• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas

2.1.1 Pengertian Efektivitas

Pada kamus besar Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai sesuatu

yang ada efeknya (akibatnya,pengaruhnya) dapat diartikan dapat membawa hasil,

berhasil guna serta dapat pula berarti mulai berlaku. Selanjutnya Bahasa Inggris, kata

efektif yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan itu berhasil

dengan baik. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran

yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi.

Organisasi biasanya berada dalam lingkungan yang bergejolak dengan

sumber data yang terbatas. Lingkungan yang berubah-ubah sesuai dengan

perkembangan zaman, perubahan tersebut akan mempengaruhi efektivitas organisasi.

Dalam lingkungan demikian organisasi harus tanggap dan pandai mengantisipasi

perubahan agar organisasi tetap dapat mempertahankan keberadaannya dan dapat

berfungsi maka organisasi itu harus efektif (Thoha, 2007:98).

Efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan. Dalam artian

efektivitas merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output, kebijakan dan prosedur

dari organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pengertian teoritis dan

praktis, tidak ada persetujuan yang universal mengenai apa yang dimaksud dengan

efektivitas. Berbagai pandangan yang dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda

tentang pengertian dan konsep efektivitas dipengaruhi oleh latar belakang dari

keahlian yang berbeda pula.

Hidayat menyatakan efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan

(2)

persentase target yang dicapai, maka semakin tinggi efektivitasnya. Gibson juga

berpendapat efektivitas adalah pencapaian sasaran yang telah disepakati atas usaha

bersama (Ibnu, 2009).

Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, ada empat hal yang merupakan

unsur-unsur efektifitas yaitu sebagai berikut:

1. Pencapaian tujuan, suatu kegiatan dikatakan efektif apabila dapat mencapai tujuan

atau sasaran yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Ketepatan waktu, sesuatu yang dikatakan efektif apabila penyelesaian atau

tercapainya tujuan sesuai atau bertepatan dengan waktu yang telah ditentukan.

3. Manfaat, sesuatu yang dikatakan efektif apabila tujuan itu memberikan manfaat

bagi masyarakat sesuai dengan kebutuhannya.

4. Hasil, sesuatu kegiatan dikatakan efektif apabila kegiatan itu memberikan hasil.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan efektifitas

adalah tercapainya tujuan yang telah di tetapkan. Adanya ketentuan waktu dalam

memberikan pelayanan serta adanya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat

terhadap pelayanan yang diberikan padanya.

Dilihat dari perspektif efektivitas organisasi, Gaertner dan Ramnarayan

mengatakan, efektifitas dalam suatu organisasi bukan suatu benda, atau suatu tujuan,

atau suatu karakteristik dari output atau perilaku organisasi, tetapi cukup suatu

pernyataan dari relasi-relasi di dalam dan di antara jumlah yang relevan dari

organisasi tersebut. Suatu organisasi yang efektif adalah yang dapat membuat

laporan tentang dirinya dan aktivitas-aktivitasnya menurut cara-cara dalam mana

jumlah-jumlah tersebut dapat diterima. Pandangan efektivitas sebagai suatu proses

(3)

Gerakan produktivitas tidak begitu disebabkan oleh dorongan ekonomi. Menjadi

produktif adalah menjadi tanggap secara politik. (Gomes,2003:163).

Unsur yang penting dalam konsep efektivitas adalah; yang pertama adalah

pencapaian tujuan yang sesuai dengan apa yang telah disepakati secara maksimal,

tujuan merupakan harapan yang dicita-citakan atau suatu kondisi tertentu yang ingin

dicapai oleh serangkaian proses. Diketahui bahwa efektivitas merupakan suatu

konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai

keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasarannya atau dapat dikatakan

bahwa efektivitas merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari aktivasiaktivasi yang

telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya.

Pada beberapa literatur ilmiah mengemukakan bahwa efektivitas merupakan

pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari

serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan

lainnya. Efektivitas juga bisa diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam

pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Sebagai contoh jika sebuah tugas

dapat selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah ditentukan, maka cara tersebut

adalah benar atau efektif.

Dalam pengukuran efektifitas terdapat kompetensi pengelolaan

pembelajaran yaitu kemampuan agen pemberdayaan dalam memciptakan proses

belajar kepada masyarakat dalam mengubah perilakunya yaitu meningkatkan

kemampuan, kualitas hidup, dan kesejahteraannya. Melalui belajar masyarakat

diharapkan mampu menguasai dan menerapkan inovasi yang lebih menguntungkan

bagi diri dan keluarganya.

Ada juga kompetisi pengelolaan pelatihan, dalam organisasi kegiatan

(4)

Begitupula dalam kehidupan dimasyarakat seperti petani atau nelayan, kegiatan

pelatihan dan kursus lainnya, atau istilah sejenis lainnya merupakan aspek penting

guna meningkatkan kemampuan mereka menuju peningkatan kualitas hidupnya.

Dalam pelaksanaan pelatihan seringkali dihadapkan dalam permasalahan.

Menurut Rothell (1994 ) ada empat permasalahan dalam pendekatan pelatihan yaitu:

1) kegiatan pelatihan seringkali tidak fokus terutama berkaitan dengan materi yang

diberikan, 2) lemahnya dukungan manajemen, 3)pelatihan kadang tidak

direncanakan dan diselenggarakan secara sistematis, 4) dan materi pelatihan tidak

sesuai dengan kebutuhan ( Oos, 2013: 68- 70).

2.1.2 Pengukuran Terhadap Efektifitas

Pencapaian hasil (efektivitas) yang dilakukan oleh suatu organisasi menurut

Jones (1994) terdiri dari tiga tahap, yakni input, conversion, dan output atau masukan, perubahan dan hasil. Input meliputi semua sumber daya yang dimiliki,

informasi dan pengetahuan, bahan-bahan mentah serta modal. Pada tahap input, tingkat efisiensi sumber daya yang dimiliki sangat menentukan kemampuan yang

dimiliki. Tahap conversion ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, manajemen dan penggunaan teknologi

agar dapat menghasilkan nilai. Tahap ini, tingkat keahlian SDM dan daya tanggap

organisasi terhadap perubahan lingkungan sangat menentukan tingkat

produktifitasnya. Sedangkan dalam tahap output, pelayanan yang diberikan merupakan hasil dari penggunaan teknologi dan keahlian SDM

(http//pengukuran+efektivitas, diakses pada tanggal 13 maret 2014. Pukul 16.00)

Organisasi yang dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara

efisien dapat meningkatkan kemampuannya untuk meningkatkan pelayanan dengan

(5)

tanggal 13 Maret 2014 pukul 16:30). Gomes (2003:209) memberi tipe-tipe kriteria

efektivitas program pelatihan. Suatu program pelatihan bisa dievaluasi berdasarkan:

(1) reactions, (2) learning, (3) behaviors, (4) organizational results. Melalui

reactions (reaksi) dapat diketahui opini dari para peserta mengenai program pelatihan yang diberikan. Proses learning memberikan informasi yang ingin diperoleh melalui penguasaan konsep-konsep, pengetahuan, dan

keterampilan-keterampilan yang diberikan selama pelatihan. Perilaku (behaviors) dari peserta pelatihan, sebelum dan sesudah pelatihan, dapat dibandingkan guna mengetahui

tingkat pengaruh pelatihan terhadap peserta pelatihan. Dampak pelatihan

(organizational results) untuk menguji dampak pelatihan terhadap peserta pelatihan secara keseluruhan dan ketepatan waktu dalam pelaksanaan pelatihan, kualitas dan

kepuasaan dalam pelatihan keterampilan.

2.2 Program Pelatihan Keterampilan Penyandang Cacat

Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada

suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggungjawabnya, atau satu

pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Supaya efektif, pelatihan

biasanya harus mencakup pengalaman belajar (learning experience), aktivitas yang terencana (be a planned organizational activity), dan didesain sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan yang berhasil diidentifikasikan. Secara ideal, pelatihan harus

didesain untuk mewujudkan tujuan-tujuan organisasi, yang pada waktu yang

bersamaan juga mewujudkan tujuan-tujuan dari para pekerja secara perorangan

(Gomes,2003:197).

Pelatihan sering dianggap sebagai aktivitas yang paling dapat dilihat dan

(6)

melalui pelatihan para peserta, dalam hal ini penyandang cacat, akan menjadi lebih

terampil, dan karenanya lebih produktif. Pelatihan lebih sebagai sarana yang

ditujukan pada upaya untuk lebih memberdayakan seseorang yang kurang berdaya

dari sebelumnya, mengurangi dampak-dampak negatif yang dikarenakan kurangnya

pendidikan, pengalaman yang terbatas, atau kurangnya kepercayaan diri dari

penyandang cacat. Keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat

syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya

motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan

kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, siswa yang melakukan gerakan motorik

dengan koordinasi dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak

terampil. Sedangkan Reber (dalam Syah,2005:121) mengatakan, keterampilan adalah

kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi

secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu.

Belajar keterampilan adalah belajar menggunakan gerakan-gerakan motorik

yakni yang berhubungan dengan urat syaraf dan otot-otot/neuromuscular. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmani tertentu. Dalam jenis ini

latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Supaya efektif, pelatihan harus

merupakan solusi yang tepat bagi permasalahan organisasi, yakni bahwa pelatihan

tersebut harus dimaksudkan untuk memperbaiki kekurangan keterampilan. (Syah,

2005:126) Keterampilan bergerak dari yang sangat sederhana ke yang sangat

kompleks. Keterampilan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu psikomotor dan

intelektual. Keterampilan psikomotor antara lain adalah menggergaji, mengecat

tembok, menari, mengetik. Sedangkan keterampilan intelektual ialah memecahkan

(7)

sebenarnya hampir semua keterampilan terdiri atas kedua unsur tersebut. Hanya saja

ada keterampilan yang lebih menonjol unsur psikomotornya sedangkan keterampilan

yang lain lebih menonjol unsur intelektualnya.

Keterampilan merupakan mata pelajaran yang memberikan kesempatan

kepada anak asuh untuk terlibat dalam berbagai pengalaman apresiasi maupun

pengalaman berkreasi untuk menghasilkan suatu produk berupa benda nyata yang

bermanfaat langsung bagi kehidupan mereka. Anak asuh melakukan interaksi dengan

benda-benda produk kerajian dan teknologi yang ada di lingkungannya saat pelatihan

keterampilan, kemudian berkreasi menciptakan berbagai produk kerajinan maupun

produk teknologi, sehingga diperoleh pengalaman konseptual, pengalaman apresiatif

dan pengalaman kreatif. Pembelajaran keterampilan dirancang sebagai proses

komunikasi belajar untuk mengubah perilaku anak asuh cekat, cepat dan tepat

melalui pembelajaran kerajinan, teknologi rekayasa dan teknologi pengolahan

(Sudjana, 1996:17 ).

Perilaku terampil ini dibutuhkan dalam keterampilan hidup manusia di

masyarakat. Melihat uraian tersebut, secara substansi bidang keterampilan

mengandung kinerja kerajinan dan teknologis. Istilah kerajinan berangkat dari

kecakapan melaksanakan, mengolah dan menciptakan dengan dasar kinerja

keterampilan psimotorik. Maka, keterampilan kerajinan berisi kerajinan tangan

membuat benda pakai atau fungsional. Keterampilan teknologi terdiri dari teknologi

rekayasa dan teknologi pengolahan.

Metode pelatihan merupakan bentuk yang dipilih dalam pelatihan-pelatihan

yang menyediakan langsung keterampilan untuk para peserta. Adapun prinsip umum

bagi metode pelatihan harus memenuhi sebagai berikut:

(8)

2. memperlihatkan keterampilan-keterampilan yang diinginkan untuk dipelajari,

3. harus konsisten dengan isi (misalnya, dengan menggunakan pendekatan

interaktif untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan interpersonal),

4. memungkinkan partisipasi aktif,

5. memberikan kesempatan berpraktek dan perluasan keterampilan,

6. memberikan feedback mengenai performansi selama pelatihan,

7. mendorong adanya pemindahan yang positif dari pelatihan ke pekerjaan, dan

8. harus efektif dari segi biaya (Gomes, 2003:208).

Sehingga metode pelatihan tidak terlepas dari pelatihan-pelatihan yang

menyediakan langsung keterampilan untuk peserta. Menjadikan peserta

perilaku-perilaku yang terampil untuk kemandirian diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari

dan dalam hidup bermasyarakat.

2.3 Penyandang Cacat

2.3.1 Pengertian Penyandang Cacat

Istilah “Disabilitas” mungkin kurang akrab di sebagian masyarakat

Indonesia berbeda dengan “Penyandang Cacat”, istilah ini banyak yang mengetahui

atau sering digunakan di tengah masyarakat. Istilah Disabilitas merupakan kata

bahasa Indonesia berasal dari serapan kata bahasa Inggris disability (jamak:

disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Namun, dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, kata “Disabilitas” belum tercantum. Disabilitas adalah istilah baru

pengganti Penyandang Cacat. Penyandang cacat dapat diartikan individu yang

mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual ( 

(9)

Dalam UU RI No. 4 tahun 1977 disebutkan tentang “Penyandang cacat

adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat

mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan

secara selayaknya, yang terdiri dari:

a. penyandang cacat fisik;

b. penyandang cacat mental;

c. penyandang cacat fisik dan mental.

Mengenai hak dan kewajiban penyandang cacat disebutkan bahwa setiap

penyandang cacat mempunyai kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan

dan penghidupan. Sedangkan kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam

aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesbilitas.

Selanjutnya yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan adalah

meliputi antara lain aspek agama, kesehatan, politik, pertahanan keamanan, olahraga,

rekreasi dan informasi yang layak sesuai dengan derajat kecacatan, pendidikan dan

kemampuannya.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997 (tentang

penyandang cacat) Bab II Pasal 6 menyatakan “Setiap penyandang cacat berhak

memperoleh :

1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan

2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan,

pendidikan dan kemampuannya.

3. Perlakuannya yang sama untuk bergerak dalam pembangunan dan menikmati

hasil-hasilnya.

4. Aksesbilitas dalam rangka kemandirian.

(10)

6. Hak yang sama untuk menumbuhkankembangkan, kemampuan dan kehidupan

sosialnya, terutama penandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan

masyarakat.

2.3.2 Jenis-Jenis Penyandang Cacat A. Cacat Tubuh/Kelainan Fisik

Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh

tertentu. Akibat kelainan tersebut timbu suatu keadaan pada fungsi fisik tubuhnya

tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya anggota fisik

terjadi pada:

a. Alat fisik indra, misalnya kelainan pada indra pendengaran (tunarungu),kelainan

pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan pada fungsi organbicara

(tunawicara).

b. Alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, misal lahir tanpa tangan/kaki. Untuk kelainan pada alat motorik tubuh ini dikenal

dalam kelompok tunadaksa.

Penyandang cacat tubuh secara umum memiliki kecenderungan dan

karakteristik sosial psikologis sebagai berikut:

a. Rasa ingin disayang yang berlebihan dan mengarah over protection

b. Rasa rendah diri

c. Kurang percaya diri

d. Mengisolir diri

e. Kehidupan emosional yang labil

(11)

g. Ada perasaan tidak aman

h. Cepat menyerah

i. Kekanak-kanakan (Sumber: Rothman dalam Buku Bimbingan Sosial Bagi

Penyandang Cacat dalamPanti)

Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik penyandang cacat tubuh, meliputi:

a. Faktor bawaan

b. Penyakit

c. Waktu terjadinya kecacatan

d. Perlakuan lingkungan/masyarakat setempat

e. Perlakuan anggota keluarga

f. Iklim dan keadaan alam

g. Ekologi dan tradisi setempat (Sumber: Rothman dalam Buku Bimbingan Sosial

Bagi Penyandang Cacat dalam Panti)

Adapun permasalahan kecacatan yang dialami penyandang cacat dibagi menjadi

masalah internal dan masalah eksternal, yaitu:

a. Masalah Internal

1) Kondisi jasmani

Kecacatan yang disandang seseorang dapat mengakibatkan gangguan

kemampuan fisik untuk melakukan sesuatu perbuatan atau gerakan tertentu yang

berhubungan dengan kegiatan hidup sehari-hari (activity daily living). 2) Kondisi kejiwaan

Kecacatan yang disandang dapat mengganggu kejiwaan/mental seseorang,

sehingga seseorang menjadi rendah diri atau sebaliknya, menghargai dirinya terlalu

(12)

mengambil keputusan dan sebagainya. Keadaan seperti ini sangat merugikan,

khususnya yang berkenaan dengan hubungan antar manusia yang ditandai oleh:

a) Ketidakmampuan hubungan antar perseorangan (interpersonal relationship)

b) Ketidakmampuan didalam mengambil peranan di dalam kegiatan

sosial/kelompok (partisipasi sosial)

c) Ketidakserasian hubungan antar manusia di masyarakat (human relation) d) Ketidakmampuan di dalam mengambil peranan didalam kegiatan

sosial/kelompok.

3) Masalah pendidikan

Karena kecacatan fisiknya, hal ini sering menimbulkan kesulitan khususnya

pada anak usia sekolah. Mereka memerlukan perhatian khusus baik dari orang tua

maupun guru di sekolah. Sebagian besar kesulitan ini juga menyangkut transportasi

antara tempat tinggal ke sekolah, kesulitan mempergunakan alat-alat sekolah,

maupun fasilitas umum lainnya.

4) Masalah ekonomi

Kecacatan pada seseorang dapat menyebabkan hambatan dalam mobilitas

fisik. Hal ini semakin sukar tatkala dunia kerja belum menyediakan lapangan

pekerjaan sebagaimana mestinya untuk orang cacat. Hambatan dan rendahnya

apresiasi dunia kerja ini dapat menimbulkan masalah pada penyandang cacat dalam

memperoleh pekerjaan yang pada gilirannya berpengaruh pada kondisi sosial

ekonomi mereka.

b. Masalah Eksternal

(13)

Beberapa keluarga yang mempunyai anak yang menyandang kecacatan tubuh

merasa malu, yang mengakibatkan penyandang cacat tersebut tidak dimasukkan

sekolah, tidak boleh bergaul dan bermain dengan teman sebaya, kurang mendapatkan

kasih sayang seperti yang diharapkan oleh anak-anak pada umumnya, sehingga tidak

dapat berkembang kemampuan dan kepribadiannya. Pada akhirnya, penyandang

cacat tubuh tersebut akan tetap menjadi beban bagi keluarganya.

2) Masalah masyarakat

Masyarakat yang memiliki warga yang menyandang kecacatan tubuh akan

turut terganggu kehidupannya, selama penyandang cacat tersebut belum dapat berdiri

sendiri dan masih selalu menggantungkan dirinya pada orang lain. Dipandang dari

segi ekonomi, sejak seseorang terutama yang telah dewasa menjadi cacat tubuh,

masyarkat mengalami kerugian ganda, yaitu kehilangan anggota yang produktif dan

bertambah anggota yang non produktif, ini berarti menambah berat beban bagi

masyarakat. Perlu usahausaha rehabilitasi yang dapat merubah penyandang cacat

tubuh dari kondisi non produktif menjadi produktif. Disamping itu masih ada sikap

dan anggapan sebagian masyarakat yang kurang menguntungkan bagi penyandang

cacat tubuh, antara lain:

a) Masih adanya sikap ragu-ragu terhadap kemampuan penyandang cacat

tubuh, mengakibatkan kesulitan memperoleh pekerjaan.

b) Masih adanya sikap masa bodoh di sebagian lapisan masyarakat terhadap

permasalahan penyandang cacat tubuh.

c) Belum meluasnya partisipasi masyarakat di dalam menangani permasalahan

penyandang cacat tubuh

d) Masih lemahnya sebagian organisasi sosial yang bergerak dibidang

(14)

e) Pengguna jasa tenaga kerja penyandang cacat tubuh umumnya belum

menyediakan kemudahan/sarana bantu yang diperlukan bagi tenaga kerja

penyandang cacat tubuh.

f) Program pelayanan rehabilitasi medis, sosial dan vokasional yang

dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat belum menjangkau seluruh

populasi penyandang cacat tubuh.

3) Pelayanan umum

Sarana umum seperti: sekolah, rumah sakit, perkantoran, tempat rekreasi,

perhotlan, kantor pos, terminal, telepon umum, bank, dan tempat lainnya belum

seluruhnya memiliki aksesibilitas bagi penyandang cacat tubuh.

B. Cacat Mental

Anak berkelainan mental adalah anak yang memiliki penyimpangan kemampuan

berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan mental ini

dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih (supernormal)

dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih

atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: (a) anak mampu

belajar dengan cepat (rapid learner), (b) anak berbakat (gifted), dan (c) anak genius (extremely gifted). Karakteristik anak yang termasuk dalam kategori mampu belajar dengan cepat jika hasil kecerdasan menunjukkan bahwa indeks kecerdasannya yang

bersangkutan berada pada rentang 110-120, anak berbakat jika indeks kecerdasannya

berada pada rentang 120-140, dan anak sangat berbakat atau genius jika indeks

kecerdasannya berada pada rentang di atas 140.

Secara umum Tirtonegoro (dalam Efendi, 2006:8-9) membagi karakteristik

anak dengan kemampuan mental lebih, di samping memiliki potensi kecerdasan yang

(15)

antara lain (1) kemampuan intelektual umum, (2) kemampuan akademik khusus, (3)

kemampuan berpikir kreatif produktif, (4) kemampuan dalam salah satu bidang

kesenian, (5) kemampuan psikomotorik, dan (6) kemampuan psikososial dan

kepemimpinan. Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau tunagrahita,

yaitu anak yang diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian

rendahnya (dibawah normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya

memerlukan bantuan atau layanan secara khusus, termasuk di dalamnya kebutuhan

program pendidikan dan bimbingannya. Kondisi ketunagrahitaan dalam praktik

kehidupan sehari-hari di kalangan awam seringkali disalahpersepsikan, terutama bagi

keluarga yang mempunyai anak tunagrahita, yakni berharap dengan memasukkan

anak tunagrahita ke dalam lembaga pendidikan, kelak anaknya dapat berkembang

sebagaimana anak normal lainnya.

Harapan semacam ini wajar saja karena mereka tidak mengetahui

karakteristik anak tunagrahita. Kirk menyatakan kondisi tunagrahita tidak dapat

disamakan dengan penyakit, tetapi keadaan tunagrahita suatu kondisi sebagaimana

yang ada, “Mental retarded is not disease but a condition” (dalam Efendi,2006:9). Atas dasar itulah tunagrahita dalam gradasi manapun tidak bisa disembuhkan atau

diobati dengan obat apapun.

C. Kelainan Perilaku Sosial

Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami

kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, norma sosial dan

lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial

ini, misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran

hukum/norma maupun kesopanan. Mackie (dalam Efendi,2006:10) mengemukakan,

(16)

mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di

rumah, di sekolah dan di masyarakat lingkungannya. Hal yang penting dari itu adalah

akibat tindakan atau perbuatan yang dilakukan dapat merugikan diri sendiri maupun

orang lain. Klasifikasi anak yang termasuk dalam kategori mengalami kelainan

perilaku sosial di antaranya anak psychotic dan neurotic, anak dengan gangguan emosi dan anak nakal (delinquent). Berdasarkan sumber terjadinya tindak kelainan perilaku sosial secara penggolongan dibedakan menjadi:

a) tunalaras

emosi, yaitu penyimpangan perilaku sosial yang ekstrem sebagai bentuk

gangguan emosi,

b) tunalaras sosial, yaitu penyimpangan perilaku sosial sebagai bentuk kelainan

dalam penyesuaian sosial karena bersifat fungsional.

2.4 Tunanetra

2.4.1 Pengertian Tunanetra

Dalam bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan

lebih akrab disebut anak tunanetra. Pengertian tuna netra tidak saja mereka yang

buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan

kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam

belajar. Jadi, anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah

melihat”, “Low Vision”, atu rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanetra.

Dari uraian di tersebut, pengertian anak tunanetra adalah individu yang

indra penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerimaan

informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Anak- anak dengan

(17)

1. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas

2. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu

3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak

4. Posisis mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak

5. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan

Dari kondisi-kondisi diatas, pada umumnya yang digunakan sebagai

patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada

tingkat ketajaman penglihatannya. (Somantri, 2006:65). Untuk mengetahui

ketunanetraan dapat digunakan suatu tes yang dikenal sebagai tes Snellen Card. Perlu

ditegaskan bahwa anak dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya

(visusnya) kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca

huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter.

Berdasarkan acuan tersebut, anak tunanetra dapat dikelompokkan menjadi

dua macam, yaitu :

1. Buta

Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsangan cahaya

dari luar (visusnya = 0)

2. Low Vision

Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi

ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline

(18)

2.4.2 Klasifikasi Tunanetra

Klasifikasi ketunanetraan secara garis besar yaitu dibagi menjadi 4 antara

lain:

1. Terjadinya kecacatan, yakni sejak kapan anak menderita tunanetra yang dapat

digolongkan sebagai berikut :

a) Penderita tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali

tidak memiliki pengalaman melihat.

b) Penderita tunanetra sesudah lahir atau pada usia kecil, yaitu mereka yang sudah

memiliki kesan-kesan serta penglihatan visual, tetapi belum kuat dan mudah

terlupakan .

c) Penderita tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja, kesan kesan

pengalaman visual meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses

perkembangan pribadi.

d) Penderita tunanetra pada usia dewasa, yaitu mereka yang dengan segala

kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.

e) Penderita tunanetra dalam usia lanjut, yaitu mereka yang sebagian besar sudah

sulit mengalami latihan-latihan penyesuaian diri.

2. Pembagian berdasarkan kemampuan daya lihat yaitu :

Ukuran ketajaman pengelihatan : Normal: Jarak pengelihatan 200 feet/kaki

tes atau 60 meter Terbatas pengelihatan : 20 feet/kaki atau 6 meter. Ukuran

ketajaman pengelihatan dengan menggunakan kartu Snellen: 1. kartu bentuk E yang

paling sering digunakan 2. kartu abjad : 3. kartu gambar-gambar bisa kurang efektif

karena tidak semua gambar benda dikenal oleh anak- anak. Untuk pembagian anak

(19)

a) Tunanetra dengan ketajaman penglihatan 6/20m- 6/60m atau 20/70

feet-20/200 feet, yang disebut kurang lihat (low vision). (20/70 feet artinya jika anak normal mampu melihat hingga jangkauan 70 feet tapi anak tunanetra

kategori di atas hanya dapat melihat pd jarak 20 feet).

b) Tunanetra dengan ketajaman penglihatan antara 6/60 m atau 20/200 feet atau

kurang, yang disebut buta (blind).

c) Tunanetra yang memiliki visus 0, atau yang disebut buta total (tolally blind).(  http://www.slideshare.karakteristik-dan-pendidikan-anak-tuna-netra, diakses

pada tanggal 02 Juni 2014, pukul 17.00 Wib)

Secara umum Cruickshank (dalam Efendi, 2006:44) membagi karakteristik

kecerdasan anak tunanetra terhadap struktur kecakapan anak tunanetra yang dapat

digunakan sebagai dasar untuk mengkomplarasikan dengan anak normal yaitu:

a. Anak tunetra mengalami kenyataan nyata yang sama dengan anak normal, dari

pengalaman tersebut kemudian di integrasikan kedalam pengertiaannya sendiri.

b. Anak tunanetra cenderung menggunakan pendekatan konseptual yang abstrak

menuju ke konkrit, kemudian menuju fungsional serta terhadap konsekuensinya,

sedangkan pada anak normal yang terjadi sebaliknya.

c. Anak tunanetra perbendaharaan kata- katanya terbatasa pada definisi kata.

d. Anak tunanetra tidak dapat mebandingkan, tetutama dalam hal kecakapan

numerik.

Penegasan tentang tingkat kecerdasan anak tunanetra lebih rendah dari anak

normal ( awas) pada umumnya ( Tilman, dalam Efendi 2006) anak tunanetra

mengalami hambatan persepsi, berpikir secara konferensif dan mencari rangkaian

sebab akibat. Bahkan jika dikonfirmasikan dengan fase perkembangan kognitif

(20)

kurang lebih 4 tahun, dan fase intuitif terhambat 2 tahun. Meskipun dalam proses

berpikirnya tidak berbeda dengan anak normal.

3. Berdasarkan pemeriksaan klinis

1. Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau

memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.

2. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai

dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.

4. Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata

1. Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di

belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk

membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata

koreksi dengan lensa negatif.

2. Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh

di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk

membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata

koreksi dengan lensa positif.

3. Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan

karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola

mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak

terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita

astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris

(21)

2.4.3 Faktor Penyebab Tunanetra 1. Pre-natal

Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat

hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam

kandungan, antara lain:

a. Keturunan

Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan

bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra.

Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit

menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanya sukar

melihat di malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit

saja penglihatan pusat yang tertinggal.

b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan

Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhan dalam kandungan dapat

disebabkan oleh:

1. Gangguan waktu ibu hamil.

2. Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama

pertumbuhan janin dalam kandungan.

3. Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar

air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem

susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.

4. Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor

dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada

(22)

5. Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga

hilangnya fungsi penglihatan.

2. Post-natal

Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi

sejak atau setelah bayi lahir antara lain:

a. Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan

alat-alat atau benda keras.

b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil

gonorrhoe menular pada bayi, yang pada ahkirnya setelah bayi lahir mengalami sakit

dan berakibat hilangnya daya penglihatan.

c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya:

1. Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.

2. Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.

3. Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata

menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.

4. Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata,

sehingga tekanan pada bola mata meningkat.

5. Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena

diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluh darah dan dapat dipengaruhi

oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.

6. Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah

tengah dari retina secara berangsur memburuk. Anak dengan retina degenerasi

masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk

(23)

7. Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya

terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang

normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator

yang berisi oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan

dari inkubator terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan

pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam

bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan

pada selaput jala (retina) dan tunanetra total.

d. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda

keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan,

dll(http://www.pkplkdikmen.di akses tanggal 04 Juni 2014, Pukul 10.00 Wib).

2.4.4 Dampak Ketunanetraan

Aktvitas manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar akan efektif

apabila mengikutsertakan alat- alat indra yang dimiiki, seperti penglihatan, perabaan,

pembau, pengecap, baik dilakukan secara sendiri- sendiri mupun bersama- sama.

Dengan pemanfaatan beberapa alat indra secara simultan memudahkan seseorang

melakukan apersepsi terhadap peristiwa atau objek yang diobservasi, terutama untuk

membentuk suatu penglihatan yang utuh.

Dengan tanggungnya salah satu atau lebih alat indranya ( penglihatan,

pendengaran, pengecap, pembau maupun peraba), akan mempengaruhi terhadap

indra- indra yang lain. Pada gilirannya akan membawa konsekuensi tersendiri

terhadap kemempuan dirinya berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Misalnya, pada

anak tunanetra dengan kehilangan sebagian atau keseluruhan fungsi penglihatan pada

anak tunanetra akan menimbulkan dampak negatif atas kemampuaanya yang lain,

(24)

2.5 Pendidikan Anak Tunanetra

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik

melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu

anak tunanetra agar mampu mengembangkan potensinya secara optimal, baik yang

menyangkut aspek moral, spiritual, intelektual, emosional maupun sosial. Melalui

program bimbingan, pengajaran, dan latihan anak tunanetra mendapatkan perhatian

khusus dalam meningkatkan kemampuan anak tunanetra.

Tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan maka proses

pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra

pendengaran. Alat-alat pendidikan juga harus menunjang kebutuhan anak tunanetra,

karena itulah yang akan menjadi media bagi pembelajaran anak. Alat-alat pendidikan

tunanetra meliputi alat khusus, alat bantu, dan alat peraga.

a. Alat pendidikan khusus anak tunanetra antara lain:

1. reglet dan pena

2. mesin tik Braille,

3. computer dengan program Braille,

4. printer Braille,

5. abacus,

6. calculator bicara,

7. kertas braille,

8. penggaris Braille,

9. kompas bicara.

b. Alat Bantu

Alat bantu pendidikan bagi anak tunanetra sebaiknya menggunakan materi perabaan

(25)

1. Alat bantu perabaan sebagai sumber belajar menggunakan buku-buku dengan

huruf Braille.

2. Alat bantu pendengaran sebagai sumber belajar diantaranya talking books

(buku bicara), kaset (suara binatang), CD, kamus bicara

c. Alat Peraga

Alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan

atau pendengaran. Alat peraga tersebut antara lain:

1. benda asli : makanan, minuman, binatang peliharaan (kucing, ayam, ikan

hias, dll) tubuh anak itu sendiri, tumbuhan/tanaman, elektronik, kaset, dll.

2. benda asli yang diawetkan : binatang liar/buas atau yang sulit di dapatkan,

3. benda asli yang dikeringkan (herbarium, insektarium)

4. benda/model tiruan; model kerangka manusia, model alat pernafasan, dll.

5. gambar timbul sesuai dengan bentuk asli; grafik, diagram dll.

6. Gambar timbul skematik; rangkaian listrik, denah, dll.

7. Peta timbul; provinsi, pulau, negara, daratan, benua, dll.

8. Globe timbul

9. Papan baca

10.Papan paku (http://www.pkplkdikmen.net/berita-pendidikan. di akses tanggal

04 Juni pukul 14.00 Wib)

Anak tunanetra memerlukan tenaga kependidikan yang sesuai dengan

bidangnya untuk membantu mereka dalam menggunakan media-media

pembelajarannya. Hal-hal yang dibutuhkan dalam tenaga kependidikan antara lain:

1. Guru dengan kualifikasi:

1. SGPLB (Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa)

(26)

3. Pasca Sarjana (S-2) PLB

4. Sarjana (S-1) bukan PLB tetapi memiliki latar belakang keahlian

tertentu/khusus yang dibutuhkan anak tunanetra, seperti; Pendidikan Agama,

Musik, Massage, dll.

5. Guru sekolah umum yang diberi training minimal 6 bulan

2. Psikolog

Psikolog diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan intelegensi anak

tunanetra. Disamping itu membantu guru dalam assessment. Tujuan assessment

adalah untuk mengetahui sejauhmana potensi dan kekurangan/hambatan yang

dimiliki anak tunanetra, sehingga dapat diketahui apa kebutuhan anak tunanetra

dalam proses pembelajaran.

3. Dokter mata

Rekomendasi dari dokter mata sangatlah diperlukan bagi lembaga penyelenggara

pendidikan tunanetra. Seorang dokter mata memiliki kewenangan untuk menentukan

bahwa seseorang memiliki hambatan dalam penglihatan.

4. Optometris

Kemampuan penglihatan anak tunanetra dapat dikatehui salah satunya dari hasil

assessment klinis yang dilakukan oleh seorang optometris. Kondisi anak tunanetra

dapat diketahui melalui laporan hasil assessment, misalnya:

a. Ketajaman penglihatan

b. lapang pandang

c. kebutuhan media baca tulis

d. alat bantu yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan anak

(27)

f. penempatan di dalam kelas ((http://www.pkplkdikmen.net/berita-pendidikan.

di akses tanggal 04 Juni pukul 14.00 Wib)

2.6 Pelayan Sosial

Alfred J.Khan memberikan pengertian pelayanan sosial sebagai berikut:

“Pelayanan sosial terdiri dari program-program yang diadakan tanpa

mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin suatu tingkatan dasar dalam

penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, dan

kesejahteraan untuk meningkatkan kebutuhan masyarakat serta kemampuan

perorangan untuk pelaksanaan fungsi-fungsinya, untuk memperlancar kemampuan

menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang

telah ada dan membantu warga masyarakat yang mengalami kesulitan dan

keterlantaran” (Khan, dalam Soetarso, 1982: 34).

Pelayanan sosial pada hakekatnya dibuat untuk memberikan bantuan kepada

individu dan masyarakat untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang

semakin rumit. Y.B. Suparlan mengatakan bahwa pelayanan adalah usaha untuk

memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang lain baik materi atau non materi

agar orang lain dapat mengatasi masalahnya sendiri. (Suparlan, 1983: 91).

Pada umumnya pelayanan sosial diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Kesejahteraan keluarga

b. Pelayanan pendidikan orang tua

c. Pelayanan penitipan bayi atau anak

d. Pelayanan kesejahteraan anak

e. Pelayanan rehabilitasi bagi penyalahgunaan NAPZA

(28)

g. Pelayanan rehabilitasi bagi penderita cacat dan pelanggar hukum

h. Pelayanan bagi para migrant dan pengungsi

i. Kegiatan kelompok bagi para remaja

j. Pekerjaan sosial medis

k. Pusat-pusat pelayanan kesejahteraan sosial masyarakat

l. Pelayanan sosial yang berhubungan dengan proyek-proyek perumahan

(sumber: catatan mata kuliah Pekerja Sosial Industri).

Fungsi pelayanan sosial dapat dibagi menjadi berbagai cara, tergantung

kepada tujuan pembagian itul. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan

fungsi pelayanan sosial sebagai berikut:

a. Perbaikan secara progresif pada kondisi-kondisi kehidupan orang

b. Pengembangan terhadap perubahan sosial dan penyesuaian diri

c. Penggerakan dan penciptaan sumber-sumber komunitas untuk tujuan-tujuan

pembangunan

d. Penyediaan struktur-struktur institusional untuk pelayanan-pelayanan yang

terorganisir lainnya (Soetarso, 1982: 41).

Bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah

sebagai berikut:

a. Pelayanan akses yang mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah,

nasehat, dan partisipasi. Tujuannya adalah membantu orang agar dapat

mencapai atau menggunakan pelayanan yang tersedia

b. Pelayanan terapi yang mencakup pertolongan dan terapi atau rehabilitasi,

termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan, misalnya pelayanan yang

(29)

kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial mendidik, dan sekolah

perawatan bagi orang-orang jompo dan lanjut usia

c. Pelayanan sosialisasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan

anak, keluarga bencana, pendidikan keluarga, pelayanan reaksi bagi pemudah

dan masyarakat yang dipusatkan atau community.

2.7 Kesejahteraan Sosial

Istilah kesejahteraan sosial bukanlah hal baru, baik dalam wacana global

maupun nasional. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) misalnya telah mengatur masalah

ini sebagai salah satu bidang kegiatan masyarakat internasional.Di Indonesia, konsep

kesejahteraan sosial juga telah lama dikenal. Ia telah ada dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia (Suharto,2009:1).

Perserikatan Bangsa-Bangsa memberi batasan kesajahteraan sosial sebagai

kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu atau

masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan

kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat. Defenisi ini

menekankan bahwa, kesejahteraan sosial adalah suatu institusi atau bidang kegiatan

yang melibatkan aktivitas yang terorganisir yang diselenggarakan baik oleh

lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau

memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, dan peningkatan kualitas

hidup individu, kelompok dan masyarakat.

Kesejahteraan sosial dalam artian luas mencakup berbagai tindakan yang

dilakukan manusia untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Taraf kehidupan

yang lebih baik ini tidak hanya diukur secara ekonomi, dan fisik belaka, tetapi juga

(30)

Kesejahteraan sosial dapat dilihat dalam empat sudut pandang yaitu:

1. Kesejahteraan sosial sebagai suatu keadilan (kondisi)

Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi, kesejahteraan sosial dapat dilihat

dari rumusan Undang-Undang No 6 tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok

kesejahteraan sosial, pasal 2 ayat 1: Kesejahteraan sosial adalah sebagai suatu tata

kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa

keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi

setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan

jasmaniah,rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta

masyarakat dengan menjungjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai

dengan Pancasila.

2. Kesejahteraan sosial sebagai suatu ilmu

Sebagai suatu ilmu, pada dasarnya suatu ilmu yang mencoba

mengembangkan pemikiran, strategi dan teknik untuk meningkatkan kesejahteraan

suatu masyarakat, baik dari level mikro, mezzo, maupun makro.

3. Kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan

Sebagai suatu kegiatan, pengertian kesejahteraan sosial dapat dilihat antara

lain dari defenisi yang dikembangkan oleh Friedlander (dalam Adi,2003):

“Kesejahteraan sosial merupakan sisitem yang terorganisir dari berbagai institusi dan

usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dirancang guna membantu individu ataupun

kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan.”

Pengertian ini sekurang-kurangnya menggambarkan kesejahteraan sosial

sebagai suatu sistem pelayanan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup

masyarakat. Meskipun dalam pengertian yang dikemukakan Friedlender secara

(31)

kelompok, tetapi dalam arti luas pengertian Friedlender juga melihat masyarakat

sebagai suatu totalitas.

4. Kesejahteraan sosial sebagai suatu gerakan

Sebagai suatu gerakan, isu kesejahteraan sosial sudah menyebar luas hampir

ke seluruh penjuru dunia sehingga menjadi gerakan tersendiri yang bertujuan

memberitahukan kepada dunia bahwa masalah kesejahteraan sosial merupakan hal

yang perlu diperhatikan secara seksama oleh masyarakat dunai, baik secara global

maupun parsial. Oleh karena itu, muncullah berbagai macam gerakan dalam wujud

organisasi lokal, regional maupun internasional yang berusaha menangani isu

kesejahteraan sosial ini.

2.8 Kerangka Pemikiran

Tidak semua manusia lahir kedunia dalam keadaan normal. Ada yang lahir

dengan ketidaksempurnaan ataupun yang mengalami kecelakaan yang

mengakibatkan kecacatan. Hal ini membuat mereka merasa tidak berguna atau

dianggap tidak memiliki potensi yang perlu dikembangkan. Tunanetra merupakan

suatu keadaan yang tidak sempurna yang dialami oleh sebagian manusia. Dengan

ketunaan mereka banyak permasalahan yang muncul yang mempengaruhi

perkembangan diri mereka. Untuk mengembangkan kemampuan mereka, tunanetra

sangat mengharapkan kesempatan dalam mengaktualisasikan potensi yang dimiliki,

dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka mampu sama seperti

orang-orang yang bisa melihat.

Sistem pelayanan rehabilitasi sosial anak dengan kecacatan tunanetra adalah

suatu bentuk perwujudan dari tanggung jawab dan kewajiban bersama: antara

(32)

pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan juga harus didukung oleh

kemudahan/aksebilitas bagi penyandang cacat tunanetra dalm menjalankan

kehidupannya secara mandiri.

Pemberian pelayanan sosial itu sendiri diselenggarakan untuk membantu

keluarga/orangtua dan anak dengan kecacatan. Pelayanan sosial, disamping ditujukan

untuk member bantuan pelalayan sosial juga dilakukan untuk memberikan upaya

rehabilitasi sosial maupun memberikan perlindungan anak. Disisi lain, pelayanan

sosial diselenggarakan agar anak terpenuhi kebutuhan perlindungannya. Melalui

perlindungan juga diharapkan akan terpeliharanya taraf kesejahteraan anak dan

keluarganya, dan perlu adanya penyelenggaraan pelayanan soial maupun rehabilitasi

sosial.

Sebagai kelompok rentan, anak dengan kecacatan tunanetra juga

membutuhkan serangkaian rehabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial dilakukan secara

utuh dan terpadu dan berkesinambungan melaui pendekatan fisik, mental, sosial, agar

penyandang cacat dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal dalam hidup

bermasyarakat. Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi sosial, maka

perlu ada dilakukan rehabilitasi lain yang mencakup rehabilitasi medik, pendidikan

dan keterampilan.

Sekolah Luar Biasa (SLB/A) Karya Murni merupakan suatu lembaga sosial

yang bergerak dalam bidang kemanusia yang memegang prinsip bahwa hidup harus

dihormati tanpa memandang asal usul, atau keadaan fisik warga secara lahiriah.

Sebagai lembaga sosial kemanusian, Karya Murni meberikan perhatian khusus

kepada para penyandang cacat tunanetra, anak-anak yatim piatu dan ekonomi. Di

Karya Murni anak-anak yang lahir dalam keadaan demikan, dididik, dibesarkan,

(33)

Anak tunanetra mempunyai hak untuk mewujudkan jati diri mereka tapi proses itu

dilakukan mesti dengan menghormati kemungkinan yang ada dalam diri mereka.

Mereka sendiri harus ikut serta menentukan proses pemberdayaaan yang dapat

mereka jalani sesuai dengan kemungkinan- kemungkinan yang ada dalam diri

mereka. Salah satu pemberdayaan yang mereka ikuti adalah dengan keterampilan

(musik, masage/pjat, meronce) yang bertujuan untuk membuat anak tunanetra

mempunyai keahlian dan kemandirian.

(34)

Bagan Alur Pikir Bagan 1

Penyandang Cacat Tunanetra

Jenis-jenis keterampilan :

1. Keterampilan Musik 2. Keterampilan Masage/

pijat

3. Keterampilan meronce

Indikator efektivitas pelaksanaan program keterampilan menurut Gomes (2003) :

1. Reaksi (Reaction) 2. Belajar (Learning) 3. Perilaku (Behaviors) 4. Dampak (Organizational

results)

Tidak Efektif

Efektif 

(35)

2.9 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional 2.9.1 Defenisi Konsep

Defenisi konsep adalah batasan arti dan gambaran hubungan dari antara

unsur-unsur yang ada di dalamnya (Siagian, 2011:56). Konsep penelitian bertujuan

untuk merumuskan istilah dan mendefenisikan istilah-istilah yang digunakan secara

mendasarkan agar tercipta suatu persamaan persepsi dan tidak muncul salah

pengertian pemakaian istilah yang dapat mengaburkan tujuan penelitian. Untuk

memperjelas penelitian ini, maka peneliti membatasi konsep-konsep yang digunakan

sebagai berikut :

1. Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (seperti

reaksi, belajar, perilaku dan hasil organisasi ) yang telah dicapai oleh manajemen,

yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Dengan demikian,

suatu usaha atau kegiatan dikatakan efektif apabila tujuan atau sasaran dapat

dicapai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sebelumnya dan dapat

memberikan manfaat yang nyata sesuai dengan kebutuhan.

2. Program pelatihan keterampilan adalah suatu program atau kumpulan

proyek-proyek yang berhubungan dengan keterampilan telah dirancang untuk

mengembangkan keterampilan penyandang cacat tunanetra agar bisa lebih

mandiri dengan keterampilan yang telah dimilikinya.

3. Penyandang cacat tunanetra adalah individu yang indra penglihatannya

(kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerimaan informasi dalam kegiatan

sehari-hari seperti halnya orang awas.

4. Pelayanan Sosial disebut juga pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program

(36)

pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna sosial dan

sebagainya.

2.9.2 Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah proses operasionalisasi konsep yaitu upaya

transformasi konsep ke dunia nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat

diobservasi (Siagian, 2011:141). Dengan defenisi operasional dapat diketahui

indikator-indikator apa saja yang akan diukur dan dianalisa dalam variabel yang ada.

Untuk memudahkan dalam memahami variabel dalam penelitian ini, maka

menurut Gomes (2003:209), program pelatihan bisa diukur melalui

indikator-indikator sebagai berikut :

1. Reaksi (reaction) dari warga binaan tuna rungu wicara terhadap program pelatihan dari tingkat kepuasannya terhadap:

a. Program pelatihan secara keseluruhan

1) Efektif, jika sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan keterampilan

terpenuhi

2) Tidak efektif, jika sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan

keterampilan tidak terpenuhi

b. Pelatih/instruktur

1) Efektif, jika pelatih/instruktuf mampu menyampaikan materi pembelajaran

dengan baik.

2) Tidak efektif, jika pelatih/instruktur tidak mampu menyampaikan materi

pembelajaran dengan baik

2. Belajar (Learning) adalah untuk mengetahui seberapa jauh warga binaan tunanetra menguasai konsep-konsep dan keterampilanketerampilan yang diberikan selama

(37)

a. Penerimaan dan pemahaman pembelajaran

1) Efektif, jika pembelajaran yang diberikan kepada setiap warga binaan merata.

2) Tidak efektif, jika pembelajaran yang diberikan kepada setiap warga binaan

tidak merata.

b. Peningkatan SDM yang diterima peserta dari pelaksanaan program keterampilan

1) Efektif, jika keahlian warga binaan bertambah setelah mengikuti kegiatan.

2) Tidak efektif, jika keahlian warga binaan tidak bertambah setelah mengikuti

kegiatan.

3. Perilaku (Behavior) dari warga binaan, sebelum dan sesudah pelatihan, dapat dibandingkan guna mengetahui tingkat pengaruh pelatihan terhadap perubahan

perilaku mereka.

a. Perubahan perilaku warga binaan

1) Efektif, jika terjadi perubahan perilaku warga binaan sebelum dan

sesudah pelatihan diberikan.

2) Tidak efektif, jika tidak terjadi perubahan perilaku warga sebelum dan

sesudah pelatihan diberikan.

b. perubahan perilaku sosial dan kemandirian

1) Efektif, jika terjadi perubahan berinteraksi dan kemendirian warga binaan

sebelum dan sesudah pelatihan.

2) Tidak efektif, jika terjadi perubahan perilaku warga binaan sebelum dan

sesudah pelatihan diberikan.

4. Dampak Organisasi (Organizational results) adalah untuk menguji dampak pelatihan terhadap organisasi secara keseluruhan. Data bisa dikumpulkan sebelum

dan sesudah pelatihan atas dasar kriteria:

(38)

1. Efektif, jika keterampilan yang diajarkan dapat menjadi manfaat dan

modal dalam bekerja.

2. Tidak efektif, jika keterampilan yang diajarkan tidak bermanfaat dan

tidak dapat menjadi modal dalam bekerja.

b. Waktu pelaksanaan program

1) Efektif, jika pelaksanaan program ini dapat meningkatkan keahlian serta

keterampilan selama kurun waktu yang telah ditentukan.

2) Tidak efektif, jika pelaksanaan program ini tidak dapat meningkatkan

keahlian dan keterampilan selama kurun waktu yang telah ditentukan

c. Kepuasan warga binaan

1) Efektif, jika warga binaan merasa puas terhadap program pelatihan

keterampilan yang telah diberikan.

2) Tidak efektif, jika warga binaan tidak merasa puas terhadap program

pelatihan keterampilan yang telah diberikan.

d. percaya diri/ mandiri

1) Efektif, jika warga binaan sudah merasa percaya diri/ mandiri dengan

program pelatihan yang sudah diberikan

2) Tidak efektif, jika warga binaan belum percaya diri/ mandiri dengan

Referensi

Dokumen terkait

Islam dalam mengembangkan kurikulum materi pendidikan Agama Islam.. terbagi ke dalam dua bahagian yaitu: kegiatan atau upaya yang termasuk. ke dalam kegiatan intra-kurikuler dan

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik melakukan penelitian pada tugas akhir ini dan mengaitkan pengujian tanah menggunakan alat DCP untuk mengetahui tingkat

(5) Usul pemberhentian Geuchik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f disampaikan oleh pimpinan Tuha Peuet Gampong berdasarkan keputusan

Skripsi Pengaruh Variabel ROI, DER,PER, CR Dan WCTO Terhadap Return... ADLN Perpustakaan

Strategi pembelajaran individual dilakukan peserta didik secara mandiri. Kecepatan, kelambatan, dan keberhasilan siswa sangat ditentukan oleh kemampuan individu

BAB VI : Bab ini menjelaskan tentang aplikasi rancangan dari Pusat Pengembangan Seni Tari Tradisional Jawa Timur di Surabaya dengan menggunakan persyaratan-persyaratan yang ada

Previous studies showed patients on long-term haemodialysis might be under increased oxidative stress caused by either haemodialysis or renal failure.(5) The previous

Dalam pandangannya, perempuan diidentik dengan sosok yang lemah, halus dan emosional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai mahkluk yang seolah-olah harus dilindungi