• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker 2.1.1 Pengertian Kanker

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker 2.1.1 Pengertian Kanker"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker

2.1.1 Pengertian Kanker

Kanker adalah suatu penyakit dimana terjadi pertumbuhan sel yang tidak normal secara terus-menerus dan tidak terkendali (American Cancer Society, 2013). Sel kanker tumbuh dengan cepat dan dapat menyebar (metastasis) ke bagian tubuh lainnya melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening. Penyebaran sel kanker ke jaringan sehat pada organ tubuh lainnya dapat merusak organ tubuh tersebut sehingga fungsi organ tersebut menjadi terganggu (Lubis dan Hasnida, 2009).

2.1.2 Pembentukan Sel Kanker

Ciri dari sel kanker adalah tumbuh secara tidak normal. Sel kanker tumbuh dengan cara mitosis, yaitu membelah diri dan berubah secara permanen dengan mutasi (Subagja, 2014).

(2)

sintesis, bila ada kerusakan DNA maka akan diperbaiki oleh gen DNA polimerase atau diprogram apoptosis. Fase mitosis yaitu fase pembelahan sel (Otto, 2005).

Gambar 2.1 Fase pembelahan sel normal (Romadhon, 2013)

Kondisi yang dapat menyebabkan perubahan sel normal menjadi sel kanker adalah hiperplasia, displasia, dan neoplasia. Hiperplasia merupakan keadaan dimana sel normal dalam jaringan tumbuh secara berlebihan. Displasia merupakan kondisi ketika sel berkembang tidak normal dan terlihat adanya perubahan pada nukleus, sedangkan neoplasma merupakan kondisi sel pada jaringan yang sudah berproliferase (tumbuh pesat) secara tidak normal dan memiliki sifat invasif (Subagja, 2014).

Pertumbuhan sel yang tidak terkendali tersebut disebabkan karena terjadi kerusakan pada DNA yang diakibatkan mutasi gen (Subagja, 2014). Mutasi tersebut diakibatkan oleh agen kimia maupun fisik yang disebut karsinogen. Mutasi adalah perubahan susunan nukleotida pada DNA. Deoxyribonucleic acid

(3)

terjadinya onkogen dan inaktivasi gen supresor tumor. Onkogen merupakan pembelahan sel yang tidak terkendali, sedangkan inaktivasi gen supresor tumor menyebabkan tidak terjadinya apoptosis (kematian sel terprogram). Oleh karena itu protein yang abnormal dapat menyebabkan perubahan sel normal menjadi sel kanker (Kumar, et al., 2010).

2.1.3 Faktor Risiko Kanker

Kerusakan pada sel atau mutasi gen dapat terjadi melalui beberapa faktor berikut:

a. Faktor Internal

Kesalahan genetik yang diturunkan oleh orang tua merupakan faktor internal. Faktor genetik ini menyebabkan beberapa keluarga memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita kanker dibandingkan dengan keluarga lainnya (Subagja, 2014).

b. Faktor Eksternal i. Faktor lingkungan

(4)

reproduksi sel serta merangsang sel yang rusak untuk mengalami apoptosis (kematian sel terprogram) (Carucci dan Leffell, 2008).

ii. Faktor virus

Human Papiloma Virus (HPV) merupakan penyebab terjadinya kanker serviks. Onkoprotein E6 merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Onkoprotein E6 akan berinteraksi dan menginaktivasi protein p53. Fungsi p53 adalah sebagai tumor supressor gene yang bekerja pada fase G1 dan p53 pada siklus sel berfungsi menghentikan siklus sel pada fase G1. Kemampuan p53 menghentikan siklus sel melalui hambatannya pada kompleks cdk-cyclin. Cdk-cyclin merupakan ikatan protein yang membantu dalam proses pembentukan DNA. Kompleks ini berfungsi merangsang siklus sel untuk memasuki fase selanjutnya. Akibat hilangnya fungsi p53 maka penghentian sel pada fase G1 tidak terjadi, dan perbaikan DNA tidak terjadi dan sel akan terus masuk ke fase S tanpa ada perbaikan. Sel abnormal ini akan terus berploriferasi tanpa kontrol. Selain itu hilangnya fungsi p53 menyebabkan apoptosis tidak berjalan yang akan menyebabkan terbentuknya sel kanker (Rusmana, 2009).

iii. Faktor prilaku

(5)

iv. Gangguan Keseimbangan Hormonal

Hormon bukan karsinogen tetapi dalam keadaan tertentu memicu terjadinya kanker. Estrogen dan progesteron merupakan hormon yang saling bertolak belakang. Hormon estrogen berfungsi untuk merangsang pertumbuhan sel yang cenderung mendorong terjadinya kanker. Hormon progesteron berfungsi untuk melindungi terjadinya pertumbuhan sel yang berlebihan. Ketidakseimbangan hormon estrogen dapat mengakibatkan terjadinya kanker rahim. Sebelum menopause, ovarium memproduksi hormon estrogen dan progesterone yang membantu mengendalikan siklus bulanan (masa haid). Pada masa ini, sel telur akan dilepas dari ovarium dan membuat dinding rahim tumbuh lebih tebal untuk mempersiapkan kehamilan. Apabila tidak terjadi pembuahan maka lapisan dinding rahim akan datang dan pergi setiap bulannya. Setelah menopause, ovarium tidak lagi memproduksi hormon, akan tetapi wanita masih dapat menghasilkan beberapa estrogen dalam lemak tubuh mereka. Ketika estrogen terlalu banyak dan tidak ada progesteron yang mengimbanginya maka risiko kanker rahim akan meningkat (Subagja, 2014).

2.1.4 Jenis Kanker Sistem Reproduksi Wanita

Beberapa jenis kanker sistem reproduksi wanita, yaitu: a. Kanker Serviks

(6)

Gejala yang dialami pasien kanker serviks biasanya baru muncul ketika sel serviks yang abnormal telah berubah menjadi ganas dan menyebar ke jeringan sekitarnya. Gejala-gejala tersebut seperti (Subagja, 2014):

i. pendarahan vagina yang tidak normal (terjadi diantara 2 menstruasi) setelah melakukan hubungan intim dan setelah menopause

ii. menstruasi yang tidak normal (lebih lama dan lebih banyak)

iii. keputihan yang menetap dengan cairan yang encer, berwarna pink, cokelat, merah atau hitam serta berbau busuk.

iv. nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan merasa lelah. v. nyeri panggul

b. Kanker Endometrium

Kanker endometrium disebut juga kanker rahim. Kanker rahim adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam lapisan rahim, yaitu endometrium (tempat menempelnya ovum yang telah dibuahi (Subagja, 2014). Penyebab kanker rahim belum diketahui secara pasti. Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kanker rahim terjadi karena ketidakseimbangan hormon yang menyebabkan terjadinya tumor ganas pada lapisan dalam rahim (endometrium) (Setiati, 2009).

Gejala-gejala yang mungkin timbul dari adanya kanker rahim yaitu (Setiati, 2009):

i. terjadi pendarahan pada wanita menopause ii. terasa sakit sewaktu berhubungan seks iii.terasa sakit saat berkemih

(7)

v. terdapat rasa nyeri pada perut bagian bawah atau kram panggul. c. Kanker Ovarium

Kanker Ovarium merupakan salah satu keganasan ginekologi yang paling sering ditemukan pada perempuan dan menempati urutan kedua setelah kanker serviks (Sihombing dan Sirait, 2007). Kanker ovarium terjadi ketika sel-sel pada ovarium berubah dan tumbuh tidak terkendali (Subagja, 2014).

Keluhan yang dirasakan oleh penderita kanker ovarium biasanya dirasakan pada stadium yang sudah lanjut. Adapun keluhan dan gejala yang dialami penderita kanker ovarium yaitu (Subagja, 2014):

i. bagian perut membengkak ii. perut terasa kembung

iii. gangguan pencernaan (kandungan gas tinggi atau mual yang berkepanjangan) iv. hilangnya selera makan

v. sakit punggung pada bagian bawah

vi. merasa sakit saat berhubungan badan dengan pasangan vii. sering buang air kecil

d. Kanker Vulva

(8)

Penderita kanker vulva datang dengan keluhan benjolan di daerah vulva, dapat disertai dengan riwayat gatal-gatal kronis berkaitan dengan adanya distrofi dinding vulva (Rasjidi, 2007).

2.2 Nyeri

Nyeri merupakan masalah yang sering dijumpai pada penderita kanker. Intensitas nyeri yang dirasakan pasien kanker tergantung kepada berapa banyak syaraf yang rusak akibat kanker itu sendiri (Baradero dan Koleganya, 2007).

2.2.1 Definisi Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya potensi kerusakan jaringan (Setiyohadi, et al., 2010).

2.2.2 Klasifikasi Nyeri a. Nyeri Nosiseptif (Akut)

Nyeri akut memiliki durasi yang pendek yaitu kurang dari 6 bulan. Nyeri ini dapat diidentifikasi penyebabnya, mula terjadinya, serta memiliki batas dan durasi yang dapat diprediksi, misalnya nyeri setelah pembedahan. Fungsi nyeri akut ialah memberi peringatan akan cedera. Nyeri akut akhirnya menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang rusak (Smeltzer dan Bare, 2003).

b. Nyeri Neuropatik (Kronik)

(9)

daerah yang mengalami cedera mungkin telah memulih sejak lama, tetapi nyeri masih menetap (Smeltzer dan Bare, 2003).

2.2.3 Pengukuran Nyeri

Nyeri merupakan respon subjektif sehingga sulit untuk mengukurnya. Pengukuran nyeri dapat dilakukan dengan cara, yaitu:

a. Visual Analogue Scale (VAS)

Visual Analogue Scale (VAS) adalah instrumen pengukuran nyeri yang digunakan pada pasien dewasa dan anak-anak yang tidak dapat menjelaskan intensitas nyeri yang dirasakan, akan tetapi dapat dinilai dari mimik dan raut wajah pasien. Pengukuran dengan VAS pada nilai dibawah 4 dikatakan sebagai nyeri ringan, nilai antara 4 - 6 dinyatakan sebagai nyeri sedang dan diatas 6 dianggap sebagai nyeri hebat (Setiyohadi, et al., 2010).

Gambar 2.2 Visual Analogue Scale (VAS) (Setiyohadi, et al., 2010)

b. Numeric Rating Scale (NRS)

(10)

intensitas nyeri mereka. Skor yang lebih tinggi menunjukkan intensitas nyeri yang lebih besar (Setiyohadi, et al., 2010).

Gambar 2.3 Numeric Rating Scale (NRS) (Setiyohadi, et al., 2010)

2.2.4 Penatalaksanaan nyeri dengan obat-obatan

Terapi obat yang efektif untuk nyeri seharusnya tepat obat, tepat dosis, dan tidak terjadi interaksi. World Health Organization, (1996), mengembangkan suatu program 3 langkah untuk memandu pengelolaan nyeri kanker yaitu:

a. langkah pertama untuk nyeri ringan pada skala 1 – 3 dapat diberikan parasetamol atau NSAIDs

b. langkah kedua untuk nyeri sedang pada skala 4 – 6 dapat diberikan NSAIDs atau opioid lemah atau kombinasi keduanya

c. langkah ketiga untuk nyeri berat pada skala 7 – 10 dapat diberikan opioid kuat atau NSAIDs atau kombinasi keduanya

2.3 Analgetika

2.3.1 Pengertian Analgetika

(11)

2.3.2 Penggolongan Analgetika

Berdasarkan mekanisme kerjanya, analgetika dibagi menjadi 2 golongan, yaitu analgetika non narkotik dan analgetika narkotik.

2.3.2.1Analgetika non narkotik

Analgetika non narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang ringan sampai sedang, sehingga sering disebut analgetika ringan. Analgetika non narkotik bekerja pada perifer dan sentral sistem saraf pusat (Siswandono, 2008).

Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan selektivitas yang berbeda (Gan dan Wilmana, 2011).

Selain menimbulkan efek terapi, AINS juga memiliki efek samping karena didasari oleh hambatan pada sistem biosintesis prostaglandin. Secara umum AINS berpotensi menyebabkan efek samping pada 3 sistem organ, yaitu saluran cerna, ginjal, dan hati. Efek smping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak peptik (deudenum dan lambung) yang kadang-kadang disertai dengan anemia sekunder akibat pendarahan lambung (Gan dan Wilmana, 2011).

Berdasarkan struktur kimianya obat analgetika non narkotik dibagi menjadi dua kelompok (Siswandono, 2008), yaitu:

a. Analgetik-antipiretika

i. turunan anilin dan para-aminofenol, seperti asetaminofen, asetanilid, dan fenasetin

(12)

b. Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)

i. turunan asam salisilat, seperti aspirin, salisilamid, diflunisal

ii. turanan 5-pirazolidindion, seperti fenilbutazon, oksifenbutazon, sulfinpirazon dan bumadizon kalsium semihidrat

iii. turunan asam n-arilantranilat, seperti asam mefenamat, asam flufenamat, natrium meklofenamat, glafenin, dan floktafenin

iv. turunan asam arilasetat, seperti diklofenak Na, ibuprofen, ketoprofen, flurbiprofen, loksoprofen, fenbufen

v. turunan asam heteroarilasetat, seperti fentiazak, asam tiaprofenat, asam metiazinat, ketorolak

vi. turunan oksikam, seperti piroksikam, meloksikam, tenoksikam. vii. turunan lain-lain, seperti benzidamin HCl, tinoridin, asam niflumat 2.3.2.2 Analgetika narkotik

Analgetika narkotik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang sedang atau berat. Aktivitas analgetika narkotik jauh lebih besar dibandingkan dengan golongan analgetika non narkotik, sehingga disebut analgetika kuat (Siswandono, 2008).

(13)

Opioid menimbulkan analgetika dengan cara berikatan dengan reseptor opioid di SSP dan medula spinalis yang berperan pada tranmisi dan modulasi nyeri (Dewoto, 2011).

Berdasarkan struktur kimianya analgetika narkotik dibagi menjadi empat kelompok yaitu (Siswandono, 2008):

i. turunan Morfin, seperti Morfin, Kodein, Dionin, Heroin

ii. turunan Meperidin, seperti Meperidin, Difenoksilat, Loperamid, Fentanil, Sufentanil

Gambar

Gambar 2.1 Fase pembelahan sel normal (Romadhon, 2013)
Gambar 2.2 Visual Analogue Scale (VAS) (Setiyohadi, et al., 2010)
Gambar 2.3 Numeric Rating Scale (NRS) (Setiyohadi, et al., 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan tidak adanya kebijakan dan prosedur penjualan secara tertulis hal ini memungkinkan kurangnya komunikasi antar suatu bagian dalam perusahaan mengenai aktivitas

Kuman penyebab diare menyebar melalui mulut (orofekal), diantaranya melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh feses dan/atau kontak langsung dengan feses

Dinas Komunikasi Informatika Persandian dan Statistik Provinsi Sulawesi Tengah 1 orang 27.. Dinas Komunikasi Informatika Statistik dan Persandian Provinsi Sulawesi Selatan 1 orang

Data item dengan nilai indeks employee engagement yang terendah menjadi prioritas untuk dianalisis sebagai upaya perancangan usulan tindakan perbaikan dalam meningkatkan

Alur penelitian yang dilakukan ditunjukkan pada Gambar 4. Secara garis besar penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan segmentasi, tahapan pengukuran fitur dan

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan

Setelah itu Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Komunikasi dan Informasi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Kehakiman dan Hak Azazi Manusia, dan Menteri

Proses flowchart pada login merupakan data yang harus di isi sesuai dengan user name dan password yang sudah melakukan registrasi sebelumnya, proses ini