• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai dan Internasional. Materialisme hi (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Nilai dan Internasional. Materialisme hi (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

Nilai dan ‘Internasional’

M aterialisme historis berjumpa dengan disiplin berontologi pinjaman

1

Hizkia Yosie Polimpung2

Dihit ung dari pendirian pert amanya di Aberyst w yt h, 1919, maka t ahun 2019 nant i, disiplin Ilmu Hubungan Int ernasional (HI) akan merayakan ulang t ahunnya yang ke-100. Bukannya ingin merusak pest a perayaan, namun apabila kit a sebagai penst udi HI bert anya, capaian apa saja yang sudah diraih

oleh st udi HI qua disiplin? Dalam perayaan cent ennial nant i, apa yang mau dirayakan? Port ofolio

disipliner HI sayangnya hari ini cukup kelabu. Pert ama, dari segi f ondasi dan garis demarkasi keilmuan,

sampai hari ini perdebat an fondasional ini sayangnya belum selesai— it u pun jika masih dilanjut kan. Nampak keengganan dari pesert a debat nya unt uk secara serius berdebat secara akademik. Kit a belum lupa bagaimana Robert Keohane “ mempermalukan” t eori-t eori krit is dan pascamodern dalam pidat o

presidensialnya 1988 hanya karena agenda riset mereka t idak “ empirik” — apapun it u art inya.3 Juga

saat Randall Schw eller menolak t eori krit is Linklat er sebagai “ t eori f ant asi” dengan t anpa serius

mendebat elemen-elemen argumen sang t eorit isi Habermasian.4 At au saat Ann Tickner dengan

sent iment il menghardik Keohane dan pria-pria HI, “ kalian ‘t uh nggak akan ngert i!” — yang pada dirinya

sudah menut up kemungkinan pert ukaran pengert ian.5 St udi HI pun akhirnya harus berpuas dengan

f akt a ket idaksebangunan (incommensurabilit y) paradigmat ik dalam pelbagai t eori HI, yang not abene

kalau dilihat -lihat lagi bukanlah sekedar f akt a, melainkan lebih sekedar pembenaran unt uk

menghent ikan debat (kusir).6 Christ ine Sylvest er pun merat api hal serupa: st udi HI sekarang sepert i

sebuah bumi perkemahan yang luas yang mana set iap kemah paradigma diisi orang-orangnya sendiri

yang sedang asyik sendiri dengan jurnal, simposia, pelat ihan mereka sendiri.7 Tidak ada dialog di ant ara

mereka. Kalaupun ada, agenda dan arah perdebat annya pun sudah diat ur— yang di luar ini akan dipert anyakan “ mana HI-nya?” — seolah-olah yang bert anya sudah bisa menyelesaikan problem 100

t ahun ont ologi HI.8

Hal ini t idak lant as mengabaikan begit u saja pemikir-pemikir HI yang serius menyelami persoalan

ont ologi ini.9 Tapi t et ap saja, agenda disiplin dalam menent ukan ont ologi HI sebagaimana dicet uskan

1 Makalah singkat pemant ik diskusi dalam Kuliah Umum “ Marxisme dan Hubungan Int ernasional,” Depart emen Ilmu Hub.

Int ernasional, UGM & Inst it ut e of Int ernat ional St udies, UGM, Yogyakart a, 21 Okt ober 2016. Makalah masih dalam bent uk buram kasar, unt uk sit asi mohon hubungi penulis.

2 Penelit i di Koperasi Riset Purusha dan Edit or di Jurnal IndoProgress. Krit ik dan saran bisa disampaikan ke

hypolimpung@purusha.id.

3 Keohane, “ Int ernat ional Inst it ut ions: Tw o Approaches,” 1988. 4 Schw eller, “ Fant asy t heory,” 1999.

5 Tickner, “ You just don’t underst and,” 1997.

6 Lih. a.l.: Wight , 1996; Waever, 1996 dlm Smit h, Boot h, Zalew ski, 1998; Smit h, 2015 dlm Dunne, Kurki, Smit h, 2013. 7 Sylvest er, dlm. Zalew ski, et .al., “ Roundt able Discussion: Ref lect ions on t he Past , Prospect s f or t he Fut ure in Gender and

Int ernat ional Relat ions,” Millennium, 37, 1, 2008.

8 Sabarat nam, “ IR in Dialogue, but Can We Change Topic?,” 2011.

9 Alex Wendt , Social Theory of IP, 1999; Colin Wight , Agent s, St ruct ures and IR: Polit ics as Ont ology, 2006; Louiza Odysseos,

(2)

2

oleh E.H. Carr di Tw ent y Years’ Crisis pada 1946 t idak lagi dianggap pent ing. Malahan, kit a just ru melihat

dan mendengar perbincangan yang beredar di disiplin mengenai “ mat inya t eori HI” just ru dalam salah

sat u jurnal bergengsi HI.10 Banyak int erpret asi t ent ang f rasa ini, namun kurang lebih ia berbicara

mengenai kondisi acuh-t ak acuh para penst udi HI, mengenai bet apa HI saat ini banyak mengimpor

t eori dari disiplin lain t anpa mampu mengeskpor balik, t ent ang bagaimana bahkan t opik perdebat an

ont ologis seharusnya diformulasikan, t ent ang kemungkinan suat u disiplin t anpa t eori besar, dst . Set idaknya sat u hal lagi yang bisa kit a pet ik mengenai kelabunya port of olio disipliner HI: selain t idak memiliki ont ologi yang disepakat i bersama, ia juga t idak memiliki t eori yang sama-sama disepakat i

sebagai yang “ HI banget.” Lebih dari it u, hal-hal yang dulunya eksklusif dikaji oleh HI, kini juga dikaji

oleh penst udi-penst udi non-HI.11 Bat asan disipliner di HI seakan-akan amat lah t ipis dan bisa dit erabas

begit u saja oleh disiplin lain t anpa “ kulo nuwun.”12 Akibat nya— dan ini memalukan bagi para penst udi

HI— yait u bahwa cabang disiplin HI it u dit ut up sama sekali (jika bukan dikebiri), dan ini koment ar ini

dat ang dari ilmuwan polit ik dan dit ulis dijurnal paling bergengsi seluruh disiplin, Annual Review :

“ [ P] olit ical science should abandon t he subf ields of American polit ics, comparat ive polit ics, and international relations (IR), for new subf ields of conf lict , polit ical economy, inst it ut ions,

and behavior.”13

Gambaran kelabu lainnya juga diperoleh disiplin HI, kali ini dari pihak ekst ernal. Diskusi mengenai ‘kult us irelevansi’ sangat lah kencang di sini. St udi HI, lebih banyak berbicara mengenai hal-hal yang

t idak prakt is. Kit a masih bisa ingat bagaimana kont ribusi sarjana HI dalam, misalnya yang paling HI

banget , PLN AS pasca-9/11 amat lah minim dibandingkan dengan periode sebelumnya (perang dingin, misalnya). Begit u pula para sarjana HI yang didengar oleh pemerint ah AS semakin kalah dibandingkan

mereka-mereka yang dari Ilmu Polit ik cabang haw kish (Zbigniew Brzezinski, Fareed Zakaria dan

Thomas Friedman misalnya).14 Di disiplin pun juga t erus menerus hal ini diperdebat kan di bawah rubrik

“ bridging t he gap in IR Theory and policy-making” dan t ema-t ema sebangsanya. Seakan-akan st udi HI mengkaji f enomena yang bukan di dunia ini. Naiknya neorealisme klasik di st udi HI pasca-911 pun

simt omat ik akan hal ini.15 Nukleus t eorit ik realisme neoklasik adalah menjadikan HI sebagai salah sat u

subset st rat egi polit ik dalam suat u sirkuit khusus bernama ‘int er-nasional’ di ruang bernama ‘global’.16 (kit a akan kembali ke realisme neoklasik nant i). Poinnya adalah bet apa t idak bergunanya ref leksi sist emik mengenai hubungan ant ara ent it as polit ik berbasis t erit orial bernama negara berdaulat ,

Bef ore t he World, 2010; Sergei Prozorov, Ont ology and World Polit ics: Void Universalism I, 2013, unt uk menyebut beberapa yang menurut saya mendedikasikan keseriusan t ersendiri—ket imbang koment ar sambil lalu.

10EJIR, Special Issue: The End of Int ernat ional Relat ions Theory? Edit ed by Colin Wight , Lene Hansen and Tim Dunne, 19,

3, 2013.

11 Slot erdijk, Todorov, Nussbaum, Zizek, Badiou, Hardt -Negri, Anna Tsing, Sassen, Bruno Lat our, Harvey, Brenner,

Mezzadra, Mignolo, dst ., dsb. Tut up aja udah Dep. HI!

12 Kennet h Walt z, misalnya, raksasa di st udi HI namun namanya t ak t erdengar di disiplin lainnya. Coba bandingkan dengan

ant ropolog Marshal Sahlins yang secara capaian disiplinernya kurang lebih sama.

13 Dan Reit er, “ Should We Leave Behind t he Subf ield of Int ernat ional Relat ions?,” Annu. Rev. Polit . Sci. 18, 2015. Penebalan

dari penulis.

14 Lih. Nye, “ Scholars on t he Sidelines,” Washingt on Post , April 13, 2009.

15 Sejauh pembacaan saya, pengant ar t erbaik mengenai poin ini ada di: Jonat han D. Caverley, “ Power and Democrat ic

Weakness: Neoconservat ism and Neoclassical Realism,” Millennium, 38, 3, 2010 dan Benjamin Miller, “ Democracy Promot ion: Of f ensive Liberalism versus t he Rest (of IR Theory),” Millennium, 38, 3, 2010.

16 Lih. Brian M. Pollins & Randall L. Schweller, “ Linking t he Levels: The Long Wave and Shif t s in U.S. Foreign Policy, 1790-

(3)

3 dibandingkan kalkulasi rasional int ra-sist emik. Tidak sedikit pula yang bahkan mendakw a bahw a saat ini kit a t idak perlu lagi t eori. St ephen Walt menyesalkan hal ini walau ia t et ap t idak bisa melihat nya lebih dari sekedar persoalan insent if di dunia akademia— suat u jawaban yang sayangnya t idak HI banget.17 Di t anah air, t idak jarang kit a mendengar bet apa para prakt isi HI dan bahkan para sarjana HI menolak unt uk bert eori mengenai Asia Tenggara dan ASEAN. “ Teori-t eori HI sudah t idak relevan semua saat dihadapkan dengan dinamika Asia Tenggara,” demikian seorang Prof esor Riset dari salah

sat u lembaga penelit ian resmi pemerint ah yang saya dengar langsung.18 At au mungkin kit a bisa coba

bert aya kepada primadona diplomasi Indonesia t erbaru dan t ercant ik dan t erkini, Nara M asist a Rakhmat ia, kira-kira ia mendasarkan st at emennya it u dari t eori HI yang mana? (It upun kalau dia bisa membedakan t eori ilmiah dengan keyakinan idiologis normat if ). At au, coba lihat kembali semua t ulisan, karya, buku, ceramah orang-orang HI di Indonesia, di kampus, di lembaga t angki pemikir, dan

pert anyakan ini: apa yang membuat tulisan mereka tidak bisa juga dituliskan oleh orang-orang yang

berasal dari disiplin lain seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, hukum dan filsafat?

Singkat cerit a, menuju perayaan ulang t ahun cent ennial HI, kit a t idak cukup punya bahan unt uk dibanggakan kecuali t ingkat pembukaan jurusan/depart emen HI yang meningkat , gengsi ke-HI-an yang semakin meroket , dan publikasi di bawah label it u yang semakin penuh sesak. Sayangnya, it u semua didirikan di at as landasan ont ologis yang bukan hanya t idak kokoh, t api t idak pernah ada. St udi

HI saat ini harus puas dengan menjadi subf ield dari seluruh disiplin (coba perhat ikan perkembangan

pembukaan jurusan HI di Indonesia: di bawah st udi bisnis, st udi komunikasi, st udi hukum, dst .). Ia pun menjadi sangat generalis karena ia bisa mengisi dengan analisis apapun asal judul penelit iannya membawa-bawa “ global,” “ int ernasional,” “ t ransnasional,” dst . (Silakan cek semua riset yang dilakukan oleh Kement rian Luar Negeri, dan oleh para sarjana HI yang meriset unt uk organisasi-organisasi publik, swast a dan kement erian, dan anda akan menemukan percampuradukkan (eklekt ik) t eori dan met ode [ dan seringkali asumsi-asumsi normat if dan suudzon] dari berbagai disiplin yang sert a-mert a menjadi HI hanya karena ia: 1] t erjadi di negara lain, 2] melint asi bat as negara, dan 3] melibat kan lebih dari dua negara).

Tapi, apakah ada cara membuat HI menjadi ont ologis dan relevan? Taruhan saya jat uh pada jaw aban :

ada. Namun demikian sat u cat at an perlu disampaikan, yait u bahwa relevansi disipliner haruslah

dit urunkan dari int ernal disiplin it u sendiri, dan bukan dit ent ukan seenak jidat indikat ornya oleh pihak ekst ernal: pemerint ah, perusahaan, donor, LSM , organisasi, dst . Ia harus memiliki acuan-acuan jelas mengenai relevansi t eori-t eorinya dalam mencandra, menyikapi dan merespon dinamika perubahan

dalam realit as sosial secara ilmiah. Sepengalaman saya, ada t iga basis f ilosof is bisa yang membant u HI

unt uk ini, dan salah sat unya adalah marxisme.19 (Bahkan, dalam penelaahan lebih lanjut , ket iga basis

ini sebenarnya t idaklah t erpisahkan sat u sama lain unt uk menjadikan HI memiliki fondasi t eorit ik

mengenai unif ied realit y-nya. Yang t erakhir ini akan dibahas lain kali.)

17 Walt , “ Cut of Irrelevance,” Foreign Policy, April 15, 2009.

18 Saya dengan keras membant ah ini keras-keras dan menunjukkan bet apa argumen-argumen t olol cum malas sepert i ini

t idak hanya kont raprodukt if (bagi disiplin maupun pemecahan masalah), melainkan just ru by-product dari sist em dominasi. Lih. Hizkia Yosie Polimpung, " Ket erlibat an Akademik-Int elekt ual dalam Modus Kepemerint ahan Neoliberal (Kasus Int egrasi Keamanan ASEAN)," Prosiding Konvensi Nasional II Asosiasi Ilmu Hubungan Int ernasional Indonesia (AIHII), Universit as Muhammadiyah Malang, 8-10 Okt ober 2012.

19 Dua lainnya adalah genealogi Michel Foucault dan psikoanalisis Jacqes Lacan. Pert anggungan jawab saya mengenai

(4)

4

APA YANG DITANDAKAN OLEH LARISNYA NEOKONSERATISM E DAN REALISM E NEOKLASIK DALAM HI?

Secara penampakan— yi. di headline media, kasak-kusuk prakt isi dan pengambil kebijakan, t ren gosip

anak-anak HI, dan t ema penulisan akademik— jaw aban dari subjudul ini sederana: unilat eralisme AS, globalisasi, dan krisis global. Karena t ujuan t ulisan ini bukan menjaw ab secara mendet il argumen ini, maka saya coba berikan diagnosis dalam bent uk sket sa saja. Pent ing unt uk sejenak membahas ini karena akan sangat berdampak pada pengenalan urgensi marxisme it u sendiri. Secara umum dan secara t eorit ik, kedua isme ini memiliki pendekat an yang mirip, bahkan bisa dibilang sama. Yang

membedakan hanya sat u: neokonservat isme adalah pendekat an khas negara adidaya, sement ara

realisme neoklasik adalah peremajaan kembali realisme polit ik int ernasional unt uk memot ret f enomena unilat eralisme dan unipolarit as sist em. Neokons melihat bagaimana hubungan

int ernasional t idak ubahnya suat u st at ecraf t dari adidaya. Seluruh pet ualangan int ernasional adidaya,

mendapat kan just if ikasi di kepent ingan nasional. Klaim ini bisa menjadi klaim et is-normat if , maupun juga eksplanat if . Dengan kat a “ seluruh pet ualangan” hal ini mencakup mulai perang, kebijakan monet er, ret orika media, int ervensi humanit er, dan bahkan sampai pert ukaran budaya dan pemberian

beasisw a, semuanya in line dan secara t erint egrasi mendukung promosi kepent ingan nasional yang

berdimensikan int ernasional dari sang adidaya. Hal ini dilakukan dengan segala cara t ent unya: t he end

just if ies t he means.

Realisme neoklasik, pada gilirannya, melihat bat asan-bat asan t ingkat analisis sangat lah rapuh dan memang semest inya dit abrak unt uk memiliki st rat egi polit ik int ernasional yang jit u. Apa yang t erjadi

di level int ernasional, juga bisa bebarengan t erjadi bersama proses di t ingkat domest ik. Para neoklasik

sudah t ent u mencibir dikt um klasik Kissinger, “ f oreign policy begins w hen domest ic polit ics ends.”

Bahkan, proses di t ingkat domest ik bisa jadi mendet erminasi proses di t ingkat an int ernasional yang

not abene memiliki logika int ernalnya sendiri. M aksudnya, proses polit ik di t ingkat domest ik sangat dipengaruhi oleh ot orit as berdaulat ; sement ara di t ingkat int ernasional— dan ini membuat neoklasik t et aplah realis— dit ent ukan oleh mekanisme perimbangan kekuasaan di dalam kondisi anarki. Polit ik

domest ik, dengan demikian juga menginklusikan ref leksi dan perhit ungan mengenai logika

int ernasional ini di dalam perumusan manuver-manuvernya. M enjadi susah t erbedakan akibat nya ant ara : 1) int ernasionalisasi polit ik domest ik, dan 2) polit ik domest ik t ent ang urusan int ernasional. Barrier kedaulat an alhasil hanyalah persoalan t eknis bagi manuver polit ik. Penghargaan kedaulat an

t et ap dijunjung, namun penjunjungan t ersebut sudah masuk dalam kalkulasi.20

Apabila sudah t idak perlu dihargai, ya dit erabas saja. Hanya mereka-mereka yang cengeng dan naïf saja yang benar-benar

percaya bahw a memang ada kedaulat an di realit as HI. Neorealisme pun, di mat a realisme neoklasik

menjadi t ak ayal ABG yang baru belajar HI : lugu, polos dan nost algik.21

Perbedaan yang ont ologis dan mendasar ant ara kedua realisme adalah bahw a realisme neoklasik membuka t empurung sakral negara dan memberikan dimensi int ernasional bagi seluruh komponen di domest ik negara t ersebut . Neoklasik t et ap melihat perbedaan logika prosesual di set iap level, melainkan perbedaan it u hanya persoalan inst rument al saja yang sekedar perlu dicarikan cara mengakalinya. Dalam globalisasi, alhasil realisme neoklasik memiliki kerangka analisis yang kokoh unt uk melihat kesejajaran, misalnya, M NC dengan negara, LSM int ernasional dengan negara, Individu negara lain dengan perusahaan negara lain, dst . Alhasil, neoklasik t idak akan membagi-bagi disiplin sebagaimana Kennet h Walt z : psikologi polit ik (individual), ilmu polit ik (domest ik), HI (sist em

20 Lebih jauh, lih. Caverley, Ibid., 2010

(5)

5

int ernasional). Ket iga level ini ront ok semua di t angan neoklasik.22 Bukankah ini yang kit a lihat dengan

f enomena sepert i PSI (Prolif erat ion Securit y Init iat ive), WEF, TPP, TiSA, TTIP, dst . Uraian lebih lanjut bisa dibahas lain kali. Yang t erpent ing, harapannya sampai di sini kit a bisa menangkap semangat zaman di HI mengenai apa yang menjadi agenda disiplin dan polit ik dari suat u pendekat an yang memorak-porandakan t ingkat analisis dalam st udi HI primit if .

Jadi, apa jawaban bagi subjudul di at as? Sebelum menjawab, perlu dit ekankan bet apa neokons dan realisme neoklasik t idak akan mampu menjaw ab pert anyaan ini. Hal ini demikian karena sebagaimanapun kedua pendekat an ini menekankan pent ingnya sejarah dalam analisis mereka, t et ap saja mereka t idak mampu menyejarahkan proses int ernasional yang mereka akal-akali, dan bahkan proses-proses yang membuat pemikiran mereka it u laku. Dalam hist orisismenya, neokons dan neoklasik t et aplah ahist oris. Keduanya gagal membedakan analisis sejarah dan analisis kemenyejarahan. Analisis sejarah mereka t idak lebih dari sekedar mengambil hikmah dari

kejadian-kejadian “ big st ruct ures, large processes, huge comparisons,” 23 juga “ great men, monument al hist ory”24

t anpabisa menjelaskan mengapa semuanya bisa ada sebagaimana mereka ada— ini yang menjadi

kesibukan analisis kesejarahan: proses-proses yang menyebabkan t erjadinya suat u kejadian dan bukan kejadian lainnya. Analisis yang t erakhir inilah yang mampu diberikan oleh landasan mat erialisme hist oris dari marxisme.

Kit a akan kembali ke pembahasan marxisme sebent ar lagi. Namun sekarang masih ada pert anyaan menyempil unt uk dijaw ab yang akan kit a pakai sekaligus sebagai demo analisis marxian HI. Kemunculan dan larisnya neokons dan realisme neoklasik disebabkan karena pergeseran logika int ernasional sebagai respon t erhadap pergeseran susunan, pengorganisasian dan logika dari persoalan yang paling mendasar di dunia ant roposen dan ant roposent ris ini: yait u perubahan di cara orang mengupayakan penghidupannya (bekerja, berint eraksi dan berbudaya dalam rangka melest arikan hidupnya). Perubahan ini bisa dilacak dari kemunculan globalisasi, yang sendirinya bisa dilacak dari krisis ekonomi polit ik w elf aris dan krisis manajemen Fordisme di t ahun 60 dan 70-an. Singkat cerit a globalisasi berhasil membuat t idak hanya negara-bangsa, melainkan negara adidaya menjadi dipert anyakan kedaulat an dan kedigdayaannya. Soalnya, kedaulat an negara dan negara adidaya sangat dit ent ukan dari rapornya dalam menjaga dan melest arikan sist em lainnya (yi. sosial ekonomi; lebih khususnya: pasar) yang berkait an erat dengan penghidupan orang— karena jika t idak, orang t idak akan memberikan legit imasinya kepada negara. Tragedi Balkan, t erorisme, perompak, pemanasan global, bencana alam, kriminalit as siber, dst .: ini semua semakin membuat negara berdaulat menjadi t erpojokkan relevansi dan eksist ensinya. Inilah perubahan-perubahan kongkrit dan mat erial yang memksa t ransformasi logika kedaulat an dan logika pengorganisasian ent it as-ent it as berdaulat ini— yait u sist em int ernasiona.

Negara adidaya memiliki skenarionya sendiri. Ia merasa perlu unt uk menaklukan proses dan perubahan dan krisis di ranah-ranah non-negara. Globalisasi ikut memberikan corak dan f it ur lint as

bat as bagi krisis dan dinamika ini, yang pada gilirannya membuat sang adidaya juga harus memiliki f it ur

lint as-bat as— sesuat u yang t ent unya berkont radiksi dengan logika kedaulat an West phalia. Sehingga problem bagi negara adidaya adalah ini: bagaimana memiliki f it ur lint as-bat as kedaulat an negara sembari t et ap t ampak menghargai sist em West phalia. Sist em w est phalia ini t et ap perlu dijaga, pikirnya, karena t anpa sist em ini, ia t idak akan memiliki negara-negara unt uk dihegemoni, padahal

22 Lih. Miller, ibid., 2010.

(6)

6 adalah hegemoni ini yang selama ini memberi bahan bakar bagi kedigdayaan sang adidaya. Cukup dilemat is. Namun juga cukup f amiliar… karena persis problem inilah yang dijawab dengan t epat oleh

neokons dan realisme neoklasik. Kedua pendekat an ini, dengan demikian, juga adalah hasil dari proses

sejarah. Art inya, keduanya, jauh dari memberikan penjelasan, just ru menjadi sesuat u yang harus dijelaskan.

Kemunculan dan larisnya neokons-realis (nama saya unt uk kedua pendekat an) ini dit ent ukan dari proses-proses yang t erjadi jauh dari jangkauan lensa analisisnya, yait u pergeseran t ekt onik di ranah ekonomi dan sosial masyarakat — ranah yang berkait an dengan akt ivit as manusia dalam mencari, mengupayakan dan melest arikan penghidupan dan kehidupannya. Singkat cerit a, krisis sist em ekonomi polit ik w elf aris (model negara kesejaht eraan) dan krisis sist em pengorganisasian dan manajemen produksi Fordisme di t ahun 60 dan 70-an adalah yang melahirkan apa yang sekarang

disebut sebagai negara dengan kedaulat an neoliberal.25 Kini globalisasi juga balik mengondisikan

perubahan-perubahan di ranah yang kongkrit dan mat erial, dan sekali lagi membuat kedaulat an

negara dan negara adidaya t erpaksa (dan bukan sekedar f ree w ill) bert ransf ormasi lagi. Negara

adidaya, sebagai puncak rant ai makanan hubungan int ernasional, memiliki t ransf ormasinya sendiri kali ini. Kini ia harus kembali lagi menghidupkan logika kedaulat an imperial, namun demikian berbeda dari para pendahulunya (Iskandarisme, Caesarisme, Ot t omanisme, Tsarisme, Jengis Khan, dst .) yang disibukkan dengan ekspansi geograf is, kini logika imperial yang baru, karena sudah t idak ada lagi

geograf i unt uk dit aklukkan, aspek penguasaan ruangnya semakin merasuk ke relasi sosial,26 t ubuh,

t isu dan genet ik,27 bahkan jiw a28 dan jam t idur29! Inilah perubahan yang t erjadi di t ingkat an negara

adidaya, lebih t epat nya di t ingkat an logika kedaulat annya. (Hal ini bisa t erlihat culas di negara-negara yang hari ini adalah dan berusaha menjadi adidaya : AS, China, Ot t omanisme Turki, Neo-Eurasianisme Rusia di bawah Put in, dan …Indonesia?).

Di t ingkat an sist emik, kit a melihat t ransf ormasi sist em int ernasional West phalia ke sist em unipolar namun masih bernuansakan ke-West phalia-West phalia-an. Perbedaannya di sini: dalam sist em West phalia, negara berdaulat dianggap dan diperlakukan sebagai ent it as ot onom yang set ara. Sement ara dalam sist em imperial yang baru ini, ent it as negara lebih dilihat sebagai ent it as kelompok sosial di dalam masyarakat semat a, sebuah masyarakat yang berada di baw ah sat u negara global: sang imperium. Ini memang belum culas t erjadi, namun simt om-simt om logikanya sudah mulai nampak. M isalnya dalam PSI, AS bert indak t erang-t erang sebagai polisi global. Polisionalisme ini jelas menunjukkan bahw a bagi AS, seluruh dunia ini adalah w ilayah “ domest ik” -nya dan pendekat annya

adalah law enf orcement dan policional discipline—dan bukan perang! Perang hanya t erjadi di ant ara

ent it as berdaulat set ara. Namun demikian, bagaimana lant as kit a melihat perang-perang yang dilakukan AS? Sederhana: perang sipil di t eat er global. Saat pendekat an polisional dan hukum/diplomasi gagal, misalnya, mendisiplinkan Irak. M aka AS merasa bert anggungjaw ab unt uk menegakkan t at anan di kawasan, melindungi minorit as, dan … menyit a sumber daya. Lainnya,

25 Lih. Nicholas J.Kiersey, 'Neoliberal Polit ical Economy and t he Subject ivit y of Crisis: Why Government alit y is Not Hollow' , Global Societ y, 23, 4, 2009.

26 The Biopolit ics of Development ; Reading Michel Foucault in t he Post colonial Present - ed, Sandro Mezzadra, Julian Reid,

Ranabir Samaddar (2013)

27 Beyond Biopolit ics; Essays on t he Governance of Life and Deat h - eds., Pat ricia Ticinet o Clough and Craig Wilt se [ 2011];

The Care of Life; Transdisciplinary Perspect ives in Bioet hics and Biopolit ics - edit ed by Miguel de Beist egui, Giuseppe Bianco and Marjorie Gracieuse[ 2014]; Life as Surplus; Biot echnology and Capit alism in t he Neoliberal Era – Melinda Cooper, [2008] .

28 Franco Berardi, Soul at Work. Saya pernah mengulas buku ini: ht t p://indoprogress.com/2013/03/meret as-ot

onomi-t erhadap-kapionomi-t al-melampaui-anonomi-t i-depresan/

29 Jonat han Crary, 24/7: Capit alism and t he End of Sleep; lih. juga Erik Ringmar, “ Lucid Dreams, Perfect Night mares:

(7)

7 bukankah kerahasiaan TPP, TiSA dan TTIP menyerupai kongkalingkong pemerint ah, legislat if dan pengusaha di dinamika polit ik domest i kit a hanya saja t erjadi di dan berdampak secara gloabl? Bukankah kasus Panama Papers mengingat kan kit a t ent ang pengmplang-pengemplang pajak yang dilindungi penguasa, hanya saja kali ini t erjadi di dan berdampak secara global?

Efek dari logika perang sipil di teater global ini amat memprihatinkan bagi agenda pergerakan sosial karena seluruh pemberontakan, pergerakan, pergolakan perlawanan dan resistensi di seantero jagad ini lenyap dimensi politisnya. Pasalnya karena seluruh dunia ini dilihat oleh sang adidaya sebagai w ilayah domest iknya, maka seluruh hal yang t adinya polit is di dunia ini, seket ika menjadi t erdepolit isasi. Pemberont akan dan demo buruh menjadi persoalan kriminal; t erorisme menjadi persoalan et ika; krisis ekonomin menjadi persoalan psikologis (rakus, irasional, dst .); t idak ada polit ik di mat a sang imperial. Analisis bisa lebih lanjut lagi, namun set idaknya pembaca sekalian bisa merasakan sedikit nuansa perbedaan analisis mat erialis hist oris marxian dalam membaca f enomena yang juga dibaca oleh neokons-realis. Hanya saja, yang t erakhir ini pun juga mampu dijelaskan oleh

yang pert ama.30

ELEM EN-ELEM EN ANALISIS M ATERIALIS-HISTORIS DALAM STUDI HI

M erefleksikan demo analisis di at as, kit a bisa melihat sebenarnya bagaimana analisis di at as menjadi HI sekalipun t eori-t eori penunjangnya diimpor dari sana-sini. Analisis di at as menjadi analisis HI karena ia menjelaskan dinamika (kemunculan, krisis, transformasi) dari suatu sistem yang di dalamnya terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat yang tersusun sedemikian rupa, yait u khususnya, unt uk

sat u milenium t erakhir, sistem inter-nasional Westphalian yang tersusun dari entitas negara

berdaulat.31 Perbedaan analisis hist omat (hist orical mat erialist marxian) di at as dengan nekons-realis

adalah bahwa yang t erakhir ini menerima begit u saja sist em t ersebut t anpa mempert anyakannya at au

menyejarahkannya. Analisis hist omat , sebaliknya, bukan hanya melacak asal-usul dan pengondisian yang mengarahkan t ransf ormasi suat u sist em ke bent uk dan coraknya yang sekarang, melainkan ia

pun menjelaskan dan menyejarahkan keseluruhan body of w orks neokons-realis it u part and parcel

dengan realit as HI it u sendiri. Bagi analisis hist omat , kemunculan dan larisnya neokon-realis, jauh dari sekedar capaian disipliner, ia adalah f enomena HI t ersendiri. Pembaca yang f amiliar dengan int erdisiplinarit as akan segera sadar bahwa analisis di at as menggabungkan analisis polit ik, sosiologi

penget ahuan, sosiologi ekonomi, sosiologi polit ik, ekonomi polit ik, dan geopolit ik.32

Ket imbang melihat ini sebagai hal yang memalukan bagi HI sebagai disiplini (meminjam t eori),

sebaliknya, tanpa kerangka berpikir HI seluruh analisis ini hanya menjadi fragmen-fragmen yang

tidak memiliki hubungannya satu sama lain. Singkat cerit a, apabila dilakukan sendiri-sendiri dan t erpisah, bisa jadi kit a t idak akan pernah mendapat kan “ gambar besar yang mendet il” yang komprehensif mengenai realit as. Nat ur int erdisipliner, dengan demikian, adalah jiw a dari st udi HI it u

sendiri. Persis sepert i Hayek, “ someone w ho is only an economist is no economist .” Kit a bisa sedikit

simpulkan manuver ini: yait u dengan menyejarahkan f enomena amat an kit a dalam

30 Penjelasan yang mirip dengan yang barusan bisa dibandingkan dengan, mis. Hardt & Negri, bab “ Imperial Sovereignt y”

dlm. Em pire (2000); Tiqqun, Int roduct ion t o Civil War, [2010]

31 Lih.

32 Demo analisis lainnya juga saya t uliskan unt uk menyejarahkan secara mat erialis dan int erdisipliner kebijakan Jokow i-JK

(8)

8 perubahan di aras kongkrit dan mat erialnya yang mendet erminasikan perubahan sist em-sist em pengorganisasiannya (sosial, ekonomi, polit ik, dan int ernasional).

Int erdisiplinarit as ini amat dibut uhkan just ru karena landasan mat erialis dari pendekat an ini. M at erialisme yang dimaksud t idaklah sekedar melihat aspek t eknis dan aransemen kongkrit dari realit as, melainkan lebih melihat ket erperincian t eknis dan konkrit ini sebagai hasil dari proses-proses abst rak yang mendahuluinya yang seringkali t idak nampak (yi. direpresi). Proses-proses ini, karena t eknis dan konkrit , maka menyarat kan kit a unt uk berdialog dan berkonsult asi dengan disiplin-disiplin

yang memang mengkaji hal-hal t ersebut . Sepert i kat a M arx, “ [ t ] he concret e is concret e because it is t he

concent rat ion of many det erminat ions, hence t he unit y of t he diverse.”33 Di sini kit a bisa menempat kan secara lebih bert anggung-jawab dan ilmiah mengenai anggapan bahwa seorang penst udi HI haruslah sui generis. Tanpa w aw asan dan penget ahuan luas mengenai hal-hal yang t erjadi di aras mat erial, maka sudah past i analisis kit a menjadi sesuat u yang ahist oris, lugu, polos dan nost algik. Harus diakui, demi

mempercepat unt uk sampai ke dimensi HI-nya, analisis di at as memang men-skip penjelasan mengenai

bagaimana globalisasi mengubah hal-hal t eknis dan konkrit di realit as. Namun t et ap dit unjukkan bet apa t anpa analisis mat erial ini, kit a t idak akan memiliki bahan unt uk dikerangkakan secara HI.

Hal lain mengenai pent ingnya int erdisiplinerit as adalah karena aspek-aspek t eknis dan konkrit t adi saling memengaruhi sat u sama lain. Saling memengaruhi ini juga t idak t erjadi begit u saja secara liar.

Sekalipun nampak kaot is, yang mana kejadian bisa “ move st raight f rom impossible t o inevit able,

w it hout ever passing t hrough improbable,”34namun sebenarnya ia juga t erst rat if ikasi. Membayangkan

kesat uan kaos dan st rat if ikasi ini cukup menilik prakt ik berint ernet kit a: unt uk bisa masuk ke dalam dunia int ernet yang sangat kaot is, kit a harus memasukinya melalui sist em DNS yang sangat hirarkis. Demikian dengan realit as HI, unt uk bisa melihat fenomena HI sebagai suat u yang kaot is dan anarkis (baik dalam art ian realis, maupun dalam art ian umum), kit a harus t ersit uasikan dalam srat if ikasi sosial yang juga t erbagi-bagi berdasarkan pengkelasan ekonomi. St rat if ikasi sosial ini nant inya memengaruhi kekuat an dan daya jangkau manuver-manuver polit ik kit a. Kesuksesan orang mendominasi secara

polit ik memungkinkan ia unt uk mengupayakan kepent ingannya di sphere int ernasional. Cat at an

t eramat pent ing di sini, dan sekaligus mengapa neokons-realis t et ap perlu menjadi bacaan w ajib penst udi HI, adalah bahwa proses-proses ini t idak melulu t erjadi hanya di sat u lingkup bat as t erit orial t ert ent u, dan t idak harus mensyarat kan prosedur pelint asan bat as yang resmi (negara berdaulat , diplomasi, mult ilat eralisme, dst .). Sederhananya, perubahan bisa menjadikan apa saja, namun ia t idak t erjadi begit u saja.

Permasalahannya, dengan kemungkinan yang sangat myriad ini, mungkinkah unt uk mendapat

jaw aban yang f inal akan suat u f enomena? Jaw abannya: t ent u saja t idak! Namun demikian, ket imbang menrik kit a menjadi f at alis dan membuang t eori HI, hal ini just ru menjadi t eorisasi it u sendiri menjadi hidup dan t erus berkembang. Temuan-t emuan baru dengan mengimplikasikan t emuan baru dari disiplin lain, dan kemudian dikerangkakan ke HI, hal ini akan memajukan capaian disiplin HI it u sendiri. Sekalipun t idak f inal, hal ini t idak lant as membuat sang penst udi berhent i bert eori, at au sembrono

secara met ode. Sebaliknya, set iap analisis harus mengkalim unt uk menjadi t he best plausible

explanat ion dibandingkan analisis-analisis yang sudah ada. Imperat if ini dengan sendirinya membuat st udi HI unt uk menjadi selalu relevan dengan realit as dan dinamikanya. Ia harus mampu menjawab t ant angan dan problem zamannya yang not abene menjadi rekan dialognya dalam bert eori.

33 Marx, dlm. Grundrisse, h. 101.

(9)

9 Sampai di sini kit a bisa mengevaluasi orang mengenai problem “ relevansi disipliner." Relevan menurut siapa ? Siapa yang diunt ungkan dari relevansi ini ? Inilah mengapa diagnosis t ersohor dari Robert Cox “ t heory is alw ays f or someone and f or some purpose” haruslah diaf irmasi dan diakselerasi lebih lanjut . Diaf irmasi: ya, bahwa t eori akan selalu part ikular dan part isan. Diakselerasi : karena t eori akan selalu part ikular dan part isan, maka harus dipast ikan bahw a ia t idak akan mengunt ungkan pihak yang hendak kit a lawan. Ia mengakselerasi dalam art ian bahw a dengan berangkat dari problem dan perspekt if yang part ikular, suat u t eori dan analisis berangkat unt uk mengklaim suat u kebenaran obyekt if dan part ikular. Persis sepert i analisis hist omat di at as mengopt imalkan akumulasi penget ahuan yang

diket ahuinya, dan menuju aspek yang universal, yait u t eori besar (grand t heory) mengenai sist em dan

proses int ernasional hari ini (imperialisme baru [ sist em] plus logika perang sipil global [proses] ). Akselerasi seruan Cox akhirnya bisa menjadi semacam et ik baru bagi penst udi HI : penst udi HI adalah para pemecah masalah-masalah yang ia ajukan sendiri melalui prosedur saint if ik.

Sekalipun berasal dari part ikular dan keberpihakan, hal ini t idak lant as membuat analisis menjadi t idak

bisa obyekt if . Obyekt ivit as di dapat saat suat u t eori menyasar hasil akhir sebagai t he best plausible

explanat ion t o dat e. Ef eknya, sekalipun secara t eorit ik seseorang t idak mengident if ikasi dirinya dengan sang t eori, t et ap saja ia t idak mampu membant ah at au menyalahkan t eori t ersebut karena ia adalah jaw aban t erbaik yang ada. Hal ini sekaligus menyorot i aspek saint if ik dari pendekat an hist omat

marxisme: ia saint if ik karena sekalipun anda bukan seorang marxis, anda t et ap bisa sampai pada hasil

analisis sepert i ini dan mengklaim kebenaran at asnya.

ONTOLOGI PINJAM AN

Kegagalan neokons-realis dalam menyejarahkan obyek st udi dan dirinya sendiri sebenarnya menunjukan hal lain t erkait bat asan, demarkasi dan ont ologi st udi HI t radisional. Sekalipun nampaknya ia memiliki t eori dan konsepnya sendiri— yang juga bukan t idak mungkin dicipt akan analisis hist omat — namun kasihannya ont ologi HI yang dipakainya adalah barang pinjaman. Jika kit a ingat -ingat kembali mengenai pert aut an polit ik domest ik dan sist em int ernasional dalam neokons-realis, maka sebenarnya yang dilakukan just ru memperluas demarkasi ont ologis ilmu polit ik ke ranah int ernasional. Int ernasional, yang t adinya memiliki logikanya sendiri (anarki, kat a realis klasik dan neo), kini menjadi t ersubjugasi oleh logika polit ik domest ik—t ert at a di baw ah ket iak sang berdaulat . Apa yang mereka

sebut “ HI” sebenarnya t idak lain dari sekedar cabang dan t urunan dari ilmu polit ik.35 Namun jangan

salah. Inilah yang sebenarnya t erjadi di seant ero disiplin, hampir seluruh t eori HI berlandaskan ont ologi barang pinjaman. Teori inst it usionalisme liberal misalnya, mengekst ensikan t eori pilihan rasional dalam ekonomi behavior ke HI. Teori krit is, mereka menjadikan st udi HI t ak ubahnya cabang dari cult ural st udies. Begit u pula konst rukt ivisme, kit a t idak bisa membedakan ilmu linguist ik dengan analisis kebijakan luar negeri. It ulah mengapa sebagaimana dit ekankan di at as, menganalisis kejadian di negara lain, at au f enomena lint as bat as, at au perist iw a yang melibat kan dua negara at au lebih, t idak lant as menjadikan suat u analisis bercorak HI. Tidak juga saat kit a membahas t ema-t ema yang konon adalah monopoli HI: perang, damai, diplomasi, dst .

M elalui t ulisan kali ini t elah coba dit unjukkan mengenai kemungkinan-kemungkinan

mengonst ruksikan ont ologi HI dengan menggunakan landasan f ilosof is dari hist omat marxisme.

35 Uniknya simpulan serupa juga dihasilkan oleh para pascamodernis HI dalam kebingungan mereka, yang pada gilirannya

membuat mereka juga t idak lebih dari sekedar modus beroperasinya kekuasaan imperial secara akademik. Lih. R.B.J. Walker,

(10)

10 M elalui hist omat ini, HI menjadi mungkin unt uk memiliki ont ologinya sendiri. Tujuan dari pencarian

ont ologi ini bukan semat a-mat a menegakkan demarkasi disiplin—w hich is adalah hal yang pent ing

unt uk menyambut HUT cent ennial HI :p— t erlebih dari ini, HI bisa memiliki kont ribusinya yang spesif ik yang t idak bisa dikerjakan disiplin lainnya dalam merespon, menyikapi dan bahkan ment ransformasikan realit as. Inilah yang bisa diberikan marxisme sebagai sebuah f ilosof i kepada st udi HI.

Lalu sekarang apa yang bisa diberikan HI bagi marxisme? Apa t emuan-t emuan HI yang bisa memperkaya perdebat an dan t eorisasi-t eorisasi di dalam marxisme? Apa sumbangsih t emuan-t emuan analisis HI hist omat bagi, misalnya, t eori nilai kerja, t eori krisis, t eori imperialisme, t eori eksploit asi, t eori kelas, t eori harga, dst . Beberapa sudah dilakukan oleh penst udi HI, dengan kesuksesan yang

bervariasi, misalnya dalam menjelaskan t eori ket impangan pembangunan,36 t eori globalisasi,37 t eori

negara,38 t eori nilai,39 t eori t ransisi agraria,40 t eori modus produksi asiat ik,41 dan t eori imperialisme,42

unt uk menyebut beberapa. Hal ini mereka lakukan dengan membaw a t emuan-t emuan analisis mereka

masuk ke perdebat an t eorit ik yang ada di marxisme.43 Kali ini, kit a akan menjumpai ont ologi yang

berbeda, yait u ont ologi marxisme it u sendiri.

Sebagai suat u aliran pemikiran, marxisme memiliki ont ologinya sendiri. Ont ologi yang mana membuat

suat u analisis marxis menjadi marxis. Sepemahaman saya ada dua, secara f ilosof is dan secara t eorit ik.

Secara f ilosof is, marxisme mengkaji pembent ukan realit as dengan melihat nya sebagai hasil dari abst raksi banyak proses mat erial t ak nampak yang mendahuluinya dan yang mengondisikannya, yang saling berint eraksi secara dialekt is dalam kont eks spasio-t emporal spesif ik. It ulah mengapa f ilsafat marxisme adalah mat erialisme dialekt is dan mat erialisme hist oris (orang banyak suka menyebut nya M DH, mat erialisme, dialekt ika, hist oris). Di t ingkat an t eorit ik, ont ologi t eori marxis adalah pembent ukan realit as sosial (t ermasuk HI di dalamnya) dengan melacaknya dari dinamika eksploit at if dalam proses pengorganisasian kehidupan (yi. polit ik) berdasarkan akses t erhadap sarana-sarana penghidupan (yi. ekonomi). Cat at an pent ing di sini, dengan t et ap berlandaskan hist omat , eksploit asi

di sini sama sekali t idak diart ikan secara moralis, melainkan ia adalah hasil dari proses-proses yang

mat erial. Singkat cerit a, eksploit asi di sini dilihat M arx sebagai konsekuensi t ak t erelakkan dari penguasaan aspek-aspek produkt if yang berimbas pada relasi sosial yang membagi-bagi manusia berdasarkan akses, kepemilikan dan ot onominya dalam berproduksi dan mengupayakan penghidupannya (pembagian ini yang menjadi dasar bagi ‘kelas’ dalam art ian M arx). Penat aan aspek produkt if secara polit is (dan seringkali milit eris dan premanis) ini yang kemudian membent uk masyarakat kapit alis, yang di dalamnya hukum kepemilikan privat berlaku.

36 Alex Callinicos and Just in Rosenberg, “ Uneven and combined development : t he social-relat ional subst rat um of ‘t he

int ernat ional’? An exchange of let t ers,” CRIA, 2008.

37 Hannes Lacher, Beyond Globalizat ion: Capit alism , t errit orialit y and t he int ernat ional relat ions of m odernit y, (2006). 38 Benno Teschke, The Myt h of 1648: Class, Geopolit ics, and t he Making of Modern Int ernat ional Relat ions (2003) 39 Alejandro Colas, “ The Value of Territ ory Tow ards a Marxist Geopolit ics,” 2011.

40 Benno Teschke, " Bourgeois Revolut ion, St at e Format ion and t he Absence of t he Int ernat ional," 2005.

41Alexander Anievas & Kerem Nişancıoğlu, “What's at Stake in the Transition Debate Rethinking the Origins of Capitalism and the 'Rise of the West',” 2013; Kerem Nişancıoğlu, “The Ot t oman origins of capit alism uneven and combined development and Eurocent rism,” RIS,2014; Alexander Anievas & Kerem Nişancıoğlu, How t he West Cam e t o Rule: The Geopolit ical Origins of Capit alism (2015).

42 Pet er Gowan, The Global Gam ble; Washingt on's Faust ian Bid f or World Dominance (1999) dan A Calculus of Pow er: Grand

St rat egy in t he Tw ent y-First Cent ury (2010)

(11)

11 Eksploit asi, dalam masyarakat kapit alis, t erjadi di t ingkat an proses kerja. Sekali lagi, proses kerja— dan bukan persoalan moral et is. Proses kerja berbicara mengenai proses-proses yang mana t enaga kerja t ermat erialisasikan ke dalam komodit as yang memiliki nilai. Proses kerja dalam kapit alisme menjadi eksploit at if karena t erjadi hasil kerja dari buruh t idak dikembalikan seut uhnya, melainkan dit ukar dengan sesuat u yang lain— upah— set urut dengan perhit ungan yang lain pula, yait u jam kerja.

Singkat nya, dari selisih yang disebabkan mismat ch alat ukur ini memungkinkan para kapit alis pemilik

modal mampu mengekst rak nilai lebih dari proses kerja, yi. meraup prof it . Inilah t ant angan bagi HI yang hist omat , yait u bagaimana hasil analisis dan t eorisasinya mampu memberikan implikasi (krit is, dekonst rukt if at au alt ernat if ) bagi problem eksploit asi yang t erjadi karena ekst raksi nilai lebih. Bagaimana mengorelasikan eksplorasi analit ik disekit ar problem ‘int ernasional’ yang menjadi ont ologi HI, dengan perdebat an-perdebat an t eorit ik dalam marxisme. Beberapa upaya sudah coba dilakukan

oleh para HI-ers muda sepert i Benno Teschke,44 Alejandro Colas,45 Alexander Anievas,46 Kerem

Nişancıoğlu,47 Vasilis Vouskas dan Bulent Gokay,48 dan Nick Srnicek49. Namun demikian, dibandingkan pembahasan-pembahasan yang sekedar mengaplikasikan t eori-t eori marxis ke HI (yang seringkali,

karena t idak aw are dengan basis t eori nilai M arx, membuat nya t erperosok malah menjadi " bourgeois

science"), agenda riset ini jelas amat sangat minor. Art inya, t erbuka lebar bagi misalnya, HI mazhab

Bulak Sumur unt uk berkont ribusi. [HYP]

44 Benno Teschke, " Bourgeois Revolut ion, St at e Format ion and t he Absence of t he Int ernat ional," 2005. 45 Alejandro Colas, “ The Value of Territ ory Tow ards a Marxist Geopolit ics,” 2011.

46 Alexander Anievas, peny., Cat aclysm 1914: The First World War and t he Making of Modern World Polit ics (2015). 47Kerem Nişancıoğlu, “The Ottoman origins of capitalism: uneven and combined development and Eurocentrism,” RIS,

2014.

Referensi

Dokumen terkait

Reformasi hukum atas badan hukum dapat dilihat dari dua tonggak sejarah badan hukum, yakni pertama saat lahirnya teori badan hukum yang menitikberatkan pada personifikasi

sebuah bidang yang amat vital bagi perusahaan, ibaratnya pemasaran adalah ruh bagi.. mati hidupnya suatu

[r]

[r]

Toman, et al., [7] compared between various lemmatization and stemming algorithms using English and Czech datasets to examine the influence of the word normalization on

(1) Hasil perikanan dari Negara Jepang yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan dikirim melalui negara ketiga, wajib disertai Pernyataan

refleksi terhadap strategi metode dan media pembelajaran yang telah dilakukan, apakah sudah tepat bagi siswa2. refleksi terhadap pembentukan kelompok belajar, apakah perlu

Tempat : Sekretariat Panitia Pengadaan Barang/Jasa Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Belitng. Demi kelancaran proses klarifikasi dan pembuktian kualifikasi,