• Tidak ada hasil yang ditemukan

218642702 Merekonstruksi Globalisasi Ekonomi Islam dalam Menghadapi Perdagangan Pasar Bebas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "218642702 Merekonstruksi Globalisasi Ekonomi Islam dalam Menghadapi Perdagangan Pasar Bebas"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MEREKONSTRUKSI GLOBALISASI:

EKONOMI ISLAM DALAM

MENGHADAPI PERDAGANGAN DAN PASAR BEBAS

1

Oleh: Khairunnisa Musari

2

1. PENGANTAR

Pemerintah memastikan Indonesia sangat siap menghadapi era perdagangan bebas Asia Tenggara dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Kesiapan itu ditunjukkan melalui pembentuan Komite Ekonomi ASEAN yang melibatkan pemerintah dan dunia usaha. Adapun pilar pembentukan Komite Ekonomi ASEAN meliputi bidang politik, keamanan, ekonomi, dan budaya. Meski belakangan Indonesia masih mengalami defisit neraca perdagangan, namun pemerintah menegaskan tak akan mundur dari komitmen perdagangan bebas di kawasan regional ini.

Sebelumnya, tahun 2010, Indonesia pun telah memasuki kesepakatan perdagangan bebas antar negara ASEAN dan China (CAFTA). Seperti halnya ketika menghadapi CAFTA, sejumlah pihak pun banyak yang menyatakan ketidaksiapan Indonesia menghadapi MEA. Hal ini juga mengingat salah satu dampak CAFTA yang sangat dirasakan dunia usaha saat ini adalah serbuan produk-produk China ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Hal ini membuat produk lokal sulit untuk meningkatkan pangsa pasarnya, bahkan di pasar lokal.

Terkait dengan keberadaan ekonomi Islam dalam menyikapi era perdagangan bebas atau pasar bebas, maka terdapat beberapa hal yang perlu dipahami bersama mengenai perbedaan fundamental dalam perspektif umum dan ekonomi Islam terhadap globalisasi yang merupakan hulu dari lahirnya perdagangan bebas atau pasar bebas tersebut.

1.1 Globalisasi dalam Perspektif Umum?3

"... fundamentalisme pasar telah menjadi demikian kuatnya sehingga kekuatan politik mana pun yang berani menentangnya akan dicap sebagai sentimental, tidak logis, dan naif.... Pendek kata, apabila kekuatan pasar dibiarkan bebas secara penuh, meskipun di bidang murni ekonomi dan keuangan murni, maka kekuatan pasar ini akan menghasilkan kekacauan dan pada akhirnya menuju pada hancurnya tatanan kapitalisme global...." (George Soros, 1998).

Globalisasi adalah sunnatullah. Globalisasi yang berwujud pasar-bebas dapat menjadi peluang, tetapi bisa juga menjadi ancaman. Itu semua tergantung pada bagaimana sebuah negara melaksanakan tata kelola perpolitikan dan perekonomiannya. Namun demikian,

1 Makalah ini disampaikan dalam Kajian Ekonomi Syariah Peran Ekonomi Syariah & Pemerintah dalam

Menghadapi Pasar ‛ebas yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (Himajur) Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam (IAI) Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, pada 16 April 2014.

2 Peneliti Divisi Syariah Risk Management International (RMI) dan Tamkin Institute.

3 Tulisan ini dapat dilihat juga pada artikel pribadi yang dimuat di Harian Surabaya Post, 24 April 2009,

(2)

realitas menunjukkan berbagai ketimpangan dunia saat ini sebagian besar adalah buah dari globalisasi sebagaimana yang berlangsung saat ini.

Dalam Republik Pasar Bebas (2006), Susan George mengatakan bahwa globalisasi saat ini merupakan buah pemikiran dari kaum neoliberal. Kaum neoliberal melahirkan ide-ide globalisasi yang kemudian diwujudkan dengan hal-hal seperti liberalisasi dan privatisasi. Pemikiran-pemikiran ini lahir dari kebijakan Inggris-Amerika Serikat (AS) pada masa pemerintahan Margareth Thatcher-Ronald Reagen pada 1980-an. Pemikiran ini dicetuskan oleh Milton Friedman, penasihat ekonomi Presiden AS Ronald Reagen, dan Frederick High, penasihat ekonomi Perdana Menteri (PM) Inggris Margaret Thatcher. Friedman adalah murid Friederich von Hayek dari Universitas Chicago yang merupakan embrio neoliberalisme. Paham neoliberalisme nyatanya banyak mengalami kegagalan. Liberalisme dengan senjata pamungkasnya free-market dan free-trade telah melahirkan banyak ketimpangan struktur ekonomi pada lapisan masyarakat dunia.

Lebih jauh, menurut Swasono (2005a), paham neoliberalisme sesungguhnya merupakan anak dari paham neoklasikal yang diusung oleh Adam Smith. Dalam paham neoklasikal, pasar dinyatakan sebagai mekanisme permintaan dan penawaran yang diasumsikan mampu melakukan self-regulating dan self-correcting melalui an invisible-hand. Namun, pasar sejatinya juga mengandung market failures yang tidak cukup mampu melayani kepentingan masyarakat. Hal ini tercermin salah satunya dengan micro-macro rifts, di mana banyak terjadi ketidaksesuaian ilmu ekonomi mikro dan makro dalam menstransformasikan kepentingan individu ke arah kepentingan publik. Akibatnya, efisiensi ekonomi yang dikembangkan berdasar tataran mikro tidak sejalan, bahkan kerap bertentangan dengan efisiensi ekonomi pada tataran makro.

Di Indonesia, Swasono (2005a) menilai pengajaran ilmu ekonomi masih sangat tergantung dengan pemikiran neoklasikal. Pelajaran ilmu ekonomi sepenuhnya mengajarkan neoklasikal dan memperkenalkan akhlak homo economicus yang juga telah melepaskan hubungan dalam konteks Indonesia dengan kekhususannya. Pemikiran ini bertitik tolak dari paham self-interest, yaitu maksimisasi gain dan minimisasi sacrifice sesuai perilaku homo-economicus. Pemikiran neoklasikal menyandarkan diri pada paham kompetitivisme yang sangat kuat sehingga membentuk pola pikir self-fulfilling presumption secara berkepanjangan. Hasilnya, sebagaimana yang kita lihat saat ini, paham kompetitivisme mendorong semangat bertarung, sehingga menimbulkan restless society ataupun stressful society .

Tahun 2008, pasca kasus subprime mortgage di AS yang diikuti dengan berbagai kejatuhan industri sektor keuangan, miliuner George Soros mengatakan bahwa krisis keuangan saat itu adalah yang terburuk sejak depresi besar tahun 1929. Krisis yang terjadi saat itu sedang menuju titik nadir. Soros mengatakan, akar krisis kekacauan di sektor keuangan, tertanam sejak dekade 1980-an. Saat itu, Ronald Reagen dan Margaret Thatcher mendamba laissez-faire, yaitu madzhab yang menjunjung pasar liberal atas dasar keyakinan bahwa pasar akan melakukan koreksi sendiri atas kesalahan. Dikatakan Soros, Reagen dan Thatcher juga melandaskan ekonomi pada pasar bebas yang disertai pinjaman, yang secara akumulatif menumpuk hingga sekarang.

(3)

mengakhiri laissez-faire kedua (1957). The end of laissez-faire ketiga muncul kembali dengan hadirnya Kuttner (1991) dan tokoh-tokoh lain seperti Sen, Etzioni, Heilbroner, Thurow, dan Stiglitz4.

4 Tentang Stiglitz, Indonesia, dan ekonomi Islam dapat dilihat juga pada artikel pribadi yang dimuat di

Harian Surabaya Post, Ouvre, 7 Juni 2009, berjudul Stiglitz, Indonesia, dan Ekonomi Syariah. Selain sebagai pemenang Nobel, Stiglitz dikenal juga sebagai ekonom kontroversial. Stiglitz kerap membela kepentingan negara-negara dunia ketiga. Ia terkenal dengan kritiknya terhadap globalisasi, fundamentalisme ekonomi pasar, dan sejumlah lembaga internasional. Stiglitz dengan berani mengatakan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia telah menjadi alat bagi kepentingan AS untuk menekan negara-negara dunia ketiga melalui cengkeraman kapitalisme ekonomi.

Pandangan Stiglitz dalam setiap publikasinya menjadi penting karena ia pernah menjadi bagian penting dari perancang dan pemegang kebijakan AS. Stiglitz memotret kebijakan AS dalam mengelola agenda globalisasi. Buku-bukunya membuka mata dunia tentang bagaimana resep kebijakan IMF dan Bank Dunia yang berpengaruh besar pada ekonomi negara-negara berkembang ternyata tidak selalu benar. Hampir di semua bukunya, Stiglitz mengulas tentang keterpurukan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Stiglitz berpendapat, terpuruknya perekonomian di negara-negara berkembang banyak diakibatkan kepatuhan yang sangat kepada resep kebijakan Washington Consensus. Untuk mengurai lebih dalam mengenai Washington Consensus, Stiglitz menulis Washington Consensus: Arah Menuju Jurang Kemiskinan (2002). Washington Consensus

menyatakan, kinerja perekonomian yang baik membutuhkan perdagangan bebas, stabilitas makro, dan penerapan kebijakan harga yang tepat. Sesungguhnya, butir-butir Washington Consensus tidak dapat begitu saja diterapkan dalam kebijakan ekonomi suatu negara. Adanya sejumlah negara yang mencapai keberhasilan pembangunan tanpa mengikuti sepenuhnya rekomendasi Washington Consensus merupakan fakta yang tidak dapat diabaikan.

Diskusi Stiglitz tentang Indonesia lebih rinci terdapat dalam Globalization and Its Discontents (2002). Perhatiannya yang besar pada Indonesia tentu bukan sekedar karena kecintaannya pada Bali, tetapi karena keprihatinannya pada Indonesia. Diungkapnya, penderitaan Indonesia lebih besar daripada banyak negara lain. Akibat mengikuti kebijakan Washington Consensus, pemulihan ekonomi Indonesia paling lambat di Asia Timur. Meski kemudian ekonomi Indonesia tumbuh, tetapi tetap lebih rendah daripada yang seharusnya dapat dicapai. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih rendah daripada negara-negara yang menolak kebijakan IMF. Untuk kasus Indonesia, Stiglitz mengingatkan bahwa kekuatan pasar bebas sering merugikan sebagian besar masyarakat lemah. Pemerintah hendaknya melakukan upaya nyata untuk melindungi rakyatnya. Stiglitz menekankan peran pemerintah ini juga sebagai kritik atas Washington Consensus yang diadopsi pemerintah Indonesia. Ia mengingatkan, AS yang sangat mendukung globalisasi dan pasar bebas ternyata tetap memberi proteksi atas sejumlah sektor pertanian dan industrinya. Oleh karena itu, selayaknya negara-negara berkembang juga memberlakukan beberapa proteksi atas produknya.

Dalam The Roaring Nineties yang diterjemahkan di Indonesia menjadi Dekade Keserakahan: Era 90-an dan Awal Petaka Ekonomi Dunia (2006), Stiglitz mengangkat dampak buruk kebijakan liberalisasi pasar yang menjadi konsekuensi sistem globalisasi, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang. Buku ini membongkar kemunafikan dan standar ganda kebijakan ekonomi AS yang didesakkan ke negara-negara berkembang dalam paket liberalisasi pasar perdagangan. Dalam buku ini, Stiglitz menegaskan pula keprihatinannya terhadap korupsi dan kolusi yang menjamur di negara-negara miskin dan berkembang akibat tingginya ketimpangan sosial.

Dalam Making Globalizaton Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang lebih Baik (2006), Stiglitz mengulas berbagai problem serius yang diidap globalisasi yang mengakibatkan banyak ketimpangan. Stiglits menjadikan buku ini sebagai peta dalam mewujudkan globalisasi yang bermanfaat bagi semua bangsa-bangsa di dunia. Ia mengemukakan cara-cara baru yang radikal untuk mengatasi utang negara berkembang. Ia menyarankan reformasi sistem cadangan devisa global untuk mengatasi ketidakstabilan keuangan internasional. Ia membahas perdagangan, paten, pengelolaan sumber daya, pemanasan global, demokratisasi, hingga argumen tentang pentingnya reformasi lembaga-lembaga dunia.

Dalam The Three Trillion Dollar War (2008), Stiglitz bersama Linda J. Bilmes mengulas hitungan rinci biaya ekonomi dan manusia yang dikeluarkan AS untuk Perang Irak. Dengan jargon ekonomi tentang opportunity cost,

(4)

Kini, seiring dengan sejumlah kegagalan neoliberalisme dalam menghadirkan sistem perekonomian dunia yang berkeadilan dan beradab, tampaknya mulai ada tanda-tanda the end of laissez-faire keempat . Setelah teori mekanisme desain yang memikirkan bagaimana pemerintah mengelola kekayaan untuk memberi kemakmuran bagi rakyat telah mengantar Hurwicz, Maskin, dan Myerson meraih Nobel Ekonomi 2007, sejumlah pihak mulai merenungkan kebenaran dampak laissez-faire.

1.2 Pasar Bebas dan Ketimpangan

Menurut Ackerman (1998), ketimpangan kesejahteraan di dalam dan antar negara tumbuh dengan cepat dan menjadi isu yang signifikan. Ketimpangan sangat terkait dengan political economy. Menurutnya, analisis ketimpangan berawal dari tradisi political economy -- sebuah disiplin yang berakar dari Adam Smith5. Pada awalnya, political economy

merefleksikan sebuah kepedulian terhadap isu-isu politik dan ekonomi serta institusi-instistusi yang terkait dengannya. Namun, dalam perkembangannya, istilah political economy menjadi cenderung dikaitkan dengan madhzab-madhzab. Ackerman menggunakan istilah political economy yang dinilainya sudah tidak populer ini karena ingin menekankan betapa dekatnya hubungan political dan economy dalam menghadirkan ketimpangan.

Susan George (2006) juga menekankan hal senada. Menurutnya, ketimpangan ini nyata mengingat jumlah masyarakat miskin di dunia jelas lebih banyak dibandingkan jumlah masyarakat kaya. Timpangnya ekonomi dunia ditunjukkan oleh hasil studi United Nations Development Programme (UNDP), yaitu: (1) Satu % dari orang-orang terkaya di dunia, pendapatannya sama dengan 57 % orang miskin di dunia. (2) Sepuluh % dari penduduk terkaya di AS memiliki pendapatan yang sama besarnya dengan 43 % penduduk termiskin dunia. Atau dengan kata lain, pendapatan dari 25 juta penduduk terkaya di AS sama dengan pendapatan dua miliar penduduk bumi. (3) Pendapatan dari 5 % orang-orang terkaya di dunia adalah sebesar 114 kali pendapatan 5 % penduduk termiskin dunia. Di AS, lapisan bawah (10%) juga mencapai titik nadir. Pada 1997, lapisan puncak (1%) memiliki pendapatan 65 kali lebih besar daripada lapisan miskin, dan 10 tahun kemudian lapisan puncak (1%) memiliki pendapatan 115 kali lebih besar dari jumlah penduduk miskin AS. Hal ini tentu menjadi bagi hampir setiap negara di belahan bumi. Mengapa ini terjadi? Diyakini karena adanya pembenaran teoritis dan ideologis yang dikemas secara rapi oleh para pendukung neoliberal atas redistribusi kekayaan kearah yang paling baik. Pendapatan yang meningkat bagi kaum kaya dan keuntungan yang lebih tinggi terhadap modal akan menimbulkan investasi lebih besar, serta alokasi sumber daya, akibatnya akan lebih banyak tersedia pekerjaan dan kesejahteraan bagi setiap orang. Dengan demikian, uang dari orang kaya dianggap memiliki multiplier effect yang lebih besar dari pada uang orang miskin. Namun dalam kenyataannya, orang-orang yang berada pada puncak skala rata-rata sudah memiliki sebagian besar barang yang mereka butuhkan. Sehingga mereka hanya akan

belahan dunia. Meski AS tampak baik-baik saja, namun sesungguhnya dampak yang dirasakan masyarakat sangat besar. Jika saja AS dapat memanfaatkan dana yang ada untuk menciptakan kedamaian dunia, maka hal itu akan jauh lebih berarti.

5 Ide-ide Adam Smith menjadi pencetus lahirnya Institut Adam Smith di Inggris yang merupakan salah

(5)

memberikan kontribusi yang relatif lebih sedikit bagi perekonomian lokal atau nasional. Sementara bagian terbesar kekayaan mereka langsung menuju ke pasar keuangan, yang kebanyakan ditempatkan dalam instrumen keuangan yang benar-benar spekulatif.

Kritik terhadap ketimpangan juga dinyatakan Hurrel dan Wood (1999). Menurut mereka, ketimpangan telah lama menjadi bagian penting politik dunia. Liberalisasi perekonomian memperjelas jurang kaya dan miskin di negara-negara berkembang. Untuk suatu kelompok negara, globalisasi meruntuhkan persatuan dan ketahanan negara. Saat ini, globalisasi telah membawa tantangan baru yang membuat kita perlu memikirkan ulang topik ketimpangan.

2. EKONOMI ISLAM MENGHADAPI PASAR BEBAS

Setelah sejumlah akademisi Barat, mantan praktisi World Bank dan International Monetary Fund (IMF), konsultan yang menjadi economic hit man6, serta pemenang Nobel

Ekonomi meneriakkan keadilan global dan mengecam perilaku predatori dan eksploitatori dari negara-negara maju, barulah ekonom mainstream berkenan merenungkan dampak globalisasi dan pasar-bebas bagi kedaulatan rakyat. Hal ini menunjukkan, mulai munculnya paradigma baru dalam ekonomi dunia bahwa setiap negara, bahkan negara maju sekalipun, perlu mewaspadai ancaman globalisasi dan pasar-bebas. Hanya dengan kemandirian yang mampu memberikan pondasi perekonomian yang kokoh agar tegar menghadapi badai krisis ekonomi dunia yang merupakan efek domino dari globalisasi dan pasar-bebas.

Jika disimak, terdapat perbedaan mendasar terkait dengan pemahaman globalisasi dan pasar bebas antara perspektif umum dengan ekonomi Islam. Islam tidak memisahkan agama dengan kegiatan ekonomi. Menurut Chapra (2000), ilmu ekonomi sebagai ilmu moral menyentuh pula nilai-nilai agama. Dalam ekonomi Islam, segala usaha harus diarahkan pada realisasi dan tujuan-tujuan kemanusiaan. Paradigma inilah yang harus digunakan dalam mendefinisikan efficiency dan equity yang ada dalam ilmu ekonomi.

6 Economic hit man adalah julukan John Perkins yang menguak tabir rahasia rekayasa politik ekonomi

serta strategi korporatokrasi melalui buku Confessions of an Economic Hit Man (San Francisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc., 2004) dan The Secret History of The American Empire (edisi Bahasa Indonesia dalam Pengakuan Bandit Ekonomi, Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga (Jakarta: Ufuk Press, 2007)).

Kedua buku ini menceritakan pengalaman penulis pada tahun 1970-1980-an yang bekerja sebagai konsultan ekonomi di bawah pengawasan National Security Agency (NSA), salah satu lembaga keamanan dan intelijen terkemuka di Amerika Serikat (AS). Sebagai konsultan, Perkins memiliki posisi yang tidak sekadar menggolkan kesepakatan bisnis negara-negara berkembang atau dunia ketiga dengan AS, tapi juga membangun kerajaan imperium AS di dunia. Perkins berusaha menciptakan situasi, dimana semakin banyak sumber penghasilan mengalir ke AS atau ke perusahaan-perusahaan milik AS.

Perkins menceritakan, imperium AS dibangun bukan melalui persaingan yang sehat dan jujur, tapi dengan cara-cara yang kotor. Mereka melakukannya melalui manipulasi ekonomi, kecurangan, penipuan, seks, merayu orang untuk mengikuti kemauan AS. Tugas utama Perkins adalah membuat kesepakatan untuk memberi pinjaman ke negara lain, jauh lebih besar dari yang negara itu sanggup bayar. Diakui Perkins, ia pernah menjalankan kebijakan ini di sejumlah negara dunia, termasuk Indonesia.

(6)

2.1 Globalisasi dalam Perspektif Ekonomi Islam

Dalam ekonomi Islam, globalisasi yang berwujud pasar bebas sesungguhnya sudah sejak lama terjadi. Sejarah membuktikan bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah terjadi sejak lampau dan bukan baru terjadi hari ini. Dari proses itulah kita bisa menyaksikan bagaimana Islam menyebar ke berbagai belahan dunia.

Jika kita membaca kisah Rasulullah SAW, perdagangan merupakan pekerjaan yang digeluti Rasulullah sejak kecil. Bahkan kesaksian tanda-tanda kenabian Beliau oleh seorang Pendeta juga terjadi kala Rasulullah sedang melakukan perjalanan berdagang. Dari sini, kita bisa melihat bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah terjadi bahkan sebelum Rasulullah diangkat menjadi Nabi. Setelah Rasulullah diangkat menjadi Nabi, barulah nilai-nilai etik-religius dari Islam masuk ke dalam ranah perdagangan dan bidang lainnya.

Dalam konteks kekinian, praktek globalisasi dan pasar-bebas di masa lampau berbeda dengan praktek globalisasi dan pasar-bebas saat ini. Globalisasi dan pasar-bebas di masa lampau tercipta karena mekanisme alamiah penawaran dan permintaan. Sedangkan paradigma globalisasi dan pasar-bebas sebagaimana yang kita pahami saat ini adalah buah dari pemikiran kaum Neoklasikal untuk melegitimasi berbagai kepentingannya. Paham globalisasi dan pasar-bebas dalam konteks kekinian sesungguhnya dicipta sebagai pembenaran terhadap kebijakan politik dan ekonomi dari paham mereka yang kerap tidak berkeadilan.

Di masa lalu, di antara banyak suku di Arab, terdapat suku Quraisy yang memiliki kemampuan dagang cukup tinggi. Karena suku ini juga dikenal memiliki otoritas sebagai

penjaga Ka bah, menurut Perwataatmadja & ‛yarwati 8 , posisi ini membuat suku

Quraisy sangat leluasa dan aman untuk melakukan perjalanan dagang ke seluruh kawasan Arab. Hampir seluruh suku dalam rute perdagangan menuju Syria, Yaman, dan Bahrain menghormati dan menghargai kafilah-kafilah Quraisy. Kebiasaan kaum Quraisy melakukan perjalanan dagang pada musim dingin dan panas digambarkan dalam firman Allah:

Karena kebiasaan orang-orang Quraisy yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan

panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik Rumah ini Ka bah yang telah memberi

makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan (QS. Quraisy [106]: 1-4).

Tidak bisa dipungkiri, sebagai kaum yang memiliki hubungan dagang lintas negara, kaum Quraisy mempunyai pengetahuan dagang yang sangat baik. Hal ini kian didukung

oleh keberadaan mereka sebagai penjaga Ka bah yang menyebabkan sejumlah negara

(7)

telah mereka dirikan. Sistem upah dan syirkah dalam berbagai tipe juga telah dijalankan antara pemilik modal dengan pelaku dagang, termasuk pula dengan kerjasama jenis mudharabah.

Sebagaimana yang telah diceritakan sebelumnya, perdagangan antar negara di Semenanjung Arab telah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Karena kondisi geografi yang tidak memungkinkan bagi penduduk setempat untuk bertani, mereka kemudian menjadikan perdagangan sebagai mata pencaharian utama.

Awal abad ke-6M menjadi tonggak awal dimulainya peran wilayah Semenanjung Arab bagian tengah sebagai sentra perdagangan lintas benua. Bermula dari adanya ketegangan antara penguasa Byzantium dengan penguasa Persia. Teluk Persia yang sebelumnya adalah jalur perdagangan barat-timur menjadi berkurang tingkat keamanannya. Alhasil, para pedagang dari timur lebih memilih jalur baru yaitu pelabuhan di pesisir selatan Semenanjung Arab. Lalu dilanjutkan dengan jalur barat menembus wilayah Semenanjung Arab bagian tengah guna menuju wilayah utara, yaitu negeri Syam. Demikian pula dengan jalur perdagangan dari barat yang berpindah melewati Syam, Arab bagian tengah, lalu pelabuhan pesisir selatan Semenanjung Arab. Terakhir, melalui perjalanan laut tanpa melewati Teluk Persia.

Perubahan jalur perdagangan ini menyebabkan sejumlah wilayah di Semenanjung Arab bagian tengah, seperti Mekkah dan Madinah, menjadi ramai. Jika sebelumnya jalur ini hanya diramaikan oleh lalu lintas komoditas perdangan lokal Semenanjung Arab, wilayah ini kemudian berkembang menjadi jalur utama perdagangan dari wilayah timur dan barat. Wilayah timur banyak didominasi oleh pedagang yang berasal dari India dan Cina. Sedangkan wilayah barat didominasi oleh pedagang yang berasal dari Afrika dan Eropa.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perdagangan merupakan pekerjaan yang digeluti Nabi Muhammad SAW sejak kecil bersama dengan pamannya, Abi Thalib. Bahkan kesaksian tanda-tanda kenabian yang dituturkan oleh seorang Pendeta juga terjadi kala Nabi Muhammad SAW sedang melakukan perjalanan berdagang. Dari sini kita bisa melihat bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah terjadi bahkan sebelum Rasulullah SAW diangkat menjadi Nabi.

Tabel 1 menunjukkan sejumlah pasar di Semenanjung Arab pra-Islam yang selain menjadi pusat perdagangan, juga menjadi pusat sastra dan kegiatan spiritual.

NAMA PASAR KOTA/

NEGARA

KETERANGAN

1. Pasar Ukazh7 Al-Athdia8,

antara Mekkah

Masyarakat Arab biasa berkumpul di pasar ini untuk saling membanggakan diri. Pasar ini berlangsung 20 hari dari tanggal 1

7 Suyanto (2008a) menjelaskan, pasar Ukazh adalah pasar kuno yang paling terkenal di Semenanjung

Arabia. Pasar tersebut tercatat untuk pertama kalinya pada tahun 500 Sebelum Masehi (SM). Pasar ini dikenal dalam hal kemegahan, hubungan dagang, manifestasi syair, kesukuan, dan selalu dikunjungi oleh suku Quraisy, Hawazin, Ghatafan, Aslam, Ahabish, Adl, ad-Dish, al-Haya dan al-Mustaliq.

TABEL 1

(8)

dan Tha if sampai Dzul Qa dah. Pasar ini merupakan pusat perdagangan paling besar di Jazirah Arab selain juga menjadi pusat sastra dan tempat bagi orang-orang yang membawa misi perbaikan.

2. Pasar Majinnah Mekkah Setelah pasar Ukazh selesai, orang-orang mengunjungi pasar ini. Mereka tinggal selama hari sejak akhir Dzul Qa dah sampai melihat hilal bulan Dzulhijjah. Pasar ini milik kabilah Kinanah. 3. Pasar Dzu Al-memiliki peran penting di Jazirah Arab. Pasar ini berlangsung sejak hilal bulan Dzulhijjah dan dikunjungi oleh orang-orang yang menunaikan ibadah haji dari seluruh negeri Arab. Orang-orang meninggalkan pasar Majinnah menuju pasar ini dan bermukim sampai hari ke-8 bulan Dzul Hijjah yang merupakan hari Tarwiyah9.

4. Pasar Daumatul Jandal

Al-Jauf. Pasar ini menjadi pertemuan jalan penting perdagangan antara Irak, Syam, dan Jazirah Arab. Musim pasar ini berlangsung dari

Oman Pasar ini banyak dikunjungi oleh bangsa Arab selepas dari aktivitas pasar Hajar. Mereka bermukim di sana sampai akhir Jumadal Ula. Di pasar ini pula terjalin kerja sama antara pedagang dari India, Indus (Sindh), Persia, dan Ethiopia dengan para pedagang Arab. 8. Pasar Hubasyah Tihamah Pasar ini termasuk pasar Tihamah kuo dan bukan pasar haji. Pasar

ini diadakan pada bulan Rajab. Dalam sebuah riwayat disebutkan Pasar ini merupakan tujuan para pedagang laut dan darat. Pasar ini diadakan pada pertengahan bulan Sya ban.

11. Pasar Aden Aden Masyarakat Aden mengunjungi pasar ini setelah pasar Asy-Syihr selesai. Pasar ini diadakan pada 10 hari pertama bulan Ramadhan. 12. Pasar Sana a Sana a Pasar ini berlangsung dari pertengahan sampai akhir bulan berangkat ke pasar ini dan sebagian lainnya ke pasar Ukazh. 14. Pasar Hijr Yamamah Pasar ini diadakan sepanjang bulan Muharram.

15. Pasar Mirbad Bashrah Pasar ini adalah pasar paling terkenal di Arab setelah kedatangan Islam. Mirbad berarti kandang unta.

8 Suyanto (2008a) juga menjelaskan, penentuan kota Al-Athdia sebagai lokasi yang tepat dari Pasar Ukazh

dilakukan oleh Raja Faisal bin Abdul Aziz. Raja Faizal meminta para ahli dan ilmuwan untuk mengidentifikasi lokasi dari Ukazh dengan mencari kembali catatan kuno dan dokumen sejarah. Setelah 1300 tahun, pasar tersebut dioperasikan kembali dan diresmikan oleh Gubernur Mekah, Pangeran Khalid Al-Faisal, putra Raja Faisal. Pasar tersebut berlangsung selama 7 hari dengan menjual bermacam-macam barang dan bahan, baik tradisional maupun modern. Di tempat tersebut juga terdapat tulisan syair Arab kuno dalam emas dan diperuntukkan bagi pengunjung untuk melihatnya.

9 Dinamakan Tarwiyah karena mereka meminum air sampai kenyang dan mengisi bejana mereka untuk

(9)

Demikianlah, dapat kita lihat bahwa sejarah membuktikan praktek globalisasi dan perdagangan bebas sudah terjadi sejak lampau dan bukan baru terjadi hari ini. Dari praktek itulah, bangsa Arab yang menempati Semenanjung Arab bagian tengah pada masa pra-Islam membangun kesejahteraan bangsanya. Dan dari praktek itulah, kaum Quraisy menjadi kaum yang ternama. Kaum Quraisy dihormati selain karena sebagai penjaga

Ka bah, juga karena kemampuannya menjaga stabilitas keamanan kota. Hal ini

menyebabkan para pedagang dari negara lain menyukai Mekkah sebagai kota perdagangan.

Perdagangan memang identik sebagai ikon kaum Quraisy. Kaum Quraisy dikenal jeli menangkap peluang pasar produk antar negara. Pada musim dingin, mereka pergi ke Yaman dengan membeli produk berupa kain sutera, barang pecah-belah, rempah, dan bahan kapur barus untuk kemudian dikirim ke Syiria pada musim panas. Demikian pula sebaliknya, ketika musim panas, mereka mengambil barang dagangan gandum dan buah-buahan dari Syiria yang kemudian dijual pada musim dingin di Yaman. Kemampuan dan kejelian menangkap pasar inilah yang menunjukkan kemampuan kaum Quraisy dalam melakukan ekspor impor produk-produk lintas negara.

Suyanto (2008b) menjelaskan, produk-produk yang banyak diimpor bangsa Arab sebelum Islam diantaranya adalah bahan makanan, minyak zaitun, padi-padian, anggur, pakaian, dan senjata dari Syiria dan Irak. Dari Persia, banyak diimpor produk dari besi, sutra, musk, abergris, dan perhiasan. Dari Yaman dan Oman, banyak diimpor kemenyan, gaharu, ud, pakaian, myrrh, dan parfum. Sedangkan dari Etiopia, banak diimpor gading, emas, dan budak. Sementara itu, produk-produk yang banyak dihasilkan bangsa Arab untuk kemudian diekspor adalah produk-produk pertanian dan industri. Suyanto (2008b) menceritakan, di bidang pertanian, yang banyak dihasilkan adalah padi-padian berupa gandum, barley, sorghum, alfalfa. Lalu juga sayur-sayuran, pohon jeruk, dan buah-buahan seperti anggur, zaitun, kurma, dan delima. Di bidang industri, banyak bermunculan industri perhiasan, industri pandai besi, industri pembuatan dan penyamakan kulit, industri tekstil dan tenun, serta industri parfum.

Tidak bisa dipungkiri, sejarah menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi menjadi alasan utama terjadinya perdagangan internasional. Pada masa pra-Islam, komoditi yang diperdagangkan saat itu selain berbagai kebutuhan pokok, diantaranya juga adalah patung-patung berhala yang menjadi sesembahan bagi masyarakat jahiliah yang menganut paham paganisme. Hal ini pulalah yang menjadi salah satu alasan mengapa hadirnya Islam yang mengajak menyembah Allah SWT mengalami penolakan. Sebab, hal tersebut dipandang sebagai ancaman bagi kelanggengan usaha mereka. Dalam konteks ini, pasar-pasar memegang posisi kunci sebagai pusat perdagangan, pusat sastra, dan pusat kesalehan spiritual.

2.2 Ekonomi Islam, New Intitutional Economics?10

Ketika krisis keuangan global melanda dunia, salah satu pemikiran yang mengemuka di kalangan para ekonom adalah apakah penerapan sistem ekonomi Islam merupakan

10 Dikutip dari artikel pribadi yang ditulis bersama Rifki Ismal, Mahasiswa S3 Islamic Banking and Finance,

(10)

solusi bagi masalah ini dan apakah ekonomi Islam akan menjadi paradigma baru yang menggantikan sistem ekonomi kapitalis. Bagi sejumlah ekonom, krisis global yang tengah terjadi saat ini merupakan pembuktian lemahnya sistem ekonomi kapitalis sekaligus menjadi momentum kebangkitan ekonomi Islam. Fenomena ini jika dikaji dengan pendekatan konsep new institutional economics (NIE), maka pandangan tersebut mendekati kebenaran.

4 Elemen NIE

Secara teoretis, NIE adalah suatu konsep yang memaparkan kriteria atau syarat untuk membangun suatu paradigma sistem ekonomi baru yang setidaknya terdiri dari empat elemen.

Elemen pertama, budaya adalah cara berpikir, perasaan, kecenderungan, dan perilaku individu atau kelompok masyarakat. Budaya antara lain dipengaruhi oleh pengetahuan, kondisi sosial politik, dan komunikasi. Jika ingin menghadirkan suatu paradigma baru, maka diperlukan penyesuaian (perubahan) budaya.

Elemen kedua, institusi adalah keberadaan peraturan atau regulasi, dukungan pemerintah, dan sistem peradilan. Elemen ini mencakup ada tidaknya institusi publik di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dikaitkan dengan pengembangan ekonomi Islam di tanah air, kehadiran undang-undang (UU) Perbankan Syariah pada April 2008 lalu merupakan pengukuhan terhadap pilar institusi dalam ekonomi syariah. Hal ini kian menguat dengan berkembangnya lembaga pendukung lain seperti sistem peradilan untuk perbankan syariah, sistem pendidikan yang mengajarkan ekonomi/perbankan syariah, legalisasi UU Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), cetak biru pengembangan perbankan syariah, peraturan Bapepam untuk perusahaan pembiayaan syariah, dan lainnya.

Elemen ketiga, organisasi adalah suatu alat yang diciptakan individu/sekelompok masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini, Indonesia boleh dikatakan telah berhasil mengembangkan bank syariah, asuransi syariah, sukuk, dan perusahaan pembiayaan syariah dengan baik. Rata-rata pertumbuhan aset, simpanan, dan pembiayaan bank syariah lebih dari 50 persen sepanjang 2000-2008. Hal ini sekaligus menjadi salah satu bukti empirik selain jumlah bank syariah, asuransi syariah, dan lembaga syariah lainnya yang terus bertambah setiap tahun. Beberapa perguruan tinggi ternama pun telah membuka jurusan/fakultas ekonomi/perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di bidang ini yang setiap tahun semakin bertambah.

(11)

Menuju Paradigma Ekonomi Baru

Untuk menjawab apakah ekonomi syariah di Indonesia akan menjadi paradigma baru atau minimal alternatif bagi ekonomi konvensional, maka pendekatan NIE menunjukkan arah yang demikian.

Kondisi Indonesia saat ini menyiratkan penerimaan masyarakat yang cenderung meningkat meski pengaruh sistem ekonomi konvensional masih dominan. Tentu saja untuk membangun elemen budaya, khususnya menciptakan masyarakat yang sharia-based, merupakan suatu pekerjaan rumah tersendiri.

Namun demikian, dengan semakin maraknya negara-negara di Eropa melakukan restrukturisasi perbankan dan keuangan syariah, hal ini sejatinya semakin menguatkan kiprah dan penerimaan masyarakat internasional terhadap institusi ekonomi syariah. Beberapa negara tetangga seperti Singapura, Thailand, Malaysia, bahkan yang berpenduduk muslim minoritas seperti China, Jepang, Korea, dan Inggris telah dengan cepat mempersiapkan elemen institusi untuk mendukung penciptaan sistem perbankan dan keuangan syariah.

Dalam hal organisasi, pengembangan ekonomi syariah, utamanya bank syariah, juga menunjukkan kinerja yang semakin baik. Berbagai pembenahan telah dilakukan, khususnya yang terkait dengan manajemen risiko, peningkatan kualitas pelayanan, dan pemenuhan kebutuhan sumber daya insani. Semua ini dimaksudkan untuk mengimbangi pertambahan institusi perbankan dan keuangan syariah baru.

Terakhir, perlahan namun pasti, pasar dari industri syariah terus menunjukkan peningkatan seiring kebutuhan transaksi berbasis syariah yang semakin tinggi. Kondisi ini semakin kondusif dengan kesadaran otoritas pasar keuangan, regulator perbankan, dan pelaku pasar yang semakin baik. Hal ini tercermin dengan semakin intensifnya koordinasi masing-masing pihak yang kian memacu perkembangan pasar industri perbankan dan keuangan syariah di tanah air.

Secara keseluruhan, ekonomi syariah sebagai sebuah paradigma baru berdasarkan konsep NIE telah meletakkan pondasinya di Indonesia. Harus diakui, terlalu dini jika kita meminta pengambil kebijakan menerapkan sistem ekonomi ini. Banyak sekali kendala dan pekerjaan rumah yang masih harus kita siapkan. Berapa lama proses tersebut berlangsung, tentunya berpulang kepada usaha kita bersama. Pada saatnya nanti, tanpa harus memaksa, ekonomi syariah akan menjadi pilihan jika para pelaku di dalamnya dapat membuktikan kebaikan dari sistem ini.

2.3 Merekonstruksi Politik Ekonomi

(12)

Menghadapi komitmen perdagangan bebas atau pasar bebas sebagaimana yang dimaknai dan digaungkan oleh kelompok masyarakat ekonomi mainstream, maka dibutuhkan rekonstruksi politik ekonomi jika pelaku ekonomi Islam ingin memenangkannya. Merunut berbagai persoalan yang dihadapi Indonesia, hal ini ini tidak jauh berbeda dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh negara Islam lainnya yang notabene kebanyakan adalah negara berkembang atau bahkan negara miskin. Kompleksnya persoalan ekonomi di negara muslim tercermin dari lemahnya bargaining power terhadap produk nonmuslim yang ditunjukkan oleh rendahnya nilai ekspor negara-negara muslim terhadap negara muslim ataupun nonmuslim. Tingginya ketergantungan negara muslim terhadap negara nonmuslim juga ditunjukkan dengan besarnya utang. Rendahnya kepedulian pemerintah terhadap ekonomi rakyat kecil, terlihat dari besarnya ketimpangan pendapatan di antara rakyat yang kaya dan miskin. Situasi ini tentu bukanlah praktek sistem ekonomi Islam. Sebab, sistem ekonomi Islam pasti mengarahkan perbaikan kehidupan negara di berbagai aspek kehidupan.

Besarnya kekuasaan pemerintahan negara muslim terkadang menjadikan potensi ekonomi yang bersentuhan dengan kepentingan rakyat kurang bisa diolah dengan optimal. Coba saja kita lihat negara-negara muslim di kawasan kaya mineral yang kerap memanfaatkan kekayaannya bukan untuk mendukung terjadinya akselerasi ekonomi di berbagai sektor ataupun melakukan distribusi pendapatan pada negara muslim yang miskin, namun justru banyak digunakan untuk mempertinggi sektor konsumsi. Padahal, negara-negara muslim di kawasan Afrika dan Asia yang memiliki banyak sumber daya alam (SDA) yang belum mampu terolah secara optimal akibat minimnya modal dan teknologi serta rendahnya kemampuan untuk melakukan inovasi di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan sehingga mempengaruhi rendahnya pemasukan negara di sektor–sektor tersebut.

Tidak bisa dipungkiri, rendahnya kemampuan negara muslim dalam mengelola sumber daya ekonomi juga banyak disebabkan karakter pemerintahan yang kaku dan lebih berorientasi pada bidang politik. Bidang politik lazim menjadi pijakan bagi negara muslim untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan di negara tersebut. Hal inilah yang menjadikan rendahnya kemampuan rakyat dalam mengelola sumber ekonomi yang ada. Iklim demokratisasi yang kurang mendukung ini akhirnya menimbulkan kerawanan ekonomi, sosial, dan hukum. Sen (2001) berpendapat, persoalan kekurangan pangan, pendidikan, dan kesehatan seharusnya tidak terdapat pada negara-negara yang memiliki SDA yang melimpah. Hal ini terjadi karena tidak lain sistem pemerintahan yang kurang demokratis.

Kebanyakan fenomena yang terekam di negara muslim lebih menunjukkan kondisi negara berkembang pada umumnya yang memiliki pengaruh politik lebih besar dibanding pengaruh ekonomi. Engineer (2000) menyatakan, konsep keterbukaan dalam syariah sebenarnya memfasilitasi realisasi pertumbuhan ekonomi tanpa menafikkan persoalan politik. Namun kenyataan menunjukkan politik selalu mendominasi ekonomi.

(13)

Dengan demikian, perdagangan bebas atau pasar-bebas yang gencar diperjuangkan oleh masyarakat ekonomi mainstream dapat menjadi peluang, tetapi bisa juga menjadi ancaman bagi Indonesia. Itu semua tergantung pada bagaimana pemerintah dan masyarakat melaksanakan tata kelola perpolitikan dan perekonomiannya. Merujuk pada reformasi kebijakan fiskal dan moneter yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, maka setidaknya beberapa hal mendasar yang perlu ditekankan kepada pemerintah adalah sebagai berikut.

2.3.1 Kebijakan Fiskal

Nilai-nilai yang diusung Nabi Muhammad SAW dalam kebijakan fiskal meliputi diantaranya: Pertama, distribusi kekayaan. Allah menciptakan kekayaan alam untuk digunakan bagi kesejahteraan umat manusia. Manfaat yang diperoleh dari sumber daya-sumber daya tidak boleh dikuasai segelintir orang atau kelompok. Keuntungan finansial yang diperoleh dari sumber daya-sumber daya dapat menjadi sumber penerimaan negara. Negara berkewajiban untuk mendistribusikan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui keuntungan yang diperoleh dari sumber daya-sumber daya tersebut. Dalam QS Al-Hasyr: 7 diterangkan,

pa saja harta rampasan fa i yang diberikan ‚llah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.

Sesungguhnya ‚llah amat keras hukumannya .

Kedua, kejujuran dalam mengelola keuangan negara. Diriwayatkan dari Al Hasan

yang mengatakan: Ubaidilah bin Ziyad menjenguk Ma ql bin Yasar ‚l-Mazani ketika ia

sakit menjelang ajalnya. Ma qil mengatakan: Sesungguhnya aku ingin menyampaikan

kepadamu sebuah hadits yang aku dengar dari Rasulullah S‚W. Ya Rasulullah! Tolonglah aku! Maka aku akan menjawab bahwa aku tidak mempunyai kekuasaan apapun untukmu, karena aku telah menyampaikannya padamu. Seandainya aku masih mempunyai sisa hidup, aku tidak akan menceritakan padamu. Aku mendengar Rasulullah bersabda: Tidak seorang hamba pun yang ditakdirkan Allah memegang kekuasaan atas rakyat, yang meninggal pada hari ia meninggal, sedangkan ia bertindak curang pada rakyatnya, kecuali Allah akan

mengharamkannya masuk surga.

(14)

mengatakan Aku mendengar Rasulullah bersabda: Harta ini sungguh hijau dan manis. Siapa yang mendapatkannya dengan cara yang sah, ia mendapat keberkahan di dalamnya. Tapi banyak orang yang menghambur-hamburkan harta Allah dan Rasul-Nya dengan sesuka hati mereka.

Orang-orang ini tidak akan mendapat apapun pada hari kiamat selain api neraka. Dalam hal ini, peran pemerintah sebagai pembeli besar menjadi dasar yang rasional dan konsisten bagi Nabi Muhammad SAW untuk mengatur belanja negara. Belanja negara disesuaikan dengan seberapa besar penerimaan yang diperoleh. Jika terjadi penurunan penerimaan, Nabi Muhammad SAW melakukan realokasi sesuai dengan prioritas-prioritas yang ada dengan mengurangi pengeluaran pada bidang-bidang tertentu. Ini dimaksudkan untuk menjaga atau mengkompromikan pengeluaran agar tidak melampaui sumber daya-sumber daya yang tersedia dan memperburuk ketidakseimbangan makroekonomi dan eksternal. Dalam perspektif Islam, efektivitas dan efisiensi merupakan dasar dalam pengambilan keputusan belanja pemerintah. Islam mengajarkan untuk membelanjakan harta sesuai kaidah-kaidah syariah dengan memperhatikan skala prioritas.

2.3.2 Kebijakan Moneter

Terdapat 3 hal yang diperintahkan Nabi Muhammad SAW dalam bidang moneterisasi. Pertama, larangan melakukan ihtinaz. Ihtinaz adalah kegiatan menimbun mata uang dan berbagai bentuk harta kekayaan lainnya seperti emas dan perak. Ada juga yang menyebut kegiatan ini dengan kanz. Dampak dari kegiatan ini adalah berkurangnya persediaan uang di pasar sehingga permintaan uang akan meningkat karena perputaran uang menurun. Dengan adanya larangan ini diharapkan nilai uang lebih stabil dan daya beli masyarakat dapat dipertahankan.

Kedua, melarang segala bentuk riba. Secara bertahap, Nabi Muhammad SAW

menghapus riba dari kegiatan ekonomi. Bagi pemilik modal, tidak ada jalan lain lagi untuk memperoleh keuntungan selain melalui kerjasama. Larangan ini menimbulkan begitu banyak perubahan. Ditambah lagi dengan adanya sejumlah kebijakan nonmoneter yang ditetapkan Nabi Muhammad SAW menyebabkan motivasi yang semakin besar untuk meningkatkan partisipasi dalam bekerja sama. Perubahan ini secara keseluruhan meningkatkan permintaan akan investasi dan menciptakan koordinasi dan keseimbangan antara perputaran uang dan produksi barang.

Ketiga, larangan melakukan transaksi kali bi kali. Yaitu, transaksi tidak tunai yang

tidak mensyaratkan adanya barang atau pertukaran uang dan barang selang beberapa waktu setelah kontrak ditandatangani. Kegiatan ini dilarang karena dapat menimbulkan tindak spekulasi. Larangan ini dengan sendirinya akan mencegah terjadinya penyimpangan penggunaan dana untuk hal-hal selain produksi barang dan jasa.

3. KESIMPULAN

Globalisasi sejatinya bukan dimaknai dengan terbukanya pasar tanpa batas sehingga seluruh komoditi ekonomi bebas dimasuki asing. Globalisasi seharusnya dipahami sebagai kebebasan untuk melakukan pertukaran kepentingan ekonomi yang saling menguntungkan. Jika terdapat praktek transaksi ekonomi yang merugikan, salah satu pihak seyogyanya diberi kebebasan untuk melindungi kepentingan domestiknya.

(15)

(political economy). Terlebih dalam perspektif ekonomi Islam, maka kebijakan ekonomi mainstream perlu disikapi dengan kehati-hatian karena terdapat perbedaan mendasar secara filosofi dalam memaknai globalisasi, perdagangan bebas, dan pasar bebas. Untuk itu, komitmen perdagangan bebas yang dilakukan pemerintah Indonesia seharusnya mengusung pula reformasi kebijakan fiskal dan moneter yang sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Ke depan, pembangunan perekonomian rakyat mempunyai peran sebagai sebuah strategi pembangunan. Membangun fundamental ekonomi dalam negeri adalah sebuah keharusan. Hanya dengan demikian, perekonomian Indonesia lebih mampu mandiri, tidak rapuh, dan tidak tergantung pada perekonomian luar negeri. Dengan dasar pemihakan dan peran strategi tersebut, arah kebijakan ekonomi nasional harus ditujukan kepada sektor-sektor yang sarat dengan kepentingan rakyat, terkait dengan potensi dan kapasitas rakyat, serta sesuai dengan tersedianya sumber daya manusia (SDM) dan SDA nasional. Sektor yang menjadi pilihan strategis hendaknya dipilih yang berbasis SDM dan SDA dalam negeri (domestic resource-based), bertitik sentral pada rakyat (people-centered), dan mengutamakan kepentingan rakyat (putting people first). Hal ini secara prinsip sejalan pula dengan nilai-nilai yang diusung oleh ekonomi konstutisi maupun ekonomi Islam.

==============================

Daftar Pustaka

Ackerman, Frank, et al., 1998. The Political Economy of Inequality. Washington DC: Island Press.

Al-Maghluts, Sami bin Abdullah, 2008a. Atlas Perjalanan Hidup Nabi Muhammad. Cetakan 1. Jakarta: Almahira. November.

Al-Maghluts, Sami bin Abdullah, 2008b. Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul. Terjemahan dari Athlas Târîkh al-‚nbiyâ wa ar-Rusul. Cetakan 1. Jakarta: Almahira. Desember.

Chapra, M. Umer, 2000. The Future of Economics: An Islamic Perspective. Islamic Economics Series: 21. United Kingdom: The Islamic Foundation.

Engineer, Asghar Ali, 2000. Devolusi Negara Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

George, Susan, 2006. Republik Pasar Bebas: Menjual kekuasaan Negara, Demokrasi dan Civil Society kepada Kapitalisme Global. Jakarta: INFID.

Hurrel, Andrew & Ngaire Woods, 1999. Inequality, Globalization, and World Politics. New York: Oxford University Press.

Ismal, Rifki & Khairunnisa Musari, 2009. New Istitutonal Economics?. Harian Republika, 24 Januari.

Metwally, MM., 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta: PT Bangkit Daya Insana.

(16)

Musari, Khairunnisa, 2009. Globalisasi untuk Nasionalisme. Harian Surabaya Post, 24 April.

Musari, Khairunnisa, 2009. Antara Stiglitz, Indonesia, dan Ekonomi Syariah. Harian Surabaya Post, Ouvre, 7 Juni.

Musari, Khairunnisa, 2010. Lalu Lintas Ekonomi Negara-Negara Islam: Dulu & Kini. Mata Kuliah Penunjang Disertasi (MKPD) Lalu Lintas Modal & Pendapatan Antar Negara Islam (OKI). Program Doktoral Ilmu Ekonomi Islam Universitas Airlangga.

Perwataatmadja, Karnaen A. & Anis Byarwati, 2008. Jejak Rekam Ekonomi Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Cicero Publishing. Februari.

Sen, Amartya, 2001. Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin. Jakarta: Mizan.

Swasono, Sri-Edi, 2005a. Ekspose Ekonomika Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas. Edisi Baru. Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM.

Swasono, Sri-Edi, 2005b. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: Dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke The End of Laissez-Faire. Jakarta: Perkumpulan Prakasa. April.

Stiglitz, Joseph E., 2006. Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil. Bandung: Mizan.

Suyanto, M., n.a. Ekonomi Kesejahteraan Syariah. Diakses dari http://msuyanto.com pada 1 Juni 2010.

Suyanto, M., 2008a. Pasar Ukazh. Diakses dari http://journal.amikom.ac.id/ index.php/Koma/article/view/1572 pada 10 Mei 2010.

Suyanto, M., 2008b. Muhammad Business Strategy & Ethics. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Oktober.

Suyanto, M., 2009. Globalisasi Ekonomi dan Ekonomi Syariah serta Perannya dalam Perekonomian Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada STMIK Amikom Yogyakarta. 24 Januari.

Ulfa Jamilatul Farida, 2012. Telaah Kritis Pemikiran Ekonomi Islam terhadap Mekanisme Pasar dalam Konteks Ekonomi Islam Kekinian. Jurnal Ekonomi Islam LA RIBA, Volume VI, No. 2, Desember.

Referensi

Dokumen terkait

7.2 Kondisi untuk penyimpanan yang aman, termasuk ketidakcocokan Bahan atau campuran tidak cocok.. Pertimbangan untuk nasihat lain •

Oi lingkungan, gas-gas asam yang dikeluarkan melalui cerobong akan tersebar dan berubah menjadi asam yang terlarut dalam air hujan sehingga menimbulkan hujan asam pada kawasan

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

UML yang merupakan singkatan dari Unified Modelling Language adalah sekumpulan pemodelan konvensi yang digunakan untuk menentukan atau menggambarkan sebuah sistem

(1) Kepala Dinas wajib menyusun rencana strategis dengan mengacu pada RPJMD Kabupaten, mengimplementasikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP),

Makna leksikal yang penulis maksud dalam penelitian ini ialah makna yang didapatkan dan disesuaikan dengan maksud penutur atau informan dari Suku Dayak Kubitn Kecamatan

Astin Nugraheni (2006 ) dalam skripsinya yang berjudul “Konflik Batin Tokoh Zaza dalam Novel Azalea Jingga Karya Naning Pranoto: Tinjauan Psikologi Sastra”. Hasil Penelitian

Responden ibu hamil yang mempunyai perilaku diet yang negatif dalam pencegahan hiperemesis gravidarum penyebab utamanya ibu hamil mempunyai perilaku diet yang