• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosiologi dan Sastra Pertautan Basis Teo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sosiologi dan Sastra Pertautan Basis Teo"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Sosiologi dan Sastra:

Pertautan Basis Teoritis dan Metodologis

Oleh: Hamzah Fansuri avantgarde818@gmail.com

ABSTRAK

Semangat zaman telah mencatat berbagai perubahan, transformasi dan progresifitas di berbagai bidang, tak terkecuali pada ranah keilmuan sosiologi. Perihal ini dapat dilacak sejak era yang disebut klasik di bawah pemikiran Weber, Durkheim dan Marx. Pada sosiologi klasik ini, persoalan mengenai tatanan dan struktur menjadi fokus kajian utamanya sebagaimana tampak pada teori kesadaran kolektif Durkheim serta teori legitimasi Weber. Dalam perkembangannya, teori-teori sosiologi klasik ini mengalami proses reduksi dan atau penajaman ketika mengalami persinggungan dengan ilmu bahasa atau linguistik. Sehingga secara perlahan ilmu bahasa dan linguistik ini pun memasuki epistemologi ilmu sosial melalui sarana naratif dalam menjelaskan persoalan sosial. Kekuatan narasi inilah yang mendorong bahasa analisis dalam ilmu sosial menjadi lebih imajinatif dan tak terbatas. Oleh Sunardi (2002), gejala tersebut tidak terlepas dari fenomena linguistic turn dan inspirasi narrative turn dari sastra.

Karenanya, tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi serta mengelaborasi pertautan basis-basis teoritis dan metodologis antara sosiologi dan sastra. Dengan terlebih dahulu memusatkan pada teorisasi sosiologi klasik yang makin lemah akan refleksi atas cepatnya perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Kemudian menyoroti pertalian epitemologisnya melalui model narasi yang dalam ilmu sosial dipelopori oleh para posmodernis, pos-strukturalis dan dekonstruksionis. Dan, akhirnya mengilhami cara penulisan maupun pengisahan pada sosiologi, yang memberi peluang digunakannya berbagai sarana dan teknik yang lazim dipakai dalam narasi literer (sastra). Pada wilayah ini, perkembangan metode penelitian sosiologi pun mengalami kemajuan dengan tidak membatasi diri pada aturan-aturan metodologis yang ketat, melainkan lebih cair, terlebih dalam memposisikan teks sosiologi. Sehingga studi-studi yang menggunakan metode analisis teks semakin mewarnai penulisan sosiologi kekinian.

Kata Kunci: Sosiologi, Sastra, Narasi, Teks, Teori dan Metodologi

Pendahuluan

Ada sebuah ungkapan, manusia tidak dapat keluar dari bahasa, ibarat seekor ikan yang tidak dapat hidup di luar air. Ini berarti bahwa manusia dan bahasa merupakan dua perkara yang tidak dapat dipisahkan. Sejak manusia lahir, ia sudah dikenalkan lewat bahasa oleh orang tuanya dan oleh lingkungannya. Hingga proses tumbuh dan berkembang, manusia dibentuk melalui proses bahasa seperti berbicara, membaca, menulis, dan mendengarkan. Bahkan dalam diam pun manusia tetap berbahasa.

(2)

depannya. Demikian halnya pada studi sastra dalam bentuk puisi, cerita pendek, maupun novel, yang kerap memposisikan teks selaku pondasi utamanya, tidak terlepas dari peran dan posisi manusia itu sendiri selaku pengarang maupun penutur. Untuk hal ini, ahli hermenutika, Paul Ricouer (2006) pernah berujar bahwa teks sejatinya muncul ketika teks itu ditulis hingga memperoleh penafsiran oleh pembaca, atau yang oleh Ricouer sendiri menyebutnya dengan konsep distansiasi.1 Dengan kata lain, teks sebagai bahasa tuturan atau suntingan dari sebuah kejadian akan berkembang menjadi bahasa tulisan oleh si pengarangnya. Karenanya, posisi teks atau narasi dalam studi sastra maupun linguistik tidak dapat dipisahkan dari keberadaan si pengarang atau manusia itu sendiri.

Diskusi panjang mengenai hubungan manusia terhadap bahasa dalam wujud teks atau narasi ini kemudian berkembang pada hubungan antara disiplin ilmu sosial dan sastra. Pada sosiologi, kita mengenal sosiologi sastra yakni pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari dan atau mengenai sastra, karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989: 855). Sementara dalam dalam dunia sastra, gagasan Kuntowijoyo setidaknya menjadi ukuran bagaimana sastra tidak semata-mata untuk sastra dalam wujud teks maupun narasi. Namun sastra yang menyatu dalam keseharian laku manusia. Sastra yang mengandung nilai-nilai universal sebagaimana yang dicontohkan oleh perilaku para nabi. Sastra profetik gagasan Kuntowijoyo ini sangat kental dengan pendekatan sosiologisnya.

Oleh karena itu, guna melihat korelasi antar disiplin ilmu, konsep interdisipliner yang akhir-akhir ini terus menjadi trend keilmuan, kiranya patut didudukkan sebagai akar epistemologisnya dalam melihat dinamika dan dialektika antar disiplin keilmuan. Mengenai pendekatan interdisipliner ini, Braudel (1980) memahami bahwa setiap disiplin ilmu tidak memiliki hak untuk memonopoli sebuah kebenaran mengenai keberadaan alam dan manusia. Sehingga untuk kepentingan yang lebih luas, setiap disiplin ilmu selayaknya bersama-sama dikerahkan. Hal ini dikarenakan dinamika kehidupan itu sendiri secara prinsipil memiliki banyak segi.

Pada konteks tulisan ini, pendekatan interdisipliner merupakan langkah awal dalam menyoroti pertautan antara sosiologi dan sastra. Pertautan tersebut secara sengaja difokuskan pada hubungan teoritis dan metodologis, mengingat eksistensi keilmuan saat ini semakin dituntut untuk mampu ‘beradaptasi’ serta merespon laju pesat perkembangan zaman.

(3)

Teorisasi Sosiologi: Sebuah Pekerjaan Rumah Bersama

Zygmunt Bauman pernah bertanya, mengapa para sosiolog jarang menulis puisi. Padahal menurutnya tugas seorang sosiolog tidak ada bedanya dengan tugas seorang penyair, yakni menyingkap potensi manusia yang masih terpendam. Pandangan Bauman ini tertuang dalam esainya berjudul “Theory, Culture and Society”. Di situ ia mengulas problem penulisan sosiologi dan juga kritiknya terhadap tugas sosiologi bagi kehidupan manusia. Ia menekankan pentingya menggeluti sosiologi dan menulis sosiologi yang ditujukan untuk menyingkap kemungkinan hidup bersama di atas perbedaan dengan tanpa penderitaan (Denzin, 2011: 496). Dalam banyak kesempatan, Bauman termasuk sosiolog yang lantang melontarkan kritik terhadap keilmuan sosiologi yang kaku dan ketat terutama secara metodologis. Baginya, sosiologi saat ini hendaknya dapat menerangi irama kehidupan sehari-hari. Ia mendasari argumentasinya pada segala bentuk praktik dan aktualitas yang harus menjadi bukti dari kebenaran objektif serta sekaligus membuktikan keberpihakan dari pemikiran itu (Bauman, 2009: 81-92). Dari itulah Bauman kemudian dikenal sebagai penggagas perlunya pengembangan sosiologi kritis (critical sociology).

Sumbangan pemikiran Bauman ini sejalan dengan beberapa sosiolog yang berpandangan kritis lainnya, seperti Alain Touraine, John Urry, dan Manuel Castells. Para ilmuwan sosiologi tersebut mengkritik sosiologi, terutama pada kemacetan sosiologi klasik dalam menindaklanjuti kemajuan sains dan teknologi bagi tatanan sosial dan masa depan kehidupan manusia. Sosiolog Alain Touraine (2007) misalnya, mempertanyakan ulang bagaimana sosiologi klasik –seperti pada pemikiran Comte dan Durkheim—tidak banyak mempelajari dunia secara keseluruhan. Sehingga baginya telaah akan sosiologi kontemporer menjadi kebutuhan agar tercipta ruang-ruang intelektual baru, dan dengan itu ia menyebutnya sebagai sosiologi ultra-modernitas (Ibid: 187). Sosiologi baru ini ialah sosiologi yang dijelaskan oleh masa depan daripada masa lalunya. Karena itu menurut Touraine, sosiologi hari ini haruslah membangun dan menciptakan dirinya sendiri, mengubah dirinya sendiri secara terus-menerus, dan bukannya terkungkung di bangku-bangku perkuliahan semata yang keberadaannya hanya bisa membentuk beberapa generasi (Fansuri, 2012: 25-39).

(4)

orang-perorangan yang semakin cepat, hadirnya berbagai macam bentuk agensi serta persoalan kewarganegaraan (citizenship) dalam lingkup global dan peran dari negara-bangsa dalam menjaga bentuk-bentuk kekuasaan yang ada pada ruang lingkup nasional (Urry, 2000: 2). Mobilitas yang dimaksud Urry adalah terlibatnya bermacam objek dan teknologi pada skala besar sehingga melahirkan bermacam pula problem-problem sosial di masyarakat.

Sejalan dengan itu, Castells seakan tak jauh berbeda dengan menyebutkan bahwa tugas sosiologi di era globalisasi adalah mempelajari proses pelembagaan, organisasi serta perubahan pada suatu masyarakat baru (new society) (Castells: 2000: 693). Castells secara khusus menelaah dimensi-dimensi perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat baru, yang disebutnya dengan masyarakat jejaring (network society). Dimensi tersebut yakni paradigma teknologi, globalisasi dan fenomena hypertext. Ketiga dimensi ini paling nyata beroperasi pada teknologi internet, yang memungkinkan keterhubungan individu serta kelompok tanpa batas. Inilah yang kemudian menjadi budaya baru: budaya virtualitas yang nyata.

Kritik terhadap teorisasi sosiologi ini pun menjalar pada masayarakat akademis di negara-negara berkembang. Hal ini terutama dipicu oleh kegagalan teori-teori pembangunan dan modernisasi dalam menciptakan kemakmuran bagi masyarakat pasca kolonialisme. Sebagaimana diketahui, pada saat itu ilmu sosial Amerika yang didominasi oleh paradigma fungsionalisme Parsonian, begitu berpengaruh terhadap ilmu sosial di negara-negara Dunia Ketiga. Paradigma fungsionalisme Parsonian ini pun turut mengilhami kelahiran teori-teori pembangunan dan modernisasi. Akan tetapi pada kenyataannya, teori-teori tersebut terbukti menjadi selubung ideologis di balik kepentingan ekonomi-politik yang luas. Ariel Heryanto (2006) misalnya menyebut pembangunan tidak lagi semata-mata kebijakan pemerintah namun juga sebagai ideologi tunggal bagi masyarakat di Indonesia khususnya yang dikenal dengan pembangunanisme.

Pada konteks inilah, sosiologi klasik yang berpandangan bahwa segala sesuatunya harus objektif, value free, dan bebas dari kepentingan, akhirnya mulai dikritisi bahkan ditinggalkan. Cara pandang yang demikian terbukti hanya akan melanggengkan kepentingan ideologis yang lebih besar. Sehingga keberpihakan dan semangat emansipatoris kepada kelompok-kelompok marjinal, subordinat, dan the Others menjadi antitesa dalam menjawab paradoks-paradoks modernitas. Dan tradisi ini dapat dilacak berakar dari para ilmuwan sosial di Sekolah Frankfurt dan yang sealiran dengannya.

(5)

memberi kontribusi yang nyata bagi upaya emansipatoris, self reflexive dan menumbuhkan kesadaran kritis di tengah masyarakat yang mengalami transformasi dan perubahan sosial yang begitu pesat. Salah satu jalan untuk itu ialah dengan mengembangkan teori dan metodologi yang berbasis multidisiplin dan interdisipliner. Sebagaimana sosiologi dan sastra yang dapat ditelusuri lewat tradisi para posmodernis dan posstrukturalis.

Sosiologi dan Sastra di Tangan Posmodernis, dan Poststrukturalis

Setelah memetakan persoalan teorisasi sosiologi klasik yang mulai lemah terhadap perubahan sosial dan budaya yang begitu cepat di era globalisasi saat ini, maka selanjutnya bagian ini akan mengungkap dan mengeloborasi perkembangan kekinian dari teorisasi sosiologi di era yang banyak orang menyebutnya dengan era postmodern. Upaya tersebut sekaligus menelaah perihal hubungan sosiologi dan sastra dibawah pemikiran posmodernisme dan poststrukturalisme. Upaya ini tidak lain karena saat ini pemikiran posmodernisme dan posstrukturalisme makin banyak berkembang pada disiplin ilmu sosiologi baik secara teoritis maupun metodologis. Padahal, sebagaimana akan diulas nanti, para posmodernis dan posstrukturalis mulanya mengembangkan pemikirannya atas kritik sastra, seni dan filsafat.

Sebagai permulaan, buku yang ditulis oleh Madan Sarup yang menerangkan perihal posmodernisme dan posstrukturalisme akan disorot. Buku ini menekankan tentang pemikiran-pemikiran kunci dalam tradisi posmodernisme dan posstrukturalisme. Lebih lanjut Sarup mendeskripsikan ciri posmodernisme misalnya dengan menyitir Jean Francois Lyotard sebagai berikut:

Posmodernisme menyerang mitos yang melegitimasi zaman modern (narasi besar), pembebasan progresif humanitas melalui ilmu, dan gagasan bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk proses memahami dan mengembangkan pengetahuan yang secara universal valid untuk seluruh umat manusia. Teori Posmodern menjadi identik dengan kritik terhadap pengetahuan universal dan fondasionalisme (Sarup, 2004: 232)

(6)

itu. Namun para pemikir ini memiliki kesamaan epistemik karena ikhtiarnya mengkritisi sastra, seni dan filsafat modern.

Kita mulai dengan dekonstruksi Derrida yang kental dengan nuansa kritik sastra dan bahasanya. Ia mulanya mengkritisi cara pandang strukturalis dan ahli bahasa, Ferdinand de Sausurre, yang menegaskan ‘oposisi biner’ dan hubungan antara ‘langue’ dan ‘parole’. Bagi Derrida, cara pandang yang demikian telah menegasikan adanya perbedaan (difference), atau dengan konotasi lain mengesampingkan keberadaan unsur-unsur multidimensional yang terpecah (the Others). Oleh karenanya, dekonstruksi Derrida ini kerapkali juga digolongkan sebagai pemikiran posstrukturalisme atau pasca-strukturalisme.

Kritik sastra yang menonjol dari dekonstruksi Derrida ialah penekanan pada metafora, faktor pembeda yang bermain di dalam proses pembentukan makna literal (Sarup, 2004: 86). Di samping itu, Derrida mengajak kita untuk memadu-padankan semua bentuk oposisi yang ada kemudian menghancurkannya, dan di saat yang bersamaan mempertahankannya. Dari cara kerja dekonstruksi seperti ini, teks dipahami tidak dapat berdiri sendiri. Teks pasti merujuk pada teks lain sehingga terbentuk jaringan teks tanpa batas yang disebut intertekstualitas (Ibid: 87). Dan pada jaringan inilah penafsiran turut berkembang. Bagi dekonstruksionis, tidak ada penafsiran yang dapat mengklaim sebagai tafsiran final. Karena itu, dekonstruksi di samping sebagai kritik sastra juga berkembang sebagai metode penafsiran, terutama yang memfokuskan harus adanya kesadaran pada ambivalensi yakni ketidaksesuaian antara makna dan pernyataan sang pengarang.

Sementara itu, pemikiran posmodernis yang juga cukup berpengaruh dan secara epistemologis sejalan dengan pendekatan “Sang Liyan” seperti pada dekonstruksionis ialah pemikiran Jean Francois Lyotard. Ia dikenal luas sebagai kritikus yang bersuara keras menentang cerita-cerita besar (grand narrative) pada filsafat dan kebudayaan modern. Dengan kritiknya itu, ia menawarkan pentingnya untuk mengalihkan pandangan kepada cerita-cerita kecil (small narrative) yang selama ini ‘dikesampingkan’. Dengan kata lain, fungsi legitimasi sebuah narasi di mana ia mampu mendesakkan konsensus, saat ini tengah mengalami krisis.

(7)

narasi-narasi kecil menjadi tolak ukur pemikiran posmodernis --meskipun terfragmentasi—yang cenderung berada pada jalur keberpihakan, sebagaimana pada dekonstruksi Derrida. Sebagaimana posmodernis lainnya, Lyotard pun meyakini bahwa masyarakat tidak selalu terbentuk berdasarkan teknologi, namun juga melalui permainan bahasa dan diskursus.

Fenomena kritik sastra di tangan posmodernis dan posstrukturalis yang lahir di fase-fase awal kemunculannya terus mengalami perkembangan, terutama pada domain filsafat dan teori sosial. Hal ini tampak pada perkembangan teorisasi dalam sosiologi yang pada akhirnya banyak meminjam dan dipengaruhi oleh teori-teori sosial posmodernisme seperti teori Derrida dan Lyotard di atas. Sementara pemikiran posstrukturalisme yang saat ini makin banyak menginspirasi teori dan metode penelitian sosial ialah pemikiran Michel Foucault, khususnya mengenai kekuasaan (power) dan diskursus (discourse), meskipun ia sendiri menentang dikatakan sebagai posstrukturalis.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Foucault telah menjungkir-balikkan cara pandang terhadap kekuasaan yang telah lama dipegang oleh para filsuf dan ilmuwan sosial. Dengan mengatakan bahwa kekuasaan sejatinya memiliki relasi atau hubungan, ia telah membantah bahwa kekuasaan seolah-olah hanya terpusat dan berbentuk sebuah posisi. Struktur kekuasaan baginya tidak dapat dilihat dalam tingkatan-tingkatan maupun pada stratifikasi sosial di masyarakat. Kekuasaan bekerja di setiap lapisan dan berhubungan antara satu dengan yang lain. Di setiap proses tersebut, kekuasaan pun akhirnya melahirkan anti-kekuasaan, yang juga berrelasi.

Apa yang dapat ditarik dari mata rantai pemikir-pemikir posmodernis dan posstrukutralis tersebut tidak lain ialah kerja akademis mereka yang awal mulanya berangkat dari kritik atas ‘kebenaran’, filsafat, seni, dan sastra yang digaungkan di era modern. Sebaliknya sumbangan para posmodernis dan posstrukturalis bagi teori sosiologi tampak melalui digunakannya beragam pendekatan dalam setiap penelitian sosiologi.

Epistemologi Sastra dalam Metode Sosiologi

(8)

Untuk itu, guna memahami lebih lanjut bagaimana sastra menginspirasi ilmu sosial khususnya sosiologi secara metodologis, maka bagian ini akan mengulas lebih khusus pada metode hermeneutika dan analisis wacana kritis (critical discourse analysis) sebagai metode penelitian yang awal mulanya berkembang dalam studi sastra, namun kemudian telah banyak mewarnai penulisan dan penelitian sosial terutama yang menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun metode hermeneutika yang akan diulas yakni hermenutika yang dikenalkan versi Paul Ricouer, sedangkan metode Analisis Wacana Kritis mengikuti yang telah ditawarkan oleh Norman Fairclough.

Metode hermeneutika atau yang biasa juga disebut dengan metode penafsiran teks menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam studi sastra. Bagi Ricouer, hermeneutika yang intinya adalah teks, merupakan metode yang mampu mendamaikan dan memberikan horizon baru bagi pemaknaan relasi pengarang-teks-pembaca. Dalam pandangannya, wacana ujaran yang telah menjadi wacana tulisan (teks) dapat bersifat otonom untuk melakukan “dekontekstualisasi” dan “rekontekstualisasi”. Kegiatan dekontekstualisasi memiliki arti bahwa materi teks “melepaskan diri” dari konteks pengarang (maksud atau intensi subyektif pengarang) untuk masuk ke konteks pembaca yang lebih luas lagi (rekontekstualisasi) (Sumaryono, 1999: 108-109).

Melalui dekontekstualisai dan rekontekstualisasi, kedudukan pengarang dan pembaca menjadi sejajar untuk memberikan pemaknaan terhadap teks. Teks menjadi terbuka seolah-olah memberikan izin bagi pembaca untuk menyelami dan memahaminya. Dengan demikian, kita akan lebih mudah mengatasi “kesenjangan jarak” yang ada serta memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami teks dengan tidak harus mencari makna yang sesuai dengan maksud pengarang.

Ricouer tidak lupa untuk menjelaskan makna teks dalam metode hermeneutika agar memudahkan dalam memahami posisi teks dan konteks sosial yang terjadi di seputar teks tersebut. Menurutnya teks itu adalah setiap diskursus yang dibakukan lewat tulisan. Sebuah teks benar-benar jadi sebuah teks manakala ia tidak terbatas hanya untuk mereproduksi ujaran yang telah diujarkan. Sebuah teks baru menjadi teks ketika ia langsung membubuhkan apa yang dimaksudkan oleh sebuah diskursus ke dalam huruf-huruf tertulis (Ricouer, 2006: 196-7).

(9)

sebaliknya. Metode ini kemudian dalam penelitian sosiologi bekerja dengan menafsirkan teks-teks sebagai sumber data utamanya. Sehingga segala bentuk penulisan sosiologi dapat menggunakan metode hermeneutika terutama dalam penulisan naratif atau pendekatan sosiologi seni dan sastra.2 Menggunakan hermeneutika dalam penelitian sosiologi, menurut Ricoeur juga akan berguna untuk melakukan kritik ideologi, kritik sastra dan seni, analisa sosial dalam memahami konteks sosial kemanusiaan serta diri sendiri.

Metode sosiologi lainnya yang berkonsentrasi pada teks yakni Analisis Wacana Kritis (Critical Disourse Analysis/ CDA). Sebagai metode yang berasal dari metode penelitian bahasa dan sastra, Analisis Wacana Kritis kemudian merambah disiplin ilmu sosial seperti sosiologi dan ilmu komunikasi dan bahkan ilmu politik. Sebagaimana hermeneutika, Analisis Wacana Kritis selain memfokuskan diri pada teks dan bahasa juga memposisikan teks dalam arti wacana. Setiap teks adalah wacana (discourse).

Dalam tradisi CDA, wacana berarti penggunaan bahasa sebagai praktek sosial. Artinya, wacana bergerak bolak-balik antara mencerminkan dan membangun dunia sosial. Oleh karenanya, bahasa tidak bisa dianggap netral, karena ia terjebak dalam formasi politik, sosial, rasial, ekonomi, agama, dan budaya.

Mulai maraknya penggunaan metode CDA dalam penelitian sosial, khususnya sosiologi merupakan jawaban atas kemacetan metode-metode sosiologi klasik yang ketat, sehingga bagi sebagian ilmuwan sosial dianggap kurang inspiratif dan memberikan imajinasi sosial. Dengan mendekati metode-metode berbasis seperti CDA dan Hermeneutika, para ilmuwan sosial saat ini semakin meyakini bahwa pendekatan interdisipliner dan multidisipliner merupakan keniscayaan sejarah.

Adalah Giddens, seorang sosiolog Inggris yang melalui karya-karyanya, banyak membantu dalam melihat pertautan epistemik antara sosiologi dan sastra. Teori strukturasi Giddens misalnya, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh pemikiran Derrida yang sebenarnya dikembangkan dalam studi sastra. Dalam sebuah catatan, Sunardi (2002) menambahkan bagaimana pengaruh Richard Rorty yang justru memasukkan kategori-kategori sastra ke dalam teori sosial. Sehingga kita dengan mudah menyimak inovasi para ilmuwan sosial yang memiliki latar belakang sastra yang kuat seperti Edward Said yang membongkar epistemologi orientalisme sembari membedah jalan bagi poskolonialisme; Foucault yang membentuk analisis wacana guna melihat pra-wacana; Gramsci yang menganggap sastra sebagai medium pembaharuan moral dan untuk mengungkap ideologi-ideologi kelompok

(10)

sosial; dan juga Bourdieu yang dikenal luas dengan teori habitus-nya yang ia gali dari sosiologi sastra (Ibid: 13).

Pertautan sosiologi dan sastra sesungguhnya tertuju pada upaya agar sosiologi menjadi refleksif. Laju perkembangan zaman saat ini semakin menuntut setiap disiplin ilmu sosial untuk berkontribusi nyata, sekaligus mengedepankan sifat reflektifnya karena hanya dengan itu ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi dapat keluar dari rutinitas dan kekakuan metodologis. Di samping itu, dengan memadukan sastra ke dalam sosiologi, maka karakter sastra yang imajinatif dan inspiratif dapat mendorong sosiologi untuk terus mengembangkan metode penulisan dan penelitiannya seperti pada penulisan biografi, yang sangat tepat untuk mengangkat kembali kelompok minoritas yang selama ini tidak mendapatkan perhatian dan kerap diposisikan sebagai objek. Dan tentunya akan membuka banyak peluang dikembangkannya model-model penulisan baru dalam sosiologi.

Daftar Pustaka

Bauman, Zygmunt. 2009. Towards A Critical Sociology: An Essay on Commonsense and Emancipation, London & Boston: Routledge

Braudel, F. 1980. On History. Chicago: University of Chicago Press

Castells, Manuel, “Toward a Sociology of the Network Society”. Contemporary Sociology, Vol. 29, No. 5 (Sep., 2000), pp. 693-699, American Sociological Association

Denzin, Norman. 2011. The Sage Handbook of Qualitative Research 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Fairclough, Norman. 2003. Language and Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi, Malang: Boyan Publishing

Lash, Scott. 2004. Sosiologi Posmodernisme. Yogyakarta: Kanisius

Ricouer, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Sarup, Madan. 2004. PostStructuralisme dan Postmodernisme. Yogyakarta: Jendela

Sumaryono, E. 1995. Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius

Sunardi, ST, “Ilmu Sosial Berbasis Sastra: Catatan Awal”. Basis No.11-12, 2002, hal. 8-15 Touraine, Alain, “Sociology after Sociology”. European Journal of Social Theory 10(2)

(2007), pp. 184–193, Sage Publications

Urry, John. 2000. Sociology Beyond Societies: Mobilities for The Twenty-First Century, New York: Routledge

(11)

Hamzah Fansuri, Lahir di Bengkulu pada tanggal 8 Juli 1984. Menyelesaikan studi sarjana di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Sedangkan studi pascasarjana di jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada dengan mengangkat tesis berjudul “Melacak Perkembangan Sosiologi Indonesia: Antara Kekuasaan dan Reproduksi Pengetahuan”.

Semasa studi S1, pernah berkecimpung di Madrasah Intelektual Muhammadiyah (MIM), yang didirikan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang AR Fakhruddin, sebuah kelompok diskusi akademik yang banyak mengulas teori-teori sosial. Pernah mengajar pada Jurusan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Bengkulu.

Keterangan:

Referensi

Dokumen terkait

Shukla ve ark (1999) ile benzer şekilde, topikal uygulanan fizyolojik tuzlu suyun iyileşen deri yarası dokusunda hidroksiprolin düzeyini etkileyebileceği yönünde

TEMA: HIBURAN Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Nilai Budaya Dan Karakter Bangsa KewirauSahaan/ Ekonomi Kreatif Materi Pokok dan Uraian Materi Kegiatan Belajar Indikator

196010051986031005 DAFTAR PESERTA YANG M EM ENUHI PERSYARATAN (M P) TES KOM PETENSI DASAR. CPNS TAHUN 2013 DI LINGKUNGAN KEM ENTERIAN PENDIDIKAN

Ketentuan mengenai pengaturan lokasi tempat usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.3.

Jadi, etnomusikolog dan etnomusikologi tidak hanya berada di dalam konteks akademik untuk mengembangkan teori yang berlaku di kampus saja tetapi juga kerangka kebijakan yang

Ruang lingkup pada penelitian ini adalah Pembelajaran Mata Kuliah Kewirausahaan dan Lingkungan Keluarga terhadap Minat Wirausaha Mahasiswa, survei penelitian ini dilakukan

LAPORAN PUBLIKASI (BULANAN)/CONDENSED FINANCIAL STATEMENT (MONTHLY) KOMITMEN KONTIJENSI/OFF BALANCE SHEET. PT BANK DINAR

In this paper, we evaluated the potential of PNN as an alternative to the traditional logistic regression model for the purpose of predicting disease occurrence in shrimp farms.