1.1 Latar belakang
Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri
Dalam literature masalah-masalah lingkungan dapat dikelompokkan kedalam tiga bentuk, yaitu pencemaran lingkungan (pollution) pemanfaatan lahan secara salah (land misuse) dan pengurasan atau habisnya sumber daya alam (natural
resource deleption).1 Akan tetapi, jika dilihat dari prespektif hukum yang berlaku
di Indonesia, masalah-masalah lingkungan hanya dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yakni pencemaran lingkungan (Environmental pollution) dan perusakan lingkungan hidup. Selain eksploitasi sumber daya alam yang menjadi-jadi, kerusakan lingkungan hidup di Indonesia juga disebabkan oleh pola hidup dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang kurang menghargai lingkungan belakangan ini. Contoh sederhananya adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan yang menyebabkan sampah bertumpuk tak teratur, bahkan di TPS (Tempat Pembuangan Sampah) sendiri. Sekitar tahun 2006 lalu misalnya terdapat kejadian bencana berupa longsor sampah di Bogor. Hal ini merupakan yang pertama kalinya di dunia dan jelas hal tersebut terjadi akibat kesalahan manusia sendiri.
Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik karena terjadinya pencemaran atau kerusakan sumber daya alam adalah timbulnya ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi (economic cost), dan terganggunya sistem alami (natural system).2
1 Stewart, Richard and James E.Krier, Environmental Law and Policy: New York, The Bobbs Merril Co.In.c,Indianapolis, 1978, hlm. 3-5.
2 Ibid., hlm. 6-7.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka diperolah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan hukum dengan kebijaksanaan lingkungan?
BAB II PEMBAHASAN MASALAH
2.1 Hubungan Hukum Dan Kebijaksanaan Lingkungan. Pada umumnya para ahli menterjemahkan kata policy sebagai
kebijaksanaan. Budi Winarno cenderung mengartikan policy sebagai kebijakan. Karena kebijakan dianggap sebagai perbuatan atau tindakan pemerintah yang berada dalam ruang publik dalam bentuk suatu aturan. Sedangkan Esmi Warassih dan Satjipto Rahardjo cenderung mengartikankata policy sebagai kebijaksanaan. Menurut pendapat Esmi Warassih bahwa dalam suatu policy itu seharusnya mengandung sesuatu yang bijaksana atau mengandung suatu nilai (value) dan moral yang harus dijunjung tinggi oleh pengambil atau pembuat kebijaksanaan.3
Secara umum kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan kawasan
konservasi. Oleh karena kawasan konservasi merupakan bagian dari sumber daya alam, maka kebijakan dan hukum konservasi pun pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan dan hokum pengelolaan sumber daya alam.
Sebagaimana diketahui bahwa sebenarnya peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. Namun dalam hal ini kebijakan diartikan dalam arti sempit, yaitu kebijakan yang masih harus dijabarkan terlebih dahulu di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kebijakan yang dimaksud disini diantaranya adalah UUD 1945, Ketetapan MPR, ataupun pernyataan pejabat negara.
Undang-undang Dasar 1945 lebih menekankan pada pemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat. Perhatian terhadap upaya “perlindungan” belum dikandung baik secara eksplisit maupun implisit. UUD 1945 menyebutkan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Berbicara mengenai hubungan hukum dan kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah mengenai komitmennya terhadap lingkungan hidup yang merupakan kesepakatan pada konferensi PBB mengenai lingkungan dan pembangunan di Stockholm Swedia tahun 1972. Saat itu Indonesia adalah salah satu peserta dalam konferensi tersebut sehingga terikat dengan substansi dari hasil yang di sepakati.
Di dalam kebijakan pengelolaan lingkungan hidup titik tekannya ada di daerah4, untuk itu seyogyanya di dalam program pembangunan nasional/daerah merumuskan program pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, yang mencakup :
1. Program Pengembangan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Bertujuan memperoleh dan
menyebarluaskan informasi mengenai potensi dan produktivitas sda dan lh melalui inventarisasi dan evaluasi serta penguatan sistem informasi.
2. Program Peningkatan Efektivitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam. Bertujuan menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sda dan lh laut, air, udara, atau dengan harapan tercapainya sasaran berupa terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sda yang tidak terkendali dan eksploitatif.
3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup. Bertujuan meningkatkan kualitas lh dalam upaya mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan serta pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sda yang berlebihan.
4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Bertujuan untuk mengembangkan
kelembagaan, menata sistem hukum, perundangan, kebijakan, serta terlaksananya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.
5. Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup. Bertujuan meningkatkan peranan dan kepedulian semua pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sda dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
2.2 Instrumen Pemecahan Masalah Lingkungan Hidup Di Indonesia
Sesuai dengan pasal 14 UUPLH menyebutkan bahwa yang termasuk instrumen-instrumen pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup atau masalah lingkungan hidup yang pada dasarnya adalah juga sebagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup, karena pengelolaan lingkungan hidup
dimaksudkan juga untuk mencegah dan mengatasi masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
Instrumen pemecahan masalah lingkungan hidup dapat di bedakan atas instrumen kebijakan yang bersifat makro seperti KLHS (Kajian lingkungan hidup strategis), peraturan perundang-undangan dan anggaran berbasis lingkungan dan instrumen-instrumen untuk individual kegiatan seperti perizinan, AMDAL, UKL (upaya pengelolaan lingkungan) dan UPL (upaya pemantauan lingkungan). Sedangkan instrumen kebijakan yang bersifat mikro sekaligus dapat bersifat makro ialah Baku Mutu.
1. Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Pengertian kajian lingkungan hidup strategis (KHLS) sebagai mana di rumuskan dalam pasal 1 butir 10 UUPPLH adalah rangkaian analisis sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program. KLHS merupakan dokumen kebijakan yang antara lain memuat:
a. Kapasitas daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup untuk pembangunan
b. Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup c. Kinerja layanan / jasa ekosistem
d. Efesiensi pemanfaatan Sumber Daya Alam
e. Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim f. Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Hasil KLHS menjadi dasar bagi kebijakan, rencana atau program suatu wilayah. Jika hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, langkah-langkah yang di lakukan adalah:
a. Kebijakan, rencana, atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS
b. Segala usaha atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup tidak dioperbolehkan lagi.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) mula-mula diatur dalam Pasal 16 UULH 1982 yang selanjutnya diatur lebih rinci dengan PP No.29 Tahun 1986. AMDAL merupakan suatu upaya atau pendekatan untuk mengkaji apakah kegiatan pemanfaatan atau pengolahan sumber daya alam atau kebijakan
pemerintah dan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
Prof.Dr.Otto Soemarwoto mengatakan bahwa, AMDAL bersifat pra-audit, yaitu AMDAL harus dilakukan sebelum suatu proyek dilaksanakan.Dan untuk teknisnya, AMDAL hanya dapat dilakukan dengan memenuhi dua syarat:
a. Ada suatu rencana kegiatan b. Ada garis dasar.5
Dengan demikian, yang diharapkan dari AMDAL tentang kelengkapan data informasi, supaya diketahui apa yang menjadi akibat dari kegiatan
pembangunan. Hal yang menentukan besar kecilnya dampak negative ialah gambaran cita-cita mengenai kualitas lingkungan yang ingin dicapai. Sedangkan bobot penilaian terhadap besar kecilnya dampak dipengaruhi oleh mutu
lingkungan yang akan dicapai.
3. Baku Mutu Lingkungan Hidup
Pengertian baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat energi, atau komponen lain yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya
tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan hidup merupakan instrumen untuk mengukur terjadinya pencemaran lingkungan. Baku mutu
lingkungan terdiri atas:
a. Baku mutu air
b. Baku mutu air limbah c. Baku mutu air laut
d. Baku mutu udara ambient e. Baku mutu emisi
f. Baku mutu gangguan
g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
1. Hubungan hukum dan kebijaksanaan lingkungan
Bahwa peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. Namun dalam hal ini kebijakan diartikan dalam arti sempit, yaitu kebijakan yang masih harus dijabarkan terlebih dahulu di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kebijakan yang dimaksud disini diantaranya adalah UUD 1945, Ketetapan MPR, ataupun pernyataan pejabat negara.
Undang-undang Dasar 1945 lebih menekankan pada pemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat. Perhatian terhadap upaya “perlindungan” belum dikandung baik secara eksplisit maupun implisit. UUD 1945 menyebutkan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
2. Instrumen pemecahan masalah lingkungan hidup di Indonesia
Instrumen pemecahan masalah lingkungan di Indonesia yang bersifat makro:
a. Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Pengertian kajian lingkungan hidup strategis (KHLS) sebagai mana di rumuskan dalam pasal 1 butir 10 UUPPLH adalah rangkaian analisis sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan / atau
kebijakan, rencana dan / atau program. b. AMDAL
AMDAL merupakan suatu upaya atau pendekatan untuk mengkaji apakah kegiatan pemanfaatan atau pengolahan sumber daya alam atau kebijakan pemerintah dan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
Instrumen pemecahan masalah di Indonesia yang bersifat mikro sekaligus makro :
Kansil, C.S.T., 1980, Pengantar Ilmu Hukum dan tata hukum Indonesia,
Jakarta: PN Balai Pustaka, Jakarta.
Erwin, Muhammad., Hukum Lingkungan Dalam system kebijaksanaan
pembangunan lingkungan hidup, 2009, Bandung: Refika Aditama.
Siahaan, N.H.T., 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan,
Jakarta: Erlangga.
Supriadi., 2010, Hukum Lingkungan di Indonesia Sebuah Pengantar,
Jakarta: Sinar Grafika.
Rahmadi, Takdir., 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.
Maskuro, Aini., 2011, Strategi Pembangunan Berwawasan Lingkungan,
https://aimarusciencemania.wordpress.com/2011/11/26/strategi-pembangunan-berwawasan-lingkungan/ diaccess tanggal 23 Desember 2014.
Kementrian Lingkungan Hidup – Republik Indonesia http://www.menlh.go.id/