BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekologi Material Bangunan
2.1.1. Sustainable Development
Istilah sustainable development pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980 yang mendeskripsikan suatu usaha pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan sosial dan disaat bersamaan juga berusaha meminimalkan dampak
negatif yang ditimbulkan pembangunan pada lingkungan. Namun, definisi yang
paling banyak dipakai adalah yang dirumuskan oleh Gro Harlem Brundlant pada
tahun 1986 dalam bukunya “Our Common Future”. Ia menyatakan bahwa, ”Sustainable development is development which meets the needs of the present
without compromising the ability of future generations to meet their own needs” Sustainable development yang dalam bahasa Indonesia berarti pembangunan yang berkelanjutan dapat dikatakan sebagai suatu konsep pembangunan yang
menekankan pada keberlanjutan hidup manusia. Berdasarkan pengertian yang
telah disebutkan sebelumnya dapat diidentifikasi adanya tiga unsur utama yang
menjadi sangat penting dalam pembangunan yang berkelanjutan, yakni
pemenuhan kebutuhan manusia, kelestarian lingkungan hidup dan masa yang akan
datang (Graham, 2003).
Populasi dunia bertambah dari 1,5 milyar pada tahun 1900, menjadi 6
milyar pada tahun 2000 (Muller, 2002). Bertambahnya populasi manusia berarti
juga bertambahnya jumlah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Manusia
mengkonsumsi sumber daya yang ada di alam. Namun, pola konsumsi yang tidak
seimbang telah diterapkan oleh manusia selama beberapa dekade. Tidak
seimbangnya antara konsumsi sumber daya dengan kemampuan lingkungan untuk
memenuhinya, menimbulkan kerusakan pada lingkungan dan ancaman krisis
sumber daya alam bagi generasi manusia di masa yang akan datang.
Bangunan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Pertumbuhan
jumlah penduduk yang begitu besar juga akan mempengaruhi jumlah permintaan
terhadap kebutuhan akan bangunan. Tiap-tiap bangunan akan mengkonsumsi
jumlah sumber daya alam yang sangat banyak dalam konstruksinya. Sebuah
bangunan akan bersentuhan langsung dengan lingkungan alam. Keberadaan
bangunan itu sendiri secara langsung akan memberi dampak pada lingkungan
alam yang ada di sekitarnya. Dampak ini seringkali diabaikan karena memang
tidak langsung jelas terlihat. Namun pada kenyataanya ada banyak sekali dampak
yang ada. ” There are more impacts than we could possibly know. Building
projects may impact on natural environments that are far removed from the site andmay be accumulative and long-term” (Graham, 2003).Terdapat lebih banyak dampak dari yang mungkin kita bayangkan. Suatu proyek bangunan dapat
memberi dampak pada lingkungan hidup yang berada jauh dari tapak dan dampak
tersebut bersifat akumulatif dan dalam jangka panjang.
Salah satu isu penting dalam pembangunan yang berkelanjutan adalah
pertambahan volume sampah/limbah lingkungan. Pertambahan sampah sangat
erat hubungannya dengan pola konsumsi. Pola konsumsi yang baik adalah
Dengan pola konsumsi yang efisien maka akan terdapat lebih sedikit
sampah/limbah yang dihasilkan pada skala kerja dan konsumsi sumber daya yang
sama.
Berdasarkan buku Building Ecology (2003) oleh Peter Graham, dalam
mendukung sustainable development diperlukan pengetahuan tentang daur hidup bahan. Life Cycle Assesment (nilai daur hidup) atau yang sering disingkat dengan LCA merupakan suatu pendekatan evaluasi yang bertujuan untuk memahami daur
hidup lingkung bangun dan dampaknya terhadap lingkungan melalui aplikasi
material pada bangunan. Adapun kriteria yang menjadi perhitungan dalam LCA
diantaranya:
1. Pengambilan, proses, dan transportasi material mentah;
2. Produksi, transportasi, dan distribusi dari produk yang dihasilkan;
3. Penggunaan, penggunaan kembali dan perawatan;
4. Daur ulang dan pembuangan akhir.
Tujuan dari penerapanLCAadalah:
1. Mengevaluasi beban lingkungan berkaitan dengan produk, proses, atau
aktivitas, mengidentifikasi dan memperhitungkan penggunaan energi,
material, dan jumlah sampah / limbah yang dilepaskan ke lingkungan;
2. Mengetahui dampak penggunaan sumber daya dan pembuangan limbah
serta dampak terhadap lingkungan;
3. Melakukan evaluasi dan menerapkannya memberikan kemungkinan untuk
Froschle (1999) dalam artikel “Environmental Assessment and
Specification of Green Building Materials” mengklasifikasikan kriteria material
bangunan dalam pembangunan berkelanjutan, diantaranya:
Tabel 2.1. Kriteria material bangunan dalam pembangunan berkelanjutan
No. Kriteria / Variabel Deskripsi
1. Kadar racun rendah Bahan dengan tingkat toksisitas atau konsentrasi racun rendah
2. Emisi minimal
Bahan tanpa emisi kimia atau emisi kimia rendah (VOC / volatile organic compounds dan CFC / chlorofluorocarbons) konsumsi energy dan limbah yang sedikit
6. Bahan daur ulang Bahan yang dapat didaur ulang di akhir masa pakainya
11. Hemat energi Bahan yang membantu mengurangi konsumsi energi pada bangunan
12. Pelestarian air
13. Meningkatkan IAQ energi untuk transportasi ke lokasi proyek
16. Bahan terjangkau
Biaya pembuatan bangunan sebanding pembuatan dengan bahan konvensional
Sumber: Environmental Assessment and Specification of Green Building Materials (Froschle, 1999)
- Material yang dapat digunakan kembali dan memperhatikan sampah
bangunan pada saat pemakaian
Pemanfaatan kembali material dari bangunan lama menjadi lebih
ekonomis dibandingkan dengan biaya pembuangan yang semakin tinggi,
peraturan yang semakin ketat, dan harga material yang semakin tinggi.
- Material daur ulang
Memilih material bangunan yang dapat didaur ulang lebih diutamakan
karena memberikan keuntungan yang sangat besar terhadap alam. Kemampuan
material untuk diolah kembali dapat dilihat pada saat setelah material digunakan
atau setelah material dihasilkan.
- Keaslian material
Apakah material tersebut datang dari sumber daya alam yang dapat
diperbaharui? Perkiraan jarak dari sumber dan produk ke lokasi pembangunan
juga harus diperhatikan. Memakai kayu dari sumber yang jauh lebih dekat ke
lokasi bangunan akan mengurangi biaya dan pengaruh pengangkutan pada
- Energi yang diwujudkan
Metode yang memperhitungkan seluruh energi dan biaya yang tidak
terlihat namun dibutuhkan pada saat memproduksi material. Energi tersebut
dihitung mulai dari produksi awal material, yaitu pengambilan material utama dan
fabrikasi yang diperlukan, pengepakan material, transportasi ke site, sampai ke
pemasangan bangunan.
- Material yang mengandung racun
Bangunan dengan material yang mengeluarkan zat beracun secara lambat
dengan campuran lem, resin, dan campuran minyak dalam cat serta kandungan
bahan organik dalam udara yang dipakai sebagai campuran dalam material
bangunan. Perancang sebaiknya menghindari pemakaian bahan yang dapat
menghasilkan formaldehyde, larutan organik, kandungan bahan kimia dalam
udara, klorofuorkarbon. Kandungan bahan kimia dalam udara dapat
mengakibatkan iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan, sakit kepala dan iritasi
dermatologis dan beberapa penyakit lain.
- Memprioritaskan material alami
Material alami seperti batu, kayu, dan tanah umumnya menggunakan
energi yang sedikit untuk diproduksi, menghasilkan racun dan polusi yang lebih
sedikit terhadap lingkungan.
- Mempertimbangkan durabilitas dan umur produk
Material yang berkelanjutan termasuk material yang tidak membutuhkan
Dari prinsip-prinsip tersebut terlihat bahwa perhatian terhadap kebijakan
penggunaan material sangat erat hubungannya dengan keberlanjutan lingkungan
hidup. Untuk memahami hubungan ini secara baik dibutuhkan pengetahuan yang
lebih dari sekedar kegiatan mengambil material, menggunakan, dan
membuangnya, namun harus memahami segala proses dan daur yang terjadi pada
sumber daya alam yang dikonsumsi sehingga prediksi terhadap dampak yang
dihasilkan dapat diketahui secara lebih terperinci. Oleh karena itu, dampak yang
ditimbulkan adalah cerminan dari hubungan yang dimiliki manusia dengan
lingkungannya. Hubungan yang baik tidak akan menyebabkan kerusakan pada
lingkungan melainkan keberlanjutan lingkungan yang mampu mendukung
kualitas kehidupan yang baik bagi manusia hingga ke masa yang akan datang.
2.1.2. Klasifikasi Material Bangunan secara Ekologis
Heinz Frick (1998) di dalam bukunya Ilmu Bahan Bangunan,
mengklasifikasikan material bangunan berdasarkan penggunaan bahan mentah
dan tingkat transformasi (perubahan wujud fisik) yang terjadi dalam daurnya.
Berikut adalah klasifikasi tersebut:
1. Bahan bangunan yang dapat dibudidayakan kembali (regeneratif)
Bahan bangunan organik nabati dan hewani yang dapat diaplikasikan
langsung, tanpa transformasi adalah jenis bahan bangunan ini. Contoh: kayu,
rotan, rumba, alang-alang, kulit binatang, dll. Bahan bangunan ini memiliki daur
hidup alami (kemampuan budidaya), oleh karena itu daurnya bersifat tertutup.
Sehingga relatif tidak memiliki dampak negatif secara ekologis. Dalam
sifatnya regeneratif namun penggunaannya tetap harus dijaga agar tidak melebihi
kemampuannya beregenerasi secara alami.
Sebagai contoh bahan bangunan ini adalah kayu. Berikut jenis-jenis kayu
berdasarkan buku Ilmu Bahan Bangunan (Frick, 1999):
- Kayu jati (Tectona grandis)
Tempat tumbuh: Jawa, Sulawesi Selatan, NTB, Maluku, Lampung, dan
Madura.
Tinggi mencapai 45 m, panjang bebas cabang 15-20 m. Gemang batang
mencapai 2,20 m
Warna: Kayu teras cokelat kekuning-kuningan, cokelat kelabu sampai
cokelat tua atau merah cokelat.
- Kayu Kamper (Dryobalanops spp)
Tempat tumbuh: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan
Kalimantan
Tinggi 35-45 m dan dapat mencapai 60 m, panjang batang bebas 25-30 m.
Gemang batang 80-100 cm, bentuk batang sangat baik.
Warna: Kayu teras merah cokelat, merah kelabu, merah. Kayu gubal
hampir putih sampai cokelat kuning muda.
- Kayu Mahoni (Swietania Mahagoni spp) Tempat tumbuh: Jawa
Tinggi 35 m, bentuk silindris, tajuk bulat
Warna: Kayu teras cokelat muda kemerah-merahan atau
Tabel 2.2. Kelas kayu menurut keawetannya Kelas (tingkat)
keawetan kayu I II III IV V
Selalu berhubungan dengan
tanah lembap 8 tahun 5 tahun 3 tahun
Sangat pendek
Sangat pendek Tidak terlindung, tetapi
dilindungi dari pemasukan air
Tidak berhubungan dengan tanah lembap, di bawah atap
Seperti diatas tetapi selalu dipelihara
dan sebagainya Tidak Tidak
Hampir Sumber: Ilmu Bahan Bangunan (Frick, 1999)
Tabel 2.3. Kelas kayu menurut kekuatannya
Kelas kuat Berat jenis kering udara (kg/dm3)
Sumber: Ilmu Bahan Bangunan (Frick, 1999)
Seperti yang dijelaskan dalam buku Ilmu Bahan Bangunan, terdapat pula
bahan perkayuan seperti vinir dan kayu lapis (tripleks dan multipleks). Vinir
adalah lembaran kayu tipis yang diperoleh dengan cara mengupas atau mengiris
dari dolok kayu jenis tertentu. Kayu yang biasa untuk membuat vinir dari jenis
kayu yang lunak, ringan, kelas kuat dan kelas awetnya sekitar II – 1V dan bila
Kayu lapis adalah papan / panel buatan yang terdiri dari susunan beberapa
lapisan vinil yang mempunyai arah serat bersilangan tegak lurus dengan diikat
oleh perekat tertentu, serta jumlah lapisan harus ganjil. Penggunaan kayu lapis
pada bangunan misalnya bekisting, daun pintu, dinding penyekat, plafon, lapisan
dasar lantai parket. Selain itu dapat diaplikasikan sebagai perabot rumah tangga
seperti lemari, tempat tidur, meja dan kursi.
2. Bahan bangunan alam yang dapat digunakan kembali
Bahan organik bukan nabati atau hewani yang dapat langsung
diaplikasikan pada bangunan adalah jenis klasifikasi bahan bangunan ini, seperti:
tanah liat, pasir, batu alam, dll. Bahan bangunan ini sifatnya terbarukan, namun
dapat dipergunakan berulang kali dengan proses sederhana.
3. Bahan bangunan buatan yang dapat digunakan kembali
Klasifikasi bahan bangunan ini adalah bahan bangunan yang didapat
sebagai limbah, potongan, sampah, ampas, dan sebagainya dari perusahaan
industri dalam bentuk bahan bungkusan, mobil bekas, ban mobil bekas, serbuk
kayu, potongan bahan sintetis, kaca, seng, atau bermacam-macam kain.
Kaleng aluminium bekas memiliki ketinggian sekitar 130 mm, hampir
sama dengan ketebalan dinding batu-bata. Berdasarkan buku Ilmu Bahan
Bangunan (Frick, 1999) dikatakan bahwa kaleng aluminium bekas dapat
dimanfaatkan untuk dinding bangunan. Penyusunan kaleng bekas dilakukan
secara teratur sehingga sisinya dengan bukaan kaleng akan dapat diplester. Oleh
karena aluminium akan beroksidasi bila terkena adukan/plesteran semen, maka
4. Bahan bangunan alam yang mengalami perubahan transformasi sederhana
Klasifikasi bahan bangunan ini adalah material yang bahan mentahnya
berasal dari alam, kemudian mengalami pengolahan yang mengakibatkan
perubahan pada wujud (transformasi) bahan. Contoh: batu bata dari tanah liat,
genteng dari tanah liat, keramik, logam dari bijih logam, seng, kaca dari pasir
kuarsa, dll. Bahan mentah yang digunakan sifatnya tidak terbarukan, namun
bahan bangunan dapat digunakan kembali dengan perlakuan tertentu.
Salah satu contoh bahan bangunan ini adalah keramik. Bahan keramik
sebagai ubin keramik adalah unsur bangunan yang dipergunakan untuk melapisi
lantai ataupun dinding, biasanya berbentuk pelat persegi dan tipis yang dibuat dari
tanah liat atau campuran tanah liat dan bahan mentah keramik laninnya, dibakar
sampai suhu sedemikian tinggi, sehingga mempunyai sifat-sifat fisik khusus.
(Frick, 1999). Pada dasarnya hanya ada 2 jenis keramik yaitu:
a. Keramik yang mempunyai lapisan glazur (glazed)
Jenis keramik yang paling banyak di pasaran untuk aplikasi lantai maupun
dinding. Lapisan glazur di aplikasikan dengan temperature tinggi sehingga
menyatu dengan badan keramik. Lapisan ini lah yang membuat motif
desain dan tekstur keramik. Lapisan glazur membuat keramik tahan air,
tahan api dan mudah dibersihkan karena sangat padat dan tidak berpori.
b. Keramik homogenious tanpa lapisan glazur (unglazed)
Jenis keramik ini sekarang semakin trend dengan bermacam macam
desain. Tidak ada lapisan apapun yang di aplikasikan pada keramik.
sebelum pembentukan body sehingga ada kesatuan warna antara bagian
permukaan dan belakang. Permukaan keramik mengkilat dengan cara di
polish. Keramik jenis ini biasanya lebih tebal, keras dan lebih tinggi
kekuatannya dari pada glazed ceramic.
Dikutip dari Rumah Ide (Online), ada beberapa jenis permukaan keramik
baik yang memakai lapisan glazur ataupun tidak, diantaranya:
a. Mengkilat dan licin. Biasa dipakai untuk keramik dinding ataupun keramik
lantai dalam ruangan. Tidak cocok untuk lantai yang sering terkena air
atau area servis dengan loading yang tinggi karena biasanya tidak tahan
goresan.
b. Doff / Matte. Cocok untuk berbagai macam aplikasi hanya tidak licin dan
mengkilat. Biasa dipakai di rumah dengan desain minimalis. Lebih tahan
terhadap goresan.
c. Bertekstur kasar. Cocok dipakai untuk lantai kamar mandi, carport atau
ruang terbuka yang sering terkena panas dan hujan. Jenis keramik ini tidak
licin walaupun terkena air.
d. Cutting edge. Permukaan keramik yang sangat siku pada keempat sisinya.
Keramik jenis ini dipotong setelah proses pembakaran. Dari segi harga
pasti lebih mahal dari pada keramik yang bukan cutting.
Contoh lain dari bahan bangunan alam yang mengalami perubahan
transformasi sederhana adalah seng. Seng adalah jenis logam yang biasa
digunakan untuk melindungi terhadap terjadinya korosi dengan menggunakan
masih sering digunakan karena harganya agak murah untuk atap yang awalnya
kedap air hujan dan tahan lama dengan pengecualian pada daerah yang mengalami
udara tercemar sulfur (dekat gunung api, dsb).
Kaca merupakan salah satu bahan bangunan alam yang mengalami
perubahan transformasi sederhana. Material kaca dibedakan menjadi beberapa
jenis, antara lain:
a. Kaca Tempered. Jenis kaca yang telah melalui suatu proses pemanasan hingga pada tingkat suhu tertentu dan kemudian didinginkan seketika,
sehingga menghasilkan kaca yang mempunyai kekuatan dan kelenturan
yang baik terhadap tekanan pada kedua sisi pemrukaan kaca. Jenis ini
biasa digunakan sebagai pintu shower, railing tangga/balkon, dinding kaca ruangan, skylight.
b. Kaca Laminated. Lembaran kaca yang terdiri dari 2 lapisan kaca yang direkatkan, sehingga dapat berfungsi untuk mencegah kemungkinan jatuh
atau hancurnya kaca akibat benturan pada salah satu sisinya. Kaca
laminated juga dapat digunakan sebagai skylight karena sifatnya yang dapat meredam sinar UV dan juga digunakan untuk partisi dinding kaca
suatu ruangan.
c. Kaca Polos dan Rayban. Kaca polos atau juga disebut kaca bening biasa
yang kemudian biasa dikembangkan menjadi kaca tempered, kaca
laminated, kaca double, dll. Kaca rayban adalah kaca gelap namun masih
d. Kaca Double Glass. Kaca yang dibentuk / digabung oleh 2 panel kaca dengan terciptanya ruang antara panel yang memiliki ketebalan beberapa
milimeter. Ruang antara panel bersifat kedap udara dan memiliki
kelembapan yang rendah, sehingga pemasangan kaca double glassing pada sebuah ruangan menyebabkan ruangan tersebut kedap suara dan suhu
ruangan dapat terjaga dengan baik / stabil.
e. Kaca Reflective. Kaca yang hanya memiliki daya tembus pandang satu arah saja sehingga dari bagian luar tidak dapat melihat bagian dalam suatu
ruangan. Kaca reflective biasa digunakan untuk eksterior gedung.
f. Kaca Bevel. Kaca yang sisinya memiliki tepi miring. Teknik bevel kaca
digunakan untuk menambah gaya dekoratif kaca karena dapat
meningkatkan dampak visual pada kaca.
5. Bahan bangunan yang mengalami beberapa tingkat perubahan
transformasi
Bahan bangunan jenis ini adalah material yang menggunakan bahan
mentah fosil (minyak bumi, arang, gas). Material yang dihasilkan berupa material
sintetis seperti: plastik, epoksi, polikarbonat, pvc, dll. Bahan sintetis merupakan
bahan yang dinilai tidak baik secara ekologis, karena; 1. Sulit di daur ulang,
membutuhkan energi dan biaya yang besar; 2. Pengolahan harus melalui beberapa
proses yang tidak dapat dibalik (irreversible); 3. Menggunakan bahan baku yang tidak dapat diperbaharui (bahan mentah fosil).
Material bangunan merupakan salah satu sumberdaya proyek yang cukup
digunakan pada bangunan sama pentingnya dengan rancangan bangunan itu
sendiri. Penggunaan material yang tepat akan meningkatkan aspek estetika pada
bangunan. Sebaliknya, penggunaan material yang kurang atau tidak tepat
kemungkinan besar akan menurunkan rancangan yang dihasilkan secara
keseluruhan (Ervianto, 2012).
Di samping aspek estetika, pemilihan material yang dapat mendorong
penghematan penggunaan energi sebaiknya terus dikembangkan. Menurut
Mediastika (2013) kegiatan konstruksi ternyata berandil besar dalam hal polusi
gas buang yang secara tidak langsung juga menunjukkan besarnya pemanfaatan
energi pada kegiatan ini. Penggunaan energi pada bangunan dapat dihitung sejak
awal penyediaan material bangunan, proses pembangunan, sampai saat bangunan
ditempati. Penghematan energi pada tahap awal pemilihan material dapat
dilakukan dengan penggunaan material yang tersedia secara lokal. Selain dari sisi
konsumen, aspek penghematan juga ditinjau dari sisi penjual dan produsen.
Penghematan dari sisi penjual dan produsen terjadi manakala toko material juga
mendapatkan pasokan material dari daerah sekitarnya.
Mediastika (2013) mengklasifikasikan material bangunan berdasarkan
aspek hemat energi dan ramah lingkungan terdiri atas material alami lokal khas
Indonesia dan material bekas. Penerapan material alami lokal akan mendukung
tumbuhnya ekonomi masyarakat, menghemat biaya dan tenaga angkut.
Penghematan dan pelestarian alam pun semakin meningkat manakala digunakan
a. Material Alami Lokal Khas Indonesia
Sebagai negara tropis yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia
memiliki beragam material mentah untuk diolah menjadi bahan bangunan yang
berkualitas. Namun, tanpa pertimbangan yang bijaksana, penggunaan material
alami justru dapat menyebabkan kepunahan dan terjadinya bencana alam. Sumber
daya alam lokal yang sering dimanfaatkan sebagai material bangunan adalah
kayu. Permintaan yang tinggi akan kayu-kayu berkualitas telah menyebabkan
penebangan hutan secara serampangan. Beberapa jenis pohon yang menghasilkan
kayu berkualitas kini telah dilindungi dan dilarang ditebang. Begitupun dengan
permintaan yang tinggi akan batu alam yang telah menyebabkan terjadinya
penambangan batu alam ilegal di beberapa tempat (Mediastika, 2013).
Tabel 2.4. Material alami Indonesia
Bahan Mentah / Asal Material Bangunan Daerah Penghasil
Pohon bambu Batang bambu Merata di beberapa daerah di Indonesia
Pohon jati Kayu jati Jepara, Cepu, Bojonegoro
Tanah liat Genteng Kebumen, Karang Pilang
(Surabaya)
Pohon kelapa Kayu kelapa
(gelugu) Pantai Sulawesi dan Kalimantan
Batu, koral, pasir Pasir
Merata di beberapa tepian hulu sungai, hilir/muara, pantai, dan pegunungan, seperti Lumajang, Cilacap, dan Gunung Merapi
Tanah liat Batu bata merah Merata di beberapa daerah di Indonesia
Pasir, semen Batako Merata di beberapa daerah di Indonesia
Batu marmer Lantai/dinding
marmer Tulungagung, Jawa Timur
Berbagai jenis batu
paras, batu andesit, batu candi, batu kora;/telur
Penutup atap Ijuk, rumbia,
alang-alang Berbagai daerah di Indonesia Sumber: Mediastika (2013)
Secara umum dapat dipaparkan empat kelebihan penggunaan material
alami atau buatan lokal, yaitu:
1. Menghemat biaya angkut;
2. Lebih sesuai dengan iklim/keadaan setempat;
3. Material lokal dapat menambah nilai estetika bangunan melalui ide-ide
kreatif;
4. Memberikan dukungan bagi pertumbuhan industri setempat.
Adapun kelemahan material lokal yakni kualitasnya mungkin kurang
memadai.
b. Material Bekas
Selain penggunaan material lokal yang akan menghemat banyak energi
dan penggunaan material yang menjaga kelestarian alam, penggunaan material
bekas atau material daur ulang akan sekaligus memenuhi aspek hemat dan lestari.
Menurut Ervianto (2012) material bekas merupakan sisa material konstruksi dan
sampah lain yang bersumber dari aktivitas konstruksi, pembongkaran, dan
pembersihan lahan di awal pelaksanaan proyek. Efek jangka pendek dari material
bekas dapat menghemat biaya pembangunan, sementara efek jangka panjang
yakni dapat membantu program pelestarian lingkungan yang hemat energi.
Beberapa pakar Sustainable Construction di Indonesia, seperti Ahmad Tardiyana, Adi Purnomo, dan Eko Prawoto menyatakan bahwa penggunaan material bekas
merupakan salah satu gerakan sustainable karena memanfaatkan kembali barang bekas merupakan upaya untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan.
Menurut Skoyles (1976) dalam Asnuddin (2012) material bekas
merupakan bagian dari limbah konstruksi. Berdasarkan penyebabnya, limbah
konstruksi dapat digolongkan menjadi dua kategori, yaitu indirect waste dan
direct waste. Indirect waste adalah sisa material yang terjadi dalam bentuk pemborosan (moneter loss) akibat kelebihan pemakaian volume material dari yang direncanakan dan tidak terlihat sebagai limbah di lapangan. Sedangkan
direct waste adalah sisa material yang timbul di proyek konstruksi karena rusak dan tidak dapat diperbaiki dan digunakan kembali selama proses konstruksi.
Menurut Tchobanoglous dkk(1976) dalam Devia dkk (2010), sisa material
konstruksi yang timbul selama pelaksanaan konstruksi dapat dikategorikan
menjadi dua bagian yaitu:
1. Demolition waste adalah sisa material yang timbul dari hasil pembongkaran atau penghancuran bangunan lama.
2. Construction waste adalah sisa material konstruksi yang berasal dari pembangunan atau renovasi bangunan milik pribadi, komersil dan struktur
lainnya. Sisa material tersebut berupa sampah yang terdiri dari beton, batu
bata, plesteran, kayu, sirap, pipa dan komponen listrik.
Sehubungan dengan pembagian kategori sisa material bekas oleh
Tchobanoglous dkk terjadinya sisa material konstruksi dapat disebabkan oleh satu
dan penyebab terjadinya sisa material konstruksi menurut Gavilan dan Bemold
(1994) dalam Devia dkk (2010):
Tabel 2.5. Sumber dan penyebab terjadinya sisa material konstruksi
Sumber Penyebab
Desain
Kesalahan dalam dokumen kontrak Ketidaklengkapan dokumen kontrak Perubahan desain
Memilih spesifikasi produk
Memilih produk yang berkualitas rendah
Kurang memperhatikan ukuran dari produk yang digunakan
Desainer tidak mengenal dengan baik jenis-jenis produk yang lain
Pendetailan gambar yang rumit Informasi gambar yang kurang
Kurang berkoordinasi dengan kontraktor & kurang berpengetahuan tentang konstruksi
Pengadaan
Kesalahan pemesanan, kelebihan, kekurangan, dsb. Pesanan tidak dapat dilakukan dalam jumlah kecil Pembelian material yang tidak sesuai dengan spesifikasi Pemasok mengirim barang tidak sesuai dengan
spesifikasi
Kemasan kurang baik, menyebabkan terjadi kerusakan dalam perjalanan
Penanganan
Material yang tidak dikemas dengan baik
Material yang terkirim dalam keadaan tidak padat/kurang
Membuang atau melempar material
Penanganan material yang tidak hati-hati pada saat pembongkaran untuk dimasukkan ke dalam gudang Penyimpanan material yang tidak benar menyebabkan
kerusakan
Kerusakan material akibat transportasi ke/di lokasi proyek
Pelaksanaan
Kesalahan yang diakibatkan oleh tenaga kerja Peralatan yang tidak berfungsi dengan baik Cuaca yang buruk
Kecelakaan pekerja di lapangan
Penggunaan material yang salah sehingga perlu diganti Metode untuk menempatkan pondasi
Informasi tipe dan ukuran material yang akan digunakan terlambat disampaikan kepada kontraktor
Kecerobohan dalam mencampur, mengolah, dan kesalahan dalam penggunaan material sehingga perlu diganti
Pengukuran di lapangan tidak akurat sehingga terjadi kelebihan volume
Residual
Sisa pemotongan material tidak dapat dipakai lagi Kesalahan pada saat memotong material
Kesalahan pesanan barang, karena tidak menguasai spesifikasi
Kemasan
Sisa material karena proses pemakaian
Lain-lain
Kehilangan akibat pencurian
Buruknya pengontrolan material di proyek dan perencanaan manajemen terhadap sisa material
Sumber: Jurnal Rekayasa Sipil. Vol.4, No.3, ISSN 1978-5658 (2010): 195-203.
Tabel 2.6. Jenis sampah asal kegiatan pembangunan dan cara pengelolaannya
Sampah yang berasal dari
kegiatan pembangunan
Diolah kembali Didaur ulang Digunakan kembali
±50% energi)
Pasir/kerikil Dicampur semen menjadi beton
Kaca Dilebur menjadi
kaca baru
Cat sintetik Sisa digunakan
pada tempat lain Sumber: Ilmu Bahan Bangunan (Frick, 2010)
Berikut dijelaskan Yoppy (2008) dalam Permana (2008) mengenai
material-material bekas yang umum didapati dari bongkaran bangunan beserta
karakteristiknya:
a. Kayu
Material kayu adalah jenis material yang paling banyak diperoleh dari
bongkaran bangunan terutama rumah tinggal. Diantaranya berupa kusen yang
masih lengkap, rangka atap, parket lantai, maupun elemen lainnya. Kayu
merupakan elemen yang rentan terhadap air. Pada material bekas seringkali kayu
mengalami kondisi yang lapuk sebagian. Penanganannya dapat dilakukan dengan
Gambar 2.1. Pintu kayu bekas Sumber: www.homeworkshop.com
Material bekas dari kayu yang sering diburu ialah kusen dan rangka
bangunan. Rangka bangunan bisa berupa tiang, kuda-kuda atap, maupun
gabungan keduanya. Tiang dan kuda-kuda bangunan zaman dahulu biasanya
memiliki teknik pengerjaan tradisional dan susunan yang unik. Demikian juga
terdapat ukiran pada batang-batang kayu yang digunakan. Pada bagian kusen yang
cukup sering diburu ialah gebyok, yaitu pintu dengan bingkainya yang bercirikan
etnik tertentu. Selain itu ada pula kusen dengan kaca patri yang kini diburu karena
keindahannya. Kusen jenis ini biasanya diperoleh dari bongkaran bangunan tua
zaman belanda. Dikarenakan makin tingginya kesadaran masyarakat untuk
mempertahankan bangunan-bangunan tua terutama di daerah perkotaan, maka
kusen seperti ini sulit didapat. Kalaupun ada berasal dari pembongkaran
rumah-rumah zaman belanda yang berada di daerah pedesaan dan sangat jarang dijumpai.
Setiap kusen bekas bongkaran sebenarnya dapat dimanfaatkan kembali,
estetika. Bukan tidak mungkin dengan menggunakan kusen bekas dalam
bangunan baru, kusen yang tadinya biasa-biasa saja bisa tampil lebih indah
bersama elemen lain.
Gambar 2.2. Kaca patri bekas
Sumber: Falk, Bob and Guy, Brad. Unbuilding: Salvaging the Architectural Treasures of Unwanted Houses. (Canada: Taunton, 2007)
b. Metal
Beberapa jenis dari material logam ini dapat dijumpai di bongkaran rumah
tinggal, pabrik atau gudang sebagai perangkat-perangkat yang fungsional mulai
kerangka furnitur, pagar, railing (susuran tangga), teralis jendela, bahkan rangka atap. Baja dan baja ringan bisa diperoleh dalam wujud rangka atap dan genteng.
Besi untuk kerangka pengikat beton, pintu aluminium, bingkai jendela atau atap
seng. Stainless steel bisa diperoleh dalam wujud kitchen sink dan tandon air yang masih bisa dimanfaatkan.
Umumnya logam merupakan material yang rentan terhadap karat dan
korosi. Cara mengatasi masalah karat dan korosi adalah dengan memberi
biasanya penanganan yang harus dilakukan ialah melapis ulang metal tersebut.
Adapun pengecatan merupakan metode yang paling umum.
Pemanfaatan rangka baja cukup tepat untuk perancangan bangunan yang
berkesan ringan dan modern. Kesan rapi dan bersih mudah diperoleh dari
penggunaan rangka baja. Rangka baja juga memungkinkan bentangan atap yang
lebar jika dibutuhkan ruang yang lega di dalam bangunan. Sementara itu,
pemanfaatan kitchen sink dan tandon air bekas lebih mengejar segi fungsional dan efisiensi biaya. Kitchen sink bekas berbahan stainless steel harganya tidak terpaut jauh dari kitchen sink aluminium baru, akan tetapi kualitas yang didapat lebih tinggi, karena stainless steel jauh lebih tahan karat dan penyok dibanding aluminium.
Gambar 2.3. Kitchen sink bekas dapur hotel Sumber: www.dannyseo.typepad.com
c. Keramik
Dilihat dari segi fungsi, material keramik mencakup semua tegel beton dan
satu dan lainnya adalah bahan, tampilan, dan kualitas. Ubin keramik dapat dibagi
atas beberapa kategori utama: keramik lantai (dalam ruang dan luar ruang),
biasanya ukuran luasannya per lembar lebih besar, keramik dinding kamar mandi
(KM/WC), keramik lantai KM/WC, keramik dapur dan keramik dinding luar.
Tentu saja setiap kategori keramik memiliki karakter yang berlainan.
Keramik lantai dalam ruang, misalnya, permukaannya bisa licin mengilap ataupun
dof (mat), sedangkan keramik luar ruang (garasi, carport, taman, atau tempat cuci/ jemuran) memiliki permukaan yang kasar. Kualitas keramik (terutama)
untuk pemasangan di area KM/WC mutlak diutamakan karena keramik di area ini
akan sangat sering berkontaminasi dengan zat pembersih kimiawi yang dapat
mengikis lapisan glasur pada permukaan keramik. Untuk material bekas berkesan
antik yang sering diburu ialah tegel PC, karena antik sulit diperoleh dan
produsennya tinggal sedikit serta harga baru yang tentu lebih mahal.
d. Kaca
Material bekas lainnya yang banyak ditemui pada sebuah rumah tinggal
adalah kaca. Material kaca dengan tampilan berbagai bentuk, memberikan
kreativitas yang tinggi pada desain-desain rumah modern. Seiring berkembangnya
zaman, kini material kaca juga hadir dalam aneka bentuk dan kegunaan, seperti
glassblock, aksesori tata ruang, dan lampu-lampu elegan. Selain itu, kaca dengan berbagai macam teknik penggarapan juga banyak diminati oleh pemburu material
bekas, seperti kaca patri, sandblast, grafir, bevel, atau lukis (painting). Bahkan ada pula kaca berlaminasi (sejenis dengan kaca mobil) yang pecahannya sulit
beterbangan ke mana-mana jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya
gempa bumi. Kaca sangat sulit dimodifikasi saat merancang, kecuali hanya
memotong untuk memperkecil ukuran. Maka dari itu, pemilihan kaca bekas harus
teliti agar sesuai dengan desain yang diinginkan.
2.1.3. Siklus Material Bangunan
Pada prinsipnya, setiap material bangunan mempunyai siklus hidup,
dimulai dari pengambilan bahan baku di tempat asal dan berakhir di tempat
pembuangan (Ervianto, 2012) Dalam konsep bangunan yang ramah lingkungan,
siklus hidup material tidak boleh berakhir di tempat pembuangan begitu saja,
namun material tersebut sedapat mungkin dimanfaatkan kembali dengan cara
digunakan kembali (reuse), diolah kembali (recycling), dan apabila memang tidak dapat untuk kedua hal tersebut diatas maka harus dibuang dengan cara yang
ramah lingkungan. Adapun siklus hidup material bangunan ialah sebagai berikut:
Gambar 2.6. Siklus hidup material bangunan
2.2. Daur Ulang
2.2.1. Pengertian Daur Ulang
Daur ulang merupakan tindakan mengembalikan sesuatu yang telah
digunakan kepada suatu siklus atau daurnya sehingga pada akhirnya sesuatu itu
dapat digunakan kembali (David, 1992). Menurut pengertian tersebut, suatu
kegiatan dapat didefinisikan sebagai kegiatan daur ulang jika mencakup tiga jenis
proses, yaitu:
Collection, yakni kegiatan mengumpulkan material-material yang tidak
digunakan lagi.
Manufacturing, yakni kegiatan produksi dengan menggunakan material
bekas sebagai bahan mentah untuk menghasilkan produk baru.
Consumption, yakni kegiatan memakai produk baru yang diolah dari
material bekas.
Menurut Berge (2000) dalam bukunya The Ecology of Building Materials,
ada tiga tingkatan hierarkial daur ulang sesuai dengan manfaat yang diperoleh,
yaitu:
1. Re-use
Re-use atau penggunaan kembali ialah tingkatan tertinggi dalam daur ulang, yaitu menggunakan kembali barang yang sudah dipakai namun
masih memiliki sisa umur. Ia merupakan tingkatan tertinggi karena tidak
memerlukan energi untuk merubah bentuknya atau mengolahnya menjadi
memindahkan material tersebut. Material yang di re-use adalah material yang siap pakai namun tidak lagi dipakai oleh pengguna sebelumnya.
2. Recycling
Recycling adalah proses daur ulang yang memerlukan energi dan proses untuk menjadikan material bekas pakai menjadi material yang layak pakai.
Energi yang digunakan dalam proses pengubahan ini haruslah sebanding
dengan fungsi yang bisa diembannya kelak. Adakalanya material layak
pakai hasil daur ulang tidak tahan lama saat digunakan dan terkesan
menyia-nyiakan energi yang sudah dikeluarkan saat proses recycling. Pada material tertentu, recycling menghasilkan material dengan mutu lebih rendah, seperti PVC menjadi pot bunga, balok beton menjadi agregat atau
campuran adukan semen untuk lantai, dsb.
3. Energy recovery
Energy recovery merupakan jenjang terendah dalam daur ulang. Semua material yang sudah tidak mungkin dipakai dibakar untuk memperoleh
energi potensial yang masih terdapat dalam material melalui proses
pembakarannya. Contoh yang paling umum yaitu membakar kayu bekas
untuk penghangat pada perapian atau memasak. Dalam hal ini, material
bekas tidak lagi dapat dipertahankan fungsinya ataupun sudah habis masa
pakainya.
Inti dari tujuan daur ulang ialah untuk memperpanjang usia guna suatu
benda atau material. Pada saat produksi bahan bangunan dan pada saat dilakukan
masa penggunaan bahan dan bagian bangunan atau kemungkinan untuk
digunakan kembali, semakin kecil pula kemungkinan bahan bangunan tersebut
menimbulkan sampah dan puing yang mencemari lingkungan.
Proses daur ulang dengan metode reuse (penggunaan kembali) memiliki karakteristik sebagai berikut:
Tidak mengalami perubahan bentuk produk
Proses tidak membutuhkan teknologi
Relatif tidak membutuhkan energi
Dapat dilakukan dalam skala kecil ataupun besar, namun tidak
membutuhkan pabrikasi
Membutuhkan modal yang sangat kecil
Proses tidak melibatkan proses fisika maupun kimia
Proses ini dapat dianggap sebagai proses yang paling baik secara ekologis
(Smith, 2007). Proses relatif tidak membutuhkan energi, dapat dengan mudah
dilakukan. Produk dari proses ini langsung dapat digunakan. Proses ini hanya
dapat dilakukan pada material yang masih memiliki kualitas yang layak pakai
baik secara fisik maupun materi. Selain itu proses ini tidak memberikan
fleksibilitas dalam desain karena keterbatasan bentuk yang diberikan oleh material
lama.
Re-use dapat dibedakan menjadi tiga: (a) building reuse, (b) component reuse, (c) material reuse (Saleh T.M., 2009). Reuse sebuah bangunan dapat terjadi
manakala seluruh bangunan dapat diselamatkan tanpa proses penghancuran
berurusan dengan perencanaan dan desain yang kompleks untuk mendapatkan
manfaat maksimal dari aspek lingkungan dan ekonomi. Hal ini dapat menghemat
pemakaian sumberdaya alam termasuk didalamnya bahan baku, energi, dan air.
Selain itu, reuse bangunan mampu mencegah tirnbulnya polusi yang disebabkan
oleh pengambilan material, produksi, transportasi dan mencegah timbulnya
limbah padat yang berakhir di tempat pembuangan (Saleh T.M., 2009).
Re-use komponen bangunan diutamakan untuk bagian interior non struktur, seperti dinding interior, pintu, lantai, plafon yang akan digunakan untuk
hal yang sama atau untuk hal lain sampai habis umur pakai komponen tersebut.
Agar komponen dapat digunakan kernbali perencana dan arsitek ikut berperan
untuk menciptakan desain inovatif yang memungkinkan untuk dipasang dan
dibongkar tmpa mengalami kerusakan agar dapat dipasang pada bangunan lain
(McGraw-Hill Construction dalam Wulfram, I.E., Biemo, W.S., Muhamad, A.,
dan Surjamanto, 2012). Reuse material hasil dekonstruksi struktur bangunan
dalam bangunan baru sangat dianjurkan guna mempertahankan nilai ekonomis,
mengurangi energi yang dibutuhkan dalam proses daur ulang, dan rneminimalkan
kebutuhan cetakan dan sumberdarya alam terutama pengurangan terjadinya CO2.
Menggunakan material sampai habis umur pakainya menjadi prioritas utama bagi
arsitek dan perencana dalam memillih jenis material yang akan digunakan. (Chini,
A. R., dalam Wulfram, I.E., Biemo, W.S., Muhamad, A., dan Surjamanto, 2012).
Re-use adalah menggunakan kembali berbagai material dengan cara: Dekonstruksi, material digunakan kembali dalam bentuk yang sama
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk menggunakan kembali
berbagai material konstruksi adalah: (a) identifikasi material yang masih baru,
material yang dapat dipindahkan/dipisahkan tanpa terjadi kerusakan untuk
digunakan kembali; (b) rencanakan untuk berbagai material yang masih dapat
digunakan dalam hal: perlindungan material, penanganan material, penyimpanan
material, dan pemindahan material; (c) diskusikan ide-ide untuk menggunakan
kembali berbagai jenis material kepada pemilik proyek dan kontraktor; (d)
komunikasikan kepada subkontraktor untuk menggunakan kembali sisa material.
Sementara proses daur ulang dengan metode recycle memiiki karakteristik sebagai berikut:
Dalam proses daur ulang bahan mengalami perubahan wujud fisik
Proses daur ulang membutuhkan teknologi yang relatif tinggi
Membutuhkan energi yang relatif besar
Biasanya dilakukan secara massal / bersifat pabrikasi
Membutuhkan modal yang besar
Proses melibatkan proses fisika dan / atau kimia
Salah satu kekurangan dari proses ini adalah besarnya jumlah energi yang
dibutuhkan dalam proses daur ulang. Selain energi yang dipakai dalam proses
daur ulang energi kandungan bahan (embodied energy) juga relatif tinggi. Hal ini disebabkan proses recycle ini memiliki output berupa bahan yang belum siap pakai, masih harus melalui beberapa proses lagi di dalam daur bahannya sebelum
benar-benar bisa diaplikasikan pada bangunan. Proses ini paling tidak efisien
Oleh karena itu, proses ini dapat dikatakan baik secara ekologis apabila
total energi yang digunakan dalam proses daur ulang tidak lebih besar apabila
dibandingkan dengan total energi yang digunakan dalam ekstraksi sumber daya
alam mentah menjadi material bangunan tersebut. Namun proses ini tetap akan
lebih baik secara ekologis apabila dilihat dari sudut pandang konservasi sumber
daya alam terutama sumber daya alam yang tak terbarukan. Hal ini disebabkan
bahan mentah dalam proses daur ulang tidak lagi diambil dari alam melainkan
dengan memanfaatkan sampah.
Proses ini biasanya diterapkan pada material-material bekas yang secara
fisik tidak memadai lagi, namun secara materi material-material ini masih
memiliki nilai. Misalnya baja yang sudah berkarat, kayu yang sudah lapuk, kaca
yang telah pecah, dll. Dalam daur bahan proses ini dapat mengembalikan material
(dalam bentuk produk) kepada bentuk dasarnya.
Salah satu contoh penerapan recycle adalah pada proses daur ulang bahan kaca jendela. Dalam proses pengolahan kembali kaca mengalami perubahan
wujud dari padat menjadi cair dalam proses peleburan. Peleburan ini akan
dilakukan dengan melakukan pemanasan pada kaca dengan suhu yang sangat
tinggi. Energi yang besar dibutuhkan dalam proses peleburan ini. Proses daur
ulang dengan recycle ini membutuhkan teknik-teknik tertentu yang menyebabkan proses ini tidak dapat dilakukan secara mudah.
Dalam melakukan proses daur ulang pada bangunan dibutuhkan ketelitian
dalam melihat potensi yang terdapat pada material-material bekas / sisa dan juga
material. Begitu banyak material bekas yang dapat di daur ulang sehingga dapat
diaplikasikan kembali pada bangunan. Berbagai karakteristik yang ada pada
cakupan daur ulang perlu dipahami untuk menghindari kegiatan daur ulang yang
tidak tepat guna pada material. Tindakan daur ulang yang tidak tepat dapat
mengakibatkan pemanfaatan materi yang tidak optimal dan efisien. Akibatnya
dapat memberi dampak buruk bagi lingkungan.
2.2.2. Pengolahan Material Daur Ulang
Bahan baku berupa barang bekas merupakan suatu komponen penting
dalam industri daur ulang. Apabila bahan baku tidak tersedia maka aktivitas
produksi akan terhenti. Bahan baku dapat diperoleh melalui mekanisme yang
terbentuk secara alamiah di masyarakat mana pemulung merupakan ujung
tombaknya. Adapun mekanisme untuk mendapatkan bahan baku berupa barang
bekas sampai pada level industri adalah sebagai berikut:
Pengolahan bentuk material habis pakai dapat dibagi menjadi dua
kemungkinan. Yang pertama, material akan diolah di tempat pengepul untuk
tahap penyeleksian dan perbaikan material (sesuai kriteria), sedangkan untuk
pengolahan cara kedua dilakukan di lapangan dimana pengolahan material seperti
yang dilakukan pada material-material baru untuk diterapkan pada bangunan.
Pengepul dapat dibedakan menjadi pengepul lokal, pengepul wilayah dan
pengepul yang mempunyai akses ke industri. Pengepul adalah pengumpul
material bekas yang dihasilkan oleh pemulung. Tingkatan tertinggi dari pengepul
ini apabila pengepul tersebut mempunyai akses untuk memasok material bekasnya
ke industri yang membutuhkan. Pengepul pada tingkatan ini mempunyai
pendapatan yang lebih besar bila dibandingkan dengan pengepul-pengepul yang
memasoknya. Pengepul material bekas bangunan banyak dijumpai di beberapa
kota besar diantaranya adalah Surabaya di daerah Dupak, Semarang di Jalan
Kokrosono dan Barito, beberapa lokasi di Surakarta, di Yogyakarta dapat
dijumpai di jalan lingkar utara dan selatan.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan Wulfram (2012) terhadap
beberapa pengepul material bekas, untuk membuka usaha ini syarat utamanya
adalah tersedianya lahan yang cukup luas agar dapat menampung bongkaran
bangunan sebanyak mungkin. Pertimbangan utamanya adalah agar dapat melayani
pembeli secara maksimal sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Hal ini penting
karena semakin luas lahan maka semakin mudah untuk memasang semua material
Terkadang karena sempitnya lahan material yang dibutuhkan oleh pembeli
tidak ditemukan padahal tersedia dan tertumpuk oleh material bekas lainnya dan
hal ini mengakibatkan kerugian bagi pemilik material bekas. Untuk memperoleh
pasokan material bekas, pengepul dapat memperoleh melalui beberapa cara
sebagai berikut: (a) mendapatkan pasokan dari pemulung, (b) lelang
pembongkaran bangunan, (c) membeli bongkaran bangunan. Dari ketiga cara
tersebut mempunyai aspek positif dan negatif masing-masing.
a. Pemulung
Orang yang memungut material bekas untuk dijual kembali guna
memperoleh penghasilan, meskipun sebagian besar orang beranggapan bahwa
profesi ini merupakan ancaman terhadap keamanan di kampung dimana penduduk
tinggal. Oleh karena itu profesi ini sering dikonotasikan negatif. Pemulung dapat
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: (a)kelompok pertama adalah pemulung
lepas yaitu pemulung yang bekerja secara mandiri, (b)kelompok kedua adalah
pemulung yang bekerja untuk seseorang.
Pemulung diberikan pinjaman modal untuk digunakan sebagai biaya
dalam menjalankan aktivitasnya.Setelah terkumpul material bekas sebagai hasil
kerjanya maka pemulung ini diwajibkan menjual hasilnya kepada orang yang
telah meminjamkan modal tersebut yang dibayar dengan cara memotong uang
pinjamannya. Biasanya pemberi pinjarnan tersebut juga memberikan fasilitas
tempat pemondokan di lokasi penampungan material bekas bagi segenap
pemulung yang bekerja kepadanya. Disadari atau tidak profesi pemulung ini
Pada industri daur ulang, komponen penting yang harus ada adalah bahan
baku, apabila bahan baku ini tidak tersedia maka aktivitas produksinya secara
otomatis akan terhenti. Bahan baku ini dapat diperoleh melalui mekanisme yang
terbentuk secara alamiah di masyarakat dimana pemulung merupakan ujungnya.
b. Lelang pembongkaran bangunan.
Aspek penting dalam proses lelang adalah adanya kompetisi antar peserta
lelang, oleh sebab itu peserta lelang harus mempunyai batas atas nilai kontrak
pembongkaran bangunan. Agar dapat mengikuti lelang diperlukan persyaratan
tertentu sesuai dengan keinginan pemilik bangunan. Beberapa persyaratan lelang
antara lain adalah: (a) ditetapkan waktu untuk melihat material; (b) peserta
mengajukan penawaran lelang sesuai dengan blangko yang ditetapkan; (c) peserta
wajib mengajukan penawaran secara tertulis dalam amplop tertutup minimal
sesuai harga limit, jika tidak maka peserta akan dinyatakan gugur; (d) surat
penawaran dilampiri foto kopi identitas dikirimkan kepada panitia lelang; (e)
peserta lelang atau kuasanya wajib hadir saat pelaksanaan lelang; (f) pemenang
lelang dikenakan bea lelang sebesar I% sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (g)
pemenang lelang tidak diperkenankan mengalihkan hak, kewajiban dan tanggung
jawab ke pihak lain tanpa persetujuan panitia lelang.
Selain persyaratan lelang seperti tersebut diatas, juga diatur beberapa hal
sebagai berikut: (a) jangka waktu pembongkaran bangunan, (b) adanya ketetapan
untuk membuang seluruh bongkaran dari lokasi maksimal dalam jangka waktu
tertentu, (c) ketentuan tidak menggunakan cara tertentu yang dapat
lokalitas setempat. Untuk menghitung nilai bongkaran bangunan yang dilelangkan
peserta lelang harus telah menghitung secara rinci nilai komponen material bekas
yang dapat manfaatkan dengan cara melakukan kuantifikasi terhadap semua
komponen bangunan, antara lain volume material kayu, perkiraan berat besi,
jumlah kloset, jurnlah washtafel, jumlah urinal, jumlah kran air, volume kaca,
jumlah lampu, panjang kabel, dan material lain yang dapat dimanfaatkan. Pada
saat lelang bongkaran bangunan, peserta lelang harus telah mengetahui dengan
pasti material bekas bangunan tersebut akan digunakan dan apabila akan dijual
maka harus diketahui dengan pasti harga satuan setiap material bekas bongkaran
tersebut. Hal ini untuk menghindari terjadinya kerugian akibat tidak
terdistribusinya seluruh material bekas tersebut.
c. Membeli bongkaran bangunan.
Berbeda dengan lelang, dalam membeli bongkaran bangunan tidak terjadi
kompetisi. Pengepul biasanya mendapatkan tawaran secara personal dari pemilik
bangunan yang akan dibongkar. Jika pengepul berminat dengan bongkaran
bangunan tersebut akan dilanjutkan dengan melihat secara detil dan melakukan
kuantifikasi terhadap berbagai jenis komponen bangunan yang masih dapat
digunakan. Selanjutnya adalah melakukan tawar menawar harga bongkaran
bangunan tersebut dan jika terjadi kesepakatan maka proses pembongkaran dapat
dilanjutkan.
Komparasi dalam mendapatkan pasokan barang bekas berdasarkan tiga
Tabel 2.7. Komparasi sistem pasokan barang bekas
murah Tidak tentu Tidak tentu
Kualitas material
Relatif lebih baik Relatif lebih baik
Kemudahan mendapatkan material bekas
Lebih mudah Relatif Relatif
Kontinuitas
Relatif konstan untuk material
tertentu
Tidak tentu Tidak tentu
Sumber: Ervianto dkk dalam Jurnal Teknik Sipil. Vol. 12, No.1 (2012): 18-27.
Tabel 2.8. Komparasi pembelian di kios barang bekas dengan toko bangunan
Aspek Dipertimbangkan Toko Material Bekas Toko Bangunan Konservasi sumberdaya
Harga material Relatif lebih murah
karena material bekas Relatif lebih mahal
dibutuhkan (misalnya pipa besi 1m panjang)
membeli 1 batang)
Keberlanjutan Tergantung ada tidaknya bongkaran bangunan
Tergantung proses produksi oleh pabrikan Sumber: Ervianto dkk dalam Jurnal Teknik Sipil. Vol. 12, No.1 (2012): 18-27.
2.2.3. Penerapan Material Bekas pada Bangunan
Pada pembongkaran bangunan dan renovasi bangunan, komponen
bangunan yang masih mempunyai nilai dapat digunakan kembali pada proyek
tersebut, atau disimpan dan digunakan kembali pada proyek lain, atau dijual untuk
tetap digunakan sesuai fungsinya maupun beralih fungsi lain. Menurut Mediastika
(2013) dalam bukunya yang berjudul Hemat Energi & Lestari Lingkungan
Melalui Bangunan, penggunaan material bekas untuk konstruksi bangunan dan
pengolahan lahan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Material bekas bangunan atau sisa-sisa material bangunan untuk
material bangunan.
2. Material bekas selain dari bangunan untuk material bangunan.
Mediastika (2013) menjelaskan bahwa pada jenis yang pertama dapat
diambil contoh pemakaian kayu bekas, besi bekas, genteng bekas, atau
sisa/pecahan lantai keramik dari renovasi rumah yang tidak terpakai, kemudian
digunakan oleh para pekerja konstruksi untuk membangun atau memperbaiki
rumahnya sendiri. Contoh pemanfaatan material bekas lainnya adalah sebuah
bengkel kerja karya dan milik Paulus Mintarga di Colomadu, Karanganyar, Solo,
Jawa Tengah. Bengkel atau studio ini dinamai “Rempah” kependekan dari
remukan sampah karena memang didirikan dengan 90% material bekas, baik itu
Gambar 2.8. Bengkel kerja “Rempah” Sumber:http//unik.kompasiana.com
Sementara pada jenis yang kedua adalah pemanfaatan material
non-bangunan untuk konstruksi non-bangunan, seperti botol, kaleng, dan sebagainya. Botol
dan kaleng bekas dapat digunakan pada tata lanskap, misalnya sebagai pembatas
antara area tanaman (taman) dengan area perkerasan. Botol dan tutupnya (baik
tutup aluminium, plastik, maupun gabus) juga dapat digunakan untuk memberikan
keunikan pada perkerasan ruang luar.
Salah satu contoh penerapan material bekas sebagai elemen interior
bangunan terdapat pada Rumah Heinz Frick yang akan dijelaskan sebagai berikut:
- Rumah „Tropis‟ Heinz Frick
Rumah ini terletak di atas bukit Simongan dekat sebuah kawasan industri
di sisi selatan Semarang. Bukit ini memiliki jenis tanah yang kurang subur
sehingga ideal menjadi tempat tinggal bagi Dr.Heinz Frick, karena tidak
mengurangi lahan produktif pertanian. Bukit ini telah terpapras sebagian untuk
reklamasi pantai Semarang dan kondisi ini mengancam kelangsungan komunitas
yang tinggal di bukit tersebut. Maka dari itu, rumah ini dibangun untuk
melakukan advokasi untuk komunitas tersebut dalam mempertahankan
lingkungan.
Rumah karya Dr. Heinz Frick yang terletak di Jalan Srinindito, Simongan,
Semarang menerapkan prinsip desain ramah lingkungan sekaligus tetap
terjangkau. Rumah yang memiliki luas 140 meter persegi (luas bangunan 88 m2
dan luas teras 43.6 m2) yang terletak di atas lahan seluas 350 meter persegi ini
telah menjadi perhatian publik karena desainnya yang ramah lingkungan dan unik
serta menerapkan material bekas yang dimanfaatkan kembali sebagai bahan
material pada bangunannya.
Bangunan ini berdiri sejak tahun 1999, biaya pembangunan rumah
mencapai Rp. 150 juta. Hal ini menunjukkan bahwa desain rumah yang ramah
lingkungan dan terjangkau menjadi jawaban bagi masyarakat Indonesia yang
Gambar 2.10. Rumah Heinz Frick
Sumber: Jurnal Tesa Arsitektur, 11 (1). pp. 44-63. ISSN 1410-6094
Desain rumah menggunakan tenaga lokal dan material lokal sesuai dengan
sub-aspek material bangunan yang berkelanjutan seperti material batako, batu
alam, kayu daur ulang, atap genteng serta baja. Selain itu, limbah daur ulang
berupa ubin bekas, limbah kertas, limbah kayu, dan besi beton juga digunakan.
Gambar 2.11. Pagar teras dari kayu bekas dan dinding pecahan keramik bekas Sumber: Jurnal Tesa Arsitektur, 11 (1). pp. 44-63. ISSN 1410-6094
Kayu bekisting yang digunakan dalam pengecoran rumah ini berasal dari
Kalimantan. Sementara, kayu usuk Bangkirai (5x7cm) dari sumber yang sama
dimanfaatkan untuk konstruksi rangka langit-langit dan pagar teras. Pecahan
keramik dari UNIKA digunakan ulang secara kreatif untuk finishing dinding dan lantai kamar mandi tamu.
Plafon pada rumah ini didesain dengan banyak material bekas. (1)
Papan-papan akustik dari vermikulit yang dibongkar oleh Pelatihan Industri Kayu Atas
(PIKA) dari tempat lain, dimanfaatkan sebagai langit-langit di dapur, teras, ruang
makan, dan ruang keluarga. (2) Papan bekas peti kemas uang digunakan untuk
langit-langit selasar. (3) Kayu-kayu bekas PIKA yang juga digunakan untuk
membuat lubang penghawaan pada langit-langit dapur.
Gambar 2.12. Plafon dari papan akustik bekas
Gambar 2.13. Plafon dari kayu peti kemas bekas
Sumber: Jurnal Tesa Arsitektur, 11 (1). pp. 44-63. ISSN 1410-6094
Tangga pada teras barat rumah ini, yang menuju ke tangki air atas,
dibangun meggunakan tiang lstrik bekas sebagai balok tangga, lempengan besi
sebagai anak tangganya, dicor dengan beton dan difinishing dengan batu alam.
Gambar 2.14. Tangga dari bahan tiang listrik bekas
Sumber: Jurnal Tesa Arsitektur, 11 (1). pp. 44-63. ISSN 1410-6094
Desain rumah karya Dr.Heinz Frick, Semarang merupakan rumah tropis
yang ideal dan memiliki fitur-fitur desain yang ramah lingkungan sekaligus tetap
terjangkau karena memanfaatkan kembali material bekas maupun lokal sebagai
2.3. Terminologi Kafe
2.3.1. Definisi Kafe
Kafe adalah suatu usaha di bidang makanan yang dikelola secara
komersial yang menawarkan pada para tamu makanan atau makanan kecil dengan
pelayanan dalam suasana tidak formal tanpa diikuti suatu aturan atau pelayanan
yang baku (sebagaimana sebuah exlusive dinning room), jenis-jenis makanan atau harganya lebih murah karena biasanya beroperasi selama 24 jam, dengan
demikian dapat dipastikan sebuah kafe akan tetap buka ketika restoran-restoran
lainnya sudah tutup. (Sugiarto, 1996). Menurut Marsum (2005) kafe adalah
tempat untuk makan dan minum sajian cepat saji dan menyuguhkan suasanan
santai atau tidak resmi, selain itu juga merupakan suatu tipe dari restoran yang
biasanya menyediakan tempat duduk di dalam dan di luar restoran. Kebanyakan
kafe tidak menyajikan makanan berat namun lebih berfokus pada menu makanan
ringan seperti kue, roti, sup, dan minuman.
Menurut Agvirafani (2014) kafe adalah suatu bentuk restoran informal
yang mengutamakan pada penyajian tempat yang nyaman untuk bersantai,
beristirahat, dan berbincang-bincang sambil menikmati kopi atau teh serta
hidangan-hidangan ringan lainnya. Pemilihan tema dan gaya sangat berpengaruh
pada suasana interior dalam kafe yang berdampak pada psikologis pengunjung
yang datang. Istilah kafe paling umum dijumpai di Negara Perancis yang
kemudian diadopsi oleh kota-kota di Inggris pada akhir abad ke-19. Istilah kafe
2015). Pada awalnya kafe hanya berfungsi sebagai kedai kopi, tetapi sesuai
dengan perkembangan jaman, kafe telah memilih banyak konsep, diantaranya
sebagai tempat menikmati hidangan/dinner (Kompas Media Cyber, 2005).
2.3.2. Perkembangan Kafe di Kota Medan
Berdasarkan pernyataan M.Ishak, pengamat ekonomi dari Universitas
Negeri Medan, dikatakan bahwa perkembangan bisnis kafe yang marak di Medan
saat ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi di kota ini semakin baik
dan maju (Harian Medan Bisnis Online, 2013). Menurutnya, kafe yang mulai
marak saat ini dapat dijadikan tempat pertukaran bisnis antar pengusaha, juga
dapat dijadikan tempat interaksi sosial antar masyarakat dengan tujuan
membicarakan bisnis maupun sekedar tempat untuk menikmati kuliner. Adapun
investasi kuliner seperti ini diprediksi naik 25% dari tahun sebelumnya.
Saat ini, nyaris tidak bisa ditemui cafe yang biasa saja tanpa mengusung
tema tertentu. Demi kenyamanan dan pengalaman eksklusif para pengunjung,
para pemilik cafe berlomba menentukan tema yang unik, cantik, dan memakai
jasa para interior designer. Saat ini, tema vintage, retro, dan kampung adalah yang
paling banyak digemari. Semua konsep itu dikemas secara apik dan modern,
sehingga setiap pengunjung memperoleh suasana berbeda yang tidak akan didapat
di tempat lain. Hal ini berpengaruh terhadap meningkatnya daya saing bisnis kafe.
(Majalah Peluang, 2014)
Selain menu dan konsep tata ruang, kafe juga harus didukung dengan
strategi marketing yang maksimal. Terlebih di kota-kota besar, tempat bisnis
promo di momen-momen special, kafe juga kerap menghadirkan entertainment
tambahan melalui serangkaian event dan paket-paket khusus. Tidak jarang,
pengelola bersedia memberikan space secara gratis, bahkan sengaja menyewa Event Organizer untuk menyiapkan event sebagai daya tarik pengunjung.
(Majalah Peluang, 2014). Berdasarkan Asosiasi Pengusaha Kafe Restoran
Indonesia (Apkrindo), jumlah kafe dan restoran tumbuh sebesar 15-20% pada
tahun 2014 di kota-kota besar yang ada di Indonesia. Hal ini menandakan bahwa
bisnis kafe cukup diandalkan dan menjanjikan.
2.3.3. Prosedur dalam Membuka Usaha Kafe
Berikut adalah prosedur dalam membuka usaha kafe dikutip dari Harian
Online Satu Harapan (2015):
1. Prosedur Pengurusan Ijin Usaha
Langkah awal untuk mengurus ijin usaha kafe adalah datang ke kantor
walikota/bupati. Di sana akan diinformasikan mengenai syarat-syarat dan
dokumen apa saja yang dibutuhkan untuk mengurus ijin kafe. Setelah
berkas selesai dan memenuhi segala persyaratannya, kembalikan berkas
tersebut ke kantor walikota/bupati. Selanjutnya setelah berkas diterima,
akan ada pemeriksaan lapangan untuk memeriksa kecocokan data antara
dokumen-dokumen yang diberikan dengan data di lapangan. Jika proses
pemeriksaan di lapangan sudah selesai, diharuskan membayar retribusi
untuk usaha kafe ke rekening pemda setempat yang sudah diinformasikan.
Setelah semuanya selesai, dibutuhkan waktu sekitar 14 hari kerja hingga
2. Persyaratan Administrasi
- Mengisi formulir permohonan dengan materai Rp 6.000,-
- Fotokopi KTP dengan menunjukkan KTP Asli
- Fotokopi sertifikat tanah atau jika bukan milik sendiri ada pernyataan
dari pemilik tanah/bangunan bahwa tidak keberatan dibuat usaha
tentunya dengan materai
- Gambar denah lokasi
- Salinan IMB
- Salinan perijinan gangguan (HO)
- Salinan NPWP
- Salinan Ijin Peruntukkan Penggunaan Tanah
- Dokumen-dokemen lainnya berhubungan dengan lingkungan hidup
- Salinan akte pendirian perusahaan (jika memang berbadan hukum)
3. Persyaratan Non-Formal
- Informasikan usaha kepada Kelurahan dan RT/RW setempat untuk
menghindari pungutan liar berbagai oknum pada saat pembangunan
- Informasikan kepada ormas-ormas setempat agar tidak ada oknum yang
berani mengganggu
- Jika jenis makanan bersifat tidak halal bagi kalangan muslim berikan
informasi tersebut pada menu
Terkait dengan Izin Mendirikan Bangunan, secara umum syarat-syarat dan
- Mengisi formulir Permohonan Izin
- Foto Copy surat tanah
- Gambar konstruksi bangunan (denah, tampak muka, samping, belakang,
rencana utilitas)
- Fotocopy KTP
- Persetujuan tetangga (khusus bangunan bertingkat)
- Bukti pelunasan PBB
Namun, tidak semua renovasi rumah atau bangunan rumah harus disertai
IMB. Menurut Perda No. 7/1991, pasal 17 ayat 2 menyatakan bahwa
pembangunan atau renovasi rumah yang kurang dari 12 m2 tidak perlu
menggunakan IMB. Berikut ini ada beberapa kegiatan yang tidak memerlukan
izin:
- Pekerjaan yang termasuk dalam pemeliharaan dan perawatan bangunan
yang bersifat biasa
- Mendirikan kandang pemeliharaan binatang atau bangun-bangunan di
halaman belakang dan isinya tidak lebih dari 12 m2.
- Bangun-bangunan di bawah tanah.
- Perbaikan-perbaikan yang ditentukan oleh Gubernur Kepala Daerah.
- Jika renovasi rumah yang dilakukan tergolong kecil dan bangunan
tersebut telah memiliki IMB, maka tidak perlu mengurus IMB baru.
Cukup dengan surat keterangan membangun. Misalnya, renovasi rumah
berupa penambahan ruang yang luasnya tidak lebih dari 30% luas
renovasi rumah berupa penambahan lantai, luas lantai atas tidak lebih
dari dari 50% luas lantai bawah. Ukurannya juga tidak lebih dari 250
m2. Lain halnya jika renovasi rumah yang dilakukan berupa perubahan
fasad, tata letak ruangan atau struktur bangunan keseluruhan. Renovasi
rumah seperti ini butuh IMB baru. Hal ini juga berlaku pada renovasi
rumah dengan penambahan ruang lebih dari 30% luas bangunan lama.
2.3.4. Tinjauan Arsitektur pada Kafe
2.3.4.1 Elemen Pembentuk Ruang
Secara harfiah “ruang” dapat diartikan sebagai alam semesta yang dibatasi
oleh atmosfir dan tanah dimana kita berpijak, sedang secara sempit “ruang”
berarti suatu kondisi yang dibatasi oleh 4 lembar dinding . yang bisa diraba dan
dirasakan keberadaannya. (Suptandar, 1999).
Elemen pembentuk ruang terdiri dari:
a. Elemen horizontal bawah (bidang alas) yaitu lantai,
b. Elemen horizontal atas, yaitu bidang langit-langit (plafon) dan atap,
c. Elemen vertikal, yaitu bidang dinding atau pembatas dan kolom,
d. Elemen pelengkap pembentuk ruang, yaitu pintu, jendela, dan furnitur.
- Lantai
Dalam buku (The Encyclopedia Americana, 1990) fungsi lantai tidak saja
sebagai tempat untuk kaki berpijak, tetapi juga sebagai unsur dekorasi,
sebagai pendukung beban untuk penempatan furniture, fasilitas dan lain
sebagainya, dan sebagai penyerap / peredam suara. Bahan lantai ada 2