• Tidak ada hasil yang ditemukan

FENOMENA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL K. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FENOMENA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL K. pdf"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

FENOMENA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL KEPALA SEKOLAH DALAM PENGELOLAAN SEKOLAH MELALUI PENDEKATAN

KECERDASAN EMOSIONAL

S. Adi Suparto*

Abstrak

Upaya mengembangkan organisasi sekolah yang mantap sering menghadapi persoalan konflik, yang disebabkan oleh keberagaman latar belakang komunitas sekolah, aturan-aturan yang sangat ketat, beban kerja yang berat, karakter kepemimpinan yang otoriter, atau adanya aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan baru sekolah. Konflik merupakan suatu kewajaran dan proses dinamis dalam kehidupan sekolah sebagai organisasi, yang bisa dikelola untuk meningkatkan efektivitas kerja organisasi sekolah. Manajemen konflik berbasis kecerdasan emosional merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan kepala sekolah dalam mengelola konflik untuk tujuan yang konstruktif.

Kata kunci : kepemimpinan transformasional, manajemen konflik, pendekatan kecerdasan emosional.

*

Dosen FKIP-Universitas Terbuka UPBJJ Surabaya 1. Pendahuluan

Kepemiminan merupakan proses bagi seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah yang dipimpinnya melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah Secara sederhana kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai proses untuk mengubah dan mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan dirinya, yang didalamnya melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta penghargaan terhadap para bawahan.

(2)

Dalam sebuah organisai, pekerjaan individual maupun sekelompok pekerja saling terkait dengan pekerjaan pihak-pihak lain. Ketika suatu konflik muncul di dalam sebuah organisasi, penyebabnya selalu diidentifikasikan sebagai komunikasi yang kurang baik. Demikian pula ketika suatu keputusan yang buruk dihasilkan, komunikasi yang tidak efektif selalu menjadi kambing hitam.

Konflik adalah fenomena yang serba hadir (omni present), baik itu konflik orang-perorang maupun konflik masyarakat. Sesungguhnya konflik itu eksis di dalam kehidupan mikro dan makro sosiologis masyarakat. Selama konflik tidak berpotensi kekerasan hal tersebut merupakan fenomena yang lumrah, namun apabila berpotensi terjadinya kekerasan akan berdampak negatif terhadap bangsa dan negara. Konflik juga dipahami sebagai suatu mekanisme untuk menyempurnakan proses integrasi nasional. Kini berbagai gelombang konflik baru tengah melanda komunitas internasional, regional, nasional, dan lokal, termasuk Indonesia. Sejalan dengan itu muncul pula teori-teori tentang penyelesaian konflik yang berasal dari luar dan dalam negeri yang tidak jarang selalu digunakan sebagai bahan referensi pada berbagai diskusi, seminar dan analisis konflik. Namun meng-implementasikannya tidaklah mudah karena variabel faktor-faktor lain sulit diprediksi.

Dari perspektif perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen pendidikan persekolahan seperti Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), timbulnya perbedaan-perbedaan pendapat, keyakinan-keyakinan serta ide-ide tentang konsep dan implementasinya di tingkat praksis organisasi sekolah sangat rasional dan wajar bila kemudian melahirkan konflik. MBS yang berarti terjadi pemindahan kewenangan ke tingkat sekolah, tidak hanya akan menambah variasi antarsekolah dan/atau antardaerah dalam penyelenggaraan mutu proses pembelajaran, karena kemampuan fasilitas dan SDM yang berlainan.

Di samping itu, pemindahan kewenangan juga dapat menimbulkan potensi konflik baru antarguru dan antara guru dengan kepala sekolah. Hal ini dapat muncul karena pengelolaan pendidikan di sekolah makin transparan dan efisien serta efektif, sehingga baik antarguru atau antara guru dengan kepala sekolah terjadi kompetisi. Tumbuh berbagai

wacana baru tentang pendidikan di sekolah. Bahkan potensi itu juga terjadi pada level antara sekolah dan masyarakat sejalan dengan efek akuntabilitas dan rentang pengawasan (span of control) semakin pendek (Tim Pengembangan, 2007).

Apalagi, komunitas sekolah memiliki hubungan dan kerjasama yang begitu lama, intim, dan erat satu sama lain, kiranya cukup beralasan untuk mengasumsikan bahwa seiring dengan perjalanan waktu, niscaya akan timbul perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka (Wexley & Yukl, 1984; Winardi, 1994). Akan tetapi, apabila konflik menjadi semakin meningkat dan meluas. Bukan mustahil akan berpengaruh negatif terhadap efektivitas kerja organisasi, bahkan bisa terjadi situasi keos.

Dalam situasi inilah, peran kepala sekolah sebagai mediator situasi konflik sangat penting. Fungsi kepala sekolah sebagai

”manager” perlu memiliki kemampuan mengelola situasi konflik antarpersonal sekolah. Kepemimpinan transformasional dalam manajemen konflik melalui pendekatan kecerdasan emosional, sangat cocok digunakan oleh kepala sekolah pada satuan pendidikan dasar, dengan intensitas konflik-konflik karena faktor-faktor psikologis.

Tulisan ini mengkaji konflik-konflik yang terjadi di tingkat organisasi dan persekolahan pada jenjang satuan pendidikan dasar. Apa dan bagaimana peran kepala sekolah sebagai pemimpin transformasional dalam manajemen konflik melalui berdasarkan pendekatan kecerdasan emosional.

2. Konflik sebagai Realitas Organisasi

Konflik adalah adanya situasi atau keadaan oposisi atau pertentangan pendapat, sikap, tindakan di antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi (Schermerhorn, 1986). Konflik dapat terjadi antarindividu, antarkelompok, dan antarorganisasi, karena berbagai sebab.

(3)

sosial, juga tak bisa lepas dari persoalan konflik.

Dilihat dari jenisnya, konflik dibedakan menjadi konflik substantif (substantive conflict) dan konflik emosional (emotional conflict) (Walton, 1989). Konflik substantif meliputi ketidaksesuaian paham tentang hal-hal seperti: tujuan-tujuan, alokasi sumber-sumber daya, distribusi-distribusi imbalan-imbalan, kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur serta penugasan pekerjaan dalam suatu organisasi. Sedangkan konflik emosional timbul karena perasaan-perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidaksenangan, takut dan sikap menentang, maupun bentrokan-bentrokan kepribadian antarpribadi dalam suatu organisasi (Walton, 1989).

Konflik juga merupakan proses pembelajaran, melalui konflik seorang pimpinan setidaknya akan memperoleh berbagai hal, yaitu: (a) pemahaman mengapa konflik bisa terjadi dalam suatu organisasi, (b) pengalaman bagaimana suatu organisasi mengambil tindakan untuk mengatasi konflik, (c) menilai tindakan yang diambil suatu organisasi untuk menyelesaikan konflik, (d) membuat solusi untuk menyelesaikan konflik di tingkat organisasi, (e) mengembangkan kesadaran terhadap keberbedaan, (f) pemahaman bahwa konflik merupakan realitas kehidupan sehari-hari dalam kehidupan organisasi, (g) mengembangkan kemampuan berfikir kritis, dan (h) melatih keterampilan sosial dan keterampilan emosional.

Dengan demikian, konflik memiliki sisi destruktif dan sisi konstruktif (Robbins, 1974; Yukl, 1994). Sisi destruktif dari konflik, adalah timbulnya kerugian bagi individu-organisasi, atau individu-individu, dan organisasi-organisasi. Konflik destruktif terjadi apabila dua orang karyawan tidak dapat bekerjasama karena terjadi sikap permusuhan individu-individu yang ada di antara mereka. Konflik ini berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup individu dan atau organisasi.

Pada tingkat individu, konflik destruktif, akan merugikan orang-orang yang berkonflik seperti: perasaan cemas atau tercekam, intensitas komunikasi yang berkurang drastis, persaingan yang makin menghebat, dan perhatian yang makin menyusut terhadap tujuan bersama. Pada tingkat kolektif atau organisasi, konflik-konflik destruktif dapat menyebabkan

berkurangnya efektivitas individu-individu dan kelompok-kelompok, karena terjadi gejala menyusutnya produktivitas dan kepuasan.

Sisi konstruktif dari konflik adalah terciptanya keuntungan-keuntungan bagi individu dan atau organisasi-organisasi yang terlibat konflik, antara lain: (1) peningkatan kreativitas dan inovasi. Akibat konflik individu-individu semakin berupaya untuk melaksanakan pekerjaan atau berperilaku dengan cara-cara yang lebih baik; (2) peningkatan upaya. Konflik dapat mengatasi perasaan apatis dan dapat menyebabkan orang-orang yang berkonflik dapat bekerja lebih keras. (3) penguatan ikatan antaranggota kelompok. Konflik dapat memperkuat identitas kelompok, dan komitmen untuk mencapai tujuan bersama; dan (4) peredaan ketegangan. Konflik dapat membantu meredakan ketegangan-ketegangan antarpribadi (Goleman, 1999).

Sungguhpun setiap konflik memiliki sisi konstruktif dan destruktif, namun pandangan dan sikap pemimpin terhadap konflik berbeda. Ada pemimpin yang memandang konflik secara positif, ada pula yang memandang konflik secara negatif. Perbedaan pandangan dan sikap pemimpin terhadap konflik, setidaknya bergantung pada tiga aspek, yaitu: (1) karakteristik organisasi yang dipimpin, (2) karakter dan budaya kepemimpinan, dan (3) intensitas konflik yang terjadi.

Dari sisi karakteristik organisasi yang dipimpin, positif atau negatifnya sikap pemimpin terhadap konflik dapat dibedakan antara pemimpin dalam organisasi tradisional dan pemimpin dalam organisasi modern.

(4)

yang berpotensi besar terjadinya konflik. Rostiana dan Halim (2003a) juga melaporkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara dimensi kepribadian conscientiousness dari model lima faktor (biasa disebut The Big Five) dengan gaya menangani konflik collaborating pada manajer.

3. Konflik-konflik di Sekolah:

Kepemimpinan dan Teknik Pengendalian

Konflik-konflik yang terjadi di sekolah, seperti juga konflik-konflik yang terjadi di masyarakat, adalah masalah yang menyangkut manusia dalam organisasi. Seluruh masalah yang menyangkut segi manusia itu adalah rumit dan apabila tidak dibina dengan baik, akan merusak organisasi. Sebaliknya bila ditangani secara saksama, akan merupakan faktor yang esensial dalam tujuan organisasi.

Konflik-konflik yang terjadi di sekolah dapat dibedakan menjadi: (1) konflik di dalam individu sendiri; (2) konflik antarpribadi; (3) konflik antarkelompok; dan (4) konflik antarorganisasi (Goleman, 1995; Yukl, 1994).

Konflik di dalam individu, terjadi pada individu guru yang mendapatkan beban berlebihan atau apabila kita menerima terlampau banyak tanggung jawab dari sekolah. Apabila individu tersebut tidak dapat menghadapinya, maka akan terjadi stress. Stress merupakan suatu produk tambahan yang kerap kali muncul pada konflik di dalam individu sendiri (Goleman, 1987).

Konflik antarkelompok, terjadi antara kelompok-kelompok guru (klik) di sekolah. Konflik antarkelompok guru ini bisa terjadi karena perbedaan atau pertentangan usia atau senioritas, idealisme, kepentingan, kebutuhan, aliansi politik, dan sebagainya. Sedangkan konflik antarorganisasi, terjadi antara organisasi-organisasi intrasekolah, seperti antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi siswa yang lain, antara Dewan Guru dengan Komite Sekolah, dll. Pada umumnya konflik antarorganisasi ini karena adanya perbedaan atau persaingan antarorganisasi dalam mencapai tujuannya masing-masing.

Konflik-konflik karena faktor emosional bisa disebabkan oleh perasaan-perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidak-senangan, takut dan sikap menentang, maupun bentrokan-bentrokan kepribadian antarpribadi di sekolah, seperti guru sering datang terlambat

dan pulang sebelum waktunya, sering tidak masuk dengan berbagai macam alasan, acuh tak acuh terhadap lingkungan kerja, suka mengasingkan diri dari pergaulan, suka membuat masalah dengan sesama guru, berpikir agresif, pemogokan, merusak peralatan sekolah, dan atau melakukan pencurian secara kecil-kecilan, merupakan persoalan-persoalan di sekolah yang mengarah pada terjadinya situasi konflik dan harus dihadapi oleh kepala sekolah (Owens, 1991).

Untuk meningkatkan kinerja setiap anggota komunitas sekolah, salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah adalah melakukan manajemen konflik. Artinya, potensi destruktif konflik terhadap pencapaian tujuan sekolah diminimumkan, dan diarahkan pada potensi konstruktif konflik, yaitu meningkatkan produktivitas organisasi sekolah. Untuk itu, kepala sekolah sebagai manajer harus mampu mengatur agar semua potensi sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, meliputi (1) perencanaan; (2) pengorganisasian; (3) pengarahan; dan (4) pengawasan.

Kepala sekolah perlu mencurahkan banyak waktu untuk menghadapinya. Goleman (1995) mengemukakan bahwa untuk menangani situasi-situasi tersebut, maka upaya mengembangkan keterampilan-keterampilan manajemen konflik adalah sangat penting. Implementasi MBS misalnya, sangat erat kaitannya dengan signifikansi peranan kepala sekolah. Kewenangan yang diberikan kepada sekolah mengakibatkan kepala sekolah memiliki peranan yang krusial dan kuat dalam keputusan politik pendidikan di sekolah sebagai akibat dari kompleksitas manajemen organisasi sekolah dan tumbuhnya etos kerja baru dalam sekolah (Tim Pengembang, 2007).

4. Kepemimpinan Transformasional: Manajemen Konflik melalui Pendekatan Kecerdasan Emosional

Terdapat empat faktor kepemimpinan tranformasional, yaitu : idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration.( Northouse, Peter G. 2001).

(5)

sebagai panutan bagi guru dan karyawannya, dipercaya, dihormati dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan sekolah.

(2) Inspirational motivation: kepala sekolah dapat memotivasi seluruh guru dan karyawannnya untuk memiliki komitmen terhadap visi organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan di sekolah.

(3) Intellectual Stimulation: kepala sekolah dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi di kalangan guru dan stafnya dengan mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan sekolah ke arah yang lebih baik.

(4) Individual consideration: kepala sekolah dapat bertindak sebagai pelatih dan penasihat bagi guru dan stafnya.

Karena kepemimpinan transformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin transformasional yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha sadar dan sunggug-sungguh dari yang bersangkutan. Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:

(1) Memberdayakan seluruh bawahan melakukan hal yang terbaik untuk organisasi

(2) Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani

(3) Mendengarkan pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama

(4) Menciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi

(5) Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan

(6)

Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi

terhadap

organisasi

Kecerdasan emosional (emotional quotion) dapat diartikan sebagai kemampuan merasakan dan memahami kepekaan emosi diri maupun emosi orang lain, pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur

suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, mampu membaca dan memahami perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, memelihara hubungan baik, menyelesaikan konflik, serta mampu memimpin (Secapramana, 1999).

Keefektifan penggunaan teknik pengendalian konflik organisasi akan berdampak positif bagi prestasi organisasi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Goleman, bahwa salah satu kualitas seorang pemimpin adalah kemampuannya dalam mengendalikan konflik, sehingga tercipta iklim yang kondusif di lingkungan kerja yang dipimpinnya. Penanganan situasi-situasi konflik secara berhasil, memerlukan kemampuan untuk memahami proses-proses serta elemen-elemen yang melandasinya. Sebab, konflik yang timbul di sekolah mungkin bersifat konstruktif dalam hal mengambil keputusan terbaik untuk kepentingan sekolah, atau sebaliknya dapat menjadi destruktif karena terjadi sifat permusuhan.

Sungguhpun kecerdasan emosional sangat penting sebagai basis manajemen konflik, tanggapan masyarakat terhadap kecerdasan emosional ini memang beragam, ada yang pro dan ada yang kontra, berbeda dengan tanggapan terhadap IQ yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan karena kecerdasan emosional tidak memiliki aspek yang permanen karena emosi selalu berubah. Padahal, kecerdasan emosional merupakan salah satu aspek yang menunjang kepemimpinan, yang memungkinkan seorang pemimpin dapat mengambil keputusan dengan tepat.

Studi Rostiana & Ninawati (2003). Keduanya menemukan bahwa kecerdasan emosional seorang pimpinan berkorelasi signifikan dengan persepsinya terhadap proses pengambilan keputusan. Artinya, semakin matang emosi yang dimiliki seorang pemimpin, semakin baik persepsinya terhadap proses pengambilan keputusan, sehingga dapat diindentifikasi-kan akan munculnya keputusan yang tepat.

(6)

dialami oleh manajer adalah tekanan kerja/job pressure dan sumber stres yang lain berasal dari kurangnya dukungan/lack of support.

Tekanan/job pressure yang sering muncul antara lain disebabkan oleh evaluasi yang ketat, keterbatasan waktu, dan kondisi-kondisi yang dapat memicu terjadinya stres. Hal-hal tersebut dapat berpengaruh pada manajer yang dalam pekerjaannya mempunyai wewenang untuk mengambil suatu keputusan. Sehingga bila stres sering muncul, dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang dibuat menjadi kurang efektif.

Dari penelitiannya tersebut, keduanya menyimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat stres kerja dengan efektivitas pengambilan keputusan pada manajer. Artinya, semakin tinggi tingkat stres kerja maka efektivitas pengambilan keputusan pada manajer akan semakin rendah dan sebaliknya bila tingkat stres yang dialami rendah maka efektivitas pengambilan keputusannya tinggi.

Dalam teori manajeman, ada banyak gaya kepemimpinan organisasi dan cara atau pengendalian konflik organisasi yang bisa diadopsi dan diadaptasi oleh kepala sekolah sebagai mediator dalam mengelola konflik agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Salah satunya adalah gaya kepemimpinan transformasional (transformational leadership) yang merupakan salah satu gaya kepemimpinan berdasarkan kecerdasan emosional. Kepemimpinan transformasional ini lebih mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, dan pegawai) bersedia dan tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.

Ciri-ciri gaya kepemimpinan transformasional adalah: (1) mengidentifikasi dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan); (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus; (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu; serta (7) memiliki visi ke depan (Luthans, 1995: 358).

Manajemen konflik melalui kepemimpinan transformasional berdasarkan pendekatan kecerdasan emosional ini, sangat cocok untuk digunakan oleh kepala sekolah pada satuan pendidikan dasar, dengan intensitas konflik-konflik karena faktor-faktor psikologis seperti dikemuka-kan di atas.

Sedangkan manajemen konflik organisasi yang bisa diadopsi dan diadaptasi oleh kepala sekolah antara lain: (1) teknik menghindari, (2) teknik kompetisi (komando otoritatif), (3) teknik akomodasi (penyesuaian), (4) teknik kompromi, dan (5) teknik kolaborasi (kerjasama) atau pemecahan masalah (Robbins, 1974; Walton, 1989; Hanson, 1991; Owens, 1991; Goleman, 1999).

Dalam kaitannya dengan penerapan kepemimpinan transformasional dalam manajemen konflik di sekolah melalui pendekatan kecerdasan emosional, salah satu aspek penting dan substansial adalah pemahaman kepala sekolah terhadap situasi konflik. Untuk memahami situasi konflik ini, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan oleh kepala sekolah, antara lain: (1) perbedaan-perbedaan tentang fakta-fakta; (2) perbedaan-perbedaan tentang metode-metode; (3) perbedaan tentang tujuan-tujuan; (4) perbedaan-perbedaan tentang nilai-nilai (Brown, 1983).

Untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan tentang fakta-fakta, yang perlu dilakukan oleh kepala sekolah sebagai seorang manajer adalah mengumpulkan data-data berkaitan dengan fakta-fakta tersebut dari sumber-sumber yang dapat dipercaya sebagai upaya untuk mencek validitas fakta. Apabila fakta sudah diyakini validitasnya, selanjutnya kepala sekolah perlu menyampaikan fakta-fakta yang diperoleh secara distributif kepada seluruh personil sekolah, tanpa sikap diskriminatif.

(7)

pengaruh dan kewenangan yang dimiliki, kepala sekolah berkewajiban memberdayakan seluruh sumber daya guru dan personil lainnya dalam rangka meningkatkan efektivitas organisasi sekolah.

Agar kepala sekolah mampu menyelesaikan konflik berdasarkan pendekatan kecerdasan emosional, perlu memiliki kecakapan-kecakapan antara lain: (1) berdiplomasi dan menggunakan taktik untuk menenangkan orang-orang yang dalam kondisi tegang, (2) mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi menjadi konflik, menyelesaikan perbedaan pendapat secara terbuka, dan membantu mendinginkan situasi, (3) menganjurkan debat dan diskusi secara terbuka, (4) mengantar ke solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berkonflik (win-win solution) (Goleman, 1999).

Kecakapan diplomasi dan taktik untuk

“menenangkan” orang lain yang menghadapi ketegangan dapat dilakukan dengan mendeteksi sumber masalah sedini mungkin yang menjadi penyebabnya. Untuk maksud itu, kepala sekolah harus mau mendengarkan isi hati dan perasaan dari orang lain di samping berusaha untuk berempati terhadap masalah, pikiran, dan perasaan mereka. Ini berarti bahwa dalam manajemen konflik berdasarkan pendekatan kecerdasan emosional, aspek-aspek psikologis dan kemanusiaam merupakan faktor determinan.

Kemampuan kepala sekolah untuk

“mempengaruhi” orang-orang yang dipimpin sangat berperan dalam memecahkan masalah-masalah organisasi sekolah. Kemampuan mempengaruhi harus dipahami bukan hanya mempengaruhi mereka untuk bekerja sesuai dengan aturan atau kebijakan sekolah, tetapi juga kemampuan mempengaruhi untuk memahami aspek-aspek psikologis orang lain yang dipimpinnya (Goleman, 1999).

Kecakapan negosiasi dalam menyelesai- kan konflik juga tidak kalah pentingnya. Sebagai manajer sekolah, seorang kepala sekolah dituntut memiliki kecakapan menegosiasikan orang-orang atau kelompok di bawah pimpinannya yang terlibat dalam konflik, atau menegosiasikan aturan-aturan atau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dengan keberagaman perspektif di internal komunitas sekolah. Melalui kecakapan negosiasi kepala sekolah, mereka yang terlibat dalam konflik dapat saling berkomunikasi dan berdiskusi

mencari alternatif solusi yang terbaik bagi mereka dan sekolah.

Dalam kaitan ini, Goleman (1999) mengemukakan tiga gaya negosiasi, yaitu: (1) pemecahan masalah, yakni berusaha untuk menemukan solusi terbaik dengan jalan bekerja melalui perbedaan-perbedaan yang ada, mencari dan memecahkan masalah, sehingga setiap orang di sekolah dan sekolah sama-sama mencapai keuntungan. (2) kompromi, yakni adanya sikap kooperatif dan asertif antara kepala sekolah dan personil sekolah; melaksanakan upaya tawar-menawar untuk mencapai pemecahan-pemecahan yang bisa diterima kedua belah pihak, hingga tak seorangpun merasa bahwa ia menang atau kalah secara mutlak. (3) agresi, yakni tindakan dari kepala sekolah dengan memaksakan kehendaknya kepada yang lain.

Dari ketiga gaya negosiasi tersebut, kompromi merupakan gaya yang tampaknya paling dapat diterima oleh kedua belah pihak, karena merupakan gaya negosiasi yang didasarkan pada prinsip ”menang-menang” (win-win solution), tak ada yang lebih diuntungkan atau dirugikan, melainkan menguntungkan semua pihak yang terlibat dalam konflik. Kondisi ”menang-menang” ini niscaya akan meniadakan alasan-alasan apapun dari pihak-pihak yang berkonflik untuk melanjutkan atau menimbulkan kembali konflik yang ada, karena tidak ada hal yang diabaikan ataupun dipaksakan. Semua persoalan-persoalan yang relevan diperbincangkan dan dibicarakan secara terbuka.

(8)

5. Mediasi Kepala Sekolah dalam Manajemen Konflik

Seorang manajer adalah seorang yang di dalam sebuah organisasi tertentu mempunyai bawahan. Demikian pula seorang kepala sekolah, mempunyai bawahan yaitu guru-guru maupun pegawai tata usaha. Hal ini berarti bahwa setiap kepala sekolah perlu selalu menghadapi kemungkinan untuk terlibat dalam konflik-konflik yang terjadi sebagai mediator (pihak penengah) atau pihak ketiga. Sebagai pihak ketiga, kepala sekolah dapat membantu para guru atau pegawai tata usaha untuk menyelesaikan konflik-konflik antarpribadi atau antarkelompok yang berada di bawah kewenangannya, baik yang disebabkan karena keberagaman di antara mereka dan atau adanya aturan atau kebijakan baru sekolah.

Peranan kepala sekolah sebagai mediator sangat penting, terutama untuk membangun dan memelihara komitmen setiap anggota komunitas sekolah melalui penciptaan iklim organisasi sekolah. Signifikansi penciptaan iklim organisasi melalui mediasi kepemimpinan untuk membangun dan memelihara komitmen terhadap organisasi mendapat perhatian dalam penelitian Rostiana dan Halim (2003b). keduanya melaporkan bahwa iklim organisasi menunjukkan korelasi signifikan positif dengan komitmen organisasi. Bahwa persepsi terhadap iklim organisasi dapat memberi gambaran berkaitan dengan keputusan karyawan untuk berkomitmen pada organisasi.

Untuk memainkan peranan sebagai mediator, kepala sekolah dapat melaksanakan melalui dua macam pendekatan yang berbeda yaitu: (1) intervensi secara aktif, dan (2) fasilitasi (Robbins, 1974; Winardi, 1994).

Intervensi secara aktif. Seorang kepala sekolah melakukan aneka macam tindakan intervensi aktif dalam upaya menyelesaikan situasi-situasi konflik. Upaya-upaya tersebut dapat berupa himbauan kepada pihak yang berkonflik untuk mengingat tujuan-tujuan luhur organisasi, sehingga konflik bisa diminimalisasi atau diredakan.

Fasilitasi. Seorang kepala sekolah memberikan fasilitasi tertentu kepada mereka yang berkonflik. Pendekatan ini sangat bersifat pribadi, dan untuk ini kepala sekolah memerlukan keterampilan komunikasi dan keterampilan interpersonal. Peranan kepala sekolah sebagai fasilitator adalah menerapkan

keterampilan komunikasi dan keterampilan interpersonal dengan pihak-pihak yang terlibat konflik (Goleman, 1999; Cox & Cooper, 1998; Bennis & Nanus, 1985).

Keterampilan interpersonal adalah kemampuan berurusan dengan orang banyak secara diplomatis dan penuh kearifan pertimbangan. Kepala sekolah harus berupaya menghindari terciptanya pola-pola hubungan interpersonal dengan internal komunitas sekolah dengan mengandalkan kekuasaan semata, dan sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional. Ia juga harus menghindarkan diri dari ’one man show, sebaliknya harus menekankan pada kerja sama kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yang serba menakutkan, dan sebaliknya perlu menciptakan keadaan yang membangkitkan rasa percaya diri pada semua anggota komunitas sekolah. Kepala sekolah juga senantiasa berupaya menghindarkan diri dari wacana retorika, sebaliknya perlu membuktikan memiliki kemampuan kerja profesional; serta menghindarkan diri agar tidak menyebabkan pekerjaan-pekerjaan atau tugas-tugas sekolah menjadi sesuatu yang menjemukan atau membosankan. Bila hal ini terjadi, efektifitas kerja individu dan sekolah sangat sulit dicapai.

6. Penutup

Kajian tentang pengelolaan konflik di tingkat internal sekolah tetap menarik dan aktual sampai kini. Konflik terjadi bila satu atau kedua belah pihak menunjukkan permusuhan dan menghalangi usaha masing-masing untuk mencapai sasaran. Konflik merupakan suatu bagian yang alamiah dari proses-proses sosial, dan terjadi di dalam semua organisasi.

(9)

Daftar Rujukan

Bennis, W.G., & Nanus, B. 1985. Leaders: The Strategies for Taking Charge. New York: Harper & Row.

Hanson, E.M. 1991. Educational Administration and Organizational Behavior. Boston: Allyn & Bacon.

Hesselbein, Frances, and Paul M. Cohen.(1999). Leader to Leader. San Francisco,

CA:Jossey-Bass Publishers. Diakses dari:

http://edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/HR/HR02000.p df. April 2009.

Northouse, Peter G. 2001. Leadership Theory and Practice, second edition. Thousand Oaks,

CA: Sage Publications, Inc.

Owens, R.G. 1991. Organizational Behavior in Education. Boston: Allyn & Bacon.

Robbin, S.P. 1974. Managing Organizational Conflict. Englewood Cliffs, New Yersey: Prentice - Hall, Inc.

Rostiana & Ninawati. 2003. Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Persepsi Pemimpin terhadap Proses Pengambilan Keputusan. Abstrak laporan penelitian. Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara.

Diakses dari:

http://www.psikologi.untar.com/psikologi/.22 Januari 2009.

Rostiana, & Suyasa, P.T.Y.S. 2003. Hubungan antara Budaya Organisasi dengan Stres Kerja Pada Karyawan: Suatu Studi Pada 64 Karyawan PT X Di Jakarta. Abstrak laporan penelitian. Fakultas Psikologi Universitas

Tarumanegara. Diakses dari:

http://www.psikologi.untar.com/psikologi/22 Januari 2009.

Schermerhorn, Jr., & John, R. 1986. Management for Productivity. New York: John Willey & Sons. Secapramana, L.V.H. 1999. Emotional Intelligence.

Diakses dari: http://secapramana.tripod.com/ 10 September 2006.

Seval, F. 2004. Qualitative Evaluation of Emotional Intelligence In-Service Program for Secondary School Teachers. University of Yildiz Technical-Istanbul. Turkey: The Qualitative Report Volume 9 Number 4.

Suyanto. 2001. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Kompas Online

Tiatri, S. 2003. Hubungan antara Persepsi terhadap Beban Kerja dengan Kepuasan Kerja pada Guru Taman Kanak-Kanak: Studi Pada Guru TK Swasta Di Jakarta Barat. Abstrak laporan penelitian. Fakultas Psikologi Universitas

Tarumanegara. Diakses dari:

http://www.psikologi.untar.com/psikologi/22 Januari 2009.

Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Ditjen Dikdasmen Depdiknas. 2007. Indikator Kinerja Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Diakses dari: http://www.depdiknas.go.id/serba_serbi/dpks/ Kinerja.htm. 10 Januari 2009.

Walton, R.F. 1989. Interpersonal Peacemaking Confrontations, and Third Party Consultation. New York: Addison Reading Mass.

Wexley, K.N., & Yukl, G. 1984. Organizational Behavior and Personnel Psychology. Homewood: Richard D. Irwin.

Yukl, G. 1994. Leadership in Organizations. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Zamralita & Ninawati. 2003. Hubungan Tingkat Stres dengan Efektivitas Pengambilan keputusan pada Manajer. Abstrak laporan penelitian. Fakultas Psikologi Universitas

Tarumanegara. Diakses dari:

http://www.psikologi.untar.com/psikologi/10 Januari 2009.

Zamralita, & Ninawati. 2004. Persepsi terhadap Efektivitas Pemimpin dengan Kepuasan Kerja: Studi Pada Karyawan Bank Swasta X Cabang Daan Mogot. Abstrak laporan penelitian. Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara.

Diakses dari:

http://www.psikologi.untar.com/psikologi/.10 Januari 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Budaya Kerja, lklim Organisasi Dan Komitmen Organisasional Terhadap Kinerja Pegawai Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan Kota Sima..

1, Jahiliyyah adalah kondisi yang timbul dari kejahilan dan berpalingnya manusia dari sumber-sumber ilmu yang telah Allah ciptakan pada tanda-tanda kekuasa- armya

-sering dikombinasikan dengan obat batuk pilek yang dosisnya juga 3-4 kali sehari Catatan: untuk alergi yang kuat misalnya gatal-gatal seluruh tubuh, biasanya antialergi

Hasil pengujian integrasi dari deteksi sinar laser yang memanfaatkan teknologi laser rangefinder untuk sistem keamanan ruangan, diketahui bahwa deteksi dengan bantuan

Keempat, Pengenalan Diri dan Intervensi Dini: Mengenal dengan baik ciri-ciri anak yang mempunyai resiko tinggi untuk menggunakan NAPZA merupakan suatu langkah yang

Pembuatan kompleks Cu dibuat dengan melakukan dua langkah pembuatan garam yaitu pertama pembuatan garam cupri ammonium sulfat dan kedua pembuatan garam tetraamina coper (II)

Upaya-upaya yang telah ditempuh itu diantaranya adalah kesepakatan Jenewa antara Korea Utara dengan Amerika Serikat, dikeluarkannya sejumlah resolusi oleh Dewan Keamanan

eastern (a), southeastern (b) and central Ionian (c) during 2013 in the upper 1000 m. Top: colour scale of the float trajec- tory indicates the month of the year.. 2000 m, and