan nelayan jung membayar biaya perlindungan kepada para perompak yang menerbitkan paspor, dan pada gilirannya menjamin impunitas bagi pembelinya.

Pada awal abad ke-19 bajak laut China telah mengontrol secara virtual terhadap perdagangan garam yang dimonopoli oleh negara, dan bahkan pedagang Barat membayar 'upeti' kepada para perompak untuk melindungi kapal-kapal mereka. Sistem pemerasan dilembagakan dengan sertifikat pendaftaran, buku rekening, pembukuan, dan biro pemungutan. Pemerasan bagi bajak laut bukan bertujuan jangka pendek untuk memperoleh pendapatan, tetapi dalam jangka panjang dijadikan dasar untuk mendominasi daerah. Bajak laut mampu menembus struktur masyarakat lokal melalui pembentukan skema perlindungan yang tidak sah. Pemerasan merupakan cara langsung dan efektif bagi bajak laut untuk menerapkan hegemoni terhadap suatu daerah. Bajak laut sebenarnya membentuk tingkat kontrol terhadap masyarakat maritim dengan beroperasi secara independen, dan bahkan kemampuan kontrol mereka lebih besar daripada pemerintah dan elit lokal. Oleh karena itu, perompakan menjadi signifikan dan kekuatannya meresap dalam masyarakat pesisir China Selatan.

(5)

konspirasi dengan tentara, pegawai bawahan kantor pemerintah, dan pejabat lokal. Kedekatan posisi sarang bajak laut dengan pusat-pusat ekonomi dan politik menjadi indikasi yang jelas betapa perompakan telah merasuk dalam masyarakat maritim China.

Perompakan dalam Perspektif Etika Konfusian

Pemikiran Konfusian berorientasi humanistik dan mengajarkan pandangan hidup yang humanis. Pemikiran ini berkaitan dengan Konfusius (Kung Tzu, 551-476 SM), seorang filsuf China kuna yang menggambarkan dirinya sebagai transmiter budaya, bukan pencipta budaya. Konfusius adalah pendiri mazhab Cendekiawan (Ju), yang di Barat dikenal sebagai mazhab Konfusianisme. Mazhab ini gemar mempelajari Kitab Klasik Nan Enam (Liu Yi), yaitu: Yi, Shih, Shu, Li,

Yueh, dan Ch’un Ch’iu (Fung Yu-lan, Sejarah Ringkas Filsafat China, 1990: 49). Pengembangan diri –bukan hanya mengacu pada satu dimensi—agar lebih bermakna perlu melibatkan pengalaman dan refleksi terhadap banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Sebagai diri yang didefinisikan sebagai transmiter, Konfusius menemukan lima bidang pengalaman dan perhatian manusia dalam budaya yang diwarisinya. Menurut beliau, kelima bidang pengajaran di bawah ini sangat penting bagi proses pembelajaran untuk menjadi manusia seutuhnya (Tu Wei-ming, Etika Konfusianisme, 2005: 9-11).

Bidang pengajaran pertama adalah puisi, dalam arti seni dan musik. Manusia bukanlah semata orang yang mendapatkan sesuatu seketika dan praktis. Manusia terlibat dalam sebuah konteks budaya yang lebih luas. Dimensi pengalaman ini diwujudkan dalam Buku Puisi (Shih), salah satu tradisi klasik Konfusius. Melalui ekspresi seni muncul dalam resonansi internal seseorang – semacam getaran—yang timbul dari interaksi dirinya dengan alam sekitar. Lebih jauh lagi, puisi menggambarkan emosi dan perasaan seseorang dalam bentuk ekspresi seni yang berkemanusiaan.

(6)

Konfusian, hal itu dapat ditemukan dalam Buku Ritual (Li). Dalam hal ini, ritual bukanlah satu bingkai isyarat yang kosong dan tanpa makna yang diterapkan kepada anak-anak agar berada dalam kontrol dogmatis dalam berperilaku. Juga bukan sebagai ritual kaku yang mengajarkan perilaku benar dalam bentuk tertentu saja, melainkan sarana berbagi dalam komunikasi verbal maupun nonverbal.

Bidang ketiga adalah sejarah. Sejarah merupakan memori kolektif, pengetahuan tantang asal-muasal keberadaan kita. Memiliki perhatian pada sejarah berarti kita harus mengetahui dan peduli terhadap norma-norma dan ide-ide utama yang dianut oleh masyarakat banyak di mana kita menjadi bagian daripadanya. Sebaliknya, tidak peduli dengan sejarah tidak berbeda dengan orang yang tidak memiliki memori. Pemahaman tersebut dituangkan Konfusius dalam Buku Catatan Musim Semi dan Musim Gugur (Ch’un Ch’iu).

Bidang keempat adalah pandangan politik. Seseorang bukan hanya sebagai makhluk seni, atau makhluk sosial dan makhluk sejarah; tetapi ia juga harus menjadi makhluk politik yang berpartisipasi secara responsif dan bertanggungjawab dalam perpolitikan masyarakat. Pandangan partisipasi politik ini diartikulasikan dalam Buku Sejarah atau Buku Dokumen (Shu).

Bidang kelima yang harus dipelajari manusia untuk menjadi manusia disimbolkan dalam salah satu buku klasik yang sangat sulit dipahami yaitu Buku Perubahan (I Ching). Dalam terminologi modern, Buku Perubahan merepresentasikan masalah ekologi, dalam arti lingkungan maupun spiritual. Manusia bukan hanya berada dalam dunia orang lain secara antropologis, melainkan di sebaliknya terdapat dunia yang lebih luas lagi. Oleh karena itu, seseorang membutuhkan pandangan kosmos secara ekologis.

(7)

malu, jadi rasa malu memberikan semacam rangsangan untuk memiliki rasa bermoral. Ketiga, setiap manusia memiliki rasa hormat dan kerelaan sebagai dasar bagi kebenaran dan sebagai sistem ritual yang memungkinkan seseorang berkomunikasi dengan yang lain, baik verbal maupun nonverbal. Keempat, setiap manusia dibekali kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan salah, dan lebih mengutamakan yang benar. Menurut Mencius, karakteristika ini merupakan sifat bawaan setiap manusia. Berbagai sifat tersebut menjadi dasar bagi manusia untuk hidup bermasyarakat dan berkomunikasi dengan mereka.

Banyak sarjana bersepaham bahwa Konfusianisme merupakan inti budaya China. Pemikiran filsafat tentang kode keluarga hingga sistem pemerintahan pada dasarnya banyak dikembangkan oleh para sarjana Konfusian. Sebagai akibatnya, baik kebijakan publik maupun hubungan antarpribadi didasarkan pada etika Konfusian. Konfusianisme telah berkembang menjadi sistem yang kompleks tentang moral, sosial, politik, filsafat, dan quasi-religi yang memiliki pengaruh besar pada budaya dan sejarah Asia Timur. Boleh jadi dianggap sebagai agama negara di China, Korea, Taiwan, Vietnam dan Singapura, karena pemerintah mempromosikan filsafat Konfusianisme. Ajaran-ajaran dasar Konfusianisme menekankan arti penting perkembangan moral individu, sehingga negara dapat diatur oleh kebajikan moral daripada dengan menggunakan hukum yang bersifat memaksa (http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism, diunduh 17 Februari 2010). Konfusianisme dengan demikian bercorak Homopiety, yaitu perhatian dan penghormatan kepada laki-laki dan perempuan sebagai pribadi. Akan tetapi, terdapat juga kritikan bahwa Konfusianisme tidak feminis (lihat Kristeva, Julia

(8)

Konfusianisme lazim dikarakteristikan sebagai “humanisme praktis”, karena kepeduliannya pada seni praktis tentang kehidupan manusia dengan sesama dalam kehidupan dunia sehari-hari. Sebagai humanisme praktis, Konfusianisme memfokuskan perhatiannya pada manusia dan apa yang dilakukannya. Premis berikut ini bersifat radikal bahwa akar dari manusia adalah dirinya sendiri. Konfusianisme mulai dan berakhir pada manusia, karena bagi Konfusius tidak ada yang “di seberang humanisme”. Humanitas bertumpu pada manusia (jen) –humanitas mengacu pada dua-serangkai arti manusia sebagai kolektivitas, dan kausalitas asali manusia. Demikianlah jen merupakan pilar humanisme praktis Konfusius. Tanpa jen, apalagi tanpa mempraktikkannya, manusia tidak akan menjadi manusia seutuhnya.

Menjadi seorang manusia (jen) adalah menjadi insani (jen). Menurut Konfusius dalam Analect of Confusius, jen adalah mencintai semua manusia, dan

chih (pengetahuan) adalah mengenal semua manusia. Inovasi Konfusius terletak dalam menjadikan jen sebagai “keutamaan universal” yang menjadi tolok ukur bagi “keutamaan” lain dalam relasi antar manusia. Jen juga disebut “keutamaan yang sempurna” dari segala keutamaan, seperti kebenaran (i), kesopanan (li), kebijaksanaan (chih) dan kepercayaan (hsin). Manusia yang mempraktikkan jen

juga mempraktikkan chung –kaidah emas positif: ”perlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan”, dan shu –kaidah emas negatif: ”jangan perlakukan orang lain sebagaimana engkau tidak ingin diperlakukan”.

(9)

Budaya bajak laut dan pelaut tersebut tidak selaras dengan kode etika Konfusian yang dominan berupa: kejujuran, berhemat, menahan diri, dan kerja keras; tetapi lebih menjurus pada penipuan, ambisi, kesembronoan, dan menghalalkan segala cara. Dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi - gelisah dan suka bertengkar, pelaut dan nelayan miskin harus memikirkan gaya hidup, kebiasaan, dan standar perilaku mereka sendiri untuk bertahan hidup. Bagi sebagian besar pelaut, perompakan merupakan sarana yang normal, rasional, dan bahkan sah karena berarti mempertahankan standar hidup minimal, jalan keluar yang mungkin dari kemiskinan. Dunia sosial-budaya bajak laut itu signifikan, karena menantang arus utama model Konfusian dan menawarkan alternatif yang dapat dilakukan bagi warga China yang miskin dan terdiskriminasi.

Peranan Perempuan dalam Perompakan

Di antara bajak laut China, terdapat sejumlah perempuan yang signifikan. Karena banyak perempuan yang bermukim di kapal dan bekerja bersama laki-laki, maka bukan hal yang aneh untuk menemukan perempuan di antara bajak laut. Banyak perempuan menikah terjun ke profesi bajak laut dan akan hidup dan mati sebagai penjahat. Beberapa bajak laut perempuan bahkan menjadi pemimpin yang berkuasa, seperti Zheng Yi Sao dan Cai Qian Ma, keduanya memerintah armada bajak laut hebat. Bajak laut perempuan itu mampu bertahan hidup di dunia laki-laki dengan membuktikan kemampuannya seperti laki-laki-laki-laki dalam pertempuran dan dalam tugas sebagai pelaut. Perempuan bukan hanya ditoleransi oleh awak kapal laki-laki, tetapi benar-benar mampu berperan sebagai pemimpin di atas kapal (http://www.iias.nl/36/IIAS_NL36_07.pdf, diunduh 17 Februari 2010).

(10)

Berdasarkan perspektif negara China, perempuan yang berperilaku seperti laki-laki berarti menyelewengkan tatanan sosial dan hubungan jender normal, dan telah menanggalkan alam pikiran Konfusian ortodoks. Mereka menantang hirarkis patriarkal yang diberlakukan oleh negara dan masyarakatnya. Bagi pelaut perempuan, perompakan telah memberikan kesempatan untuk melarikan diri dari kemiskinan dan pengekangan yang ditujukan kepada perempuan. Pada kenyataannya, perompakan telah memberi kesempatan untuk petualangan dan kebebasan yang belum pernah terdengar bagi sebagian besar perempuan di darat.

Simpulan

Kemunculan bajak laut China disebabkan oleh faktor sosio-ekonomi, yaitu himpitan kemiskinan dan perlakuan diskriminasi. Dalam perkembangannya, aktivitas perompakan dalam skala besar selama masa keemasan, baik dalam jumlah dan cakupan serta lamanya waktu, telah menjadi faktor signifikan dalam perkembangan sejarah China modern. Sangat fantastik jumlah puluhan ribu pelaut dan nelayan pernah menjadi bajak laut, bahkan banyak orang di pantai mendapatkan bantuannya, sehingga mempunyai pengaruh besar di kalangan penduduk pantai.

Tampaknya bajak laut China termotivasi untuk melakukan perompakan dengan orientasi ekonomi. Buah hasil prestasi perompak, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah memberikan dampak besar pada pembangunan ekonomi China Selatan pada masa modern awal. Bajak laut berkontribusi membuka pelabuhan dagang dan pasar baru di daerah yang sebelumnya sedikit tersentuh sistem pemasaran yang berlaku, sehingga meningkatkan ekonomi lokal dengan barang-barang dan uang.

(11)

Referensi

Dokumen terkait

(E-bisnis adalah tentang bagaimana memanfaatkan teknologi internet, seperti pemanfaatan aplikasi email yang sederhana dan kegiatan perbank-an secara online, serta sistem lain yang

Agar batasan- batasan yang memenuhi keadaan force majeur /keadaan kahar yaitu diluar kemauan atau tidak dapat diperkirakan penyedia jasa pada waktu kontrak disepakati,

hasil identifikasi bakteri asam laktat dari isolat D adalah metode yang digunakan. Pada penelitian terdahulu yang menggunakan Manual

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka dilakukan pengujian kembali penelitian tersebut dengan judul: “ Pengaruh Efektivitas Penerapan SIA, Pemanfaatan SIA,

Ada dua konteks yang mesti dipahami agar siswa mampu belajar secara baik dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan keterampilan metakognitif, yaitu

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan unutk meneliti kondisi obyek ilmiah(sebagai lawannya adalah eksperimen) diaman peneliti adalah

Pengujian penerapan algoritma genetika yang digunakan untuk melakukan optimasi parameter C, γ dan ε pada metode support vector machine dalam prediksi

Dalam perbincangan mengenai gelagat pengguna Islam, Siddiqi (1979) telah merumuskan beberapa perkara penting yang perlu diambil perhatian dalam sistem ekonomi