• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Material Bangunan 2.1.1. Sustainable Development - Konsep Daur Ulang pada Material Bekas sebagai Elemen Interior Kafe di Medan (Studi Kasus: Resep Nenek Moyangku, Lekker Urban Food House, dan Hungry Tummy)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Material Bangunan 2.1.1. Sustainable Development - Konsep Daur Ulang pada Material Bekas sebagai Elemen Interior Kafe di Medan (Studi Kasus: Resep Nenek Moyangku, Lekker Urban Food House, dan Hungry Tummy)"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekologi Material Bangunan

2.1.1. Sustainable Development

Istilah sustainable development pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980 yang mendeskripsikan suatu usaha pembangunan untuk memenuhi

kebutuhan sosial dan disaat bersamaan juga berusaha meminimalkan dampak

negatif yang ditimbulkan pembangunan pada lingkungan. Namun, definisi yang

paling banyak dipakai adalah yang dirumuskan oleh Gro Harlem Brundlant pada

tahun 1986 dalam bukunya “Our Common Future”. Ia menyatakan bahwa, ”Sustainable development is development which meets the needs of the present

without compromising the ability of future generations to meet their own needs” Sustainable development yang dalam bahasa Indonesia berarti pembangunan yang berkelanjutan dapat dikatakan sebagai suatu konsep pembangunan yang

menekankan pada keberlanjutan hidup manusia. Berdasarkan pengertian yang

telah disebutkan sebelumnya dapat diidentifikasi adanya tiga unsur utama yang

menjadi sangat penting dalam pembangunan yang berkelanjutan, yakni

pemenuhan kebutuhan manusia, kelestarian lingkungan hidup dan masa yang akan

datang (Graham, 2003).

Populasi dunia bertambah dari 1,5 milyar pada tahun 1900, menjadi 6

milyar pada tahun 2000 (Muller, 2002). Bertambahnya populasi manusia berarti

juga bertambahnya jumlah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Manusia

(2)

mengkonsumsi sumber daya yang ada di alam. Namun, pola konsumsi yang tidak

seimbang telah diterapkan oleh manusia selama beberapa dekade. Tidak

seimbangnya antara konsumsi sumber daya dengan kemampuan lingkungan untuk

memenuhinya, menimbulkan kerusakan pada lingkungan dan ancaman krisis

sumber daya alam bagi generasi manusia di masa yang akan datang.

Bangunan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Pertumbuhan

jumlah penduduk yang begitu besar juga akan mempengaruhi jumlah permintaan

terhadap kebutuhan akan bangunan. Tiap-tiap bangunan akan mengkonsumsi

jumlah sumber daya alam yang sangat banyak dalam konstruksinya. Sebuah

bangunan akan bersentuhan langsung dengan lingkungan alam. Keberadaan

bangunan itu sendiri secara langsung akan memberi dampak pada lingkungan

alam yang ada di sekitarnya. Dampak ini seringkali diabaikan karena memang

tidak langsung jelas terlihat. Namun pada kenyataanya ada banyak sekali dampak

yang ada. ” There are more impacts than we could possibly know. Building

projects may impact on natural environments that are far removed from the site andmay be accumulative and long-term” (Graham, 2003).Terdapat lebih banyak dampak dari yang mungkin kita bayangkan. Suatu proyek bangunan dapat

memberi dampak pada lingkungan hidup yang berada jauh dari tapak dan dampak

tersebut bersifat akumulatif dan dalam jangka panjang.

Salah satu isu penting dalam pembangunan yang berkelanjutan adalah

pertambahan volume sampah/limbah lingkungan. Pertambahan sampah sangat

erat hubungannya dengan pola konsumsi. Pola konsumsi yang baik adalah

(3)

Dengan pola konsumsi yang efisien maka akan terdapat lebih sedikit

sampah/limbah yang dihasilkan pada skala kerja dan konsumsi sumber daya yang

sama.

Berdasarkan buku Building Ecology (2003) oleh Peter Graham, dalam

mendukung sustainable development diperlukan pengetahuan tentang daur hidup bahan. Life Cycle Assesment (nilai daur hidup) atau yang sering disingkat dengan LCA merupakan suatu pendekatan evaluasi yang bertujuan untuk memahami daur

hidup lingkung bangun dan dampaknya terhadap lingkungan melalui aplikasi

material pada bangunan. Adapun kriteria yang menjadi perhitungan dalam LCA

diantaranya:

1. Pengambilan, proses, dan transportasi material mentah;

2. Produksi, transportasi, dan distribusi dari produk yang dihasilkan;

3. Penggunaan, penggunaan kembali dan perawatan;

4. Daur ulang dan pembuangan akhir.

Tujuan dari penerapanLCAadalah:

1. Mengevaluasi beban lingkungan berkaitan dengan produk, proses, atau

aktivitas, mengidentifikasi dan memperhitungkan penggunaan energi,

material, dan jumlah sampah / limbah yang dilepaskan ke lingkungan;

2. Mengetahui dampak penggunaan sumber daya dan pembuangan limbah

serta dampak terhadap lingkungan;

3. Melakukan evaluasi dan menerapkannya memberikan kemungkinan untuk

(4)

Froschle (1999) dalam artikel “Environmental Assessment and

Specification of Green Building Materials” mengklasifikasikan kriteria material

bangunan dalam pembangunan berkelanjutan, diantaranya:

Tabel 2.1. Kriteria material bangunan dalam pembangunan berkelanjutan

No. Kriteria / Variabel Deskripsi

1. Kadar racun rendah Bahan dengan tingkat toksisitas atau konsentrasi racun rendah

2. Emisi minimal

Bahan tanpa emisi kimia atau emisi kimia rendah (VOC / volatile organic compounds dan CFC / chlorofluorocarbons) konsumsi energy dan limbah yang sedikit

6. Bahan daur ulang Bahan yang dapat didaur ulang di akhir masa pakainya

11. Hemat energi Bahan yang membantu mengurangi konsumsi energi pada bangunan

12. Pelestarian air

(5)

13. Meningkatkan IAQ energi untuk transportasi ke lokasi proyek

16. Bahan terjangkau

Biaya pembuatan bangunan sebanding pembuatan dengan bahan konvensional

Sumber: Environmental Assessment and Specification of Green Building Materials (Froschle, 1999)

- Material yang dapat digunakan kembali dan memperhatikan sampah

bangunan pada saat pemakaian

Pemanfaatan kembali material dari bangunan lama menjadi lebih

ekonomis dibandingkan dengan biaya pembuangan yang semakin tinggi,

peraturan yang semakin ketat, dan harga material yang semakin tinggi.

- Material daur ulang

Memilih material bangunan yang dapat didaur ulang lebih diutamakan

karena memberikan keuntungan yang sangat besar terhadap alam. Kemampuan

material untuk diolah kembali dapat dilihat pada saat setelah material digunakan

atau setelah material dihasilkan.

- Keaslian material

Apakah material tersebut datang dari sumber daya alam yang dapat

diperbaharui? Perkiraan jarak dari sumber dan produk ke lokasi pembangunan

juga harus diperhatikan. Memakai kayu dari sumber yang jauh lebih dekat ke

lokasi bangunan akan mengurangi biaya dan pengaruh pengangkutan pada

(6)

- Energi yang diwujudkan

Metode yang memperhitungkan seluruh energi dan biaya yang tidak

terlihat namun dibutuhkan pada saat memproduksi material. Energi tersebut

dihitung mulai dari produksi awal material, yaitu pengambilan material utama dan

fabrikasi yang diperlukan, pengepakan material, transportasi ke site, sampai ke

pemasangan bangunan.

- Material yang mengandung racun

Bangunan dengan material yang mengeluarkan zat beracun secara lambat

dengan campuran lem, resin, dan campuran minyak dalam cat serta kandungan

bahan organik dalam udara yang dipakai sebagai campuran dalam material

bangunan. Perancang sebaiknya menghindari pemakaian bahan yang dapat

menghasilkan formaldehyde, larutan organik, kandungan bahan kimia dalam

udara, klorofuorkarbon. Kandungan bahan kimia dalam udara dapat

mengakibatkan iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan, sakit kepala dan iritasi

dermatologis dan beberapa penyakit lain.

- Memprioritaskan material alami

Material alami seperti batu, kayu, dan tanah umumnya menggunakan

energi yang sedikit untuk diproduksi, menghasilkan racun dan polusi yang lebih

sedikit terhadap lingkungan.

- Mempertimbangkan durabilitas dan umur produk

Material yang berkelanjutan termasuk material yang tidak membutuhkan

(7)

Dari prinsip-prinsip tersebut terlihat bahwa perhatian terhadap kebijakan

penggunaan material sangat erat hubungannya dengan keberlanjutan lingkungan

hidup. Untuk memahami hubungan ini secara baik dibutuhkan pengetahuan yang

lebih dari sekedar kegiatan mengambil material, menggunakan, dan

membuangnya, namun harus memahami segala proses dan daur yang terjadi pada

sumber daya alam yang dikonsumsi sehingga prediksi terhadap dampak yang

dihasilkan dapat diketahui secara lebih terperinci. Oleh karena itu, dampak yang

ditimbulkan adalah cerminan dari hubungan yang dimiliki manusia dengan

lingkungannya. Hubungan yang baik tidak akan menyebabkan kerusakan pada

lingkungan melainkan keberlanjutan lingkungan yang mampu mendukung

kualitas kehidupan yang baik bagi manusia hingga ke masa yang akan datang.

2.1.2. Klasifikasi Material Bangunan secara Ekologis

Heinz Frick (1998) di dalam bukunya Ilmu Bahan Bangunan,

mengklasifikasikan material bangunan berdasarkan penggunaan bahan mentah

dan tingkat transformasi (perubahan wujud fisik) yang terjadi dalam daurnya.

Berikut adalah klasifikasi tersebut:

1. Bahan bangunan yang dapat dibudidayakan kembali (regeneratif)

Bahan bangunan organik nabati dan hewani yang dapat diaplikasikan

langsung, tanpa transformasi adalah jenis bahan bangunan ini. Contoh: kayu,

rotan, rumba, alang-alang, kulit binatang, dll. Bahan bangunan ini memiliki daur

hidup alami (kemampuan budidaya), oleh karena itu daurnya bersifat tertutup.

Sehingga relatif tidak memiliki dampak negatif secara ekologis. Dalam

(8)

sifatnya regeneratif namun penggunaannya tetap harus dijaga agar tidak melebihi

kemampuannya beregenerasi secara alami.

Sebagai contoh bahan bangunan ini adalah kayu. Berikut jenis-jenis kayu

berdasarkan buku Ilmu Bahan Bangunan (Frick, 1999):

- Kayu jati (Tectona grandis)

Tempat tumbuh: Jawa, Sulawesi Selatan, NTB, Maluku, Lampung, dan

Madura.

Tinggi mencapai 45 m, panjang bebas cabang 15-20 m. Gemang batang

mencapai 2,20 m

Warna: Kayu teras cokelat kekuning-kuningan, cokelat kelabu sampai

cokelat tua atau merah cokelat.

- Kayu Kamper (Dryobalanops spp)

Tempat tumbuh: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan

Kalimantan

Tinggi 35-45 m dan dapat mencapai 60 m, panjang batang bebas 25-30 m.

Gemang batang 80-100 cm, bentuk batang sangat baik.

Warna: Kayu teras merah cokelat, merah kelabu, merah. Kayu gubal

hampir putih sampai cokelat kuning muda.

- Kayu Mahoni (Swietania Mahagoni spp) Tempat tumbuh: Jawa

Tinggi 35 m, bentuk silindris, tajuk bulat

Warna: Kayu teras cokelat muda kemerah-merahan atau

(9)

Tabel 2.2. Kelas kayu menurut keawetannya Kelas (tingkat)

keawetan kayu I II III IV V

Selalu berhubungan dengan

tanah lembap 8 tahun 5 tahun 3 tahun

Sangat pendek

Sangat pendek Tidak terlindung, tetapi

dilindungi dari pemasukan air

Tidak berhubungan dengan tanah lembap, di bawah atap

Seperti diatas tetapi selalu dipelihara

dan sebagainya Tidak Tidak

Hampir Sumber: Ilmu Bahan Bangunan (Frick, 1999)

Tabel 2.3. Kelas kayu menurut kekuatannya

Kelas kuat Berat jenis kering udara (kg/dm3)

Sumber: Ilmu Bahan Bangunan (Frick, 1999)

Seperti yang dijelaskan dalam buku Ilmu Bahan Bangunan, terdapat pula

bahan perkayuan seperti vinir dan kayu lapis (tripleks dan multipleks). Vinir

adalah lembaran kayu tipis yang diperoleh dengan cara mengupas atau mengiris

dari dolok kayu jenis tertentu. Kayu yang biasa untuk membuat vinir dari jenis

kayu yang lunak, ringan, kelas kuat dan kelas awetnya sekitar II – 1V dan bila

(10)

Kayu lapis adalah papan / panel buatan yang terdiri dari susunan beberapa

lapisan vinil yang mempunyai arah serat bersilangan tegak lurus dengan diikat

oleh perekat tertentu, serta jumlah lapisan harus ganjil. Penggunaan kayu lapis

pada bangunan misalnya bekisting, daun pintu, dinding penyekat, plafon, lapisan

dasar lantai parket. Selain itu dapat diaplikasikan sebagai perabot rumah tangga

seperti lemari, tempat tidur, meja dan kursi.

2. Bahan bangunan alam yang dapat digunakan kembali

Bahan organik bukan nabati atau hewani yang dapat langsung

diaplikasikan pada bangunan adalah jenis klasifikasi bahan bangunan ini, seperti:

tanah liat, pasir, batu alam, dll. Bahan bangunan ini sifatnya terbarukan, namun

dapat dipergunakan berulang kali dengan proses sederhana.

3. Bahan bangunan buatan yang dapat digunakan kembali

Klasifikasi bahan bangunan ini adalah bahan bangunan yang didapat

sebagai limbah, potongan, sampah, ampas, dan sebagainya dari perusahaan

industri dalam bentuk bahan bungkusan, mobil bekas, ban mobil bekas, serbuk

kayu, potongan bahan sintetis, kaca, seng, atau bermacam-macam kain.

Kaleng aluminium bekas memiliki ketinggian sekitar 130 mm, hampir

sama dengan ketebalan dinding batu-bata. Berdasarkan buku Ilmu Bahan

Bangunan (Frick, 1999) dikatakan bahwa kaleng aluminium bekas dapat

dimanfaatkan untuk dinding bangunan. Penyusunan kaleng bekas dilakukan

secara teratur sehingga sisinya dengan bukaan kaleng akan dapat diplester. Oleh

karena aluminium akan beroksidasi bila terkena adukan/plesteran semen, maka

(11)

4. Bahan bangunan alam yang mengalami perubahan transformasi sederhana

Klasifikasi bahan bangunan ini adalah material yang bahan mentahnya

berasal dari alam, kemudian mengalami pengolahan yang mengakibatkan

perubahan pada wujud (transformasi) bahan. Contoh: batu bata dari tanah liat,

genteng dari tanah liat, keramik, logam dari bijih logam, seng, kaca dari pasir

kuarsa, dll. Bahan mentah yang digunakan sifatnya tidak terbarukan, namun

bahan bangunan dapat digunakan kembali dengan perlakuan tertentu.

Salah satu contoh bahan bangunan ini adalah keramik. Bahan keramik

sebagai ubin keramik adalah unsur bangunan yang dipergunakan untuk melapisi

lantai ataupun dinding, biasanya berbentuk pelat persegi dan tipis yang dibuat dari

tanah liat atau campuran tanah liat dan bahan mentah keramik laninnya, dibakar

sampai suhu sedemikian tinggi, sehingga mempunyai sifat-sifat fisik khusus.

(Frick, 1999). Pada dasarnya hanya ada 2 jenis keramik yaitu:

a. Keramik yang mempunyai lapisan glazur (glazed)

Jenis keramik yang paling banyak di pasaran untuk aplikasi lantai maupun

dinding. Lapisan glazur di aplikasikan dengan temperature tinggi sehingga

menyatu dengan badan keramik. Lapisan ini lah yang membuat motif

desain dan tekstur keramik. Lapisan glazur membuat keramik tahan air,

tahan api dan mudah dibersihkan karena sangat padat dan tidak berpori.

b. Keramik homogenious tanpa lapisan glazur (unglazed)

Jenis keramik ini sekarang semakin trend dengan bermacam macam

desain. Tidak ada lapisan apapun yang di aplikasikan pada keramik.

(12)

sebelum pembentukan body sehingga ada kesatuan warna antara bagian

permukaan dan belakang. Permukaan keramik mengkilat dengan cara di

polish. Keramik jenis ini biasanya lebih tebal, keras dan lebih tinggi

kekuatannya dari pada glazed ceramic.

Dikutip dari Rumah Ide (Online), ada beberapa jenis permukaan keramik

baik yang memakai lapisan glazur ataupun tidak, diantaranya:

a. Mengkilat dan licin. Biasa dipakai untuk keramik dinding ataupun keramik

lantai dalam ruangan. Tidak cocok untuk lantai yang sering terkena air

atau area servis dengan loading yang tinggi karena biasanya tidak tahan

goresan.

b. Doff / Matte. Cocok untuk berbagai macam aplikasi hanya tidak licin dan

mengkilat. Biasa dipakai di rumah dengan desain minimalis. Lebih tahan

terhadap goresan.

c. Bertekstur kasar. Cocok dipakai untuk lantai kamar mandi, carport atau

ruang terbuka yang sering terkena panas dan hujan. Jenis keramik ini tidak

licin walaupun terkena air.

d. Cutting edge. Permukaan keramik yang sangat siku pada keempat sisinya.

Keramik jenis ini dipotong setelah proses pembakaran. Dari segi harga

pasti lebih mahal dari pada keramik yang bukan cutting.

Contoh lain dari bahan bangunan alam yang mengalami perubahan

transformasi sederhana adalah seng. Seng adalah jenis logam yang biasa

digunakan untuk melindungi terhadap terjadinya korosi dengan menggunakan

(13)

masih sering digunakan karena harganya agak murah untuk atap yang awalnya

kedap air hujan dan tahan lama dengan pengecualian pada daerah yang mengalami

udara tercemar sulfur (dekat gunung api, dsb).

Kaca merupakan salah satu bahan bangunan alam yang mengalami

perubahan transformasi sederhana. Material kaca dibedakan menjadi beberapa

jenis, antara lain:

a. Kaca Tempered. Jenis kaca yang telah melalui suatu proses pemanasan hingga pada tingkat suhu tertentu dan kemudian didinginkan seketika,

sehingga menghasilkan kaca yang mempunyai kekuatan dan kelenturan

yang baik terhadap tekanan pada kedua sisi pemrukaan kaca. Jenis ini

biasa digunakan sebagai pintu shower, railing tangga/balkon, dinding kaca ruangan, skylight.

b. Kaca Laminated. Lembaran kaca yang terdiri dari 2 lapisan kaca yang direkatkan, sehingga dapat berfungsi untuk mencegah kemungkinan jatuh

atau hancurnya kaca akibat benturan pada salah satu sisinya. Kaca

laminated juga dapat digunakan sebagai skylight karena sifatnya yang dapat meredam sinar UV dan juga digunakan untuk partisi dinding kaca

suatu ruangan.

c. Kaca Polos dan Rayban. Kaca polos atau juga disebut kaca bening biasa

yang kemudian biasa dikembangkan menjadi kaca tempered, kaca

laminated, kaca double, dll. Kaca rayban adalah kaca gelap namun masih

(14)

d. Kaca Double Glass. Kaca yang dibentuk / digabung oleh 2 panel kaca dengan terciptanya ruang antara panel yang memiliki ketebalan beberapa

milimeter. Ruang antara panel bersifat kedap udara dan memiliki

kelembapan yang rendah, sehingga pemasangan kaca double glassing pada sebuah ruangan menyebabkan ruangan tersebut kedap suara dan suhu

ruangan dapat terjaga dengan baik / stabil.

e. Kaca Reflective. Kaca yang hanya memiliki daya tembus pandang satu arah saja sehingga dari bagian luar tidak dapat melihat bagian dalam suatu

ruangan. Kaca reflective biasa digunakan untuk eksterior gedung.

f. Kaca Bevel. Kaca yang sisinya memiliki tepi miring. Teknik bevel kaca

digunakan untuk menambah gaya dekoratif kaca karena dapat

meningkatkan dampak visual pada kaca.

5. Bahan bangunan yang mengalami beberapa tingkat perubahan

transformasi

Bahan bangunan jenis ini adalah material yang menggunakan bahan

mentah fosil (minyak bumi, arang, gas). Material yang dihasilkan berupa material

sintetis seperti: plastik, epoksi, polikarbonat, pvc, dll. Bahan sintetis merupakan

bahan yang dinilai tidak baik secara ekologis, karena; 1. Sulit di daur ulang,

membutuhkan energi dan biaya yang besar; 2. Pengolahan harus melalui beberapa

proses yang tidak dapat dibalik (irreversible); 3. Menggunakan bahan baku yang tidak dapat diperbaharui (bahan mentah fosil).

Material bangunan merupakan salah satu sumberdaya proyek yang cukup

(15)

digunakan pada bangunan sama pentingnya dengan rancangan bangunan itu

sendiri. Penggunaan material yang tepat akan meningkatkan aspek estetika pada

bangunan. Sebaliknya, penggunaan material yang kurang atau tidak tepat

kemungkinan besar akan menurunkan rancangan yang dihasilkan secara

keseluruhan (Ervianto, 2012).

Di samping aspek estetika, pemilihan material yang dapat mendorong

penghematan penggunaan energi sebaiknya terus dikembangkan. Menurut

Mediastika (2013) kegiatan konstruksi ternyata berandil besar dalam hal polusi

gas buang yang secara tidak langsung juga menunjukkan besarnya pemanfaatan

energi pada kegiatan ini. Penggunaan energi pada bangunan dapat dihitung sejak

awal penyediaan material bangunan, proses pembangunan, sampai saat bangunan

ditempati. Penghematan energi pada tahap awal pemilihan material dapat

dilakukan dengan penggunaan material yang tersedia secara lokal. Selain dari sisi

konsumen, aspek penghematan juga ditinjau dari sisi penjual dan produsen.

Penghematan dari sisi penjual dan produsen terjadi manakala toko material juga

mendapatkan pasokan material dari daerah sekitarnya.

Mediastika (2013) mengklasifikasikan material bangunan berdasarkan

aspek hemat energi dan ramah lingkungan terdiri atas material alami lokal khas

Indonesia dan material bekas. Penerapan material alami lokal akan mendukung

tumbuhnya ekonomi masyarakat, menghemat biaya dan tenaga angkut.

Penghematan dan pelestarian alam pun semakin meningkat manakala digunakan

(16)

a. Material Alami Lokal Khas Indonesia

Sebagai negara tropis yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia

memiliki beragam material mentah untuk diolah menjadi bahan bangunan yang

berkualitas. Namun, tanpa pertimbangan yang bijaksana, penggunaan material

alami justru dapat menyebabkan kepunahan dan terjadinya bencana alam. Sumber

daya alam lokal yang sering dimanfaatkan sebagai material bangunan adalah

kayu. Permintaan yang tinggi akan kayu-kayu berkualitas telah menyebabkan

penebangan hutan secara serampangan. Beberapa jenis pohon yang menghasilkan

kayu berkualitas kini telah dilindungi dan dilarang ditebang. Begitupun dengan

permintaan yang tinggi akan batu alam yang telah menyebabkan terjadinya

penambangan batu alam ilegal di beberapa tempat (Mediastika, 2013).

Tabel 2.4. Material alami Indonesia

Bahan Mentah / Asal Material Bangunan Daerah Penghasil

Pohon bambu Batang bambu Merata di beberapa daerah di Indonesia

Pohon jati Kayu jati Jepara, Cepu, Bojonegoro

Tanah liat Genteng Kebumen, Karang Pilang

(Surabaya)

Pohon kelapa Kayu kelapa

(gelugu) Pantai Sulawesi dan Kalimantan

Batu, koral, pasir Pasir

Merata di beberapa tepian hulu sungai, hilir/muara, pantai, dan pegunungan, seperti Lumajang, Cilacap, dan Gunung Merapi

Tanah liat Batu bata merah Merata di beberapa daerah di Indonesia

Pasir, semen Batako Merata di beberapa daerah di Indonesia

Batu marmer Lantai/dinding

marmer Tulungagung, Jawa Timur

Berbagai jenis batu

(17)

paras, batu andesit, batu candi, batu kora;/telur

Penutup atap Ijuk, rumbia,

alang-alang Berbagai daerah di Indonesia Sumber: Mediastika (2013)

Secara umum dapat dipaparkan empat kelebihan penggunaan material

alami atau buatan lokal, yaitu:

1. Menghemat biaya angkut;

2. Lebih sesuai dengan iklim/keadaan setempat;

3. Material lokal dapat menambah nilai estetika bangunan melalui ide-ide

kreatif;

4. Memberikan dukungan bagi pertumbuhan industri setempat.

Adapun kelemahan material lokal yakni kualitasnya mungkin kurang

memadai.

b. Material Bekas

Selain penggunaan material lokal yang akan menghemat banyak energi

dan penggunaan material yang menjaga kelestarian alam, penggunaan material

bekas atau material daur ulang akan sekaligus memenuhi aspek hemat dan lestari.

Menurut Ervianto (2012) material bekas merupakan sisa material konstruksi dan

sampah lain yang bersumber dari aktivitas konstruksi, pembongkaran, dan

pembersihan lahan di awal pelaksanaan proyek. Efek jangka pendek dari material

bekas dapat menghemat biaya pembangunan, sementara efek jangka panjang

yakni dapat membantu program pelestarian lingkungan yang hemat energi.

Beberapa pakar Sustainable Construction di Indonesia, seperti Ahmad Tardiyana, Adi Purnomo, dan Eko Prawoto menyatakan bahwa penggunaan material bekas

(18)

merupakan salah satu gerakan sustainable karena memanfaatkan kembali barang bekas merupakan upaya untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan.

Menurut Skoyles (1976) dalam Asnuddin (2012) material bekas

merupakan bagian dari limbah konstruksi. Berdasarkan penyebabnya, limbah

konstruksi dapat digolongkan menjadi dua kategori, yaitu indirect waste dan

direct waste. Indirect waste adalah sisa material yang terjadi dalam bentuk pemborosan (moneter loss) akibat kelebihan pemakaian volume material dari yang direncanakan dan tidak terlihat sebagai limbah di lapangan. Sedangkan

direct waste adalah sisa material yang timbul di proyek konstruksi karena rusak dan tidak dapat diperbaiki dan digunakan kembali selama proses konstruksi.

Menurut Tchobanoglous dkk(1976) dalam Devia dkk (2010), sisa material

konstruksi yang timbul selama pelaksanaan konstruksi dapat dikategorikan

menjadi dua bagian yaitu:

1. Demolition waste adalah sisa material yang timbul dari hasil pembongkaran atau penghancuran bangunan lama.

2. Construction waste adalah sisa material konstruksi yang berasal dari pembangunan atau renovasi bangunan milik pribadi, komersil dan struktur

lainnya. Sisa material tersebut berupa sampah yang terdiri dari beton, batu

bata, plesteran, kayu, sirap, pipa dan komponen listrik.

Sehubungan dengan pembagian kategori sisa material bekas oleh

Tchobanoglous dkk terjadinya sisa material konstruksi dapat disebabkan oleh satu

(19)

dan penyebab terjadinya sisa material konstruksi menurut Gavilan dan Bemold

(1994) dalam Devia dkk (2010):

Tabel 2.5. Sumber dan penyebab terjadinya sisa material konstruksi

Sumber Penyebab

Desain

 Kesalahan dalam dokumen kontrak  Ketidaklengkapan dokumen kontrak  Perubahan desain

 Memilih spesifikasi produk

 Memilih produk yang berkualitas rendah

 Kurang memperhatikan ukuran dari produk yang digunakan

 Desainer tidak mengenal dengan baik jenis-jenis produk yang lain

 Pendetailan gambar yang rumit  Informasi gambar yang kurang

 Kurang berkoordinasi dengan kontraktor & kurang berpengetahuan tentang konstruksi

Pengadaan

 Kesalahan pemesanan, kelebihan, kekurangan, dsb.  Pesanan tidak dapat dilakukan dalam jumlah kecil  Pembelian material yang tidak sesuai dengan spesifikasi  Pemasok mengirim barang tidak sesuai dengan

spesifikasi

 Kemasan kurang baik, menyebabkan terjadi kerusakan dalam perjalanan

Penanganan

 Material yang tidak dikemas dengan baik

 Material yang terkirim dalam keadaan tidak padat/kurang

 Membuang atau melempar material

 Penanganan material yang tidak hati-hati pada saat pembongkaran untuk dimasukkan ke dalam gudang  Penyimpanan material yang tidak benar menyebabkan

kerusakan

 Kerusakan material akibat transportasi ke/di lokasi proyek

Pelaksanaan

 Kesalahan yang diakibatkan oleh tenaga kerja  Peralatan yang tidak berfungsi dengan baik  Cuaca yang buruk

 Kecelakaan pekerja di lapangan

 Penggunaan material yang salah sehingga perlu diganti  Metode untuk menempatkan pondasi

(20)

 Informasi tipe dan ukuran material yang akan digunakan terlambat disampaikan kepada kontraktor

 Kecerobohan dalam mencampur, mengolah, dan kesalahan dalam penggunaan material sehingga perlu diganti

 Pengukuran di lapangan tidak akurat sehingga terjadi kelebihan volume

Residual

 Sisa pemotongan material tidak dapat dipakai lagi  Kesalahan pada saat memotong material

 Kesalahan pesanan barang, karena tidak menguasai spesifikasi

 Kemasan

 Sisa material karena proses pemakaian

Lain-lain

 Kehilangan akibat pencurian

 Buruknya pengontrolan material di proyek dan perencanaan manajemen terhadap sisa material

Sumber: Jurnal Rekayasa Sipil. Vol.4, No.3, ISSN 1978-5658 (2010): 195-203.

Tabel 2.6. Jenis sampah asal kegiatan pembangunan dan cara pengelolaannya

Sampah yang berasal dari

kegiatan pembangunan

Diolah kembali Didaur ulang Digunakan kembali

(21)

±50% energi)

Pasir/kerikil Dicampur semen menjadi beton

Kaca Dilebur menjadi

kaca baru

Cat sintetik Sisa digunakan

pada tempat lain Sumber: Ilmu Bahan Bangunan (Frick, 2010)

Berikut dijelaskan Yoppy (2008) dalam Permana (2008) mengenai

material-material bekas yang umum didapati dari bongkaran bangunan beserta

karakteristiknya:

a. Kayu

Material kayu adalah jenis material yang paling banyak diperoleh dari

bongkaran bangunan terutama rumah tinggal. Diantaranya berupa kusen yang

masih lengkap, rangka atap, parket lantai, maupun elemen lainnya. Kayu

merupakan elemen yang rentan terhadap air. Pada material bekas seringkali kayu

mengalami kondisi yang lapuk sebagian. Penanganannya dapat dilakukan dengan

(22)

Gambar 2.1. Pintu kayu bekas Sumber: www.homeworkshop.com

Material bekas dari kayu yang sering diburu ialah kusen dan rangka

bangunan. Rangka bangunan bisa berupa tiang, kuda-kuda atap, maupun

gabungan keduanya. Tiang dan kuda-kuda bangunan zaman dahulu biasanya

memiliki teknik pengerjaan tradisional dan susunan yang unik. Demikian juga

terdapat ukiran pada batang-batang kayu yang digunakan. Pada bagian kusen yang

cukup sering diburu ialah gebyok, yaitu pintu dengan bingkainya yang bercirikan

etnik tertentu. Selain itu ada pula kusen dengan kaca patri yang kini diburu karena

keindahannya. Kusen jenis ini biasanya diperoleh dari bongkaran bangunan tua

zaman belanda. Dikarenakan makin tingginya kesadaran masyarakat untuk

mempertahankan bangunan-bangunan tua terutama di daerah perkotaan, maka

kusen seperti ini sulit didapat. Kalaupun ada berasal dari pembongkaran

rumah-rumah zaman belanda yang berada di daerah pedesaan dan sangat jarang dijumpai.

Setiap kusen bekas bongkaran sebenarnya dapat dimanfaatkan kembali,

(23)

estetika. Bukan tidak mungkin dengan menggunakan kusen bekas dalam

bangunan baru, kusen yang tadinya biasa-biasa saja bisa tampil lebih indah

bersama elemen lain.

Gambar 2.2. Kaca patri bekas

Sumber: Falk, Bob and Guy, Brad. Unbuilding: Salvaging the Architectural Treasures of Unwanted Houses. (Canada: Taunton, 2007)

b. Metal

Beberapa jenis dari material logam ini dapat dijumpai di bongkaran rumah

tinggal, pabrik atau gudang sebagai perangkat-perangkat yang fungsional mulai

kerangka furnitur, pagar, railing (susuran tangga), teralis jendela, bahkan rangka atap. Baja dan baja ringan bisa diperoleh dalam wujud rangka atap dan genteng.

Besi untuk kerangka pengikat beton, pintu aluminium, bingkai jendela atau atap

seng. Stainless steel bisa diperoleh dalam wujud kitchen sink dan tandon air yang masih bisa dimanfaatkan.

Umumnya logam merupakan material yang rentan terhadap karat dan

korosi. Cara mengatasi masalah karat dan korosi adalah dengan memberi

(24)

biasanya penanganan yang harus dilakukan ialah melapis ulang metal tersebut.

Adapun pengecatan merupakan metode yang paling umum.

Pemanfaatan rangka baja cukup tepat untuk perancangan bangunan yang

berkesan ringan dan modern. Kesan rapi dan bersih mudah diperoleh dari

penggunaan rangka baja. Rangka baja juga memungkinkan bentangan atap yang

lebar jika dibutuhkan ruang yang lega di dalam bangunan. Sementara itu,

pemanfaatan kitchen sink dan tandon air bekas lebih mengejar segi fungsional dan efisiensi biaya. Kitchen sink bekas berbahan stainless steel harganya tidak terpaut jauh dari kitchen sink aluminium baru, akan tetapi kualitas yang didapat lebih tinggi, karena stainless steel jauh lebih tahan karat dan penyok dibanding aluminium.

Gambar 2.3. Kitchen sink bekas dapur hotel Sumber: www.dannyseo.typepad.com

c. Keramik

Dilihat dari segi fungsi, material keramik mencakup semua tegel beton dan

(25)

satu dan lainnya adalah bahan, tampilan, dan kualitas. Ubin keramik dapat dibagi

atas beberapa kategori utama: keramik lantai (dalam ruang dan luar ruang),

biasanya ukuran luasannya per lembar lebih besar, keramik dinding kamar mandi

(KM/WC), keramik lantai KM/WC, keramik dapur dan keramik dinding luar.

Tentu saja setiap kategori keramik memiliki karakter yang berlainan.

Keramik lantai dalam ruang, misalnya, permukaannya bisa licin mengilap ataupun

dof (mat), sedangkan keramik luar ruang (garasi, carport, taman, atau tempat cuci/ jemuran) memiliki permukaan yang kasar. Kualitas keramik (terutama)

untuk pemasangan di area KM/WC mutlak diutamakan karena keramik di area ini

akan sangat sering berkontaminasi dengan zat pembersih kimiawi yang dapat

mengikis lapisan glasur pada permukaan keramik. Untuk material bekas berkesan

antik yang sering diburu ialah tegel PC, karena antik sulit diperoleh dan

produsennya tinggal sedikit serta harga baru yang tentu lebih mahal.

(26)

d. Kaca

Material bekas lainnya yang banyak ditemui pada sebuah rumah tinggal

adalah kaca. Material kaca dengan tampilan berbagai bentuk, memberikan

kreativitas yang tinggi pada desain-desain rumah modern. Seiring berkembangnya

zaman, kini material kaca juga hadir dalam aneka bentuk dan kegunaan, seperti

glassblock, aksesori tata ruang, dan lampu-lampu elegan. Selain itu, kaca dengan berbagai macam teknik penggarapan juga banyak diminati oleh pemburu material

bekas, seperti kaca patri, sandblast, grafir, bevel, atau lukis (painting). Bahkan ada pula kaca berlaminasi (sejenis dengan kaca mobil) yang pecahannya sulit

beterbangan ke mana-mana jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya

gempa bumi. Kaca sangat sulit dimodifikasi saat merancang, kecuali hanya

memotong untuk memperkecil ukuran. Maka dari itu, pemilihan kaca bekas harus

teliti agar sesuai dengan desain yang diinginkan.

(27)

2.1.3. Siklus Material Bangunan

Pada prinsipnya, setiap material bangunan mempunyai siklus hidup,

dimulai dari pengambilan bahan baku di tempat asal dan berakhir di tempat

pembuangan (Ervianto, 2012) Dalam konsep bangunan yang ramah lingkungan,

siklus hidup material tidak boleh berakhir di tempat pembuangan begitu saja,

namun material tersebut sedapat mungkin dimanfaatkan kembali dengan cara

digunakan kembali (reuse), diolah kembali (recycling), dan apabila memang tidak dapat untuk kedua hal tersebut diatas maka harus dibuang dengan cara yang

ramah lingkungan. Adapun siklus hidup material bangunan ialah sebagai berikut:

Gambar 2.6. Siklus hidup material bangunan

(28)

2.2. Daur Ulang

2.2.1. Pengertian Daur Ulang

Daur ulang merupakan tindakan mengembalikan sesuatu yang telah

digunakan kepada suatu siklus atau daurnya sehingga pada akhirnya sesuatu itu

dapat digunakan kembali (David, 1992). Menurut pengertian tersebut, suatu

kegiatan dapat didefinisikan sebagai kegiatan daur ulang jika mencakup tiga jenis

proses, yaitu:

Collection, yakni kegiatan mengumpulkan material-material yang tidak

digunakan lagi.

Manufacturing, yakni kegiatan produksi dengan menggunakan material

bekas sebagai bahan mentah untuk menghasilkan produk baru.

Consumption, yakni kegiatan memakai produk baru yang diolah dari

material bekas.

Menurut Berge (2000) dalam bukunya The Ecology of Building Materials,

ada tiga tingkatan hierarkial daur ulang sesuai dengan manfaat yang diperoleh,

yaitu:

1. Re-use

Re-use atau penggunaan kembali ialah tingkatan tertinggi dalam daur ulang, yaitu menggunakan kembali barang yang sudah dipakai namun

masih memiliki sisa umur. Ia merupakan tingkatan tertinggi karena tidak

memerlukan energi untuk merubah bentuknya atau mengolahnya menjadi

(29)

memindahkan material tersebut. Material yang di re-use adalah material yang siap pakai namun tidak lagi dipakai oleh pengguna sebelumnya.

2. Recycling

Recycling adalah proses daur ulang yang memerlukan energi dan proses untuk menjadikan material bekas pakai menjadi material yang layak pakai.

Energi yang digunakan dalam proses pengubahan ini haruslah sebanding

dengan fungsi yang bisa diembannya kelak. Adakalanya material layak

pakai hasil daur ulang tidak tahan lama saat digunakan dan terkesan

menyia-nyiakan energi yang sudah dikeluarkan saat proses recycling. Pada material tertentu, recycling menghasilkan material dengan mutu lebih rendah, seperti PVC menjadi pot bunga, balok beton menjadi agregat atau

campuran adukan semen untuk lantai, dsb.

3. Energy recovery

Energy recovery merupakan jenjang terendah dalam daur ulang. Semua material yang sudah tidak mungkin dipakai dibakar untuk memperoleh

energi potensial yang masih terdapat dalam material melalui proses

pembakarannya. Contoh yang paling umum yaitu membakar kayu bekas

untuk penghangat pada perapian atau memasak. Dalam hal ini, material

bekas tidak lagi dapat dipertahankan fungsinya ataupun sudah habis masa

pakainya.

Inti dari tujuan daur ulang ialah untuk memperpanjang usia guna suatu

benda atau material. Pada saat produksi bahan bangunan dan pada saat dilakukan

(30)

masa penggunaan bahan dan bagian bangunan atau kemungkinan untuk

digunakan kembali, semakin kecil pula kemungkinan bahan bangunan tersebut

menimbulkan sampah dan puing yang mencemari lingkungan.

Proses daur ulang dengan metode reuse (penggunaan kembali) memiliki karakteristik sebagai berikut:

 Tidak mengalami perubahan bentuk produk

 Proses tidak membutuhkan teknologi

 Relatif tidak membutuhkan energi

 Dapat dilakukan dalam skala kecil ataupun besar, namun tidak

membutuhkan pabrikasi

 Membutuhkan modal yang sangat kecil

 Proses tidak melibatkan proses fisika maupun kimia

Proses ini dapat dianggap sebagai proses yang paling baik secara ekologis

(Smith, 2007). Proses relatif tidak membutuhkan energi, dapat dengan mudah

dilakukan. Produk dari proses ini langsung dapat digunakan. Proses ini hanya

dapat dilakukan pada material yang masih memiliki kualitas yang layak pakai

baik secara fisik maupun materi. Selain itu proses ini tidak memberikan

fleksibilitas dalam desain karena keterbatasan bentuk yang diberikan oleh material

lama.

Re-use dapat dibedakan menjadi tiga: (a) building reuse, (b) component reuse, (c) material reuse (Saleh T.M., 2009). Reuse sebuah bangunan dapat terjadi

manakala seluruh bangunan dapat diselamatkan tanpa proses penghancuran

(31)

berurusan dengan perencanaan dan desain yang kompleks untuk mendapatkan

manfaat maksimal dari aspek lingkungan dan ekonomi. Hal ini dapat menghemat

pemakaian sumberdaya alam termasuk didalamnya bahan baku, energi, dan air.

Selain itu, reuse bangunan mampu mencegah tirnbulnya polusi yang disebabkan

oleh pengambilan material, produksi, transportasi dan mencegah timbulnya

limbah padat yang berakhir di tempat pembuangan (Saleh T.M., 2009).

Re-use komponen bangunan diutamakan untuk bagian interior non struktur, seperti dinding interior, pintu, lantai, plafon yang akan digunakan untuk

hal yang sama atau untuk hal lain sampai habis umur pakai komponen tersebut.

Agar komponen dapat digunakan kernbali perencana dan arsitek ikut berperan

untuk menciptakan desain inovatif yang memungkinkan untuk dipasang dan

dibongkar tmpa mengalami kerusakan agar dapat dipasang pada bangunan lain

(McGraw-Hill Construction dalam Wulfram, I.E., Biemo, W.S., Muhamad, A.,

dan Surjamanto, 2012). Reuse material hasil dekonstruksi struktur bangunan

dalam bangunan baru sangat dianjurkan guna mempertahankan nilai ekonomis,

mengurangi energi yang dibutuhkan dalam proses daur ulang, dan rneminimalkan

kebutuhan cetakan dan sumberdarya alam terutama pengurangan terjadinya CO2.

Menggunakan material sampai habis umur pakainya menjadi prioritas utama bagi

arsitek dan perencana dalam memillih jenis material yang akan digunakan. (Chini,

A. R., dalam Wulfram, I.E., Biemo, W.S., Muhamad, A., dan Surjamanto, 2012).

Re-use adalah menggunakan kembali berbagai material dengan cara:  Dekonstruksi, material digunakan kembali dalam bentuk yang sama

(32)

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk menggunakan kembali

berbagai material konstruksi adalah: (a) identifikasi material yang masih baru,

material yang dapat dipindahkan/dipisahkan tanpa terjadi kerusakan untuk

digunakan kembali; (b) rencanakan untuk berbagai material yang masih dapat

digunakan dalam hal: perlindungan material, penanganan material, penyimpanan

material, dan pemindahan material; (c) diskusikan ide-ide untuk menggunakan

kembali berbagai jenis material kepada pemilik proyek dan kontraktor; (d)

komunikasikan kepada subkontraktor untuk menggunakan kembali sisa material.

Sementara proses daur ulang dengan metode recycle memiiki karakteristik sebagai berikut:

 Dalam proses daur ulang bahan mengalami perubahan wujud fisik

 Proses daur ulang membutuhkan teknologi yang relatif tinggi

 Membutuhkan energi yang relatif besar

 Biasanya dilakukan secara massal / bersifat pabrikasi

 Membutuhkan modal yang besar

 Proses melibatkan proses fisika dan / atau kimia

Salah satu kekurangan dari proses ini adalah besarnya jumlah energi yang

dibutuhkan dalam proses daur ulang. Selain energi yang dipakai dalam proses

daur ulang energi kandungan bahan (embodied energy) juga relatif tinggi. Hal ini disebabkan proses recycle ini memiliki output berupa bahan yang belum siap pakai, masih harus melalui beberapa proses lagi di dalam daur bahannya sebelum

benar-benar bisa diaplikasikan pada bangunan. Proses ini paling tidak efisien

(33)

Oleh karena itu, proses ini dapat dikatakan baik secara ekologis apabila

total energi yang digunakan dalam proses daur ulang tidak lebih besar apabila

dibandingkan dengan total energi yang digunakan dalam ekstraksi sumber daya

alam mentah menjadi material bangunan tersebut. Namun proses ini tetap akan

lebih baik secara ekologis apabila dilihat dari sudut pandang konservasi sumber

daya alam terutama sumber daya alam yang tak terbarukan. Hal ini disebabkan

bahan mentah dalam proses daur ulang tidak lagi diambil dari alam melainkan

dengan memanfaatkan sampah.

Proses ini biasanya diterapkan pada material-material bekas yang secara

fisik tidak memadai lagi, namun secara materi material-material ini masih

memiliki nilai. Misalnya baja yang sudah berkarat, kayu yang sudah lapuk, kaca

yang telah pecah, dll. Dalam daur bahan proses ini dapat mengembalikan material

(dalam bentuk produk) kepada bentuk dasarnya.

Salah satu contoh penerapan recycle adalah pada proses daur ulang bahan kaca jendela. Dalam proses pengolahan kembali kaca mengalami perubahan

wujud dari padat menjadi cair dalam proses peleburan. Peleburan ini akan

dilakukan dengan melakukan pemanasan pada kaca dengan suhu yang sangat

tinggi. Energi yang besar dibutuhkan dalam proses peleburan ini. Proses daur

ulang dengan recycle ini membutuhkan teknik-teknik tertentu yang menyebabkan proses ini tidak dapat dilakukan secara mudah.

Dalam melakukan proses daur ulang pada bangunan dibutuhkan ketelitian

dalam melihat potensi yang terdapat pada material-material bekas / sisa dan juga

(34)

material. Begitu banyak material bekas yang dapat di daur ulang sehingga dapat

diaplikasikan kembali pada bangunan. Berbagai karakteristik yang ada pada

cakupan daur ulang perlu dipahami untuk menghindari kegiatan daur ulang yang

tidak tepat guna pada material. Tindakan daur ulang yang tidak tepat dapat

mengakibatkan pemanfaatan materi yang tidak optimal dan efisien. Akibatnya

dapat memberi dampak buruk bagi lingkungan.

2.2.2. Pengolahan Material Daur Ulang

Bahan baku berupa barang bekas merupakan suatu komponen penting

dalam industri daur ulang. Apabila bahan baku tidak tersedia maka aktivitas

produksi akan terhenti. Bahan baku dapat diperoleh melalui mekanisme yang

terbentuk secara alamiah di masyarakat mana pemulung merupakan ujung

tombaknya. Adapun mekanisme untuk mendapatkan bahan baku berupa barang

bekas sampai pada level industri adalah sebagai berikut:

(35)

Pengolahan bentuk material habis pakai dapat dibagi menjadi dua

kemungkinan. Yang pertama, material akan diolah di tempat pengepul untuk

tahap penyeleksian dan perbaikan material (sesuai kriteria), sedangkan untuk

pengolahan cara kedua dilakukan di lapangan dimana pengolahan material seperti

yang dilakukan pada material-material baru untuk diterapkan pada bangunan.

Pengepul dapat dibedakan menjadi pengepul lokal, pengepul wilayah dan

pengepul yang mempunyai akses ke industri. Pengepul adalah pengumpul

material bekas yang dihasilkan oleh pemulung. Tingkatan tertinggi dari pengepul

ini apabila pengepul tersebut mempunyai akses untuk memasok material bekasnya

ke industri yang membutuhkan. Pengepul pada tingkatan ini mempunyai

pendapatan yang lebih besar bila dibandingkan dengan pengepul-pengepul yang

memasoknya. Pengepul material bekas bangunan banyak dijumpai di beberapa

kota besar diantaranya adalah Surabaya di daerah Dupak, Semarang di Jalan

Kokrosono dan Barito, beberapa lokasi di Surakarta, di Yogyakarta dapat

dijumpai di jalan lingkar utara dan selatan.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan Wulfram (2012) terhadap

beberapa pengepul material bekas, untuk membuka usaha ini syarat utamanya

adalah tersedianya lahan yang cukup luas agar dapat menampung bongkaran

bangunan sebanyak mungkin. Pertimbangan utamanya adalah agar dapat melayani

pembeli secara maksimal sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Hal ini penting

karena semakin luas lahan maka semakin mudah untuk memasang semua material

(36)

Terkadang karena sempitnya lahan material yang dibutuhkan oleh pembeli

tidak ditemukan padahal tersedia dan tertumpuk oleh material bekas lainnya dan

hal ini mengakibatkan kerugian bagi pemilik material bekas. Untuk memperoleh

pasokan material bekas, pengepul dapat memperoleh melalui beberapa cara

sebagai berikut: (a) mendapatkan pasokan dari pemulung, (b) lelang

pembongkaran bangunan, (c) membeli bongkaran bangunan. Dari ketiga cara

tersebut mempunyai aspek positif dan negatif masing-masing.

a. Pemulung

Orang yang memungut material bekas untuk dijual kembali guna

memperoleh penghasilan, meskipun sebagian besar orang beranggapan bahwa

profesi ini merupakan ancaman terhadap keamanan di kampung dimana penduduk

tinggal. Oleh karena itu profesi ini sering dikonotasikan negatif. Pemulung dapat

dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: (a)kelompok pertama adalah pemulung

lepas yaitu pemulung yang bekerja secara mandiri, (b)kelompok kedua adalah

pemulung yang bekerja untuk seseorang.

Pemulung diberikan pinjaman modal untuk digunakan sebagai biaya

dalam menjalankan aktivitasnya.Setelah terkumpul material bekas sebagai hasil

kerjanya maka pemulung ini diwajibkan menjual hasilnya kepada orang yang

telah meminjamkan modal tersebut yang dibayar dengan cara memotong uang

pinjamannya. Biasanya pemberi pinjarnan tersebut juga memberikan fasilitas

tempat pemondokan di lokasi penampungan material bekas bagi segenap

pemulung yang bekerja kepadanya. Disadari atau tidak profesi pemulung ini

(37)

Pada industri daur ulang, komponen penting yang harus ada adalah bahan

baku, apabila bahan baku ini tidak tersedia maka aktivitas produksinya secara

otomatis akan terhenti. Bahan baku ini dapat diperoleh melalui mekanisme yang

terbentuk secara alamiah di masyarakat dimana pemulung merupakan ujungnya.

b. Lelang pembongkaran bangunan.

Aspek penting dalam proses lelang adalah adanya kompetisi antar peserta

lelang, oleh sebab itu peserta lelang harus mempunyai batas atas nilai kontrak

pembongkaran bangunan. Agar dapat mengikuti lelang diperlukan persyaratan

tertentu sesuai dengan keinginan pemilik bangunan. Beberapa persyaratan lelang

antara lain adalah: (a) ditetapkan waktu untuk melihat material; (b) peserta

mengajukan penawaran lelang sesuai dengan blangko yang ditetapkan; (c) peserta

wajib mengajukan penawaran secara tertulis dalam amplop tertutup minimal

sesuai harga limit, jika tidak maka peserta akan dinyatakan gugur; (d) surat

penawaran dilampiri foto kopi identitas dikirimkan kepada panitia lelang; (e)

peserta lelang atau kuasanya wajib hadir saat pelaksanaan lelang; (f) pemenang

lelang dikenakan bea lelang sebesar I% sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (g)

pemenang lelang tidak diperkenankan mengalihkan hak, kewajiban dan tanggung

jawab ke pihak lain tanpa persetujuan panitia lelang.

Selain persyaratan lelang seperti tersebut diatas, juga diatur beberapa hal

sebagai berikut: (a) jangka waktu pembongkaran bangunan, (b) adanya ketetapan

untuk membuang seluruh bongkaran dari lokasi maksimal dalam jangka waktu

tertentu, (c) ketentuan tidak menggunakan cara tertentu yang dapat

(38)

lokalitas setempat. Untuk menghitung nilai bongkaran bangunan yang dilelangkan

peserta lelang harus telah menghitung secara rinci nilai komponen material bekas

yang dapat manfaatkan dengan cara melakukan kuantifikasi terhadap semua

komponen bangunan, antara lain volume material kayu, perkiraan berat besi,

jumlah kloset, jurnlah washtafel, jumlah urinal, jumlah kran air, volume kaca,

jumlah lampu, panjang kabel, dan material lain yang dapat dimanfaatkan. Pada

saat lelang bongkaran bangunan, peserta lelang harus telah mengetahui dengan

pasti material bekas bangunan tersebut akan digunakan dan apabila akan dijual

maka harus diketahui dengan pasti harga satuan setiap material bekas bongkaran

tersebut. Hal ini untuk menghindari terjadinya kerugian akibat tidak

terdistribusinya seluruh material bekas tersebut.

c. Membeli bongkaran bangunan.

Berbeda dengan lelang, dalam membeli bongkaran bangunan tidak terjadi

kompetisi. Pengepul biasanya mendapatkan tawaran secara personal dari pemilik

bangunan yang akan dibongkar. Jika pengepul berminat dengan bongkaran

bangunan tersebut akan dilanjutkan dengan melihat secara detil dan melakukan

kuantifikasi terhadap berbagai jenis komponen bangunan yang masih dapat

digunakan. Selanjutnya adalah melakukan tawar menawar harga bongkaran

bangunan tersebut dan jika terjadi kesepakatan maka proses pembongkaran dapat

dilanjutkan.

Komparasi dalam mendapatkan pasokan barang bekas berdasarkan tiga

(39)

Tabel 2.7. Komparasi sistem pasokan barang bekas

murah Tidak tentu Tidak tentu

Kualitas material

Relatif lebih baik Relatif lebih baik

Kemudahan mendapatkan material bekas

Lebih mudah Relatif Relatif

Kontinuitas

Relatif konstan untuk material

tertentu

Tidak tentu Tidak tentu

Sumber: Ervianto dkk dalam Jurnal Teknik Sipil. Vol. 12, No.1 (2012): 18-27.

Tabel 2.8. Komparasi pembelian di kios barang bekas dengan toko bangunan

Aspek Dipertimbangkan Toko Material Bekas Toko Bangunan Konservasi sumberdaya

Harga material Relatif lebih murah

karena material bekas Relatif lebih mahal

(40)

dibutuhkan (misalnya pipa besi 1m panjang)

membeli 1 batang)

Keberlanjutan Tergantung ada tidaknya bongkaran bangunan

Tergantung proses produksi oleh pabrikan Sumber: Ervianto dkk dalam Jurnal Teknik Sipil. Vol. 12, No.1 (2012): 18-27.

2.2.3. Penerapan Material Bekas pada Bangunan

Pada pembongkaran bangunan dan renovasi bangunan, komponen

bangunan yang masih mempunyai nilai dapat digunakan kembali pada proyek

tersebut, atau disimpan dan digunakan kembali pada proyek lain, atau dijual untuk

tetap digunakan sesuai fungsinya maupun beralih fungsi lain. Menurut Mediastika

(2013) dalam bukunya yang berjudul Hemat Energi & Lestari Lingkungan

Melalui Bangunan, penggunaan material bekas untuk konstruksi bangunan dan

pengolahan lahan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Material bekas bangunan atau sisa-sisa material bangunan untuk

material bangunan.

2. Material bekas selain dari bangunan untuk material bangunan.

Mediastika (2013) menjelaskan bahwa pada jenis yang pertama dapat

diambil contoh pemakaian kayu bekas, besi bekas, genteng bekas, atau

sisa/pecahan lantai keramik dari renovasi rumah yang tidak terpakai, kemudian

digunakan oleh para pekerja konstruksi untuk membangun atau memperbaiki

rumahnya sendiri. Contoh pemanfaatan material bekas lainnya adalah sebuah

bengkel kerja karya dan milik Paulus Mintarga di Colomadu, Karanganyar, Solo,

Jawa Tengah. Bengkel atau studio ini dinamai “Rempah” kependekan dari

remukan sampah karena memang didirikan dengan 90% material bekas, baik itu

(41)

Gambar 2.8. Bengkel kerja “Rempah” Sumber:http//unik.kompasiana.com

Sementara pada jenis yang kedua adalah pemanfaatan material

non-bangunan untuk konstruksi non-bangunan, seperti botol, kaleng, dan sebagainya. Botol

dan kaleng bekas dapat digunakan pada tata lanskap, misalnya sebagai pembatas

antara area tanaman (taman) dengan area perkerasan. Botol dan tutupnya (baik

tutup aluminium, plastik, maupun gabus) juga dapat digunakan untuk memberikan

keunikan pada perkerasan ruang luar.

(42)

Salah satu contoh penerapan material bekas sebagai elemen interior

bangunan terdapat pada Rumah Heinz Frick yang akan dijelaskan sebagai berikut:

- Rumah „Tropis‟ Heinz Frick

Rumah ini terletak di atas bukit Simongan dekat sebuah kawasan industri

di sisi selatan Semarang. Bukit ini memiliki jenis tanah yang kurang subur

sehingga ideal menjadi tempat tinggal bagi Dr.Heinz Frick, karena tidak

mengurangi lahan produktif pertanian. Bukit ini telah terpapras sebagian untuk

reklamasi pantai Semarang dan kondisi ini mengancam kelangsungan komunitas

yang tinggal di bukit tersebut. Maka dari itu, rumah ini dibangun untuk

melakukan advokasi untuk komunitas tersebut dalam mempertahankan

lingkungan.

Rumah karya Dr. Heinz Frick yang terletak di Jalan Srinindito, Simongan,

Semarang menerapkan prinsip desain ramah lingkungan sekaligus tetap

terjangkau. Rumah yang memiliki luas 140 meter persegi (luas bangunan 88 m2

dan luas teras 43.6 m2) yang terletak di atas lahan seluas 350 meter persegi ini

telah menjadi perhatian publik karena desainnya yang ramah lingkungan dan unik

serta menerapkan material bekas yang dimanfaatkan kembali sebagai bahan

material pada bangunannya.

Bangunan ini berdiri sejak tahun 1999, biaya pembangunan rumah

mencapai Rp. 150 juta. Hal ini menunjukkan bahwa desain rumah yang ramah

lingkungan dan terjangkau menjadi jawaban bagi masyarakat Indonesia yang

(43)

Gambar 2.10. Rumah Heinz Frick

Sumber: Jurnal Tesa Arsitektur, 11 (1). pp. 44-63. ISSN 1410-6094

Desain rumah menggunakan tenaga lokal dan material lokal sesuai dengan

sub-aspek material bangunan yang berkelanjutan seperti material batako, batu

alam, kayu daur ulang, atap genteng serta baja. Selain itu, limbah daur ulang

berupa ubin bekas, limbah kertas, limbah kayu, dan besi beton juga digunakan.

Gambar 2.11. Pagar teras dari kayu bekas dan dinding pecahan keramik bekas Sumber: Jurnal Tesa Arsitektur, 11 (1). pp. 44-63. ISSN 1410-6094

(44)

Kayu bekisting yang digunakan dalam pengecoran rumah ini berasal dari

Kalimantan. Sementara, kayu usuk Bangkirai (5x7cm) dari sumber yang sama

dimanfaatkan untuk konstruksi rangka langit-langit dan pagar teras. Pecahan

keramik dari UNIKA digunakan ulang secara kreatif untuk finishing dinding dan lantai kamar mandi tamu.

Plafon pada rumah ini didesain dengan banyak material bekas. (1)

Papan-papan akustik dari vermikulit yang dibongkar oleh Pelatihan Industri Kayu Atas

(PIKA) dari tempat lain, dimanfaatkan sebagai langit-langit di dapur, teras, ruang

makan, dan ruang keluarga. (2) Papan bekas peti kemas uang digunakan untuk

langit-langit selasar. (3) Kayu-kayu bekas PIKA yang juga digunakan untuk

membuat lubang penghawaan pada langit-langit dapur.

Gambar 2.12. Plafon dari papan akustik bekas

(45)

Gambar 2.13. Plafon dari kayu peti kemas bekas

Sumber: Jurnal Tesa Arsitektur, 11 (1). pp. 44-63. ISSN 1410-6094

Tangga pada teras barat rumah ini, yang menuju ke tangki air atas,

dibangun meggunakan tiang lstrik bekas sebagai balok tangga, lempengan besi

sebagai anak tangganya, dicor dengan beton dan difinishing dengan batu alam.

Gambar 2.14. Tangga dari bahan tiang listrik bekas

Sumber: Jurnal Tesa Arsitektur, 11 (1). pp. 44-63. ISSN 1410-6094

Desain rumah karya Dr.Heinz Frick, Semarang merupakan rumah tropis

yang ideal dan memiliki fitur-fitur desain yang ramah lingkungan sekaligus tetap

terjangkau karena memanfaatkan kembali material bekas maupun lokal sebagai

(46)

2.3. Terminologi Kafe

2.3.1. Definisi Kafe

Kafe adalah suatu usaha di bidang makanan yang dikelola secara

komersial yang menawarkan pada para tamu makanan atau makanan kecil dengan

pelayanan dalam suasana tidak formal tanpa diikuti suatu aturan atau pelayanan

yang baku (sebagaimana sebuah exlusive dinning room), jenis-jenis makanan atau harganya lebih murah karena biasanya beroperasi selama 24 jam, dengan

demikian dapat dipastikan sebuah kafe akan tetap buka ketika restoran-restoran

lainnya sudah tutup. (Sugiarto, 1996). Menurut Marsum (2005) kafe adalah

tempat untuk makan dan minum sajian cepat saji dan menyuguhkan suasanan

santai atau tidak resmi, selain itu juga merupakan suatu tipe dari restoran yang

biasanya menyediakan tempat duduk di dalam dan di luar restoran. Kebanyakan

kafe tidak menyajikan makanan berat namun lebih berfokus pada menu makanan

ringan seperti kue, roti, sup, dan minuman.

Menurut Agvirafani (2014) kafe adalah suatu bentuk restoran informal

yang mengutamakan pada penyajian tempat yang nyaman untuk bersantai,

beristirahat, dan berbincang-bincang sambil menikmati kopi atau teh serta

hidangan-hidangan ringan lainnya. Pemilihan tema dan gaya sangat berpengaruh

pada suasana interior dalam kafe yang berdampak pada psikologis pengunjung

yang datang. Istilah kafe paling umum dijumpai di Negara Perancis yang

kemudian diadopsi oleh kota-kota di Inggris pada akhir abad ke-19. Istilah kafe

(47)

2015). Pada awalnya kafe hanya berfungsi sebagai kedai kopi, tetapi sesuai

dengan perkembangan jaman, kafe telah memilih banyak konsep, diantaranya

sebagai tempat menikmati hidangan/dinner (Kompas Media Cyber, 2005).

2.3.2. Perkembangan Kafe di Kota Medan

Berdasarkan pernyataan M.Ishak, pengamat ekonomi dari Universitas

Negeri Medan, dikatakan bahwa perkembangan bisnis kafe yang marak di Medan

saat ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi di kota ini semakin baik

dan maju (Harian Medan Bisnis Online, 2013). Menurutnya, kafe yang mulai

marak saat ini dapat dijadikan tempat pertukaran bisnis antar pengusaha, juga

dapat dijadikan tempat interaksi sosial antar masyarakat dengan tujuan

membicarakan bisnis maupun sekedar tempat untuk menikmati kuliner. Adapun

investasi kuliner seperti ini diprediksi naik 25% dari tahun sebelumnya.

Saat ini, nyaris tidak bisa ditemui cafe yang biasa saja tanpa mengusung

tema tertentu. Demi kenyamanan dan pengalaman eksklusif para pengunjung,

para pemilik cafe berlomba menentukan tema yang unik, cantik, dan memakai

jasa para interior designer. Saat ini, tema vintage, retro, dan kampung adalah yang

paling banyak digemari. Semua konsep itu dikemas secara apik dan modern,

sehingga setiap pengunjung memperoleh suasana berbeda yang tidak akan didapat

di tempat lain. Hal ini berpengaruh terhadap meningkatnya daya saing bisnis kafe.

(Majalah Peluang, 2014)

Selain menu dan konsep tata ruang, kafe juga harus didukung dengan

strategi marketing yang maksimal. Terlebih di kota-kota besar, tempat bisnis

(48)

promo di momen-momen special, kafe juga kerap menghadirkan entertainment

tambahan melalui serangkaian event dan paket-paket khusus. Tidak jarang,

pengelola bersedia memberikan space secara gratis, bahkan sengaja menyewa Event Organizer untuk menyiapkan event sebagai daya tarik pengunjung.

(Majalah Peluang, 2014). Berdasarkan Asosiasi Pengusaha Kafe Restoran

Indonesia (Apkrindo), jumlah kafe dan restoran tumbuh sebesar 15-20% pada

tahun 2014 di kota-kota besar yang ada di Indonesia. Hal ini menandakan bahwa

bisnis kafe cukup diandalkan dan menjanjikan.

2.3.3. Prosedur dalam Membuka Usaha Kafe

Berikut adalah prosedur dalam membuka usaha kafe dikutip dari Harian

Online Satu Harapan (2015):

1. Prosedur Pengurusan Ijin Usaha

Langkah awal untuk mengurus ijin usaha kafe adalah datang ke kantor

walikota/bupati. Di sana akan diinformasikan mengenai syarat-syarat dan

dokumen apa saja yang dibutuhkan untuk mengurus ijin kafe. Setelah

berkas selesai dan memenuhi segala persyaratannya, kembalikan berkas

tersebut ke kantor walikota/bupati. Selanjutnya setelah berkas diterima,

akan ada pemeriksaan lapangan untuk memeriksa kecocokan data antara

dokumen-dokumen yang diberikan dengan data di lapangan. Jika proses

pemeriksaan di lapangan sudah selesai, diharuskan membayar retribusi

untuk usaha kafe ke rekening pemda setempat yang sudah diinformasikan.

Setelah semuanya selesai, dibutuhkan waktu sekitar 14 hari kerja hingga

(49)

2. Persyaratan Administrasi

- Mengisi formulir permohonan dengan materai Rp 6.000,-

- Fotokopi KTP dengan menunjukkan KTP Asli

- Fotokopi sertifikat tanah atau jika bukan milik sendiri ada pernyataan

dari pemilik tanah/bangunan bahwa tidak keberatan dibuat usaha

tentunya dengan materai

- Gambar denah lokasi

- Salinan IMB

- Salinan perijinan gangguan (HO)

- Salinan NPWP

- Salinan Ijin Peruntukkan Penggunaan Tanah

- Dokumen-dokemen lainnya berhubungan dengan lingkungan hidup

- Salinan akte pendirian perusahaan (jika memang berbadan hukum)

3. Persyaratan Non-Formal

- Informasikan usaha kepada Kelurahan dan RT/RW setempat untuk

menghindari pungutan liar berbagai oknum pada saat pembangunan

- Informasikan kepada ormas-ormas setempat agar tidak ada oknum yang

berani mengganggu

- Jika jenis makanan bersifat tidak halal bagi kalangan muslim berikan

informasi tersebut pada menu

Terkait dengan Izin Mendirikan Bangunan, secara umum syarat-syarat dan

(50)

- Mengisi formulir Permohonan Izin

- Foto Copy surat tanah

- Gambar konstruksi bangunan (denah, tampak muka, samping, belakang,

rencana utilitas)

- Fotocopy KTP

- Persetujuan tetangga (khusus bangunan bertingkat)

- Bukti pelunasan PBB

Namun, tidak semua renovasi rumah atau bangunan rumah harus disertai

IMB. Menurut Perda No. 7/1991, pasal 17 ayat 2 menyatakan bahwa

pembangunan atau renovasi rumah yang kurang dari 12 m2 tidak perlu

menggunakan IMB. Berikut ini ada beberapa kegiatan yang tidak memerlukan

izin:

- Pekerjaan yang termasuk dalam pemeliharaan dan perawatan bangunan

yang bersifat biasa

- Mendirikan kandang pemeliharaan binatang atau bangun-bangunan di

halaman belakang dan isinya tidak lebih dari 12 m2.

- Bangun-bangunan di bawah tanah.

- Perbaikan-perbaikan yang ditentukan oleh Gubernur Kepala Daerah.

- Jika renovasi rumah yang dilakukan tergolong kecil dan bangunan

tersebut telah memiliki IMB, maka tidak perlu mengurus IMB baru.

Cukup dengan surat keterangan membangun. Misalnya, renovasi rumah

berupa penambahan ruang yang luasnya tidak lebih dari 30% luas

(51)

renovasi rumah berupa penambahan lantai, luas lantai atas tidak lebih

dari dari 50% luas lantai bawah. Ukurannya juga tidak lebih dari 250

m2. Lain halnya jika renovasi rumah yang dilakukan berupa perubahan

fasad, tata letak ruangan atau struktur bangunan keseluruhan. Renovasi

rumah seperti ini butuh IMB baru. Hal ini juga berlaku pada renovasi

rumah dengan penambahan ruang lebih dari 30% luas bangunan lama.

2.3.4. Tinjauan Arsitektur pada Kafe

2.3.4.1 Elemen Pembentuk Ruang

Secara harfiah “ruang” dapat diartikan sebagai alam semesta yang dibatasi

oleh atmosfir dan tanah dimana kita berpijak, sedang secara sempit “ruang”

berarti suatu kondisi yang dibatasi oleh 4 lembar dinding . yang bisa diraba dan

dirasakan keberadaannya. (Suptandar, 1999).

Elemen pembentuk ruang terdiri dari:

a. Elemen horizontal bawah (bidang alas) yaitu lantai,

b. Elemen horizontal atas, yaitu bidang langit-langit (plafon) dan atap,

c. Elemen vertikal, yaitu bidang dinding atau pembatas dan kolom,

d. Elemen pelengkap pembentuk ruang, yaitu pintu, jendela, dan furnitur.

- Lantai

Dalam buku (The Encyclopedia Americana, 1990) fungsi lantai tidak saja

sebagai tempat untuk kaki berpijak, tetapi juga sebagai unsur dekorasi,

sebagai pendukung beban untuk penempatan furniture, fasilitas dan lain

sebagainya, dan sebagai penyerap / peredam suara. Bahan lantai ada 2

Gambar

Tabel 2.4. Material alami Indonesia
Tabel 2.6. Jenis sampah asal kegiatan pembangunan dan cara pengelolaannya
Tabel 2.6, sambungan
Gambar 2.1. Pintu kayu bekas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia

Saat ini telah banyak lembaga baik pemerintah maupun swasta yang berusaha menanggulangi kemiskinan melalui pemberian pelayanan bantuan kredit kepada masyarakat kecil

Pada nilai signifikan sebesar 0.001 (p < 0,05) pada metode praktik saat sebelum diberikan penyuluhan tingkat pengetahuan nelayan dalam kategori kurang dengan

Sebenarnya kalau menurut saya ini langkah pemerintah untuk menjangkau dokter dari Sabang sampai Merauke.Tapi, dengan gaji yang minimal kalau memang mereka nggak

Penerimaan yang diperoleh petani dan total biaya produksi yang dikeluarkan petani dalam melakukan usahatani kemudian dilakukan analisis ekonomi penerimaan

untuk data angket motivasi belajar yaitu 0,0005 (Sig. < 0,05) yang berarti

Alasan melakukan internalisasi pendidikan karakter yang dilakukan oleh pengasuh di Pondok Asih Sesami adalah pendidikan dirasakan sebagai modal utama dalam

Peraturan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Penyandang