II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Trinil Susilawati dan Lukman Affandy
(2004) tentang tantangan dan peluang peningkatan produktivitas sapi potong
melalui teknologi reproduksi, maka disimpulkan bila dilakukan industrialisasi sapi
potong maka IB merupakan hal yang penting. Untuk mendapatkan keberhasilan
yang tinggi dalam pelayanan inseminasi buatan diperlukan pelayanan teknis dan
perencanaan yang baik dalam hal ini melibatkan perencanaan dan pembiayaan
yang memadai dari pengusaha selain itu perlu di inventarisasi data tentang
lamanya birahi pada sapi hasil persilanagan.
Penelitian yang di lakukan oleh Fikri Ardhani (2006) tentang prospek
dan analisa usaha penggemukan sapi potong di Kalimantan Timur ditinjau dari
sosial ekonomi dengan kesimpulan agar usaha ternak sapi potong dapat lebih
menguntungkan maka diperlukan sumber daya manusia petani peternak yang
senantiasa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang manajemen
perkembangbiakan, manajemen kesehatan, manajemen pakan, manajemen
perkandangan dan manajemen sosial ekonomi.
Penelitian yang di lakukan oleh Agustina Abdullah (2012) tentang
kinerja penyuluhan dalam meningkatkan adopsi teknologi pakan mendukung
pengembangan sapi potong dengan kesimpulan, kinerja penyuluhan pertanian
dalam meningkatkan adopsi teknologi pakan adalah rendah pada aspek
peningkatan adopsi teknologi pakan sapi potong diperlukan adanya perbaikan dan
penyempurnaan dalam kinerja penyuluhan terutama dalam aspek responsivitas
dan responsibilitas penyuluhan dalam melakukan program penyuluhan di
peternak.
Penelitian yang di lakukan oleh Lukman Affandhy A. dan H.N Krishna
(2010) tentang pengaruh perbaikan manajemen pemeliharaan pedet sapi potong
terhadap kinerja reproduksi induk pasca beranak (studi kasus pada sapi induk PO
di usaha peternakan rakyat Kabupaten Pati Jawa Tengah dengan kesimpulan
bahwa dengan perlakukan pembatasan menyusui pedet pada induk pasca beranak
pada sapi potong yang di sertai suplementasi akan memperpendek onestrus post
partus (APP) days open (DO) dan jarak beranak dengan tidak berpengaruh negatif
terhadap terhadap pertambahan badan harian pedet prasapih.
Penelitian yang di lakukan oleh Hamdi Mayulu dkk (2010) tentang
kebijakan pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia. Dengan
kesimpulan isu penting dalam pengembanagan usaha ternak sapi potong adalah
penurunan populasi ternak yang terus berlanjut dari tahun ke tahun. Rendahnya
produktivitas ternak serta kompleknya masalah dalam sistem usaha ternak sapi
potong merupakan tantangan sekaligus peluang dalam pengembangan usaha
ternak sumber pedaging tersebut. Solusi yang dijangkau adalah mengintegrasikan
usaha sapi potong dengan sumber pakan. Sumber pakan yang belum
termanfaatkan limbah pertanian dan perkebunan yang selama ini belum di
Keberhasilan pengembangan usaha ternak sapi potong ditentukan oleh
dukungan kebijakan yang strategis yang mencakup tiga dimensi utama agribisnis
yaitu kebijakan input, budidaya, serta pemasaran dan perdagangan yang
melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat peternak. Dari ketiga dimensi
tersebut kebijakan pemasaran (perdagangan) memegang peranan kunci.
Keberhasilan kebijakan pasar output akan berdampak langsung terhadap bagian
harga dan pendapatan yang di terima pelaku agribisnis. Kondisi ini akan
mendapatkan proses adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan pada
akhirnya menjamin keberlanjutan investasi.
Penelitian yang di lakukan oleh Endang Romjali dan Ainur Rayid dengan
judul keragaan reproduksi sapi bali pada kondisi peternakan rakyat di Kabupaten
Tabanan Bali (2007) menyimpulkan keragaan reproduksi sapi bali di Kecamatan
Margan dan Panebel Kebupaten Tabanan Provinsi Bali dipengaruhi oleh faktor
ketersediaan pakan dan manajemen. Induk sapi bali yang memiliki rata-rata bobot
badan di atas 250 kg memiliki jarak beranak lebih pendek. Jarak beranak pada
sapi yang lebih panjang akibat kegagalan dalam perkawinan dapat di perbaiki
dengan sistem perkawinan secara alam dengan menggunakan pejantan.
Penelitian Peni Wahyu Prihandini, D Pamungkas dan D.B Wijono
dengan judul kemampuan mengelola usaha peternakan dalam usaha ternak sapi
potong (studi kasus di Kelompok Tani Makmur Desa Tempel Lemahbang
Kecamatan Jepon, Blora (2005) dengan kesimpulan berdasarkan potensi wilayah
dinamika kelompok dan status manajerial skill peternak responden, maka dapat
kelompok usaha pembibitan menunjukan peningkatan cukup bagus dan ditunjang
oleh peningkatan karakteristik pengetahuan asli (indigenus knowledge) petani
terhadap aspek managerial, yaitu: bibit, pakan, perkandangan, reproduksi, dan
pemasaran. 2, guna mencapai sasaran dan tujuan jangka panjang diperlukan
perubahan pola pikir peternak untuk berjiwa agribisnis melalui sistem komunikasi
yang lebih terbuka dalam suatu wadah kelompok.
Penelitian Matheus Sariubang, A. Nurhayu dan A. Sainap dengan judul
pengkajian pembibitan sapi bali pada perternak rakyat di Kabupaten Takalar
(2009), dengan kesimpulan ; 1. Tingkat kelahiran dan pendapatan pada
pemeliharaan induk sapi bali secara intensif lebih tinggi dibanding pemeliharaan
secara tradisional (ekstensif): 2. Induk sapi yang sudah melahirkan akan kembali
estrus yang disertai kebuntingan lebih tinggi pada pemeliharaan secara intensif
lebih tingi dari pada pemeliharaan secara tradisional.
Penelitian Eniza Saleh dkk, tentang analisis pendapatan peternak sapi
potong di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang (2006) dengan
hasil penelitian dari segi manajemen pemeliharaan ternak, peternak dengan
pengalaman beternak tinggi lebih menguasai tatalaksana beternak dengan baik
seperti pemberian pakan, perawatan kebersihan kandang dan ternak, perawatan
kesehatan, dan penanganan penyakit. Namun dilapangan diperoleh tidak terjadi
pengaruh seperti yang di harapkan. Hal ini dapat di sebabkan karena peternak sapi
potong di daerah ini sebagian tidak melakukan perubahan – perubahan positif
dalam usaha peningkatan pendapatan menurut pengetahuan yang diperoleh
pengalaman yang memadai namun masih mengelola usaha tersebut dengan
kebiasaan – kebiasaan lama yang sama dengan waktu mereka mengawali
usahanya sampai sekarang. Menurut Abidin dan Simanjuntak (1977), faktor
penghambat berkembangnya peternakan pada suatu daerah dapat berasal dari
faktor–faktor topografi iklim, keadaan sosial, tersedianya bahan –bahan makanan
rerumputan atau penguat. Di samping itu, faktor pengetahuan yang di miliki
masyarakat sangat menentukan pula perkembangan peternakan di daerah itu.
Demikian juga menurut Sudrajat (2005) bahwa tanpa ada motivasi dari diri
sendiri jelas merupakan tipe orang yang sulit untuk di ajak bekerja atau berusaha.
Jadi, orang-orang yang demikian perlu di berikan motivasi atau dorongan
sehinggga timbul niat untuk mau berkerja.
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Sapi Potong
Sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil daging yang
memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penting artinya di dalam kehidupan
masyarakat. Seekor ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan
terutama sebagai bahan makanan berupa daging di samping hasil ikutan lainya
seperti pupuk kandang, kulit dan tulang. Daging sangat besar manfaatnya bagi
pemenuhan gizi berupa protein hewani. Sapi sebagai salah satu hewan pemakan
rumput sangat berperan sebagai pengumpul bahan bergizi rendah yang di ubah
menjadi bahan bergizi tinggi kemudian di teruskan kepada manusia dalam bentuk
Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi asal Indonesia yang mempunyai
potensi untuk di kembangkan. Sapi bali mudah untuk beradaptasi dengan
lingkungan baru sehingga sering di sebut dengan ternak perintis Astuti (2009) .
Sapi bali di jumpai di Indonesia yang telah didomistikasi dari sapi liar
masih di jumpai di Ujung Kulon di sebut banteng (bos sundaicus). Jantan sapi bali
berwarna coklat tua pada umur 1,5 tahun, dan betina coklat muda. Kehidupan sapi
bali di pulau Bali daily-gain atau pertambahan berat hidup mencapai 0,6-0,7
kg/hari/ekor, sedangkan si betina dapat beranak setiap 1,5-2 tahun/sekali. Apabila
si pejantan dikebiri warnanya kembali seperti warna si betina Sitepoe (1996).
2.2.2. Sapi Bali
Sapi bali adalah keturunan sapi liar yaitu banteng yang telah mengalami
proses penjinakan selain itu sapi bali banyak mempunyai keunggulan sama halnya
menurut
1. Subur (cepat berkembang biak/ fertilitas tinggi)
2. Mudah beradaptasi dengan lingkungannya,
3. Dapat hidup di lahan kritis.
4. Mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan.
5. Persentase karkas yang tinggi.
6. Harga yang stabil dan bahkan setiap tahunnya cenderung meningkat.
7. Khusus sapi bali Nusa Penida, selain bebas empat macam penyakit, yaitu
jembrana, penyakit mulut dan kuku, antraks, serta MCF (Malignant Catarrhal
8. Kandungan lemak karkas rendah.
9. Keempukan daging tidak kalah dengan daging impor.
10.Fertilitas sapi bali berkisar 83 - 86 %, lebih tinggi dibandingkan sapi eropa
yang 60 %.
11.Karakteristik reproduktif antara lain : periode kehamilan 280 - 294 hari,
rata-rata persentase kebuntingan 86,56 %, tingkat kematian kelahiran anak sapi
hanya 3,65 %, persentase kelahiran 83,4 %, dan interval penyapihan antara
15,48 - 16,28 bulan.
2.2.3 Karakteristik Peternak
Hasil penelitian Yanti (1997) menemukan bahwa karakteristik peternak
dapat menggambarkan keadaan peternak yang berhubungan dengan
keterlibatannya dalam mengelola usaha ternak. Karakteristik peternak bisa
mempengaruhi dalam hal mengadopsi suatu inovasi.
Karakteristik peternak sebagai individu yang perlu diperhatikan untuk
melihat apakah faktor-faktor ini akan mempengaruhi respon peternak terhadap
inovasi yang diperkenalkan Sumarwan (2004). Simamora (2002) juga mengatakan
bahwa karakteristik seseorang mempengaruhi cara dan kemampuan yang berbeda
dalam bentuk persepsi, informasi apa yang diinginkan, bagaimana
Karakteristik individu adalah bagian dari pribadi dan melekat pada diri
seseorang. Karakteristik ini mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja
maupun situasi yang lainnya Rogers dan Shoemaker, (1971) dalam Rini Sri
Damihartini at All.( 2004). dalam Rini Sri Damihartini dan Amri Jahi, (2005).
2.2.3.1. Umur
Klausmeir dan Goodwin (1966) dalam Haryadi (1997) berpendapat
bahwa umur pengajar maupun pelajar merupakan salah satu karakteristik penting
yang berkaitan dengan efektivitas belajar dimana kapasitas belajar seseorang tidak
merata, tetapi menurut perkembangan umurnya. Kapasitas belajar akan naik
sampai usia dewasa kemudian menurun dengan bertambahnya umur.
Dahama dan Bhatnagar (1980) dalam Haryadi (1997) juga menyatakan
bahwa kapasitas belajar akan terus menaik sejak anak mengenal lingkungan
dimana kenaikan tersebut berakhir pada awal dewasa yaitu umur 25 tahun sampai
28 tahun, kemudian menurun secara drastis setelah umur 50 tahun.
Umur seseorang pada umumnya dapat mempengaruhi aktivitas petani
dalam mengelola usahataninya, dalam hal ini mempengaruhi kondisi fisik dan
kemampuan berpikir. Makin muda umur petani, cenderung memiliki fisik yang
kuat dan dinamis dalam mengelola usahataninya, sehingga mampu bekerja lebih
kuat dari petani yang umurnya tua. Selain itu petani yang lebih muda mempunyai
keberanian untuk menanggung resiko dalam mencoba inovasi baru demi
kemajuan usahataninya (Syafrudin 2003).
Menurut Wiraatmadja (1977) pendidikan merupakan upaya untuk
mengadakan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman yang
sudah diakui dan direstui oleh masyarakat, lebih lanjut Slamet dalam penelitian
Haryadi (1977) menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi
tingkat pemahamannya terhadap sesuatu yang dipelajarinya.
Muhibinsyah (1995) dalam Kasup (1998) menyatakan bahwa pendidikan
adalah suatu proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku
manusia melalui pengajaran, tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang
penting diperhatikan dalam melakukan suatu kegiatan, karena melalui
pendidikanlah pengetahuan dan keterampilan serta perubahan sikap dapat
dilakukan.
Mardikanto (1990) menyatakan bahwa pendidikan petani umumnya
mempengaruhi cara dan pola pikir petani dalam mengelola usahatani. Pendidikan
yang relatif tinggi menyebabkan petani lebih dinamis dalam Rini Sri Damihartini
at all. (2004). dalam Rini Sri Damihartini dan Amri Jahi, 2005.
Suhardiyono (1995) dalam Kasup (1998), juga menyatakan bahwa para
ahli pendidikan mengenal tiga sumber utama pengetahuan bagi setiap orang yaitu:
(1) pendidikan informal, yaitu proses pendidikan yang panjang yang diperoleh dan
dikumpulkan seseorang berupa pengetahuan, keterampilan, sikap hidup dan segala
sesuatu yang diperoleh dari pengalaman pribadi sehari-hari dari kehidupan di
dalam masyarakat; (2) pendidikan formal, yaitu struktur dari sistem
pendidikan/pengajaran yang kronologis dan berjenjang lembaga pendidikan mulai
pengajaran sistematis yang diorganisir dari luar pendidikan formal bagi
sekelompok orang untuk memenuhi keperluan khusus seperti penyuluhan
pertanian.
2.2.3.3. Jumlah Tanggungan Keluarga
Menurut Syafrudin (2003) jumlah tanggungan keluarga merupakan salah
satu sumberdaya manusia yang dimiliki peternak, terutama yang berusia produktif
dan ikut membantu usaha ternaknya tanggungan keluarga juga bisa menjadi beban
keluarga jika tidak aktif bekerja.
2.2.3.4. Pengalam Peternak dan Jumlah Ternak
Pengalaman beternaknya cukup lama akan lebih mudah diberi
pengertiannya (Margono dan Asngari, 1969). Jumlah ternak sapi yaitu ternak
utama yang diusahakan peternak sebagai mata pencaharian utama oleh peternak,
dihitung dalam satuan ternak (ST).
Lahan merupakan sarana produksi bagi usahatani, termasuk salah satu
faktor produksi dan pabrik hasil pertanian. Lahan adalah sumberdaya alam fisik
yang mempunyai peranan sangat penting bagi petani (Mosher, 1965). dalam Rini
Sri Damihartini at all. (2004). dalam Rini Sri damihartini dan Amri Jahi (2005).
Padmowihardjo (1994), mengemukakan bahwa pengalaman baik yang
menyenangkan maupun mengecewakan berpengaruh pada proses belajar
seseorang. Motivasi berusahatani motivasi merupakan usaha yang dilakukan oleh
Motivasi dapat menjelaskan alasan seseorang melakukan sesuatu tindakan
(Padmowihardjo, 2002) dalam Rini Sri Damihartini at all. (2004).
2.2.3.5. Ketersediaan Modal Usahatani
Modal adalah faktor penunjang utama dalam kegiatan berusahatani. Hal
ini dikarenakan tanpa modal usahatani niscaya petani akan sulit mengembangkan
usahatani yang dilakukan (Wolf, 1985). dalam Rini Sri Damihartini at all. (2004).
2.2.4. Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong 2.2.4.1. Pakan
Makanan hijauan adalah semua bahan makanan yang berasal dari tanaman
dalam bentuk daun daunan. Termaksud kelompok makanan hijauan ini adalah
bangsa rumput, (grmaninae), legominosa, dan hijauan dari tumbuh tumbuhan lain.
Kebutuhan hijauan makanan pada setiap jenis hewan berbeda –beda. Hewan
hewan ternak seperti sapi, kerbau dan kambing memerlukan jumlah hijauan lebih
banyak dari pada hewan hewan seperti babi dan bangsa unggas. Perbedaan ini
terutama pasa sistem alat pencernaan yang berlainan.(AAK, 1983).
Hewan- hewan ternak yang tergolong memiliki sistem alat pencernaan ini
makanan pokok hewan ini adalah hijauan. Sedangkan kebutuhan akan makanan
penguat sekedar makanan tambahan saja. Pada umumnya jumlah hijauan yang di
di berikan 1 % saja. Sapi potong memerlukan hijauan hijauan hampir 80 % dari
seluruh makanan yang di perlukan (AKK, 1983). Menurut (Anonim, 2008) bahan
dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan pakan konvensional dan bahan pakan
subtitusi, yaitu:
1. Bahan pakan konvensional adalah bahan baku yang sering digunakan dalam
pakan yang biasanya mempunyai kandungan nutrisi yang cukup (misalnya
Protein) dan disukai ternak.
2. Bahan pakan konvensional merupakan bahan makro seperti jagung, bungkil
kedelai, gandum, tepung ikan dan bahan lainnya.
Ternak ruminansia membutuhkan sejumlah serat kasar dalam ransumnya
agar proses pencernaanya berlansung secara optimal. Sumber utama serat kasar
adalah hijauan. Oleh karena itu, ada batasan minimal pemberian hijauan dalam
komponen ternak ruminansia. Untuk penggemukan ternak ruminansia misalnya,
kebutuhan minimal hijauan berkisar antara 0,5-0,8 % bahan kering dari bobot
badan ternak yang di gemukkan. Apabila usaha penggemukan ternak ruminansia
dilakukan dalam waktu relatif singkat maka di perlukan konsentrat yang banyak
dalam komponen ransumnya. Namun perlu diketahui bahwa pemberian konsentrat
yang lebih dari 60% dalam komponen ransumnya tidak akan ekonomis lagi
walaupun harganya murah. (Kenneth dkk, 1960 dalam Sori Basya Siregar, 1996).
2.2.4.2. Manfaat Air dalam Usaha Ternak
Menurut Abidin, Zaenal (2002), air juga berfungsi untuk memandikan
daki dari keringatnya sendiri atau dari kotoran sapi sendiri, agar selalu bersih,
sebaiknya sapi di mandikan sekali sehari, caranya kulit sapi di gosok- gosok
dengan sikat, spon, atau bahan lain sehingga bersih.
Air minum yang di berikan pada sapi sebaiknya harus bersih dan tersedia
setiap saat, tempat air minum di buat permanen berupa bak semen dan letaknya
lebih tinggi dari pada permukaan lantai untuk mempermudah sapi minum,
kebutuhan air minum pada sapi mencapai 70 liter / ekor / hari (Sasroamidjojo
1975).
Ketersediaan air minum perlu di perhitungkan terlebih dahulu sebelum
suatu usaha pemeliharaan sapi di mulai karena air mutlak dibutuhkan.
Ketersediaan air di perlukan untuk mencukupi kebutuhan air minum, pembersihan
kandang atau halaman. Distribusi air kesetiap lapang ternak atau halaman
pengelolaan harus terjamin, banyaknya air yang tersedia sangat penting sekali
terutama pada ladang ternak (ranch). Ladang ternak yang menampung 180 ekor
sapi dan ternak minum 2 kali sehari akan memerlukan bak air minum dengan
volume tidak kurang dari 4.500 liter (Parhan A.P 1969).
2.2.4.3. Selang Beranak (Calving Interval)
Lama kebuntingan adalah priode dari mulai terjadinya fertilasi sampai
terjadinya kelahiran normal (Jainudeen dan Hafez, 2000). Lama kebuntingan ini
berbeda dari satu bangsa ternak ke bangsa ternak lainnya. Lama kebuntingan sapi
pada penelitian ini adalah 284,4 + 5, 7 hari dengan kisaran 278,8 sampai 290,1
(1973) melaporkan lama kebuntingan sapi bali adalah 287 + 0,7 hari ; dengan
kisaran 276 -295 hari (Lubis dan Sitepu, 1998).lamanya kebuntingan di pengaruhi
oleh jenis sapi, jenis kelamin dan jumlah anak yang dikandung dan faktor lain
seperti umur induk, musim, sifat genetik dan letak giografis
Lama kebuntingan pada sapi bali sekitar 280-294 hari (Davendra et
al,1973), lama kebuntingan tersebut di pengaruhi oleh jenis kelamin, iklim,
kondisi makanan dan umur induk (Diagra et al 1979 ), selanjutnya di tambahkan
oleh Jainudeen dan Hafez (2000) bahwa pertumbuhan dan perkembangan fetus
juga di pengaruhi oleh faktor genetik (spesies, bangsa ukuran tubuh dan genotip),
faktor lingkungan (industri dan plasenta) serta faktor hormonal, sementara Fane
(1990) menyatakan bahwa kisaran bobot lahir sapi bali adalah 13-18 kg atau 9-20
kg (Anonimus ,1979). Bobot lahir anak ditemukan oleh bangsa industri, umur atau
aripitas induk dan makanan induk sewaktu mengandung (Sutan,1988).
Jarak beranak kerbau rata- rata 2-3 Tahun (Guntoro et al ,2001), di
bandingkan dengan sapi bali yang selang beratnya berkisar 350-589 hari
(Darmadja,1981).dalam Suprio Guntoro dan M. Rai Yasa (2002)
Tanari (2011) menyebutkan bahwa perkembangan sapi bali sangat cepat di
banding lainya karena tingkat kesuburanya yang tinggi, persentase beranak dapat
mencapai 80% dengan bobot lahir berkisar antara 9-20 kg (Anomimus ,1979),
( Jainudeen dan Hafez, 2000). Pada penelitian ini, dari sejumlah 799
Kelahiran ternyata lama kebuntingan pada sapi bali antara anak jantan dan anak
betina tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Lama kebuntingan pada induk
mengandung anak jantan adalah 284,9 ± 5,7 hari, dan induk yang mengandung
anak betina hampir sama yaitu 283,9 ± 5,6 hari.
Performans reproduktivitas yang tinggi pada sapi bali ditandai dengan
aktivitas ovarium dan perkawinan kembali kurang dari 2 bulan sesudah
melahirkan (Talib et al., 2001), sehingga memberikan tingkat efisiensi reproduksi
yang lebih baik dibading dengan sapi PO (Putu et al.,1998). Aktivitas ovarium
pada sapi betina biasanya muncul beberapa minggu setelah melahirkan,
tergantung oleh kondisi tubuh induk selama menyusui (laktasi). Talib et al. (1998)
menyatakan bahwa sapi bali rela mengorbankan anaknya dengan cara
meminimkan produksi susunya agar aktivitas reproduksinya (siklus birahi) segera
aktif kembali setelah melahirkan, sedangkan sapi potong lainnya kebalikannnya
yaitu menghentikan aktivitas reproduksinya dan terfokus pada pembesaran
anaknya. (dalam Endang Ramjali dan Ainur Rasyid 2007).
Ball dan Peters (2004) menyatakan dalam produksi sapi potong,
reproduksi yang baik sangat penting untuk efisiensi manajemen dan keseluruhan
produksi. Reproduksi terbaik adalah seekor induk menghasilkan satu anak setiap
tahun.
2.2.4.4. Rasio Pejantan dan Betina
Salah satu kesuksesan untuk mendapatkan anak sapi melalui kawin alam
adalah kemampuan mengenal kekuatan lingkungan yang mendukung, dan bangsa
ternak lokal yang telah terbukti adaftip pada lingkungan. Untuk sapi potong,
adalah secara alam (O'marry dan Dyer, 1978; Hafez, 1993). Teknik perkawinan
dengan inseminasi buatan (IB) pada sistim penggembalaan dilaporkan pada
beberapa peternakan dan hasil kebuntingan yang didapat cukup tinggi, yaitu
berkisar 74-84% pada IB pertama (Wiltbank, 1970). Beberapa faktor yang perlu
mendapat perhatian antara lain: (1) pemilihan pejantan dan (2) perbandingan
pejantan dan betina .(Dalam Polmer Situmorang dan I Putu Gede)
1. Pemilihan Pejantan
Pemilihan pejantan yang unggul secara genetik menjadi sangat penting
untuk meningkatkan produksi ternak baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pengaruh bangsa ternak terhadap pertumbuhan anaknya telah dilaporkan oleh
Baker (1996). Disamping pemilihan bangsa pejantan, penilaian performa pejantan
yang bersangkutan juga diperlukan antara lain : kondisi kaki, testes, penis, internal
genitalia melalui palpasi rektal, kualitas semen dan cacat. Testes yang kecil dan
lunak merupakan indikasi produksi semen yang rendah. Hubungan antara luas
testes dan kualitas semen sudah ditunjukan oleh Reddy et al. (1996). Faktor lain
yang perlu dilakukan adalah menyiapkan kondisi pejantan yang prima karena
disamping memproduksi semen juga harus mempunyai libido yang tinggi dan
fisik yang memungkinkan untuk mendeteksi birahi dan mengawini betina
(Chenoweth, 1981). Pemberian pakan yang baik, sehinggga total konsumsi
mencapai 12-16 TDN, 1,32-2,37 protein tercerna, 35-45.000 IU carotein dan
18-20 mg phosphor per hari selama 90-100 hari sebelum penyatuan pejantan dengan
kelompok betina, dapat meningkatkan persentase kebuntingan dan produksi anak
2. Perbandingan Pejantan dan Betina
Disamping kualitas genetik pejantan perbandingan pejantan, dengan betina
sangat mempengaruhi produktivitas. Penentuan perbandingan antara jantan dan
betina dipengaruhi banyak faktor, antara lain keadaan topografi padang
penggembalaan, umur pejantan, kondisi pastura, pakan dan sumber air yang
tersedia dan lama perkawinan. Topografi yang jelek, keadaan pastura dan air yang
terbatas, memerlukan jumlah pejantan yang lebih banyak. Perbandingan jantan
dan betina antara 30-60 telah dipraktekkan secara luas (Hafez, 1993), dan nisbah
yang lebih kecil yaitu 1: 25 untuk waktu perkawinan yang lebih singkat, yaitu
60-90 hari (O'marry and Dyer 1978). Disamping perbandingan jantan betina, jumlah
pejantan per satu kelompok perkawinan juga dapat dilakukan untuk meningkatkan
daya kompetisi pejantan untuk mengawini ternak betina ataupun sistim rotasi
dimana selalu satu ekor pejantan per satuan jangka waktu tertentu. Kedua sistim
perkawinan alam ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan sistim
rotasi dapat mengoptimalkan performans pejantan yang digunakan dimana
pejantan mendapat kesempatan untuk istirahat, pemulihan kondisi dengan
suplementasi makanan dan peningkatan produksi dan deposito semen.
Kekurangannya adalah memerlukan extra tenaga kerja, dan penanganan pejantan
selama pengeluaran dari kelompok yang tidak sempurna dapat merupakan stress
tambahan untuk pejantan, dan akan mempengaruhi kualitas semen (dalam Polmer
2.2.4.5. Perkawinan Model Padang Pengembalaan (Angonan).
Bahan dan alat berupa padang pengembalaan yang pada umumnya dekat
hutan/perkebunan maupun di ladang sendiri yang dilengkapi dengan kandang
kecil berupa gubuk untuk memperoleh pakan tambahan atau air minum terutama
pada saat musim kemarau yang banyak diperoleh di dekat hutan atau Indonesia
Bagian Timur (Aryogi 2006 dalam Lukman Affandhy dkk 2007). Model ini
kotoran sapi dan dapat langsung jatuh di ladang milik sendiri atau milik petani
lain yang berfungsi menambah kesuburan tanah ketika musim tanam. Kapasitas
areal angonan sangat luas dan dapat diangon hingga ratusan ekor betina dan
beberapa pejantan, yakni hingga 60-100 ekor induk dengan 2-3 pejantan (rasio
betina : pejantan 100:3 dengan memperoleh hijauan pakan rumput atau tanaman
hutan). Manajemen perkawinan dengan cara angon dapat dilakukan oleh petani
atau kemitraan antara kelompok perbibitan sapi potong rakyat dengan perkebunan
atau kehutanan seperti di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan dengan tahapan
sebagai berikut:
1. Induk bunting tua maupun setelah beranak tetap langsung diangon bersama
pedetnya.
2. Bila ada sapi yang terlihat gejala birahi langsung dipisah untuk diamati
keadaan birahinya. Selanjutnya setelah diketahui bahwa sapi tersebut birahi
benar, maka langsung dapat dikawinkan dengan pejantan terpilih dan ditaruh
dikandang dekat rumah.
3. Setelah dua hari dikawinkan selanjutnya dapat dilepaskan kembali ke hutan
4. Pergantian pejantan dapat dilakukan selama tiga kali beranak guna
menghindari kawin keluarga.
5. Sapi induk yang positif bunting tua (akan beranak) sebaiknya dipisah dari
kelompok angonan hingga beranak dan diletakkan di pekarangan yang dekat
dengan rumah atau dikandangkan dengan diberikan pakan tambahan berupa
konsentrat atau jamu tradisional terutama pada sapi induk pasca beranak.
Perbandingan anak jantan dan betina yang lahir pada kedua musim
tidak menunjukkan adanya pengaruh musim tersebut. Jumlah anak yang lahir
pada musim hujan sebanyak 40 ekor dengan sex ratio 60% jantan dan 40%
betina sedangkan pada musim kemarau jumlah anak yang lahir sebanyak 30
ekor dengan 18 ekor jantan dan 12 ekor betina (60 : 40). Angka kematian
antara umur 0 sampai dengan 5 bulan pada musim kemarau lebih tinggi jika di
bandingkan dengan angka kematian anak yang lahir dan hidup pada musim
hujan. Masing- masing jumlah anak yang lahir dan yang mati selama priode
musim kemarau dan hujan dalam (Lukman Affandhy dkk 2007)
2.2.4.6. Reproduksi
(Suryana 2009) Produksi daging sapi dalam negeri yang belum mampu
memenuhi permintaan tersebut terkait dengan adanya berbagai permasalahan
dalam pengembangan sapi potong beberapa permasalahan tersebut adalah: 1)
usaha bakalan atau calf-cow operation kurang diminati oleh pemilik modal karena
secara ekonomis kurang menguntungkan dan di butuhkan waktu pemeliharaan
peternak, 3) ketersediaan pakan tidak kontinyu dan kualitasnya rendah terutama
di musim kemarau, 4) pemanfaatan limbah pertanian dan angroindustri pertanian
sebagai bahan pakan belum optimal, 5) efisiensi reproduksi ternak rendah dengan
jarak beranak (calving interval) yang panjang.
2.2.5. Produksi
Meskipun banyak keunggulan dari sapi bali, tetapi ditinjau dari
pengembangannya terutama usaha peternakan rakyat masih sering muncul
beberapa permasalahan diantaranya pola perkawinan yang kurang benar (sering
terjadi inbreeding/ perkawinan sedarah), minimnya pengetahuan tentang deteksi
berahi sehingga terjadi perkawinan dengan waktu yang tidak tepat, hal ini juga
dapat mempengaruhi pruduksi ternak sapi menurun drastis (Reksohadiprojo, S.
1984).
Rendahnya produksi dikarenakan angka kebuntingan sehingga
menyebabkan jarak beranak (calving interval) yang terlalu panjang lebih dari 18
bulan yang berdampak terhadap rendahnya perkembangan populasi sapi pertahun
dan Akibatnya terjadi penurunan income petani dalam usaha ternaknya, dan
dikurangnya pengetahuan peternak tentang teknologi tepat guna (Sudono, A
,1969).
Faktor produksi usahatani ternak pada dasarnya adalah tanah dan alam
sekitarnya, tenaga kerja, modal serta peralatan. Namun demikian, ada beberapa
pendapat yang memasukan manajemen sebagai faktor produksi ke empat
Ternak sapi potong sebagai salah satu sumber makanan berupa daging,
produktivitasnya masih sangat memperhatikan karena volumenya masih jauh dari
target yang di perlukan konsumen, hasil ini di sebabkan oleh produksi daging
masih rendah (Anwar 2002).
Beberapa faktor yang menyebapkan produksi rendah, yaitu :
1. Populasi rendah
Rendahnya populasi ternak sapi karena umumnya sebagian besar ternak sapi
potong yang di pelihara oleh peternak masih dalam skala kecil, dengan lahan
dan modal yang sangat terbatas.
2. Produksi rendah
Tingkat produksi rendah akibat faktor tujuan pemeliharaan dan penggunaan
bibit belum memadai, serta pakan yang masih rendah.
• Faktor bibit
• Faktor pakan tersedia terbatas
Menurut Guntoro (2008), sapi bali mulai berproduksi antara 2,5 sampai 3
tahun selama 1 tahun sekali. Hal ini juga sangat bergantung pada pakan dan
pemeliharaan yang baik dengan berat bakalan bekisar antara 200-300 kg dengan
kisaran umur 1-2 tahun.
2.2.6. Regresi Linier Berganda
Analisis regresi menjelaskan hubungan dua atau lebih dari variabel sebab
akibat. Artinya variabel yang satu akan di pengaruhi variabel lainya. Besarnya
pengaruh variabel ini dapat diduga dengan besar yang ditunjukkan oleh koefisien
dimana Y= variabel yang di jelaskan (dependent variabel)
X = variabel yang menjelaskan (Indevenden variabel)
Hubungan Y dan X adalah searah, dimana X akan selalu mempengaruhi Y,
dan tidak mungkin terjadi hal yang sebaliknya. Oleh karena itu dalam nodel
development, maka pemilihan variabel Y dan X harus cermat dan benar
(Soekartawi, 2002)
Analisis Regresi Linier Berganda merupakan sala satu metode regresi untuk
mengetimasi α dan β yang disebut dengan metode ordinary least squares method
(OLS), dengan regresi linier berganda dapat mengidentifikasikan
hubungan-hubungan yang terjadi antara peubah-peubah bebas dengan peubah tetap. Analisis
ini juga dapat mengetahui seberapa besar pengaruh yang diberikan oleh peubah
bebas tertentu terhadap peubah tetapnya. Dalam penelitian ekonomi dan bisnis,
banyak hal yang tidak bisa dikendalikan sehingga regresi berganda sering
dibutuhkan untuk menduga pengaruh yang diberikan oleh berbagai peubah secara
simultan Newbold, et.al. 2003 dalam Daslina 2006. Model umum regresi linear
berganda adalah :
Yi = α+ βX1i +β2X2i + …+ βnXni + ε
dengan α merupakan intercept/constanta, β i
1, β2,……βn koefisien regresi yang
menggambarkan pengaruh yang diberikan oleh peubah bebas (X1, X2, …Xn)
terhadap peubah tak bebas (Y), dan ε merupakan galat model yang
mengakomodasikan kesalahan pendugaan, sedangkan subscript i menunjukkan
Menurut Lains 2003 dalam dalam Daslina 2006 asumsi dasar OLS sering
dilanggar dalam melakukan estimasi sebuah model sehingga parameter yang
diperoleh menjadi bias, tidak konsisten dan tidak efisien. Asumsi dasar OLS yang
harus dipenuhi menurut Gauss dalam Lains 2003 dalam Daslina 2006 diantaranya
adalah tidak terdapat kolinearitas ganda (multikolineraitas) berderajat tinggi yang
akan menghasilkan koefisien regresi yang tidak efisien. Yang dimaksud dengan
multicollinearity adalah situasi yang menjelaskan adanya interkorelasi yang tinggi
antara variabel penduga Maddala, 1989 dalam dalam Daslina 2006. Selanjutnya
disebutkan untuk mengetahui adanya multikolinearitas tersebut dapat diukur
dengan nilai variance inflation factor (VIF) dengan rumus sebagai berikut :
1 VIF (βi
1 – R ) =
i2
Dimana Ri 2 adalah koefisien korelasi antara variabel Xi dengan variabel penjelas
lainnya. Dan Mechling (1997 dalam Daslina 2006 menambahkan bahwa nilai VIF
yang lebih besar dari 10 memberikan indikasi adanya multikolinearitas.
2.3. Kerangka Pemikiran
Dalam rangka pengembangan kawasan peternakan Ketapang 1 Kabupaten
Aceh Tengah , maka perlu di ketahui masalah yang menyebabkan rendahnya
penambahan populasi ternak sehingga dapat dicarikan langkah-langkah strategis
pengembangan peternakan terutama sapi potong dalam upaya pemberdayaan
mempengaruhi keberhasilan suatu usaha peternakan seperti yang datang dari
manusianya atau peternak yang meliputi; umur, pendidikan, pengalaman, jumlah
tanggungan, dan pekerjaan sebelum beternak. Faktor faktor yang lainya yang
bersumber dari dalam manajemen pemeliharaan ternak tersebut yang perlu di
ketahui sehingga masalah yang timbul dari proses peternakan tersebut dapat
perkecil. Dalam pemeliharaan ternak, ketersediaan hijauan pakan ternak akan
mempengaruhi penambahan populasi ternak, semakin tersedia hijauan secara
optimal dan bervariasi maka akan semakin baik pertumbuhan dan penambahan
populasi ternak. Setelah pakan air adalah hal utama dalam pertumbuhan ternak, 70
% dari pertumbuhan ternak bersumber dari air, disamping untuk kebutuhan air
minum, air untuk penyiraman hijauan makanan ternak, air untuk sanitasi dan
lainya sehingga air ini harus tersedia secara terus menerus. Selang beranak
(calving interval) merupakan selang beranak induk dari beranak I ke beranak
seterusnya semakin pendek selang beranak maka penambahan populasi ternak
semakin baik. Rasio jantan dengan betina merupakan perbandingan jumlah jantan
dengan betina semakin banyak pejantan unggul yang siap untuk mengawini induk
betina maka semakin baik. Mortalitas bibit dan mortalitas anak merupakan tingkat
kematian bibit dan anak, semakin kecil nilai persentase kematian maka akan
semakin baik. Pencurahan tenaga kerja merupakan ketersediaan waktu peternak
dalam mengurusi ternaknya, semakin banyak waktu yang di luangkan peternak
maka peternak akan lebih mengetahui permasalahan ternaknya dan solusinya
merupakan kemampuan peternak dalam mengkombinasikan dan menangani
ternaknya secara baik dan efisien sehingga pemeliharaan dapat lebih baik.
Konsep kerangka pemikiran dapat di lihat pada Gambar 1.
Kerangka Pemikiran
Upaya yang di lakukan untuk penambahan populasi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
2.4. Hipotesis Penelitian
Kebijakan Pengembangan Kawasan Peternakan Ketapang 1 Kabupaten Aceh Tengah
Populasi Ternak Sapi Bali
Analisis Faktor- Faktor yang
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai
berikut:
1. Faktor- faktor manajemen pemeliharaan ternak sapi bali (Jumlah hijauan
makan ternak, air, selang beranak, rasio jantan dengan betina, tingkat
mortalitas bibit, tingkat mortalitas anak, pencurahan tenaga kerja dan
manajemen) berpengaruh terhadap penambahan populasi ternak di peternakan