• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Rezim Extraterritorial Jurisdiction dalam Hukum Siber di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Penerapan Rezim Extraterritorial Jurisdiction dalam Hukum Siber di Indonesia"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

104

PENERAPAN REZIM EXTRATERRITORIAL

JURISDICTION DALAM HUKUM SIBER DI

INDONESIA

Purna Cita Nugraha

Abstract

The application of positive law in Indonesia particularly Article 2 of the Information and Electronic Transaction Law, in which extraterritorial jurisdiction of national law is applied against other countries, will definitely create problems when it comes face to face with other jurisdictions. In order to overcome the obstacles in implementing the aforesaid article, Indonesia has to carry out international cooperations through agreements or other forms of international cooperations. International cooperations can also be done in the form of the formulation of norms or international principles that can later be recognized as customary international law.

Keywords: cyberspace, extraterritorial jurisdiction, and international cooperation.

A. LATAR BELAKANG

Kehidupan modern meningkatkan ketergantungan pada

infrastruktur-infrastruktur yang saling terhubung dan bergantung satu

sama lain. Sementara sektor-sektor seperti pangan, air, kesehatan dan

transportasi dan infrastruktur yang mendukung sektor-sektor tersebut

merupakan suatu yang sifatnya sangat penting dan kritis,

kemampuannya untuk menghubungkan terdapat pada Teknologi

Informasi dan Komunikasi (TIK) yang merupakan komponen penting

(2)

JURNAL OPINIO JURIS

105

Ruang siber yang merupakan keseluruhan dari

komponen-komponen tersebut di atas kadang dikategorikan sebagai sektor

tersendiri, yang pada praktiknya sangat berkaitan dengan sektor-sektor

lain, sama seperti sektor energi dan transportasi yang tidak dapat begitu

saja dipisahkan. Ruang siber dapat diilustrasikan sebagai lapisan tipis

atau sistem syaraf yang menghubungkan sektor-sektor yang lain

sehingga membuat sektor-sektor lain dapat saling berkomunikasi dan

berfungsi. 251

Seiring terjadinya globalisasi, kemajuan di bidang teknologi

informasi seperti lahirnya internet yang menciptakan ruang siber

diharapkan memberi manfaat yang seluas-luasnya bagi kesejahteraan dan

kelangsungan hidup manusia. Namun demikian, manfaat tersebut diikuti

juga dengan munculnya berbagai jenis tindak kejahatan baru dengan

memanfaatkan teknologi yang ada saat ini. Di satu sisi, internet

merupakan suatu ruang yang dapat memungkinkan para penggunannya

beraktivitas di dalamnya, namun di sisi lain internet juga berfungsi

sebagai media bagi para penggunanya untuk membantu aktivitas dan

kegiatannya.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Marty Natalegawa

menyampaikan bahwa:

“the impact of the cyber world on every aspect of human life is

enormous. At every moment of the day, informastion floods from all

(3)

106

directions at immense speed. While the cyber space provides convenience to our life, it also comes with its own challanges. Indeed, we are confronted by paradoxes. It provides vast opportunities for all nations. Yet, in the wrong hands, it can be an instrument of crimes

and discord.”252

Globalisasi merupakan akibat dari pengembangan teknologi yang

membuat hubungan komunikasi antar individu dan bahkan komunikasi

antar negara menjadi lebih mudah, dan sebaliknya, hal itu

mengakibatkan meningkatnya juga aktivitas rutin. Dampaknya bertolak

belakang dari berbagai kepentingan yang statis di masa lalu dan berubah

pada saat ini sehingga bergerak menuju suatu pengaturan yang bersifat

universal untuk memenuhi kebutuhan manusia secara global. 253

Pada praktiknya, meningkatnya penggunaan teknologi akan

membawa banyak kejutan yang harus direspon oleh hukum. Dengan kata

lain, peningkatan tersebut akan mengakibatkan permasalahan hukum.

Hal tersebut terlihat dari paparan sebagai berikut :

“This increase of technology utility will bring more surprise which should be responded in the field of law. In another word, it will result

in law problems.”254

252 Statement by H.E. DR. R. Marty. M. Natalegawa, Minister for Foreign Affairs of the Republic of Indonesia, at the Seoul Conference on Cyberspace, Seoul, 17 October 2013

253 Lihat Jeane Neltje Saly, Globalization, Law Enforcement and Cyber Crime in National Law System, Indonesia Law Journal Vol. 2 No. 2, National Law Development Agency, Mininstry of Law and Human Rights, Jakarta, 2007, hlm. 18

(4)

JURNAL OPINIO JURIS

107

Aturan hukum yang ada seringkali tidak cukup untuk

mengakomodasi kegiatan atau aktivitas pemanfaatan informasi dan

teknologi. Misalnya saja, hukum pidana belum mampu menampung

kebutuhan akan perlunya alat bukti tindak pidana siber atas tindak

pidana yang terkait dengan komputer (computer-related crimes).

Permasalahan hukum selalu terkait dengan masalah-masalah lain

di luar hukum. Di bidang yang sangat pesat perkembangannya seperti

teknologi dan informasi, meningkatnya pemanfaatan teknologi informasi

merupakan salah satu aspek yang mempercepat globalisasi yang

kemudian ditandai dengan memudarnya batas-batas antar Negara. Oleh

karena itu, untuk mempertahankan agar suatu Negara tetap tertib

sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, maka hukum

harus berfungsi sebagai pedoman dalam menyeimbangkan kepentingan

nasional dan internasional.

Internet sebagai bentuk kemajuan teknologi informasi,

memungkinkan para pemakainya melewati batas yurisdiksi negara

masing-masing. Masalah yurisdiksi di internet erat kaitannya dengan

masalah penegakan hukum di tiap-tiap negara. Sebagai dunia tanpa

batas, penerapan yurisdiksi di internet bukan hal yang mudah. Perlu ada

(5)

108

tersebut. Yurisdiksi suatu negara sebagaimana kita ketahui selama ini,

dapat dikembangkan dan dipergunakan di dunia tanpa batas.255

Salah satu yurisdiksi yang terdapat dalam peraturan perundangan

atau hukum nasional Indonesia adalah yurisdiksi ekstrateritorial

(extraterritorial jurisdiction). Yurisdiksi ekstrateritorial berbicara mengenai

kemampuan hukum dari suatu negara untuk melaksanakan

kedaulatan/kewenangannya di luar wilayahnya.

Pada tataran implementasi, penerapan prinsip yurisdiksi

ekstrateritorial tentu akan menemui sejumlah hambatan, terutama apabila

berhadap-hadapan dengan yurisdiksi Negara lain. Prinsip yurisdiksi

ekstrateritorial mungkin tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena

suatu negara pada kenyataannya tidak dapat melaksanakan

kekuasaannya di wilayah negara lain walaupun mempunyai yurisdiksi

atas suatu perbuatan hukum, subjek/objek hukum, dan kepentingan

hukum tertentu.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, masalah yang hendak

dikaji adalah sebagai berikut :

(6)

JURNAL OPINIO JURIS

109

Apakah terdapat kendala dalam penerapan hukum positif

khususnya rezim extraterritorial jurisdiction di Indonesia saat ini?

C. PENERAPAN PRINSIP EXTRATERRITORIAL JURISDICTION

OLEH INDONESIA

Yurisdiksi negara untuk mengatur ruang siber meliputi yurisdiksi

legislatif, yurisdiksi eksekutif, dan yurisdiksi yudikatif pada tataran

konseptual dapat diterapkan dalam konteks ekstrateritorial. Pada intinya

prinsip-prinsip yurisdiksi tersebut didesain untuk mengatur penentuan

yurisdiksi, misalnya dalam hal di mana dan kapan suatu Negara

mempunyai kewenangan untuk membentuk hukum terkait dengan

subyek-subyek/masalah-masalah yang bersifat ekstrateritorial.

Dalam tataran pembentukan hukum (jurisdiction to prescribe),

suatu negara dimungkinkan dan mempunyai kewenangan untuk

membuat serta menetapkan yurisdiksi terhadap hal-hal yang bersifat

ekstrateritorial. Namun, dalam konteks pemberlakuannya, perlu diuji

lebih lanjut apakah akan melanggar kedaulatan negara lain atau tidak.

Yurisdiksi negara untuk membentuk hukum yang bersifat

ekstrateritorial terdiri dari 3 (tiga) jenis yurisdiksi, yaitu: 1) yurisdiksi atas

subjek ektrateritorial saja, misalnya Section 46 Competition Act Kanada

yang melarang perjanjian monopoli yang dibuat di luar wilayah Kanada

oleh perusahaan-perusahaan Kanada; 2) yurisdiksi atas perorangan

secara ekstrateritorial saja, misalnya Section 477.1 the Criminal Code

(7)

110

di laut oleh Warga Negara Kanada maupun orang asing; 3) Yurisdiksi

atas perbuatan-perbuatan secara ekstrateritorial oleh aktor/pelaku

ekstrateritorial, misalnya the Crimes Against Humanity and War Crimes Act

khususnya Sections 6 dan 8 pada pelanggaran di luar wilayah Kanada dan

di luar yurisdiksi dari pelaku. 256

Membentuk hukum atau pengaturan yang bersifat ekstrateritorial

bukanlah merupakan suatu pelanggaran atau hal yang ilegal dalam

hukum internasional. Pada hakikatnya, dasar yang tegas bagi penerapan

jurisdiction to prescribe diperlukan untuk menjustifikasi “infringement of

sovereignty” atau pelanggaran kedaulatan yang diatur dalam peraturan atas ruang siber misalnya konten internet. Sebagaimana yang dinyatakan

oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam

opininya dalam Kasus Lotus (Lotus Case), bahwa suatu negara tidak boleh

melaksanakan kedaulatannya dalam bentuk apapun di dalam wilayah

negara lain dan yurisdiksi tidak dapat dilakukan oleh negara tersebut di

luar wilayahnya kecuali dengan suatu aturan yang memperbolehkannya

yang diperoleh dari kebiasaan internasional atau dari suatu konvensi. 257

Pada hakikatnya, permasalahan baru ada ketika negara

menegakkan atau melaksanakan hukumnya secara ekstrateritorial.

256 Lihat Steve Coughlan, et.al, Global Reach, Local Grasp: Constructing Extraterritorial Jurisdiction in the Age of Globalization, Dalhousie Law School, Prepared for the Law Commission of Canada, 2006, hlm.15

(8)

JURNAL OPINIO JURIS

111

Apabila suatu negara tidak menegakkan atau melaksanakan hukum yang

telah ditetapkannya tersebut maka sebenarnya secara praktis hal itu tidak

akan menimbulkan persoalan. Namun akan sangat tidak bijak apabila

suatu negara tidak mampu memetakan yurisdiksi preskriptifnya

(prescriptive jurisdiction) secara ekstrateritorial, misalnya dengan melihat

di mana Indonesia berniat dan mempunyai potensi serta kapasitas untuk

melakukan penegakan hukum terhadap hukum yang telah Indonesia

tetapkan.

Dalam hal ini kriteria yang diberikan oleh Mahkamah

Internasional dalam menerapkan yuridiksi negara secara ekstrateritorial

terhadap negara lain adalah adanya: 1) permissive rule yang berasal dari

kebiasaan internasional (international costumary law); dan 2) permissive rule

yang berasal dari suatu konvensi.

Pada konteks pelaksanaannya oleh Indonesia, pembentukan rezim

ekstrateritorial khususnya dalam hukum siber terdapat pada Pasal 2

Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE), sebagai berikut:

“Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.”258

(9)

112

Pada penjelasan Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa Undang-Undang ini

memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan

hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara

Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di

luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara

Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia

maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia,

mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik

dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal.259

Dalam tataran pembentukan hukum (jurisdiction to prescribe),

Indonesia tentu mempunyai kewenangan untuk membuat serta

menetapkan yurisdiksi terhadap hal-hal yang bersifat ekstrateritorial

dalam hukum sibernya. Namun, tentu saja masih belum jelas dalam

konteks penegakannya karena perlu diuji lebih lanjut apakah akan

melanggar kedaulatan negara lain atau tidak.

Selain itu, permasalahan baru muncul ketika Indonesia berniat

untuk menegakkan atau melaksanakan Pasal 2 UU ITE tersebut secara

ekstrateritorial terhadap Negara lain. Penegakan secara unilateral oleh

Indonesia dapat dipastikan akan mengalami hambatan ketika

berhadap-hadapan dengan yurisdiksi negara yang lain. Oleh karena itu, penegakan

(10)

JURNAL OPINIO JURIS

113

Pasal 2 UU ITE terhadap wilayah negara lain ataupun di luar wilayah

Indonesia tersebut dirasa akan sangat lemah.

Untuk itu, dalam tataran proses pembentukan, Pasal 2 UU ITE ini

sebenarnya belum selesai dikonstruksikan legislasinya oleh Indonesia.

Hal ini karena Pasal 2 UU ITE membutuhkan pembentukan suatu rezim

hukum baru agar dapat berlaku secara efektif. Sesuai dengan Pendapat

Hukum Mahkamah Internasional dalam Kasus Lotus (Lotus Case), rezim

hukum baru yang dimaksud di sini adalah hukum kebiasaan

internasional (international customary law) dan konvensi ataupun

perjanjian internasional.

Dalam rangka mengatasi hambatan yurisdksi dalam penegakan

Pasal 2 UU ITE tersebut, Indonesia memiliki yurisdiksi untuk

mengadakan kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian

internasional atau bentuk lain dengan negara (perjanjian bilateral) atau

negara-negara lain (perjanjian regional dan multilateral) lingkup ruang

siber. Kerja sama internasional tersebut juga dapat dilakukan dalam

bentuk perumusan norma-norma atau prinsip-prinsip internasional yang

nantinya dapat berfungsi sebagai international customary law.

Gagasan mengenai kerja sama internasional ini sekali lagi secara

tegas dinyatakan oleh Marty Natalegawa di Seoul Conference on

Cyberspace, Seoul, pada tanggal 17 Oktober 2013, sebagai berikut:

(11)

114

instead of marginalization of world citizens. That will promote democracy and tolerance instead of extremism and hatred. And that will strenghten cooperation and collaboration instead of confrontation and rivalry. In this regard, Indonesia believes such norms and principles must be developed through the United Nations.”260

Menurut Jonathan Zittrain261, dalam menjawab pertanyaan dalam

wawancara secara online dengan penulis mengenai kemungkinan

pengembangan/pembentukan rezim yurisdiksi ektrateritorial untuk

menegakkan hukum siber dari satu negara terhadap negara lain dengan

menggunakan perjanjian internasional, Zittrain menyatakan bahwa hal

tersebut mungkin dilakukan, namun hal tersebut akan sangat lambat

prosesnya karena berbagai kepentingan politis. Zittrain memberikan

contoh Rusia yang mempunyai maksud untuk memiliki suatu kerangka

hukum untuk menyerahkan informasi hasil identifikasi dari pihak-pihak

yang terlibat dalam tindak pidana siber dari wilayahnya, atau bahkan

mungkin mempertimbangkan opsi ekstradisi, namun tentu Pihak Rusia

menginginkan hal yang sama dari negara lain, misalnya Amerika Serikat,

dan pengertian mengenai tindak pidana antara satu negara dengan

negara lain akan sangat berbeda. Idealnya, kita dapat memikirkan opsi

260 Marty Natalegawa, op.cit.

(12)

JURNAL OPINIO JURIS

115

lain seperti membuat sistem finansial perbankan kita menjadi lebih kuat,

sehingga tingkat kriminalitas dapat diturunkan, atau dampak dari tindak

pidana tersebut tidak terlalu besar. Akan lebih mudah misalnya mengatur

dan memverifikasi rating dari kredit seseorang.262

Lebih lanjut Zittrain menyampaikan bahwa dalam membentuk

suatu perjanjian internasional dalam hukum siber, masalah akan muncul

dari hal-hal yang detail yang perlu diatur. Zittrain dapat melihat adanya

kemungkinan pembentukan rezim internasional dalam bentuk perjanjian

internasional seperti ektradisi dan lain sebagainya, namun sulit untuk

membayangkan penerapan perjanjian internasional dan memberlakukan

ekstradisi untuk semua hal. Zittrain menyatakan bahwa hal tersebut

hanya dapat dimungkinkan untuk kasus-kasus prioritas saja. Selanjutnya

disampaikan bahwa kebijakan akan tergantung dari bentuk

persoalannya, apakah sesuatu yang akan berdampak besar, di mana

sejumlah penuntutan akan membuat perubahan besar (where a few

well-placed prosecutions can make a dent), ataukah hanya upaya yang tidak

262 Hasil wawancara secara online dengan Prof. Jonathan L. Zittrain pada tanggal 23 Juli 2013 melalui sebuah thread di Facebook.com yang disponsori oleh Berkman Center for Internet & Society, Harvard University. Pada kesempatan tersebut Jonathan Zittrain akan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar cyber security dan Internet governance secara real time dari para penanya termasuk pertanyaan penulis. Dapat diakses melalui https://www.facebook.com/BerkmanCenter. Question : What about in matters related to cyber crime such as hacking, carding, etc? Do you think

it’s possible to use extraterritorial jurisdiction to adjudicate the person from other state? And can we

combine it with extradition treaty bilaterally to make it enforcable?

Answer : Possible, just that the gears turn slowly. The Russians, for example, may be game to have a framework for turning over identifiying information of those engaging in internet-based crime from their turf, or even extradition, but they’ll want the same from, say, the US—and qour definitions of crime may vary greatly. Ideally, we could have financial systems be more resilient, so that the crime level dreps overall, or the impact of crime is felt less harshly. It should be easier to manage and verify

(13)

116

menimbulkan efek perubahan besar (more like fish in the ocean). Hal

pertama yang harus dilakukan adalah menentukan pelanggaran/tindak

pidana yang akan diatur.263

Dapat disimpulkan dari pendapat Zittrain di atas bahwa pada

prinsipnya terdapat kemungkinan pembentukan rezim yurisdiksi

ekstrateritorial dalam hukum siber melalui perjanjian internasional,

namun masalah yang akan dihadapi adalah pengaturan-pengaturan yang

bersifat detail di dalamnya termasuk penentuan pelanggaran/tindak

pidana yang akan diatur.

Dalam rangka penentuan pengaturan detail terkait apa-apa saja

yang hendak diatur dalam suatu perjanjian internasional baik bilateral

maupun internasional dan internasional sebenarnya dapat mengacu pada

perjanjian internasional atau konvensi yang telah ada untuk dijadikan

sebagai patokan. Terkait dengan penentuan pelanggaran yang akan

diatur, Convention on Cybercrime 2001 telah menentukan sebagai berikut:

263 Ibid.

Question : so, you would suggest pre-emptive and preventive action by technical arrangements on this particular matters? Say Indonesia, Malaysia, and Singapore both has the same rules and principles on extraterritorial jurisdiction to prosecute internet-based crime, the only obstacle is the

sovereignty of each sountry to willingly hand over the offender. I think it’ll be the best way if

somehow these countries have their own extradition treaty that include internet based crime to

possibly enforce the extraterritorial jurisdiction considering there’s no international regime regarding

this matter.

Answer: The devil will be in details—I could see something working here, but it’s hard to imagine invoking the treaty and performing an extradition for all but the most high priority defendants. So the

wisdom of this will depend, in part, by a sense of the shape of the problem: is it something that’s

(14)

JURNAL OPINIO JURIS

117

“whereas, the Council of Europe in Convention on Cybercrime has devided the types of cybercrime into some classifications as follow: 1) illegal access; 2) illegal interception; 3) data interference; 4) system interference; 5) misuse of devices; 6) computer-related forgery; 7) computer-related fraud; offences related to child pornography; 8) offences related to infringements of

copyright and related rights.”264

Selain itu, dalam tataran legislasi, Convention on Cybercrime 2001

menawarkan langkah-langkah kebijakan kriminalisasi hukum pidana

(substantive criminal law measure), hukum acara (procedural law), dan

tentunya kerja sama internasional (international cooperation) yang dapat

juga diikuti dalam pembentukan hukum siber.

Langkah-langkah kebijakan kriminalisasi pidana (substantive

criminal law measure) yang diatur meliputi pelanggaran terhadap

kerahasiaan atau privasi (offences against the confidentiality), integritas dan

ketersediaan sistem serta data komputer (misalnya akses ilegal, intersepsi

ilegal, data interference, dan penyalahgunaan komputer), computer-related

offences (seperti computer-related forgery dan computer-related fraud),

content-related offences (seperti pornografi anak), dan pelanggaran Hak Kekayaan

Intelektual.265

264 Ahmad M. Ramli, The Urgency of Ratification of Convention on Cybercrime, Indonesia Law Journal Vol. 2 No. 2, National Law Development Agency, Mininstry of Law and Human Rights, Jakarta, 2007, hlm. 2

(15)

118

Hukum acara atau prosedur untuk menegakkan hukum pidana

seperti langkah-langkah yang lebih efektif untuk melakukan investigasi

atau penyelidikan tindak pidana siber yang meliputi expedited preservation

of stored computer data, pengungkapan arus data secara parsial, production

orders, penggeledahan dan penyitaan data komputer yang disimpan,

penyadapan secara real-time terhadap arus data dan konten.

Langkah-langkah prosedural tersebut dapat diaplikasikan terhadap perbuatan

yang dilakukan dengan sistem komputer, dan pengumpulan alat bukti

(proses penyidikan) secara umum, serta kondisi dan pengaturan tersebut

dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang (abuse of

powers).266

Bentuk kerja sama internasional yang ditentukan dalam

Convention on Cybercrime 2001 meliputi prinsip-prinsip umum (general

principles) seperti ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, informasi

sukarela (spontaneous information) dan langkah-langkah tertentu seperti

akses terhadap trans-border data komputer yang tersimpan, bantuan

timbal balik terhadap pengumpulan arus data secara real time, bantuan

timbal balik terhadap penyadapan data konten, point of contact selama 24

jam dalam 7 hari, dan lain sebagainya.267

Dari paparan-paparan tersebut di atas dapat diperoleh

pemahaman bahwa terdapat banyak manfaat dari keikutsertaan suatu

(16)

JURNAL OPINIO JURIS

119

negara dalam konvensi tersebut. Bagi Indonesia, tentu saja urgensi untuk

ikut serta dan melakukan aksesi terhadap Convention on Cybercrime 2001

dilakukan agar nantinya Pasal 2 UU ITE yang mengatur mengenai

prinsip ekstrateritorial dapat dijalankan secara efektif. Namun, untuk

mengaksesi Convention on Cybercrime 2001, suatu negara harus melakukan

harmonisasi pengaturan tindak pidana siber dalam hukum nasionalnya

dengan konvensi tersebut.

Untuk itu, Pemerintah sedang menyusun Rancangan Undang

Undang tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi (RUU TIPITI) yang

mengatur secara khusus mengenai tindak pidana siber, mengingat masih

ada tindak pidana yang tidak tercakup dalam UU ITE.

Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya bahwa

pembentukan prinsip ekstrateritorial digunakan untuk mengontrol atau

mempengaruhi tingkah laku negara-negara lain. Dalam kaitan ini,

langkah-langkah didesain sedemikian rupa untuk memberikan jangkauan

secara ekstrateritorial dengan mempengaruhi tindakan-tindakan dari

negara-negara lain. Tindakan untuk mengontrol atau mempengaruhi

tingkah laku negara-negara lain ini juga dilakukan oleh Dewan Eropa

sebagai penggagas dari Convention on Cybercrime 2001. Hal ini terlihat dari

“persuasive power” dari konvensi tersebut yang menyaratkan bahwa untuk mengaksesi Konvensi Dewan Eropa 2001 tersebut, suatu negara terlebih

dahulu harus melakukan harmonisasi pengaturan tindak pidana siber

(17)

120

menyesuaikan norma-norma/aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam

konvensi tersebut.

Dalam hal ini, walaupun konvensi tersebut bersifat terbuka,

konvensi yang dihasilkan dari bentuk paham regionalisme atau kawasan

tertentu cenderung akan mendapatkan resistensi khususnya dari

negara-negara dari kawasan yang berbeda. Sehingga suatu keniscayaan bahwa

konvensi yang dapat diterima oleh semua kalangan adalah

konvensi/traktat/perjanjian internasional yang dihasilkan oleh forum

multilateral atau dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Di tingkat multilateral atau PBB sendiri, Indonesia bersama Brazil

dan Jerman sedang memperkenalkan suatu resolusi yang diberi nama UN

Resolution on the Right to Privacy in the Digital Age. Upaya ini dilakukan

untuk menegaskan peran PBB dalam merespon merebaknya tindak

penyadapan dan mata-mata melalui internet dan telekomunikasi oleh

Amerika Serikat yang dibeberkan oleh Edward Snowden.

Rancangan resolusi PBB tersebut pada intinya mengajak

negara-negara Anggota PBB untuk : 1) menghormati dan melindungi hak privasi,

termasuk dalam konteks komunikasi digital; 2) untuk mengambil

langkah-langkah terukur dalam mengakhiri pelanggaran-pelanggaran

terhadap hak-hak tersebut dan menciptakan kondisi-kondisi untuk

mencegah pelanggaran tersebut, termasuk menjamin aturan-aturan

nasional sesuai dengan kewajibannya sesuai dengan Hukum

Internasional mengenai HAM; 3) mereview prosedur, praktik, dan

(18)

JURNAL OPINIO JURIS

121

pengumpulan data secara personal, termasuk pengawasan komunikasi

secara masal, penyadapan dan pengumpulan data dengan

memperhatikan penghormatan terhadap hak-hak privasi dengan

menjamin implementasi dari seluruh kewajibannya pada hukum

internasional tentang HAM; 4) membentuk atau mempertahankan

mekanisme internal yang mandiri dan efektif dalam menjamin

transparansi dan akuntabilitas bagi pengawasan komunikasi oleh negara,

serta penyadapan dan pengumpulan data personal/individu yang

dilakukan oleh negara. 268

Untuk itu, selain melakukan harmoniasi hukum nasional terhadap

Convention on Cybercrime 2001, perlu kiranya dipikirkan alternatif lain

bagi pembentukan rezim internasional dalam rangka penerapan prinsip

ekstrateritorial. Alternatif lain yang perlu dipertimbangkan pada konteks

pembentukan hukum siber adalah pembentukan norma-norma dan

prinsip-prinsip tingkah laku dalam bentuk international customary law.

Dalam hal ini, ASEAN melalui mekanisme ASEAN Regional Forum

(ARF) sebagai suatu forum dialog dan konsultasi di bidang politik dan

keamanan di kawasan sudah mulai membahas isu-isu yang terkait

dengan keamanan siber dan membentuk work plan on cyber security.

Diharapkan pembentukan work plan on cyber security tersebut pada

akhirnya akan melahirkan suatu rezim internasional dalam waktu dekat

sehingga Anggota ARF dan wilayahnya akan memiliki soft law sendiri

(19)

122

yang berkaitan dengan masa depan internet dan keamanan siber. Hasil

dari ARF dapat berupa resolutions, declarations, statements, principles,

objectives, declarations of principles, guidelines, standards, or action plans dan

memiliki morally binding power bagi Negara-Negara Anggota ARF.

Selanjutnya, alternatif lain dalam membentuk rezim internasional

untuk dapat menerapkan dan memberlakukan Pasal 2 UU ITE secara

efektif adalah dengan mekanisme pembentukan perjanjian bilateral.

Dalam hal ini perjanjian bilateral tersebut dapat mengatur 3 (tiga)

kewenangan secara ekstrateritorial, yaitu: 1) bantuan timbal balik dan

kerja sama terhadap bidang-bidang tertentu secara ekstrateritorial,

sebagai contoh dari perjanjian ini adalah bantuan hukum timbal balik; 2)

kewenangan ekstrateritorial secara resiprokal, misalnya operasi gabungan

antar dua negara; 3) kewenangan ekstrateritorial secara bersama,

misalnya dalam bentuk pendirian komisi bersama serta pendirian liason

office dan liasion officer.

Contoh perjanjian bilateral yang mengatur ketiga kewenangan

secara ekstrateritorial seperti tersebut di atas adalah Memorandum of

Understanding between The Government of The Republic of Indonesia and The

Government of Australia on Combating Transnational Crime and Developing

Police Cooperation Tahun 2008 (MoU 2008) dan Arrangement between The

Indonesian National Police and The Australian Federal Police on Cooperation in

Preventing and Combating Transnational Crime Tahun 2011 (Arrangement

(20)

JURNAL OPINIO JURIS

123

Kedua perjanjian tersebut merupakan perjanjian pelaksana dari

Agreement between The Republic of Indonesia and Australia on The Framework

for Security Cooperation, yang disebut dengan Perjanjian Lombok atau

Lombok Treaty. Lombok Treaty telah disahkan oleh Indonesia melalui

Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Perjanjian

antara Republik Indonesia dan Australia Tentang Kerangka Kerja Sama

Keamanan (Agreement betweenThe Republic of Indonesia and Australia on The

Frameworkfor Security Cooperation).

Salah satu lingkup kerja sama prioritas yang diatur baik oleh MoU

2008 maupun Arrangement 2011 adalah tindak pidana siber. Hal ini

terlihat dari Paragraph 6 MoU 2008 sebagai berikut:

“Paragraph 6 MoU: Priority Crime Types, Priority criminal issues

under this MoU will include but are not limited to: 1) terrorism; 2) illicit trafficking in narcotics drugs and psychotropic substances and their precursors; 3) people smuggling and trafficking in persons; 4) transnational child exploitation; 5) money laundring and proceeds of crime action; 6) cyber crimes; 7) arms smuggling; 8) transnational economic crimes; 9) corruption; 10) environmental crime; 11) illegal fishing; 12) intellectual property crime; 13) identity crime; 14) sea piracy; and 15) other types of crime if deemed necessary by

both Parties.”269

Dan diatur juga pada Paragraph 3 Arrangement 2011, sebagai

berikut:

“Paragraph 3: Scope of Cooperation, The Participants will cooperate in: Preventing and combating transnational crimes, in particular acts relating to:

(21)

124

terrorism, people smuggling, trafficking in persons, money laundering, corruption, illegal fishing, illegal mining, illegal logging, cyber crimes, child exploitation, economic crime, intellectual property crime, illicit trafficking in narcotic drugs and psychotropic substances and their precursors, illicit

trafficking in arms, ammunition, explosives and other dangerous materials and the illegal production thereof other types of crimes if deemed necessary by both

Participants.”270

Kedua perjanjian tersebut baik MoU 2008 maupun Arrangement

2011 mengatur baik mengenai bantuan timbal balik dan kerja sama

terhadap bidang-bidang tertentu secara ekstrateritorial, kewenangan

ekstrateritorial secara resiprokal, dan kewenangan ekstrateritorial secara

bersama. Sebagai contoh baik MoU 2008 maupun Arrangement 2011

mengatur mengenai bentuk-bentuk kerja sama yang bersifat

ekstrateritorial, yaitu: 1) kerja sama dan koordinasi operasi dan intelijen

serta pertukaran informasi untuk keperluan penegakan hukum; 2) operasi

bersama (joint operational activities); 3) pembentukan atau penempatan

Liason Offices dan/atau Liason Officers di kedua Negara; 4) pengembangan

kapasitas seperti peningkatan kapasitas institusional, organisasi, sumber

daya manusia, dan peralatan.271

Terkait dengan pembentukan atau penempatan Liason Offices

dan/atau Liason Officers di kedua negara, hal ini telah direalisasikan

270 Lihat Paragraph 3: Scope of Cooperation, Arrangement Between The Indonesian National Police And The Australian Federal Police On Cooperation In Preventing And Combating Transnational Crime Tahun 2011

(22)

JURNAL OPINIO JURIS

125

dengan pembentukan The Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation

(JCLEC) di Semarang tahun 2004 . Dalam pelaksanaannya, JCLEC akan

berkerja sama dengan dengan badan-badan lain seperti the South East

Asian Regional Centre for Counter Terrorism (SEARCCT) di Kuala Lumpur,

Malaysia dan International Law Enforcement Academy (ILEA) di Bangkok,

Thailand.272

KESIMPULAN

Berdasarkan pada penjelasan bab-bab sebelumnya dapat ditarik

suatu simpulan, yaitu:

Dalam penerapan hukum positif di Indonesia saat ini khususnya Pasal 2

UU ITE tersebut secara ekstrateritorial terhadap negara lain dapat

dipastikan akan mengalami hambatan ketika berhadap-hadapan dengan

yurisdiksi negara yang lain tersebut. Hal ini dikarenakan dalam tataran

proses pembentukan, Pasal 2 UU ITE ini sebenarnya belum selesai

dikonstruksikan legislasinya oleh Indonesia. Hal ini karena Pasal 2 UU

ITE membutuhkan pembentukan suatu rezim hukum baru secara

internasional agar dapat berlaku secara efektif.

Dalam rangka mengatasi hambatan yurisdksi untuk melaksanakan Pasal

2 UU ITE tersebut, Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadakan

(23)

126

kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian internasional atau

bentuk lain dengan negara lain (perjanjian bilateral) atau negara-negara

lain (perjanjian regional dan multilateral). Kerja sama internasional

tersebut juga dapat dilakukan dalam bentuk perumusan norma-norma

atau prinsip-prinsip internasional yang nantinya dapat dianggap sebagai

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian reliabilitas menunjukkan bahwa nilai koefisien reliabilitas dari masing-masing variabel yang digunakan dalam penelitian lebih besar dari pada 0,6,

Dalam ayat tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa ṣalāh merupakan ibadahyang paling utama dalam membentuk akhlāq mulia. Meninggalkan ṣalāh sama sekali mengakibatkan

yaitu untuk produk simpanan ini bisa diambil seaktu-waktu, untuk pembukaan produk simpanan ini cukup dengan setoran awal sebesar Rp 10.000,- (tidak ada biaya administrasi bulanan);

Pada dasarnya, pengakuan anak bisa dilakukan baik oleh ibu maupun bapak, tetapi karena berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Berdasarkan penelitian kedalaman muka air tanah dari sumur pengamatan terlihat bahwa dari sampel sumur yang diambil muka air paling dangkal yaitu 1,53 m di dusun Singkepan dan

Stand Up Comedy adalah bentuk dari seni komedi atau melawak yang dipertunjukkan kepada penonton secara langsung dengan seorang. komedian di atas panggung sebagai

Abdul Mujib dan Mudzakkir Jusuf mengatakan bahwa istilah yang tepat untuk menggambarkan orang-orang yang belajar adalah peserta didik bukan anak didik. 26 Definisi ini

Selanjutnya, dalam sesi wawancara peneliti juga mewawancarai responden lainnya dengan mencari informasi terkait hal yang sama, yaitu untuk mengetahui apakah ada dampak yang