BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas
2.1.1 Pengertian Efektivitas
Pada kamus besar Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai sesuatu
yang ada efeknya (akibatnya,pengaruhnya) dapat diartikan dapat membawa hasil,
berhasil guna serta dapat pula berarti mulai berlaku. Selanjutnya Bahasa Inggris, kata
efektif yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan itu berhasil
dengan baik. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran
yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi.
Organisasi biasanya berada dalam lingkungan yang bergejolak dengan
sumber data yang terbatas. Lingkungan yang berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan zaman, perubahan tersebut akan mempengaruhi efektivitas organisasi.
Dalam lingkungan demikian organisasi harus tanggap dan pandai mengantisipasi
perubahan agar organisasi tetap dapat mempertahankan keberadaannya dan dapat
berfungsi maka organisasi itu harus efektif (Thoha, 2007:98).
Efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan. Dalam artian
efektivitas merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output, kebijakan dan prosedur
dari organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pengertian teoritis dan
praktis, tidak ada persetujuan yang universal mengenai apa yang dimaksud dengan
efektivitas. Berbagai pandangan yang dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda
tentang pengertian dan konsep efektivitas dipengaruhi oleh latar belakang dari
keahlian yang berbeda pula.
Hidayat menyatakan efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan
persentase target yang dicapai, maka semakin tinggi efektivitasnya. Gibson juga
berpendapat efektivitas adalah pencapaian sasaran yang telah disepakati atas usaha
bersama (Ibnu, 2009).
Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, ada empat hal yang merupakan
unsur-unsur efektifitas yaitu sebagai berikut:
1. Pencapaian tujuan, suatu kegiatan dikatakan efektif apabila dapat mencapai tujuan
atau sasaran yang telah ditentukan sebelumnya.
2. Ketepatan waktu, sesuatu yang dikatakan efektif apabila penyelesaian atau
tercapainya tujuan sesuai atau bertepatan dengan waktu yang telah ditentukan.
3. Manfaat, sesuatu yang dikatakan efektif apabila tujuan itu memberikan manfaat
bagi masyarakat sesuai dengan kebutuhannya.
4. Hasil, sesuatu kegiatan dikatakan efektif apabila kegiatan itu memberikan hasil.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan efektifitas
adalah tercapainya tujuan yang telah di tetapkan. Adanya ketentuan waktu dalam
memberikan pelayanan serta adanya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat
terhadap pelayanan yang diberikan padanya.
Dilihat dari perspektif efektivitas organisasi, Gaertner dan Ramnarayan
mengatakan, efektifitas dalam suatu organisasi bukan suatu benda, atau suatu tujuan,
atau suatu karakteristik dari output atau perilaku organisasi, tetapi cukup suatu
pernyataan dari relasi-relasi di dalam dan di antara jumlah yang relevan dari
organisasi tersebut. Suatu organisasi yang efektif adalah yang dapat membuat
laporan tentang dirinya dan aktivitas-aktivitasnya menurut cara-cara dalam mana
jumlah-jumlah tersebut dapat diterima. Pandangan efektivitas sebagai suatu proses
Gerakan produktivitas tidak begitu disebabkan oleh dorongan ekonomi. Menjadi
produktif adalah menjadi tanggap secara politik. (Gomes,2003:163).
Unsur yang penting dalam konsep efektivitas adalah; yang pertama adalah
pencapaian tujuan yang sesuai dengan apa yang telah disepakati secara maksimal,
tujuan merupakan harapan yang dicita-citakan atau suatu kondisi tertentu yang ingin
dicapai oleh serangkaian proses. Diketahui bahwa efektivitas merupakan suatu
konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai
keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasarannya atau dapat dikatakan
bahwa efektivitas merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari aktivasiaktivasi yang
telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pada beberapa literatur ilmiah mengemukakan bahwa efektivitas merupakan
pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari
serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan
lainnya. Efektivitas juga bisa diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam
pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Sebagai contoh jika sebuah tugas
dapat selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah ditentukan, maka cara tersebut
adalah benar atau efektif.
Dalam pengukuran efektifitas terdapat kompetensi pengelolaan
pembelajaran yaitu kemampuan agen pemberdayaan dalam memciptakan proses
belajar kepada masyarakat dalam mengubah perilakunya yaitu meningkatkan
kemampuan, kualitas hidup, dan kesejahteraannya. Melalui belajar masyarakat
diharapkan mampu menguasai dan menerapkan inovasi yang lebih menguntungkan
bagi diri dan keluarganya.
Ada juga kompetisi pengelolaan pelatihan, dalam organisasi kegiatan
Begitupula dalam kehidupan dimasyarakat seperti petani atau nelayan, kegiatan
pelatihan dan kursus lainnya, atau istilah sejenis lainnya merupakan aspek penting
guna meningkatkan kemampuan mereka menuju peningkatan kualitas hidupnya.
Dalam pelaksanaan pelatihan seringkali dihadapkan dalam permasalahan.
Menurut Rothell (1994 ) ada empat permasalahan dalam pendekatan pelatihan yaitu:
1) kegiatan pelatihan seringkali tidak fokus terutama berkaitan dengan materi yang
diberikan, 2) lemahnya dukungan manajemen, 3)pelatihan kadang tidak
direncanakan dan diselenggarakan secara sistematis, 4) dan materi pelatihan tidak
sesuai dengan kebutuhan ( Oos, 2013: 68- 70).
2.1.2 Pengukuran Terhadap Efektifitas
Pencapaian hasil (efektivitas) yang dilakukan oleh suatu organisasi menurut
Jones (1994) terdiri dari tiga tahap, yakni input, conversion, dan output atau masukan, perubahan dan hasil. Input meliputi semua sumber daya yang dimiliki,
informasi dan pengetahuan, bahan-bahan mentah serta modal. Pada tahap input, tingkat efisiensi sumber daya yang dimiliki sangat menentukan kemampuan yang
dimiliki. Tahap conversion ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, manajemen dan penggunaan teknologi
agar dapat menghasilkan nilai. Tahap ini, tingkat keahlian SDM dan daya tanggap
organisasi terhadap perubahan lingkungan sangat menentukan tingkat
produktifitasnya. Sedangkan dalam tahap output, pelayanan yang diberikan merupakan hasil dari penggunaan teknologi dan keahlian SDM
(http//pengukuran+efektivitas, diakses pada tanggal 13 maret 2014. Pukul 16.00)
Organisasi yang dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara
efisien dapat meningkatkan kemampuannya untuk meningkatkan pelayanan dengan
tanggal 13 Maret 2014 pukul 16:30). Gomes (2003:209) memberi tipe-tipe kriteria
efektivitas program pelatihan. Suatu program pelatihan bisa dievaluasi berdasarkan:
(1) reactions, (2) learning, (3) behaviors, (4) organizational results. Melalui
reactions (reaksi) dapat diketahui opini dari para peserta mengenai program pelatihan yang diberikan. Proses learning memberikan informasi yang ingin diperoleh melalui penguasaan konsep-konsep, pengetahuan, dan
keterampilan-keterampilan yang diberikan selama pelatihan. Perilaku (behaviors) dari peserta pelatihan, sebelum dan sesudah pelatihan, dapat dibandingkan guna mengetahui
tingkat pengaruh pelatihan terhadap peserta pelatihan. Dampak pelatihan
(organizational results) untuk menguji dampak pelatihan terhadap peserta pelatihan secara keseluruhan dan ketepatan waktu dalam pelaksanaan pelatihan, kualitas dan
kepuasaan dalam pelatihan keterampilan.
2.2 Program Pelatihan Keterampilan Penyandang Cacat
Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada
suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggungjawabnya, atau satu
pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Supaya efektif, pelatihan
biasanya harus mencakup pengalaman belajar (learning experience), aktivitas yang terencana (be a planned organizational activity), dan didesain sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan yang berhasil diidentifikasikan. Secara ideal, pelatihan harus
didesain untuk mewujudkan tujuan-tujuan organisasi, yang pada waktu yang
bersamaan juga mewujudkan tujuan-tujuan dari para pekerja secara perorangan
(Gomes,2003:197).
Pelatihan sering dianggap sebagai aktivitas yang paling dapat dilihat dan
melalui pelatihan para peserta, dalam hal ini penyandang cacat, akan menjadi lebih
terampil, dan karenanya lebih produktif. Pelatihan lebih sebagai sarana yang
ditujukan pada upaya untuk lebih memberdayakan seseorang yang kurang berdaya
dari sebelumnya, mengurangi dampak-dampak negatif yang dikarenakan kurangnya
pendidikan, pengalaman yang terbatas, atau kurangnya kepercayaan diri dari
penyandang cacat. Keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat
syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya
motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan
kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, siswa yang melakukan gerakan motorik
dengan koordinasi dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak
terampil. Sedangkan Reber (dalam Syah,2005:121) mengatakan, keterampilan adalah
kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi
secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu.
Belajar keterampilan adalah belajar menggunakan gerakan-gerakan motorik
yakni yang berhubungan dengan urat syaraf dan otot-otot/neuromuscular. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmani tertentu. Dalam jenis ini
latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Supaya efektif, pelatihan harus
merupakan solusi yang tepat bagi permasalahan organisasi, yakni bahwa pelatihan
tersebut harus dimaksudkan untuk memperbaiki kekurangan keterampilan. (Syah,
2005:126) Keterampilan bergerak dari yang sangat sederhana ke yang sangat
kompleks. Keterampilan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu psikomotor dan
intelektual. Keterampilan psikomotor antara lain adalah menggergaji, mengecat
tembok, menari, mengetik. Sedangkan keterampilan intelektual ialah memecahkan
sebenarnya hampir semua keterampilan terdiri atas kedua unsur tersebut. Hanya saja
ada keterampilan yang lebih menonjol unsur psikomotornya sedangkan keterampilan
yang lain lebih menonjol unsur intelektualnya.
Keterampilan merupakan mata pelajaran yang memberikan kesempatan
kepada anak asuh untuk terlibat dalam berbagai pengalaman apresiasi maupun
pengalaman berkreasi untuk menghasilkan suatu produk berupa benda nyata yang
bermanfaat langsung bagi kehidupan mereka. Anak asuh melakukan interaksi dengan
benda-benda produk kerajian dan teknologi yang ada di lingkungannya saat pelatihan
keterampilan, kemudian berkreasi menciptakan berbagai produk kerajinan maupun
produk teknologi, sehingga diperoleh pengalaman konseptual, pengalaman apresiatif
dan pengalaman kreatif. Pembelajaran keterampilan dirancang sebagai proses
komunikasi belajar untuk mengubah perilaku anak asuh cekat, cepat dan tepat
melalui pembelajaran kerajinan, teknologi rekayasa dan teknologi pengolahan
(Sudjana, 1996:17 ).
Perilaku terampil ini dibutuhkan dalam keterampilan hidup manusia di
masyarakat. Melihat uraian tersebut, secara substansi bidang keterampilan
mengandung kinerja kerajinan dan teknologis. Istilah kerajinan berangkat dari
kecakapan melaksanakan, mengolah dan menciptakan dengan dasar kinerja
keterampilan psimotorik. Maka, keterampilan kerajinan berisi kerajinan tangan
membuat benda pakai atau fungsional. Keterampilan teknologi terdiri dari teknologi
rekayasa dan teknologi pengolahan.
Metode pelatihan merupakan bentuk yang dipilih dalam pelatihan-pelatihan
yang menyediakan langsung keterampilan untuk para peserta. Adapun prinsip umum
bagi metode pelatihan harus memenuhi sebagai berikut:
2. memperlihatkan keterampilan-keterampilan yang diinginkan untuk dipelajari,
3. harus konsisten dengan isi (misalnya, dengan menggunakan pendekatan
interaktif untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan interpersonal),
4. memungkinkan partisipasi aktif,
5. memberikan kesempatan berpraktek dan perluasan keterampilan,
6. memberikan feedback mengenai performansi selama pelatihan,
7. mendorong adanya pemindahan yang positif dari pelatihan ke pekerjaan, dan
8. harus efektif dari segi biaya (Gomes, 2003:208).
Sehingga metode pelatihan tidak terlepas dari pelatihan-pelatihan yang
menyediakan langsung keterampilan untuk peserta. Menjadikan peserta
perilaku-perilaku yang terampil untuk kemandirian diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari
dan dalam hidup bermasyarakat.
2.3 Penyandang Cacat
2.3.1 Pengertian Penyandang Cacat
Istilah “Disabilitas” mungkin kurang akrab di sebagian masyarakat
Indonesia berbeda dengan “Penyandang Cacat”, istilah ini banyak yang mengetahui
atau sering digunakan di tengah masyarakat. Istilah Disabilitas merupakan kata
bahasa Indonesia berasal dari serapan kata bahasa Inggris disability (jamak:
disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Namun, dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata “Disabilitas” belum tercantum. Disabilitas adalah istilah baru
pengganti Penyandang Cacat. Penyandang cacat dapat diartikan individu yang
mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual (
Dalam UU RI No. 4 tahun 1977 disebutkan tentang “Penyandang cacat
adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
secara selayaknya, yang terdiri dari:
a. penyandang cacat fisik;
b. penyandang cacat mental;
c. penyandang cacat fisik dan mental.
Mengenai hak dan kewajiban penyandang cacat disebutkan bahwa setiap
penyandang cacat mempunyai kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan. Sedangkan kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam
aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesbilitas.
Selanjutnya yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan adalah
meliputi antara lain aspek agama, kesehatan, politik, pertahanan keamanan, olahraga,
rekreasi dan informasi yang layak sesuai dengan derajat kecacatan, pendidikan dan
kemampuannya.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997 (tentang
penyandang cacat) Bab II Pasal 6 menyatakan “Setiap penyandang cacat berhak
memperoleh :
1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan
2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan,
pendidikan dan kemampuannya.
3. Perlakuannya yang sama untuk bergerak dalam pembangunan dan menikmati
hasil-hasilnya.
4. Aksesbilitas dalam rangka kemandirian.
6. Hak yang sama untuk menumbuhkankembangkan, kemampuan dan kehidupan
sosialnya, terutama penandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat.
2.3.2 Jenis-Jenis Penyandang Cacat A. Cacat Tubuh/Kelainan Fisik
Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh
tertentu. Akibat kelainan tersebut timbu suatu keadaan pada fungsi fisik tubuhnya
tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya anggota fisik
terjadi pada:
a. Alat fisik indra, misalnya kelainan pada indra pendengaran (tunarungu),kelainan
pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan pada fungsi organbicara
(tunawicara).
b. Alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, misal lahir tanpa tangan/kaki. Untuk kelainan pada alat motorik tubuh ini dikenal
dalam kelompok tunadaksa.
Penyandang cacat tubuh secara umum memiliki kecenderungan dan
karakteristik sosial psikologis sebagai berikut:
a. Rasa ingin disayang yang berlebihan dan mengarah over protection
b. Rasa rendah diri
c. Kurang percaya diri
d. Mengisolir diri
e. Kehidupan emosional yang labil
g. Ada perasaan tidak aman
h. Cepat menyerah
i. Kekanak-kanakan (Sumber: Rothman dalam Buku Bimbingan Sosial Bagi
Penyandang Cacat dalamPanti)
Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik penyandang cacat tubuh, meliputi:
a. Faktor bawaan
b. Penyakit
c. Waktu terjadinya kecacatan
d. Perlakuan lingkungan/masyarakat setempat
e. Perlakuan anggota keluarga
f. Iklim dan keadaan alam
g. Ekologi dan tradisi setempat (Sumber: Rothman dalam Buku Bimbingan Sosial
Bagi Penyandang Cacat dalam Panti)
Adapun permasalahan kecacatan yang dialami penyandang cacat dibagi menjadi
masalah internal dan masalah eksternal, yaitu:
a. Masalah Internal
1) Kondisi jasmani
Kecacatan yang disandang seseorang dapat mengakibatkan gangguan
kemampuan fisik untuk melakukan sesuatu perbuatan atau gerakan tertentu yang
berhubungan dengan kegiatan hidup sehari-hari (activity daily living). 2) Kondisi kejiwaan
Kecacatan yang disandang dapat mengganggu kejiwaan/mental seseorang,
sehingga seseorang menjadi rendah diri atau sebaliknya, menghargai dirinya terlalu
mengambil keputusan dan sebagainya. Keadaan seperti ini sangat merugikan,
khususnya yang berkenaan dengan hubungan antar manusia yang ditandai oleh:
a) Ketidakmampuan hubungan antar perseorangan (interpersonal relationship)
b) Ketidakmampuan didalam mengambil peranan di dalam kegiatan
sosial/kelompok (partisipasi sosial)
c) Ketidakserasian hubungan antar manusia di masyarakat (human relation) d) Ketidakmampuan di dalam mengambil peranan didalam kegiatan
sosial/kelompok.
3) Masalah pendidikan
Karena kecacatan fisiknya, hal ini sering menimbulkan kesulitan khususnya
pada anak usia sekolah. Mereka memerlukan perhatian khusus baik dari orang tua
maupun guru di sekolah. Sebagian besar kesulitan ini juga menyangkut transportasi
antara tempat tinggal ke sekolah, kesulitan mempergunakan alat-alat sekolah,
maupun fasilitas umum lainnya.
4) Masalah ekonomi
Kecacatan pada seseorang dapat menyebabkan hambatan dalam mobilitas
fisik. Hal ini semakin sukar tatkala dunia kerja belum menyediakan lapangan
pekerjaan sebagaimana mestinya untuk orang cacat. Hambatan dan rendahnya
apresiasi dunia kerja ini dapat menimbulkan masalah pada penyandang cacat dalam
memperoleh pekerjaan yang pada gilirannya berpengaruh pada kondisi sosial
ekonomi mereka.
b. Masalah Eksternal
Beberapa keluarga yang mempunyai anak yang menyandang kecacatan tubuh
merasa malu, yang mengakibatkan penyandang cacat tersebut tidak dimasukkan
sekolah, tidak boleh bergaul dan bermain dengan teman sebaya, kurang mendapatkan
kasih sayang seperti yang diharapkan oleh anak-anak pada umumnya, sehingga tidak
dapat berkembang kemampuan dan kepribadiannya. Pada akhirnya, penyandang
cacat tubuh tersebut akan tetap menjadi beban bagi keluarganya.
2) Masalah masyarakat
Masyarakat yang memiliki warga yang menyandang kecacatan tubuh akan
turut terganggu kehidupannya, selama penyandang cacat tersebut belum dapat berdiri
sendiri dan masih selalu menggantungkan dirinya pada orang lain. Dipandang dari
segi ekonomi, sejak seseorang terutama yang telah dewasa menjadi cacat tubuh,
masyarkat mengalami kerugian ganda, yaitu kehilangan anggota yang produktif dan
bertambah anggota yang non produktif, ini berarti menambah berat beban bagi
masyarakat. Perlu usahausaha rehabilitasi yang dapat merubah penyandang cacat
tubuh dari kondisi non produktif menjadi produktif. Disamping itu masih ada sikap
dan anggapan sebagian masyarakat yang kurang menguntungkan bagi penyandang
cacat tubuh, antara lain:
a) Masih adanya sikap ragu-ragu terhadap kemampuan penyandang cacat
tubuh, mengakibatkan kesulitan memperoleh pekerjaan.
b) Masih adanya sikap masa bodoh di sebagian lapisan masyarakat terhadap
permasalahan penyandang cacat tubuh.
c) Belum meluasnya partisipasi masyarakat di dalam menangani permasalahan
penyandang cacat tubuh
d) Masih lemahnya sebagian organisasi sosial yang bergerak dibidang
e) Pengguna jasa tenaga kerja penyandang cacat tubuh umumnya belum
menyediakan kemudahan/sarana bantu yang diperlukan bagi tenaga kerja
penyandang cacat tubuh.
f) Program pelayanan rehabilitasi medis, sosial dan vokasional yang
dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat belum menjangkau seluruh
populasi penyandang cacat tubuh.
3) Pelayanan umum
Sarana umum seperti: sekolah, rumah sakit, perkantoran, tempat rekreasi,
perhotlan, kantor pos, terminal, telepon umum, bank, dan tempat lainnya belum
seluruhnya memiliki aksesibilitas bagi penyandang cacat tubuh.
B. Cacat Mental
Anak berkelainan mental adalah anak yang memiliki penyimpangan kemampuan
berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan mental ini
dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih (supernormal)
dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih
atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: (a) anak mampu
belajar dengan cepat (rapid learner), (b) anak berbakat (gifted), dan (c) anak genius (extremely gifted). Karakteristik anak yang termasuk dalam kategori mampu belajar dengan cepat jika hasil kecerdasan menunjukkan bahwa indeks kecerdasannya yang
bersangkutan berada pada rentang 110-120, anak berbakat jika indeks kecerdasannya
berada pada rentang 120-140, dan anak sangat berbakat atau genius jika indeks
kecerdasannya berada pada rentang di atas 140.
Secara umum Tirtonegoro (dalam Efendi, 2006:8-9) membagi karakteristik
anak dengan kemampuan mental lebih, di samping memiliki potensi kecerdasan yang
antara lain (1) kemampuan intelektual umum, (2) kemampuan akademik khusus, (3)
kemampuan berpikir kreatif produktif, (4) kemampuan dalam salah satu bidang
kesenian, (5) kemampuan psikomotorik, dan (6) kemampuan psikososial dan
kepemimpinan. Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau tunagrahita,
yaitu anak yang diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian
rendahnya (dibawah normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya
memerlukan bantuan atau layanan secara khusus, termasuk di dalamnya kebutuhan
program pendidikan dan bimbingannya. Kondisi ketunagrahitaan dalam praktik
kehidupan sehari-hari di kalangan awam seringkali disalahpersepsikan, terutama bagi
keluarga yang mempunyai anak tunagrahita, yakni berharap dengan memasukkan
anak tunagrahita ke dalam lembaga pendidikan, kelak anaknya dapat berkembang
sebagaimana anak normal lainnya.
Harapan semacam ini wajar saja karena mereka tidak mengetahui
karakteristik anak tunagrahita. Kirk menyatakan kondisi tunagrahita tidak dapat
disamakan dengan penyakit, tetapi keadaan tunagrahita suatu kondisi sebagaimana
yang ada, “Mental retarded is not disease but a condition” (dalam Efendi,2006:9). Atas dasar itulah tunagrahita dalam gradasi manapun tidak bisa disembuhkan atau
diobati dengan obat apapun.
C. Kelainan Perilaku Sosial
Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami
kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, norma sosial dan
lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial
ini, misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran
hukum/norma maupun kesopanan. Mackie (dalam Efendi,2006:10) mengemukakan,
mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di
rumah, di sekolah dan di masyarakat lingkungannya. Hal yang penting dari itu adalah
akibat tindakan atau perbuatan yang dilakukan dapat merugikan diri sendiri maupun
orang lain. Klasifikasi anak yang termasuk dalam kategori mengalami kelainan
perilaku sosial di antaranya anak psychotic dan neurotic, anak dengan gangguan emosi dan anak nakal (delinquent). Berdasarkan sumber terjadinya tindak kelainan perilaku sosial secara penggolongan dibedakan menjadi:
a) tunalaras
emosi, yaitu penyimpangan perilaku sosial yang ekstrem sebagai bentuk
gangguan emosi,
b) tunalaras sosial, yaitu penyimpangan perilaku sosial sebagai bentuk kelainan
dalam penyesuaian sosial karena bersifat fungsional.
2.4 Tunanetra
2.4.1 Pengertian Tunanetra
Dalam bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan
lebih akrab disebut anak tunanetra. Pengertian tuna netra tidak saja mereka yang
buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan
kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam
belajar. Jadi, anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah
melihat”, “Low Vision”, atu rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanetra.
Dari uraian di tersebut, pengertian anak tunanetra adalah individu yang
indra penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerimaan
informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Anak- anak dengan
1. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas
2. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu
3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak
4. Posisis mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak
5. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan
Dari kondisi-kondisi diatas, pada umumnya yang digunakan sebagai
patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada
tingkat ketajaman penglihatannya. (Somantri, 2006:65). Untuk mengetahui
ketunanetraan dapat digunakan suatu tes yang dikenal sebagai tes Snellen Card. Perlu
ditegaskan bahwa anak dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya
(visusnya) kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca
huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter.
Berdasarkan acuan tersebut, anak tunanetra dapat dikelompokkan menjadi
dua macam, yaitu :
1. Buta
Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsangan cahaya
dari luar (visusnya = 0)
2. Low Vision
Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi
ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline
2.4.2 Klasifikasi Tunanetra
Klasifikasi ketunanetraan secara garis besar yaitu dibagi menjadi 4 antara
lain:
1. Terjadinya kecacatan, yakni sejak kapan anak menderita tunanetra yang dapat
digolongkan sebagai berikut :
a) Penderita tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali
tidak memiliki pengalaman melihat.
b) Penderita tunanetra sesudah lahir atau pada usia kecil, yaitu mereka yang sudah
memiliki kesan-kesan serta penglihatan visual, tetapi belum kuat dan mudah
terlupakan .
c) Penderita tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja, kesan kesan
pengalaman visual meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses
perkembangan pribadi.
d) Penderita tunanetra pada usia dewasa, yaitu mereka yang dengan segala
kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
e) Penderita tunanetra dalam usia lanjut, yaitu mereka yang sebagian besar sudah
sulit mengalami latihan-latihan penyesuaian diri.
2. Pembagian berdasarkan kemampuan daya lihat yaitu :
Ukuran ketajaman pengelihatan : Normal: Jarak pengelihatan 200 feet/kaki
tes atau 60 meter Terbatas pengelihatan : 20 feet/kaki atau 6 meter. Ukuran
ketajaman pengelihatan dengan menggunakan kartu Snellen: 1. kartu bentuk E yang
paling sering digunakan 2. kartu abjad : 3. kartu gambar-gambar bisa kurang efektif
karena tidak semua gambar benda dikenal oleh anak- anak. Untuk pembagian anak
a) Tunanetra dengan ketajaman penglihatan 6/20m- 6/60m atau 20/70
feet-20/200 feet, yang disebut kurang lihat (low vision). (20/70 feet artinya jika anak normal mampu melihat hingga jangkauan 70 feet tapi anak tunanetra
kategori di atas hanya dapat melihat pd jarak 20 feet).
b) Tunanetra dengan ketajaman penglihatan antara 6/60 m atau 20/200 feet atau
kurang, yang disebut buta (blind).
c) Tunanetra yang memiliki visus 0, atau yang disebut buta total (tolally blind).( http://www.slideshare.karakteristik-dan-pendidikan-anak-tuna-netra, diakses
pada tanggal 02 Juni 2014, pukul 17.00 Wib)
Secara umum Cruickshank (dalam Efendi, 2006:44) membagi karakteristik
kecerdasan anak tunanetra terhadap struktur kecakapan anak tunanetra yang dapat
digunakan sebagai dasar untuk mengkomplarasikan dengan anak normal yaitu:
a. Anak tunetra mengalami kenyataan nyata yang sama dengan anak normal, dari
pengalaman tersebut kemudian di integrasikan kedalam pengertiaannya sendiri.
b. Anak tunanetra cenderung menggunakan pendekatan konseptual yang abstrak
menuju ke konkrit, kemudian menuju fungsional serta terhadap konsekuensinya,
sedangkan pada anak normal yang terjadi sebaliknya.
c. Anak tunanetra perbendaharaan kata- katanya terbatasa pada definisi kata.
d. Anak tunanetra tidak dapat mebandingkan, tetutama dalam hal kecakapan
numerik.
Penegasan tentang tingkat kecerdasan anak tunanetra lebih rendah dari anak
normal ( awas) pada umumnya ( Tilman, dalam Efendi 2006) anak tunanetra
mengalami hambatan persepsi, berpikir secara konferensif dan mencari rangkaian
sebab akibat. Bahkan jika dikonfirmasikan dengan fase perkembangan kognitif
kurang lebih 4 tahun, dan fase intuitif terhambat 2 tahun. Meskipun dalam proses
berpikirnya tidak berbeda dengan anak normal.
3. Berdasarkan pemeriksaan klinis
1. Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau
memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
2. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai
dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
4. Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata
1. Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di
belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk
membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata
koreksi dengan lensa negatif.
2. Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh
di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk
membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata
koreksi dengan lensa positif.
3. Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan
karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola
mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak
terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita
astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris
2.4.3 Faktor Penyebab Tunanetra 1. Pre-natal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat
hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam
kandungan, antara lain:
a. Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan
bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra.
Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit
menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanya sukar
melihat di malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit
saja penglihatan pusat yang tertinggal.
b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhan dalam kandungan dapat
disebabkan oleh:
1. Gangguan waktu ibu hamil.
2. Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama
pertumbuhan janin dalam kandungan.
3. Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar
air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem
susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.
4. Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor
dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada
5. Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga
hilangnya fungsi penglihatan.
2. Post-natal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi
sejak atau setelah bayi lahir antara lain:
a. Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan
alat-alat atau benda keras.
b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil
gonorrhoe menular pada bayi, yang pada ahkirnya setelah bayi lahir mengalami sakit
dan berakibat hilangnya daya penglihatan.
c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya:
1. Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
2. Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
3. Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata
menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
4. Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata,
sehingga tekanan pada bola mata meningkat.
5. Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena
diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluh darah dan dapat dipengaruhi
oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.
6. Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah
tengah dari retina secara berangsur memburuk. Anak dengan retina degenerasi
masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk
7. Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya
terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang
normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator
yang berisi oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan
dari inkubator terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan
pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam
bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan
pada selaput jala (retina) dan tunanetra total.
d. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda
keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan,
dll(http://www.pkplkdikmen.di akses tanggal 04 Juni 2014, Pukul 10.00 Wib).
2.4.4 Dampak Ketunanetraan
Aktvitas manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar akan efektif
apabila mengikutsertakan alat- alat indra yang dimiiki, seperti penglihatan, perabaan,
pembau, pengecap, baik dilakukan secara sendiri- sendiri mupun bersama- sama.
Dengan pemanfaatan beberapa alat indra secara simultan memudahkan seseorang
melakukan apersepsi terhadap peristiwa atau objek yang diobservasi, terutama untuk
membentuk suatu penglihatan yang utuh.
Dengan tanggungnya salah satu atau lebih alat indranya ( penglihatan,
pendengaran, pengecap, pembau maupun peraba), akan mempengaruhi terhadap
indra- indra yang lain. Pada gilirannya akan membawa konsekuensi tersendiri
terhadap kemempuan dirinya berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Misalnya, pada
anak tunanetra dengan kehilangan sebagian atau keseluruhan fungsi penglihatan pada
anak tunanetra akan menimbulkan dampak negatif atas kemampuaanya yang lain,
2.5 Pendidikan Anak Tunanetra
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik
melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu
anak tunanetra agar mampu mengembangkan potensinya secara optimal, baik yang
menyangkut aspek moral, spiritual, intelektual, emosional maupun sosial. Melalui
program bimbingan, pengajaran, dan latihan anak tunanetra mendapatkan perhatian
khusus dalam meningkatkan kemampuan anak tunanetra.
Tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan maka proses
pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra
pendengaran. Alat-alat pendidikan juga harus menunjang kebutuhan anak tunanetra,
karena itulah yang akan menjadi media bagi pembelajaran anak. Alat-alat pendidikan
tunanetra meliputi alat khusus, alat bantu, dan alat peraga.
a. Alat pendidikan khusus anak tunanetra antara lain:
1. reglet dan pena
2. mesin tik Braille,
3. computer dengan program Braille,
4. printer Braille,
5. abacus,
6. calculator bicara,
7. kertas braille,
8. penggaris Braille,
9. kompas bicara.
b. Alat Bantu
Alat bantu pendidikan bagi anak tunanetra sebaiknya menggunakan materi perabaan
1. Alat bantu perabaan sebagai sumber belajar menggunakan buku-buku dengan
huruf Braille.
2. Alat bantu pendengaran sebagai sumber belajar diantaranya talking books
(buku bicara), kaset (suara binatang), CD, kamus bicara
c. Alat Peraga
Alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan
atau pendengaran. Alat peraga tersebut antara lain:
1. benda asli : makanan, minuman, binatang peliharaan (kucing, ayam, ikan
hias, dll) tubuh anak itu sendiri, tumbuhan/tanaman, elektronik, kaset, dll.
2. benda asli yang diawetkan : binatang liar/buas atau yang sulit di dapatkan,
3. benda asli yang dikeringkan (herbarium, insektarium)
4. benda/model tiruan; model kerangka manusia, model alat pernafasan, dll.
5. gambar timbul sesuai dengan bentuk asli; grafik, diagram dll.
6. Gambar timbul skematik; rangkaian listrik, denah, dll.
7. Peta timbul; provinsi, pulau, negara, daratan, benua, dll.
8. Globe timbul
9. Papan baca
10.Papan paku (http://www.pkplkdikmen.net/berita-pendidikan. di akses tanggal
04 Juni pukul 14.00 Wib)
Anak tunanetra memerlukan tenaga kependidikan yang sesuai dengan
bidangnya untuk membantu mereka dalam menggunakan media-media
pembelajarannya. Hal-hal yang dibutuhkan dalam tenaga kependidikan antara lain:
1. Guru dengan kualifikasi:
1. SGPLB (Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa)
3. Pasca Sarjana (S-2) PLB
4. Sarjana (S-1) bukan PLB tetapi memiliki latar belakang keahlian
tertentu/khusus yang dibutuhkan anak tunanetra, seperti; Pendidikan Agama,
Musik, Massage, dll.
5. Guru sekolah umum yang diberi training minimal 6 bulan
2. Psikolog
Psikolog diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan intelegensi anak
tunanetra. Disamping itu membantu guru dalam assessment. Tujuan assessment
adalah untuk mengetahui sejauhmana potensi dan kekurangan/hambatan yang
dimiliki anak tunanetra, sehingga dapat diketahui apa kebutuhan anak tunanetra
dalam proses pembelajaran.
3. Dokter mata
Rekomendasi dari dokter mata sangatlah diperlukan bagi lembaga penyelenggara
pendidikan tunanetra. Seorang dokter mata memiliki kewenangan untuk menentukan
bahwa seseorang memiliki hambatan dalam penglihatan.
4. Optometris
Kemampuan penglihatan anak tunanetra dapat dikatehui salah satunya dari hasil
assessment klinis yang dilakukan oleh seorang optometris. Kondisi anak tunanetra
dapat diketahui melalui laporan hasil assessment, misalnya:
a. Ketajaman penglihatan
b. lapang pandang
c. kebutuhan media baca tulis
d. alat bantu yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan anak
f. penempatan di dalam kelas ((http://www.pkplkdikmen.net/berita-pendidikan.
di akses tanggal 04 Juni pukul 14.00 Wib)
2.6 Pelayan Sosial
Alfred J.Khan memberikan pengertian pelayanan sosial sebagai berikut:
“Pelayanan sosial terdiri dari program-program yang diadakan tanpa
mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin suatu tingkatan dasar dalam
penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, dan
kesejahteraan untuk meningkatkan kebutuhan masyarakat serta kemampuan
perorangan untuk pelaksanaan fungsi-fungsinya, untuk memperlancar kemampuan
menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang
telah ada dan membantu warga masyarakat yang mengalami kesulitan dan
keterlantaran” (Khan, dalam Soetarso, 1982: 34).
Pelayanan sosial pada hakekatnya dibuat untuk memberikan bantuan kepada
individu dan masyarakat untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang
semakin rumit. Y.B. Suparlan mengatakan bahwa pelayanan adalah usaha untuk
memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang lain baik materi atau non materi
agar orang lain dapat mengatasi masalahnya sendiri. (Suparlan, 1983: 91).
Pada umumnya pelayanan sosial diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Kesejahteraan keluarga
b. Pelayanan pendidikan orang tua
c. Pelayanan penitipan bayi atau anak
d. Pelayanan kesejahteraan anak
e. Pelayanan rehabilitasi bagi penyalahgunaan NAPZA
g. Pelayanan rehabilitasi bagi penderita cacat dan pelanggar hukum
h. Pelayanan bagi para migrant dan pengungsi
i. Kegiatan kelompok bagi para remaja
j. Pekerjaan sosial medis
k. Pusat-pusat pelayanan kesejahteraan sosial masyarakat
l. Pelayanan sosial yang berhubungan dengan proyek-proyek perumahan
(sumber: catatan mata kuliah Pekerja Sosial Industri).
Fungsi pelayanan sosial dapat dibagi menjadi berbagai cara, tergantung
kepada tujuan pembagian itul. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan
fungsi pelayanan sosial sebagai berikut:
a. Perbaikan secara progresif pada kondisi-kondisi kehidupan orang
b. Pengembangan terhadap perubahan sosial dan penyesuaian diri
c. Penggerakan dan penciptaan sumber-sumber komunitas untuk tujuan-tujuan
pembangunan
d. Penyediaan struktur-struktur institusional untuk pelayanan-pelayanan yang
terorganisir lainnya (Soetarso, 1982: 41).
Bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah
sebagai berikut:
a. Pelayanan akses yang mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah,
nasehat, dan partisipasi. Tujuannya adalah membantu orang agar dapat
mencapai atau menggunakan pelayanan yang tersedia
b. Pelayanan terapi yang mencakup pertolongan dan terapi atau rehabilitasi,
termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan, misalnya pelayanan yang
kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial mendidik, dan sekolah
perawatan bagi orang-orang jompo dan lanjut usia
c. Pelayanan sosialisasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan
anak, keluarga bencana, pendidikan keluarga, pelayanan reaksi bagi pemudah
dan masyarakat yang dipusatkan atau community.
2.7 Kesejahteraan Sosial
Istilah kesejahteraan sosial bukanlah hal baru, baik dalam wacana global
maupun nasional. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) misalnya telah mengatur masalah
ini sebagai salah satu bidang kegiatan masyarakat internasional.Di Indonesia, konsep
kesejahteraan sosial juga telah lama dikenal. Ia telah ada dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia (Suharto,2009:1).
Perserikatan Bangsa-Bangsa memberi batasan kesajahteraan sosial sebagai
kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu atau
masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan
kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat. Defenisi ini
menekankan bahwa, kesejahteraan sosial adalah suatu institusi atau bidang kegiatan
yang melibatkan aktivitas yang terorganisir yang diselenggarakan baik oleh
lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau
memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, dan peningkatan kualitas
hidup individu, kelompok dan masyarakat.
Kesejahteraan sosial dalam artian luas mencakup berbagai tindakan yang
dilakukan manusia untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Taraf kehidupan
yang lebih baik ini tidak hanya diukur secara ekonomi, dan fisik belaka, tetapi juga
Kesejahteraan sosial dapat dilihat dalam empat sudut pandang yaitu:
1. Kesejahteraan sosial sebagai suatu keadilan (kondisi)
Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi, kesejahteraan sosial dapat dilihat
dari rumusan Undang-Undang No 6 tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kesejahteraan sosial, pasal 2 ayat 1: Kesejahteraan sosial adalah sebagai suatu tata
kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa
keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi
setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
jasmaniah,rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta
masyarakat dengan menjungjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai
dengan Pancasila.
2. Kesejahteraan sosial sebagai suatu ilmu
Sebagai suatu ilmu, pada dasarnya suatu ilmu yang mencoba
mengembangkan pemikiran, strategi dan teknik untuk meningkatkan kesejahteraan
suatu masyarakat, baik dari level mikro, mezzo, maupun makro.
3. Kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan
Sebagai suatu kegiatan, pengertian kesejahteraan sosial dapat dilihat antara
lain dari defenisi yang dikembangkan oleh Friedlander (dalam Adi,2003):
“Kesejahteraan sosial merupakan sisitem yang terorganisir dari berbagai institusi dan
usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dirancang guna membantu individu ataupun
kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan.”
Pengertian ini sekurang-kurangnya menggambarkan kesejahteraan sosial
sebagai suatu sistem pelayanan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Meskipun dalam pengertian yang dikemukakan Friedlender secara
kelompok, tetapi dalam arti luas pengertian Friedlender juga melihat masyarakat
sebagai suatu totalitas.
4. Kesejahteraan sosial sebagai suatu gerakan
Sebagai suatu gerakan, isu kesejahteraan sosial sudah menyebar luas hampir
ke seluruh penjuru dunia sehingga menjadi gerakan tersendiri yang bertujuan
memberitahukan kepada dunia bahwa masalah kesejahteraan sosial merupakan hal
yang perlu diperhatikan secara seksama oleh masyarakat dunai, baik secara global
maupun parsial. Oleh karena itu, muncullah berbagai macam gerakan dalam wujud
organisasi lokal, regional maupun internasional yang berusaha menangani isu
kesejahteraan sosial ini.
2.8 Kerangka Pemikiran
Tidak semua manusia lahir kedunia dalam keadaan normal. Ada yang lahir
dengan ketidaksempurnaan ataupun yang mengalami kecelakaan yang
mengakibatkan kecacatan. Hal ini membuat mereka merasa tidak berguna atau
dianggap tidak memiliki potensi yang perlu dikembangkan. Tunanetra merupakan
suatu keadaan yang tidak sempurna yang dialami oleh sebagian manusia. Dengan
ketunaan mereka banyak permasalahan yang muncul yang mempengaruhi
perkembangan diri mereka. Untuk mengembangkan kemampuan mereka, tunanetra
sangat mengharapkan kesempatan dalam mengaktualisasikan potensi yang dimiliki,
dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka mampu sama seperti
orang-orang yang bisa melihat.
Sistem pelayanan rehabilitasi sosial anak dengan kecacatan tunanetra adalah
suatu bentuk perwujudan dari tanggung jawab dan kewajiban bersama: antara
pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan juga harus didukung oleh
kemudahan/aksebilitas bagi penyandang cacat tunanetra dalm menjalankan
kehidupannya secara mandiri.
Pemberian pelayanan sosial itu sendiri diselenggarakan untuk membantu
keluarga/orangtua dan anak dengan kecacatan. Pelayanan sosial, disamping ditujukan
untuk member bantuan pelalayan sosial juga dilakukan untuk memberikan upaya
rehabilitasi sosial maupun memberikan perlindungan anak. Disisi lain, pelayanan
sosial diselenggarakan agar anak terpenuhi kebutuhan perlindungannya. Melalui
perlindungan juga diharapkan akan terpeliharanya taraf kesejahteraan anak dan
keluarganya, dan perlu adanya penyelenggaraan pelayanan soial maupun rehabilitasi
sosial.
Sebagai kelompok rentan, anak dengan kecacatan tunanetra juga
membutuhkan serangkaian rehabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial dilakukan secara
utuh dan terpadu dan berkesinambungan melaui pendekatan fisik, mental, sosial, agar
penyandang cacat dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal dalam hidup
bermasyarakat. Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi sosial, maka
perlu ada dilakukan rehabilitasi lain yang mencakup rehabilitasi medik, pendidikan
dan keterampilan.
Sekolah Luar Biasa (SLB/A) Karya Murni merupakan suatu lembaga sosial
yang bergerak dalam bidang kemanusia yang memegang prinsip bahwa hidup harus
dihormati tanpa memandang asal usul, atau keadaan fisik warga secara lahiriah.
Sebagai lembaga sosial kemanusian, Karya Murni meberikan perhatian khusus
kepada para penyandang cacat tunanetra, anak-anak yatim piatu dan ekonomi. Di
Karya Murni anak-anak yang lahir dalam keadaan demikan, dididik, dibesarkan,
Anak tunanetra mempunyai hak untuk mewujudkan jati diri mereka tapi proses itu
dilakukan mesti dengan menghormati kemungkinan yang ada dalam diri mereka.
Mereka sendiri harus ikut serta menentukan proses pemberdayaaan yang dapat
mereka jalani sesuai dengan kemungkinan- kemungkinan yang ada dalam diri
mereka. Salah satu pemberdayaan yang mereka ikuti adalah dengan keterampilan
(musik, masage/pjat, meronce) yang bertujuan untuk membuat anak tunanetra
mempunyai keahlian dan kemandirian.
Bagan Alur Pikir Bagan 1
Penyandang Cacat Tunanetra
Jenis-jenis keterampilan :
1. Keterampilan Musik 2. Keterampilan Masage/
pijat
3. Keterampilan meronce
Indikator efektivitas pelaksanaan program keterampilan menurut Gomes (2003) :
1. Reaksi (Reaction) 2. Belajar (Learning) 3. Perilaku (Behaviors) 4. Dampak (Organizational
results)
Tidak Efektif
Efektif
2.9 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional 2.9.1 Defenisi Konsep
Defenisi konsep adalah batasan arti dan gambaran hubungan dari antara
unsur-unsur yang ada di dalamnya (Siagian, 2011:56). Konsep penelitian bertujuan
untuk merumuskan istilah dan mendefenisikan istilah-istilah yang digunakan secara
mendasarkan agar tercipta suatu persamaan persepsi dan tidak muncul salah
pengertian pemakaian istilah yang dapat mengaburkan tujuan penelitian. Untuk
memperjelas penelitian ini, maka peneliti membatasi konsep-konsep yang digunakan
sebagai berikut :
1. Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (seperti
reaksi, belajar, perilaku dan hasil organisasi ) yang telah dicapai oleh manajemen,
yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Dengan demikian,
suatu usaha atau kegiatan dikatakan efektif apabila tujuan atau sasaran dapat
dicapai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sebelumnya dan dapat
memberikan manfaat yang nyata sesuai dengan kebutuhan.
2. Program pelatihan keterampilan adalah suatu program atau kumpulan
proyek-proyek yang berhubungan dengan keterampilan telah dirancang untuk
mengembangkan keterampilan penyandang cacat tunanetra agar bisa lebih
mandiri dengan keterampilan yang telah dimilikinya.
3. Penyandang cacat tunanetra adalah individu yang indra penglihatannya
(kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerimaan informasi dalam kegiatan
sehari-hari seperti halnya orang awas.
4. Pelayanan Sosial disebut juga pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program
pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna sosial dan
sebagainya.
2.9.2 Defenisi Operasional
Defenisi operasional adalah proses operasionalisasi konsep yaitu upaya
transformasi konsep ke dunia nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat
diobservasi (Siagian, 2011:141). Dengan defenisi operasional dapat diketahui
indikator-indikator apa saja yang akan diukur dan dianalisa dalam variabel yang ada.
Untuk memudahkan dalam memahami variabel dalam penelitian ini, maka
menurut Gomes (2003:209), program pelatihan bisa diukur melalui
indikator-indikator sebagai berikut :
1. Reaksi (reaction) dari warga binaan tuna rungu wicara terhadap program pelatihan dari tingkat kepuasannya terhadap:
a. Program pelatihan secara keseluruhan
1) Efektif, jika sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan keterampilan
terpenuhi
2) Tidak efektif, jika sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan
keterampilan tidak terpenuhi
b. Pelatih/instruktur
1) Efektif, jika pelatih/instruktuf mampu menyampaikan materi pembelajaran
dengan baik.
2) Tidak efektif, jika pelatih/instruktur tidak mampu menyampaikan materi
pembelajaran dengan baik
2. Belajar (Learning) adalah untuk mengetahui seberapa jauh warga binaan tunanetra menguasai konsep-konsep dan keterampilanketerampilan yang diberikan selama
a. Penerimaan dan pemahaman pembelajaran
1) Efektif, jika pembelajaran yang diberikan kepada setiap warga binaan merata.
2) Tidak efektif, jika pembelajaran yang diberikan kepada setiap warga binaan
tidak merata.
b. Peningkatan SDM yang diterima peserta dari pelaksanaan program keterampilan
1) Efektif, jika keahlian warga binaan bertambah setelah mengikuti kegiatan.
2) Tidak efektif, jika keahlian warga binaan tidak bertambah setelah mengikuti
kegiatan.
3. Perilaku (Behavior) dari warga binaan, sebelum dan sesudah pelatihan, dapat dibandingkan guna mengetahui tingkat pengaruh pelatihan terhadap perubahan
perilaku mereka.
a. Perubahan perilaku warga binaan
1) Efektif, jika terjadi perubahan perilaku warga binaan sebelum dan
sesudah pelatihan diberikan.
2) Tidak efektif, jika tidak terjadi perubahan perilaku warga sebelum dan
sesudah pelatihan diberikan.
b. perubahan perilaku sosial dan kemandirian
1) Efektif, jika terjadi perubahan berinteraksi dan kemendirian warga binaan
sebelum dan sesudah pelatihan.
2) Tidak efektif, jika terjadi perubahan perilaku warga binaan sebelum dan
sesudah pelatihan diberikan.
4. Dampak Organisasi (Organizational results) adalah untuk menguji dampak pelatihan terhadap organisasi secara keseluruhan. Data bisa dikumpulkan sebelum
dan sesudah pelatihan atas dasar kriteria:
1. Efektif, jika keterampilan yang diajarkan dapat menjadi manfaat dan
modal dalam bekerja.
2. Tidak efektif, jika keterampilan yang diajarkan tidak bermanfaat dan
tidak dapat menjadi modal dalam bekerja.
b. Waktu pelaksanaan program
1) Efektif, jika pelaksanaan program ini dapat meningkatkan keahlian serta
keterampilan selama kurun waktu yang telah ditentukan.
2) Tidak efektif, jika pelaksanaan program ini tidak dapat meningkatkan
keahlian dan keterampilan selama kurun waktu yang telah ditentukan
c. Kepuasan warga binaan
1) Efektif, jika warga binaan merasa puas terhadap program pelatihan
keterampilan yang telah diberikan.
2) Tidak efektif, jika warga binaan tidak merasa puas terhadap program
pelatihan keterampilan yang telah diberikan.
d. percaya diri/ mandiri
1) Efektif, jika warga binaan sudah merasa percaya diri/ mandiri dengan
program pelatihan yang sudah diberikan
2) Tidak efektif, jika warga binaan belum percaya diri/ mandiri dengan