Pemanfaatan Argumen Informal Dalam Kerangka Pendekatan Saintifik Untuk Membantu Siswa SMA Melakukan Transisi ke Bukti Formal
Oleh
Hasan Hamid (hasan.hamid66@gmail.com)
Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Khairun
(Sub Tema: Strategi Pembelajaran Dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013)
Abstrak
Memahami dan mengkonstruksi bukti dari suatu lemma, teorema, akibat dan proposisi adalah salah satu pekerjaan yang sangat sulit, yang selalu dirasakan oleh siswa, mahasiswa maupun para matematikawan. Kesulitan ini pula yang sering dirasakan oleh para siswa dalam memahami bukti maupun mengkonstruksi bukti pada materi yang memerlukan proses pembuktian, untuk itu maka perlu dilakukan strategi dalam melakukan suatu pembuktian dengan memanfaatkan argumen informal yang didisain sesuai dengan kerangka pembuktian yang logis. Pemanfaatan informal argumen yang terdisain secara logis diharapkan menjadi transisi ke bukti formal, sehingga bisa membantu siswa dalam memahami bukti dan mengkonstruksi bukti. Disamping strategi yang didisain, maka pendekatan saintifik dalam pembelajaran memahami bukti dan mengkonstruksi bukti sangatlah dibutuhkan.
Kata Kunci: Argumen informal, bukti formal, transisi ke bukti formal, pendekatan saintifik.
A. Pandahuluan
Griffiths (dalam Weber, 2003) menyatakan bahwa bukti matematik adalah
suatu cara berpikir formal dan logis yang dimulai dengan aksioma dan bergerak
maju melalui langkah-langkah logis sampai pada suatu kesimpulan. Yang
dimaksud logis di sini, adalah semua langkah pada setiap argumen harus
dijustikasi oleh langkah sebelumnya. Menurut Healy dan Hoyles (Chen & Lin,
2009), bukti dalam matematika adalah jantung pemikiran matematika dan
penalaran deduktif. Sedangkan menurut (Yuanqian Chen, 2008) bukti adalah
langkah-demi-langkah yang mendemonstrasikan suatu pernyataan yang valid,
Selden dan Selden (Lee & Smith, 2009) menegaskan bahwa bukti dapat dianggap
sebagai bentuk khusus dari argumentasi di mana logika deduktif bertindak sebagai
2014) mendefinisikan bukti sebagai rangkaian implikasi logis yang menghasilkan
validasi teoritis dari suatu pernyataan. Bukti menurut Educational Development
Center (2003) adalah suatu argumentasi logis yang menetapkan kebenaran suatu
pernyataan. Menurut Hoyles (Armawa 2006), Kegiatan pembuktian dalam
matematika berperan sebagai metode uji untuk pengetahuan matematika yang
terpercaya, yang berbeda dengan metode induktif yang diterapkan dalam bidang
ilmu pengetahuan alam.
Untuk memahami bukti sangatlah terkait dengan gaya bahasa yang
digunakan dalam pembuktian, apabila tidak memahami gaya bahasa yang terdapat
dalam pembuktian akan menyulitkan peserta didik dalam pembuktian. Memahami
bukti dapat diartikan memahami bagaimana sistematika bukti itu dikemukakan,
dan dapat mengungkapkan kembali bukti tersebut dengan pemahaman dan gaya
bahasa peserta didik. Ketidakmampuan memahami bukti ini terlihat ketika mereka
harus mengkonstruksi bukti sebuah pernyataan atau teorema matematika dengan
pemahaman dan gaya bahasa mereka sendiri. Walaupun dalam contoh-contoh
pembuktian dari pernyataan dan sifat-sifat pada beberapa materi matematika di
kelas XI kelompok matematika peminatan telah diperkenalkan pembuktian, dan
ini sejalan dengan kompetensi dasar 3.12 dalam KI 3 dan kompetensi dasar 4.9
dalam KI 4 (Permendikbud No.59 Tahun 2014), namun penyederhanaan dalam
mengkonstruksi langkah-langkah pembuktian belum terlihat penjelasan dari setiap
premis-premis yang dipilih, inilah yang akan menyulitkan siswa memahami dan
mengkonstruksi kembali bukti tersebut.
Secara eksplisit disadari bahwa masalah pembuktian ini masih belum
banyak mendapatkan perhatian dalam pembelajaran di sekolah menengah atas
(SMA). Menurut Maya dan Sumarmo (2009) pembelajaran di sekolah menengah
masih lebih menekankan pada bagaimana memahami suatu konsep, menerapkan
konsep tersebut dalam contoh, dan kemudian mengerjakan soal latihan yang
berkaitan dengan konsep tersebut, yang tidak jauh dari contoh soal yang sudah
diberikan. Dengan kata lain bahwa peserta didik masih terbiasa menganalogikan
ini mengakibatkan peserta didik menjadi kesulitan mengerjakan soal latihan yang
berbeda dari contoh soal apalagi soal-soal menyangkut pembuktian. Untuk itu
maka perlu dipikirkan strategi lain yang dapat memberikan kemudahan kepada
peserta didik, strategi tersebut diantaranya pemotongan (chunking) dengan
pengkategorian/pengkodean dan alasan baik itu berupa pernyataan atau teorema
dalam melakukan pembuktian, pemotongan (chunking) ini bisa diasumsikan
sebagai argumen informal menuju bukti formal, inilah salah satu langkah agar
peserta didik mampu memahami bukti dan mengkonstruksi bukti yang diinginkan.
Kemampuan pembuktian matematika telah ditegaskan oleh Sumarmo
(2011) terbagi dua yakni: (1) Kemampuan membaca bukti yaitu kemampuan
menemukan kebenaran atau kesalahan dari suatu pembuktian serta kemampuan
memberikan alasan setiap langkah dalam pembuktian. (2) kemampuan
mengkontruksi bukti yakni kemampuan menyusun suatu bukti pernyataan
matematik berdasarkan definisi, prinsip, dan teorema serta menuliskannya dalam
bentuk pembuktian lengkap (pembuktian langsung atau tidak langsung). Hal ini
juga terkait dengan indikator kemampuan pembuktian, Sumarmo (2011)
menjelaskan bahwa kemampuan pembuktian dalam matematika meliputi: (1)
mengidentifikasi premis bersama implikasinya dan kondisi yang mendukung, (2)
memvalidasi bukti, yakni mengorganisasikan dan memanipulasi fakta untuk
menunjukkan kebenaran suatu statement bukti, dan (3) membuat koneksi antara
fakta dengan unsur dari konklusi yang akan dibuktikan.
B. Pendekatan Saintifik Dalam Pembelajaran Matematika
Dalam panduan pembelajaran berbasis kompetensi mata pelajaran
matematika kurikulum 2013 ditegaskan bahwa: Model pembelajaran yang
diperlukan adalah yang memungkinkan terbudayakannya kecakapan berpikir
sains, terkembangkannya “sense of inquiry” dan kemampuan berpikir kreatif
siswa (Alfred De Vito, 1989). Model ini lebih menekankan pada bagaimana
peserta didik dilibatkan secara aktif memperoleh pengetahuan, dan dipandang
sebagai subjek belajar sedangkan guru hanyalah sebagai fasilitator, sehingga
konsep, dan nilai-nilai baru yang diperlukan untuk kehidupannya. Proses
pencarian pengetahuan yang berkenaan dengan materi pelajaran matematika inilah
yang perlu dilatih sebagai suatu aktivitas proses sains sebagaimana dilakukan oleh
para ilmuwan (scientist).
Dijelaskan juga bahwa fokus proses pembelajaran diarahkan pada
pengembangan keterampilan siswa dalam memproseskan pengetahuan,
menemukan dan mengembangkan sendiri fakta, konsep, dan nilai-nilai yang
diperlukan (Semiawan: 1992). Hal ini sejalan dengan konsep pembelajaran
berbasis keterampilan proses sains yang dikemukaka oleh (Houston, 1988) bahwa
pembelajaran berbasis keterampilan proses sains yang lebih menekankan pada
kemampuan peserta didik dalam menemukan sendiri (discover) pengetahuan yang
didasarkan atas pengalaman belajar, hukum-hukum, prinsip-prinsip dan
generalisasi, sehingga lebih memberikan kesempatan bagi berkembangnya
keterampilan berpikir tingkat tinggi.
C. Pemanfaatan Argumen Informal dalam Mengkonstruksi Bukti Formal
Matematika sebagai ilmu pengetahuan dengan penalaran deduktif
mengandalkan logika dalam meyakinkan akan kebenaran suatu pernyataan. Faktor
intuisi dan pola berpikir induktif banyak berperan pada proses awal dalam
merumuskan suatu konjektur (conjecture) yaitu dugaan awal dalam matematika.
Proses penemuan dalam matematika dimulai dengan pencarian pola dan struktur,
contoh kasus dan objek matematika lainnya. Selanjutnya, semua informasi dan
fakta yang terkumpul secara individual ini dibangun suatu koherensi untuk
kemudian disusun suatu konjektur. Setelah konjektur dapat dibuktikan
kebenarannya atau ketidakbenaranya maka selanjutnya ia menjadi suatu teorema.
Pernyataan-pernyataan matematika seperti definisi, teorema dan pernyataan
lainnya pada umumnya berbentuk kalimat logika, dapat berupa implikasi,
biimplikasi, negasi, atau berupa kalimat berkuantor. Operator logika seperti and,
Penelitian tentang kemampuan pembuktian seperti Garuti et al, 1996;
Raman, 2003; Weber & Alcock, 2004 (Zhen, Pablo & Weber, 2013)
menganjurkan bahwa untuk menuliskan bukti formal secara ketat (rigorous),
setidaknya didasarkan pada argumen informal, meskipun tidak valid untuk
menyimpulkan sifat-sifat tentang konsep dengan pemeriksaan contoh tunggal
atau diagram konsep, wawasan yang diperoleh dari mempelajari diagram atau
contoh dapat menyarankan sifat yang mungkin benar dan berguna untuk
membangun bukti yang sah.
Dalam beberapa tahun terakhir, literatur tentang pendidikan matematika
telah bergerak/memulai untuk merekomendasikan bahwa bukti-bukti dasar dari
siswa dijadikan penjelasan informal dan telah mulai menganalisis jenis argumen
informal yang siswa dapat dan tidak dapat memformalkan ke bukti-bukti formal,
misalnya, Alcock & Weber, 2010; Pedemonte, 2007; Pedemonte & Reid, 2011
((Zhen, Pablo & Weber, 2013).
Dalam logika dan filsafat, argumen adalah suatu usaha untuk membujuk
seseorang dari sesuatu, dengan memberikan alasan untuk menerima kesimpulan
tertentu sebagai bukti. Argumen merupakan serangkaian pernyataan yang
mempunyai ungkapan pernyataan penarikan kesimpulan (Anonim). Dalam
argumen terdapat kata-kata seperti: Jadi, maka, oleh karena itu, dsb. Argumenter
diri dari pernyataan yang terbagi atas 2 kelompok, yaitu; Pernyataan sebelum kata
“jadi” yang disebut premis dan kelompok lain yang terdiri atas satu pernyataan
yang disebut konklusi.
Menurut Stylianides (Zhen, Pablo & Weber, 2013) bahwa argumen harus
memenuhi tiga standar untuk memenuhi syarat sebagai bukti yakni (i) penggunaan
inferensi yang berlaku, (ii) harus didasarkan pada fakta-fakta yang adalah benar
dan dapat diterima, dan (iii) menggunakan representasi yang sesuai, baik untuk
yang mengamati bukti dan komunitas matematika yang lebih luas.
Argumen informal sebagaimana dipelajari dalam logika formal, disajikan
argumen formal dipelajari dalam logika formal (sering disebut logika simbolik,
atau logika matematika) dan disajikan dalam bahasa formal.
Menurut Aberdein (2008) logika informal berkaitan dengan semua aspek
inferensi, termasuk yang tidak dapat ditangkap oleh bentuk logis. Selanjutnya
dijelaskan oleh Van Bendegem dan Van Kerkhove (2008) yakni bahwa
matematika memang sekitar bukti formal, tetapi argumen informal tetap dapat
berperan di dalamnya. Induktif, probabilistik, komputerisasi, visual, intuitif,
analogis atau model penalaran metafora adalah salah satu kandidat.
Selanjutnya akan dikemukakan konsep pengkategorian pemotongan
(chunking), potongan bisa merujuk ke kalimat, kelompok kata, atau bahkan satu
kata, tapi selalu mengacu pada unit yang berarti dalam bukti, proses pemotongan
(chunking) pembuktian ini diadopsi Milos Savic (2012) yakni:
Inferensi Informal (II) adalah kategori yang mengacu pada sepotong bukti yang
tergantung pada penalaran akal sehat. Sementara kesimpulan resmi tidak
mencerminkan sebuah contoh logika, ketika seseorang tergantung pada akal sehat,
kita melakukannya secara otomatis dan tidak membawa ke pikiran logika formal.
Misalnya, diberikan, kita dapat menyimpulkan dengan penalaran akal sehat, tanpa
perlu memanggil logika formal.
Logika formal (FL) proses pembuktian berdasarkan kerangka dari Modus
Tollens dan Hukum DeMorgan.
Definisi (DEF) mengacu pada sepotong dalam bukti yang menyerukan definisi
istilah matematika.
Asumsi (A) adalah kode untuk sepotong yang menciptakan/memperkenalkan
objek matematika atau mengasumsikan sifat dari sebuah objek dalam bukti.
Kategori ini dibagi lagi menjadi dua subkategori: "Pilihan" dan ". Hipotesis"
Asumsi (pilihan) mengacu pada pengenalan simbol untuk mewakili suatu objek
(sering tetap, tapi bisa berubah-rubah) tentang mana sesuatu akan terbukti - tapi
tidak asumsi sifat tambahan yang diberikan dalam hipotesis. Sebaliknya, Asumsi
(hipotesis) mengacu pada asumsi hipotesis dari teorema atau argumen (sifat
Referensi Interior (IR) adalah kategori untuk sepotong dalam bukti yang
menggunakan sepotong sebelumnya sebagai keyakinan untuk kesimpulan.
Kategori lain yang diamati dan dihitung adalah: Aljabar (ALG) adalah kategori
untuk setiap aljabar komputasi dilakukan dalam sepotong bukti.
Sebuah potongan yang merangkum kesimpulan dari teorema atau argumen
disebut pernyataan kesimpulan (C)
Sebuah potongan yang menyatakan kesimpulan dari bukti atau argumen dengan
kontradiksi dikategorikan sebagai pernyataan kontradiksi (CONT).
Sebuah pembatas (D) adalah kata atau kelompok kata yang menandakan awal
atau akhir dari sebuah subargumen. Hal sesuai yyang disampaikan oleh Konior
(1993), yang menggambarkan pembatas (yang juga disebut delimitators) sebagai
"tanda-tanda batas beberapa segmen teks, sangat sering dimasukkan dengan cara
yang halus ke dalam matematika 'singkatan' dari teks bukti. Pembatas umum
termasuk "sekarang," "selanjutnya," "pertama," "terakhir," "kasus 1," "dalam
kasus kedua," "bagian," ", "", "kasus dasar" (dalam induksi bukti), dan
"dengan induksi" (dalam induksi bukti).
Referensi Exterior (ER) adalah seperti referensi interior, kecuali bahwa referensi
berasal dari luar buktinya bukan dari dalam. Potongan "menurut Teorema 6"
adalah contoh dari referensi eksterior di baris ". . . Sekarang, berdasarkan
Teorema 6,. . . . ".
Memberikan label sebuah objek baru (biasanya lebih pendek) relabeling (REL).
Maksud dari Pernyataan (Statement of intent) (SI) disediakan untuk pernyataan
kecil dalam bukti yang menunjukkan apa yang dimaksudkan di seluruh argumen.
Kesamaan bukti (SIM) adalah serangkaian yang memberikan indikasi bahwa
bagian dari bukti akan diulang dengan dasarnya argumen yang sama yang
sebelumnya diberikan di bagian lain dari bukti.
Contoh 1: Untuk sembarang segitiga ABC, dengan panjang sisi-sisi a, b, c dan
A, B, C berlaku
(Matematika SMA Kelas XI/Buku
Siswa Kur. 2013, hal 181).
Dalam makalah ini hanya di ambil Alternatif Penyelesaian ke-1
Perhatikan gambar berikut:
ABC lancip, dengan padan njang sisi-sisinya adalah a, b, dan c. Garis AP merupakan garis tinggi, dimana BC AP dan garis CQ merupakan garis tinggi,
diman CQ AB.
Dari ABP diperoleh, atau ... (1)
Dari ACP diperoleh, atau ... (2)
Dari persamaan (1) dan (2) diperoleh,
(kalikan kedua ruas dengan
)
Maka diperoleh,
... (3)
Dari ACQ diperoleh, atau ... (4)
Dari BCQ diperoleh, atau ... (5)
Dari persamaan (4) dan (5) diperoleh,
(kalikan kedua ruas dengan
)
Maka diperoleh,
... (6)
Berdasarkan persamaan (3) dan (6), maka diperoleh
A
P B
C
Q b
a
Tabel 1. Pemotongan dan Pengkodean dari bukti Contoh 1 sebagai berikut:
Potongan Bukti Kategori Pengkodean Alasan
Asumsi Pilihan AC Memilih salah
satu ABC
Aljabar ALG Melakukan
)
Contoh 2: Diketahui setiga ABC seperti gambar di samping.
Buktikan bahwa
(Matematika SMA Kelas XI/Buku Siswa Kur. 2013, hal 193).
Penyelesaian:
Untuk bukti pada contoh 2, penulis akan menggunakan konsep pemotongan (chunking) sebagai argumen informal.
Tabel 2. Pemotongan dan Pengkodean sebagai argumen informal untuk Contoh 2 sebagai berikut:
Potongan Bukti Kategori Pengkodean Alasan
Dari BCK diperoleh,
IR dan ALG Memanfaatkan langkah
IR dan ALG Memanfaatkan langkah
IR dan ALG Memanfaatkan langkah
sebagai
kesimpulan dari bukti
Bukti Formalnya:
Dengan memanfaatkan gambar yang ada, kita buatkan garis tinggi pada segitiga tersebut seperti gambar berikut ini:
Langkah 1: Membuktikan
atau
Garis BK merupakan garis tinggi, dimana AC BK dan garis AL merupakan garis tinggi, diman BC AL
Dari BAK diperoleh, atau
... (1)
Dari BCK diperoleh, atau
... (2)
Dari persamaan (1) dan (2) diperoleh,
... (3)
Dari BAL diperoleh, atau
... (4)
Dari CAL diperoleh, atau
... (5)
Dari persamaan (1) dan (2) diperoleh,
... (6)
Dari persamaan (3) dan (6) diperoleh,
B
K C
A
L c
b
atau
... (7)
Langkah 2: Membuktikan
atau
Dengan memanfaat persamaan (3) dan (6) diperoleh,
atau
... (8)
Dari persamaan (7) dan (8) maka diperoleh,
D. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah sampaikan pada awal tulisan ini tentang
bukti, kemampuan pembuktian dan memahami bukti maupun mengkonstruksi
bukti, maka untuk mengatasi kesulitan peserta didik dalam memahami bukti dan
mengkonstruksi bukti perlu dilakukan suatu strategi khusus untuk membantu
mereka, strategi yang ditawarkan ini bukan satu-satu cara untuk meningkatkan
kemampuan pembuktian, keaktifan dan keseriusan peserta didik dalam belajar
pembuktian itulah yang diperlukan dalam mengembangkan kemampuan
pembuktiannya. Strategi yang ditawarkan ini yakni memanfaatkan konsep
pemotongan (chunking) dan pengkodean sebagai sebuah argumen informal ini
masih perlu dilakukan telaah yang dalam sehingga bisa menghasilkan suatu model
chunking yang lebih baik lagi.
E. Referensi
Aberdein (2008). Mathematics and Argumentation. Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands. [Online]. Tersedia:
https://fit.academia.edu/AndrewAberdein . [Diakses 20 Agustus 2014].
Arnawa, I.M. (2006). Meningkatkan Kemampuan Pembuktian Mahasiswa Dalam Aljabar Abstrak melalui Pembelajaran Berdasarkan Teori APOS. Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Disertasi Doktor pada SPs UPI Bandung. (Tidak Diterbitkan).
(2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum SMA. Jakarta.
Kusnandi (2008). Pembelajaran Dengan Strategi Induktif-Deduktif Untuk Menumbuhkembangkan Kemampuan Membuktikan Pada Mahasiswa. Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Disertasi Doktor pada SPs UPI Bandung. (Tidak Diterbitkan).
Maya & Sumarmo (2009). Pengembangan Kemampuan Pembuktian Matematik Mahasiswa. Makalah Disajikan dalam Seminar Matematika dan Pendidikan Matematika di Universitas Negeri Malang Tanggal 28 Juni 2009. [Online]. Tersedia: www.rippi-maya.dosen.stkipsiliwangi.ac.id/.../ICREM-2.... [Diakses 23 Oktober 2014].
Milos Savic (2012). Where is the Logic in Student-Constructed Proofs?” Proposal accepted for Topic Study Group 14 (Reasoning, Proof and Proving in Mathematics Education), ICME-12, 2012. [Online]. Tersedia:
www.milossavic.com/.../logic_paper_-_milos_sav... [Diakses 24 Agustus 2014].
Samparadja, H, (2014). Pengaruh Pendekatan Induktif-Deduktif Berbasis Definisi Termodifikasi Dalam Pembelajaran Struktur Aljabar Terhadap Peningkatan Kemampuan Pembuktian dan Disposisi Berpikir Kreatif Matematis Mahasiswa. Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Disertasi Doktor pada SPs UPI Bandung. (Tidak Diterbitkan).
Sinaga B, dkk (2014). Matematika SMA/MA/SMK/MAK Kelas XI Semester 1. Cetakan ke-1. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang.
Sumarmo Utari (2011). Advanced Mathematical Thinking dan Habit Of Mind Mahasiswa. Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Van Bendegem & Van Kerkhove (2008). Mathematical arguments in context. Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands. [Online]. Tersedia:
http://my.fit.edu/~aberdein/argmath/vbendevkerk_matharg.pdf. [Diakses 20 Agustus 2014].
Weber, K. (2003). Students’ Difficulties with Proof. MAA [Online]: Research Sampler, [Online]. Tersedia: http://www.maa.org/t_and_l/rs_8.html [Diakses 12 Oktobe 2013]