BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu asas pembangunan daerah adalah desentralisasi. Menurut
ketentuan umum UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan dari asas desentralisasi
adalah berlakunya otonomi daerah. Otonomi daerah menggunakan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam artian daerah diberi kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah
pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat (Maryati dan Endrawati, 2010).
Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang dikukuhkan dengan undang-undang telah membawa konsekuensi
tersendiri bagi daerah untuk bisa melaksanakan pembangunan disegala bidang,
dengan harapan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah. Kebijakan
tersebut dicanangkan oleh Pemerintah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Kebijakan tersebut
bisa dilihat dari dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama adalah
tantangan, yang kedua adalah peluang bagi Pemerintah Daerah. Hal tersebut
agar daerah melaksanakan pembangunan disegala bidang, terutama untuk
pembangunan sarana dan prasarana publik (Sumarmi, 2010).
Manfaat yang diharapkan dari penerapan otonomi daerah adalah dapat
menjadi katalis peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat
dalam pembangunan serta mendukung pemerataan hasil pembangunan di seluruh
daerah. Pengalokasian sumber daya produktif diharapkan menjadi lebih tepat dan
optimal karena pengambilan keputusan pengalokasian tersebut telah diserahkan ke
tingkat pemerintahan yang paling rendah. Penetapan alokasi sumber daya yang
dimiliki oleh daerah dilakukan dengan menganut asas kepatuhan, kebutuhan, dan
kemampuan daerah yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah atau APBD (Yasser, 2015).
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), anggaran sektor
publik pemerintah daerah sebenarnya merupakan output pengalokasian
sumberdaya yang mendasar dalam penganggaran sektor publik. Keterbatasan
sumberdaya sebagai akar masalah utama dalam pengalokasian anggaran sektor
publik dapat diatasi dengan pendekatan ilmu ekonomi melalui berbagai teori.
Tuntutan untuk mengubah struktur belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada
daerah-daerah yang mengalami kapasitas fiskal rendah (Halim,2001).
Perubahan alokasi belanja ditujukan untuk pembangunan berbagai fasilitas
modal. Pemerintah perlu memfasilitasi berbagai aktivitas peningkatan
perekonomian, salah satunya dengan membuka kesempatan berinvestasi. Daerah
harus mampu mengalokasikan anggaran belanja modal dengan baik karena
menyatakan bahwa pemanfaatan anggaran belanja seharusnya dialokasikan untuk
hal-hal produktif, misalnya untuk pembangunan. Penerimaan pemerintah daerah
seharusnya dialokasikan untuk program-program layanan publik. Kedua pendapat
tersebut menyatakan bahwa pengalokasian anggaran belanja modal untuk
kepentingan publik sangatlah penting. Untuk dapat meningkatkan pengalokasian
belanja modal, maka perlu diketahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap
pangalokasian belanja modal, seperti Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum,
Pendapatan Asli Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi.
Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan penting
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Pertumbuhan ekonomi mendorong
Pemerintah Daerah untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan mengelola
sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan dengan masyarakat
untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan mempengaruhi
perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Kuncoro, 2004).
Pembangunan ekonomi ditandai dengan meningkatnya produktivitas dan
pendapatan perkapita penduduk sehingga terjadi perbaikan kesejahteraan.
Kenyataan yang terjadi dalam Pemerintah Daerah saat ini adalah peningkatan
pertumbuhan ekonomi tidak selalu diikuti dengan peningkatan belanja modal, hal
tersebut dapat dilihat dari kecilnya jumlah belanja modal yang dianggarkan
dengan total anggaran belanja daerah.
Penelitian dengan memposisikan belanja modal sebagai variabel mediasi
antara lain penelitian yang dilakukan oleh Muis (2012). Penelitiannya yang
berjudul “Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus Terhadap
Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara” menemukan bahwa belanja modal
dapat secara positif memediasi hubungan antara DAU dan DAK dengan
pertumbuhan ekonomi.
Dalam pengelolaan anggaran, asas kemandirian dijadikan dasar Pemerintah
Daerah untuk mengoptimalkan penerimaan dari daerahnya sendiri yaitu sektor
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurut Undang-undang No.32 Tahun 2004,
Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan Pemerintah Daerah yang
berasal dari daerah itu sendiri berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Pendapatan
Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan yang sah (Kawedar, 2008).
Dengan adanya peningkatan PAD diharapkan dapat meningkatkan investasi
belanja modal pemerintah daerah sehingga pemerintah memberikan kualitas
pelayanan publik yang baik.
Perbedaan kemampuan keuangan yang dimiliki setiap daerah dalam hal
pendanaan kegiatan pemerintahannya dapat memicu terjadinya ketimpangan fiskal
antar daerah. Sebagai upaya menghadapi ketimpangan fiskal tersebut, pemerintah
daerah dapat melakukan pengalokasian dana yang diperoleh dari APBN untuk
pendanaan kebutuhan rumah tangga daerahnya untuk pelaksanaan desentralisasi.
Hal tersebut direalisasikan melalui Dana Alokasi Umum. Disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Dana
Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk
Pengelolaan DAU juga perlu memperhatikan mengenai sejauh mana
aspirasi masyarakat dapat terserap dengan mekanisme pengelolaan yang tepat dan
transparan. Kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah dikelola berdasarkan
pendekatan kinerja yaitu pengelolaan angaran yang mengutamakan pencapaian
outcome dari alokasi biaya atau input yang telah ditetapkan dengan
memperhatikan kondisi semua komponen keuangan (Leode,2009).
Dana transfer dari pemerintah pusat ke Pemerintah Daerah selain DAU
adalah DAK yaitu dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan
tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah
dan sesuai dengan prioritas nasional (UU No. 33 tahun 2004). DAK ini digunakan
untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, infrastruktur jalan dan
jembatan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum dan sanitasi, prasarana
pemerintah daerah, lingkungan hidup, kehutanan, sarana prasarana pedesaan,
perdagangan, pertanian serta perikanan dan kelautan yang semuanya itu termasuk
dalam komponen belanja modal dan Pemerintah Daerah diwajibkan untuk
mengalokasikan dana pendamping sebesar 10% dari nilai DAK yang diterimanya
untuk mendanai kegiatan fisik.
Gunantara dan Dwirandra (2014) dengan menggunakan teknik Moderated
Regression Analysis menemukan bahwa PAD, DAU, dan Belanja Modal
berpengaruh secara simultan terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Sementara itu, hasil
uji parsial menunjukkan bahwa PAD dan DAU berpengaruh positif dan signifikan
terhadap Pertumbuhan Ekonomi, sedangkan Belanja Modal berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Hasil uji moderasi menunjukan
Ekonomi, sedangkan Belanja Modal sebagai variabel pemoderasi tidak mampu
memoderasi pengaruh DAU terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Hal tersebut
disebabkan oleh pengalokasian pendapatan daerah untuk Belanja Modal tidak
dimanfaatkan dengan baik sehingga proyek yang dikerjakan bersifat mubasir.
Selain DAU dan DAK, Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi salah satu
sumber pendapatan bagi daerah. PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan
potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. PAD hanya mampu membiayai
belanja pemerintah daerah paling tinggi sebesar 20%. Dalam kaitannya dengan
pelaksanaan otonomi, peningkatan PAD selalu diupayakan karena merupakan
penerimaan dari usaha untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah.
Peningkatan PAD harus berdampak pada perekonomian daerah (Maryati dan
Endrawati, 2010).
Setiyawati dan Hamzah (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
Pengaruh PAD, DAU, DAK, dan Belanja Pembangunan terhadap Pertumbuhan
Ekonomi, Kemiskinan dan Pengangguran: Pendekatan Analisis Jalur”
menyimpulkan bahwa PAD secara langsung berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi, sedangkan DAU berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian yang
dilakukan oleh Ardhani (2010). Ia menemukan bahwa variabel PAD dan DAU
berpengaruh signifikan terhadap alokasi anggaran belanja modal. Pemerintah
Daerah yang memiliki PAD dan DAU tinggi maka pengeluaran untuk alokasi
Adapun hasil analisis yang dilakukan oleh Maryati dan Endrawati (2010)
membuktikan bahwa PAD berpengaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan
ekonomi, DAU berpengaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi
dan DAK tidak berpengaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kemudian, hasil penelitian yang dilakukan oleh Permanasari (2013) menunjukkan
bahwa DAU dan PAD berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi,
sedangkan DAK dan belanja modal berpengaruh tidak signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan hasil alokasi belanja modal belum
dapat dinikmati dalam kurun waktu yang pendek atau pembangunan infrastruktur
masih berjalan sehingga belum memperoleh hasil dari belanja modal tersebut.
Paseki dkk (2014) menganalisis bagaimana Pengaruh Dana Alokasi Umum dan
Belanja Langsung terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Dampaknya terhadap
Kemiskinan di Kota Manado tahun 2004-2012. Hasil penelitian ini adalah secara
simultan Dana Alokasi Umum dan Belanja Langsung tidak berpengaruh terhadap
Pertumbuhan ekonomi di Kota Manado.
Selain mengejar pertumbuhan ekonomi, pemerintah daerah juga dituntut
untuk dapat mengejar pembangunan manusia di daerah mereka melalui
pengelolaan APBD yang efektif dan efisien. Pendekatan pembangunan manusia
tidak semata-mata menjadi sebuah tujuan, namun merupakan sebuah proses.
Secara spesifik, UNDP menetapkan empat elemen utama dalam pembangunan
manusia, yaitu pemerataan (equity), produktivitas (productivity), pemberdayaan
(empowerment) dan kesinambungan (sustainability). Untuk meningkatkan IPM
tidak hanya bertumpu pada peningkatan ekonomi semata, namun diperlukannya
adanya jaminan bahwa semua penduduk merasakan hasil-hasil pembangunan
tersebut (Ardiansyah dan Widyaningsih, 2014).
Meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU)
dan Dana Alokasi Khusus (DAK) memungkinkan adanya peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) apabila pengalokasian dana tersebut tepat dan berjalan sesuai dengan
sasaran. Setyowati dan Suparwati (2012) menyatakan upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah
hendaknya mampu mengubah proporsi belanja yang dialokasikan untuk tujuan
dan hal-hal yang positif seperti melakukan aktivitas pembangunan yang berkaitan
dengan program-program kepentingan publik. Adanya program-program untuk
kepentingan publik diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik
yang akhirnya berdampak pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat bagaimana peran DAU,
DAK dan PAD dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia. Salah
satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Putra dan Ulupui (2015). Hasil
pengujian menunjukkan PAD, DAU, DAK berpengaruh positif signifikan
terhadap IPM. Setyowati dan Yohana (2012) melakukan penelitian tentang
pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, DAU, DAK dan PAD terhadap Indeks
Pembangunan Manusia dengan Alokasi Anggaran Belanja Modal sebagai variabel
intervening. Dalam penelitiannya, mereka menemukan bahwa DAU, DAK dan
PAD terbukti berpengaruh positif terhadap IPM melalui pengalokasi anggaran
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 bahwa pemerintah
daerah harus mengalokasikan belanja modal pada APBD sekurang-kurangnya
30% dari belanja daerah. Namun pada kenyataannya, pemerintah daerah
kabupaten dan kota di wilayah Provinsi Sumatera utara masih sulit untuk
mengalokasikan besaran belanja modal dalam belanja daerah sesuai dengan
pedoman yang telah ditetapkan. Hal ini sedikit banyak dapat mempengaruhi
optimalisasi pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, karena belanja modal
yang terbatas akan menghambat kreativitas dan inovasi dari pemerintah daerah
dalam meningkatkan daya tarik daerahnya kepada para investor.
Tabel 1.1
Alokasi Belanja Modal dan Persentase Belanja Modal terhadap APBD 2010-2014 di Sumatera Utara
Tahun Agregat Alokasi Belanja
Tabel 1.1 tersebut menggambarkan perkembangan alokasi belanja modal
pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara selama 5 (lima) tahun yaitu
periode 2010-2014. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa setiap tahunnya
alokasi belanja modal pada APBD semakin meningkat. Namun demikian, ternyata
alokasi belanja modal tersebut belum dapat memenuhi ketentuan minimal yang
telah ditetapkan dalam ketentuan mengenai pedoman penyusunan APBD yang
diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri.
Alokasi Khusus (DAK). Besarnya ketergantungan pemerintah daerah terhadap
kedua dana tersebut tercermin dalam besarnya persentase kedua dana tersebut
terhadap alokasi belanja modal seperti yang digambarkan dalam tabel berikut ini.
Tabel 1.2 2010 1.399.952.017.300 10.801.144.137.100 45,49 350,97 2011 1.486.192.400.000 12.690.207.162.800 32,72 279,42 2012 1.482.399.990.000 15.305.302.222.000 25,75 265,83 2013 1.789.078.770.000 17.470.369.491.000 23,10 225,61 2014 1.864.581.710.435 19.143.226.518.043 26,11 268,02 *Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara (data diolah)
Dari tabel 1.2 diatas dapat dilihat bahwa realisasi DAK dan DAU pada
Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara setiap tahunnya selalu mengalami
kenaikan. Besarnya ketergantungan belanja modal akan dana yang berasal dari
DAK mencapai lebih dari 20%. Sedangkan besarnya ketergantungan belanja
modal akan dana yang berasal dari DAU mencapai lebih dari 200%. Hal ini
menunjukkan bahwa alokasi belanja modal pada Kabupaten/ Kota di Provinsi
Sumatera Utara sangat bergantung akan dana yang berasal DAK dan DAU.
Pada tahun 2010, realisasi DAK pada Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera
Utara mencapai Rp 1.399.952.017.300,- dan pada akhir 2014 sudah mencapai
Rp 1.864.581.710.435,-. Semakin besarnya realisasi DAK pada Kabupaten/ Kota
di Provinsi Sumatera Utara tidak memberikan dampak positif pada alokasi belanja
modal. Besarnya persentase realisasi DAK terhadap belanja modal pada
Sumatera Utara adalah sebesar 45,49% dan mengalami penurunan cukup besar
pada tahun 2014 yaitu menjadi sebesar 26,11%.
Hal yang sama juga terjadi pada realisasi DAU. Realisasi DAU dari tahun
2010 sampai dengan 2014 terus mengalami kenaikan. Hal ini dapat dilihat dalam
tabel 1.2. Pada tahun 2010, realisasi DAU sebesar Rp 10.801.144.137.100,- dan
mengalami kenaikan pada tahun 2011 menjadi sebesar Rp 12.690.207.162.800,-.
Kemudian pada tahun 2012, realisasi DAU mencapai Rp 15.305.302.222.000,-
dan terus meningkat pada tahun 2014 menjadi Rp 19.143.226.518.043,-. Kenaikan
realisasi DAU setiap tahunnya justru berdampak terbalik dengan kontribusinya
terhadap belanja modal. Pada tahun 2010, realisasi DAU mencapai angka
Rp 10.801.144.137.100,- dan persentasenya terhadap belanja modal adalah
sebesar 350,97%. Kemudian pada tahun 2014, realisasi DAU mencapai angka
Rp 19.143.226.518.043,- dan persentasenya terhadap belanja modal adalah
sebesar 268,02%. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya persentase DAU terhadap
belanja modal pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara terus mengalami
penurunan yang signifikan.
Selain itu, adanya perbedaan alokasi DAK dan DAU ke masing-masing
kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara berdampak pada
pencapaian pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Pertumbuhan ekonomi itu
sendiri dapat diukur dari selisih antara PDRB pada tahun sekarang dengan PDRB
tahun sebelumnya dibagi dengan PDRB tahun sebelumnya. Ketimpangan fiskal
antar suatu daerah di Provinsi Sumatera Utara yang terjadi akibat adanya
Tabel 1.3
Realisasi DAK, DAU, PAD, Pertumbuhan Ekonomi dan IPM pada Kab/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2010-2014
No. Kabupaten/ Kota
Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun. Selama periode tahun 2010-2014,
besarnya realisasi DAU di ketiga daerah tersebut adalah 1.122.755,34 juta rupiah,
1.081.346,27 juta rupiah, dan 850.437,91 juta rupiah. Sedangkan tiga daerah yang
memperoleh alokasi DAU terendah adalah Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten
Nias Utara dan Kabupaten Nias Barat yaitu masing-masing sebesar 237.273,11
juta rupiah, 251.426,24 juta rupiah dan 203.180,12 juta rupiah.
Tiga daerah yang memperoleh DAK terbesar pada tahun selama periode
tahun 2010-2014 adalah Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Simalungun dan
Kabupaten Nias Selatan yaitu masing-masing sebesar 80.963,93 juta rupiah;
78.803,64 juta rupiah dan 74.759,40 juta rupiah. Sedangkan daerah yang
memperoleh DAK terendah adalah Kota Tanjung Balai yaitu sebesar 22.314,80
juta rupiah.
Ditinjau dari segi PAD, daerah yang memperoleh DAU dan DAK terbesar
justru mempunyai PAD terbesar pula. Ini terlihat dari besarnya PAD Kota Medan
dan Deli Serdang selama periode tahun 2010-2014 yaitu sebesar 1.175.176,57 juta
rupiah dan 338.990,67 juta rupiah.
Alokasi DAU dan DAK yang berbeda-beda ke setiap daerah tidak dapat
dipungkiri akan berakibat pada ketimpangan pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan di masing-masing daerah. Alokasi DAU dan DAK yang besar
kepada Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun justru tidak
memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi dan IPM di daerah tersebut.
Pertumbuhan ekonomi dan IPM di daerah tersebut bahkan lebih kecil bila
dibandingkan dengan daerah lainnya yang mendapatkan alokasi DAU dan DAK
daerah yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah Kabupaten
Tapanuli Selatan yaitu sebesar 8,26%. Sementara dilihat dari alokasi dana DAU
dan DAK yang diterima daerah tersebut justru lebih kecil dibandingkan dengan
Kabupaten Deli Serdang dan Simalungun. Dari segi pembangunan manusia,
daerah yang mempunyai IPM tertinggi selama periode tahun 2010-2014 setelah
Kota Medan adalah Kota Pematang Siantar yaitu sebesar 76,16.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan
sebelumnya maka sangat menarik untuk melakukan penelitian dengan judul
”Analisis Pengaruh Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum, dan Pendapatam
Asli Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia
melalui Belanja Modal di Sumatera Utara”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka masalah yang
hendak diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah DAK, DAU, dan PAD berpengaruh secara simultan dan parsial
terhadap Belanja Modal di Sumatera Utara?
2. Apakah DAK, DAU, dan PAD berpengaruh secara simultan dan parsial
terhadap Pertumbuhan Ekonomi melalui Belanja Modal di Sumatera Utara?
3. Apakah DAK, DAU, dan PAD berpengaruh secara simultan dan parsial
terhadap IPM melalui Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk menganalisis pengaruh DAK, DAU, dan PAD secara simultan dan
parsial terhadap Belanja Modal di Sumatera Utara.
2. Untuk menganalisis pengaruh DAK, DAU, dan PAD secara simultan dan
parsial terhadap Pertumbuhan Ekonomi melalui Belanja Modal di Sumatera
Utara.
3. Untuk menganalisis pengaruh DAK, DAU, dan PAD secara simultan dan
parsial terhadap IPM melalui Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi
di Sumatera Utara.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan dalam bidang penganggaran di pemerintahan khususnya
mengenai PAD, DAU, DAK, pertumbuhan ekonomi, indeks pembangunan
manusia dan alokasi belanja modal.
2. Bagi pemerintah daerah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan dan dapat memberikan informasi serta pertimbangan dalam
pengambilan kebijakan pengalokasian DAU, DAK dan belanja modal.
3. Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan
masukan dan referensi yang dapat mendukung bagi peneliti maupun pihak