• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KETERDAPATAN LAPISAN AKUIFER UNTU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN KETERDAPATAN LAPISAN AKUIFER UNTU"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KETERDAPATAN LAPISAN AKUIFER UNTUK REKOMENDASI

PEMBORAN AIR TANAH DI WILAYAH UPT JONGGON C KEC. LOA KULU KAB.

KUTAI KARTANEGARA DENGAN METODA RESISTIVITY

Oleh

Dudi Nasrudin Usman1

Abstrak

Air merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia dalam menunjang kehidupan sehari – hari, akan tetapi tidak seluruh masyarakat pada saat ini bisa menikmati air bersih yang mencukupi sehingga dengan berbagai cara orang berusaha mendapatkan air tersebut agar terpenuhi keperluannya.

Berbagai parameter akan menjadi acuan bagi perencanaan maupun dalam proses pelaksanaan pengeboran, dengan harapan akan tercipta sumberdaya yang dapat menunjang keperluan untuk melaksanakan kegiatan pengeboran. Termasuk dalam hal ini adalah adanya dukungan data struktur batuan dan tanah Penutup ( Top Soil ), data tersebut dapat diperoleh melalui pemboran dalam atau melalui sumur gali, sumur pantek atau pendugaan nilai tahanan jenis (resistivity).

Kegiatan pengeboran di Daerah UPT Jonggon C harus didukung informasi yang memadai tentang struktur tanah dan kondisi sebaran air bawah permukaan. Pengembangan yang kurang terarah dan tidak terencana dengan baik akan memberikan dampak yang serius terhadap Keselamatan dan keseimbangan sumber daya alam yang dimiliki.

Lokasi pengukuran itu sendiri secara administrasi terletak pada koordinat 116045’ 37,25” - 1160 47’ 34,08” BT dan 000 35’ 09”

- 000 36’ 58,99” LS. Secara administrasi Jonggon C berbatasan dengan wilayah Sebelah Utara (Desa Jonggon Jaya), Sebelah Timur (Desa Sungai Payang), Sebelah Selatan (Hutan Sepaku/UPT Jonggon D), Sebelah Barat (Desa Kedang Ipil).

Berdasarkan analisis resistivitas dan interpretasi karakteristik litologinya, jenis material penyusun di daerah penelitian terdiri dari top soil hingga batubara sisipan gamping. Litologi yang mempunyai potensi sebagai Akuifer di areal penelitian adalah terdiri dari lumpur, lapisan tuf sisipan kerakal hingga kerikil, batubara muda hingga gamping yang berupa kekar - kekar berada dikedalaman 1,8 – 19,7 m yang terdapat pada semua titik pengukuran , dengan ketebalan berkisar antara 4,2 – 35 m, lapisan atas yang menyelubungi akuifer adalah top soil, Lempung sisipan batubara, dan lapisan bawah yang menyangga akuifer adalah Batubara sisipan gamping dan pada bagian lain tidak terlihat batas penyangga akuifer.

Hasil pengukuran menunjukkan dimana kedalaman akuifer dangkal berkirar diantara 1 – 2 meter dengan ketebalan lapisan akuifer yaitu antara 1 – 4 meter, sehingga kedalaman tersebut memungkinkan untuk pemboran dangkal menggunakan pompa.

Untuk aluifer dalam berkisar pada kedalaman 2 – 19 meter dengan ketebalam lapisan akuifer antara 4 – 35 meter, sehingga untuk akuifer dalam masih memungkin untuk bisa dimanfaatkan sebagai sumber keterdapatan air.

Hasil kajian terhadap keberadaan lapisan akuifer yang di-combine terhadap data kedalaman sumur di lokasi penelitian, maka interval kedalaman muka air tanah di lokasi Jonggon C yaitu antara 1 sampai dengan -17 m di bawah permukaan tanah.

Kata Kunci : Airtanah dan Air Bawah Tanah, Resistiviti, Akuifer

1

(2)

Air merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia dalam menunjang kehidupan sehari –

hari, akan tetapi tidak seluruh masyarakat pada saat ini bisa menikmati air bersih yang mencukupi

sehingga dengan berbagai cara orang berusaha mendapatkan air tersebut agar terpenuhi

keperluannya.

Peningkatan kebutuhan tersebut terutama dipicu oleh perkembangan jumlah penduduk,

perubahan/konversi lahan, perkembangan industri, hingga mobilisasi penduduk dari desa ke kota,

hal ini menyebabkan beban berat bagi sumberdaya alam yang keberadaannya terbatas.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka adanya rencana pembangunan dan

pengembangan suatu daerah tidak terlepas dari upaya antisipasi perkembangan dan pembangunan

yang meliputi; pertumbuhan penduduk, aktivitas perekonomian, pembangunan infrastruktur serta

sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan kawasan tersebut.

Untuk itu perlu diketahui suatu kondisi yang menggambarkan bawah permukaan diantaranya

adalah struktur dan sebaran tanah atau batuan, baik vertikal maupun horizontal, kondisi akifer atau

air bawah tanah khususnya yang berkaitan dengan penyebaran akuifer baik dangkal maupun dalam.

Hal ini dibutuhkan guna mendukung pembangunan infrastruktur serta sarana prasarana pendukung

yang akan dikembangkan salah satunya yaitu kegiatan pemboran airtanah dan air bawah tanah.

Termasuk dalam hal ini adalah adanya dukungan data struktur batuan/tanah terhadap kondisi

airtanah dan air bawah tanah, data tersebut dapat diperoleh melalui pemboran dalam atau melalui

sumur gali/sumur pantek atau pendugaan nilai tahanan jenis (resistivity).

Penurunan muka tanah (amblesan) akan menyebabkan munculnya air genangan dan bahkan

banjir jika terjadi hujan, dan seterusnya. Dengan demikian krisis airtanah dan air bawah tanah,

penurunan muka tanah akibat pengambilan air yang berlebihan, intrusi air asin, bencana banjir

adalah merupakan sebab - akibat dari suatu proses perencanaan yang kurang matang dan tidak

terencana dengan baik.

Timbulnya dampak di atas bisa terjadi di wilayah Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara –

Kalimantan Timur. Hal ini adalah sebagai konsekuensi logis dari perkembangan pembangunan dan

apabila tidak di antisipasi lebih dini dengan serius, maka dampak tersebut kemungkinan akan timbul

dan akan semakin parah.

Salah satu syarat pengeboran itu perlu diketahui suatu kondisi bawah permukaan diantaranya

adalah struktur batuan dan sebaran air tanah, baik vertikal maupun horizontal, sifat fisik dan mekanik

tanah atau batuan. Hal ini dibutuhkan guna mendukung pengeboran serta bagian dari sarana &

(3)

Berbagai parameter akan menjadi acuan bagi perencanaan maupun dalam proses pelaksanaan

pengeboran, dengan harapan akan tercipta sumberdaya yang dapat menunjang keperluan untuk

melaksanakan kegiatan pengeboran. Termasuk dalam hal ini adalah adanya dukungan data struktur

batuan dan tanah Penutup ( Top Soil ), data tersebut dapat diperoleh melalui pemboran dalam atau

melalui sumur gali, sumur pantek atau pendugaan nilai tahanan jenis (resistivity).

Kegiatan pengeboran di Daerah UPT Jonggon C harus didukung informasi yang memadai

tentang struktur tanah dan kondisi sebaran air bawah permukaan. Pengembangan yang kurang

terarah dan tidak terencana dengan baik akan memberikan dampak yang serius terhadap

Keselamatan dan keseimbangan sumber daya alam yang dimiliki.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan suatu Kegiatan Pengukuran

Resistiviti Batuan untuk Identifikasi Keberadaan Lapisan Akuifer, agar pada saat pemboran akan

dilakukan sudah diidentifikasi keberadaan lapisan akuifernya.

A.

Lokasi dan Kesampaian Daerah

Loa Kulu merupakan sebuah kecamatan yang terletak di wilayah tengah Kabupaten Kutai

Kartanegara, Kalimantan Timur. Wilayah Loa Kulu terdiri dari 9 Desa, yaitu Jembayan, Jonggon

Desa, Jonggon Jaya, Loa Kulu Kota, Loa Sumber, Margahayu, Ponoragan, Rempanga, Sungai

Payang. Sedangkan yang menjadi wilayah kajian yaitu Jonggon Desa dan Jonggon Jaya.

Kecamatan Loa Kulu terletak pada koordinat 116029’ – 117003’ Bujur Timur dan 0026’LS

– 0054’ Lintang Selatan dengan luas wilayah ± 1.405,70 Km2. Loa Kulu dapat dicapai dari Kota Samarinda dengan jarak tempuh ± 34 Km.

Batas wilayah Kecamatan Loa Kulu adalah sebagai berikut ;

Bagian Utara : Kec. Tenggarong, Kec. Sebulu, Kec. Kota Bangun dan Kec. Muara Muntai

Bagian Selatan : Kec. Loa Janan dan Kab. Penajam Paser Utara

Bagian Barat : Kab. Penajam Paser Utara

Bagian Timur : Kota Samarinda

Sedangkan lokasi pengukuran itu sendiri secara administrasi terletak pada koordinat

1160 45’ 37,25” - 1160 47’ 34,08” BT dan 000 35’ 09” - 000 36’ 58,99” LS. Secara administrasi

Jonggon C berbatasan dengan wilayah ;

Sebelah Utara : Desa Jonggon Jaya

Sebelah Timur : Desa Sungai Payang

Sebelah Selatan : Hutan Sepaku/UPT Jonggon D

(4)

B.

Keadaan Umum Lokasi

Keadaan topografi wilayah Jonggon C atau Jonggon Desa didominasi oleh dataran

rendah seluas 577,5 ha atau 86,294%, dengan dataran tinggi hanya 25,84 ha atau 3,857 % dan

sebagian wilayah mempuyai kondisi topografi bergelombang dengan luas 66,66 ha atau

9,949%. Kondisi tanah di wilayah Jonggon C didominasi oleh tanah Lumpur yang mengandung

lempungan dengan struktur tanah rolling berbukit yang mempunyai nilai tekstur tanah

rata-rata 52% dan kesuburannya sedang.

Keadaan iklim di wilayah Jonggon C relatif sama dengan wilayah Kalimantan pada

umumnya, dengan curah hujan rata-rata per tahun 254-77 mm, dimana musim hujan terjadi di

bulan desember hingga bulan mei, dan musim kemarau terjadi di bulan juni hingga bulan

nopember. Kelembaban udara rata-rata di wilayah ini yaitu sebesar 78,57% dengan temperatur

berkisar pada angka normal yaitu sekitar 290C.

Berdasarkan data monografi desa unit pemukiman transmigrasi tahun 2007, jumlah

keseluruhan penduduk Jonggon C berdasarkan struktur umur yaitu berjumlah 1240 jiwa

dengan laki-laki 684 jiwa dan perempuan 556 jiwa (Tabel .1).

Tabel .1.

Data Penduduk Jonggon C (Jonggon Desa), Kecamatan Loa Kulu Berdasarkan Umur

No.

Jenis Umur Usia Sekolah

(Tahun)

Jumlah (Jiwa)

Laki-laki Perempuan Jumlah

1 0 – 4 89 82 171

2 5 – 9 93 69 162

3 10 – 14 67 60 127

4 15 – 19 70 48 118

5 20 – 24 69 51 120

6 25 – 29 49 60 109

7 30 – 34 9 62 71

8 35 – 39 53 52 105

9 40 – 44 49 33 82

10 45 – 49 25 15 40

11 50 – 54 21 12 33

12 55 Keatas 30 12 42

JUMLAH 624 556 1180

Sumber : Data Monografi, Desa Jonggon Desa – Kecamatan Loa Kulu, 2007

Wilayah Jonggon C secara umum memperlihatkan fasilitas umum seperti di daerah pada

umumnya, dimana fasilitas-fasilitas yang ada masih memerlukan perhatian pemerintah

(5)

Tabel 2.

Data Penduduk Jonggon C (Jonggon Desa), Kecamatan Loa Kulu Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan

No. Jenis Bangunan Jumlah Bangunan

Sumber : Data Monografi, Desa Jonggon Desa – Kecamatan Loa Kulu, 2007

Untuk pelayanan kesehatan masyarakat berdasarkan prasarana lokal di Jonggon C

pada saat ini di fasilitasi dengan 1 buah puskesmas yang terletak di luar UPT (luar wilayah

Jonggon C). Pelayanan kesehatan tersebut meliputi usaha perbaikan gizi, imunisasi, KB,

kesehatan lingkungan dan sebagainya. Sedangkan untuk fasilitas pendidikan, di wilayah

Jonggon C hanya terdapat 1 gedung SD.

C.

Keadaan Topografi dan Morfologi

C.1 Keadaan Topografi

Wilayah Jonggon C sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Loa Kulu, dimana wilayah ini

mempunyai ketinggian berkisar antara 7 – 500 m dpl. Ibukota Kecamatan Loa Kulu sendiri

mempuyai ketinggian sekitar 30 m dpl. Berdasarkan luasan dan ketinggian wilayah, Kecamatan

Loa Kulu didominasi oleh ketinggian antara 25 – 500 m dpl dengan luasan sekitar 56.762 m2

dan sebagian wilayah mempuyai ketinggian antara 7 – 25 m dpl.

Di wilayah Kecamatan Loa Kulu terdapat 3 pegunungan yaitu Lengkup (485 m dpl),

Patung (400 m dpl) dan Kelipung (156 m dpl). Berdasarkan kemiringan lereng, wilayah

Kecamatan Loa Kulu di bagi menjadi 4 bagian, yaitu ; Kemiringan Lereng 0 – 12% luasan 12.064

m2, kemiringan lereng 2 – 15% luasan 4.721 m2, kemiringan lereng 15 – 40% luasan 52.451 m2

(6)

Gambar .1.

Kondisi Morfologi Wilayah Jonggon C

C.2 Keadaan Geologi dan Hidrogeologi

Secara umum berdasarkan PETA GEOLOGI LEMBAR SAMARINDA, KALIMANTAN Skala 1

: 250.000 Oleh S. Supriatna, Sukardi dan E. Rustandi, 1995, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Geologi, Bandung (Gambar.2.). Secara regional keadaan geologi daerah ini

dapat dikelompokkan dalam empat (3) jenis satuan batuan, yaitu :

a.

FORMASI BALIKPAPAN

Perselingan batupasir dan lempung dengan sisipan lanau, serpih, batugamping

dan batubara.

Batupasir kuarsa, putih kekuningan, tebal lapisan 1 – 3 m, disisipi lapisan batubara 5 – 10 cm.

Batupasir gampingan, coklat, berstruktur sedimen lapisan bersusun siur, tebal lapisan 20 – 40

cm, mengandung foraminifera kecil, disisipi lapisan tipis karbon. Lempung, kelabu kehitaman,

setempat mengandung sisa tumbuhan, oksida besi yang mengisi rekahan-rekahan setempat

mengandung lensa-lensa batupasir gampingan. Lanau gampingan, berlapis tipis; serpih

kecoklatan, berlapis tipis. Batugamping pasiran, mengandung foraminifera besar, moluska,

menunjukkan umur Miosen Akhir bagian bawah – Miosen Tengah bagian atas. Lingkungan

(7)

b.

FORMASI PULAU BALANG

Perselingan antara grewake dan batupasir kuarsa dengan sisipan batugamping,

batulempung, batubara, dan tuf dasit.

Batupasir grewake, kelabu kehijauan, padat, tebal lapisan antara 50 – 100 cm. Batupasir kuarsa,

kelabu kemerahan, setempat tufan dan gampingan, tebal lapisan antara 15 – 60 cm.

Batugamping coklat muda kekuningan mengandung foraminifera besar, batugamping ini

terdapat sebagai sisipan atau lensa dalam batupasir kuarsa, tebal lapisan 10 – 40 cm.

Di S. Loa Haur, mengandung foraminifera besar lain Austrotrilina howchini, Borelis Sp,

Lepidocyclina Sp, Miogypsina Sp, menunjukkan umur Miosen Tengah dengan lingkungan

pengendapan laut dangkal. Batulempung, kelabu kehitamana, tebal lapisan 1 – 2 cm. Setempat

berselingan dengan batubara, tebal ada yang mencapai 4 m. Tufa dasit, putih merupakan sisipan

dalam batupasir kuarsa.

c.

FORMASI PAMALUAN

Batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, serpih, batugamping, dan

batulanau, berlapis sangat baik.

Batupasir kuarsa merupakan batuan utama, kelabu kehitaman-kecoklatan, berbutir

halus-sedang, terpilah baik, butiran membulat-membulat tanggung, padat karbonan dan gampingan.

Setempat dijumpai struktur sedimen silang siur dan perlapisan sejajar. Tebal lapisan antara 1 – 2

m. Batulempung tebal rata-rata 45 cm. Serpih, kelabu kecoklatan-kelabu tua, padat, tebal

sisipan antara 10 – 20 cm. Batugamping kelabu, pejal, berbutir sedang – kasar, setempat

berlapis dan mengandung foraminifera besar. Batulanau kelabu tua – kehitaman. Formasi

Pamaluan merupakan batuan paling bawah yang tersingkap di Lembar ini dan bagian atas

formasi ini berhubungan menjemari dengan Formasi Bebuluh. Tebal Formasi lebih kurang 2000

m.

D.

Metoda Resistiviti

D.1 Perkembangan pemanfaatan air tanah.

Pemanfaatan air tanah yang merupakan perkerjaan besar. Pada zaman dahulu dengan

membuat infiltration galleries yang panjang atau yang dikenal sebagai kanal yaitu semacam

(8)

Kanal ini dibuat dari endapan kipas alluvial dan endapan yang empuk. Panjang

terowongan (saluran) sampai beberapa kilometer dan airnya digunakan untuk pertanian

ataupun untuk keperluan sehari-hari. Kanal digunakan pertama kali lebih dari 2500 th yang lalu

di Iran. Kanal sampai sekarang masih dijumpai di Iran, Afganistan dan lainnya.

D.2 Perkembangan Teori Airtanah.

Dimulai oleh ahli-ahli filsafat bangsa Yunani, antara lain; Thales (640-546 SM) “air keluar

lewat batuan dan oleh kekuatan dari dalam batuan air keluar sebagai mata air”. Plato

(427-347 SM) : “goa air tanah yang sangat luas adalah merupakan asal dari sungai. Air akan

mengalir ke goa lewat bawah tanah, mekanismenya merupakan siklus”. Aristoteles (384-322

SM), murid Plato berpendapat ”air tanah terjadi seperti pada sistem spon dan air dapat keluar

sebagai mata air. Beberapa goa berasal dari air hujan yang masuk (infiltrasi) kedalam tanah”.

Disimpulkan oleh para filsuf bahwa air berasal dari goa-goa besar digunung dan mata air

dihubungkan dengan laut melalui saluran-saluran bawah tanah.

D.3 Perkembangan Geohidrologi (Hidrogeologi) Modern.

Perkembangan yang menyolok pada akhir abad ini meliputi tiga bagian utama yaitu:

 Pengembangan hubungan antara geologi dengan terjadi/terbentuknya air tanah.

 Pengembangan persamaan matematik tentang gerakan air pada batuan maupun endapan

lepas.

 Untuk mempermudah dalam studi air tanah diperlukan studi tentang hidrolika air tanah.

 Pengembangan sifat-sifat kimia air tanah (hydrogeochemistry).

Geologi terjadinya pembentukan,

penyebaran airtanah.

Geohidrologi gerakan air tanah,

(hydrogeology) matematika Hidrolika sumur.

Pengujian kapasitas air

tanah (pumping test).

Kimia Sifat-sifat kimia air tanah,

interpretasi sifat-sifat kimia, polusi

(9)

Metoda geolistrik tahanan jenis telah dikembangkan sejak awal tahun 1900, tetapi

penggunaan secara luas mulai tahun 1970 seiring dengan berkembangnya teknologi komputer.

Metoda ini sangat baik digunakan untuk survey air tanah, manifestasi geothermal dan juga

monitor pencemaran air tanah. Selain hal tersebut metoda ini dapat dimanfaatkan untuk

keperluan bidang teknik, seperti memetakan rongga bawah tanah, struktur geologi,

memetakan retakan, sesar dan bidang arkeologi. Dengan mempelajari sifat aliran listrik pada

batuan di bawah permukaan bumi dan bagaimana cara mendeteksinya.

Penyelidikan geolistrik menyangkut pendeteksian besarnya medan potensial, medan

elektromagnet dan arus listrik yang mengalir di dalam bumi baik secara alamiah (metoda pasif)

maupun akibat injeksi arus ke dalam bumi (metoda aktif) dari permukaan.

Eksplorasi metoda geolistrik banyak digunakan pada eksplorasi – eksplorasi sebagai berikut ;

1. Regional Geologi

2. Hidrogeologi dan Geologi Teknik

3. Pertambangan dan Geothermal

4. Archeology

5. Minyak

Metoda geolistrik tahanan jenis merupakan metoda aktif, dimana sumber buatan

berupa arus listrik diinjeksikan ke bawah permukaan melalui titik elektroda. Setelah arus

diinjeksikan, kemudian diukur besarnya potensial listrik (elektroda lainnya) disekitar aliran

arus. Dari kedua variable tersebut dapat ditentukan besarnya resistivitas semu disetiap titik

pengukuran. Variabel ini merupakan variabel fisis yang diamati dan digunakan sebagai acuan

untuk interpretasi pada metoda geolistrik tahanan jenis.

Pendekatan paling sederhana dalam pembahasan gejala kelistrikan di dalam bumi

adalah dengan memperlakukan bumi sebagai medium homogen isotropis. Dengan perlakuan

tersebut kemudian medan listrik dari titik sumber di dalam bumi dianggap memiliki simetri

bola.

Berdasarkan hukum ohm, hubungan antara rapat arus listrik J dengan medan listrik E

dan konduktivitas medium E dan konduktivitas medium  dipenuhi oleh persamaan:

E

(10)

Untuk medan listrik E adalah medan konservatif, maka dapat dinyatakan dalam bentuk

gradient potensial V sebagai:

V

E (3.2)

Sehingga rapat arus listrik J dapat dinyatakan oleh:

V

J 

(3.3)

apabila tidak terdapat sumber muatan yang terakumulasi pada daerah regional, maka:

0

untuk medium homogen isotropis, konduktifitas  diasumsikan sebagai konstanta skalar dalam

ruang vektor, sehingga persamaan 3.4 menjadi:

0

2

V

(3.5)

Karena simetri bola, potensial hanya sebagai fungsi jarak r dari sumber, selanjutnya

persamaan (3.5) dapat dinyatakan oleh:

0

Penyelesaian bentuk persamaan diferensial orde dua ini dapat dilakukan melalui

pengintegralan. Adapun penyelesaian dari persamaan dipenuhi oleh:

B

r

A

V

(3.7)

D.4 Potensial oleh Sumber Arus Listrik di Dalam dan Permukaan Bumi

Misalkan pada kedalaman tertentu terdapat elektroda arus C(x,z) yang dibenamkan di

dalam bumi. Elektroda ini dihubungkan dengan elektroda arus lainnya yang berada di

permukaan tetapi berjarak cukup jauh, sehingga pengaruhnya dapat diabaikan. Elektroda arus

C(x,z) dapat dipandang sebagai titik sumber yang memancarkan arus listrik kesegala arah

dalam medium bumi dengan tahanan jenis .

Ekuipotensial disetiap titik di dalam bumi membentuk permukaan bola dengan jari-jari r.

(11)

Dengan persamaan (3.3) dan (3.7) besarnya A adalah:

Sedangkan apabila sumber arus berada di permukaan, maka potensial listrik dan

tahanan jenis (resistivity) dipenuhi oleh persamaan:

r

D.5 Potensial Listrik Oleh Dua Sumber Arus di Permukaan

Apabila jarak antara dua elektroda arus tidak terlalu besar, potensial disetiap titik dekat

permukaan akan dipengaruhi oleh kedua elektroda arus. Adapun potensial listrik yang

dihasilkan dari kedua sumber arus ini adalah beda potensial yang terukur pada dua titik

pengukuran. Secara grafis, untuk medium homogen isotropis pola distribusi bidang

ekuipotensial akibat dua sumber arus di permukaan diperlihatkan pada Gambar.3.

Pada daerah dekat sumber C1 dan C2 terdapat perubahan potensial sangat drastis.

Sedangkan di dekat titik pusat antara kedua sumber arus tersebut, gradient potensial mengecil

dan mendekati linier. Berdasarkan tinjauan tersebut, pengukuran potensial listrik paling baik

dilakukan pada titik diantara C1 dan C2.

Gambar.3.

(12)

Untuk menentukan beda potensial listrik antara dua elektroda potensial (P1 dan P2)

dapat diterapkan persamaan (3.12). Potensial pada titik P1 yang disebabkan oleh elektroda C1

adalah:

Sedangkan potensial pada titik P1 yang disebabkan oleh elektroda C2 adalah:

2

Arus pada kedua elektroda C1 dan C2 adalah sama tetapi berlawanan arah sehingga A2 =

-A1, dengan demikian potensial total pada titik P1 dapat dituliskan sebagai:



Dengan cara yang sama diperoleh potensial pada titik P2, yaitu:



Adapun beda potensial terukur atara titik P1 dan P2 adalah :

Sedangkan besarnya tahanan jenis:

(13)

Perumusan faktor geometri tersebut berlaku umum, dan hanya mencerminkan

pengaruh letak elektroda potensial terhadap letak elektroda arus.

Metoda geolistrik/resistivity merupakan metoda yang menggunakan arus listrik untuk

mengetahui sifat fisik tahanan jenis dari batuan dibawah permukaan. Arus listrik dari suatu

sumber tertentu dialirkan ke bawah permukaan bumi dan dengan peralatan tertentu diamati

besarnya arus dan tegangan yang timbul di bawah permukaan. Besarnya tegangan dan arus

yang terjadi sangat tergantung pada sifat fisik batuan di bawah permukaan yaitu konduktifitas

batuan. Dengan mengetahui besarnya arus dan tegangan dengan hukum Ohm dapat dihitung

tahanan jenis semu batuan melalui rumus :

I

V

K

Pa

Di mana :

a : Tahanan jenis semu batuan

V : Tegangan

I : Arus

Metoda tahanan jenis (Resistivity) biasanya digunakan untuk mengetahui variasi

tahanan jenis secara vertikal (Vertikal Electrical Sounding) dan horizontal (Electrical Mapping).

Metoda ini dapat digunakan untuk menduga kedalaman lapisan bahan galian, jebakan air

tanah bahkan menduga adanya struktur patahan. Dalam penerapannya metoda resistivity

mempunyai konfigurasi elektroda tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhannya dan kondisi

topografi lapangan.

Peralatan resistivity merupakan suatu perangkat yang terdiri dari transmitter, receiver

dan sumber arus serta beberapa perangkat penunjang lainnya. Secara teknis alat tersebut

relatif mudah untuk digunakan. Pengambilan data resistivity ditentukan oleh konfigurasi yang

akan digunakan dan secara umum harga yang didapat adalah nilai tahanan jenis semu batuan

bawah permukaan. Disebut tahanan jenis semu karena asumsi yang dibuat dalam metoda ini

adalah bahwa lapisan bumi bersifat homogen dan isotropic.

Pengolahan data resistivity biasanya dilakukan secara manual dengan menggunakan

kurva standard (Curve-Matching) tetapi dapat juga dilakukan dengan menggunakan program

(14)

D.6 Prinsip Metoda Resistivity

Apabila sebuah silinder konduktor dengan panjang L dan luas penampang A dialiri arus

listrik (I), tahanan (R) maka menurut hokum Ohm :

V = I . R dan R = P . L/A

Sehingga dari kedua persamaan tersebut diperoleh :

I

V

L

A

P

atau

A

L

P

I

V

.

.

Jadi terlihat bahwa P berbanding lurus dengan V/I, di mana P adalah tahanan jenis

konduktor. Analogi tersebut dapat digunakan apabila sejumlah arus listrik dialirkan ke dalam

bumi di mana batuan di bawah permukaan bertindak selaku konduktor. Prinsip rumus di atas

berlaku sama terhadap batuan tersebut. Perbedaannya hanya terletak pada konduktivitas

batuan.

Kalau pada silinder konduktor yang misalnya terbuat dari logam baja mempunyai daya

hantar listrik sama kesegala arah maka pada batuan sifat tersebut belum tentu terjadi. Oleh

karena itu dalam prinsip geolistrik dibuat asumsi bahwa :

1.Bumi (batuan dibawahnya) bersifat homogen. Homogen artinya dalam satu lapisan batuan

mempunyai tahanan jenis yang sama.

2.Bumi (batuan dibawahnya) bersifat isotropic. Isotropik artinya daya hantar listrik batuan ke

segala arah adalah sama.

Kedua asumsi tersebut menyebabkan pengamatan tahanan jenis di lapangan adalah

tahanan semu dari batuan. Untuk mengetahui tahanan jenis sebenarnya dilakukan pendekatan

teoritis dengan menggunakan kurva standard atau dengan menggunakan program komputer

untuk resistivity. Dalam metoda resistivity dikenal juga apa yang dinamakan dengan prinsip

ekivalensi. Fenomena tersebut dapat diterangkan sebagai berikut :

Apabila suatu lapisan tipis yang konduktif berada di antara dua lapisan yang resistif dan

relatif tebal maka arus listrik akan terdistribusi secara horizontal pada lapisan tipis tersebut

(15)

m h

l R

.

Dari hubungan tersebut jelas bahwa apabila ketebalan h dan tahan jenis p dibesarkan

atau dikecilkan maka harga R akan tetap. Kasus berbeda apabila suatu lapisan tipis yang

resistive berada di antara dua lapisan tebal dan konduktiv maka arus cenderung terdistribusi

secara tegak sehingga berlaku hubungan :

A

h

R

Dari hubungan di atas terlihat bahwa apabila ketebalan h dinaikkan dan tahanan jenis

diturunkan dapat memberikan harga R yang konstan atau sebaliknya. Pengaturan letak

elektroda – elektroda ada beberapa macam, dan berdasarkan kuantitas fisik yang diukur dapat

dikelompokkan menjadi tiga, yaitu ;

1. Pengaturan yang bertujuan mencatat perbedaan potensial antara dua elektroda pengukur

yang berjarak cukup jauh. Contohnya adalah konfigurasi Wenner.

Gambar.4. Konfigurasi Wenner h

l m

I h

(16)

2. Pengaturan yang bertujuan mencatat gradien potensial atau intensitas medan listrik

dengan menggunakan pasangan elektroda pengukur yang berjarak cukup rapat.

Contohnya Metoda Schlumberger.

Gambar.5.

Konfigurasi Schlumberger

3. Pengaturan yang bertujuan mencatat kelengkungan fungsi – fungsi potensial dengan

mempergunakan pasangan – pasangan elektroda arus maupun pengukur yang dipasang

cukup rapat. Contoh Konfigurasi Dipole – Dipole.

Gambar.6.

Konfigurasi Dipole - Dipole

Dari setiap hasil pengukuran beda arus dan beda potensial untuk setiap jarak yang

berbeda dapat diturunkan variasi harga hambatan jenis masing – masing lapisan batuan di

bawah titik ukur (sounding point).

Perlu diingat bahwa metoda ini lebih efektif jika digunakan untuk eksplorasi yang

sifatnya dangkal (300m atau 1500feet). Sehingga metoda ini lebih banyak digunakan untuk

(17)

Berdasarkan harga resistivity listriknya, batuan/mineral dapat dikelompokkan menjadi

tiga ;

1. Konduktor baik (10-8 <  < 1 m)

2. Konduktor sedang (1 <  < 107m)

3. Isolator ( > 107m)

Peralatan Resistivity merupakan sekumpulan alat yang terdiri dari :

 Batere : Digunakan sebagai sumber arus

 Transmitter : Digunakan untuk mengirim / memancarkan arus ke dalam bumi

 Receiver : Digunakan untuk menerima / mengamati tegangan yang muncul di

bawah permukaan dari setiap titik pengamatan

 Komutator : Digunakan untuk mengembalikan arah arus

 Kabel : Digunakan untuk mengantarkan arus listrik dari sumbernya ke

elektroda arus

 Elektroda : Digunakan untuk mengantar arus ke dalam bumi

Lebih jelas peralatan yang digunakan, yaitu ;

a. Satu unit alat ukur geolistrik type Naniora;

b. Dua unit GPS , Merk Garmin, Type 12XL dan Etrex;

c. Kompas dan palu geologi;

d. Peta Topografi dan Peta Geologi

e. Empat buah gulungan kabel, @ 300 m;

f. Multitester / multimeter;

g. Satu unit Komputer dan program pemrosesan data;

h. Alat-alat tulis dan kalkukator.

Pada prinsipnya peralatan resistivity dirancang untuk mengukur arus dan tegangan dari

batuan di bawah permukaan kemudian baru dihitung harga tahanan jenis semu batuan.

Saat ini telah banyak pula dirancang peralatan geolistrik yang berlangsung secara digital

dapat membaca harga tahanan jenis semu batuan. Kemampuan setiap peralatan resistivity

berbeda – beda tergantung dari besar sumber arus yang digunakan dan yang lebih penting

adalah tergantung dari tingkat konduktivitas batuan.

(18)

Gambar.7.

Pengambilan dan Pengukuran Data Tahanan Jenis

Tabel.3.

(19)

Tabel.4.

Klasifikasi Batuan Berdasarkan Nilai Resisitivity Common

Rocks/Materials

Resistivity

(Ohm-meters) Ore Minerals

Resistivity (Ohm-meters)

Clay 1 - 100 Pyrrhotite 0.001 – 0.01

Graphitic Schist 10 - 500 Galena 0.001-100

Topsoil 50-100 Cassiterite 0.001-10.000

Gravel 100-600 Chalcopyrite 0.005-0.1

Wheathered Bedrock 100-1000 Pyrite 0.01-100

Gabro 100-500.000 Magnetite 0.01-1.000

Sandstone 200-8.000 Hematite 0.01-1.000.000

Granite 200-100.000 Sphalerite 1000-1.000.000

Basalt 200-100.000

Limestone 500-10.000

Slate 500-500.000

Quartzite 500-800.000

Greenstone 500-200.000

D.7 Pemodelan Data Tahanan Jenis (

Resistivity

)

Pemodelan data geolistrik dapat dilakukan secara numerik. Saat ini telah banyak piranti

lunak disusun untuk membantu pemodelan ini. Tahapan pemodelan ini terbagi ke dalam dua

jenis yaitu Forward Modelling (Try & Error Analysis) dan Inverse Modelling (Parameter

Analysisi). Beberapa piranti lunak yang umum digunakan untuk Forward Modelling adalah

Resist 1.01 dan beberapa program yang telah dibuat di Indonesia. Piranti lunak untuk Inverse

modeling yang umum digunakan adalah “Resin” (Schlumberger and Wenner Analysis) dibuat oleh University of Amsterdam, Belanda) dan “IP2Win” (Resistivity Sounding Interpretation

dibuat oleh Moskow State University, Rusia).

Dalam interpretasi data lapangan yang nantinya akan memberikan suatu kesimpulan

dari apa yang telah dilakukan di lapangan, maka akurasi data dapat di minimalisir dengan

pengambilan titik geolistrik yang cukup banyak, dimana untuk kelompok luasan area minimal 5

ha dengan kondisi lateral maka jumlah titik yang harus diambil yaitu 15 titik, sehingga pada

saat kita menginterpretasikan kondisi bawah permukaan dari lokasi penyelidikan dapat

(20)

Di bawah ini salah satu conto hasil interpretasi data tahanan jenis dengan menggunakan

bantuan piranti lunak ;

Gambar.9.

Curve Matching Data Lapangan dengan Software IP2Win

Gambar.8.

Curve Matching Data Lapangan dengan Software Resty Beserta Data

Hasil Interpretasi secara

Komputerisasi oleh Software Resty.

Gambar.10.

Data Hasil Interpretasi secara Komputerisasi dan Pseudo Resistivity sebagai Korelasi Antar Penampang

Gambar.11.

(21)

E.

Kegiatan Pengukuran Resistivity

Kegiatan pengukuran resistivity batuan ini, dilakukan untuk mendapatkan data dan

informasi yang lebih detail dan lengkap dibawah permukaan sehingga dapat membantu untuk

menganalisa sebaran batas batuan, kondisi struktur bawah permukaan dan sebaran akifer

airtanah, dimana data-data tersebut sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan letak

dan posisi titik pemboran air.

Pekerjaan lapangan yang dilaksanakan meliputi:

 Melaksanakan kegiatan pengukuran geolistrik sounding (VES = Vertical Electrical

Sounding) dengan jumlah titik sebanyak 26 titik di wilayah kajian.

 Bentangan maksimum untuk pengukuran adalah 200 meter untuk 1 arah sehingga total

bentangan yaitu 400 meter.

 Lokasi dan arah bentangan ditentukan secara situasional, tergantung kepada keadaan

lapangan.

 Analisa data dan interpretasi sebaran akifer serta Pembuatan penampang korelasi

pengukuran geolistrik (log geolistrik).

E.1

Kunjungan Lapangan (Site Visit)

Kegiatan lain dalam persiapan pengukuran resistivity ini yaitu site visit (kunjungan

lapangan), untuk mendapatkan kejelasan tentang kondisi faktual di lapangan. Sehingga

memudahkan dalam pembuatan desain pengukuran sehingga hasil pengukuran bisa

didapatkan secara optimal sesuai dengan kondisi dan keadaan di lapangan.

Gambar.12

(22)

Gambar.13

Kegiatan Site Visit berupa Pengamatan Lokasi Sumur Gali

E.2

Pengukuran Koordinat Titik Penelitian dengan Global Positioning System (GPS)

Pengukuran titik-titik dilakukan setelah site visit dan studi referensi lengkap. Penentuan

lokasi atau titik memakai GPS merk Garmin type XL dan Etrex 12 channel dengan

memanfaatkan panduan satelit navigasi global yang memberikan data koordinat yang tepat

dilapangan. Sebelum melakukan pengukuran dilapangan, desain lapangan/rencana kerja telah

(23)

Gambar.14.

Peta Lintasan Pengukuran Resistiviti Wilayah UPT Jonggon C Kec. Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara

Provinsi Kalimantan Timur Lintasan titik - titik pengukuran geolistrik

PETA LINTASAN PENGUKURAN RESISTIVITY WILAYAH UPT JONGGON C KEC. LOAKULU, KAB. KUTAI KARTANEGARA

PROV. KALIMANTAN TIMUR

Kontur ketinggian

28

F

1 2

(24)

E.3

Data Lapangan Tiap Titik

Data lapangan yang diperoleh terdiri dari AB/2 (panjang bentangan pengukuran),

Voltase (V) dalan satuan milivolt (mV), Arus (I) Dalam satuan miliampere (mI), dan yang

contoh adalah sebagai berikut untuk titik G25, G26, G27, G28.

G25 G26 G27 G28

100 12.7 100 83.92 100 19.3 100 14.5

125 18 125 16.9

E.4

Hasil Pengolahan Data Lapangan

Hasil data lapangan ini kemudian diproses dengan software ip2win dengan memasukan

data AB/2 dan ρa dalam bentuk grafik log plot. Setelah itu dibuat grafik kalkulasinya dan dihasil kan Tahan jenis sebenarnya (ρ) dalam satuan miliOhm (ohmM). Ketebalan lapisan (h) dalam

satuan meter (m), dan kedalaman lapisan (d) dalam satuan meter (m).

G25 G26 G27

ρ h d ρ h d ρ h d

16.665 1.9098 1.9098 20.9 1.57 1.57 27.264 0.51302 0.51302 1.8034 1.1758 3.0856 55.1 1.89 3.46 86.499 2.8859 3.39892 129.13 5.4175 8.5031 4.08 5.73 9.19 286.46 6.2948 9.69372

6.6106 8871 16.554

G28 G29 G30

ρ h d ρ h d ρ h d

8.495 0.6128 0.6128 34.81 0.68615 0.68615 8.9542 0.70577 0.70577

102.9 1.6608 2.2736 484.37 0.68771 1.37386 111.39 5.4822 6.18797

8.2245 35.526 37.7996 59.855 6.6601 8.03396 11.725

30.333 23.34 17.697 25.73096

(25)

E.5

Korelasi lapisan dan interpretasi Vertikal dan Horizontal

Setelah diproses maka didapatkan korelasi penampang lintasan, pada hal ini korelasi

penampang dibuat Sebelas lintasan, hal ini dilakukan berdasarkan titik terdekat dan kelurusan

tiap titik. Berikut ini Korelasi penampang (ρa) Rho semu dan (ρ) Rho sebenarnya berdasarkan

kelurusan titik, pada jonggon c dibuat 6 lintasan diantaranya : Lintasan F (25-26-27-28-29-30-31-32)

Lintasan G (36-34-33-31)

Lintasan H (46-45-44-43-42-39-37-36-35-32)

Lintasan I (41-40-39-38)

Lintasan J (49-48-47-44)

Lintasan K (50-47-44)

Sebagai contoh dari hasil korelasi data pengukuran resistivity di lapangan yang diolah

secara komputerisasi, maka dapat dilihat pada Gambar 4.4 di bawah ini.

Gambar.15.

Penampang Korelasi Titik Pengukuran Resistiviti Wilayah UPT Jonggon C Kec. Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara

(26)

E.6

Penampang 3 dimensi

Penampang 3 Dimensi ini merupakan hasil pendekatan dari 26 (dua puluh enam) titik

pengukuran resistiviti Wilayah UPT Jonggon C, akan tetapi untuk luasan Wilayah UPT Jonggon C

sekitar 172 ha. Adapun bentuk 3 dimensi dari hasil korelasi pengukuran titik resistiviti ini sebagai

gambaran agar lebih memperlihatkan dengan jelas mengenai sebaran akuifer di wilayah

penyelidikan.

Gambar.16.

Penampang 3 Dimensi Sebaran Akuifer Wilayah UPT Jonggon C Kec. Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara

Provinsi Kalimantan Timur

F.

Analisis Dan Pembahasan

Data resistivitas-semu (ρa) hasil pengukuran di daerah kajian diproses lebih lanjut sehingga diperoleh data resistivitas sebenarnya (ρ) dengan bantuan komputerisasi. Data

resistivitas sebenarnya (ρ) memperlihatkan gambaran variasi secara vertikal (sounding) setiap titik dalam satu lintasan pengukuran. Hasil pengolahan data tersebut diplotkan kedalam

lintasan sehingga diperoleh pola profil/penampang harga resistivitas (ρ) versus kedalaman.

Prosedur ini dilakukan untuk mengkompilasi jenis litologi dan keberadaan lapisan bawah

pemukaan di daerah penelitian. Langkah analisis di atas pada akhirnya menghasilkan

interpretasi keadaan geologi bawah permukaan, keberadaan akuifer dan sebarannya di daerah

penelitian.

(27)

F.1 Analisis Data Resistiviti

Analisis resistivitas merupakan proses analisa terhadap data resistivitas hasil

pengolahan data lapangan yang kemudian diinterpretasikan sebagai nilai respon

material/batuan yang terdeteksi. Dengan membandingkan harga resistivitas material/batuan

pada tabel yang sudah baku, pada akhirnya dapat diketahui jenis material/batuan bawah

permukaan dan penyebarannya. Dikarenakan daerah penelitian merupakan daerah

pegunungan maka dipilih literatur tertentu sebagai acuan yang memiliki karakteristik sesuai

keadaan geologi.

Berdasarkan pengolahan data per-titik pengukuran dalam setiap lintasan, hasilnya dapat

dikelompokkan dalam empat jenis kategori resistivitas yang dapat diinterpretasikan sebagai

respon dari material/susunan batuan yang terdeteksi. Keempat jenis lapisan tersebut adalah

(Lampiran 3):

a. Top Soil, Ketebalan tanah penutup dari tiap titik sangat bervariasi, berkisar antara 0,4–

4,1 m. Berdasarkan harga resistiviti, lapisan penutup (Top Soil) bervariasi antara 8,49 -

708 Ω.m. Terbukti pada pengukuran daerah basah memberikan respon resistivitas yang

relatif rendah, begitupun sebaliknya yang cenderung kering memiliki nilai resistivitas

relatif tinggi (pengukuran dilakukan pada saat musim Hujjan dan cuaca cerah sampai

berawan). Jenis material top soil yaitu lempung pasiran dengan warna coklat sedikit

kemerahan, terurai hingga lengket, pada bagian paling atas 5-10cm.

b. Lempung sisipan batubara, Terdapat dua bagian : (Lapisan Atas) Kedalaman lapisan ini

berkisar antara 0,6 – 4,1 m. Ketebalan dari tiap titik sangat bervariasi, berkisar antara 1 –

35 m. Berdasarkan harga resistiviti, nilainya bervariasi antara 55,1 –1038 Ω.m. (Lapisan

Bawah) Kedalaman lapisan ini 21,7 – 37 m. Ketebalan dari lapisan ini 22,1 - ~ m bahkan

pada titik G28 tidak ditemukan batas litologi berikutnya. Berdasarkan harga resistiviti,

nilainya bervariasi antara 30,3 –33,9 Ω.m. pada lapisan ini diperkirakan sebagai lapisan

Lempung sisipan batubara.

c. Akuifer, pada lapisan akuifer ini diperkirakan terdiri dari lumpur, lapisan tuf sisipan

kerakal hingga kerikil, tersisipkan lapisan batubara muda hingga gamping yang berupa

kekar - kekar. Terdapat dua bagian akuifer : Air permukaan lapisan ini hanya berupa

spot – spot air terdapat pada titik G25, G32, G41 nilainya resistiviti bervariasi antara 1,81

–18,9 Ω.m dengan kedalaman lapisan ini berkisar antara 1,4 – 1,67 m. Ketebalan dari tiap titik sangat bervariasi, berkisar antara 1,1 – 3,8 m. Yang sebagian besar merupakan

resapan dari air rawa. Air Dalam (akuifer utama) dengan kedalaman lapisan ini berkisar

(28)

Ketebalan dari tiap titik sangat bervariasi, berkisar antara 4,2 – 35m. Dan pada titik G25,

27, 29-32, 35 tidak ditemukannya batas litologi berikutnya. nilainya resistiviti bervariasi

antara 2,12 –35 Ω.m. Lapisan ini hampir terdapat pada semua titik pengukuran kecuali

pada titik G41, G50. Bahkan pada titik G36, G39 terdapat spot – spot air sangat dalam

antara 14,8 – 43,8 m. Dengan variasi resistiviti 0,079 –8,91 Ω.m. dan tidak ditemukan

batas litologi berikutnya, diperkirakan berupa air payau sampai air asin.

d. Batubara sisipan gamping, Kedalaman lapisan ini7,6 – 36,9 m. Ketebalan dari lapisan ini

7,2 - ~ m batas lapisan ini hanya ditemukan pada titik G39, pada semua lintasan titik

pengukuran geolistrik tidak ditemukan batas litologi berikutnya. Berdasarkan harga

resistiviti, nilainya bervariasi antara 587 – 45.768 Ω.m. pada lapisan ini diperkirakan

sebagai penyangga air.

Keempat jenis material tersebut di atas tidak seluruhnya ditemukan pada lintasan

pengukuran resistiviti, dan posisi stratigrafi, ketebalan, penyebaran secara horisontal pada

setiap lintasan dan kedalamannya menunjukkan banyak variasi, hal ini mencerminkan

terjadinya beberapa proses transport (sedimentasi) yang berbeda pada setiap lokasi dan

indikasi adanya struktur geologi. Dari keseluruhan lapisan belum dapat dipastikan secara tepat

jenis batuan – batuan, pembawa air dan besaran kesarangan air. dikarenakan tidak adanya

Analisa geologi dan kimia, dengan kata lain metoda yang digunakan memiliki terbatas.

F.2 Analisis Keterdapatan Akuifer

Akuifer adalah suatu material/lapisan batuan yang mempunyai potensi sebagai lapisan

mengandung air. Tujuan utama dalam penelitian ini adalah mencari lapisan yang berpotensi

sebagai pembawa air.

Berdasarkan analisis resistivitas dan interpretasi karakteristik litologinya, jenis material

penyusun di daerah penelitian terdiri dari top soil hingga batubara sisipan gamping. Litologi

yang mempunyai potensi sebagai Akuifer di areal penelitian adalah terdiri dari lumpur, lapisan

tuf sisipan kerakal hingga kerikil, batubara muda hingga gamping yang berupa kekar - kekar

berada dikedalaman 1,8 – 19,7 m yang terdapat pada semua titik pengukuran , dengan

ketebalan berkisar antara 4,2 – 35 m, lapisan atas yang menyelubungi akuifer adalah top soil,

Lempung sisipan batubara, dan lapisan bawah yang menyangga akuifer adalah Batubara

(29)

F.3 Penentuan Titik Pemboran Air

Pertimbangan yang paling mendasar dalam menentukan suatu titik pemboran air yaitu

mengidentifikasi mengenai ;

1. Keberadaan batuan sebagai lapisan akuifer

2. Posisi & Letak (Kedalaman) dari permukaan bumi

3. Posisi muka air tanah setempat

4. Ketebalan lapisan akuifer

Sehingga untuk penentuan titik pemboran air di Wilayah Jonggon C berdasarkan data

hasil pengukuran resistiviti sebanyak 26 titik, mengacu kepada Kerangka Acuan Kerja dimana

harus ditentukan sebanyak 108 titik untuk di bor, maka terlebih dahulu dapat di identifikasi

secara geologi dimana wilayah kajian keterdapatan di Formasi Balikpapan dan Formasi Pulau

Balang. Pada kedua formasi tersebut teridentifikasi adanya satuan batuan batupasir

perselingan batulempung gampingan dan lapisan batubara.

Hasil korelasi penampang vertikal pada setiap titik pengukuran resistiviti, maka dapat

ditabulasikan sebagai berikut ;

No. Lapisan Batuan Nilai Resistiviti

(

Ω.m

)

Kedalaman (m)

Ketebalan (m)

1 Top Soil

8,49

708

0,4

4,1

4,1

2

Lapisan Atas

Lempung Sisipan Batubara

55,1

1038

0,6

4,1

1 – 35 Lapisan Bawah

Lempung Sisipan Batubara

30,3

33,9

21,7

37

22

- ~

3

Lapisan Akuifer (Tuf)

Akuifer Dangkal

1,81

18,9

1,4

1,67

1,1

3,8

Lapisan Akuifer (Tuf)

Akuifer Dalam

2,12

35

1,8

19,7

4,2

35

4 Batubara Sisipan Gamping

587

45768

7,6

36,9

7,2 - ~

Hasil pengukuran menunjukkan dimana kedalaman akuifer dangkal berkirar diantara 1 –

2 meter dengan ketebalan lapisan akuifer yaitu antara 1 – 4 meter, sehingga kedalaman

tersebut memungkinkan untuk pemboran dangkal menggunakan pompa.

Untuk aluifer dalam berkisar pada kedalaman 2 – 19 meter dengan ketebalam lapisan

akuifer antara 4 – 35 meter, sehingga untuk akuifer dalam masih memungkin untuk bisa

(30)

Dalam pengelolaan airtanah dan air bawah tanah yang perlu diperhatikan adalah

dampak dalam jangka panjang pada saat potensi air di eksploitasi secara terus menerus,

sehingga dengan pertimbangan pada kajian teknis dimana lapisan akuifer dalam relatif masih

bisa di jangkau dengan pemboran air biasa dan mempunyai ketebalan lapisan yang cukup

potensi menyimpan potensi air yang cukup besar, selain itu untuk mencegah terjadinya

amblesan akibat dari eksploitasi air tanah, maka hal tersebut menjadi dasar agar pemboran

dilakukan dengan tujuan untuk eksploitasi air bawah tanah.

Hasil kajian terhadap keberadaan lapisan akuifer yang di-combine terhadap data

kedalaman sumur di lokasi penelitian, maka interval kedalaman muka air tanah di lokasi

Jonggon C yaitu antara -1 sampai dengan -17 m di bawah permukaan tanah.

Program jangka panjang yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah yaitu melakukan

pengelolaan air bawah tanah untuk dikonsumsi terutama oleh industri pada lapisan akuifer

dalam, pertimbangannya yaitu agar kuantitas potensi air di wilayah permukiman masyarakat

tidak terganggu.

G.

Kesimpulan

1.Terdapat 5 jenis lapisan yang dominan dalam membentuk litologi daerah penelitian. Lapisan

tersebut adalah top soil, Lempung, Tufan, gamping batubara;

2.Didaerah penelitian hanya beberapa titik yang tidak terdapat indikasi batas atas lapisan

penyangga akuifer utama yaitu titik G25, 27, 29-32. dengan ketebalan lapisan akuifer

utama berkisar antara 4 – 35 m. interval kedalaman muka air tanah di lokasi Jonggon C

yaitu antara -1 sampai dengan -17 m di bawah permukaan tanah

3.Pada korelasi titik pengukuran, hampir pada semua lintasan Jonggon C diperkiraan adanya

struktur sinklin dan antiklin, lapisan akuifer yang didaerah penelitian memiliki ketebalan

yang cukup besar ini dimungkinkan karena daerah penelitian dulunya adalah endapan

(31)

H.

Daftar Pustaka

1. After Karanth, 1987,General Range of Electrical Resistivities of Common Rock and Water”.

2. W.M. Telford & Friend’s., 1979, “Applied Geophysics”, Cambridge University Press, London, New York.

3. Fetter, C. W. 2001, “Applied Hydrogeology”, Prentice Hall, New Jersey.

4. Hafny Moh. Noer., 1986,Cara Tahanan Jenis Untuk Memantau Masalah Peresapan Air Laut”, Kanwil Departemen Pertambangan dan Energi Propinsi Sumatera Utara. PIT XI – HAGI 1986.

5. Azhar1 & Gunawan Handayani2., 2004; “Jurnal Natur Indonesia,Penerapan Metode Geolistrik Konfigurasi Schlumberger untuk Penentuan Tahanan Jenis Batubara”.,

p.6(2): 122-126, (1Jurusan Pendidikan MIPA, FKIP, Universitas Riau, Pekanbaru 28293; 2Jurusan Geofisika Terapan, Institut Teknologi Bandung), Bandung.

6. S. Supriatna, Sukardi dan E. Rustandi, 1995, “PETA GEOLOGI LEMBAR SAMARINDA, KALIMANTAN Skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung

Gambar

Tabel .1.
Tabel 2.
Gambar .1. Kondisi Morfologi Wilayah Jonggon C

Referensi

Dokumen terkait

Fakta di lapangan yang peneliti jumpai, proses pembelajaran secara konvensional masih kurang efektif berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa peserta didik di

Dalam upacara Mapag Sri, wayang yang dipertunjukan adalah wayang purwa yang ditampilkan semalaman suntuk sebelum tari topeng tampil esok harinya. Biasanya, dalam

Beliau juga mengatakan : Beliau adalah Allah, perbuatan adalah sifat sejak zaman ajali, yang dilakukan adalah makhluk dan perbuatan Allah bukan makhluk dan sifat-Nya di

Dalam penelitian ini tanah lempung dengan ukuran pondasi yang sama yaitu 150x150 mm untuk perkuatan kolom serbuk bata merah diameter 100 mm meningkatkan kekuatan tanah

Subjek perempuan yang satu lagi menghayati pacaran sebagai suatu hal yang positif karena pacaran memberinya berbagai keuntungan, antara lain mendapat pelajaran untuk

(4) beberapa keluarga yang belum kembali ke aktivitas rutin karena keterbatasan lahan dan sarana kerja di lokasi hunian tetap, sedangkan lahan pertanian telah hilang

Belajar mengembangkan minat terhadap sesuatu pada dasarnya adalah membantu mahapeserta didik melihat bagaimana pengetahuan atau kecakapan tertentu mempengaruhi dirinya,

Adapun dalam penelitian ini untuk menjaring data awal prestasi kemampuan berbicara Bahasa Inggris siswa akan dikumpulkan kemudian setiap siswa maju ke depan kelas untuk berbicara