BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dalam pengertian yang sederhana dan umum adalah sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik
jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan
kebudayaan.1 Sedangkan menurut Freeman Butt pendidikan adalah kegiatan
menerima dan memberikan pengetahuan sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari
generasi ke generasi berikutnya.2
Di samping itu, pendidikan dapat diartikan dengan proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik, agar ia memiliki sikap dan semangat
yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk
ketakwaan, budi pekerti dan pribadi yang luhur.3
Menurut Ahmad D. Marimba, sebagaimana dikutip oleh Suwarno, pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang
utama.4
1 M. Djumransjah, Filsafat Pendidikan (Malang, Bayumedia Publishing, edisi kedua cetakan
pertama, 2006), hlm. 116
2 Ibid. hlm. 116
3 Abdul Mujib dan Jusuf Muzakkair, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2006), hlm.12-13
4 Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hlm. 2
Selanjutnya menurut Mulyahardjar pendidikan5 adalah segala pengaruh yang
diupayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar
mempunyai kemampuan.6
Pendidikan juga dapat diartikan bimbingan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.7
Dari pengertian di atas dapat digaribawahi, bahwa dalam pendidikan ada sebuah proses dan transformasi pengetahuan dari pendidik terhadap peserta didik.
Sehingga terjadi suatu perubahan ke arah yang positif pada peserta didik, baik dalam
aspek kognitif, afektif, maupun psikomutorik.
Nasional Bab II Pasal 3 adalah bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.8
Dalam proses pelaksanaannya, pendidikan tidak berjalan sendirian, ada hal lain yang sangat menunjang terhadap keberhasilan pendidikan, agar kemudian tujuan
5 Dalam bahasa arab disebut "At-Tarbiyah" (mengembangkan, menumbuhkan, menyuburkan)
berakar
satu dengan kata " Rabb" (Tuhan Yang Maha memelihara). Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan
adalah sebuah nilai-nilai luhur yang tidak dapat dipisahkan dari, serta dipilah-pilah dalam kehidupan
manusia. Terpisahnya pendidikan dan terpilah-pilahnya bagian-bagiannya dalam kehidupan manusia
berarti pula terjadi disintegrasi dalam kehidupan manusia, yang konsekwensinya melahirkan ketidakharmonisan dalam kehidupannya. M. Syamsi Ali, Dai Muda di New York City, (Jakarta: Gema
Insani, 2007), hlm. 157.
6 Mulyahardjar, redja, Pengantar Pendidikan,(Jakarta: PT. Raja Grafndo Persada, 2001) hlm.3 7 Zuhairini dan Abdul Ghafr, Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Malang: UM
PRESS, Cetakan Pertama, 2004) hlm. 1
8 M. Djumransjah. Op. Cit,. hlm. 116
pendidikan tercapai. Dengan kata lain, pendidikan merupakan suatu sistem, antara
sub sistem dangan yang lainnya saling berkaitan.
Di antara sub sistem tersebut tersebut adalah metode. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode berarti: ”Cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan
suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan
yang ditentukan”.9
Dalam syair dikatakan bahwa "al- Thariqatu Ahammu Minal Mâdah"
maksudnya bahwa metode itu dianggap lebih penting dari pada menguasai materi.
Rasionalisasi dari pernyataan di atas adalah apabila seorang pendidik menguasai
banyak materi, namun tidak memahami bagaimana materi tersebut bisa dididikkan ke
peserta didik (tidak menguasai metode), maka proses transformasi pewarisan nilainilai
cara/ stratergi/ teknik pendidikan, maka dimungkinkan peserta didik akan kreatif dalam mencari dan mengembangkan materi sendiri dan tidak harus menerima dari
pendidikannya.10 Jadi adanya metode dalam pendidikan sangat penting, agar
kemudian pelaksanaan pendidikan berjalan maksimal.
Dewasa ini banyak sekali metode dan pendekatan yang terus bermunculan dan diterapkan dalam pendidikan diberbagai bidang mata pelajaran. Lebih-lebih jika
dikaitkan dengan model pembelajaran KTSP (kurikulum tingkat sataun pendidikan).
9 Ibid. hlm. 740
10 A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-MALANG PRESS, Cetakan
Pertama, 2008), hlm. 133
Tapi kemudian dalam model pembelajaran tersebut, tidak ada yang bersumber dari
al-Qur’an. Misalnya peneliti kutipkan dari bukunya Martinis Yamin11, dalam buku
tersebut hanya dijelaskan metode-metode pembelajaran yang meliputi; metode ceramah, demonstrasi dan eksperimen, tanya jawab, penampilan, diskusi, studi mandiri, pembelajaran terprogram, latihan bersama teman, simulasi,
pemecahan
masalah, studi kasus, insiden, praktikum, proyek, bermain peran, seminar, simposium, tutorial, deduktif, induktif dan computer assisted learning (CAL). Dari
beberapa metode tersebut tidak ditemukan suatu metode pembelajaran atau suatu
istilah yang berasal dari al-Qur’an.
Tentu banyak sekali objek yang bisa dijadikan bahan kajian untuk
menghasilkan metode pendidikan, baik yang berasal dari akal pikiran manusia maupun dari sumber lain. Dan salah satu sumber yang utama itu adalah al-Qur’an,
kitab suci pedoman umat Islam. Di dalamnya pasti banyak menjelaskan metode pendidikan. Tergantung pada kita, apakah mampu menggalinya atau tidak? Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berisi petunjuk untuk kehidupan umat manusia di dunia ini. Dengan petunjuk aI-Qur'an, kehidupan manusia akan berjalan
dengan baik. Manakala mereka memiliki problem, maka problem itu dapat terpecahkan sehingga ibarat penyakit akan ditemukan obatnya dengan aI-Qur'an .
Oleh karena itu, menjadi amat penting bagi kita sebagai umat Islam untuk memahami
aI-Qur'an dengan sebaik-baiknya sehingga bisa kita gunakan sebagai pedoman hidup
di dunia ini dengan sebenar-benarnya, Allah berfrman:
11 Martinis Yamin, Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Gaung
أ
“Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih
Lurus”. 12
“Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (al-Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orangorang
yang berserah diri.”13
Adalah amat jelas bahwa dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang
mengandung berbagai ragam metode pendidikan yang bisa dijadikan sebagai salah
satu pilihan metode pendidikan saat ini. Metode pendidikan yang sangat berharga
dapat kita petik dari kisah nabi Musa yang diperintahkan oleh Allah secara langsung
untuk belajar kepada sang guru pilihan Allah, yaitu Khidhir. Juga pendidikan yang
diberikan Luqman al-Hakim kepada anaknya.
Peneliti sendiri tertarik untuk meleliti atau mengkaji surat an-Nahl ayat 125. Sebab peneliti menemukan di banyak buku yang menjelaskan tentang dakwah14,
yang dapat dikatakan semuanya mengaitkan dengan ayat ini (surat an-Nahl ayat 125.
Padahal jika dikaji dalam konteks pendidikan terkait dengan metodenya, tentunya
ayat tersebut sangat menarik, lebih-lebih pada saat ini perkembangan pendidikan
khususnya pendidikan Islam sudah ada signifkansi kemajuan yang luar biasa. Dalam
beberapa buku pendidikan Islam sebenarnya Surat an-Nahl ayat 125 sudah dijelaskan
12 Al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 9. Op. Cit. hlm. 429 13 Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 89, Ibid. hlm. 415
14 Silahkan baca bukunya Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta: AMZAH, Cetakan Pertama, 2008), hlm. 47., M. Munir dan Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, Cetakan Pertama, 2006). hlm. 33., Fawaz bin Hulail bin Rabah
As-Suhaimi, Pokok-pokok Dakwah Manhaj Salaf, Penerjemah: Abu Zuhair Muhammad zuhlm, (Jakarta:
Griya Ilmu, Cetakan Pertama, 2007). hlm. 45., dan bukunya M. Munir, Editor Munzier Suparta dan H.
Harjani Hefni, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media Group, Cetakan ketiga, 2009). hlm. 7 terkait dengan metode pendidikan, hanya saja pembahasan tersebut masih sangat
sederhana dan sangat singkat15.
sangat besar dalam pelaksanaan pendidikan bagi manusia. Ia juga telah memberi
banyak contoh yang bisa diambil sebagai bagian dari metode pendidikan. Umat Islam harus selalu berusaha menggali isi dan kandungan al-Qur’an tersebut sebagai
upaya untuk memberikan pengajaran kepada peserta didik agar ide-ide yang ingin
diberikan bisa diserap dengan mudah sesuai yang diharapkan.
Dalam usaha menyukseskan setiap pendidikan, maka perlu ditopang dengan berbagai metode dan strategi khusus. Untuk mendapatkan ragam metode dan strategi
tersebut, perlu kiranya selalu diadakan kajian-kajian diberbagai tempat dan kesempatan, selalu dicari formula yang tepat sesuai kebutuhan, situasi dan kondisi.
Dan salah satu sarana yang menjadi obyek kajian paling utama adalah al-Qur’an.
Dari pemaparan di atas, peneliti sangat tertarik untuk ikut mencari dan
menggali konsep metode pendidikan yang ada dalam salah satu ayat Al-Qur’an, dengan sebuah penelitian berjudul “METODE PENDIDIKAN DALAM ALQUR’AN (Analisis Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125)".
15 Sebagaimana dijelaskan dalam bukunya Abdul Mujib dan Jusuf Muzkkir, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006) hlm. 189-190 dan dalam bukunya A. Fatah Yasin, Op. Cit,.
hlm. 149
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Metode Pendidikan
Menurut Sholeh Abdul Azis sebagaimana dikutip Ramayulis, bahwa metode dalam bahas Arab dikenal dengan istilah thuriquh yang bebarti langkah-langkah stategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan.16 Lebi lanjut, para
ahli
mendefnisikan sebagai berikut:
a) Hasan Langgulung mendefnisikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang
harus dilalui untuk mencapai tujuan.
b) Abd. Al-Rahman Ghunaiman mendefnisikan bahwa metode adalah cara-cara yang praktis dalam mencapai tujuan. 17
Sedangkan pendidikan menurut Ahmad D. Marimba, sebagaimana dikutip oleh Suwarno, adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.18
Jadi dapat dipahami, bahwa metode pendidikan adalah jalan atau cara atau strategi yang harus dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan atau menguasai kompentensi tertentu yang dirumuskan dalam silabus mata pelajaran. Agar kemudian
tujuan pendidikan tercapai, seperti apa yang sudah direncanakan.
16 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Penerbit Kalam Mulia, Cetakan ke
Empat, 2005), hlm.2
18 Suwarno. Op. Cit,. hlm. 2
B. Penggunaan Metode Pendidikan
Kaitannya dengan penggunaan metode, Hasan Langgulung berpendapat bahwa penggunaan metode didasarkan atas tiga aspek pokok yaitu:
a) Sifat-sifat dan kepentingan yang berkenaan dengan tujuan utama pendidikan Islam, yaitu pembinaan manusia mukmin yang mengaku sebagai hamba
Allah.
b) Berkenaan dengan metode-metode yang betul-betul berlaku yang disebutkan dalam al-Qur’an atau disimpulkan dari padanya.
c) Membicarakan tentang pergerakan (motivation) dan disiplin dalam istilah al-Qur’an disebut ganjaran (shawab) dan hukuman ('iqab).19
Dalam pendidikan yang diterapkan di Barat, metode pendidikan hampir sepenuhnya tergantung kepada kepentingan peserta didik, para guru hanya bertindak
sebagai motivator, stimulator, fasilitator, ataupun hanya sebagai instruktur. Sistem
yang cendrung dan mengarah pada peserta didik sebagai pusat ini sangat menghargai
adanya perbedaan individu para peserta didik.
Hal ini menyebabkan para guru hanya bersikap merangsang dan mengarahkan para peserta didik mereka untuk belajar dan memberi mereka kebebasan, sedangkan
pembentukan krakter dan pembinaan moral hampir kurang menjadi perhatian guru.20
Akibat penerapan metode yang demikian itu menyebabkan pendidikan kurang membangun watak. Dihubungkan dengan fenomena yang timbul di masyarakat di
mana guru semakin tidak dihormati oleh peserta didiknya.
19 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985), hlm.
79
20 Ramayulis, Op. Cit., hlm. 5
Selain itu, harus pula diperhatikan terhadap penggunaan metode ialah
disesuai dengan turunnya ayat-ayat Qur’an, yang mana ayat-ayat dalam al-Qur’an
diturunkan secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat pada saat itu.
Sehingga dengan begitu penggunaan metode dalam pendidikan harus melihat dan disesuaikan dengan kondisi peserta didik, agar kemudian materi yang disampaikan dalam pendidikan akan mengena sesuai dengan yang
direncanakan.
Hal tersebut memperkuat dalam penggunaan metode pendidikan tidak boleh asal-asalan, sebisa mungkin disesuaikan dengan perkembangan peserta didik dan
penggunaan metode dalam pendidikan. Sebab di dalam sumber tersebut banyak hal
yang kemudian dapat dijadikan bahan terkait dengan metode pendidikan. Di samping itu, kenggunaan metode pendidikan menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany berguna untuk: 21
a) Menolong siswa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan berfkir yang logis dan sistematis.
b) Membiasakan pelajar berfkir sehat, rajin, sabar, dan teliti dalam menuntut ilmu.
c) Memudahkan pencapaian tujuan proses belajar mengajar (PBM) sebagaimana yang telah ditentukan sebelumnya.
d) Menciptakan suasana proses belajar mengajar (PBM) yang kondusif, komunikatif, dan terciptanya hubungan yang harmonis antara guru dengan
21 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pres, 2002),
hlm. 96-97
anak didik, sehingga pada akhirnya bermuara kepada pencapaian tujuan pendidikan.
C. Prinsip-prinsip Metode Pendidikan
Prinsip merupakan pendirian utama yang dimiliki oleh masing-masing
individu, kelompok-kelompok dan lain sebagainya.22 Dari pengertian tersebut
subuah
prinsip sangat dibutuhkan, terlebih lagi dalam metode pendidikan. Menurut A. Fatah
Yasi, prinsip-prinsip dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut:23
a) Motivasi. Penerapan metode diarahkan untuk memberikan dorongan agar peserta didik aktif belajar dan mengikuti pelajaran.
b) Perhatian. Penerapan metode diarahkan untuk dapat membangkitkan perhatian peserta didik agar tertarik terhadap persoalan-persoalan yang
disampaikan atau yang sedang dipelajari, melalui penerapan metode tersebut. c) Peragaan. Penerapan metode diarahkan untuk dapat memberi kesempatan kepada peserta didik supaya memeragakan atau mendemonstrasikan
perolehan.
d) Apresiasi. Penerapan metode diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana penghubung dengan apa yang pernah dikenal oleh peserta didik sebelumnya, berkaitan dengan persoalan yang sedang dipelajari.
e) Individualitas. Penerapan metode diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana penghubung dengan bakat dan krakter masing-masing individu peserta didik.
22 M. Dahlan dkk, Kamus Induk Istilah Ilmiah, (Surabaya: Penerbit Target Press, 2003), hlm. 632 23 A. Fatah Yasin, Op. Cit., hlm. 138-139
Dasar-dasar Metode Pendidikan
menggunakan metode seorang pendidik harus memperhatikan dasar-dasar umum
metode pendidikan.
Sebab metode pendidikan itu hanyalah merupakan sarana atau jalan menuju tujuan pendidikan, sehingga segala jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik haruslah mengacu pada dasar-dasar metode pendidikan tersebut.
Dalam konteks ini, metode pendidikan tidak terlepas dari dasar agamis, biologis, psikologis, dan sosiologis.
a) Dasar Agama
b) Pelaksanaan metode pendidikan yang dalam prakteknya banyak
c) terjadi di antara pendidik dan peserta didik dalam kehidupan masyarakat yang
d) luas, memberikan dampak yang besar terhadap kepribaidan peserta didik. e) Oleh karena itu, agama merupakan salah satu dasar metode pendidikan
dan
f) pengajaran.26
g) Al-Qur’an dan hadits tidak bisa dilepaskan dari pelaksanaan
h) pendidikan. Dalam kedudukannya sebagai dasar ajaran Islam, maka dengan
i) sendirinya metode pendidikan Islam harus merujuk pada kedua sumber ajaran
j) tersebut. Sehingga segala penggunaan dan pelaksanaan metode pendidikan
k) tidak menyimpang dari tujuan pendidikan itu sendiri.
l) b) Dasar Biologis
m) Perkembangan biologis manusia berpengaruh dalam perkembangan n) intelektualnya. Sehingga semakin berkembang biologi seseorang, maka o) dengan sendirinya makin meningkat pula daya intelektualnya.27 Dalam
p) memberikan pendidikan dan pengajaran, seorang pendidik harus
q) memperlakukan biologis peserta didik.28
r) Perkembangan jasmani (biologis) seorang juga mempunyai pengaruh s) yang sangat kuat terhadap dirinya. 29 Seorang peserta didik yang cacat
akan
t) 26 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu analisis Psikologis, (Jakarta:
Al-Husna, 1986), u) hlm. 40
v) 27 H.M. Arifn, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
w) Indesipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 198
x) 28 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 20
y) 29 F.J. Monks, et.al., Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Aspeknya,
(Yogyakarta:
z) Gajah Mada University Press, 1994), hlm. 21
berpengaruh terhadap prestasi peserta didik,30 baik pengarus positif maupun
Maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan dan kondisi jasmani
itu memegang peranan penting dalam proses pendidikan. Sehingga dalam penggunaan metode pendidikan seorang pendidik harus memperhatikan kondisi biologis peserta didik.
c) Dasar Psikologis
Tentang dasar psikologis, maka yang dimaksud adalah sejumlah
kekuatan psikologis termasuk motivasi, kebutuhan, emosi, sikap, keinginan, kesediaan, bakat-bakat, dan kecakapan akal (intelektual) 31.
Di antara kebutuhan-kebutuhan jiwa yang patut dipelihara guru dalam metode dan cara mengajarnya adalah kebutuhan kepada ketentraman, kebutuhan terhadap kecintaan, kebutuhan kepada penghargaan, kebutuhan untuk menyatakan diri, kebutuhan kepada kejayaan, kebutuhan untuk
tergolong dalam kumpulan, dan kebutuhan terhadap perwujudan (selfactualization)
32.
d) Dasar Sosiologis
Interaksi pendidikan yang terjadi dalam masyarakat justru
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan peserta didik dikala ia berada di lingkungan masyarakatnya. Kada-kadang interaksi/
30 Omor Mohammad al-Tauomy al-Syaibany, falsafat Pendidikan Islam, Terjemahan Hasan
Langgulung, (Jakarta, Bulan Bintang, 1979), hlm. 589
31 Omor Mohammad al-Tauomy al-Syaibany, Op. Cit., hlm. 590 32 Omor Mohammad al-Tauomy al-Syaibany, Ibid., hlm. 591
pengaruh dari masyarakat tersebut berpengaruh pula terhadap lingkungan kelas dan sekolah.33
Dengan dasar di atas, seorang pendidik dalam menginternaslisasi nilai yang sudah ada dalam masyarakat (sosial value) diharapkan dapat menggunakan metode
pendidikan Islam agar proses pembelajaran tidak menyimpang jauh dari tujuan pendidikan Islam itu sendiri.34
E. Jenis-jenis Metode Pendidikan
Secara rinci metode-metode tersebut penjelasannya adalah sebagai berikut:35
a) Metode Ceramah
Metode ceramah ialah sebuah bentuk interaksi edukatif melalui
penerangan dan penuturan secara lisan oleh guru atau pendidik terhadap sekelompok pendengar (murid).
b) Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab adalah cara penyampaian pelajaran dengan jalan guru mengajukan pertanyaan dan murid memberikan jawaban. Atau sebaliknya murid bertanya dan guru memberikan jawabannya. Dengan demikian, diharapkan terjadi dialog antara guru dan murid.
c) Metode Diskusi
Secara umum, metode diskusi sebagai salah satu metode interaktif edukatif diartikan sebagai metode di dalam mempelajari bahan atau
33 Harun Nasution dan Bakhtiar Efendy, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Pustaka
34 Omor Mohammad al-Tauomy al-Syaibany, Op. Cit., hlm. 591
35 Silahkan baca bukunya Zuhairini dan Ghofr, Op. Cit,. hlm. 61-75 dan bukunya Martinis Yamin, Op. Cit., hlm. 152-170
Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an
Ada baiknya sebelum menjelaskan dan merinci metode pendidikan yang terkandung di dalam al-Qur’an, terlebih dahulu peneliti sebutkan beberapa pendekatan yang diperlukan dalam metode pendidikan yang terkandung di dalam
al-Qur’an, pendekatan tersebut ialah sebagai berikut:
a. Pendidikan religius, bahwa manusia diciptakan memiliki potensi dasar
(fitrah) atau bakat agama.
b. Pendekatan flosofs, bahwa manusia adalah makhluk rasional atau berakal pikiran untuk mengembangkan diri dan kehidupannya.
c. Pendekatan rasio-kultural, bahwa manusia adalah makhluk bermasyarakat dan berkebudayaan sehingga latar belakangnya mempengaruhi proses pendidikan.
d. Pendekatan scientific, bahwa manusia memiliki kemampuan kognitif, dan afektif yang harus dikembangtumbuhkan.40
40 Armai Arief, Op. Cit., hlm. 41
Sehingga dengan mengacu pada penjelasan di atas, sudah seharusnya dalam mendidik tidak hanya memandang dari perkembangan peserta didiknya saja, tapi
juga hal yang sangat penting adalah beberapa hal yang mempengaruhinya. Ada pun beberapa metode yang terkandung di dalam al-Qur’an, antara lain:41
a. Mau’izhah hal demikian ditemukan pada diri Luqman yang mana anak dan istrinya dalam keadaan kafr. Oleh karenanya, Luqman menasehatinya
sehingga keduanya beriman.
b. Dialog, metode ini dapat dipahami sebagai jalan untuk membuka jalur
informasi antara pendidik dengan peserta didik. Ada beberapa macam metode dialog di dalam al-Qur'an. Pertama, dialogis dengan pendekatan rasionalis, ditemukan pada nabi Nuh terhadap anaknya Kan'an. Tatkala seruan beriman tidak dihiraukan, kemudian nabi Nuh mendesak untuk beriman karena
fuctural-rasional akan terjadi banjir yang siap menghancurkan dan
menenggelamkan semuanya. Tetapi tawaran tersebut tidak berhasil, lantas Kan'an menggunakan nalar logisnya untuk menyelamatkan dirinya dengan cara pergi ke gunung. Kedua, dialogis-demokratis-teologis, sebagaimana terjadi pada nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim mendialogkan mimpinya tentang penyembelihan anaknya (nabi Ismail). dialog tersebut dilakukan secara demokratis sekali, dan beliau menjelaskan bahwa perintah penyembelihan tersebut berasal dari Allah. Ketiga, dialogis-psikologis, yang telah dilakukan oleh nabi Ya'qub terhadap Yusuf, terkait dengan masalah mimpi yang dialami
(Malang: UIN-Malang PRESS, 2008), hlm 315-320 dan buku karangan Abdul Mujib dan Jusuf Muzkkir,
Op, Cit,. hlm. 189-196 serta buku karangan Triyo Supriyatno, Humanitas Spritual dalam Pendidikan,
(Malang: UIN-Malang Press 2009), hlm. 27-28
oleh nabi Yusuf. Keempat, dialogis-intuitif, metode ini menggambarkan
dialog antara Maryam dan kaumnya yang pada akhirnya melibatkan nabi Isa. Maryam menyadari tidak mungkin menyelesaikan permasalahan yang
dituduhkan keumnya. Maryam mengandalkan kekuatan transendental dari Allah dalam bentuk intuisi kepada Isa. Hal ini sebenarnya adalah pendidikan yang terjadi atas kekuatan mu'jizat Allah atas rasulnya.
c. Prenatal-posnatal, metode ini dipahami pada interaksi pendidikan Ayarkha Hanna terhadap Maryam dan nabi Zakariya terhadap Yahya. Usaha-usaha untuk mendapatkan anak saleh dilakukan melalui do'a dan nazar. Berkali-kali Zakariya berdo'a dengan uslub yang berbeda-beda menunjukkan
kesungguhannya dalam memohon anak disaat usianya sendiri tua dan istrinya mandul. Demikian Hanna berazam untuk memiliki anak yang saleh,
kemudian Allah mengabulkan dengan kelahiran nabi Yahya.
d. Problem Solving, hal ini terlihat dalam interaksi Adam dengan Qabil dan Habil, serta interaksi nabi Ya'qub dengan putra-putranya (nabi Yusuf dengan saudaranya). Pendidikan nabi Adam terhadap anaknya yang sedang bertikai memperebutkan pasanganya. Meskipun pada akhirnya tidak tercapai sasaran yang dimaksud agar terjadi perdamaian antara keduanya. Demikian yang dilakukan nabi Ya'qub yang dilakukan terhadap saudara-saudara Yusuf untuk memberi solusi atas konfik internal keluarganya.
e. Bantah-bantahan (al-mujadalah), sebenarnya metode ini hampir sama dengan
teknik diskusi, hanya saja teknik ini diikuti oleh pesereta yang heterogen, yang mungkin berbeda idiologis, agama, prinsip, flsafat hidup atau
perbedaan-perbedaan lainya. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat an-Nahl ayat 125.
f. Metafora (al-amtsal), Muhammad Rasyid Ridla dalam al-Manar bahwa
alamtsal
adalah perumpamaann baik berupa ungkapan, gerak, maupun melalui
gambar-gambar. Dalam konteks pendidikan Islam, metode ini lebih mengarah kepada perumpamaann dalam segi ungkapan belaka (perhatiakn QS. al-Ankabut: 41-43, ar-Ra'd: 17, Ibrahim: 24-26, al-Baqarah: 26).
g. Imitasi (al-qudwah), hal ini dilakukan dengan menampilkan seperangkat teladan bagi diri pendidik untuk peserta didik melalui komunikasi interaksi di dalam kelas maupun di luar kelas. Sehingga tuntutan pendidik tidak hanya berceramah, berkhatbah, atau berdiskusi. Tetapi lebih penting lagi,
penjelasan ayat yang artinya: Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang
baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia (QS.
Al-Mumtahanah, 60: 4). Kemudian keteladanan ini diikuti oleh Muhammad SAW. Metode ini menjadi penting karena terdapat aspek afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku (behavioral).
h. Pemberian hukuman dan ganjaran. Muhammad Quthub mengatakan bila keteladanan dan pembiasaan tidak mampu, maka pada waktu itu harus
diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan pada tempat yang
benar, sebagai bentuk kelanjutan dari proses pengarahan dan bimbingan terhadap anak didik ke arah perkembangan yang lebih baik dan terarah, tindakan tegas itu adalah hukuman. Di dalam al-Qur’an hukuman dikenal dengan ungkapan azab, kata tersebut di dalam al-Qur’an sebanyak 373 kali (misalnya dalam QS. Al-Taubah : 74, al-Fath: 16, an-Nuh: 23, al-Maidah: 38 dan lain sebagainya). Sedangkat ganjaran/ pahala diberikan kepada peserta didik yang taat terhadap aturan dan menunjukkan prestasi yang baik. Dalam al-Qur’an dikenal dengan istilah ajrun yang diulang sebanyak 105 kali
(misalnya dalam QS. Ali Imran: 136, surat Hud: 11 dan lain sebagainya).
BAB IV
METODE PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN
(Analisis Penafsiran Pada Surat An-Nahl Ayat 125)
A. Kandungan Metode Pendidikan dalam Surat An-Nahl Ayat 125
Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi yang dikutip dari pendapat
Qurthubi, bahwa surat an-Nahl ayat 125 turun di Mekkah pada waktu terjadi perdamaian (gencatan senjata) dengan orang-orang Quraisy, kemudian Allah memerintahkannya untuk menyeru kepada agama dan syariat-Nya dengan cara lemah
lembut dan lunak tampa berlaku kasar dan keras.45
Pada awalnya ayat ini berkaitan dengan dakwah Rasulullah SAW., kemudian dalam kajian ilmu dakwah ayat ini dijadikan landasan dalam menggunakan metode
dakwah. Selanjutnya metode-metode tersebut menyebar menjadi prinsip dari berbagai sistem, yaitu diantaranya; prinsip metode komunikasi dan pendidikan. Seluruh dakwah, komunikasi dan pendidikan biasanya merujuk dan bersumber pada
ayat ini sebagai prinsip dasar, sehingga terkenal menjadi sebuah metode.46
Berikut ini surat An-Nahl ayat 125,
Artinya:
45 Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Aisar At-Tafâsir li Al-Kalâmi Al-Aliyyi Al-Kabîr, Jilid V, (Madinatul
46 http://ibrohimnaw.wordpress.com/2009/04/27/metode-pembelajaran-kajian-tafsir-tarbawi/
(diakses
tgl 04-04-2010)
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.47
Menurut beberapa ahli tafsir, ayat di atas sementara ini ditafsirkan sebagai beriku:
1. Abu Bakar Jabir Al-Jazairi
Menurut beliau dalam kitab tafsirnya, yaitu kitab Aisar at-Tafâsir li
al-Kalâmi al-Aliyyi al-Kabîr, ayat ini diinterpretasikan sebagai suatu ajakan atau
seruan terhadap manusia kepada jalan yang sudah digariskan oleh Allah dengan kata-kata yang bijak, nasihat-nasihat yang baik yang memotifasi dan bantahan yang baik yang tidak ada unsur negatifnya. Berikut ini penafsirannya:
حرش
47 Al-Qur’an Surah an-Nahl ayat 125. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: CV. Asy Syifa',
1999), hlm. 421
48 Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Op. Cit., hlm. 169-170
“Penjelasan Kata;
ىلا
لیبس
كبر
) ) Ilâ Sabîli Rabbika: Yaitu untuk taat kepada-Nya. Karena taatkepada Allah mengantarkan seseorang menuju keridhaan dan karunia-Nya.
ةمكحلاب
) ) Bil Hikmah: Dengan al-Qur’an dan perkataan yang bijak lagi benarserta memiliki dalil untuk menjelaskan kebenaran.
ةظعوملاو
ةنسحلا
) ) Wal Mau’izhah Hasanah: Pelajaran-pelajaran dari al-Qurandan perkataan yang lembut lagi benar.
مھلداجو
يتلاب
يھ
نسحأ
) ) Wa Jâdilhum Billati Hiya Ahsan: membantah denganAllah Ta’ala berfrman kepada rasul-Nya sebagai pemuliaan sekaligus tugas bagi beliau, “serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu...” yakni kepada agama-Nya yaitu Islam dan hendaklah seruanmu itu “dengan hikmah...” yaitu dengan al-Qur’an yang mulia. “dan pelajaran yang baik…” berupa nasehat-nasehat, cerita-cerita perumpamaann-perumpamaann, motifasi serta intimidasi yang terdapat dalam al-Qur’an. “ dan bantahlah mereka dengan cara yang
terbaik…” Yakni bantahlah mereka dengan cara yang baik tidak ada unsur
celaan, ejekan, dan sindiran buruk, karena yang demikian itu lebih dapat diterima.”
2. A'idh bin Abdullah Al-Qarni
A’idh al-Qarni dalam menafsirkan ayat ini sedikit lebih komplit
dibandingakan Abu Bakar Jabir al-Jazairi, tapi kekurangannya beliau tidak menjelaskan pengertian perkalimat sebagaimana Abu Bakar Jabir al-Jazairi. Berikut ini kutip dari kitabnya:
عدا
49 A'idh bin Abdullah Al-Qarni, Tafsir Al-Muyassaru, Jilid II, (Riyadl: Maktabah Obekan, 2007), hlm.
331
Artinya:
“Wahai nabi dan para pengikut beliau, serulah manusia untuk memeluk agama Islam dan menjalankan hukum-hukum Islam serta akhlak Islam, dengan cara yang baik serta metode yang baik. Lembutlah dalam menyeru mereka dan sopanlah ketika berbincang dengan mereka sesuai dengan aturan al-Qur’an dan sunnah. Jangan marah, bersikap kasar maupun mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Berilah mereka kemudahan dan jangan mempersulit mereka. Sampaikanlah kabar gembira kepada mereka dan jangan buat mereka lari
ketakutan darimu. Doronglah mereka untuk berbuat kebaikan dan wantiwantilah mereka berbuat keburukan. Nasihatilah mereka dengan lemah lembut
dan debatlah mereka dengan cara yang baik, sopan lemah lembut, memberi ide dan tanggapan dengan menjahui celaan, dan segala hal yang bisa menyakiti mereka serta menghindari sikap bangga diri dan sombong. Sebab yang diwajibkan bagimu hanyalah menyampaikan dengan jelas dan menasihati dengan benar. kamu yang menyampaikan dan Allah yang memberi hidayah. Allah mengetahui siapa orang yang menyimpang dari jalan yang lurus dan siapa yang meniti jalan yang lurus. Keduanya akan dibalas sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.”
3. Abdu Razaq Al-Mahdi
Penafsiran Abdu Razaq al-Mahdi tidak jauh berbeda dengan penafsiran
A'idh bin Abdullah al-Qarni, tapi lebih jauh beliau mengaitkan penafsiran ayat ini dengan ayat lain, Adapun penafsiran beliau adalah sebagai berikut:
نبا
50 Surat Al-‘Ankabut: 46 51 Surat Thâhâ: 44
52 Abdu Razaq Al-Mahdi, Tafsir Al-Qur’anil Adzîm (Tafsir Ibnu Katsir), Jilid IV, (Bairut : Darul
Kitabil al-Araby, 2005), hlm. 78
Artinya:
“Allah Ta’ala berfrman seraya memerintahkan rasul-Nya, Muhammad SAW. agar menyeru umat manusia dengan penuh hikmah. Ibnu Jarir mengatakan: “yaitu apa yang telah diturunkan kepada beliau berupa al-Qur’an dan as-sunnah serta pelajaran yang baik, yang di dalamnya berwujud larangan dan berbagai peristiwa yang disebutkan agar meraka waspada terhadap siksa Allah Ta’ala. Firman-Nya:
نسحأ
ىھ
ىتلاب
مھلداجو
“Dan bantahlah mereka dengan cara yanglebih baik,” yakni, barang siapa yang membutuhkan dialog dan tukar pikiran,
maka hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, lemah lembut, serta tutur kata yang baik. Yang demikian itu sama seperti frman Allah Ta’ala:
اولدجتیلو
لھأ
مھنم
“(
Dan janganlah kamu berdebatdengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka,”.
Dengan demikian, Allah Ta’ala memerintahkannya untuk berlemah lembut, sebagaimana yang Dia perintahkan kepada Musa dan Haru AS. ketika Dia mengutus keduanya kepada Fir’aun, melalui frman-Nya:
یلوقف
ھل
انیل
ھلعل
ىشخاوأركذتا
“Maka bicaralah kamu berdua dengan kata-kata yang lemah lembut.
Mudahmudahan dia ingat dan takut.”
4. Muhammad Ali As-Sabuny
Lebih lanjut Muhammad Ali as-Sabuny menafsirkan ayat ini dengan sedikit lebih singkat dibanding ahli tafsir yang lain, yakni demikian:
عدا
“Wahai Muhammad, serulah manusia kepada agama Allah dan syariat-Nya yang suci dengan kalimat bijak, lemah lembut dan kemudahan, sehingga meresap dalam diri meraka. Dan jangan menyeru dengan kekerasan, kekacauan dan ancaman. Debatlah orang-orang yang menentangmu dengan cara-cara yang baik, dengan menggunakan bukti-bukti dan alasan-alasan yang tepat. Tugasmu
1997), hlm. 172-173
bukan memberi petunjuk kepada mereka, melainkan hanya menyampaikan saja dan Kamilah yang akan menentukan.”
5. Ahmad Mushtofa Al-Maraghi
Kemudian dalam pandangan Ahmad Mushtofa al-Maraghi yang ada
kesamaan penafsiran Abu Bakar Jabir al-Jazairi, yaitu sebelum menafsirkan ayat, beliau memberi penjelasan dahulu terkait dengan arti perkatanya. Penafsiran beliau adalah sebagi berikut:
ةمكحلاو
“ Al-Hikmah: perkataan yang kuat dan disertai dengan dalil, yang menjelaskan
kebenaran, dan menghilangkan kesalahpahaman.
Al-Mau’izhah al-Hasnah: dalil-dalil bersifat zanni, yang dapat memberi
kepuasan kepada orang awam.
Al-Jadal: percakapan atau perdebatan untuk memuaskan penentang.
Wahai Rasul (Muhammad SAW), serulah orang-orang yang kau diutus kepada mereka dengan cara, menyeru kepada syariat yang telah digariskan Allah bagi makhluk-Nya melalui wahyu yang diberikan kepadamu, dan berilah mereka pelajaran dan peringatan yang ditetapakan di dalam kitab-Nya sebagai hujjah
atas mereka, serta selalu diingatkan kepada mereka, seperti diulang-ulang dalam
ayat ini. Dan bantahlah mereka dengan bantahan yang lebih baik dari bantahan lainnya, seperti memberi maaf kepada mereka jika mereka mengotori
kehormatanmu, serta bersikap lemah lembut taehadap mereka dengan menyampaikan kata-kata yang baik.
54 Ahmad Mushtofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Marâghî, Jilid 13 (Bairut: Daru Ihya’iturats al-Araby),
hlm. 157-161
6. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuti
Beliau berdua dapat dikatakan ahli tafsir yang sangat singkat dan
sederhana dalam menginterpretasikan sebuah ayat. jika dibandingkan ahli tafsir yang lain, bunyi tafsirnya ialah sebagai berikut:
(
عدا
)
نآرقلاب
(
ةمكحلاب
)
ھناد
(
َكّبَر
ِلیِبَس
ىلإ
)
ملسو
ھیلع
ا
ىلص
دمحم
اا
سانلا
manusia kepada hujah.
7. Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi
Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi merupakan salah satu ahli tafsir yang dimiliki oleh bangsa ini, sehingga dalam menafsirkan al-Quran beliau
menggunakan bahasa Indonesia. Terkait dengan surat an-Nahl ayat 125, beliau menjelaskan sebagai beriku:
“Serulah (dakwahilah) semua orang kepada jalan Tuhanmu, kerena dakwah Islam merupakan dakwah yang lengkap dan kamu (Muhammad) diutus kepada semua manusia. Tetapi serulah mereka dengan hikmah, dengan tutur kata yang bisa mempengaruhi jiwanya, dan dengan pelajaran-pelajaran yang baik, yang disambut oleh akal yang sehat dan diterima oleh tabiat manusia. Jika kamu mendapati kesukaran-kesukaran dalam perjalananmu, maka debatlah mereka dengan metode yang baik. Jangan kamu mencaci-maki tuhan-tuhan mereka yang
55 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar
As-Suyuti, Tafsir Al-Jalâlain, (Bairut: Darul Kitab Ilmiyah, 2003), hlm. 173
menyebabkan mereka memaki Allah. Jangan pula kemu menentang kepercayaan
mereka, sebelum kamu menyiapkan jiwa mereka untuk menerima kepercayaanmu.” 56
8. M. Quraish Shihab
Adapu yang terakhir peneliti mengambil penafsiran M. Quraish Shihab. Beliau juga termasuk di antara ahli tafsir yang dimiliki bangsa Indonesi, dan bisa dikatakan beliau merupakar pakar tafsir yang karangannya sampai berjilidjilid
yang pembahasannya sangat komprehensip dengan menggunakan bahasa Indonesia. Berikut ini penafsiran dan penjelasan beliau, terkait dengan surat an-Nahl ayat 125.
“Wahai nabi Muhammad, serulah yakni lanjutkanlah usahamu untuk menyeru semua yang engkau sanggup seru kepada jalan yang ditunjukkan Tuhanmu
yakni ajaran Islam dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah
mereka yakni siapa pun yang menolak atau meragukan ajaran Islam dengan
cara yang terbaik. Itulah tiga cara berdakwah yang hendaknya engkau tempuh
menghadapi manusia yang beranika ragam peringkat dan kecendrungannya; jangan hiraukan cemoohan, atau tuduhan-tuduhan tidak berdasar kaum musyrikin dan serahkan urusanmu dan urusan mereka kepada Allah, karena
sesungguhnya Tuhanmu yang selalu membimbing dan berbuat baik kepadamu
Dialah sendiri yang lebih mengetahui dari siapa pun yang menduga tahu
tentang
siapa yang bejat jiwanya sehingga tersesat dari jalan-Nya dan Dialah saja juga
yang lebih mengetahui orang-orang yang sehat jiwanya sehingga mendapatkan
petunjuk.”57
Kemudian beliau menjabarkan kata hikmah, yakni:
“Kata ( ةمكح ) hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segalah sesuatu,
baik pengetahuan maupun perbuatan. Dia adalah pengetahuan atau tindakan
yang bebas dari kesalahan dan atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai
dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya
56 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nûr, Jilid III, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 2291
57 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 385-386
mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar. Makna ini ditarik dari kata
hakamah, yang berarti kendali karena kendali menghalangi hewan/ kendaraan
mengarah ke arah yang yang tidak diinginkan, atau menjadi liar. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal buruk pun dinamai hikmah, dan pelakunya dinamakan hakim (hakim). Thahir Ibnu ‘Asyur menggarisbawahi bahwa hikmah
adalah nama himpunan segala ucapan atau pengetahuan yang mengarah kepada
perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara seimbang. Thabathaba’i mengutip ar-Raghib al-Ashfahani yang menyatakan saecara singkat bahwa
hikmah adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasarkan ilmu dan akal.
Dengan demikian, menurut Thabathaba’i, hikmah adalah argumen yang
menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan, tidak mengandung kelemahan tidak juga kekaburan.”58
Di samping itu, M. Quraish Shihab mengutip pendapat pakar tafsir
al-Biqa’i yang menggarisbawahi bahwa “al-hakim yakni yang memiliki hikmah, harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya, sehingga dia tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu, atau kira-kira tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba.”59
Lebih lanjut kemudian beliau menjelaskan,
“kata ( ةظعوملا ) al-mau’izhah terambil dari kata ( ظعو ) wa’azha yang berarti
nasihat. Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada
kebaikan. Demikian dikemukakan oleh banyak ulama. Sedangkan kata ( (مھلداج
jâdilhum terambil dari kata ( لادج ) jidâl yang bermakna diskusi atau bukti-bukti
yang mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya mitar bicara.
Ditemukan di atas, bahwa mau’izhah hendaknya di sampaikan dengan ( (ةنسح
hasanah/baik, sedangkan perintah berjadil disifati dengan kata ( (نسحأ
ahsan/yang terbaik, bukan sekedar yang baik. Keduanya berbeda dengan
hikmah yang tidak disifati oleh satu sifat pun. Ini berarti bahwa mau’izhah ada
yang baik dan ada yang tidak baik, sedangkan jadil ada tiga macam, yang baik, yang terbaik dan yang buruk.”60
58 Ibid. hlm. 386-387 59 Ibid. hlm. 387 60 Ibid. hlm. 387
Terkait dengan penjelasan hikmah, beliau menjabarkan kembali, yaitu sebagai berikut:
“hikmah tidak perlu disifati denga sesuatu karena dari maknanya telah
diketahui
bahwa ia adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasarkan ilmu dan akalseperti
atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan
manusia secara bersinambung. Di sisi lain, hikmah yang disampaikan itu
adalah yang dimiliki oleh seorang ( میكح ) hakim yang dilukiskan maknanya oleh al-Biqa’i seperti peneliti nukil di atas, dan itu tentu saja akan disampaikan setepat mungkin, sehingga tampa menyifati dengan satu sifat pun, otomatis dari
namanya dan sifat penyandangannya dapat diketahui bahwa penyampaiannya pastilah dalam bentuk yang paling sesuai.”61
hubungannya dengan mau’izhah, maka beliau memaparkan sebagai berikut:
“maka ia baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengalaman dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Nah,
inilah yang bersifat hasanah. Kalau tidak, ia adalah yang buruk, yang sharusnya dihindari. Di sisi lain, karena mau’izhah biasanya bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat mengundang emosi-baik dari yang menyapaikan, lebih-lebih yang menerimanya-maka mau’izhah adalah sangat perlu untuk mengingatkan kebaikannya itu.”62
Kemudian beliau menjelaskan Jadil dan mengklasifkasi menjadi tiga macam,
“Jadil adalah perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan logika dan
retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.”63 “Sedangkan jadil
terdiri dari tiga macam, yang buruk adalah yang disampaikan dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan serta yang menggunakan dalil-dalil yang tidak benar. yang baik adalah yang disampaikan dengan sopan, serta
menggunakan dalil-dalil atau dalih wahyu hanya yang diakui oleh lawan, tetapi
yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik, dan dengan argumen yang
benar, lagi membungkam lawan.”64 61 Ibid. hlm. 387
62 Ibid. hlm. 387-388 63 Ibid. hlm. 386 64 Ibid. hlm. 388
Dari
Dari paparan ahli tafsir diatas dapat dipahami, bahwa ayat ini sangat erat
kaitannya dengan masalah dakwah. Bagi peneliti sendiri hal demikian dianggap wajar melihat pada konteks surat an-Nahl ayat 125 dimulai dengan kata ( عدا )
ud’u,
عدا
) ) ud’u berasal dari kata kerja (ىعد
) da’â, (وعدا
) yad’û, kemudianmenghasilkan sebuah istilah dakwah yang merupakan bentuk mashdar dari kata
ىعد
) ) da’â, (وعدا
) yad’û, (ةوعد
) da’watan. Kata tersebut, secara etimologi mempunyai arti memanggil, mengundang, mengajak, menyeru danmendorong.65
Selenjutnya peneliti akan membandingkan pengertian dakwah dan pendidikan menurut pakarnya masing-masing, agar tidak terjadi salah persepsi ketika surat
an-Nahl ayat 125 di pahami dalam konteks pendidikan.
menurut Prof. Thoha Yahya Oemar, M.A. adalah mengajak manusia dengan bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan
dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.66
Menurut H. Rusydi HAMKA dakwah merupakan kegiatan penyampaian petunjuk Allah kepada seseorang atau kelompok masyarakat, agar terjadi perubahan
pengertian, cara berfkir, pandangan hidup dan keyakinan, perbuatan, sikap, tingkah
laku, maupun tata nilainya yang pada gilirannya akan mengubah situasi yang lebih
baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.67
65 Silahkan baca bukunya Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Da’wah Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta: Amzah, Cetakan Pertama, 2008), hlm. 17
66 Khatib Pahlawan Kayo, Manajemen Dakwah dari Dakwah Konvensional Menuju Dakwah Profesional, (Jakarta: Amzah, Cetakan Pertama, 2007), hlm. 25
67 Ibid. hlm. 26
Kandungan Metode Pendidikan dalam Surat An-Nahl Ayat 125 No. Metode Pendidikan
1 Hikmah 2 Mau’izhah 3 Jadil
B. Penafsiran Ahli Tafsir Terhadap Metode Pendidikan yang Terkandung
dalam Surat An-Nahl Ayat 125
Peneliti dalam hal ini akan menjabarkan tentang interpretasi ahli tafsir terhadap metode hikmah, metode mau’izhah dan metode Jadil.
1. Metode Hikmah
Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi hikmah adalah dengan al-Qur’an dan perkataan yang bijak lagi benar serta memiliki dalil untuk menjelaskan kebenaran86.
Menurut A'idh bin Abdullah al-Qarni hikmah ialah dengan cara yang baik
serta metode yang baik. Masih menurut beliau, hikmah ialah perkataan lembut dalam menyeru dan sopan ketika berbincang dengan orang yang diajak pada kebaikan sesuai dengan aturan al-Qur’an dan sunnah. Kemudian juga dalam menggunkan metode ini tidak boleh marah marah, bersikap kasar maupun mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Berilah mereka kemudahan dan jangan mempersulit mereka. Sampaikanlah kabar gembira kepada mereka dan jangan buat mereka lari ketakutan darimu. Doronglah mereka untuk berbuat kebaikan dan wanti-wantilah mereka berbuat keburukan.87
Lebih lanjut Abdu Razaq al-Mahdi menjelaskan yang dikutip dari
pendapat Ibnu Jarir, hikmah yaitu apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad berupa al-Qur’an dan as-sunnah.88
Dalam penafsiran Muhammad Ali as-Sabuny hikmah ialah dengan
kalimat bijak, lemah lembut dan kemudahan, sehingga meresap dalam diri
manusia.89 Selanjutnya Menurut Ahmad Mushtofa al-Maraghi hikmah ialah
perkataan yang kuat dan disertai dengan dalil, yang menjelaskan kebenaran, dan
menghilangkan kesalahpahaman.90 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad
al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti hikmah
maksunya dengan al-Qur’an.91 Kemudian Menurut Teungku Muhammad Hasbi
ash-Shiddiqi hikmah adalah dengan tutur kata yang bisa mempengaruhi jiwa.92
Menurut M. Quraish Shihab, hikmah yakni berdialog dengan kata-kata
bijak sesuai dengan tingkat kepandaian orang yang diajak pada kebaikan. Kata
ةمكح) ) hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segalah sesuatu, baik
pengetahuan maupun perbuatan. Dia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan dan atau kekeliruan.93
Lebih lanjut beliau menjelaskan, bahwa hikmah juga diartikan sebagai
sesuatu yang bila digunakan/ diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar.94 Untuk
melengkapi penjelasan hikmah, kemudian beliau menjelaskan, bahwa makna ini ditarik dari kata hakamah, yang berarti kendali karena kendali menghalangi
89 Muhammad Ali As-Sabuny. Op. Cit,. hlm. 173 90 Ahmad Mushtofa Al-Maraghi. Op. Cit,. hlm. 157
91 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar
As-Suyuti. Op. Cit,. hlm. 173
92 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi. Op. Cit,. hlm. 2291 93 M. Quraish Shihab. Op. Cit,. hlm. 386
94 Ibid. hlm. 386
hewan/ kendaraan mengarah ke arah yang yang tidak diinginkan, atau menjadi liar.95
Masih dalam pandangan M. Quraish Shihab, bahwa memilih perbuatan
yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal buruk pun dinamai hikmah, dan pelakunya dinamakan
hakim (hakim).96
Kemudian beliau mengutip pendapat Thahir Ibnu ‘Asyur yang
menggarisbawahi bahwa hikmah adalah nama himpunan segala ucapan atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara seimbang.97
Lebih lanjut beliau menjelaskan yang diambil dari pendapat Thabathaba’i mengutip pendapat ar-Raghib al-Ashfahani yang menyatakan sacara singkat bahwa hikmah adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasarkan ilmu dan akal. Dengan demikian, menurut Thabathaba’i, hikmah adalah argumen yang menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan, tidak mengandung kelemahan tidak juga kekaburan.98
Terakhir M. Quraish Shihab mengutip pendapat pakar tafsir al-Biqa’i
yang menggarisbawahi bahwa, al-hakim yakni yang memiliki hikmah, harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya, sehingga
98 Ibid. hlm. 387
dia tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu, atau kira-kira
tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba.99
Dari paparan ahli tafsir di atas, kemudian peneliti bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel III: Tentang Metode Hikmah N0. Ahli tafsir Metode Hikmah
1 Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi
Perkataan yang bijak lagi benar serta memiliki dalil untuk menjelaskan kebenaran. Beliau juga menafsirkan hikmah adalah dengan Al-Qur’an. 2 A'idh bin Abdullah
al-Qarni
Metode dengan perkataan lembut dalam menyeru dan sopan ketika berbincang dengan peserta didik yang diajak pada kebaikan sesuai dengan aturan al-Qur’an dan sunnah. Tidak boleh marah marah, bersikap kasar maupun mengucapkan kata-kata yang menyakitkan.
3 Abdu Razaq al-Mahdi
Apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad berupa al-Qur’an dan as-Sunnah 4 Muhammad Ali
as-Sabuny
Dengan kalimat bijak, lemah lembut dan
kemudahan, sehingga meresap kepada peserta didik
5 Ahmad Mushtofa al-Maraghi
Perkataan yang kuat dan disertai dengan dalil, yang menjelaskan kebenaran, dan menghilangkan kesalahpahaman
6 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti
Maksunya dengan al-Qur’an 7 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi
Dengan tutur kata yang bisa mempengaruhi jiwa.
kebaikan. Sehingga mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar kepadanya.
99 Ibid. hlm. 387 2. Metode
Metode Mau’izhah
Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mau’izhah adalah pelajaranpelajaran dari al-Quran dan perkataan yang lembut lagi benar.100 Lebih lanjut
beliau menjelaskan bahwa mau’izhah berupa nasehat-nasehat, cerita-cerita perumpamaann-perumpamaann, motifasi serta intimidasi yang terdapat pada
al-Qur’an.101 Menurut A'idh bin Abdullah al-Qarni, mau’izhah merupakan nasihat
dengan lemah lembut.102
Abdu Razaq al-Mahdi menjelaskan, mau’izhah ialah sesuatu yang di
dalamnya berwujud larangan dan berbagai peristiwa yang disebutkan agar orang
yang kita ajak pada kebaikan waspada terhadap siksa Allah Ta’ala.103 Menurut
Muhammad Ali as-Sabuny mau’izhah maksudnya adalah tidak menyeru dengan kekerasan, kekacauan dan ancaman.104
Dalam pandangan Ahmad Mushtofa al-Maraghi mau’izhah adalah dalildalil bersifat zanni, yang dapat memberi kepuasan kepada orang awam.105 Masih
dalam pandangan beliau, bahwa mau’izhah yakni menyeru kepada syariat yang telah digariskan Allah bagi makhluk-Nya melalui wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad, dan memberi pelajaran dan peringatan yang ditetapakan di dalam kitab-Nya sebagai hujjah atas manusia, serta selalu diingatkan kepada manusia.106
100 Abu Bakar Jabir Al-Jazairi. Op. Cit,. hlm. 169 101 Ibid. hlm. 170
102 A'idh bin Abdullah Al-Qarni. Op. Cit,. hlm. 331 103 Abdu Razaq Al-Mahdi. Op. Cit,. hlm. 78 104 Muhammad Ali As-Sabuny. Op. Cit,. hlm.173 105 Ahmad Mushtofa Al-Maraghi. Op. Cit,. hlm. 158 106 Ibid. hlm. 161
Menurut Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalaluddin
Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti mau’izhah merupakan nasihat-nasihat atau perkataan yang halus.107 Menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi
mau’izhah maksudnya dengan pelajaran-pelajaran yang baik, yang disambut
oleh akal yang sehat dan diterima oleh tabiat manusia.108
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan, mau’izhah yakni
memberikan nasihat dan perumpamaann yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan objeknya yang sederhana.109
Kemudian beliau menjelaskan kata ( ةظعوملا ) al-mau’izhah terambil dari kata ( ظعو ) wa’azha yang berarti nasihat. Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan110. Masih dalam
pendapatnya,
Adapun mau’izhah, menurut M. Quraish Shihab maka akan mengena
hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengalaman dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Nah, inilah yang bersifat hasanah. Kalau tidak, ia adalah yang buruk, yang seharusnya dihindari.112 Masih menurut
beliau, di sisi lain karena mau’izhah biasanya bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat mengundang emosi-baik dari yang
107 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar
As-Suyuti. Op. Cit,. hlm. 173
108 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi. Op. Cit,. hlm. 2291 109 M. Quraish Shihab. Op. Cit,. hlm. 386
110 Ibid. hlm. 386 111 Ibid. hlm. 387 112 Ibid. hlm. 387
menyapaikan, lebih-lebih yang menerimanya-maka mau’izhah adalah sangat perlu untuk mengingatkan kebaikannya itu.113
Kemudian dari penjelasan di atas, peneliti bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel IV: Tentang Metode Mau’izhah N0. Ahli tafsir Metode Mau’izhah
1 Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi
Pelajaran-pelajaran dari al-Quran dan perkataan yang lembut lagi benar atau berupa nasehatnasehat, cerita-cerita perumpamaannperumpamaann,
motifasi serta intimidasi yang terdapat pada al-Qur’an. 2 A'idh bin Abdullah al-Qarni
Nasihat dengan lemah lembut. 3 Abdu Razaq
al-Mahdi
Sesuatu yang di dalamnya berwujud larangan dan berbagai peristiwa yang disebutkan agar peserta didik yang diajak oleh pendidik pada kebaikan waspada terhadap siksa Allah.
4 Muhammad Ali as-Sabuny
Tidak menyeru dengan kekerasan, kekacauan dan ancaman.
5 Ahmad Mushtofa al-Maraghi
serta selalu diingatkan kepada manusia. 6 Jalaluddin
Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti
Nasihat-nasihat atau perkataan yang halus. 7 Teungku Muhammad
Hasbi ash-Shiddiqi
Dengan pelajaran-pelajaran yang baik, yang disambut oleh akal yang sehat dan diterima oleh tabiat peserta didik.
8 M. Quraish Shihab Memberikan nasihat dan perumpamaann yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan
113 Ibid. hlm. 387-388
peserta didik yang sederhana.
3. Metode Jadil
Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi jadil adalah membantah
dengan cara yang lebih baik dan itu lebih baik dari yang lain. Masih menurut beliau, jadil yakni bantahan dengan cara yang baik tidak ada unsur celaan, ejekan, dan sindiran buruk, karena yang demikian itu lebih dapat diterima.114
A'idh bin Abdullah al-Qarni menjelaskan, jadil yakni berdebat dengan
objek yang tidak menerima ajakan kita dengan memberi ide dan tanggapan dengan menjahui celaan, dan segala hal yang bisa menyakiti mereka serta mnghindari sikap bangga diri dan sombong.115
Dalam pandangan Abdu Razaq al-Mahdi jadil adalah perdebatan yang
dilakukan dengan cara yang baik, lemah lembut, serta tutur kata yang baik. Yang demikian itu sama seperti frman Allah Ta’ala:
اولدجتیلو
لھأ
بتكلا
یلإ
ىتلاب
ىھ
نسحأ
یلإ
ناذلا
اوملظ
مھنم
Artinya:
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka,116”.117
Menurut Muhammad Ali as-Sabuny jadil adalah mendebat orang-orang
yang menentang dengan cara-cara yang baik, dengan menggunakan bukti-bukti dan alasan-alasan yang tepat.118 Sedangkan Menurut Ahmad Mushtofa
al-114 Abu Bakar Jabir Al-Jazairi. Op. Cit hlm.170 115 A'idh bin Abdullah Al-Qarni. Op. Cit,. hlm. 331 116 Surat Al-‘Ankabut: 46
117 Abdu Razaq Al-Mahdi. Op. Cit,. hlm. 78 118 Muhammad Ali As-Sabuny. Op. Cit,. hlm.173
Maraghi jadil merupakan percakapan atau perdebatan untuk memuaskan penentang.119 Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa bantahan dalam
baik.120
Kemudian Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti menjelaskan, jadil maksudnya
perdebatan dengan debat terbaik, seperti menyeru manusia kepada Allah dengan
ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujjah.121 Adapun menurut
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi jadil adalah berdebat dengan metode yang baik. Yang tidak mencaci-maki tuhan-tuhan lawannya yang menyebabkan mereka memaki Allah.122
Selanjutnya yang terakhir menurut M. Quraish Shihab, kata ( (مھلداج
jâdilhum terambil dari kata ( لادج ) jidâl yang bermakna diskusi atau bukti-bukti
yang mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat
bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya mitar bicara.123 Masih menurut beliau, Jadil adalah perdebatan dengan cara yang 119 Ahmad Mushtofa Al-Maraghi. Op. Cit,. hlm. 157
120 Ibid. hlm. 161
121 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar
As-Suyuti. Op. Cit,. hlm. 173
122 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi. Op. Cit,. hlm. 2291 123 M. Quraish Shihab. Op. Cit,. hlm. 387
terbaik yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.124
Sedangkan perintah berjadil disifati dengan kata ( نسحأ ) ahsan/ yang
terbaik, bukan sekedar yang baik. Kemudian beliau mengklasifkasi jadil terdiri dari tiga macam: (a) yang buruk adalah yang disampaikan dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan serta yang menggunakan dalil-dalil yang tidak benar, (b) yang baik adalah yang disampaikan dengan sopan, serta
menggunakan
dalil-dalil atau dalih wahyu hanya yang diakui oleh lawan, tetapi yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik, dan dengan argumen yang benar, lagi membungkam lawan.125
Selanjutnya setelah peneliti memahami penjelasan di atas, peneliti bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel V: Tentang Metode Jadil N0. Ahli tafsir Metode Jadil
1 Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi
Membantah dengan cara yang lebih baik dan itu lebih baik dari yang lain, tidak ada unsur celaan, ejekan, dan sindiran buruk, karena yang demikian itu lebih dapat diterima. 2 A'idh bin Abdullah
al-Qarni
serta mnghindari sikap bangga diri dan sombong.
3 Abdu Razaq al-Mahdi Perdebatan yang dilakukan dengan cara yang baik, lemah lembut, serta tutur kata yang baik.
4 Muhammad Ali as-Sabuny
Mendebat peserta didik yang menentang dengan cara-cara yang baik, dengan
menggunakan bukti-bukti dan alasan-alasan
124 Ibid. hlm. 386 125 Ibid. hlm. 387
yang tepat.
5 Ahmad Mushtofa al-Maraghi
Percakapan atau perdebatan untuk memuaskan peserta didik yang tidak sependapat. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa bantahan dalam perdebatan tersebut adalah bantahan lebih baik dari bantahan lainnya, seperti memberi maaf kepada peserta didik jika
mereka mengotori kehormatan pendidik, serta bersikap lemah lembut taehadap mereka dengan menyampaikan kata-kata yang baik. 6 Jalaluddin Muhammad
bin Ahmad al-Mahalli dan Jalaluddin
Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti
Perdebatan dengan debat terbaik, seperti menyeru peserta didik kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru mereka kepada
hujjah.
7 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi
Berdebat dengan metode yang baik, seperti tidak mencaci maki Tuhan peserta didik yang kebetulan berbeda agama dengan pendidik.
8 M. Quraish Shihab Perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas
dari kekerasan dan umpatan.
Diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi (peserta didik) dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya mitar bicara (peserta didik)
Dari interpretasi ahli tafsir di atas, dapat dipahami bahwa metode hikmah
memudahkan, disertai dengan dalil-dalil yang kuat (ilmiyah dan logis) dan perumpamaann yang dapat meresap dalam diri atau dapat mempengaruhi jiwa peserta didik. Sehingga mereka dapat mengaplikasikan sikap-sikap positif yang bisa
membawa maslahat bagi hidupnya.
Di samping itu, metode hikmah diartikan dengan seuatu yang diturunkan dan berasal dari Nabi Muhammad SAW. yaitu al-Quran dan as-sunnah.126 Hal ini
mempertegas dan memperjelas, bahwa metode hikmah harus bersih dari sesutau yang
bersifat negatif. Sebab al-Qur’an dan as-sunnah merupakan simbol dari segala sesuatu yang bersifa positif dan kemaslahatan.
Adapun metode mau’izhah, yaitu metode dengan nasehat-nasehat yang lemah lembut lagi benar, ajakan pada suatu hal yang positif atau memberi pelajaran dan
peringatan dengan dalil-dalil (argumentasi) yang dapat diterima oleh akal atau kemampuan peserta didik, disertai keteladanan dari yang menyampaikan. Ada suatu hal yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik lebih-lebih ketika menggunakan metode ini, yaitu adanya ketauladanan, artinya ada kesesuaian
antara yang ia sampaikan dengan prilakunya sehari-hari. Sebab ketika ada seorang
guru yang menggunakan metode mau’izhah, tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan
perilakunya, maka jangan berharap banyak terhadap perubahan perilaku peserta
didiknya.
Sebagai mana yang dikatakan M. Quraish shihab, metode ini baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan
dan keteladanan dari pendidik .127
126 Abu Bakar Jabir Al-Jazairi. Op. Cit,. hlm. 169, Abdu Razaq Al-Mahdi. Op. Cit,. hlm. 78, dan
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuti.
Op. Cit., hlm. 173
127 M. Quraish Shihab. Op. Cit,. hlm. 387
Allah berfrman dalam Al-Qur’an surat As-Shaf ayat 2-3
.
.
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.128
dengan masalah agama dan nilai-nilai kebaikan. Sebab ketika apa yang ia sampaikan
belum diamalakan, sungguh Allah SWT. amat benci terhadap pendidik yang demikian. Di samping itu peserta didik akan menjadi ragu dengan kebenaran ilmu
yang disampaikan oleh pendidik.
Kemudian yang terakhir metode jadil, ialah berdebat atau membantah dengan peserta didik yang tidak menerima pendapat atau ajakan dengan cara-cara yang
terbaik, dengan argumentasi dan ide atau dengan bukti-bukti dan alasan-alasan yang
tepat serta tanggapan yang tidak emosional, tidak ada unsur celaan, ejekan, sindiran
dan kesombongan. Sehingga memuaskan bagi peserta didik yang tidak menerima
pendapat atau ajakan pendidik.
Lebih lanjut kemudian, berjadil disifati dengan kata ( نسحأ ) ahsan yang
mempunyai arti “terbaik”, bukan sekedar yang baik. Dalam hal ini, jadil dapat diklasifkasikan menjadi tiga macam,129 yaitu:
128 Al-Qur’an surat As-Shaf ayat 2-3, Op. Cit., hlm. 928
1. Yang buruk adalah berdebat yang disampaikan dengan kasar, yang
mengundang kemarahan peserta didik serta yang menggunakan dalil-dalil yang tidak benar.
2. Yang baik adalah berdebat yang disampaikan dengan sopan, serta
menggunakan argumen atau dalih wahyu hanya yang diakui oleh peserta didik.
3. Yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik, dan dengan argumen
yang benar, lagi membungkam peserta didik
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang sudah peneliti lakukan, maka terdapat kesimpulan sebagai beriktu:
1. Di dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 125 terdapat tiga macam metode pendidikan, yakni; metode hikmah, metode mau’izhah dan metode jadil.
2. Kemudian dari beberapa interpretasi ahli tafsir dapat dipahami sebagai berikut, yaitu; pertama metode hikmah, (a) Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi ialah perkataan yang bijak lagi benar serta memiliki dalil untuk menjelaskan kebenaran. (b) A'idh bin Abdullah al-Qarni ialah perkataan lembut dalam menyeru dan sopan ketika berbincang dengan peserta didik pada kebaikan sesuai dengan aturan al-Qur’an dan sunnah, tidak boleh marah, bersikap kasar maupun mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. (c) Abdu Razaq
Mahdi ialah apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad berupa al-Qur’an dan as-sunnah, (d) Muhammad Ali as-Sabuny ialah dengan kalimat bijak, lemah lembut dan kemudahan, sehingga meresap dalam diri peserta didik, (e) Ahmad Mushtofa al-Maraghi ialah perkataan yang kuat dan disertai dengan dalil, yang menjelaskan kebenaran, dan menghilangkan