• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asosiasi Antara Jenis Tempat Penampungan Air Dan Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Wilayah Kota Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Asosiasi Antara Jenis Tempat Penampungan Air Dan Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Wilayah Kota Surakarta"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KEJADIAN DEMAM BERDARAH

DENGUE

DI WILAYAH KOTA

SURAKARTA

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

NITA PRASASTI

G.0009152

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

vi

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul:

“Asosiasi antara Jenis Tempat Penampungan Air (TPA)

dengan Kejadian Demam Berdarah

Dengue

(DBD) di Wilayah Kota

Surakarta”

.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam

penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT dan melalui

bimbingan serta dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1.

Bapak Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM

, selaku

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

2.

Ibu Muthmainah, dr., M.Kes.

, selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

3.

Bapak Sumardiyono, S.KM., M.Kes

, selaku Pembimbing Utama yang

telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran mulai

dari penyusunan proposal sampai selesainya skripsi ini.

4.

Ibu Ari Natalia Probandari, dr., MPH, PhD

, selaku Pembimbing

Pendamping yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan,

koreksi, dan motivasi mulai dari penyusunan proposal sampai selesainya

skripsi ini.

5.

Bapak Hardjono, Drs., M.Si

, selaku Penguji Utama yang telah memberi

saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini.

6.

Bapak Drs.Bagus Wicaksono, Drs., M.Si

, selaku Anggota Penguji yang

telah memberi saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini.

7.

Almarhum Bapak yang menjadi inspirator terbaik demi terselesainya

skripsi ini

8.

Ibu, Mbak Iin, Yusuf yang telah memberikan doa dan dukungan untuk

menyelesaikan skripsi ini.

9.

Teman-teman pendidikan dokter angkatan 2009, serta semua pihak terkait

yang telah mendoakan dan mendukung dalam penulisan proposal hingga

terselesaikannya laporan skripsi.

Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat

bermanfaat bagi pembaca. Saran, pendapat, koreksi, dan tanggapan dari semua

pihak sangat diharapkan.

Surakarta, Januari 2013

(3)

commit to user

iv

Nita Prasasti, G0009152

,

2012

. Asosiasi antara Jenis Tempat Penampungan Air

(TPA) dan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kota Surakarta.

Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang:

Demam Berdarah

Dengue

(DBD)

merupakan salah satu

masalah kesehatan di Indonesia yang berpotensi menimbulkan wabah, karena

penyebarannya semakin meluas dari tahun ke tahun. Salah satu faktor yang

dianggap berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah kondisi Tempat

Penampungan Air (TPA) yang meliputi jenis TPA, warna TPA, dan ukuran TPA.

Akan tetapi, sampai saat ini faktor-faktor tersebut hanya terbatas diteliti di ranah

laboratorium dan masih sedikit informasi yang didapat dari penelitian lapangan.

Oleh karena itu, penulis memiliki gagasan untuk perlu melakukan penelitian

berbasis komunitas mengenai asosiasi antara jenis Tempat Penampungan Air

(TPA) dan kejadian DBD di wilayah Kota Surakarta

Metode:

Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain

matched

case-control

yang diselenggarakan dari bulan Juni-Oktober 2012 di lima

puskesmas yang berada di wilayah Kota Surakarta. Jumlah total sampel sebesar

68 subjek penelitian dengan 34 subjek sebagai kasus dengan DBD, dan 34 subjek

yang tidak menderita DBD sebagai kontrolnya. Data dianalisis menggunakan uji

McNemar Test.

Hasil:

Penelitian menemukan adanya hubungan antara jenis TPA dan kejadian

DBD dengan Odds Ratio sebesar 7,5 (p= 0,001; CI 95% 1,715-32,79).

Simpulan:

Ada hubungan yang bermakna secara statistik antara jenis TPA

dengan kejadian DBD di wilayah Kota Surakarta. Penggunaan jenis TPA

nonkeramik berisiko 7,5 kali lebih besar untuk terjangkit DBD.

(4)

commit to user

v

Nita Prasasti, G0009152

,

2012.

The Association between Type of Water

Container and Dengue Hemorrhagic Fever Incidence in the Region of Surakarta.

Mini Thesis

Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta

.

Background:

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a health problem in

Indonesia, which has been the potential to be the cause of epidemics, because of

the widespread distribution from year to year. One of the factors considered to

influence the incidence of DHF is the condition of water container, which includes

the type of landfill, landfill color, and size of the landfill. However, these factors

are limited studied in the laboratory and still little information gained from field

research until now. Therefore, the authors had the idea to have to do

community-based research on the association between type of Water Shelter (TPA) and the

incidence of dengue in the city of Surakarta

Methods:

This study was an observational study with a matched case-control

design, that was conducted held from June to October 2012 at five health centers

located in the city of Surakarta. The total sample size was 68 subjects (34 subjects

as cases with DHF, and 34 other subjects as controls). Data were analyzed using

McNemar Test

Results:

The study found the relationship between the type of water container and

DHF incidence with Odds Ratio of 7.5 (p= 0,001; CI 95% 1,715-32,79).

Conclusion:

There is a stastically significant association between the incidence of

dengue and type of water container in the city of Surakarta. The use of

nonkeramik type, increase a person's risk for contracting dengue at 7.5 times

higher.

(5)

commit to user

3.

Morfologi dan Siklus Hidup Vektor Penular..………

10

a.

Stadium Telur...……… 12

b.

Stadium Larva dan Pupa...……….

13

c.

Stadium Dewasa...……….

13

4.

Faktor-Faktor Penularan Penyakit DBD... 15

a.

Lingkungan Fisik………...

15

b.

Lingkungan Biologik………...

17

c.

Lingkungan Sosial………...

17

d.

Tingkat Pengetahuan………...

17

e.

Mobilitas Penduduk………...

18

5.

Cara Penularan………...

18

6.

Tempat Potensial Penularan Penyakit………...

19

7.

Tanda dan Gejala Penyakit………...

20

(6)

commit to user

c.

Teknik Pengambilan Sampel... 33

D.

Rancangan Penelitian ……….. 34

E.

Identifikasi Variabel...……….. 35

F.

Definisi Operasional...………. 35

G.

Instrumen Penelitian ……… 38

H.

Cara Kerja ……… 39

I.

Teknik Analisis Data ……….………... 39

BAB IV. HASIL PENELITIAN ………... 41

A.

Karakteristik Penelitian... 41

B.

Analisis Bivariat... 42

C.

Analisis Hubungan Jenis TPA dengan Kejadian DBD setelah

Mengendalikan Warna TPA... 43

(7)

commit to user

ix

Tabel 4.1

Karakteristik Sampel Penelitian...

41

Tabel 4.2

Analisis

McNemar Test

antara Jenis TPA dan Kejadian

DBD...

42

Tabel 4.3

Analisis OR Mantel Haenszel Dibandingkan Analisis OR

dengan McNemar Test...

44

Tabel 4.4

Analisis

McNemar Test antara Warna TPA dan Kejadian

DBD...

45

Tabel 4.5

Deskripsi

antara

Warna

TPA

dan

Jenis

(8)

commit to user

x

Lampiran 1.

Informed Consent...

59

Lampiran 2.

Lembar Isian Data...

61

Lampiran 3.

Checklist...

63

Lampiran 4.

Data Kasus dan Kontrol Responden...

64

Lampiran 5.

Analisis Data...

67

(9)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Demam Berdarah

Dengue

(DBD) merupakan penyebab kematian utama di

banyak negara tropis di seluruh dunia (Ramesh et al

.

, 2010). Penyakit DBD

atau

Dengue Haemorrhagic Fever

(DHF) merupakan salah satu penyakit

menular tidak langsung yang menjadi masalah kesehatan di Indonesia dimana

penyebarannya semakin meluas dan jumlah penderitanya cenderung

meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit yang dapat bermanifestasi sebagai

Dengue Shock Syndrom

(DSS) ini disebabkan oleh virus

dengue

dan

ditularkan melalui gigitan nyamuk

Aedes aegypti

dan

Aedes albopticus

.

Kedua jenis vektor ini terdapat di seluruh pelosok Indonesia, baik di pedesaan

maupun perkotaan, baik di tempat-tempat umum maupun di rumah-rumah

penduduk, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter

di atas permukaan laut (Widoyono, 2008).

Penyakit DBD sangat berpotensi menimbulkan terjadinya wabah (Lestari,

2007). Sekitar 2,5 milyar orang memiliki risiko untuk terkena infeksi virus

dengue

. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis mengalami letusan

demam berdarah

dengue

, lebih kurang 500.000 kasus setiap tahun dirawat di

rumah sakit dengan ribuan orang di antaranya meninggal dunia (Depkes RI,

(10)

commit to user

Di Indonesia, kasus DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun

1968 dimana ditemukan 58 kasus dengan 24 di antaranya meninggal dunia.

Penyakit ini terus menyebar hingga pada tahun 1980 seluruh provinsi di

Indonesia telah terjangkit DBD (Depkes RI, 2007). Pada tahun 2006,

Indonesia merupakan kontributor utama kasus demam berdarah

dengue

di

wilayah Asia Tenggara (WHO, 2011). Profil Kesehatan Indonesia

menyebutkan pada tahun 2010 jumlah kasus DBD di 33 provinsi di Indonesia

sebesar 156.086 dengan CFR sebesar 0,87% (Kementerian Kesehatan RI,

2011)

Di Provinsi Jawa Tengah, penyakit demam berdarah

dengue

masih

menjadi permasalahan serius. Hal ini terbukti dengan ditemukannya 35

kabupaten/kota yang terjangkit penyakit DBD. Angka kesakitan atau

Incidence Rate

(IR) DBD di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009

dilaporkan sebesar 5,74 per 10.000 penduduk. Angka ini mengalami

penurunan bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 5,92 per 10.000 penduduk.

Meskipun demikian, angka tersebut masih jauh di atas target nasional yaitu

kurang dari 2 per 10.000 penduduk (Dinkes Jawa Tengah, 2009).

Kota Surakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang masuk ke

dalam daerah klasifikasi endemi DBD. Hal ini terlihat dari kasus DBD yang

ditemukan setiap tahunnya di hampir seluruh kelurahan di wilayah tersebut.

(11)

commit to user

(antara bulan Januari sampai Desember) mencapai 616 orang dengan 13

orang penderita meninggal dunia (Sumandjar dalam Sulistyo, 2009). Dari

data Dinas Kesehatan Jawa Tengah (2011) menyebutkan besar CFR Kota

Surakarta pada tahun 2008-2011 mencapai lebih dari satu persen.

Sampai saat ini, penanggulangan DBD mengalami masalah yang cukup

kompleks karena belum ditemukannya vaksin dan obat yang efektif untuk

penyakit ini. Salah satu cara pencegahan yang dapat dilakukan adalah

dengan pemberantasan jentik nyamuk

Aedes aegypti

atau lebih dikenal

dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah

Dengue

(PSN-DBD) (Yudhastuti dan Vidiyani, 2005).

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) merupakan kegiatan pengendalian

vektor yang murah, aman dan mudah serta mempunyai nilai keberhasilan

yang tinggi jika dilakukan secara serentak dan berkesinambungan (Santoso

dan Budiyanto, 2008). PSN dilakukan dengan semboyan 3M yakni menguras

tempat

penampungan

air

secara

teratur,

menutup

tempat-tempat

penampungan air dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi

sarang nyamuk. Namun, pelaksanaan PSN masih mengalami hambatan

karena tidak semua masyarakat mau melakukan PSN (Yudhastuti dan

Vidiyani, 2005). Selain itu kesibukan masyarakat yang semakin tinggi

(12)

commit to user

Dalam upaya penanggulangan DBD, faktor lingkungan senantiasa

berperan penting. Penelitian yang dilakukan oleh Arsin dan Wahiduddin

(2004) tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian demam

berdarah di Makassar, kondisi Tempat Penampungan Air (TPA) merupakan

faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian DBD. Selain itu, dalam

upaya pemberantasan penyakit DBD, mengidentifikasi TPA lebih bermanfaat

daripada data angka jentik (

larva index

) (Hasyimi dan Soekirno, 2004).

Kondisi TPA berperan secara langsung dalam perkembangbiakan vektor

penular DBD. Apabila kondisi TPA kurang baik, maka potensial

menyebabkan nyamuk berkembang biak dengan cepat sehingga membuat

populasi nyamuk makin tinggi dan berkembang (Duma et al., 2007). Kondisi

TPA yang meliputi warna, jenis/bahan, dan ukuran sangat mempengaruhi

nyamuk

Aedes

betina untuk menentukan pilihan tempat bertelurnya (Fathi et

al., 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Sungkar (1994) melaporkan bahwa

jenis/bahan TPA memiliki kaitan yang signifikan dengan jumlah telur atau

larva nyamuk yang ditemukan pada TPA. Untuk tempat penampungan air

yang terbuat dari keramik, jumlah telur nyamuk yang ditemukan lebih sedikit

daripada yang terbuat dari bahan selain keramik. Akan tetapi, sampai saat ini

penelitian berbasis komunitas yang membahas mengenai kaitan jenis/bahan

(13)

commit to user

Oleh karena itu, berdasar latar belakang tersebut, maka penulis memiliki

gagasan untuk perlu melakukan penelitian berbasis komunitas mengenai

asosiasi antara jenis Tempat Penampungan Air (TPA) dan kejadian DBD di

wilayah Kota Surakarta. Dengan begitu, masyarakat dan pihak-pihak tertentu

dapat memiliki gambaran tentang jenis/bahan TPA yang baik yang dapat

digunakan dalam upaya menentukan cara pencegahan yang tepat terhadap

kejadian DBD.

B.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka permasalahan pada

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Apakah terdapat asosiasi

antara jenis TPA dan kejadian DBD di wilayah Kota Surakarta?”

C.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui

asosiasi antara jenis TPA dan kejadian DBD di wilayah

(14)

commit to user

D.

Manfaat Penelitian

1.

Manfaat Teoritis:

a.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti empiris mengenai

asosiasi antara jenis TPA dan kejadian demam berdarah

dengue

di

wilayah Kota Surakarta.

b.

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan

keilmuan terutama ilmu kesehatan masyarakat.

2.

Manfaat Aplikatif:

Memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat dan tenaga

kesehatan mengenai asosiasi antara jenis TPA dan kejadian demam

berdarah

dengue

di wilayah Kota Surakarta yang dapat digunakan dalam

(15)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Tempat Penampungan Air

Tempat perkembangbiakan utama nyamuk

Aedes aegypti

adalah

tempat-tempat penampungan air di dalam atau di sekitar rumah yang biasanya tidak

melebihi jarak 500 meter dari rumah. Tempat perkembangbiakan nyamuk

biasanya berupa genangan air yang tertampung di suatu wadah (kontainer),

yang tidak beralaskan tanah. Gubler dan Clark dalam Muslim (2004)

menjelaskan bahwa macam-macam Tempat Penampungan Air (TPA) dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

1.

TPA untuk keperluan sehari-hari

Penampungan ini biasanya keadaan airnya adalah jernih, tenang dan

tidak mengalir seperti bak mandi, bak WC, drum penyimpanan air,

tempayan, ember, dan lain-lain.

2.

TPA bukan untuk keperluan sehari-hari

Penampungan ini merupakan kontainer atau wadah yang dapat

menampung air, tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari seperti tempat

minum hewan piaraan, barang bekas (ban, kaleng, botol, pecahan

(16)

commit to user

3.

TPA alami

Tempat ini secara alami dapat menjadi tempat penampungan air

misalnya potongan bambu, lubang pagar, pelepah daun yang berisi air dan

bekas tempurung kelapa yang berisi air.

Tempat penampungan air juga dapat dibedakan sesuai dengan

jenis/bahan dasar pembuatannya, antara lain: keramik, plastik, drum, dan

semen (Sungkar, 1994).

B.

Demam Berdarah Dengue

1.

Definisi

Penyakit demam berdarah

dengue

adalah penyakit menular yang

disebabkan oleh virus

dengue

dan ditularkan oleh nyamuk

Aedes aegypti

dan

Aedes albopictus

yang ditandai dengan demam mendadak 2 sampai 7

hari tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati,

disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (

petechie

),

lebam (

echymosis

), atau ruam (purpura), kadang-kadang mimisan, berak

darah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (

shock

) (Indrawan,

2001). Syok ini disebabkan oleh adanya kebocoran plasma yang

berkembang sebagai DSS dan sering menyebabkan hal yang fatal (WHO,

1999). Penyakit ini berlangsung akut menyerang baik orang dewasa

(17)

commit to user

menimbulkan renjatan (syok) yang dapat mengakibatkan kematian

penderita (Soedarmo, 2000).

2.

Penyebab

Penyakit DBD disebabkan virus

dengue

yang termasuk kelompok B

Arthopod Borne Virus

(

Arboviroses

) yang sekarang dikenal sebagai genus

Flavivirus,

famili

Flaviviricae

, dan mempunyai 4 jenis serotipe yaitu:

DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan

menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan

antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga

tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe

lain. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan

banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat (Hadinegoro et

al., 2001).

Teori infeksi sekunder

“The Secondary Heterologus Infection

Hypothesis”

yang dikemukakan oleh Halstead (1980)

menyebutkan bahwa

seseorang dapat menderita DBD jika mendapat infeksi ulangan tipe virus

dengue

berbeda. Misalnya: infeksi pertama oleh virus

dengue

tipe–1

(DEN-1) menyebabkan terbentuknya antibodi DEN -1, apabila

kemudian

terkena infeksi oleh virus

dengue

tipe-2 (DEN-2) dalam

waktu 6 bulan

(18)

commit to user

DEN-2 sebagai antigen dengan antibodi DEN–1 yang dapat

mengakibatkan gejala DBD (Widiyanto, 2007)

3.

Morfologi dan Siklus Hidup Vektor Penular

Virus

dengue

memerlukan perantara untuk bisa masuk ke tubuh

manusia. Perantara/vektor virus ini adalah nyamuk

Aedes aegypti

atau

Aedes albopictus

. Sosok kedua jenis

Aedes

ini hampir serupa, namun yang

banyak menularkan demam berdarah adalah

Aedes aegypti

. Badan nyamuk

ini lebih kecil dari nyamuk rumah. Nyamuk betina menghisap darah agar

bisa memperoleh protein untuk mematangkan telurnya, sampai dibuahi

oleh nyamuk jantan. Nyamuk mendapat virus demam berdarah dari pasien

DBD, maupun orang yang tidak tampak sakit namun dalam aliran

darahnya terdapat virus

dengue

(karier). Sifat gigitan nyamuk yang

dirasakan manusia tidaklah berbeda dengan gigitan nyamuk lainnya.

Artinya, tidak lebih sakit, tidak lebih gatal, dan tidak juga meninggalkan

bekas yang istimewa (Tapan, 2004).

Sekali nyamuk tertular virus

dengue

seumur hidupnya akan menjadi

nyamuk yang infektif dan mampu menyebarkan virus ke inang lain ketika

menghisap darah berikutnya. Nyamuk infektif ini juga dapat menularkan

virus ke generasi berikutnya secara transovarial melalui telur, tetapi

peranannya dalam melanjutkan transmisi virus pada manusia belum

(19)

commit to user

Menurut Nadezul (2007), ciri-ciri nyamuk

Aedes aegypti

adalah sebagai

berikut:

a.

Badan kecil berwarna hitam dengan bintik-bintik putih,

b.

Jarak terbang nyamuk sekitar 100 meter,

c.

Umur nyamuk betina dapat mencapai sekitar 1 bulan,

d.

Menghisap darah pada pagi hari sekitar pukul 09.00-10.00 dan sore hari

pukul 16.00-17.00,

e.

Nyamuk betina menghisap darah unuk pematangan sel telur, sedangkan

nyamuk jantan memakan sari-sari tumbuhan,

f.

Hidup di genangan air bersih bukan di got atau comberan,

g.

Di dalam rumah dapat hidup di bak mandi, tempayan, vas bunga, dan

tempat air minum burung,

h.

Di luar rumah dapat hidup di tampungan air yang ada di dalam drum,

dan ban bekas.

Seperti halnya jenis nyamuk lainnya,

Aedes aegypti

mengalami

metamorfosis sempurna yaitu: telur – larva – pupa – nyamuk dewasa.

Stadium telur, jentik, dan kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya

telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ± 2 hari setelah telur

terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium

(20)

commit to user

menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat

mencapai 2-3 bulan (Depkes RI, 2007).

1)

Stadium telur

Aedes aegypti

suka bertelur di air jernih yang tidak berpengaruh

langsung dengan tanah dan lebih menyukai kontainer yang di dalam

rumah daripada di luar rumah. Hal ini disebabkan suhu di dalam rumah

relatif lebih stabil. Seekor nyamuk selama hidupnya dapat bertelur 4-5

kali dengan rata-rata jumlah telur berkisar 10 – 100 butir dalam sekali

bertelur. Jumlah telur yang dapat dikeluarkan oleh 1 ekor nyamuk

betina seluruhnya antara 300-700 butir (Hill, 1990).

Telur nyamuk

Aedes aegypti

berbentuk elips atau oval memanjang,

warna hitam dengan ukuran 0,5-0,8 mm; permukaan poligonal; tidak

memiliki alat pelampung; dan diletakkan satu per satu pada

benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat

penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan

air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat

pada dinding TPA, sedangkan 15% jatuh di permukaan air. Telur ini

akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari (Soegijanto dan

(21)

commit to user

2)

Stadium larva dan pupa

Setelah menetas, telur akan berkembang menjadi larva atau jentik.

Pada stadium ini kelangsungan hidup larva dipengaruhi oleh suhu, pH

air, cahaya, kelembaban, dan fertilitas telur itu sendiri. Dalam kondisi

optimal waktu yang dibutuhkan sejak telur menetas hingga menjadi

nyamuk dewasa adalah tujuh hari termasuk dua hari masa pupa, sedang

pada suhu rendah dibutuhkan waktu beberapa minggu (Depkes RI,

1990).

Larva nyamuk

Aedes aegypti

tampak memanjang tanpa kaki dengan

bulu-bulu sederhana yang tersusun secara bilateral simetris. Larva ini

bersifat fototaksis negatif dan waktu istirahat membentuk sudut hampir

tegak lurus dengan bidang permukaan air (Soegijanto dan Soegeng,

2006).

3)

Stadium dewasa

Setelah keluar dari selongsong pupa, nyamuk akan diam beberapa

saat di selongsong pupa. Beberapa saat setelah itu, sayap meregang

menjadi kaku, sehingga nyamuk mampu terbang untuk mencari mangsa

darah. Perkawinan nyamuk jantan dengan betina biasanya terjadi pada

waktu senja dan hanya sekali, sebelum nyamuk betina pergi untuk

menghisap darah. Umur nyamuk jantan lebih pendek dibanding umur

(22)

commit to user

(

antropofilik

), sedang nyamuk jantan hanya makan cairan buah-buahan

dan bunga. Nyamuk betina memerlukan darah untuk mematangkan

telurnya agar jika dibuahi oleh sperma nyamuk jantan dapat menetas.

Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur,

mulai nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya 3-4

hari. Waktu tersebut disebut siklus gonotropik. Eksistensi

Aedes aegypti

di alam dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan biologik, nyamuk ini

tersebar di antara garis isotherm 20

˚C antara 45˚LU dan 35˚LS pada

ketinggian kurang dari 1000 m dari permukaan air laut. Jangka hidup

nyamuk dewasa di alam sulit ditentukan, nyamuk

Aedes aegypti

dapat

hidup rata-rata 1 bulan (Depkes RI, 1995).

Aedes albopictus

merupakan nyamuk kebun (

forest mosqoito

) yang

memperoleh makanan dengan cara menggigit dan menghisap darah

berbagai jenis binatang, berkembangbiak di dalam lubang-lubang pohon,

lekukan tanaman, potongan batang bambu dan buah kelapa yang terbuka.

Larva atau bentuk imatur nyamuk jenis ini mempunyai habitat hidup

dalam genangan air dalam kaleng, tempat penampungan lain termasuk

timbunan sampah. Habitat larva yang semacam itu menyebabkan spesies

ini banyak dijumpai di daerah pedesaaan, pinggiran kota dan

(23)

commit to user

nyamuk ini lebih bersifat zoofagik serta biasa memiliki habitat di luar

rumah (

outdoor

).

4.

Faktor-Faktor Penularan Penyakit DBD

a.

Lingkungan Fisik

1)

Jarak antarrumah

Jarak rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke

rumah lain. Semakin dekat jarak antarrumah semakin mudah

nyamuk menyebar ke rumah di sebelahnya. Bahan-bahan pembuat

rumah, konstruksi rumah, warna dinding dan pengaturan

barang-barang dalam rumah menyebabkan rumah tersebut disenangi atau

tidak disenangi oleh nyamuk. Berbagai penelitian penyakit menular

membuktikan bahwa kondisi perumahan yang berdesak- desakan

dan kumuh mempunyai kemungkinan lebih besar terserang penyakit.

2)

Macam kontainer

Termasuk macam kontainer di sini adalah jenis/bahan kontainer,

letak kontainer, bentuk, warna, kedalaman air, tutup dan asal air

memengaruhi nyamuk dalam pemilihan tempat bertelur.

3)

Ketinggian tempat

Pengaruh variasi ketinggian berpengaruh terhadap syarat-syarat

(24)

commit to user

Aedes aegypti

dan

Aedes albopictus

tidak dapat hidup pada daerah

dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut.

4)

Suhu udara

Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah, tetapi

metabolismenya menurun atau bahkan terhenti bila suhunya turun

sampai di bawah suhu kritis. Pada suhu yang lebih tinggi dari 35

˚

C

juga mengalami perubahan dalam arti lebih lambatnya proses-proses

fisiologis, rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk

adalah 25

˚

C - 27

˚

C. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali

bila suhu kurang 10

˚C

atau lebih dari 40

˚C

.

5)

Kelembaban nisbi

Kelembaban udara yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan keadaan

rumah

menjadi

basah

dan

lembab

yang

memungkinkan

perkembangbiakan kuman atau bakteri penyebab penyakit.

Kelembaban yang baik berkisar antara 40%-70%. Untuk mengukur

kelembaban udara digunakan hidrometer, yang dilengkapi dengan

jarum penunjuk angka relatif kelembaban.

6)

Curah hujan

Hujan berpengaruh terhadap kelembaban nisbi. Jika kelembaban

(25)

commit to user

Dari hasil pengamatan, kejadian DBD yang selama ini dilaporkan di

Indonesia umumnya terjadi pada musim penghujan

(Soeroso, 2000).

b.

Lingkungan Biologik

Lingkungan biologik yang terutama mempengaruhi penularan DBD

adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan, yang

mempengaruhi kelembaban dan pencahayaan di dalam rumah. Adanya

kelembaban yang tinggi dan kurangnya pencahayaan dalam rumah

merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap dan

beristirahat (Widiyanto, 2007)

c.

Lingkungan Sosial

Perilaku masyarakat yang merugikan kesehatan dan kurang

memperhatikan kebersihan lingkungan seperti kebiasaan menggantung

pakaian, kebiasaan tidur siang, kebiasaan tidak membersihkan TPA,

kebiasaan tidak

membersihkan halaman rumah, maka akan

menimbulkan risiko terjadinya transmisi penularan penyakit DBD di

dalam masyarakat (Widiyanto, 2007)

d.

Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan dipengaruhi oleh tingkat

pendidikan,

dimana

pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil

(26)

commit to user

Seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang DBD

cenderung memiliki perilaku pencegahan DBD yang baik, sedangkan

yang berpengetahuan rendah memiliki perilaku yang buruk dalam

kaitannya dengan pencegahan DBD (Santoso dan Budiyanto, 2008).

e.

Mobilitas Penduduk

Mobilitas penduduk yang tinggi memungkinkan berpindahnya

seseorang dari daerah endemis ke daerah yang bukan endemis, sehingga

kemungkinan penyebaran penyakit lebih tinggi (Linback et al., 2003).

5.

Cara Penularan Penyakit

Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus

dengue

merupakan sumber penularan penyakit DBD. Bila penderita tersebut

digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk

dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan

tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk di dalam kelenjar

liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah mengisap darah penderita, nyamuk

tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi

eksentrik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang

hidupnya. Oleh karena itu nyamuk

Aedes aegypti

yang telah menghisap

virus

dengue

ini menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya

(27)

commit to user

Penularan ini terjadi setiap kali nyamuk menusuk (menggigit). Sebelum

menghisap darah, nyamuk akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat

tusuknya (

proboscia

), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama

air liur ini virus

dengue

dipindahkan dari nyamuk ke orang lain. Akibat

infeksi dari virus, orang yang kemasukan virus

dengue

akan membentuk

zat anti (antibodi) yang spesifik sesuai dengan tipe virus

dengue

yang

masuk. Tanda atau gejala yang timbul ditentukan reaksi antara zat anti di

dalam tubuh dengan antigen di dalam virus

dengue

yang baru masuk.

Penularan demam berdarah

dengue

dapat terjadi di semua tempat yang

terdapat nyamuk penularnya. Menurut teori infeksi sekunder, seseorang

dapat terserang DBD jika mendapat infeksi ulangan dengan virus

dengue

tipe yang berlainan dengan infeksi sebelumnya. Infeksi dengan satu tipe

virus

dengue

saja, paling berat hanya akan menimbulkan demam

dengue

disertai pendarahan (Dinkes Jawa Tengah, 2009).

6.

Tempat Potensial penularan Penyakit

Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk

penularnya. Oleh karena itu tempat yang potensial untuk terjadi penularan

(28)

commit to user

a.

Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis).

b.

Tempat-tempat umum yang merupakan tempat berkumpulnya

orang-orang yang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan

terjadinya pertukaran beberapa tipe virus

dengue

cukup besar.

Tempat-tempat umum yang dimaksud antara lain:

1)

Sekolah

Anak atau murid sekolah yang berasal dari berbagai wilayah

merupakan kelompok umur yang paling rentan untuk terserang

penyakit DBD.

2)

Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya

Orang datang dari berbagai wilayah dan kemungkinan di antaranya

adalah penderita DBD

atau “carrier” virus

dengue

.

3)

Tempat umum lainnya, seperti: hotel, pertokoan, pasar, restoran,

tempat ibadah, dan lain-lain

c.

Pemukiman baru di pinggir kota. Penduduk pada lokasi ini umumnya

berasal dari berbagai wilayah maka ada kemungkinan di antaranya

terdapat penderita yang membawa tipe virus

dengue

yang berbeda dari

masing-masing lokasi.

7.

Tanda dan Gejala Penyakit

Di dalam Gupta et al

.

(2010), diagnosis penyakit DBD dapat dilihat

(29)

commit to user

Diagnosis klinis antara lain:

a.

Demam tinggi mendadak yang berlangsung 2-7 hari. Demam ini dapat

turun di hari 3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari 6 atau

ke-7 demam dapat mendadak turun lagi.

b.

Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan uji

torniquet

positif, dan atau perdarahan spontan berupa

petechie

(bintik merah pada

kulit), purpura (pendarahan kecil di dalam kulit), ekimosis, perdarahan

konjungtiva (pendarahan pada mata), epistaksis (pendarahan hidung),

perdarahan gusi, hematemesis (muntah darah), melena (BAB darah)

dan hematuri (adanya darah dalam urin).

c.

Hepatomegali.

d.

Renjatan (syok) yang ditandai dengan kulit terasa dingin dan lembab

terutama di ujung hidung, jari tangan dan kaki; penderita menjadi

gelisah; sianosis di sekitar mulut; dan nadi cepat, lemah, bahkan tidak

teraba.

Diagnosis laboratoris antara lain:

a.

Trombositopeni pada hari ke-3 sampai ke-7 ditemukan penurunan

trombosit hingga 100.000 /mm Hg.

(30)

commit to user

Dua

kriteria

klinis

pertama

ditambah

trombositopenia

dan

hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan

diagnosis klinis DBD (WHO, 1997).

Derajat penyakit DBD terbagi menjadi empat tingkat yaitu (WHO,

1997) :

Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi

perdarahan adalah uji

torniquet

.

Derajat II: Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan

perdarahan lain.

Derajat III: Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lembut,

tekanan nadi menurun (20 mm Hg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di

sekitar mulut, kulit dingin, dan lembab dan penderita tampak gelisah.

Derajat IV: Syok berat, nadi tidak dapat diraba, dan tekanan darah tidak

terukur.

8.

Cara Pengendalian DBD

Pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD seperti juga penyakit

menular lainnya didasarkan pada usaha pemutusan rantai penularannya.

Pada dasarnya, metode pengendalian vektor DBD yang paling efektif

adalah dengan melibatkan Peran Serta Masyarakat, sehingga berbagai

macam metode pengendalian vektor cara lain merupakan upaya pelengkap

(31)

commit to user

Beberapa metode pengendalian vektor DBD, yaitu:

a.

Kimiawi

Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida

merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih populer di

masyarakat dibandingkan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida

adalah stadium dewasa dan pra dewasa. Karena insektisida adalah

racun, maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak

terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran termasuk mamalia.

Di samping itu, penentuan jenis insektisida, dosis, dan metode aplikasi

merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam kebijakan

pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang di satuan

ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga sasaran

(Depkes RI, 2007).

Dalam usaha pemutusan rantai penularan penyakit ini telah

dilakukan pengendalian baik terhadap stadium larva yaitu abatisasi

dengan menggunakan insektisida golongan organofosfat temefos dan

fogging

terhadap nyamuk dewasa dengan malathion yang dilaksanakan

secara rutin setiap 1-2 bulan sekali, sampai saat ini dinyatakan bahwa

kedua macam insektisida tersebut mulai resisten terhadap

Aedes

aegypti

(32)

commit to user

b.

Biologi

Pengendalian vektor biologi menggunakan agen biologi seperti:

predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra

dewasa vektor DBD. Jenis predator yang digunakan adalah ikan

pemakan jentik (cupang, tampalo, gabus,

guppy

), sedangkan larva

capung,

Toxoryncites, Mesocyclops

dapat juga berperan sebagai

predator walau bukan sebagai metode yang lazim untuk pengendalian

vektor DBD (Depkes RI, 2007).

Kerugian dari tindakan pengendalian biologis mencakup mahalnya

pemeliharaan organisme, kesulitan dalam penerapan dan produksinya

serta

keterbatasan

penggunaannya

pada

tempat-tempat

yang

mengandung air dimana suhu, pH, dan polusi organik dapat melebihi

kebutuhan sempit agen, juga fakta bahwa pengendalian biologis ini

hanya efektif terhadap tahap imatur dari nyamuk vektor (WHO, 1999).

c.

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

Pengendalian vektor DBD yang paling efisien dan efektif adalah

dengan memutus rantai penularan melalui pemberantasan jentik.

Pelaksanaannya di masyarakat dilakukan melalui upaya Pemberantasan

Sarang Nyamuk Demam Berdarah

Dengue

(PSN-DBD) dalam bentuk

kegiatan 3M yakni menguras tempat penampungan air secara teratur,

(33)

commit to user

bekas yang dapat menjadi sarang nyamuk. Namun, pelaksanaan PSN

masih mengalami hambatan karena tidak semua masyarakat mau

melakukan PSN (Yudhastuti dan Vidiyani, 2005). Selain itu kesibukan

masyarakat yang semakin tinggi menyebabkan pelaksaaan PSN kurang

dapat berjalan dengan baik.

C.

Hubungan Jenis Tempat Penampungan Air (TPA) dan Kejadian Demam

Berdarah Dengue

Aedes

aegypti

sebagai vektor utama

DBD

menyukai

tempat

perkembangbiakan yang tidak terkena sinar matahari langsung dan tidak

berhubungan langsung dengan tanah. Dari berbagi tempat perkembangbiakan,

bak mandi merupakan TPA yang paling banyak mengandung larva karena

volumenya lebih besar dari tempayan dan drum (Sungkar, 2010).

Telur diletakkan satu-persatu di dinding bak mandi 1-2 cm di atas

permukaan air. Air di dalam tempat tersebut adalah air jernih dan terlindung

dari cahaya matahari langsung. Tempat air di dalam rumah lebih disukai

daripada di luar rumah, dan tempat air yang lebih dekat rumah lebih disukai

daripada yang lebih jauh dari rumah. Telur nyamuk tersebut dapat bertahan

sampai 6 bulan (Sungkar, 2005).

Jumlah larva

Aedes aegypti

di dalam tempat berkembangbiak dipengaruhi

oleh kasar-halusnya dinding TPA, warna TPA, dan kemampuan TPA

(34)

commit to user

menyerap air seperti keramik, jumlah telur yang diletakkan lebih sedikit

sehingga larva yang terbentuk juga sedikit. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Sungkar (1994) jumlah larva yang ditemukan pada beberapa

jenis TPA seperti keramik, plastik, semen dan drum yang berwarna gelap

berturut-turut adalah 68, 120, 244, dan 330 ekor. Sedangkan pada jenis TPA

yang sama dengan warna yang terang berturut-turut adalah 29, 73, 156, dan

232 ekor. Chan et al

.

(1971) juga melaporkan bahwa di daerah perkotaan

habitat

nyamuk

Aedes aegypti

dan

Aedes albopictus

sangat bervariasi. Akan

tetapi, 90% di antaranya adalah wadah-wadah buatan manusia dimana tempat

perindukan nyamuk

paling banyak menempati TPA yang terbuat dari logam

(45,2%) sedang yang paling sedikit yang terbuat dari keramik (5%).

Menurut Christopher (1960), dinding TPA yang kasar diperlukan untuk

mengatur sikap nyamuk betina pada waktu bertelur dan untuk melekatkan

telur. Pada dinding TPA yang kasar, nyamuk dapat berpegangan erat

sehingga dapat dengan mudah mengatur posisinya pada waktu melekatkan

telur. Bila dinding TPA licin maka nyamuk

Aedes aegypti

tidak dapat

berpegangan erat dan tidak dapat mengatur tubuhnya dengan baik sehingga

telur disebarkan pada permukaan air. Telur yang tersebar tersebut sebagian

besar tenggelam dan hanya 20% yang menetas karena embrio mati terendam

(35)

commit to user

Untuk perkembangan embrio di dalam telur diperlukan kadar air tertentu

yang diperoleh dengan cara imbibisi. Pada TPA yang tidak menyerap air

maka imbibisi tidak terjadi sehingga embrio mati kekeringan. Sebaliknya bila

telur terendam air sebelum embrio matang maka terjadi edema yang diikuti

dengan kematian embrio sehingga telur tidak menetas (Sungkar, 1994).

Jumlah larva

Aedes aegypti

juga dipengaruhi oleh ukuran TPA dan jumlah

air yang terdapat di dalamnya. TPA yang besar dan banyak berisi air lebih

banyak mengandung larva bila dibandingkan TPA yang kecil dan jumlah

airnya sedikit. Pada TPA yang berisi air dengan tinggi permukaan 2,5 cm; 5

cm; dan 7,5 cm, ternyata 60 % telur diletakan pada wadah dengan permukaan

air lebih tinggi (Sungkar, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Fathi et al

.

(2005) juga menyebutkan

bahwa keberadaan tempat penampungan air sangat berperan dalam kepadatan

vektor nyamuk

Aedes

, karena semakin banyak tempat penampungan akan

semakin banyak tempat perindukan dan akan semakin padat populasi nyamuk

Aedes

. Semakin padat populasi nyamuk

Aedes

, maka semakin tinggi pula

risiko terinfeksi virus DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga

jumlah kasus penyakit DBD cepat meningkat yang pada akhirnya

mengakibatkan terjadinya Kejadian Luar Biasa.

Dengan demikian, pemutusan rantai vektor DBD dapat dilakukan dengan

(36)

commit to user

lanjut untuk mengetahui asosiasi jenis Tempat Penampungan Air (TPA) dan

kejadian DBD.

Lingkungan fisik Lingkungan biologik

Jarak antarrumah, ketinggian

Pupa Larva Nyamuk dewasa

(37)

commit to user

E.

Hipotesis

Ada asosiasi antara jenis TPA dan kejadian DBD di wilayah Kota

(38)

commit to user

BAB III

METODE PENELITIAN

A.

Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan

matched

case control study

dengan tujuan menilai pengaruh variabel bebas (jenis

TPA) dengan kejadian DBD pada keluarga penderita dengan cara

membandingkan kelompok keluarga orang berpenyakit (kasus) dan kelompok

keluarga orang tidak berpenyakit (kontrol).

B.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Oktober 2012 di Puskesmas

Sibela, Manahan, Pucangsawit, Ngoresan, dan Banyuanyar yang berada di

wilayah Kota Surakarta.

C.

Subjek Penelitian

1.

Populasi

Sasaran pada penelitian ini adalah penduduk di Wilayah Kerja

Puskesmas Sibela, Manahan, Pucangsawit, Ngoresan, dan Banyuanyar

(39)

commit to user

a.

Kriteria inklusi

1)

Bermukim di wilayah kerja puskesmas yang bersangkutan minimal

selama 6 bulan,

2)

Bersedia menjadi subjek penelitian,

3)

Kelompok kontrol berada pada radius 100 meter dari kelompok

kasus.

b.

Kriteria eksklusi

1)

Menggunakan abate,

2)

Tidak bersedia menjadi subjek penelitian.

2.

Sampel

a.

Sampel penelitian terdiri dari :

1)

Sampel kasus adalah keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Sibela,

Manahan, Pucangsawit, Ngoresan, dan Banyuanyar yang berada di

wilayah Kota Surakarta, yang salah satu anggota keluarganya

merupakan penderita DBD yang dinyatakan dengan surat keterangan

tenaga medis atau pemeriksaan laboratorium pada tahun 2010

sampai dengan Juni 2012.

2)

Sampel kontrol adalah keluarga yang anggota keluarganya tidak

(40)

commit to user

b.

Besar Sampel

Rumus yang banyak dipakai untuk mencari sampel minimal

penelitian

matched

case control

menurut Dahlan (2006) adalah sebagai

berikut:

N =

Keterangan:

N = jumlah sampel untuk kelompok kasus dan kontrol

= nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan tingkat

kemaknaan (untuk = 0,05 adalah 1,96)

Zß = nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan kuasa

(

power

) sebesar yang diinginkan (untuk ß = 0,10 adalah 1,28)

P = Proporsi total (P1+P2) / 2

P1 = proporsi pada kelompok kasus (sakit)

P2 = proporsi pada kelompok kontrol atau tidak sakit

(41)

commit to user

Dari penelitian terdahulu, nilai proporsi pada kelompok kasus (P1)

adalah 0,536 sedangkan proporasi pada kelompok kontrol (P2) adalah

0,278. (Mahardika, 2009), sedangkan nilai asumsi untuk

adalah

0,213.

Maka:

N =

N =

N = 33,84

N = 34

Berdasarkan hasil perhitungan di atas jumlah sampel minimal adalah

34 responden dari tiap-tiap kelompok, baik kelompok kontrol maupun

kelompok kasus.

c.

Teknik pengambilan sampel

Subjek penelitian untuk kelompok

kasus dipilih dengan

cluster

sampling

. Kelompok kasus diambil secara acak di lima puskesmas yang

ada di Kota Surakarta yaitu Puskesmas Sibela, Manahan, Pucangsawit,

2,234

(0,066)

(1,96 + 1,28)

2

0,213

(42)

commit to user

Ngoresan, dan Banyuanyar yang dipilih secara acak dari 17 puskesmas

yang ada. Kemudian dari tiap-tiap puskesmas, diambil sampel secara

acak lagi sampai memenuhi besar sampel yang diinginkan yaitu 34

sampel. Sedangkan untuk kelompok kontrol, pemilihan sampel

dilakukan dengan

purposive sampling

, yaitu

sampel diambil

berdasarkan pertimbangan tertentu sesuai kriteria inklusi dan eksklusi

yang ditetapkan dan dilakukan

matching

antara kelompok kontrol

dengan kelompok kasus dalam aspek usia.

D.

Rancangan Penelitian

Cluster sampling Purposive sampling Populas i penduduk di Wilayah Kerja

(43)

commit to user

E.

Identifikasi Variabel Penelitian

1.

Variabel bebas: Jenis Tempat Penampungan Air (TPA)

2.

Variabel terikat: Kejadian Demam Berdarah

Dengue

(DBD)

3.

Variabel luar:

a.

Variabel luar terkendali:

1)

Dengan

matching

: umur, radius tempat tinggal kelompok dan kasus,

penggunaan abate

2)

Dengan analisis: warna TPA

b.

Variabel luar tidak terkendali: PSN 3M, tingkat pengetahuan,

fogging

,

imunitas individu, volume air TPA, kepadatan rumah, dan iklim

F.

Definisi Operasional

1.

Variabel Bebas: Jenis TPA

a.

Definisi: bak mandi yang digunakan untuk menampung air keperluan

sehari-hari yang digolongkan berdasarkan bahan pembuatnya yang ada

sejak 2 tahun yang lalu, terhitung sejak dilakukan wawancara terhadap

sampel. Dipilihnya TPA khususnya bak mandi ini, karena menurut

penelitian bak mandi merupakan tempat yang potensial untuk

pertumbuhan jentik nyamuk serta merupakan TPA yang dapat dengan

mudah ditemukan di setiap rumah.

(44)

commit to user

c.

Skala pengukuran: nominal.

d.

Satuan: keramik dan nonkeramik.

2.

Variabel Terikat: Kejadian DBD

a.

Definisi: penyakit tropis yang disebabkan virus

dengue

dan ditularkan

oleh nyamuk

Aedes aegypti

dan

Aedes albopictus

yang ditandai dengan

demam mendadak 2 sampai 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah

atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan di kulit

berupa bintik perdarahan (

petechie

), lebam (

echymosis

), atau ruam

(purpura), kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah,

kesadaran menurun atau renjatan (

shock

).

b.

Alat ukur: lembar isian data dan data rekam medik Puskesmas Sibela,

Manahan, Pucangsawit, Ngoresan, dan Banyuanyar yang berada di

wilayah Kota Surakarta.

c.

Skala pengukuran: nominal.

d.

Satuan: pernah menderita DBD dan tidak pernah menderita DBD.

3.

Variabel Luar Terkendali

Dengan matching:

a.

Usia

1)

Definisi: waktu yang dilalui oleh seorang individu terhitung sejak

dilahirkan.

(45)

commit to user

3)

Skala pengukuran: kategorikal

4)

Satuan: balita (0-5 tahun) anak-anak (>5 – 12 tahun), remaja (>12 –

19 tahun), dan dewasa (>19 – 30 tahun).

b.

Radius tempat tinggal kelompok kontrol dari kasus

1)

Definisi: jarak melingkar (radier) seorang penduduk dari tempat

tinggal seseorang dengan DBD (+).

2)

Alat ukur: lembar isian data.

3)

Skala pengukuran: nominal.

4)

Cara pengendalian: kelompok kontrol diambil dari tetangga atau

penduduk yang tinggal dalam radius ±100 m dari kelompok kasus.

c.

Penggunaan abate

1)

Definisi: penggunaan insektisida golongan organofosfat temefos

yang biasanya ditaburkan ke dalam bak mandi dalam bentuk bubuk.

2)

Alat ukur: lembar isian data.

3)

Skala pengukuran: nominal.

4)

Cara pengendalian: kedua kelompok baik kelompok kasus maupun

kelompok kontrol tidak menggunakan bubuk abate.

Dengan Analisis:

a.

Warna TPA

1)

Definisi: warna dari bahan yang digunakan untuk bak mandi.

(46)

commit to user

3)

Skala pengukuran: nominal.

4)

Satuan: terang dan gelap.

G.

Instrumen Penelitian

1.

Informed consent

: suatu pernyataan yang berisi izin atau persetujuan

kepada peneliti baik untuk melakukan penelitian maupun untuk mendapat

informasi yang berkaitan dengan penelitian, setelah orang yang

bersangkutan mendapatkan penjelasan secukupnya.

2.

Lembar isian data: lembar yang berisi daftar pertanyaan dan beberapa data

diri yang harus dijawab dan diisi oleh responden. Dalam penelitian ini,

lembar isian data akan diisi oleh responden yang ditunjuk sebagai sampel,

sedangkan apabila sampel adalah anak-anak maka akan diisikan oleh

penulis dengan teknik wawancara.

3.

Checklist

: merupakan lembar pengamatan berupa pernyataan yang

pengisiannya dilakukan dengan memberi tanda centang pada tempat yang

sudah disediakan. Dalam penelitian ini,

checklist

akan diisi oleh penulis

dengan mengadakan observasi langsung di tempat tinggal sampel.

4.

Data sekunder (rekam medik) mengenai Demam Berdarah

Dengue

dari

Puskesmas Sibela, Manahan, Pucangsawit, Ngoresan, dan Banyuanyar

(47)

commit to user

H.

Cara Kerja

1.

Peneliti datang ke Puskesmas Sibela Surakarta untuk meminta izin

penelitian.

2.

Peneliti meninjau lokasi penelitian dan menentukan sampel yang akan

diambil.

3.

Peneliti menentukan sampel kelompok kasus dengan cara meminta data

sekunder (rekam medik) Puskesmas Sibela, Manahan, Pucangsawit,

Ngoresan, dan Banyuanyar tahun 2010- 2012 terkait dengan kejadian

DBD.

4.

Peneliti menentukan sampel kelompok kontrol dengan cara melakukan

matching

berdasarkan variabel umur, tingkat pengetahuan, penggunaan

abate dan radius tempat tinggal kontrol dengan kelompok kasus DBD (+).

5.

Melakukan wawancara dan observasi terhadap responden.

6.

Memasukkan hasil wawancara dan observasi di kuesioner dan

checklist

yang telah dibawa.

7.

Pengolahan dan analisis data.

I.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji

statistik

McNemar Test

dengan program OpenEpi versi 2.0. Taraf

(48)

commit to user

Nilai OR dihitung dengan menggunakan tabel 2x2. Variabel warna keramik

akan dianalisis untuk

mengetahui keberadaannya sebagai faktor

pengganggu, dengan menggunakan uji statistik

Mantel Haenszel

dengan

(49)

commit to user

41

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Oktober 2012. Total sampel

penelitian yang digunakan sebanyak 68 sampel yang berada di Wilayah

Kerja Puskesmas Sibela, Ngoresan, Manahan, Pucangsawit dan

Banyuanyar. Sampel dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok

kontrol dan kelompok kasus. Tiap-tiap kelompok terdiri dari 34 sampel.

Berikut ini disampaikan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam

bentuk tabel.

A.

Karakteristik Sampel Penelitian

Karakteristik Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Tabel 4.1.

Karakteristik sampel penelitian berdasarkan umur dan

jenis kelamin

(50)

commit to user

dengan persentase sebanyak 38,2% kemudian diikuti secara

berurutan dari besar ke kecil, kelompok sampel Balita (32,4%),

remaja (26,5%) dan dewasa (2,9%).

Selain itu berdasarkan tabel di atas, jenis kelamin yang

lebih banyak dijumpai baik dari kelompok kasus maupun kontrol

adalah kelompok sampel yang berjenis kelamin perempuan yakni

sebesar 55,9% dibanding dengan sampel laki-laki yang hanya

sebesar 44,1%.

B.

Analisis Bivariat

Pada tahap ini dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui

hubungan antara variabel bebas (jenis TPA) dan variabel terikat

(kejadian DBD). Uji statistik yang digunakan yaitu

McNemar Test

dengan Confidence Interval (CI) sebesar 95%.

1.

Hubungan antara Jenis TPA dan kejadian DBD

Tabel 4.2.

Analisis

McNemar Test antara Jenis TPA dan

Kejadian DBD

DBD

Tidak DBD

Jumlah

Nonkeramik Keramik

Nonkeramik

7

15

22

Keramik

2

10

12

(51)

commit to user

kontrolnya (tidak DBD) yang keduanya sama-sama menggunakan

jenis TPA nonkeramik, sebanyak 7 buah. Sedangkan jumlah sampel

DBD yang menggunakan jenis TPA nonkeramik, tetapi kontrolnya

(tidak DBD) menggunakan jenis TPA keramik, ditemukan sebanyak

15 buah.

Dari tabel tersebut di atas, juga didapatkan jumlah sampel DBD

dengan kontrolnya (tidak DBD) yang keduanya sama-sama

menggunakan jenis TPA keramik, sebanyak 10 buah. Sedangkan

jumlah sampel DBD yang menggunakan jenis TPA keramik, tetapi

kontrolnya (tidak DBD) menggunakan jenis TPA nonkeramik,

ditemukan sebanyak 2 buah.

Analisis

McNemar Test terhadap hubungan antara jenis TPA

dan kejadian DBD menunjukkan hubungan yang signifikan secara

statistik dengan nilai p sebesar 0,001 (p < 0,05).

Odds Ratio (OR)

sebesar 7,5; dengan CI 95% 1,715 - 32,79.

C.

Analisis Hubungan Jenis TPA dengan Kejadian DBD setelah

Mengendalikan Warna TPA

Gambar

Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Penelitian...............................................
Tabel 4.1. Karakteristik sampel penelitian berdasarkan umur dan
Tabel 4.2. Analisis McNemar Test antara Jenis TPA dan
Tabel 4.3. Analisis perhitungan OR Mantel Haenszel dengan
+3

Referensi

Dokumen terkait

61 Kondisi optimal dengan penambahan dua teller dapat diketahui dari adanya penurunan waktu tunggu dari 22 menit 2 detik menjadi 5 menit 16 detik setelah

Sedangkan penggunaan darah donor sebanyak 6%,7% dan 8% tidak disarankan untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus karena zona hemolisa dan warna koloni berbeda dengan

Begitu juga peralihan kekuasaan dari satu khalifah ke khalifah yang lain semasa banyak sahabat masih hidup, sehingga menjadi Ijma' shahabat bahwa boleh menggunakan beberapa uslub

Desain modifikasi ovate pontic dengan menggunakan bahan methacrylate-based composite resin secara direk merupakan pilihan tepat untuk mendapatkan hasil estetik

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Kualitas Pelayanan Dan Kepuasan Terhadap Loyalitas Pelanggan Restoran Ayam Resto Colomadu. Sampel dalam penelitian

Diagram menu ini menggambarkan menu awal pada aplikasi dimana saat pertama kali user membuka aplikasi, maka aplikasi akan menampilkan opening atau pembuka dengan

Agregat kasar adalah agregat dengan besar butir lebih dari 4,75 mm. Agregat kasar juga disebut kerikil, batu pecah, ataupun split. Adapun syarat-syarat halus yang