KAJIAN KETERDAPATAN LAPISAN AKUIFER UNTUK REKOMENDASI
PEMBORAN AIR TANAH DI WILAYAH UPT JONGGON C KEC. LOA KULU KAB.
KUTAI KARTANEGARA DENGAN METODA RESISTIVITY
OlehDudi Nasrudin Usman1
Abstrak
Air merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia dalam menunjang kehidupan sehari – hari, akan tetapi tidak seluruh masyarakat pada saat ini bisa menikmati air bersih yang mencukupi sehingga dengan berbagai cara orang berusaha mendapatkan air tersebut agar terpenuhi keperluannya.
Berbagai parameter akan menjadi acuan bagi perencanaan maupun dalam proses pelaksanaan pengeboran, dengan harapan akan tercipta sumberdaya yang dapat menunjang keperluan untuk melaksanakan kegiatan pengeboran. Termasuk dalam hal ini adalah adanya dukungan data struktur batuan dan tanah Penutup ( Top Soil ), data tersebut dapat diperoleh melalui pemboran dalam atau melalui sumur gali, sumur pantek atau pendugaan nilai tahanan jenis (resistivity).
Kegiatan pengeboran di Daerah UPT Jonggon C harus didukung informasi yang memadai tentang struktur tanah dan kondisi sebaran air bawah permukaan. Pengembangan yang kurang terarah dan tidak terencana dengan baik akan memberikan dampak yang serius terhadap Keselamatan dan keseimbangan sumber daya alam yang dimiliki.
Lokasi pengukuran itu sendiri secara administrasi terletak pada koordinat 116045’ 37,25” - 1160 47’ 34,08” BT dan 000 35’ 09”
- 000 36’ 58,99” LS. Secara administrasi Jonggon C berbatasan dengan wilayah Sebelah Utara (Desa Jonggon Jaya), Sebelah Timur (Desa Sungai Payang), Sebelah Selatan (Hutan Sepaku/UPT Jonggon D), Sebelah Barat (Desa Kedang Ipil).
Berdasarkan analisis resistivitas dan interpretasi karakteristik litologinya, jenis material penyusun di daerah penelitian terdiri dari top soil hingga batubara sisipan gamping. Litologi yang mempunyai potensi sebagai Akuifer di areal penelitian adalah terdiri dari lumpur, lapisan tuf sisipan kerakal hingga kerikil, batubara muda hingga gamping yang berupa kekar - kekar berada dikedalaman 1,8 – 19,7 m yang terdapat pada semua titik pengukuran , dengan ketebalan berkisar antara 4,2 – 35 m, lapisan atas yang menyelubungi akuifer adalah top soil, Lempung sisipan batubara, dan lapisan bawah yang menyangga akuifer adalah Batubara sisipan gamping dan pada bagian lain tidak terlihat batas penyangga akuifer.
Hasil pengukuran menunjukkan dimana kedalaman akuifer dangkal berkirar diantara 1 – 2 meter dengan ketebalan lapisan akuifer yaitu antara 1 – 4 meter, sehingga kedalaman tersebut memungkinkan untuk pemboran dangkal menggunakan pompa.
Untuk aluifer dalam berkisar pada kedalaman 2 – 19 meter dengan ketebalam lapisan akuifer antara 4 – 35 meter, sehingga untuk akuifer dalam masih memungkin untuk bisa dimanfaatkan sebagai sumber keterdapatan air.
Hasil kajian terhadap keberadaan lapisan akuifer yang di-combine terhadap data kedalaman sumur di lokasi penelitian, maka interval kedalaman muka air tanah di lokasi Jonggon C yaitu antara 1 sampai dengan -17 m di bawah permukaan tanah.
Kata Kunci : Airtanah dan Air Bawah Tanah, Resistiviti, Akuifer
1
Air merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia dalam menunjang kehidupan sehari –
hari, akan tetapi tidak seluruh masyarakat pada saat ini bisa menikmati air bersih yang mencukupi
sehingga dengan berbagai cara orang berusaha mendapatkan air tersebut agar terpenuhi
keperluannya.
Peningkatan kebutuhan tersebut terutama dipicu oleh perkembangan jumlah penduduk,
perubahan/konversi lahan, perkembangan industri, hingga mobilisasi penduduk dari desa ke kota,
hal ini menyebabkan beban berat bagi sumberdaya alam yang keberadaannya terbatas.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka adanya rencana pembangunan dan
pengembangan suatu daerah tidak terlepas dari upaya antisipasi perkembangan dan pembangunan
yang meliputi; pertumbuhan penduduk, aktivitas perekonomian, pembangunan infrastruktur serta
sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan kawasan tersebut.
Untuk itu perlu diketahui suatu kondisi yang menggambarkan bawah permukaan diantaranya
adalah struktur dan sebaran tanah atau batuan, baik vertikal maupun horizontal, kondisi akifer atau
air bawah tanah khususnya yang berkaitan dengan penyebaran akuifer baik dangkal maupun dalam.
Hal ini dibutuhkan guna mendukung pembangunan infrastruktur serta sarana prasarana pendukung
yang akan dikembangkan salah satunya yaitu kegiatan pemboran airtanah dan air bawah tanah.
Termasuk dalam hal ini adalah adanya dukungan data struktur batuan/tanah terhadap kondisi
airtanah dan air bawah tanah, data tersebut dapat diperoleh melalui pemboran dalam atau melalui
sumur gali/sumur pantek atau pendugaan nilai tahanan jenis (resistivity).
Penurunan muka tanah (amblesan) akan menyebabkan munculnya air genangan dan bahkan
banjir jika terjadi hujan, dan seterusnya. Dengan demikian krisis airtanah dan air bawah tanah,
penurunan muka tanah akibat pengambilan air yang berlebihan, intrusi air asin, bencana banjir
adalah merupakan sebab - akibat dari suatu proses perencanaan yang kurang matang dan tidak
terencana dengan baik.
Timbulnya dampak di atas bisa terjadi di wilayah Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara –
Kalimantan Timur. Hal ini adalah sebagai konsekuensi logis dari perkembangan pembangunan dan
apabila tidak di antisipasi lebih dini dengan serius, maka dampak tersebut kemungkinan akan timbul
dan akan semakin parah.
Salah satu syarat pengeboran itu perlu diketahui suatu kondisi bawah permukaan diantaranya
adalah struktur batuan dan sebaran air tanah, baik vertikal maupun horizontal, sifat fisik dan mekanik
tanah atau batuan. Hal ini dibutuhkan guna mendukung pengeboran serta bagian dari sarana &
Berbagai parameter akan menjadi acuan bagi perencanaan maupun dalam proses pelaksanaan
pengeboran, dengan harapan akan tercipta sumberdaya yang dapat menunjang keperluan untuk
melaksanakan kegiatan pengeboran. Termasuk dalam hal ini adalah adanya dukungan data struktur
batuan dan tanah Penutup ( Top Soil ), data tersebut dapat diperoleh melalui pemboran dalam atau
melalui sumur gali, sumur pantek atau pendugaan nilai tahanan jenis (resistivity).
Kegiatan pengeboran di Daerah UPT Jonggon C harus didukung informasi yang memadai
tentang struktur tanah dan kondisi sebaran air bawah permukaan. Pengembangan yang kurang
terarah dan tidak terencana dengan baik akan memberikan dampak yang serius terhadap
Keselamatan dan keseimbangan sumber daya alam yang dimiliki.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan suatu Kegiatan Pengukuran
Resistiviti Batuan untuk Identifikasi Keberadaan Lapisan Akuifer, agar pada saat pemboran akan
dilakukan sudah diidentifikasi keberadaan lapisan akuifernya.
A.
Lokasi dan Kesampaian Daerah
Loa Kulu merupakan sebuah kecamatan yang terletak di wilayah tengah Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur. Wilayah Loa Kulu terdiri dari 9 Desa, yaitu Jembayan, Jonggon
Desa, Jonggon Jaya, Loa Kulu Kota, Loa Sumber, Margahayu, Ponoragan, Rempanga, Sungai
Payang. Sedangkan yang menjadi wilayah kajian yaitu Jonggon Desa dan Jonggon Jaya.
Kecamatan Loa Kulu terletak pada koordinat 116029’ – 117003’ Bujur Timur dan 0026’LS
– 0054’ Lintang Selatan dengan luas wilayah ± 1.405,70 Km2. Loa Kulu dapat dicapai dari Kota Samarinda dengan jarak tempuh ± 34 Km.
Batas wilayah Kecamatan Loa Kulu adalah sebagai berikut ;
Bagian Utara : Kec. Tenggarong, Kec. Sebulu, Kec. Kota Bangun dan Kec. Muara Muntai
Bagian Selatan : Kec. Loa Janan dan Kab. Penajam Paser Utara
Bagian Barat : Kab. Penajam Paser Utara
Bagian Timur : Kota Samarinda
Sedangkan lokasi pengukuran itu sendiri secara administrasi terletak pada koordinat
1160 45’ 37,25” - 1160 47’ 34,08” BT dan 000 35’ 09” - 000 36’ 58,99” LS. Secara administrasi
Jonggon C berbatasan dengan wilayah ;
Sebelah Utara : Desa Jonggon Jaya
Sebelah Timur : Desa Sungai Payang
Sebelah Selatan : Hutan Sepaku/UPT Jonggon D
B.
Keadaan Umum Lokasi
Keadaan topografi wilayah Jonggon C atau Jonggon Desa didominasi oleh dataran
rendah seluas 577,5 ha atau 86,294%, dengan dataran tinggi hanya 25,84 ha atau 3,857 % dan
sebagian wilayah mempuyai kondisi topografi bergelombang dengan luas 66,66 ha atau
9,949%. Kondisi tanah di wilayah Jonggon C didominasi oleh tanah Lumpur yang mengandung
lempungan dengan struktur tanah rolling berbukit yang mempunyai nilai tekstur tanah
rata-rata 52% dan kesuburannya sedang.
Keadaan iklim di wilayah Jonggon C relatif sama dengan wilayah Kalimantan pada
umumnya, dengan curah hujan rata-rata per tahun 254-77 mm, dimana musim hujan terjadi di
bulan desember hingga bulan mei, dan musim kemarau terjadi di bulan juni hingga bulan
nopember. Kelembaban udara rata-rata di wilayah ini yaitu sebesar 78,57% dengan temperatur
berkisar pada angka normal yaitu sekitar 290C.
Berdasarkan data monografi desa unit pemukiman transmigrasi tahun 2007, jumlah
keseluruhan penduduk Jonggon C berdasarkan struktur umur yaitu berjumlah 1240 jiwa
dengan laki-laki 684 jiwa dan perempuan 556 jiwa (Tabel .1).
Tabel .1.
Data Penduduk Jonggon C (Jonggon Desa), Kecamatan Loa Kulu Berdasarkan Umur
No.
Jenis Umur Usia Sekolah
(Tahun)
Jumlah (Jiwa)
Laki-laki Perempuan Jumlah
1 0 – 4 89 82 171
2 5 – 9 93 69 162
3 10 – 14 67 60 127
4 15 – 19 70 48 118
5 20 – 24 69 51 120
6 25 – 29 49 60 109
7 30 – 34 9 62 71
8 35 – 39 53 52 105
9 40 – 44 49 33 82
10 45 – 49 25 15 40
11 50 – 54 21 12 33
12 55 Keatas 30 12 42
JUMLAH 624 556 1180
Sumber : Data Monografi, Desa Jonggon Desa – Kecamatan Loa Kulu, 2007
Wilayah Jonggon C secara umum memperlihatkan fasilitas umum seperti di daerah pada
umumnya, dimana fasilitas-fasilitas yang ada masih memerlukan perhatian pemerintah
Tabel 2.
Data Penduduk Jonggon C (Jonggon Desa), Kecamatan Loa Kulu Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
No. Jenis Bangunan Jumlah Bangunan
Sumber : Data Monografi, Desa Jonggon Desa – Kecamatan Loa Kulu, 2007
Untuk pelayanan kesehatan masyarakat berdasarkan prasarana lokal di Jonggon C
pada saat ini di fasilitasi dengan 1 buah puskesmas yang terletak di luar UPT (luar wilayah
Jonggon C). Pelayanan kesehatan tersebut meliputi usaha perbaikan gizi, imunisasi, KB,
kesehatan lingkungan dan sebagainya. Sedangkan untuk fasilitas pendidikan, di wilayah
Jonggon C hanya terdapat 1 gedung SD.
C.
Keadaan Topografi dan Morfologi
C.1 Keadaan Topografi
Wilayah Jonggon C sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Loa Kulu, dimana wilayah ini
mempunyai ketinggian berkisar antara 7 – 500 m dpl. Ibukota Kecamatan Loa Kulu sendiri
mempuyai ketinggian sekitar 30 m dpl. Berdasarkan luasan dan ketinggian wilayah, Kecamatan
Loa Kulu didominasi oleh ketinggian antara 25 – 500 m dpl dengan luasan sekitar 56.762 m2
dan sebagian wilayah mempuyai ketinggian antara 7 – 25 m dpl.
Di wilayah Kecamatan Loa Kulu terdapat 3 pegunungan yaitu Lengkup (485 m dpl),
Patung (400 m dpl) dan Kelipung (156 m dpl). Berdasarkan kemiringan lereng, wilayah
Kecamatan Loa Kulu di bagi menjadi 4 bagian, yaitu ; Kemiringan Lereng 0 – 12% luasan 12.064
m2, kemiringan lereng 2 – 15% luasan 4.721 m2, kemiringan lereng 15 – 40% luasan 52.451 m2
Gambar .1.
Kondisi Morfologi Wilayah Jonggon C
C.2 Keadaan Geologi dan Hidrogeologi
Secara umum berdasarkan PETA GEOLOGI LEMBAR SAMARINDA, KALIMANTAN Skala 1
: 250.000 Oleh S. Supriatna, Sukardi dan E. Rustandi, 1995, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung (Gambar.2.). Secara regional keadaan geologi daerah ini
dapat dikelompokkan dalam empat (3) jenis satuan batuan, yaitu :
a.
FORMASI BALIKPAPANPerselingan batupasir dan lempung dengan sisipan lanau, serpih, batugamping
dan batubara.
Batupasir kuarsa, putih kekuningan, tebal lapisan 1 – 3 m, disisipi lapisan batubara 5 – 10 cm.
Batupasir gampingan, coklat, berstruktur sedimen lapisan bersusun siur, tebal lapisan 20 – 40
cm, mengandung foraminifera kecil, disisipi lapisan tipis karbon. Lempung, kelabu kehitaman,
setempat mengandung sisa tumbuhan, oksida besi yang mengisi rekahan-rekahan setempat
mengandung lensa-lensa batupasir gampingan. Lanau gampingan, berlapis tipis; serpih
kecoklatan, berlapis tipis. Batugamping pasiran, mengandung foraminifera besar, moluska,
menunjukkan umur Miosen Akhir bagian bawah – Miosen Tengah bagian atas. Lingkungan
b.
FORMASI PULAU BALANGPerselingan antara grewake dan batupasir kuarsa dengan sisipan batugamping,
batulempung, batubara, dan tuf dasit.
Batupasir grewake, kelabu kehijauan, padat, tebal lapisan antara 50 – 100 cm. Batupasir kuarsa,
kelabu kemerahan, setempat tufan dan gampingan, tebal lapisan antara 15 – 60 cm.
Batugamping coklat muda kekuningan mengandung foraminifera besar, batugamping ini
terdapat sebagai sisipan atau lensa dalam batupasir kuarsa, tebal lapisan 10 – 40 cm.
Di S. Loa Haur, mengandung foraminifera besar lain Austrotrilina howchini, Borelis Sp,
Lepidocyclina Sp, Miogypsina Sp, menunjukkan umur Miosen Tengah dengan lingkungan
pengendapan laut dangkal. Batulempung, kelabu kehitamana, tebal lapisan 1 – 2 cm. Setempat
berselingan dengan batubara, tebal ada yang mencapai 4 m. Tufa dasit, putih merupakan sisipan
dalam batupasir kuarsa.
c.
FORMASI PAMALUANBatupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, serpih, batugamping, dan
batulanau, berlapis sangat baik.
Batupasir kuarsa merupakan batuan utama, kelabu kehitaman-kecoklatan, berbutir
halus-sedang, terpilah baik, butiran membulat-membulat tanggung, padat karbonan dan gampingan.
Setempat dijumpai struktur sedimen silang siur dan perlapisan sejajar. Tebal lapisan antara 1 – 2
m. Batulempung tebal rata-rata 45 cm. Serpih, kelabu kecoklatan-kelabu tua, padat, tebal
sisipan antara 10 – 20 cm. Batugamping kelabu, pejal, berbutir sedang – kasar, setempat
berlapis dan mengandung foraminifera besar. Batulanau kelabu tua – kehitaman. Formasi
Pamaluan merupakan batuan paling bawah yang tersingkap di Lembar ini dan bagian atas
formasi ini berhubungan menjemari dengan Formasi Bebuluh. Tebal Formasi lebih kurang 2000
m.
D.
Metoda Resistiviti
D.1 Perkembangan pemanfaatan air tanah.
Pemanfaatan air tanah yang merupakan perkerjaan besar. Pada zaman dahulu dengan
membuat infiltration galleries yang panjang atau yang dikenal sebagai kanal yaitu semacam
Kanal ini dibuat dari endapan kipas alluvial dan endapan yang empuk. Panjang
terowongan (saluran) sampai beberapa kilometer dan airnya digunakan untuk pertanian
ataupun untuk keperluan sehari-hari. Kanal digunakan pertama kali lebih dari 2500 th yang lalu
di Iran. Kanal sampai sekarang masih dijumpai di Iran, Afganistan dan lainnya.
D.2 Perkembangan Teori Airtanah.
Dimulai oleh ahli-ahli filsafat bangsa Yunani, antara lain; Thales (640-546 SM) “air keluar
lewat batuan dan oleh kekuatan dari dalam batuan air keluar sebagai mata air”. Plato
(427-347 SM) : “goa air tanah yang sangat luas adalah merupakan asal dari sungai. Air akan
mengalir ke goa lewat bawah tanah, mekanismenya merupakan siklus”. Aristoteles (384-322
SM), murid Plato berpendapat ”air tanah terjadi seperti pada sistem spon dan air dapat keluar
sebagai mata air. Beberapa goa berasal dari air hujan yang masuk (infiltrasi) kedalam tanah”.
Disimpulkan oleh para filsuf bahwa air berasal dari goa-goa besar digunung dan mata air
dihubungkan dengan laut melalui saluran-saluran bawah tanah.
D.3 Perkembangan Geohidrologi (Hidrogeologi) Modern.
Perkembangan yang menyolok pada akhir abad ini meliputi tiga bagian utama yaitu:
Pengembangan hubungan antara geologi dengan terjadi/terbentuknya air tanah.
Pengembangan persamaan matematik tentang gerakan air pada batuan maupun endapan
lepas.
Untuk mempermudah dalam studi air tanah diperlukan studi tentang hidrolika air tanah.
Pengembangan sifat-sifat kimia air tanah (hydrogeochemistry).
Geologi terjadinya pembentukan,
penyebaran airtanah.
Geohidrologi gerakan air tanah,
(hydrogeology) matematika Hidrolika sumur.
Pengujian kapasitas air
tanah (pumping test).
Kimia Sifat-sifat kimia air tanah,
interpretasi sifat-sifat kimia, polusi
Metoda geolistrik tahanan jenis telah dikembangkan sejak awal tahun 1900, tetapi
penggunaan secara luas mulai tahun 1970 seiring dengan berkembangnya teknologi komputer.
Metoda ini sangat baik digunakan untuk survey air tanah, manifestasi geothermal dan juga
monitor pencemaran air tanah. Selain hal tersebut metoda ini dapat dimanfaatkan untuk
keperluan bidang teknik, seperti memetakan rongga bawah tanah, struktur geologi,
memetakan retakan, sesar dan bidang arkeologi. Dengan mempelajari sifat aliran listrik pada
batuan di bawah permukaan bumi dan bagaimana cara mendeteksinya.
Penyelidikan geolistrik menyangkut pendeteksian besarnya medan potensial, medan
elektromagnet dan arus listrik yang mengalir di dalam bumi baik secara alamiah (metoda pasif)
maupun akibat injeksi arus ke dalam bumi (metoda aktif) dari permukaan.
Eksplorasi metoda geolistrik banyak digunakan pada eksplorasi – eksplorasi sebagai berikut ;
1. Regional Geologi
2. Hidrogeologi dan Geologi Teknik
3. Pertambangan dan Geothermal
4. Archeology
5. Minyak
Metoda geolistrik tahanan jenis merupakan metoda aktif, dimana sumber buatan
berupa arus listrik diinjeksikan ke bawah permukaan melalui titik elektroda. Setelah arus
diinjeksikan, kemudian diukur besarnya potensial listrik (elektroda lainnya) disekitar aliran
arus. Dari kedua variable tersebut dapat ditentukan besarnya resistivitas semu disetiap titik
pengukuran. Variabel ini merupakan variabel fisis yang diamati dan digunakan sebagai acuan
untuk interpretasi pada metoda geolistrik tahanan jenis.
Pendekatan paling sederhana dalam pembahasan gejala kelistrikan di dalam bumi
adalah dengan memperlakukan bumi sebagai medium homogen isotropis. Dengan perlakuan
tersebut kemudian medan listrik dari titik sumber di dalam bumi dianggap memiliki simetri
bola.
Berdasarkan hukum ohm, hubungan antara rapat arus listrik J dengan medan listrik E
dan konduktivitas medium E dan konduktivitas medium dipenuhi oleh persamaan:
E
Untuk medan listrik E adalah medan konservatif, maka dapat dinyatakan dalam bentuk
gradient potensial V sebagai:
V
E (3.2)
Sehingga rapat arus listrik J dapat dinyatakan oleh:
V
J
(3.3)apabila tidak terdapat sumber muatan yang terakumulasi pada daerah regional, maka:
0
untuk medium homogen isotropis, konduktifitas diasumsikan sebagai konstanta skalar dalam
ruang vektor, sehingga persamaan 3.4 menjadi:
0
2
V
(3.5)Karena simetri bola, potensial hanya sebagai fungsi jarak r dari sumber, selanjutnya
persamaan (3.5) dapat dinyatakan oleh:
0
Penyelesaian bentuk persamaan diferensial orde dua ini dapat dilakukan melalui
pengintegralan. Adapun penyelesaian dari persamaan dipenuhi oleh:
B
r
A
V
(3.7)D.4 Potensial oleh Sumber Arus Listrik di Dalam dan Permukaan Bumi
Misalkan pada kedalaman tertentu terdapat elektroda arus C(x,z) yang dibenamkan di
dalam bumi. Elektroda ini dihubungkan dengan elektroda arus lainnya yang berada di
permukaan tetapi berjarak cukup jauh, sehingga pengaruhnya dapat diabaikan. Elektroda arus
C(x,z) dapat dipandang sebagai titik sumber yang memancarkan arus listrik kesegala arah
dalam medium bumi dengan tahanan jenis .
Ekuipotensial disetiap titik di dalam bumi membentuk permukaan bola dengan jari-jari r.
Dengan persamaan (3.3) dan (3.7) besarnya A adalah:
Sedangkan apabila sumber arus berada di permukaan, maka potensial listrik dan
tahanan jenis (resistivity) dipenuhi oleh persamaan:
r
D.5 Potensial Listrik Oleh Dua Sumber Arus di Permukaan
Apabila jarak antara dua elektroda arus tidak terlalu besar, potensial disetiap titik dekat
permukaan akan dipengaruhi oleh kedua elektroda arus. Adapun potensial listrik yang
dihasilkan dari kedua sumber arus ini adalah beda potensial yang terukur pada dua titik
pengukuran. Secara grafis, untuk medium homogen isotropis pola distribusi bidang
ekuipotensial akibat dua sumber arus di permukaan diperlihatkan pada Gambar.3.
Pada daerah dekat sumber C1 dan C2 terdapat perubahan potensial sangat drastis.
Sedangkan di dekat titik pusat antara kedua sumber arus tersebut, gradient potensial mengecil
dan mendekati linier. Berdasarkan tinjauan tersebut, pengukuran potensial listrik paling baik
dilakukan pada titik diantara C1 dan C2.
Gambar.3.
Untuk menentukan beda potensial listrik antara dua elektroda potensial (P1 dan P2)
dapat diterapkan persamaan (3.12). Potensial pada titik P1 yang disebabkan oleh elektroda C1
adalah:
Sedangkan potensial pada titik P1 yang disebabkan oleh elektroda C2 adalah:
2
Arus pada kedua elektroda C1 dan C2 adalah sama tetapi berlawanan arah sehingga A2 =
-A1, dengan demikian potensial total pada titik P1 dapat dituliskan sebagai:
Dengan cara yang sama diperoleh potensial pada titik P2, yaitu:
Adapun beda potensial terukur atara titik P1 dan P2 adalah :
Sedangkan besarnya tahanan jenis:
Perumusan faktor geometri tersebut berlaku umum, dan hanya mencerminkan
pengaruh letak elektroda potensial terhadap letak elektroda arus.
Metoda geolistrik/resistivity merupakan metoda yang menggunakan arus listrik untuk
mengetahui sifat fisik tahanan jenis dari batuan dibawah permukaan. Arus listrik dari suatu
sumber tertentu dialirkan ke bawah permukaan bumi dan dengan peralatan tertentu diamati
besarnya arus dan tegangan yang timbul di bawah permukaan. Besarnya tegangan dan arus
yang terjadi sangat tergantung pada sifat fisik batuan di bawah permukaan yaitu konduktifitas
batuan. Dengan mengetahui besarnya arus dan tegangan dengan hukum Ohm dapat dihitung
tahanan jenis semu batuan melalui rumus :
I
V
K
Pa
Di mana :
a : Tahanan jenis semu batuan
V : Tegangan
I : Arus
Metoda tahanan jenis (Resistivity) biasanya digunakan untuk mengetahui variasi
tahanan jenis secara vertikal (Vertikal Electrical Sounding) dan horizontal (Electrical Mapping).
Metoda ini dapat digunakan untuk menduga kedalaman lapisan bahan galian, jebakan air
tanah bahkan menduga adanya struktur patahan. Dalam penerapannya metoda resistivity
mempunyai konfigurasi elektroda tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhannya dan kondisi
topografi lapangan.
Peralatan resistivity merupakan suatu perangkat yang terdiri dari transmitter, receiver
dan sumber arus serta beberapa perangkat penunjang lainnya. Secara teknis alat tersebut
relatif mudah untuk digunakan. Pengambilan data resistivity ditentukan oleh konfigurasi yang
akan digunakan dan secara umum harga yang didapat adalah nilai tahanan jenis semu batuan
bawah permukaan. Disebut tahanan jenis semu karena asumsi yang dibuat dalam metoda ini
adalah bahwa lapisan bumi bersifat homogen dan isotropic.
Pengolahan data resistivity biasanya dilakukan secara manual dengan menggunakan
kurva standard (Curve-Matching) tetapi dapat juga dilakukan dengan menggunakan program
D.6 Prinsip Metoda Resistivity
Apabila sebuah silinder konduktor dengan panjang L dan luas penampang A dialiri arus
listrik (I), tahanan (R) maka menurut hokum Ohm :
V = I . R dan R = P . L/A
Sehingga dari kedua persamaan tersebut diperoleh :
I
V
L
A
P
atau
A
L
P
I
V
.
.
Jadi terlihat bahwa P berbanding lurus dengan V/I, di mana P adalah tahanan jenis
konduktor. Analogi tersebut dapat digunakan apabila sejumlah arus listrik dialirkan ke dalam
bumi di mana batuan di bawah permukaan bertindak selaku konduktor. Prinsip rumus di atas
berlaku sama terhadap batuan tersebut. Perbedaannya hanya terletak pada konduktivitas
batuan.
Kalau pada silinder konduktor yang misalnya terbuat dari logam baja mempunyai daya
hantar listrik sama kesegala arah maka pada batuan sifat tersebut belum tentu terjadi. Oleh
karena itu dalam prinsip geolistrik dibuat asumsi bahwa :
1.Bumi (batuan dibawahnya) bersifat homogen. Homogen artinya dalam satu lapisan batuan
mempunyai tahanan jenis yang sama.
2.Bumi (batuan dibawahnya) bersifat isotropic. Isotropik artinya daya hantar listrik batuan ke
segala arah adalah sama.
Kedua asumsi tersebut menyebabkan pengamatan tahanan jenis di lapangan adalah
tahanan semu dari batuan. Untuk mengetahui tahanan jenis sebenarnya dilakukan pendekatan
teoritis dengan menggunakan kurva standard atau dengan menggunakan program komputer
untuk resistivity. Dalam metoda resistivity dikenal juga apa yang dinamakan dengan prinsip
ekivalensi. Fenomena tersebut dapat diterangkan sebagai berikut :
Apabila suatu lapisan tipis yang konduktif berada di antara dua lapisan yang resistif dan
relatif tebal maka arus listrik akan terdistribusi secara horizontal pada lapisan tipis tersebut
m h
l R
.
Dari hubungan tersebut jelas bahwa apabila ketebalan h dan tahan jenis p dibesarkan
atau dikecilkan maka harga R akan tetap. Kasus berbeda apabila suatu lapisan tipis yang
resistive berada di antara dua lapisan tebal dan konduktiv maka arus cenderung terdistribusi
secara tegak sehingga berlaku hubungan :
A
h
R
Dari hubungan di atas terlihat bahwa apabila ketebalan h dinaikkan dan tahanan jenis
diturunkan dapat memberikan harga R yang konstan atau sebaliknya. Pengaturan letak
elektroda – elektroda ada beberapa macam, dan berdasarkan kuantitas fisik yang diukur dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu ;
1. Pengaturan yang bertujuan mencatat perbedaan potensial antara dua elektroda pengukur
yang berjarak cukup jauh. Contohnya adalah konfigurasi Wenner.
Gambar.4. Konfigurasi Wenner h
l m
I h
2. Pengaturan yang bertujuan mencatat gradien potensial atau intensitas medan listrik
dengan menggunakan pasangan elektroda pengukur yang berjarak cukup rapat.
Contohnya Metoda Schlumberger.
Gambar.5.
Konfigurasi Schlumberger
3. Pengaturan yang bertujuan mencatat kelengkungan fungsi – fungsi potensial dengan
mempergunakan pasangan – pasangan elektroda arus maupun pengukur yang dipasang
cukup rapat. Contoh Konfigurasi Dipole – Dipole.
Gambar.6.
Konfigurasi Dipole - Dipole
Dari setiap hasil pengukuran beda arus dan beda potensial untuk setiap jarak yang
berbeda dapat diturunkan variasi harga hambatan jenis masing – masing lapisan batuan di
bawah titik ukur (sounding point).
Perlu diingat bahwa metoda ini lebih efektif jika digunakan untuk eksplorasi yang
sifatnya dangkal (300m atau 1500feet). Sehingga metoda ini lebih banyak digunakan untuk
Berdasarkan harga resistivity listriknya, batuan/mineral dapat dikelompokkan menjadi
tiga ;
1. Konduktor baik (10-8 < < 1 m)
2. Konduktor sedang (1 < < 107m)
3. Isolator ( > 107m)
Peralatan Resistivity merupakan sekumpulan alat yang terdiri dari :
Batere : Digunakan sebagai sumber arus
Transmitter : Digunakan untuk mengirim / memancarkan arus ke dalam bumi
Receiver : Digunakan untuk menerima / mengamati tegangan yang muncul di
bawah permukaan dari setiap titik pengamatan
Komutator : Digunakan untuk mengembalikan arah arus
Kabel : Digunakan untuk mengantarkan arus listrik dari sumbernya ke
elektroda arus
Elektroda : Digunakan untuk mengantar arus ke dalam bumi
Lebih jelas peralatan yang digunakan, yaitu ;
a. Satu unit alat ukur geolistrik type Naniora;
b. Dua unit GPS , Merk Garmin, Type 12XL dan Etrex;
c. Kompas dan palu geologi;
d. Peta Topografi dan Peta Geologi
e. Empat buah gulungan kabel, @ 300 m;
f. Multitester / multimeter;
g. Satu unit Komputer dan program pemrosesan data;
h. Alat-alat tulis dan kalkukator.
Pada prinsipnya peralatan resistivity dirancang untuk mengukur arus dan tegangan dari
batuan di bawah permukaan kemudian baru dihitung harga tahanan jenis semu batuan.
Saat ini telah banyak pula dirancang peralatan geolistrik yang berlangsung secara digital
dapat membaca harga tahanan jenis semu batuan. Kemampuan setiap peralatan resistivity
berbeda – beda tergantung dari besar sumber arus yang digunakan dan yang lebih penting
adalah tergantung dari tingkat konduktivitas batuan.
Gambar.7.
Pengambilan dan Pengukuran Data Tahanan Jenis
Tabel.3.
Tabel.4.
Klasifikasi Batuan Berdasarkan Nilai Resisitivity Common
Rocks/Materials
Resistivity
(Ohm-meters) Ore Minerals
Resistivity (Ohm-meters)
Clay 1 - 100 Pyrrhotite 0.001 – 0.01
Graphitic Schist 10 - 500 Galena 0.001-100
Topsoil 50-100 Cassiterite 0.001-10.000
Gravel 100-600 Chalcopyrite 0.005-0.1
Wheathered Bedrock 100-1000 Pyrite 0.01-100
Gabro 100-500.000 Magnetite 0.01-1.000
Sandstone 200-8.000 Hematite 0.01-1.000.000
Granite 200-100.000 Sphalerite 1000-1.000.000
Basalt 200-100.000
Limestone 500-10.000
Slate 500-500.000
Quartzite 500-800.000
Greenstone 500-200.000
D.7 Pemodelan Data Tahanan Jenis (
Resistivity
)
Pemodelan data geolistrik dapat dilakukan secara numerik. Saat ini telah banyak piranti
lunak disusun untuk membantu pemodelan ini. Tahapan pemodelan ini terbagi ke dalam dua
jenis yaitu Forward Modelling (Try & Error Analysis) dan Inverse Modelling (Parameter
Analysisi). Beberapa piranti lunak yang umum digunakan untuk Forward Modelling adalah
Resist 1.01 dan beberapa program yang telah dibuat di Indonesia. Piranti lunak untuk Inverse
modeling yang umum digunakan adalah “Resin” (Schlumberger and Wenner Analysis) dibuat oleh University of Amsterdam, Belanda) dan “IP2Win” (Resistivity Sounding Interpretation
dibuat oleh Moskow State University, Rusia).
Dalam interpretasi data lapangan yang nantinya akan memberikan suatu kesimpulan
dari apa yang telah dilakukan di lapangan, maka akurasi data dapat di minimalisir dengan
pengambilan titik geolistrik yang cukup banyak, dimana untuk kelompok luasan area minimal 5
ha dengan kondisi lateral maka jumlah titik yang harus diambil yaitu 15 titik, sehingga pada
saat kita menginterpretasikan kondisi bawah permukaan dari lokasi penyelidikan dapat
Di bawah ini salah satu conto hasil interpretasi data tahanan jenis dengan menggunakan
bantuan piranti lunak ;
Gambar.9.
Curve Matching Data Lapangan dengan Software IP2Win
Gambar.8.
Curve Matching Data Lapangan dengan Software Resty Beserta Data
Hasil Interpretasi secara
Komputerisasi oleh Software Resty.
Gambar.10.
Data Hasil Interpretasi secara Komputerisasi dan Pseudo Resistivity sebagai Korelasi Antar Penampang
Gambar.11.
E.
Kegiatan Pengukuran Resistivity
Kegiatan pengukuran resistivity batuan ini, dilakukan untuk mendapatkan data dan
informasi yang lebih detail dan lengkap dibawah permukaan sehingga dapat membantu untuk
menganalisa sebaran batas batuan, kondisi struktur bawah permukaan dan sebaran akifer
airtanah, dimana data-data tersebut sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan letak
dan posisi titik pemboran air.
Pekerjaan lapangan yang dilaksanakan meliputi:
Melaksanakan kegiatan pengukuran geolistrik sounding (VES = Vertical Electrical
Sounding) dengan jumlah titik sebanyak 26 titik di wilayah kajian.
Bentangan maksimum untuk pengukuran adalah 200 meter untuk 1 arah sehingga total
bentangan yaitu 400 meter.
Lokasi dan arah bentangan ditentukan secara situasional, tergantung kepada keadaan
lapangan.
Analisa data dan interpretasi sebaran akifer serta Pembuatan penampang korelasi
pengukuran geolistrik (log geolistrik).
E.1
Kunjungan Lapangan (Site Visit)
Kegiatan lain dalam persiapan pengukuran resistivity ini yaitu site visit (kunjungan
lapangan), untuk mendapatkan kejelasan tentang kondisi faktual di lapangan. Sehingga
memudahkan dalam pembuatan desain pengukuran sehingga hasil pengukuran bisa
didapatkan secara optimal sesuai dengan kondisi dan keadaan di lapangan.
Gambar.12
Gambar.13
Kegiatan Site Visit berupa Pengamatan Lokasi Sumur Gali
E.2
Pengukuran Koordinat Titik Penelitian dengan Global Positioning System (GPS)
Pengukuran titik-titik dilakukan setelah site visit dan studi referensi lengkap. Penentuan
lokasi atau titik memakai GPS merk Garmin type XL dan Etrex 12 channel dengan
memanfaatkan panduan satelit navigasi global yang memberikan data koordinat yang tepat
dilapangan. Sebelum melakukan pengukuran dilapangan, desain lapangan/rencana kerja telah
Gambar.14.
Peta Lintasan Pengukuran Resistiviti Wilayah UPT Jonggon C Kec. Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara
Provinsi Kalimantan Timur Lintasan titik - titik pengukuran geolistrik
PETA LINTASAN PENGUKURAN RESISTIVITY WILAYAH UPT JONGGON C KEC. LOAKULU, KAB. KUTAI KARTANEGARA
PROV. KALIMANTAN TIMUR
Kontur ketinggian
28
F
1 2
E.3
Data Lapangan Tiap Titik
Data lapangan yang diperoleh terdiri dari AB/2 (panjang bentangan pengukuran),
Voltase (V) dalan satuan milivolt (mV), Arus (I) Dalam satuan miliampere (mI), dan yang
contoh adalah sebagai berikut untuk titik G25, G26, G27, G28.
G25 G26 G27 G28
100 12.7 100 83.92 100 19.3 100 14.5
125 18 125 16.9
E.4
Hasil Pengolahan Data Lapangan
Hasil data lapangan ini kemudian diproses dengan software ip2win dengan memasukan
data AB/2 dan ρa dalam bentuk grafik log plot. Setelah itu dibuat grafik kalkulasinya dan dihasil kan Tahan jenis sebenarnya (ρ) dalam satuan miliOhm (ohmM). Ketebalan lapisan (h) dalam
satuan meter (m), dan kedalaman lapisan (d) dalam satuan meter (m).
G25 G26 G27
ρ h d ρ h d ρ h d
16.665 1.9098 1.9098 20.9 1.57 1.57 27.264 0.51302 0.51302 1.8034 1.1758 3.0856 55.1 1.89 3.46 86.499 2.8859 3.39892 129.13 5.4175 8.5031 4.08 5.73 9.19 286.46 6.2948 9.69372
6.6106 8871 16.554
G28 G29 G30
ρ h d ρ h d ρ h d
8.495 0.6128 0.6128 34.81 0.68615 0.68615 8.9542 0.70577 0.70577
102.9 1.6608 2.2736 484.37 0.68771 1.37386 111.39 5.4822 6.18797
8.2245 35.526 37.7996 59.855 6.6601 8.03396 11.725
30.333 23.34 17.697 25.73096
E.5
Korelasi lapisan dan interpretasi Vertikal dan Horizontal
Setelah diproses maka didapatkan korelasi penampang lintasan, pada hal ini korelasi
penampang dibuat Sebelas lintasan, hal ini dilakukan berdasarkan titik terdekat dan kelurusan
tiap titik. Berikut ini Korelasi penampang (ρa) Rho semu dan (ρ) Rho sebenarnya berdasarkan
kelurusan titik, pada jonggon c dibuat 6 lintasan diantaranya : Lintasan F (25-26-27-28-29-30-31-32)
Lintasan G (36-34-33-31)
Lintasan H (46-45-44-43-42-39-37-36-35-32)
Lintasan I (41-40-39-38)
Lintasan J (49-48-47-44)
Lintasan K (50-47-44)Sebagai contoh dari hasil korelasi data pengukuran resistivity di lapangan yang diolah
secara komputerisasi, maka dapat dilihat pada Gambar 4.4 di bawah ini.
Gambar.15.
Penampang Korelasi Titik Pengukuran Resistiviti Wilayah UPT Jonggon C Kec. Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara
E.6
Penampang 3 dimensi
Penampang 3 Dimensi ini merupakan hasil pendekatan dari 26 (dua puluh enam) titik
pengukuran resistiviti Wilayah UPT Jonggon C, akan tetapi untuk luasan Wilayah UPT Jonggon C
sekitar 172 ha. Adapun bentuk 3 dimensi dari hasil korelasi pengukuran titik resistiviti ini sebagai
gambaran agar lebih memperlihatkan dengan jelas mengenai sebaran akuifer di wilayah
penyelidikan.
Gambar.16.
Penampang 3 Dimensi Sebaran Akuifer Wilayah UPT Jonggon C Kec. Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara
Provinsi Kalimantan Timur
F.
Analisis Dan Pembahasan
Data resistivitas-semu (ρa) hasil pengukuran di daerah kajian diproses lebih lanjut sehingga diperoleh data resistivitas sebenarnya (ρ) dengan bantuan komputerisasi. Data
resistivitas sebenarnya (ρ) memperlihatkan gambaran variasi secara vertikal (sounding) setiap titik dalam satu lintasan pengukuran. Hasil pengolahan data tersebut diplotkan kedalam
lintasan sehingga diperoleh pola profil/penampang harga resistivitas (ρ) versus kedalaman.
Prosedur ini dilakukan untuk mengkompilasi jenis litologi dan keberadaan lapisan bawah
pemukaan di daerah penelitian. Langkah analisis di atas pada akhirnya menghasilkan
interpretasi keadaan geologi bawah permukaan, keberadaan akuifer dan sebarannya di daerah
penelitian.
F.1 Analisis Data Resistiviti
Analisis resistivitas merupakan proses analisa terhadap data resistivitas hasil
pengolahan data lapangan yang kemudian diinterpretasikan sebagai nilai respon
material/batuan yang terdeteksi. Dengan membandingkan harga resistivitas material/batuan
pada tabel yang sudah baku, pada akhirnya dapat diketahui jenis material/batuan bawah
permukaan dan penyebarannya. Dikarenakan daerah penelitian merupakan daerah
pegunungan maka dipilih literatur tertentu sebagai acuan yang memiliki karakteristik sesuai
keadaan geologi.
Berdasarkan pengolahan data per-titik pengukuran dalam setiap lintasan, hasilnya dapat
dikelompokkan dalam empat jenis kategori resistivitas yang dapat diinterpretasikan sebagai
respon dari material/susunan batuan yang terdeteksi. Keempat jenis lapisan tersebut adalah
(Lampiran 3):
a. Top Soil, Ketebalan tanah penutup dari tiap titik sangat bervariasi, berkisar antara 0,4–
4,1 m. Berdasarkan harga resistiviti, lapisan penutup (Top Soil) bervariasi antara 8,49 -
708 Ω.m. Terbukti pada pengukuran daerah basah memberikan respon resistivitas yang
relatif rendah, begitupun sebaliknya yang cenderung kering memiliki nilai resistivitas
relatif tinggi (pengukuran dilakukan pada saat musim Hujjan dan cuaca cerah sampai
berawan). Jenis material top soil yaitu lempung pasiran dengan warna coklat sedikit
kemerahan, terurai hingga lengket, pada bagian paling atas 5-10cm.
b. Lempung sisipan batubara, Terdapat dua bagian : (Lapisan Atas) Kedalaman lapisan ini
berkisar antara 0,6 – 4,1 m. Ketebalan dari tiap titik sangat bervariasi, berkisar antara 1 –
35 m. Berdasarkan harga resistiviti, nilainya bervariasi antara 55,1 –1038 Ω.m. (Lapisan
Bawah) Kedalaman lapisan ini 21,7 – 37 m. Ketebalan dari lapisan ini 22,1 - ~ m bahkan
pada titik G28 tidak ditemukan batas litologi berikutnya. Berdasarkan harga resistiviti,
nilainya bervariasi antara 30,3 –33,9 Ω.m. pada lapisan ini diperkirakan sebagai lapisan
Lempung sisipan batubara.
c. Akuifer, pada lapisan akuifer ini diperkirakan terdiri dari lumpur, lapisan tuf sisipan
kerakal hingga kerikil, tersisipkan lapisan batubara muda hingga gamping yang berupa
kekar - kekar. Terdapat dua bagian akuifer : Air permukaan lapisan ini hanya berupa
spot – spot air terdapat pada titik G25, G32, G41 nilainya resistiviti bervariasi antara 1,81
–18,9 Ω.m dengan kedalaman lapisan ini berkisar antara 1,4 – 1,67 m. Ketebalan dari tiap titik sangat bervariasi, berkisar antara 1,1 – 3,8 m. Yang sebagian besar merupakan
resapan dari air rawa. Air Dalam (akuifer utama) dengan kedalaman lapisan ini berkisar
Ketebalan dari tiap titik sangat bervariasi, berkisar antara 4,2 – 35m. Dan pada titik G25,
27, 29-32, 35 tidak ditemukannya batas litologi berikutnya. nilainya resistiviti bervariasi
antara 2,12 –35 Ω.m. Lapisan ini hampir terdapat pada semua titik pengukuran kecuali
pada titik G41, G50. Bahkan pada titik G36, G39 terdapat spot – spot air sangat dalam
antara 14,8 – 43,8 m. Dengan variasi resistiviti 0,079 –8,91 Ω.m. dan tidak ditemukan
batas litologi berikutnya, diperkirakan berupa air payau sampai air asin.
d. Batubara sisipan gamping, Kedalaman lapisan ini7,6 – 36,9 m. Ketebalan dari lapisan ini
7,2 - ~ m batas lapisan ini hanya ditemukan pada titik G39, pada semua lintasan titik
pengukuran geolistrik tidak ditemukan batas litologi berikutnya. Berdasarkan harga
resistiviti, nilainya bervariasi antara 587 – 45.768 Ω.m. pada lapisan ini diperkirakan
sebagai penyangga air.
Keempat jenis material tersebut di atas tidak seluruhnya ditemukan pada lintasan
pengukuran resistiviti, dan posisi stratigrafi, ketebalan, penyebaran secara horisontal pada
setiap lintasan dan kedalamannya menunjukkan banyak variasi, hal ini mencerminkan
terjadinya beberapa proses transport (sedimentasi) yang berbeda pada setiap lokasi dan
indikasi adanya struktur geologi. Dari keseluruhan lapisan belum dapat dipastikan secara tepat
jenis batuan – batuan, pembawa air dan besaran kesarangan air. dikarenakan tidak adanya
Analisa geologi dan kimia, dengan kata lain metoda yang digunakan memiliki terbatas.
F.2 Analisis Keterdapatan Akuifer
Akuifer adalah suatu material/lapisan batuan yang mempunyai potensi sebagai lapisan
mengandung air. Tujuan utama dalam penelitian ini adalah mencari lapisan yang berpotensi
sebagai pembawa air.
Berdasarkan analisis resistivitas dan interpretasi karakteristik litologinya, jenis material
penyusun di daerah penelitian terdiri dari top soil hingga batubara sisipan gamping. Litologi
yang mempunyai potensi sebagai Akuifer di areal penelitian adalah terdiri dari lumpur, lapisan
tuf sisipan kerakal hingga kerikil, batubara muda hingga gamping yang berupa kekar - kekar
berada dikedalaman 1,8 – 19,7 m yang terdapat pada semua titik pengukuran , dengan
ketebalan berkisar antara 4,2 – 35 m, lapisan atas yang menyelubungi akuifer adalah top soil,
Lempung sisipan batubara, dan lapisan bawah yang menyangga akuifer adalah Batubara
F.3 Penentuan Titik Pemboran Air
Pertimbangan yang paling mendasar dalam menentukan suatu titik pemboran air yaitu
mengidentifikasi mengenai ;
1. Keberadaan batuan sebagai lapisan akuifer
2. Posisi & Letak (Kedalaman) dari permukaan bumi
3. Posisi muka air tanah setempat
4. Ketebalan lapisan akuifer
Sehingga untuk penentuan titik pemboran air di Wilayah Jonggon C berdasarkan data
hasil pengukuran resistiviti sebanyak 26 titik, mengacu kepada Kerangka Acuan Kerja dimana
harus ditentukan sebanyak 108 titik untuk di bor, maka terlebih dahulu dapat di identifikasi
secara geologi dimana wilayah kajian keterdapatan di Formasi Balikpapan dan Formasi Pulau
Balang. Pada kedua formasi tersebut teridentifikasi adanya satuan batuan batupasir
perselingan batulempung gampingan dan lapisan batubara.
Hasil korelasi penampang vertikal pada setiap titik pengukuran resistiviti, maka dapat
ditabulasikan sebagai berikut ;
No. Lapisan Batuan Nilai Resistiviti
(
Ω.m
)Kedalaman (m)
Ketebalan (m)
1 Top Soil
8,49
–
708
0,4
–
4,1
4,12
Lapisan Atas
Lempung Sisipan Batubara
55,1
–
1038
0,6
–
4,1
1 – 35 Lapisan BawahLempung Sisipan Batubara
30,3
–
33,9
21,7
–
37
22- ~
3
Lapisan Akuifer (Tuf)
Akuifer Dangkal
1,81
–
18,9
1,4
–
1,67
1,1
–
3,8
Lapisan Akuifer (Tuf)
Akuifer Dalam
2,12
–
35
1,8
–
19,7
4,2
–
35
4 Batubara Sisipan Gamping
587
–
45768
7,6
–
36,9
7,2 - ~
Hasil pengukuran menunjukkan dimana kedalaman akuifer dangkal berkirar diantara 1 –
2 meter dengan ketebalan lapisan akuifer yaitu antara 1 – 4 meter, sehingga kedalaman
tersebut memungkinkan untuk pemboran dangkal menggunakan pompa.
Untuk aluifer dalam berkisar pada kedalaman 2 – 19 meter dengan ketebalam lapisan
akuifer antara 4 – 35 meter, sehingga untuk akuifer dalam masih memungkin untuk bisa
Dalam pengelolaan airtanah dan air bawah tanah yang perlu diperhatikan adalah
dampak dalam jangka panjang pada saat potensi air di eksploitasi secara terus menerus,
sehingga dengan pertimbangan pada kajian teknis dimana lapisan akuifer dalam relatif masih
bisa di jangkau dengan pemboran air biasa dan mempunyai ketebalan lapisan yang cukup
potensi menyimpan potensi air yang cukup besar, selain itu untuk mencegah terjadinya
amblesan akibat dari eksploitasi air tanah, maka hal tersebut menjadi dasar agar pemboran
dilakukan dengan tujuan untuk eksploitasi air bawah tanah.
Hasil kajian terhadap keberadaan lapisan akuifer yang di-combine terhadap data
kedalaman sumur di lokasi penelitian, maka interval kedalaman muka air tanah di lokasi
Jonggon C yaitu antara -1 sampai dengan -17 m di bawah permukaan tanah.
Program jangka panjang yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah yaitu melakukan
pengelolaan air bawah tanah untuk dikonsumsi terutama oleh industri pada lapisan akuifer
dalam, pertimbangannya yaitu agar kuantitas potensi air di wilayah permukiman masyarakat
tidak terganggu.
G.
Kesimpulan
1.Terdapat 5 jenis lapisan yang dominan dalam membentuk litologi daerah penelitian. Lapisan
tersebut adalah top soil, Lempung, Tufan, gamping batubara;
2.Didaerah penelitian hanya beberapa titik yang tidak terdapat indikasi batas atas lapisan
penyangga akuifer utama yaitu titik G25, 27, 29-32. dengan ketebalan lapisan akuifer
utama berkisar antara 4 – 35 m. interval kedalaman muka air tanah di lokasi Jonggon C
yaitu antara -1 sampai dengan -17 m di bawah permukaan tanah
3.Pada korelasi titik pengukuran, hampir pada semua lintasan Jonggon C diperkiraan adanya
struktur sinklin dan antiklin, lapisan akuifer yang didaerah penelitian memiliki ketebalan
yang cukup besar ini dimungkinkan karena daerah penelitian dulunya adalah endapan
H.
Daftar Pustaka
1. After Karanth, 1987, “General Range of Electrical Resistivities of Common Rock and Water”.
2. W.M. Telford & Friend’s., 1979, “Applied Geophysics”, Cambridge University Press, London, New York.
3. Fetter, C. W. 2001, “Applied Hydrogeology”, Prentice Hall, New Jersey.
4. Hafny Moh. Noer., 1986, “Cara Tahanan Jenis Untuk Memantau Masalah Peresapan Air Laut”, Kanwil Departemen Pertambangan dan Energi Propinsi Sumatera Utara. PIT XI – HAGI 1986.
5. Azhar1 & Gunawan Handayani2., 2004; “Jurnal Natur Indonesia, “Penerapan Metode Geolistrik Konfigurasi Schlumberger untuk Penentuan Tahanan Jenis Batubara”.,
p.6(2): 122-126, (1Jurusan Pendidikan MIPA, FKIP, Universitas Riau, Pekanbaru 28293; 2Jurusan Geofisika Terapan, Institut Teknologi Bandung), Bandung.
6. S. Supriatna, Sukardi dan E. Rustandi, 1995, “PETA GEOLOGI LEMBAR SAMARINDA, KALIMANTAN Skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung