PENERAPAN JARINGAN DISTRIBUSI SISTEM DISTRICT METER AREA DALAM OPTIMALISASI PENURUNAN KEHILANGAN AIR
DITINJAU DARI ASPEK TEKNIS DAN FINANSIAL
(STUDI KASUS : WILAYAH LAYANAN IPA BENGKURING PDAM TIRTA KENCANA KOTA SAMARINDA KALIMANTAN TIMUR)
APPLICATION OF DISTRICT METER AREA FOR WATER SUPPLY DISTRIBUTION SYSTEM TO REDUCTION OF WATER LOSSES BASED
ON TECHNICAL AND FINANCIAL ASPECTS
(CASE STUDY : IPA BENGKURING SERVICE AREA, PDAM TIRTA KENCANA IN SAMARINDA CITY, EAST BORNEO PROVINCE)
Muhammad Rizki Sya’bani1, Suprihanto Notodarmojo2, dan Yuniati3 Program Magister Pengelolaan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha Nomor 10, Bandung 40132
E-mail : 1[email protected], 2[email protected], 3[email protected]
Abstrak: Permasalahan internal pendistribusian air minum umumnya disebabkan oleh tingginya kehilangan air yang mengakibatkan gangguan layanan serta meningkatnya biaya produksi dan perawatan. IPA Bengkuring merupakan unit pengolahan air tunggal yang mensuplai air di seluruh wilayah bengkuring, puspita dan padat karya. Pada tahun 2013, wilayah layanan IPA Bengkuring memiliki angka kehilangan air sebesar 63 %. Konsep District Meter Area (DMA)merupakan sebuah strategi dalam mengelola kehilangan air, yakni dengan membagi satu jaringan pasokan air terbuka menjadi zona-zona terisolasi bermeter yang lebih kecil dan lebih bisa dikelola, dan tentunya dengan penetapan penanggung jawab masing-masing DMA, agar penyelesaian kehilangan air dapat lebih terorganisir. Tujuan utama dalam penerapan konsep ini ialah menurunkan kehilangan air fisik. Pada penelitian ini, dilakukan kajian teknis dan finansial terkait kelayakan dari penerapan DMA di wilayah layanan IPA Bengkuring. Menurut hasil akhir penyusunan neraca air dalam penelitian ini, didapatkan angka kehilangan air di wilayah layanan distribusi IPA Bengkuring tahun 2015 sebesar 46 %, yang mana terdiri dari 8 % kehilangan air non fisik/komersil dan 38 % kehilangan air fisik. Kemudian berdasarkan hasil analisa teknis dan finansial, DMA skenario 3 terpilih sebagai desain yang paling efektif diterapkan karena memiliki tekanan rata-rata distribusi paling baik di tahun awal dengan keandalan tekanan distribusi paling panjang. Pada prinsipnya, DMA skenario 3 membagi wilayah layanan distribusi Bengkuring menjadi 7 zona DMA dengan zona layanan terbesar meliputi 500 - 600 SR dan zona layanan terkecil meliputi 100 - 200 SR. Tekanan rata-rata distribusi setelah diterapkannya DMA ini meningkat 30 % dari tekanan awal eksisting, yakni dari 17,59 m menjadi 23,31 m, sementara itu berdasarkan simulasi peningkatan kebutuhan air, DMA skenario 3 ini memiliki keandalan hingga tahun ke-13 jika mengacu pada standar tekanan rata-rata minimal yang harus dimiliki sebuah DMA, yakni 5 m. Selain itu ditinjau dari finansial, penerapan DMA ini membutuhkan biaya investasi sebesar Rp 3.112.780.000,- dengan NPV, BCR dan PP selama periode analisis 20 tahun berturut-turut sebesar Rp 22.096.998.512,- ; 1,44 ; dan 5,20 tahun. Desain DMA skenario 3 ini memiliki ukuran zona layanan yang relatif kecil, sehingga proses kontrol dan tindak lanjut oleh masing-masing pertanggungjawab akan lebih fokus, proses peningkatan kesadaran “awarness” kebocoran pipa akan lebih cepat, perbaikan kebocoran secara aktif akan lebih mudah, operasional penurunan kehilangan air fisik akan lebih murah yang pada akhirnya akan mempercepat penurunan angka kehilangan air dengan biaya yang lebih ekonomis.
Kata Kunci: DMA, Kehilangan air, Simulasi, Neraca air, Kelayakan teknis, Kelayakan finansial Abstract: Internal problems of distribution drinking water are generally caused by high water losses which resulted in service disruptions and rising costs of production and maintenance. Bengkuring water treatment is a single water treatment plant that supplies water throughout the region of Bengkuring, Puspita and
Padat Karya. In 2013, Bengkuring WTP service area has a number of water loss is 63%. District Meter
concept is the reduction of physical water loss. In this study, carried out technical and financial studies related to the feasibility of the implementation of DMA in Bengkuring water treatment service area. According to the final results of the water balance in the preparation of this study, obtained figures of water loss in distribution service territory IPA Bengkuring 2015 by 46%, which consisted of 8% of non-physical water losses / commercial and 38% of physical water loss. Then based on the results of the technical and financial analysis, third scenario of DMA was selected as the most effective design applied for has an average pressure distribution of the nicest in the early years with the longest reliability of the pressure distribution. In principle, the third scenario of DMA divide Bengkuring distribution service territory into 7 zones of DMA with the largest service zone covers 500-600 household connection and the smallest service zone covers 100-200 household connection. The average pressure distribution after the implementation of DMA increased 30% from the initial pressure existing, ie from 17.59 m to 23.31 m. Meanwhile, based on simulation of an increased water demand, the third scenario of DMA has the reliability up to the 13th year if the standard refers to the average minimum pressure that must be owned by a DMA, that’s 5 m. Moreover in terms of financial, DMA application requires an investment of Rp 3.112.780.000,- with value of NPV, BCR and PP during the analysis period of 20 years respectively for Rp 22.096.998.512,- ; 1,44 ; and 5,20 years. The third scenario of DMA has a size relatively small service zone, so that the process control and follow-up by the respective overall responsibility will be more focus, awareness raising process of pipeline leak would be faster, actively leak repair will be easier, operational decline of physical water loss will be cheaper, which in turn will accelerate the rate reduction of water loss with a more economical cost.
Keywords: DMA, Water Losses, Simulation, Water Ballance, Technical Feasibility, Finance Feasibility
PENDAHULUAN
Permasalahan internal pada pendistribusian air minum dalam jaringan pada umumnya disebabkan oleh usia jaringan pipa dan frekuensi kebocoran yang tinggi hingga mengakibatkan gangguan layanan, jumlah kehilangan air yang besar dan memerlukan lebih banyak biaya produksi dan perawatan (Candelieri dkk., 2014). Maryati dan Arika (2008) juga menyebutkan bahwa permasalahan PDAM adalah tingkat kebocoran yang tinggi dan keterbatarsan dana. Saat ini, angka kehilangan air di Indonesia masih cukup tinggi dengan rata-rata sebesar 37%. Bahkan di beberapa PDAM, angka kehilangan air mencapai 70% (Sembiring, 2015). Saat ini, terdapat strategi untuk mengubah pendekatan dalam melakukan analisis kehilangan air dan manajemen jaringan distribusi air dari pendekatan pasif menjadi proaktif, pendekatan cerdas yang didasarkan pada perkembangan teknologi monitoring tersebut adalah sistem komputasi dengan simulasi melalui perangkat lunak (Di Nardo, 2014).
Instalasi Pengolahan Air Bengkuring merupakan unit pengolahan dan pendistribusi air dibawah PDAM Tirta Kencana Kota Samarinda yang melayani 3.026 sambungan rumah di seluruh wilayah Bengkuring, Puspita dan Padat Karya. Pada tahun 2013, wilayah layanan distribusi IPA Bengkuring tercatat memiliki kehilangan air sebesar 63 %, yang mana sebagian besar didominasi oleh kehilangan air fisik atau kebocoran pipa (Angga, 2013). Berdasarkan hal tersebut, PDAM Kota Samarinda berencana untuk melaksanakan program penurunan kehilangan air, yakni dengan terlebih dahulu membagi zona pelayanan di wilayah tersebut ke dalam beberapa district bermeter yang lebih kecil dengan masing-masing penanggungjawabnya, sehingga mempermudah dalam program penurunan kehilangan air melalui manajemen kontrol aliran dan tekanan. Konsep inilah yang kemudian dinamakan District Meter Area (DMA) dengan strategi pendekatan proaktif dalam pengendalian kehilangan air. Penerapan konsep ini memungkinkan PDAM Kota Samarinda untuk bisa memahami jaringan secara lebih baik, sehingga lebih mudah menganalisis tekanan dan aliran.
suplai inlet harus jelas, DMA harus memiliki tekanan aliran yang cukup (minimal 5-10 meter sesuai Permen PU No.18 Tahun 2007), DMA diwajibkan memiliki penanggungjawab teknis maupun administratif, kontur elevasi di wilayah DMA harus relatif seragam (tidak terlalu ekstrem), karakter pelanggan di wilayah DMA disarankan relatif sama (seragam), selanjutnya yang tidak kalah penting ialah semaksimal mungkin kondisi DMA memenuhi kontinuitas pengaliran selama 24 jam 7 hari (BPPSPAM, 2009). Selanjutnya jika ditinjau dari segi finansial, pengelola penyedia air minum pasti memiliki suatu tingkat keterbatasan dalam pembiayaan. Oleh karenanya, harus diciptakan suatu desain jaringan perpipaan yang optimal terhadap setiap satuan biaya yang telah dikeluarkan (Kamil, 2011). Apabila dibandingkan dengan nilai air yang hilang di lokasi tersebut, terdapat suatu tingkat dimana kehilangan air optimum yang bisa diturunkan. Dibawah tingkat kehilangan air tersebut, tidak ekonomis lagi, dalam artian manfaat yang diperoleh akan lebih kecil dari biaya penurunan kehilangan air.
Masalah mendasar yang seringkali dihadapi oleh sebagian besar PDAM di Indonesia (termasuk PDAM Kota Samarinda) dalam merealisasikan program DMA ini ialah PDAM belum secara baik memahami kondisi pengaliran yang telah ada, sehingga sulit untuk pengambilan keputusan dalam mendesain pembentukan DMA. Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yang pertama untuk mengetahui jumlah kehilangan air di wilayah layanan IPA Bengkuring, kemudian yang kedua ialah untuk mengetahui kemungkinan terbaik dalam penerapan District Meter Area, dengan terlebih dahulu membuat simulasi permodelan sistem jaringan distribusi eksisting yang telah ada, kemudian mensimulasikannya ke dalam beberapa pilihan skenario zona (DMA), untuk selanjutnya dilakukan perbandingan masing-masing skenario tersebut berdasarkan aspek teknis dan finansial, sehingga akan diperoleh sebuah skenario desain DMA yang terbaik untuk diterapkan di wilayah layanan IPA Bengkuring.
METODOLOGI
Penelitian ini terbagi ke dalam beberapa metode analisis, yaitu analisis kehilangan air, analisis hidrolika jaringan distribusi, dan analisis kelayakan finansial. Adapun diagram alir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1,dengan uraian penjelasan analisis yang dilakukan ialah sebagai berikut :
Analisis Kehilangan Air (Simulasi softwareWB Easycalc)
Analisis Hidrolika Jaringan Distribusi (Simulasi software Epanet 2.0)
Sistem jaringan distribusi air wilayah layanan IPA Bengkuring disimulasikan ke dalam suatu model menggunakan software Epanet 2.0. Karakteristik model Epanet ini meliputi komponen fisik dan non fisik jaringan distribusi. Komponen fisik jaringan distribusi meliputi : perpipaan, node, tangki dan pompa. Sementara itu komponen non fisik jaringan diantaranya kebutuhan air tiap node (base demand), fluktuasi konsumsi air (demand patern), persamaan hidrolis yang digunakan, dan koefisien kehilangan air (emitter). Setelah simulasi model jaringan distribusi berjalan sukses, penting kemudian untuk dilakukan validasi. Tujuannya ialah untuk mengetahui sejauh mana model tersebut mampu menggambarkan kondisi real di lapangan. Validasi dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran tekanan lapangan dengan tekanan hasil simulasi epanet pada lokasi dan waktu yang sama. Semakin kecil selisih dan perbedaan pola sebaran data, semakin baik model tersebut dalam menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan, sehingga dapat dipahami dan menjadi pertimbangan dalam simulasi jaringan menuju konsep zoning/DMA. Setelah model epanet dikatakan valid, dilakukan simulasi pembentukan DMA yang terbagi pada beberapa skenario desain berdasarkan asumsi ukuran zona pelayanan dan skema perpipaan distribusi eksisting. Pada tahap akhir dilakukan perbandingan teknis seluruh skenario untuk mendapatkan desain yang terbaik.
Analisis Finansial (Net Present Value, Benefit Cost Ratio, dan Payback Period) Langkah awal dalam melakukan analisis finansial ialah menginventarisasi kebutuhan biaya dalam penerapan masing-masing skenario DMA, serta menentukan skenario pembiayaan operasional dan pendapatan. Analisis finansial dilakukan selama periode analisis 20 tahun agar diketahui kelayakan proyek masing-masing skenario DMA sebagai pertimbangan menentukan skenario terpilih. Mengacu pada Permen PU Nomor 21 tahun 2009, analisa finansial dalam penelitian ini mencakup rencana investasi proyek; rencana volume air terjual; rencana biaya operasional dan pemeliharaan; Rencana proyeksi pendapatan dan harga air; proyeksi cashflow selama periode operasional; dan valuasi kelayakan proyek berdasarkan parameter Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Payback Period (PP).
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian Perumusan Ide dan Masalah
Studi Literatur Tujuan Penelitian
Persiapan
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
Analisis Kehilangan Air Analisis Hidrolika Jaringan Analisis Finansial
Hasil dan Pembahasan
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Kehilangan Air
Wilayah layanan IPA Bengkuring terdiri dari beberapa sub wilayah, yaitu Perumahan Bengkuring (Blok A, B, C, D, dan E), Perumahan Puspita dan kawasan Padat Karya. Total pelanggan terlayani di wilayah ini sebanyak 3.026 SR. Sesuai kriteria pembentukan DMA, wilayah ini telah terisolasi sempurna dengan IPA Bengkuring sebagai unit tunggal pensuplai air bersih. Berdasarkan hasil simulasi software WB Easycalc, didapatkan tabel hasil perhitungan neraca air seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Hasil perhitungan neraca air di wilayah studi
Berdasarkan hasil diatas, secara lebih rinci tingginya kehilangan air fisik disebabkan oleh adanya kebocoran pipa distribusi yang terlihat maupun tidak terlihat (Background Leakage), kebocoran akibat sambungan pipa, serta kebocoran pipa dinas pelanggan. Sementara itu kehilangan air non fisik disebabkan oleh kurang baiknya akurasi meter pelanggan, human error dalam penanganan data, serta pencurian air. Adapun kerugian finansial yang diterima PDAM Kota Samarinda akibat kehilangan air fisik dan non fisik di wilayah layanan IPA Bengkuring berturut-turut sebesar Rp 2.173.852.206,- dan Rp 556.110.936,-.
Hasil Analisis Hidrolika Jaringan
Analisis hidrolika jaringan dari hasil simulasi model epanet dilakukan berdasarkan parameter tekanan dan kecepatan aliran (Permen PU No.18 Tahun 2007), yakni pada jam-jam kritis konsumsi air seluruh pelanggan di wilayah layanan IPA Bengkuring, yaitu pada saat jam konsumsi minimum pukul 02.00 malam dan jam konsumsi puncak pukul 07.00 pagi, maka didapatkan hasil seperti yang terlihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Gambar 3. Hasil simulasi tekanan model Epanet
Gambar 4. Hasil simulasi kecepatan aliran model Epanet
Berdasarkan hasil simulasi epanet, tekanan pada jam konsumsi air minimum (pukul 02:00) di seluruh wilayah layanan IPA Bengkuring rata-rata masih memenuhi standar Permen PU No.18 Tahun 2007 (>10 m), hanya sebagian wilayah Padat Karya dan Perumahan Puspita saja yang memiliki tekanan dibawah standar. Hal ini dikarenakan pada lokasi tersebut memiliki kontur elevasi yang lebih tinggi, sehingga sisa tekan di wilayah tersebut akan lebih kecil dibandingkan dengan lokasi lain dengan ketinggian kontur yang lebih rendah. Selanjutnya pada jam konsumsi air puncak (pukul 07:00), terjadi penurunan tekanan di seluruh wilayah studi, dapat dilihat penurunan tekanan paling signifikan terjadi di wilayah Blok E hingga mencapai tekanan di bawah standar (<10 m), sementara itu pada sebagian wilayah lainnya juga terjadi penurunan tekanan namun masih berada diatas standar minimal yang ditetapkan (>10 m). Kemudian jika ditinjau dari nilai kecepatan aliran, sebanyak 88 % ruas perpipaan distribusi di wilayah ini berada di bawah standar kecepatan aliran dalam pipa PVC menurut Permen PU No.18 Tahun 2007 (0,3 – 3 m/detik) saat jam konsumsi air minimum malam hari, dan menurun menjadi 76 % pada jam puncak.
Gambar 5. Hasil validasi tekanan model Epanet
Gambar 6. Desain DMA Skenario 1, 2, dan 3
Berdasarkan hasil simulasi software epanet, penerapan tiap skenario DMA akan menyebabkan perubahan tekanan dan kecepatan aliran distribusi. Terjadi penurunan tekanan akibat penerapan DMA skenario 1, 2 dan 3 berturut-turut sebesar 26 %, 31 %, dan 1 %. Dapat diketahui bahwa, DMA skenario 3 memiliki resiko penurunan tekanan paling rendah. Ditinjau dari kecepatan aliran, penerapan ketiga skenario ini menghasilkan peningkatan kecepatan aliran berturut-turut untuk DMA skenario 1, 2 dan 3 sebesar 2 %, 1 % dan 3 %.
Dapat diketahui bahwa, DMA skenario 3 juga memiliki peningkatan kecepatan aliran yang paling baik (Gambar 7). Selanjutnya untuk meningkatkan kualitas DMA, direncanakan beberapa skenario upgrade pipa berdiameter lebih besar dan pompa dengan head lebih besar, sehingga didapatkan peningkatan kualitas tekanan distribusi untuk menjaga keandalan sistem, yang mana hal tersebut menjadi pertimbangan utama dalam penerapan jaringan distribusi sistem DMA. Menurut pedoman BPPSPAM, syarat minimum tekanan dalam penerapan DMA ialah 5-10 m. Adapun rata-rata tekanan setelah dilakukan upgrade pipa dan pompa untuk masing-masing skenario DMA secara berturut-turut untuk DMA skenario 1, 2 dan 3 ialah 21,75 m ; 19,76 m ; dan 23,31 m. Berikut ini juga dapat dilihat gambaran peningkatan tekanan sebelum dan sesudah upgrade DMA yang disajikan pada Gambar 8.
Gambar 7. Hasil simulasi software epanet untuk masing-masing skenario DMA
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3
Gambar 8. Hasil simulasi software epanet setelah upgrade skenario DMA
Langkah selanjutnya setelah simulasi hidrolik selesai dilakukan ialah analisis finansial, dilakukan inventarisasi biaya investasi tiap skenario DMA, kemudian diasumsikan target penurunan kehilangan air fisik untuk masing-masing skenario DMA menurut pertimbangan referensi penurunan kehilangan air PDAM Kota Malang dan asumsi pembiayaan operasional menurut Ranhill Malaysia. “Dengan desain ukuran DMA yang relatif kecil, akan semakin tinggi biaya investasinya, karena akan semakin banyak pembentukan DMA yang dibutuhkan dalam suatu wilayah. Adapun keuntungan dari ukuran DMA yang relatif kecil ialah operasional pencarian kebocoran dan manajemen kontrol akan semakin mudah dan murah, penanggungjawab DMA akan lebih fokus pada penanganan kebocoran, perbaikan kebocoran secara aktif akan meningkat, dan yang terpenting penurunan kehilangan air akan jauh lebih mudah dan cepat, namun perlu diketahui pula bahwa semakin rendah kehilangan air di suatu wilayah, akan semakin menurun efektifitas penanganannya, serta akan meningkat biaya operasionalnya, karena akan dibutuhkan ketelitian yang sangat tinggi” (Ranhill, 2014). Adapun asumsi penurunan kehilangan air fisik dan kenaikan biaya operasional oleh tiap skenario DMA dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Asumsi penurunan kehilangan air dan peningkatan biaya operasional DMA Skenario Asumsi penurunan kehilangan air Asumsi peningkatan biaya operasional
1
2,5% / Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik >30 % 2% / Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik 30-20 % 1% / Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik 20-10 % 0,5% / Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik <10 %
8%/Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik >20 % 9%/Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik <20 % 10%/Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik <10 %
2
3% / Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik >30 % 2,5% / Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik 30-20 % 1,5% / Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik 20-10 % 1% / Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik <10 %
6%/Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik >20 % 7%/Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik <20 % 8%/Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik <10 %
3
4% / Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik >30% 3,5% / Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik 30-20 %
2% / Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik 20-10 % 1,5% / Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik <10 %
3%/Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik >20 % 4%/Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik <20 % 5%/Tahun, Jika Kehilangan Air Fisik <10 %
Sebelum
Sesudah 1 2 3
Berdasarkan penerapan ketiga skenario DMA didapatkan biaya investasi tertinggi pada DMA skenario 3, hal ini dikarenakan pada DMA ini terdiri dari 7 zona berukuran kecil (maksimal layanan 500-600 SR/zona), sehingga kebutuhan peralatan DMA tiap zona akan lebih banyak dibandingkan dengan DMA skenario 1 dan 2 yang masing-masing memiliki 3 zona pelayanan (maksimal layanan 1.500-1.700 SR/zona) dan 4 zona pelayanan (maksimal layanan 1.200-1.400 SR/zona). Sementara itu berdasarkan biaya operasional penanganan kebocoran, DMA Skenario 3 akan lebih mudah dan murah, dengan persentase penurunan kehilangan air yang lebih tinggi dikarenakan lebih mudahnya pengelolaan kebocoran/kehilangan air pada desain ini. Adapun penurunan kehilangan air akan menghasilkan ketersediaan air yang lebih banyak (berasal dari volume air yang terselamatkan) dan menghemat biaya operasional produksi IPA Bengkuring. Adapun perbandingan akumulasi pendapatan yang dari penurunan kehilangan air oleh masing-masing skenario DMA dapat dilihat pada Gambar 9. Selanjutnya berdasarkan hasil proyeksi investasi, operasional dan rencana pendapatan, maka didapatkan proyeksi cashflow (Gambar 10) pada tingkat suku bunga 11% dengan kelayakan finansial ketiga skenario DMA pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Hasil simulasi finansial pada suku bunga 11%, periode analisis 20 tahun Skenario Biaya Investasi NPV 20 Tahun BCR 20 Tahun PP Status
1 Rp 2,014 Milliar Rp 20,141 Milliar 1,39 3 Tahun 3 Bulan Layak 2 Rp 2,497 Milliar Rp 20,807 Milliar 1,40 4 Tahun 1 Bulan Layak 3 Rp 3,112 Milliar Rp 22,096 Milliar 1,44 5 Tahun 2 Bulan Layak
Berdasarkan hasil ini, maka kesemua skenario DMA ini layak untuk diterapkan di wilayah layanan distribusi IPA Bengkuring. Namun berdasarkan pertimbangan kualitas teknis tekanan dan analisa kelayakan finansial, DMA skenario 3 terpilih sebagai desain yang direkomendasikan untuk diterapkan. Karena memiliki rata-rata tekanan distribusi paling baik dan dengan NPV tertinggi di akhir tahun periode analisis.
Gambar 9. Akumulasi pendapatan air oleh masing-masing penurunan skenario DMA
Gambar 10. Hasil proyeksi cashflow periode analisis 20 tahun pada suku bunga 11%
10 20 30 40
2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035
Aku
2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035
KESIMPULAN
Wilayah layanan IPA Bengkuring memiliki persentase kehilangan air sebesar 46 % yang terdiri dari 8% kehilangan air non fisik/komersil dan 38% kehilangan air fisik. Adapun penyebab kehilangan air non teknis/komersil yaitu akurasi meter pelanggan dan penanganan data yang kurang baik, serta adanya pelanggan tak resmi (illegal). Sedangkan penyebab kehilangan air fisik berasal dari kebocoran pipa distribusi dan sambungan pelanggan. Ada 3 skenario desain DMA yang dapat diterapkan di wilayah layanan IPA Bengkuring, yakni DMA skenario 1 yang terdiri dari 3 DMA dengan maksimal layanan 1.500-1.700 SR per zona, DMA skenario 2 yang terdiri dari 4 DMA dengan maksimal layanan 1.200-1.400 SR per zona, serta DMA skenario 3 yang terdiri dari 7 DMA dengan maksimal layanan 500-600 SR per zona. Berdasarkan analisa teknis penerapan ketiga sistem District Meter Area ini, DMA skenario 3 memiliki rata-rata tekanan paling baik, yakni 23,31 m di semua lokasi. Selanjutnya ditinjau dari aspek finansial, ketiga skenario desain DMA ini memiliki kelayakan proyek menurut Permen PU Nomor 21 Tahun 2009, Net Present Value berturut-turut dari skenario 1 sampai 3 ialah Rp 20.141.404.022, Rp 20.807.872.998, Rp 22.096.998.512. Benefit Cost Ratio berturut-turut dari skenario 1 sampai 3 ialah 1.39, 1.40, 1.44. dan Payback Period berturut-turut dari skenario 1 sampai 3 ialah 3.22 tahun, 4.09 tahun, dan 5.20 tahun. Berdasarkan pertimbangan secara teknis dan finansial ini kemudian dipilih DMA skenario 3 sebagai desain yang paling direkomendasikan untuk diterapkan di wilayah layanan distribusi IPA Bengkuring.
DAFTAR PUSTAKA
Azzaino, Yuniati Z., dan Karlinda, Risa. (2014) : Perencanaan Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) di Wilayah Gedebage,Kota Bandung Jawa Barat. Institut Teknologi Bandung : Bandung.
BPPSPAM. 2014. Pedoman Penurunan Air Tak Berekening (Non Revenue Water). Kementerian Pekerjaan Umum BPPSPAM
Candilieri, A., Conti D., dan Archetti, F. (2014) : A Graph Based Analysis of Leak Localization in Urban Water Networks. Procedia Engineering. Volume 70 : 228-237.
De Souza, E.V., dan Da Silva, M.A. Costa. (2014) : Management System for Improving the Efficiency of Use Water Systems Water Supply. Procedia Engineering. Vol. 70 : 458-466.
Di Nardo, A., Di Natale, M., Santonastaso, G., Tzatchkov, V., dan Alcocer, V. (2014) : Water Network Sectorization Based on Graph Theory and Energy Performance Indices. Journal Water Resources
Planning and Management.Volume 140 (5) : 620-629.
Iqbal, Rofiq., dan Setiani, Putri. (2008) : Pemodelan Pengembangan Jaringan Distribusi PDAM Kota Bandung dengan Epanet 2.0. Institut Teknologi Bandung : Bandung.
Mamo, Thewordos G., dan Juran, Ilan. (2014). Source of Uncertainty in Water Supply Pipeline Leak Detection Using District Meter Area Data. International Journal of Scientific Engineering &
Research (IJSER). Vol. 2 (3) : 2347-3878
Maryati, Sri., Arika, dan Dian Mangiring. (2008) : Penerapan Water Demand Management di Kelurahan Setiamanah, Kota Cimahi. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Volume 1 : 69-87
Menteri Pekerjaan Umum. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 18/PRT/M/2007 Tentang
Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Jakarta: Kementrian Pekerjaan
Umum.
Riegg Cellini, Stephanie dan Edwin Kee, James. 2010 : Cost-Effectiveness and Cost-Benefit Analysis. Handbook of Practical Program Evaluation : San Fransisco.
Sabar, Arwin. (2009) : Perubahan Iklim, Konversi Lahan dan Ancaman Banjir dan Kekeringan di Kawasan Terbangun. Pidato Ilmiah Guru Besar Institut Teknologi Bandung. Majelis Guru Besar ITB : Bandung.
Wegelin, Willem., Mckenzle, Ronnie., Herbst, Paul., Bhagwan, Jay., dan Wensley, Allestair. (2011) : Benchmarking and tracking of water losses in all municipalities of South Africa. Magazine of the