BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejalan dengan perkembangan pembangunan nasional, pembangunan
dunia usaha di Indonesia turut pula berkembang dengan pesat. Hal ini dapat
dilihat dengan semakin banyaknya pengusaha baik yang bertindak secara pribadi
maupun bersama-sama mendirikan perusahaan dengan tujuan mencari
keuntungan. Orang pribadi maupun perusahaan dalam menjalankan usahanya
tentu memerlukan modal, baik berupa uang maupun barang-barang. Semakin
besar usaha yang akan dijalankan tentu semakin besar pula modal yang diperlukan
perusahaan. Untuk memenuhi kebutuhan akan modal tersebut, sering sekali
mereka melakukan pinjaman kepada pemilik modal/kreditur. Orang/perusahaan
yang menerima pinjaman dari pemilik modal/kreditur secara umum disebut
dengan debitur.
Saat menjalankan usaha kemungkinan debitur akan mengalami keuntungan
atau kerugian. Jika debitur tersebut mengalami keuntungan tentu debitur tersebut
dapat bertahan bahkan terus berkembang. Namun kenyataannya keadaan debitur
tidaklah selalu dalam keadaan baik, sering sekali debitur mengalami kerugian atau
kesulitan dibidang keuangan sehingga sulit untuk mempertahankan jalannya usaha
dan tidak sanggup membayar utang-utangnya atau dapat dikategorikan bahwa
perusahaan mengalami corporate failure jika debiturnya perusahaan.1
1
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2 (Jakarta : Sofmedia, 2010), hlm. 3.
Pemberian pinjaman atau kredit yang diberikan kreditur kepada debitur
dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa debitur dapat mengembalikan
pinjaman tersebut kepada kreditur sesuai kesepakatan. Karena itulah mengapa
pinjaman dari seorang kreditur kepada seorang debitur disebut dengan kredit
(credit) yang berasal dari kata creder yang berarti kepercayaan atau trust.2
Debitur yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya dalam kesulitan
sehingga kemungkinan besar berhenti membayar utangnya, maka dapat memilih
beberapa langkah dalam menyelesaikan utangnya tersebut, langkah-langkah yang
dimaksud seperti mengadakan perdamaian diluar pengadilan dengan para
kreditornya atau mengadakan perdamaian di dalam pengadilan apabila debitur
tersebut digugat secara perdata. Debitur juga dapat mengajukan permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) serta mengajukan perdamaian
dalam PKPU. Langkah lain adalah dengan mengajukan permohonan agar dirinya
dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Bagi
debitur membayar utang kepada kreditur sesuai dengan kesepakatan para pihak
sudah merupakan suatu kewajiban. Apabila kewajiaban membayar utang tersebut
berjalan lancar maka tentu tidak akan ada masalah. Namun permasalahan akan
timbul ketika debitur mengalami kesulitan untuk membayar utangnya sesuai
kesepakatan. Dengan kata lain debitur berada dalam keadaan berhenti membayar
utang yang tentunya akan menimbulkan kerugian bagi pihak kreditur.
3
2
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissmentsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun1998 (Jakarta : Pustaka Utama Grafity,2002), hlm. 6.
3
Berkaitan dengan alternatif pilihan-pilihan tersebut, debitur seyogianya
memilih alternatif yang terbaik. Salah satu pilihan adalah mengajukan
permohonan PKPU. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang pada Bab III tentang Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 294.
Berdasarkan Pasal 222 ayat 2 UU Kepailitan dan PKPU, debitur yang tidak
dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan pembayaran
utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon
penundaan pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana
perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang
kepada kreditur. Istilah lain dari PKPU ini adalah suspension of payment atau
Surseance van Betaling, maksudnya adalah suatu masa yang diberikan oleh
undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada
pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan
cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh
atau sebagian hutangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi
hutangnya tersebut.4
Untuk memulihkan utang-utangnya kepada kreditur, langkah PKPU ini
jelas relatif lebih baik dilakukan oleh debitur.5
4
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 15.
Dalam PKPU debitur lepas dari
5
peristiwa kepailitan, dimana hal ini sangat ditakuti oleh para pengusaha karena
dampaknya sangat luas baik terhadap karir debitur selaku pengurus perusahaan,
maupun terhadap sekalian harta kebendaannya dan juga terhadap sekian banyak
nasib karyawan dan relasi-relasinya yang mungkin untuk menghimpun dan
membinanya memerlukan kerja keras dan waktu yang lama. Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang harus diajukan oleh debitur sebelum adanya
keputusan pernyataan pailit oleh putusan Pengadilan Niaga.6
Pemberesan harta debitur pailit berarti kepunahan baik dalam harta benda
perusahaan maupun nama baik debitur walaupun nantinya ada langkah-langkah
rehabilitasi disediakan oleh undang-undang. Melalui PKPU ini, selama batas
waktu yang telah disepakati, pihak debitur dan pengurus tidak lagi direpoti oleh
gangguan dari para kreditur yang menuntut pelunasan utang, karena semua
masalah telah dijadwal atas hasil kesepakatan bersama dan keputusan perdamaian
tersebut bersifat mengikat sehingga situasinya akan jauh berbeda pada saat debitur
berada dalam kondisi sebelum PKPU dijalankan yang mana sewaktu-waktu pihak
kreditur dapat mengganggu aktivitas kerja perusahaan bahkan sewaktu waktu
dapat memohonkan debitur pailit.
7
Berdasarkan Pasal 222 ayat 3 UU Kepailitan dan PKPU, pengajuan PKPU
selain dilakukan oleh debitur, juga dapat dilakukan oleh kreditur yang
memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang
sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Hal ini menunjukan bahwa PKPU tidak
dimaksud untuk kepentingan debitur saja tetapi juga untuk kepentingan para
6Ibid.,
hlm. 202. 7
krediturnya, khususnya kreditur konkuren. Adapun tujuan daripada PKPU itu
sendiri adalah sebagai berikut pertama, debitur mendapat waktu yang cukup
untuk memperbaiki kesulitannya, dan akhirnya mampu membayar/melunasi
utang-utangnya dikemudian hari; kedua, pihak kreditur dimungkinkan mendapat
pembayaran piutangnya secara penuh sehingga tidak merugikannya.8
Penyelenggaraan PKPU merupakan suatu jalan untuk menghindari debitur
dari proses kepailitan. Namun adakalanya PKPU yang diselenggarakan juga tidak
berhasil hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang menjadi kendala, salah
satunya faktor kurangnya kepercayaan dari kreditur-kreditur yang baru untuk
memberi pinjaman guna kelanjutan usaha debitur, atau para kreditur baru bersedia
memberikan pinjaman dengan persyaratan yang cukup memberatkan debitur,
sehingga bukannya perbaikan perusahaan yang akan terjadi, malah sebaliknya.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dimintakan oleh debitur maupun
kreditur sebaiknya dilakukan dengan cukup hati-hati dan penuh ketelitian, karena
sekali para pihak salah langkah dapat menyebabkan kehancuran pengelolaan harta
kekayaan perusahaan debitur. Oleh sebab itu pemilihan terhadap pengurus PKPU
yang berkualitas akan sangat menentukan arah atau langkah perusahaan
selanjutnya.
Pelaksanaan PKPU sangat di dukung oleh keterlibatan pengurus PKPU
dalam mengurus asset kekayaan debitur, sehingga segala sesuatunya harus dapat
penanganan yang teliti dari seorang atau beberapa pengurus PKPU yang ditunjuk
dalam proses PKPU oleh pengadilan. Berhasil atau tidaknya proses PKPU sangat
8
ditentukan oleh pengurus PKPU yang handal, yang mampu melaksanakan
eksistensinya sebagai pengurus yang tidak memihak kepada salah satu pihak
manapun. Kreditur maupun debitur harus patuh dan tunduk kepada kewenangan
pengurus PKPU yang tentunya mempunyai batas-batas sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan pengurus PKPU juga berdampak
pada berhasil atau tidaknya tujuan dilakukannya PKPU, yaitu untuk mencegah
kepailitan seorang debitur atau perusahaan yang tidak dapat membayar tetapi
mungkin dapat membayar dimasa yang akan datang dalam jangka waktu yang
disepakati bersama antara debitur dan kreditur.9
Seorang kurator dalam suatu kepailitan menggantikan posisi debitur yang
pailit dalam melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya, tetapi seorang
pengurus PKPU tidak menggantikan debitur. Karena pada prinsipnya yang satu
tidak dapat bertindak tanpa yang lainnya, dalam PKPU pengurus bersama-sama
dengan debitur melakukan pengurusan atas perusahaan atau aset debitur.10
Pengurus PKPU harus secara terus menerus memantau usaha dari debitur.
Segera setelah pengurus PKPU mengetahui adanya jumlah penghasilan tetap yang
berkurang atau timbulnya biaya-biaya dari kelanjutan usaha diluar batas maksimal Pada
saat Putusan Hakim Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan PKPU, pada
saat itu juga diangkatlah satu atau lebih pengurus PKPU oleh hakim tersebut yang
menyebabkan pembatasan ruang gerak debitur terhadap keleluasaannya mengurus
dan mempergunakan harta kekayaannya, dimana ia tidak diperkenankan untuk
mengelola usahanya tanpa kerjasama dengan pengurus PKPU.
9
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 190 10
yang diperkirakan maka pengurus PKPU harus segera menghentikan dan
mengakhiri usaha perusahaan debitur tersebut. Ada pengecualian dimana
pengurus PKPU oleh Undang-undang diberi hak untuk bertindak sendiri tanpa
kerjasama dengan debitur, yakni jika debitur melanggar Pasal 240 UU Kepailitan
dan PKPU tersebut maka pengurus PKPU memiliki kewenangan untuk
melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta debitur
tidak dirugikan karena tindakan debitur tersebut.11
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa debitur tidak dapat melakukan
tindakan kepengurusan terhadap harta debitur tanpa izin dari pengurus. Namun
bagaimana hubungan kerjasama antara debitur dan pengurus dalam pengurusan
harta, dan sejauh manakah kewenangan pengurus PKPU dalam pengurusan harta
debitur yang diatur dalam UU Kepailitan dan PKPU. Hal inilah yang menarik
untuk dikaji lebih jauh lagi, sehingga lebih jelas lagi batas-batas kewenangan serta
sejauh mana peran masing-masing pihak dalam PKPU.
Berdasarkan dari uraian di atas penulis ingin melakukan penelitian dalam
bentuk skripsi untuk mengetahui bagaimana kerjasama antara debitur dan
pengurus dalam melaksanakan pengurusan harta debitur dalam PKPU serta tugas
dan wewenang pengurus PKPU sebagaimana yang diatur dalam UU Kepailitan
dan PKPU, dengan judul: “Tugas Dan Wewenang Pengurus dalam PKPU Ditinjau
dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang”
11
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengangkatan pengurus dalam PKPU?
2. Bagaimana hubungan pengurus dengan debitur dalam PKPU?
3. Bagaimana tugas dan kewenangan pengurus PKPU menurut Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana proses pengangkatan pengurus dalam PKPU.
2. Untuk mengetahui seperti apa hubungan pengurus dengan debitur dalam
PKPU.
3. Memahami tugas dan kewenangan pengurus PKPU sesuai ketentuan dalam UU
Kepailitan dan PKPU.
Penelitian ini diharapkanakan memberikan manfaat/faedah bagi
pihak-pihak baik secara teoritis maupun praktis, antara lain:
1. Manfaat secara teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran berupa solusi-solusi hukum kepailitan
b. Merupakan bahan untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan dasar
maupun bahan perbandingan bagi penelitian yang lebih luas.
2. Manfaat secara praktis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum terutama dalam
menyelesaikan masalah hukum yang berkenaan dengan hukum kepailitan
dan PKPU.
b. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah akan pentingnya
mengkaji lebih dalam mengenai hukum kepailitan yang berhubungan
dengan tugas dan kewenangan pengurus PKPU agar permasalahan
seputar PKPU dapat ditanggulangi.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan maupun pemikiran
secara pribadi dari awal hingga akhir. Berdasarkan informasi dan penelusuran
yang dilakukan oleh penulis di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka
diketahui bahwa belum pernah dilakukan penulisan yang serupa mengenai
“Tugas dan Wewenang Pengurus Dalam PKPU Ditinjau Dari Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaraan Utang”. Oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa penelitian
yang penulis lakukan ini jelas dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah,
karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penulisan skripsi
E. Tinjauan Pustaka
Selain penyelesaian dengan permohonan pailit, suatu masalah utang
piutang dapat pula diselesaikan melalui mekanisme yang disebut penundaan
kewajiban pembayaran utang (PKPU). Diajukannya PKPU ini biasanya untuk
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi seluruh tawaran pembayaran dari
seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren. Mekanisme seperti ini
dilakukan oleh debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang , dengan maksud untuk
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian
atau seluruh utang kepada kreditur.12
Istilah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau disebut juga
moratorium harus dibedakan dengan gagal bayar, karena gagal bayar secara
esensial berarti bahwa seorang debitur tidak melakukan pembayaran utangnya.
Gagal bayar terjadi apabila si peminjam tidak mampu untuk melaksanakan
pembayaran sesuai dengan jadwal pembayaran yang disepakati baik atas bunga
maupun atas utang pokok.13
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah suatu masa yang
diberikan oleh Hakim Pengadilan Niaga kepada debitur dan kreditur untuk
menegosiasikan cara-cara pembayaran utang debitur, baik sebagian maupun
seluruhnya termasuk apabila perlu merestrukturisasi utang tersebut. Diberikannya
12Ibid., 13
kesempatan bagi debitur untuk menunda kewajiban pembayaran utang-utangnya,
maka berkemungkinan bagi debitur untuk melanjutkan usahanya, aset-aset dan
kekayaan akan tetap dapat dipertahankan debitur sehingga dapat memberi suatu
jaminan bagi pelunasan utang-utang kepada seluruh kreditur, dan juga memberi
kesempatan kepada debitur untuk merestrukturisasi utang-utangnya, sedangkan
bagi kreditur, PKPU yang telah diberikan kepada debitur juga dimaksudkan agar
kreditur memperoleh kepastian mengenai tagihannya, utang piutangnya akan
dapat dilunasi oleh debitur.14
Menurut Munir Fuady, istilah lain dari PKPU ini adalah suspension of
payment atau Surseance van Betaling, maksudnya adalah suatu masa yang
dinerikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa
tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk
memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana
pembayaran seluruh atau sebagian hutangnya, termasuk apabila perlu untuk
merestrukturisasi hutangnya tersebut.15
Selanjutnya menurut Fred BG Tumbuan pengajuan PKPU ini juga dalam
rangka untuk menghindari kepailitan yang lazimnya bermuara dalam likuidasi
harta kekayaan debitur. Khususnya dalam perusahaan, penundaan kewajiban
pembayaran utang bertujuan memperbaiki keadaan ekonomi dan kemampuan
14
Kartini Muljadi, dalam Lontoh dkk, Penyelesaian Utang Piutang : Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung : Alumni, 2001), hlm. 173
15
debitur untuk membuat laba, maka dengan cara seperti ini kemungkinan besar
debitur dapat melunasi kewajibannya.16
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan pengunduran
pembayaran utang yang sudah jatuh tempo. Permohonan PKPU dapat diajukan
oleh debitur maupun krediturnya. Pengajuan permohonan PKPU harus
mempunyai lebih dari satu orang kreditur dimana salah satu utangnya sudah jatuh
tempo. Pembuktian yang dilakukan dalam proses PKPU adalah bersifat sederhana
baik terhadap para krediturnya maupun utang-utangnya yang dapat dibuktikan
dengan suatu surat perjanjaian yang telah dibuat antara debitur dengan
krediturnya. Apabila debitur adalah perseroan terbatas maka permohonan PKPU
atas prakarsanya sendiri (direksi) hanya dapat diajukan setelah mendapat
persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dengan quorum kehadiran
dan sahnya keputusan sama dengan yang diperlukan untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit.17
Dalam hal permohonan diajukan oleh debitur, pengadilan dalam waktu
paling lambat 3 (tiga hari) sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan harus
mengabulkan PKPU Sementara dan harus menunjuk seorang hakim pengawas
dari hakim pengadilan, serta mengangkat satu atau lebih pengurus PKPU yang
bersama dengan debitur mengurus harta debitur.
Debitur dalam perseroan terbatas adalah direksi
yang merupakan salah satu organ perseroan terbatas disamping RUPS dan
komisaris.
18
16
Fred B.G. Tumbuan ,Hukum Kepailitan, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung:Alumni,2001), hlm. 50.
Bila permohonan diajukan oleh
17
Rahayu Hartini,Op,Cit., hlm. 191. 18
kreditur, pengadilan dalam waktu paling lambat 20 (duapuluh) hari sejak tanggal
didaftarkannya surat permohonan harus mengabulkan permohonan PKPU
Sementara, dan harus menunjuk hakim pengawas dari hakim pengadilan serta
mengangkat satu atau lebih pengurus PKPU yang bersama debitur mengurus harta
debitur.19
Segera setelah PKPU Sementara diucapkan, maka pengadilan melalui
pengurus wajib memanggil debitur dan kreditur yang dikenal dengan surat tercatat
atau melalui kurir untuk menghadap dalam sidang yang ditentukan paling lama
pada harike 45 (empat puluh lima), terhitung sejak putusan PKPU Sementara
diucapkan. Apabila debitur tidak hadir dan sidang PKPU Sementara berakhir
maka pengadilan wajib menyatakan debitur pailit dalam sidang yang sama (Pasal
225UU No. 37 tahun 2004),20
PKPU akan membawa akibat hukum terhadap segala kekayaan debitur,
dimana selama berlangsungnya PKPU, debitur tidak dapat dipaksakan untuk
membayar utang- utangnya, dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai
untuk memperoleh pelunasan utang harus ditangguhkan. Selama PKPU
berlangsung debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau tetapi jika debitur menghadiri sidang tersebut dan
juga mengajukan rencana perdamaian bagi para krediturnya, maka hakim
pengadilan niaga menerima permohonan PKPU Tetap dengan jangka waktu 270
(dua ratus tujuh puluh) hari, terhitung sejak permohonan PKPU sementara
diterima.
19Ibid.,
20Ibid.
kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya.21 Dalam proses PKPU tersebut
maka dipilihlah pengurus yang berhak untuk melakukan segala sesuatu yang
diperlukan untuk memastikan bahwa harta debitur tidak dirugikan karena tindakan
debitur itu sendiri
F. Metode Penelitian
Kata metode berasal dari kata Yunani methods yang berarti cara atau jalan.
Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja
yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan.22 Untuk memenuhi kriteria penulisan yang bersifat ilmiah, maka
harus didukung dengan metode yang bersifat ilmiah pula, yaitu berpikir yang
obyektif, dan hasilnya harus dapat dibuktikan dan di uji secara benar.23
Penelitian ilmiah itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti
suatu alur berpikir yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga
ilmiah karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian.
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah.
Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan
dan menguji kebenaran dan dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna
memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-pokok
permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I Pendahuluan, sehingga diperlukan
rencana yang sistematis. Metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar
21
Rahayu Hartini, Op.Cit., hlm. 211. 22
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta, PT. Gramedia, 1997), hlm. 6m
23
suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang
harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.24
Pada penelitian hukum ini, peneliti menjadikan bidang ilmu hukum
sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya, oleh karena itu maka penelitian
yang digunakan adalah penelitian hukum. Menurut Soerjono Soekanto yang
dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.25
1. Spesifikasi penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif disebut juga dengan
penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang memusatkan
pada analisis hukum baik hukum yang tertulis dalam buku (law in books) maupun
hukum yang diputuskan oleh hakim melalui putusan pengadilan (law is decided
by the judge through the judicial process).26
Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan
secara tepat sifat individu suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. Deskriptif
analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum
dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya serta menganalisis fakta
secara cermat tentang tugas dan kewenangan pengurus dalam PKPU. Adapun
pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis, yang
merupakan pendekatan yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah
24
Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 9.
25
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 43. 26
maupun azas dengan tahapan berupa studi kepustakaan dengan pendekatan dari
berbagai literatur. Metode penelitian juga menggabungkan dengan studi
kepustakaan (libraly research ) dengan menggunakan media literatur yang ada
maupun jurnal ilmiah elektronik lainnya seperti internet dan tinjauan yuridis.
2. Sumber data
Sumber data penelitian ini adalah data sekunder, dapat dibedakan menjadi
bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder juga bahan hukum tertier.
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai
sifat authoritative yang berarti memiliki otoritas. Bahan hukum ini terdiri
dari peraturan perundang-undangan diantaranya adalah, catatan-catatan
resmi maupun risalah dalam pembuatan undang-undang.
b. Bahan hukum sekunder
Yaitu berupa bahan hukum yang merupakan publikasi hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku teks, dan jurnal.
Bahan hukum sekunder yang paling utama adalah buku teks karena berisi
mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan
para sarjana yang memiliki kualitas keilmuan.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup pertama, bahan-bahan
yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang
abstrak perundang undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan,
ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum dan
seterusnya, dan kedua bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang
(tersier) di luar bidang hukum, misalnya, yang berasal dari bidang
sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat dan lain sebagainya, yang oleh
para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang
data penelitiannya.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini ialah studi
kepustakaan, yaitu suatu teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data
sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur,
tulisan, maupun putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.
Pengumpulan data-data tersebut dilakukan dengan penelitian kepustakaan.
4. Analisa data
Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat
dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian
konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan Pasal-pasal kedalam
kategori-kategori atas pengertian dasar dari system hukum tersebut. Data yang berasal dari
studi kepustakaan kemudian dianalisis berdasarkan metode kualitatif dengan
melakukan:
a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum
(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi
b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis,
dalam hal ini ialah yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan
pengurus PKPU.
c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan
kemudian diolah.
d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau
peraturan perundang-undangan kemudian dianalisis secara deskriptif
kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta
kesimpulan atas permasalahan.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan
kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh
manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling
berhubungan satu dengan yang lain. Secara terperinci materi pembahasan
keseluruhan dibagi dalam 5 bab yakni sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat
penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penuliasan, dan sistematika penulisan
Bab ini berisi tentang bagaimana prosedur permohonan PKPU,
pihak-pihak yang terdapat dalam PKPU, dan proses pengangkatan
pengurus dalam PKPU
BAB III HUBUNGAN PENGURUS DENGAN DEBITUR DALAM PKPU
Bab ini menjelaskan tentang akibat hukum PKPU, kedudukan
pengurus dalam PKPU, dan menjelaskan bagaimana hubungan
pengurus dengan debitur dalam PKPU.
BAB IV TUGAS DAN WEWENANG PENGURUS BERDASARKAN UU
NO. 37 TAHUN 2004
Bab ini berisikan tentang tugas dan kewenangan pengurus serta
pertanggungjawabannya, peran pengurus dalam rencana
perdamaian, dan pengakhiran PKPU yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiaban Pembayaran Utang.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas
sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna bagi