• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM TA TA RUANG edit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM TA TA RUANG edit"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

HUKUM TATA RUANG A. LATAR BELAKANG

Pertumbuhan penduduk disuatu negara menuntut pemerintahnya untuk mampu menyediakan berbagai sarana dan pemenuhan hidup rakyatnya. Negara dituntut untuk berperan lebih jauh dan melakukan campur tangan terhadap aspek pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam rangka mensejahterakan rakyatnnya.

Bagi Indonesia, keanekaragaman pemanfaatan sumber daya alam dalam usaha memacu pertumbuhan yang mendukung pemerataan serta peningkatan petumbuhan ekonomi, diupayakan sejalan dengan kemampuan alam Indonesia dan kebutuhan masyarakat yang semakin beraneka ragam sekali. Campur tangan pemerintah dalam urusan masyarakat tersebut sesungguhnya merupakan peran sentral, tetapi bukan berarti rakyat berpangku tangan. Sebagai sebuah negara berkembang, Republik Indonesia saat ini sedang mengalami proses perubahan yang sangat penting. Globalisasi membuat suatu tatanan dunia berubah. Nilai-nilai seperti demokrasi dan persamaan hak selalu dikedepankan pergaulan antar bangsa.

Wilayah negara Indonesia terdiri dari wilayah nasional sebagai suatu kesatuan wilayah provinsi dan wilayah baupaten/kota yang masing-masing merupakan sub-sistem menurut batasan administrasi. Secara makro, kegiatan pembagunan ekonomi meliputu berbagai aktivitas, pembangunan, mulai dari pembangunan sektor perumahan, industri, transportasi, perdagangan dan lain-lain.

Penggunaan lahan oleh setiap aktivitas pembangunan sedikitnya akan mengubah rona lingkungan awal menjadi rona lingkungan baru, sehingga menjadi perubahan kesinambungan lingkungan, yang kalau tidak dilakukan pengharapan secara cermat dan bijaksana, akan terjadi kemerosotan kualitas lingkungan, merusak dan bahkan memusnahkan kehidupan habitat tertentu dalam ekosistem bersangkutan. Pembangunan di Indonesia, khususnya dibeberapa wilayah perkotaan tertentu, harus memiliki suatu perencanaan atau konsep tata ruang, yang dulu sering disebut master plan.

Masalah tata ruang, baik dalam ruang lingkup makro maupun mikro, kini semakin mendapatkan perhatian yang cukup serius. Adalah suatu fakta bahwa jumlah penduduk serta kebutuhan yang semakin meningkat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Selain adanya keterbatasan lahan, permasalahan tata ruang semakin rumit, karena kondisi perekonomian Indonesia pada saat ini semakin hari semakin meningkat.

(2)

terdapat potensi timbulnya konflik antar daerah, terutama pemanfaatan lahan di daerah perbatasan.

B. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM TATA RUANG

Pengertian-pengertian yang tercakup dalam konsep hukum tata ruang sebenarnya sudah tercantum dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Namun demikian untuk dapat menambah khasnah, penulis akan mengemukakan juga pengertian dan konsep dasar dari tata ruang, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut beberapa ahli. 1. RUANG

Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah :

“wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidup.”

Sedangkan menurut D.A Tisnaamidjaja, yang dimaksud dengan pengertian ruang adalah “wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak.” Selanjutnya, dalam Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No. 327/KPTS/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah:

“wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.”

Pasal 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa ruang terbagi dalam beberapa kategori, yang diantaranya adalah :

a. Ruang Daratan adalah ruang yang terletak diatas dan dibawah permukaan daratan, termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah.

b. Ruang Lautan adalah ruang yang terletak diatas dan dibawah permukaan laut dimulai dari sisi laut dari sisi garis laut terendah termasuk dasar laut dan bagian bumi dibawahnya, dimana negara Indonesia memiliki hak yuridiksinya.

c. Ruang Udara adalah ruang yang terletak diatas ruang daratan dan atau ruang lautan sekitas wilayah negara dan melekat pada bumi, dimana negara Indonesia memiliki hak yuridiksinya.

2. TATA RUANG

Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menjelaskan yang dimaksud dengan tata ruang adalah “wujud struktural ruang dan pola ruang.” Selanjutnya masih dalam peraturan tersebut, yaitu Pasal 1 angka 5 yang dimaksud dengan penataan ruang adalah “ suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang”.

3. RENCANA TATA RUANG

(3)

berdasarkan perasaan semata. Pada negara hukum suatu rencana hukum tidak dapat dihilangkan dari hukum administrasi. Rencana dapat dijumpai pada berbagai bidang kegiatan pemerintah, misalnya dalam pengaturan tata ruang. Rencana yang demikian itu dapat dihubungkan dengan stelsel perizinan (misalkan suatu perizinan pembangunan akan ditolak oleh karena tidak sesuai dengan rencana peruntukan). Perencanaan adalah suatu bentuk kebijaksanaan, sehingga dapat dikatakan bahwa perencanaan adalah sebuah species dari genus kebijaksanaan.

Dalam kamus tata ruang dikemukakan yang dimaksud dengan rencana tata ruang adalah “rekayasa atau metode pengaturan perkembangan tata ruang dikemudian hari.” Maksud diadakannnya perencanaan tata ruang adalah untuk menyerasikan berbagai kegiatan sector pembagunan, sehingga dalam memanfaatkan lahan dan ruang dapat dilakukan secara optimal, efisien, dan serasi. Sedangkan tujuan diadakan adanya suatu perencanaan tata ruang adalah untuk mengarahkan struktur dan lokasi beserta hubungan fungsionalnya yang serasi dan seimbang, dalam rangkan memanfaatkan sumber daya manusia, sehingga tercapainya hasil pembangunan yang optimal dan efisien bagi peningkatan kualitas manusia dan kualitas lingkungan hidup secara berkelanjutan.

4. KAWASAN PEDESAAN

Yang dimaksud dengan kawasan pedesaan dalam konsep penataan ruang adalah kawasan yang memiliki kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

5. KAWASAN PERKOTAAN

Yang dimaksud dengan kawasan perkotaan dalam konsep penataan ruang adalah kawasan yang memiliki kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa, pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

6. KAWASAN LINDUNG

Yang dimaksud dengan kawasan lindung dalam konsep penataan ruang adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

7. KAWASAN BUDIDAYA

Yang dimaksud dengan kawasan budidaya dalam konsep penataan ruang adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi atau potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

C. KONSEP DASAR HUKUM TATA RUANG

Mochtar Koesoemaatmadja mengonstatir bahwa tujuan pokok penerapan hukum apabila hendak direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order). Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan akan ketertiban ini, merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya masyarakat yang teratur; disamping itu tujuan lainnya adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan uurannya, menurut masyarakat pada zamannya.

Konsep dasar hukum penataan ruang, tertuang didalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi:

(4)

Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke empat berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Mochtar Koesoemaatmadja mengemukakan bahwa hukum haruslah menjadi sarana pembangunan. Disini berarti hukum harus mendorong proses modernisasi. Artinya hukum yang dibuat haruslah sesuai dengan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan fungsi tersebut maka pembentuk undang-undang meletakkan berbagai dasar yuridis dalam melakukan berbagai kegiatan pembangunan, sebagai salah satu yaitu dalam pembuatan undang-undang mengenai penataan ruang.

Undang-undang No. 26 Tahun 2007 merupakan undang-undang pokok yang mengatur tentang pelaksanaan penataan ruang. Keberadaan undang-undang tersebut diharapkan selain sebagai konsep dasar hukum dalam melaksanakan perencanaan tata ruang, juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan pemerintah dalam penataan dan pelesteraian lingkungan hidup. D. SEJARAH PENGATURAN TATA RUANG DI INDONESIA

Peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang (kota) modern di Indonesia telah mulai diperhatikan ketika kota Jayakarta (kemudian menjadi Batavia) dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-17, tetapi peraturan tersebut baru dikembangkan secara intensif pada awal abad ke-20. Peraturan pertama yang dapat dicatat disini adalah De Statuten van 1642 yang dikeluarkan oleh VOC khusus untuk kota Batavia.

Berikut ini akan diuraikan sekilas perkembangan peraturan yang berkenaan dengan penataan ruang, khususnya untuk perencanaan ruang kota yang telah diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum:

1. Surat Edaran Mendagri No. 18/3/8 Tahun 1970 tentang Perencanaan Pembangunan kota untuk ibukota kabupaten yang masih mengacu pada SVO.

2. Peraturan Mendagri No.4 Tahun 1980 tentang Penyusunan Rencana Kota, dimana peraturan ini menyusun rencana kota yang menyeluruh, dan disertai dengan peraturan-peraturan lainnya sebagai ketentuan pelaksananya.

3. SKB Mendagri dan Menteri PU No. 650-1595 dan No. 503/KPTS/1985 tentang Tugas-Tugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota yang menyerahkan urusan administrasi ke Depdagri dan urusan teknis ke Dept PU, serta menyeragamkan jenis dan spesifikasi kota. 4. Kepmen PU No. 40/ KPTS/ 1986 tentang Prencanaan Tata Ruang kota.

5. Permendagri No. 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota yang mengatur aspek administrasi perencanaa kota.

6. Kepmendagri No. 7 Tahun 1986 tentang Penetapan Batas-Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia.

7. Imendagri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau dan Wilayah Perkotaan.

BAB II

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG TERHADAP KONSEP PERTANAHAN DI INDONESIA

A. KONSEP DAN DASAR PERTANAHAN 1. KONSEP PERTANAHAN

(5)

a. Terbatasnya lahan ya ng tersedia dengan berbagai fungsi peruntukan

b. Pemanfaatan dan pengelolaan lahan serta pola tata ruang yang belum sepenuhnya dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh

c. Penggunaan lahan seringkali terjadi penyimpangan dari peruntukannya

d. Persaingan mendapatkan lokasi lahan yang telah didukung atau yang berdekatan dengan berbagai fasilitas perkotaan, sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan kota

e. Masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap kepatutuan atas kewajiban sebagai warga negara.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, aspek pertanahan dan penataan ruang sangat perlu dan mutlak di pertimbangkan, karena tanah merupakan salah satu sumber daya kegiatan penduduk yang dapat dinilai sifat, keadaan, proses dan penggunaannya. Firey, Chapin menggolongkan tanah kedalam tiga kelompok, yang diantaranya adalah :

a. Nilai keuntungan, yang berhubungan dengan nilai ekonomi, dan yang dapat dicapai dengann jual beli tanah dipasar bebas.

b. Nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturssn untuk masyakarat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat.

c. Nilai sosial, yang merupakan hal yang mendasar bagi kehidapan.

Hal ini misalnya dapat ditunjukan dengan perbedaan penggunaan tanah dipedesaan dengan penggunaan tanah di perkotaan. Tanah dipedesaan dipergunakan bagi kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi. Kehidupan sosial seperti berkeluarga, bersekolah, beribadat, berekreasi, berolahraga dan lain sebagainya, sedangkan untuk kegiatan seperti bertani, berkebun, berternak, menebang kayu dihutan.

Namun sebaliknya diperkotaan, karena nilai tanah demikian berharga secara ekonomis, penggunaan tanah dilakukan secara efisien dan seefektif mungkin, karena dapat saja terjadi pencampuran penggunaannya.

2. ASAS-ASAS DALAM HUKUM TANAH a. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa

Yang menjadi landasan ini adalah Pasal 1 ayat (2) UUPA, yang menyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dalam wilayah Republik Indonesia merupakan sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, bagi bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

b. Asas Persatuan Indonesia

Asas ini termuat dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUPA, yang menyatakan, “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa”.

c. Asas Demokkrasi dan Kerakyatan

Dalam asas ini, sesaui dengan apa yang ditegaskan didalam Pasal 9 ayat (2) UUPA yang berbunyi:

Tiap-tiap warga negara, baik laki-laki maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah seerta unntuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun untukk orang lain

d. Asas Musyawarah

(6)

tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi.

e. Asas Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Asas ini dapat dilihat didalam ketentuan Pasal 10 UUPA, yang berbunyi, “ Kewajiban untuk mengerjakan dan mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertanian yang dipunyai seseorang atau badan hukum harus dilakukan dengan mencegah cara-cara pemerasan.”

f. Asas Keadilan Sosial

Harus diperhatikan perbedaan keadaan masyarakat dan keperluan golongan rakyat, tetapi dengan tetap menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Golongan ekonomi lemah tersebut warga negara asli maupun warga negara keturunan asing. Keberadaan asas ini diatur dan termuat didalam ketentuan Pasal 11, 13, 15, dan Pasal 10, 17, 53, UUPA.

g. Sifat Komunalistik Religius

Asas ini tertuang didalam ketentauan Pasal 6 UUPA, yang menyatakan, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.

h. Asas Pemisahan Horizontal

Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya, perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang ada diatasnya. Namun dalam prakteknya dimungkinkan suatu perbuatan hukum mengenai tanah meliputi juga bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.

i. Asas Spesialitas

Bahwa tanah yang didaftarkan harus jelas-jelas diketahui dan nyata ada pada lokasi tanahnya.

j. Asas Publisitas

Bahwa setiap orang dapat mengetahui sesuatu bidang tanah tersebut milik siapa, seberapa luasnya dan apakah ada beban diatasnya.

k. Asas Negatif

Bahwa pemilikan suatu bidang tanah yang terdaftar atas nama seseorang tidak berarti mutlak adanya, sebab dapat saja dipersoalkan siapa yang menjadi pemiliknya, dan hal untuk membuktikannya dapat ditempuh melalui pengadilan.

B. KEBIJAKSANAAN PERTANAHAN TERHADAP PERENCANAAN KOTA

Pengertian tanah menurut UUPA No. 5 Tahun 1960, dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (1), yang berbunyi, “Tanah adalah permukaan bumi atau kulit bumi”. Pasal 4 ayat (2), menjelaskan tentang pengertian hak atas tanah , yang berbunyi: hak atas tanah adalah hak untuk menggunakan tanah sampai batas-batas tertentu meliputi tubuh bumi, air, dan ruang angkasa di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah.

Pasal 6 UUPA, yang berbunyi, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Beberapa macam hak atas tanah berdasarkan UUPA, yang diantaranya adalah:

a. Hak menguasai negara, dimana hak ini di landasi oleh ketentuan pasal 33 UUD 1945, dan hak menguasai negara dapat berupa kegiatan:

(1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.

(7)

(3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

b. Hak Milik, merupakan hak yang turun-temurun, terkuat, dan terpenuh. Dalam hal ini hanya orang Indonesia asli yang boleh memiliki status tanah hak milik, walaupun hak ini dapat dialihkan kepada pihak lain, namun tetap orang yang menerimanya harus tetap Indonesia asli.

c. Hak Guna Usaha, d. Hak Guna Bangunan, e. Hak Pakai,

f. Hak Sewa

3. PENATAAN RUANG DAN TATA GUNA TANAH

Pasal 16 UUPA mewajibkan pemerintah untuk menyusun rancangan umum mengenai presiden, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk berbagai macam ke perluan pembangunan. Dalam UUPA sendiri tidak ada penegasan arti dari ketiga istilah tersebut. Namun Nampak tujuan dari setiap rencana ini tidak lain adalah untuk mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam pasal 33 UUD 1945, yakni untuk kemakmuran rakyat.

Rencana umum penggunaan tanah adalah usaha penuhaan tanah untuk rencana pembangunan atau program-program yang ada. Dengan demikian, rencana umum penggunaan tanah baru dapat disusun setelah adanya program pembangunan, sedangkan penyusunan rencana umum mengenai peruntukan tanah maupun persediaan tanah tidak perlu menunggu program-program pembangunan.

Hal untuk menentukan tanah tersebut memiliki nilai sosial dapat diterangkan secara ekologisyang berhubungan dengan sifat fisik tanah , dan dengan proses organisasi yang berhubungan dengan masyarakat, yang kesemuanya itu memiliki kaitan dengan tingkah laku dan perbutan kelompok masyarakat. Tingkah laku tersebut dipengaruhi oleh:

a. Konsentrasi penduduk dalam wilayah yang luas.

b. Sentralisasi dan desentralisasi penduduk disebabkan oleh tuntutan prasarana sosial ekonomi. c. Segregasi penduduk (terkumpulnya kelompok yang sejenis, sehingga menyebabkan terpisah

dari kelompok lain ).

d. Dominasi penduduk atau hal yang menonjol (misalnya prestise atau gengsi jika tinggal atau domisili di bagian kota tertentu).

e. Serbuan penduduk atau invasi dari kelompok lain yang berbeda dalam kedaan sosial, ekonomi, dan budaya. Hal ini biasanya terjadi pada kawasan penduduk biasa, kemudian di sekitarnya didirikan perumahan mewah, maka seringkali penduduk lama menjadi terusir.

4. PERLINDUNGAN HUKUM PADA MASYARAKAT YANG TANAHNYA TERKENA GARIS RENCANA KOTA

(8)

C. KONSOLIDASI TANAH

1. Pengertian Konsolidasi Tanah

Konsolidasi tanah menurut Badan Pertahanan Nasional sesuai dengan pasal 1 ayat (1) Kepala Badan Pertahanan Nasional No 4 Tahun 1991 adalah:

kebijakan pertahanan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Sementara itu, menurut Johara T. Jayadinata berpendapat bahwa konsolidasi tanah adalah : Merupakan salah satu model pembangunan dibidang pertanahan, yang mencakup wilayah perkotaan dan wilayah pertanian dan bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan tanah dalam hubungannya dengan pemanfaatan, peningkatan produktivitas, dan konservasi bagi kelestarian lingkungan.

Berdasarkan letak administrasi obyek konsolidasi dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu : a. Konsolidasi tanah perkotaan atau land consolidation;

b. Konsolidasi tanah pedesaan atau rural land consolidation.

Mengidentifikasikan beberapa elemen substansial dari konsolidasi tanah, yaitu : a. konsolidasi tanah merupakan kebijakan pertanahan;

b. konsolidasi tanah berisikan penataan kembali penguasaan, penggunaan dan pengadaan tanah.

c. Konsolidasi bertujuan untuk kepentingan pembangunan, meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam.

d. Konsolidasi tanah harus dilakuan dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. 2. Tujuan dan Sasaran Konsolidasi Tanah.

a.Tujuan Konsolidasi Tanah

Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Perturan Kepala Badan Pertanahan Nasional, tujuan konsolidasi tanah adalah : “untuk pemanfaatan tanah secara optimal melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas penggunaan tanah.

b. Sasaran Konsolidasi Tanah

Sasaran yang ingin dicapai dari penyelenggaraan konsolidasi tanah adalah terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur.

3. Fungsi dan Manfaat Konsolidasi Tanah a.Fungsi Konsolidasi Tanah

Konsolidasi tanah berfungsi untuk :

1) Membantu Pemda dalam rangka pembangunan daerah sesuai RTRW

2) Mengatur penguasaan atas tanah, baik bentuk, letak, serta ukuran bidang-bidang ukuran tanah.

3) Menyesuaikan penggunaan tanah dengan RTRW

4) Menyediakan tanah untuk kepentingan pembangunan pada umunya (prasarana jalan dan fasilitas umum).

5) Peningkatan kualitas lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam. 4. Subyek dan Obyek Konsolidasi Tanah

(9)

Konsolidasi tanah adalah dari, oleh dan untuk masyarakat pemilik tanah dan/atau penggarap tanah.

b. Obyek Konsolidasi Tanah

Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1991, yang menjadi konsolidasi tanah adalah: “Tanah negara non-pertanian dan /atau tanah hak, wilayah perkotaan atau pedesaan yang ditegaskan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk dikonsolidasikan.”

5. Dasar Hukum Konsolidasi Tanah

Adapun landasan hukum dari konsolidasi tanah tersebut adalah : 1. Landasan oidilnya adalah Pancasila

2. Landasan konstitusionalnya adalah Pasal 33 UU Dasar 1945 3. Landasan operasionalnya adalah :

a. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Khususnya Pasal 2, 6, 12 dan 14)

b. UU No. 56 Tahun Prp Tahun 1960 tentang Land Reform (khususnya Pasal 12) c. UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, khususnya Pasal 5

ayat (1), 18, 25 dan 32.

d. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. e. PP No. 224 Tahun 1961. Jo PP No. 41 Tahun 1964. f. Kepres No. 26 Tahun 1988

g. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1987.

h. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 410-245 Tanggal 7 Desember 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi Tanah.

6. TAHAPAN PELAKSANAAN KONSOLIDASI TANAH a. Persiapan

Hal yang perlu untuk dipersiapkan pada tahapan ini adalah : 1) Penjajagan

2) Penetapan lokasi atau pemilihan lokasi 3) Penyuluhan

4) Pengajuan DURK b. Pendapatan

Pada tahap ini dilakukan tahapan-tahapan yang meliputi: 1) Identifikasi Subyek dan Obyek

2) Pengukuran atau Pemetaan Keliling 3) Pemetaan Rincian

4) Pengukuran Topograafi dan Pemetaan Penggunaan Tanah c. Penataan

d. Kontruksi e. Pembiayaan f. Organisasi

7. HASIL PELAKSANAAN KONSOLIDASI TANAH a. Pelaksanaan Konsolidasi Tanah di Indonesia

(10)

substansif didalam berbagai perangkat peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan dengan menggunakan istilah konsolidasi.

b. Pelaksanaan Konsolidasi Tanah di Beberapa Negara 1. Jepang

Konsolidasi tanah di Jepang sudah berkembang puluhan tahun yang lalu, antara lain dipakai untuk membangun perkotaan yang hancur akibat bencana alam dan perang, selain itu juga untuk mengakhiri landreform yang mengatur pembatasan sistem pemilikan tanah yang luas.

2. Taiwan

Di Taiwan, konsolidasi tanah dikembangkan pada tahun 1985, baik itu konsolidasi tanah perkotaan maupun konsolidasi tanah pertanian. Sampai pada tahun 1988 telah dilaksanakan untuk tanah pertanian seluas 360. 728 Ha di 675 lokasi, sedangkan konsolidasi tanah perkotaan mencapai 7. 073 Ha.

3. Korea Selatan

Program konsolidasi tanah perkotaan dikenalkan di Korea Selatan pada tahun 1934. Sampai pada tahun 1989 telah dan sedang diselesaikan 58 proyek yang meliputi areal 13. 847 Ha.

4. Belanda

Di Belanda, konsolidasi tanah diatur dalam The Land Consolidation Act tahun 1985 yang merupakan pengganti dari The Land Consolidastion Act tahun 1954.

8. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN

KONSOLIDASI TANAH. a. Faktor Pendukung

Faktor dominan sebagai faktor pendukung konsolidasi tanah perkotaan adalah berkaitan dengan:

1) Pelestarian Kemampuan Fungsi Lingkungan Hidup Perumahan dan Pemukiman 2) Pertumbuhan dan Perkembangan Tanah Perkotaan

3) Pertumbuhan dan Peningkatan Sektor Ekonomi b. Faktor Penghambat

1) Materi Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan yang tidak Aspiratif 2) Disfungsionalisasi Koordinasi Antar Instansi Terkait

3) Keterbatasan Sumber Daya Manusia dalam Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan

4) Budaya Hukum Aparat dan Masyarakat Peserta Konsolidasi Tanah Perkotaan.

BAB III

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG TERHADAP KONSEP LINGKUNGAN HIDUP

A. KONSEP DASAR LINGKUNGAN HIDUP

(11)

menentukan kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, dan pengawasan.

1. KONSEP DASAR HUKUM LINGKUNGAN

Konsep dasar lingkungan, tertuang dalam UUD 1945 alinea IV dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemenke empat, yang menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari pengertian tersebut, dapat ditemukan dua substansi pokok dari kewenagan negara dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam, yaitu :

a. Pemanfaatan sumber daya alam (eksploitasi), untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

b. Perlindungan, pemeliharaan, dan pengendalian alam (lingkungan) dari kerusakan dan/ pencemaran.

2. RUANG LINGKUP PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Konsep lingkungan dilakukan melalui pendekatan pembangunan yang berkelanjutan, seimbang, serasi, selaras untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimuat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berkaitan dengan itu, Siti Sundari Rangkuti mengungkapkan, bahwa ketentuan pengelolaan lingkungan hidup mencerminkan konsep penataan yang terpadu. Menurut rumusan dimaksud mengandung arti “contradiction in terminis”, yaitu terpadu dan masing-masing tidak mungkin dilaksanakan. B. INSTRUMEN HUKUM LINGKUNGAN

Dalam penegakan hukum lingkungan, menurut hemat penulis, instrumen hukum tersebut terduri dari perizinan, baku mutu lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan, tat ruang wilayah dan unsur peran masyarakat.

1. Perizinan

Salah satu bentuk instrument yang pertama dalam konteks pemanfaatan sesuatu adalah izin. Izin merupakan salah satu instrumen hukum yang berfungsi mengendalikan perilaku orang atau lembaga (badan usaha) yang bersifat preventif. Ateng Syafrudin mengungkapkan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi boleh. Sedangan menurut Asef Warlan Yusuf mengungkapkan, bahwa izin adalah suatu instrument pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat.

2. Baku Mutu Lingkungan

Baku mutu lingkungan adalah tolak ukur limitatif normatif yang bersifat teknis. Artinya sejauh mana suatu kegiatan dapat diizinkan untuk beroperasi.

3. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

AMDAL merupakan setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajb memiliki alanisis mengenai dampak lingkungan intuk memperoleh izin untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.

4. Tata Ruang Wilayah

Instrumen tata ruang wilayah merupakan jawaban terhadap persoalan universal dari tuntutan masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan sumber daya alam, khususnya tanah. Dalam memenuhi kebutuhan tanah untuk berbagai macam kegiatan, secara konseptual harus ditata dan diarahkan sesuai denga jenis dan/atau kegiatan usahanya masing-masing.

(12)

Peran dan kontrol masyarakat dalam pemeliharaan dan fungsi lingkungan hidup, dalam tataran implementasi secara yuridis, dapat diakomodasikan kedalam sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang diharapkan sebagai referensi masyarakat dalam mengupayakan perlindungan hukum akibat perusakan lingkungan.

C. SISTEM DAN POLA HUBUNGAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2004

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa implikasi perkembangan pengelolaan lingkungan hidup pada perubahan yang sangat mendasar, dengan dibidang diberlakukannya otonomi daearah. Secara garis besar, kewenagnan pemerintah pusat lingkungan hidup tidak lagi menjadi pelaksanan, akan tetapi sebagai penyusun kebijakan makro dan menetapkan berbagai norma, standar, kriteria dan prosedur dari lima aspek yang meliputi :: 1. Penetapan pedoman pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam dan pelestaraian fungsi

lingkungan.

2. Pengaturan pengelolaan lingkungan hidup dalam pemanfaatan sumber daya laut diluar 12 mil.

3. Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan potensial berdampak negative pada msyarakat luas dan menyangkut pertahanan dan keamanan.

4. Penetapan baku metu lingkungan hidup.

5. Penetapan pedoman tentang konservasi sumber daya alam.

Sementara itu, kewenagan pemerintah provinsi pada bidang lingkungan hidup meliputi : 1. Pengendalian lingkungan hidup pada lintas kabupaten/kota.

2. Pengaturan pengelolaan lingkungan hidup dalam pemanfaatan sumberdaya laut 4 mil sampai dengan 12 mil.

3. Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumber daya air lintas kabupaten.

4. Penilaian AMDAL bagi kegiatan yang potensial berdampak negative pada masyarakat luas yang berlokasi meliputi lebih dari satu kabupaten/kota.

5. Pengawasan pelaksanaan konservasi lintas kabupaten/kota. 6. Penetapan baku mutu lingkungan nasional.

BAB IV

PERENCANAAN TATA RUANG DI DAERAH PERBATASAN KABUPATEN/KOTA DIHUBUNGKAN DENGAN KEWENAGAN DAEARAH.

A. SISTEM DAN POLA HUBUNGAN PEMERINTAH DAEARAH DI BIDANG PERENCANAAN TATA RUANG MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2004

Landasan yuridis hubungan pemerintah tersebut tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen yang menegaskan, bahwa :

(13)

Selanjutnya pada pasal 11 ayat (1) dan (3) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dengan jelas menyatakan:

1. Menyelenggarakan urusan pemerintah dibagi berdasarkan kriteria eksternalisasi, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antara susunan pemerintah.

2. Penyelenggaraan urusan pemerintah sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan pelaksana hubungan kewenangan atara pemerintah, pemerintah daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergi sebagai satu sistem pemerintahan.

B. PENYUSUNAN PERENCANAAN TATA RUANG DI DAERAH PERBATASAN KABUPATEN/KOTA

1. KONSEP DASAR PERENCANAAN TATA RUANG KOTA

Rencana merupakan keseluruhan tindakan yang saling berkaitan dari tata usaha negara yang mengupayakan terlaksanya suatu keadaan tertentu yang tertib (teratur), dan rencana semacam itu dapat dikaitkan dengan stelsel perizinan (misalnya suatu permohonan izin bangunan harus ditolak mana kala hal ini bertentangan dengan rencana peruntukan).

Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan mengenai kewenagan-kewenagan yang dimiliki oleh setiap tingkatan pemerintah sebagai berikut : a. Kewenagan Pemerintah dalam penataan ruang terdapat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1)

sampai dengan ayat (6) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

1. Wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, provinsi, kabupaten/kota

2. Wewenang pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang nasional

3. Wewenang pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional 4. Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan kawasan strategis

nasional sebagaimana dimaksud ayat (3) huruf c dan hurf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah melalui dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan.

5. Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang pemerintah berwenang menyusun dan menetapkan pedoman bidang penataan ruang.

6. Dalam rangka pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) pemerintah :

a. Menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:

1) Rencana umum dan rencana rinci tat ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional.

2) Arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.

3) Menetakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.

b. Kewenagan pemerintah provinsi dalam penataan ruang terdapat dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) sampai dengan ayat (7) Undang-undamg No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

1) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:

a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota;

(14)

c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis d. provinsi; dan

e. kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.

2) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

a. perencanaan tata ruang wilayah provinsi; b. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan

c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.

3) Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah provinsi melaksanakan:

a. penetapan kawasan strategis provinsi;

b. perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi; c. pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan

d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.

4) Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah kabupaten/kota melalui tugas pembantuan.

5) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi, pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

6) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pemerintah daerah provinsi:

a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:

(1) rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;

(2) arahan peraturan zonasi untuk system provinsi yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan

(3) petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;

b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.

7) Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kewenagan pemerintah kabupaten/kota dalam penataan ruang terdapat dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) sampai dengan ayat (6) Undang-undang No. 26 Tahun Tahun 2007 tentang Penataan Ruang :

1) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:

a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota;

b. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;

c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan d. kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.

2) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

(15)

b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan

c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.

3) Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan:

a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;

b. perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota; c. pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan

d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.

4) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah daerah kabupaten/kota mengacu pada pedoman bidang penataan ruang dan petunjuk pelaksanaannya.

5) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pemerintah daerah kabupaten/kota:

a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; dan b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.

6) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, pemerintah daerah provinsi dapat mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG PERBATASAN

Sesuai dengan amanat UUD 1945 Negara Republik Indonesia, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantu. Bila melihat ketentuan didalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, khususnya pasal 13 ayat (1) dan 14 ayat (1), masing-masing daerah memiliki kewenagan dalam melakukan perencanaan tata ruang, baik itu pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Hal itu sudah dijelaskan dalam Pasal 17 ayat (5) Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang yang menyatakan bahwa rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan antara wilayah, antar fungsi kawasan dan antarfungsi kegiatan.

3. Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Rencana Tata Ruang di Daerah Perbatasan Otonomi daerah yang dikehendaki oleh Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab, namun dengan adanya keleluasaan tersebut bukan berarti semua urusan diserahkan kepada daerah. Hal ini termaktub dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang proporsional antara pemerintahan provinsi, kabupaten/kota terhadap permasalahan yang bersifat lintas administratif atau daerah perbatasan, perlu disusun suatu kriteria permasalahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan.

C. SISITEM KOORDINASI DALAM KEGIATAN RENCANAN TATA RUANG DIDAERAH PERBATASAN

(16)

Koordinasi dalam pelaksanaan suatu rencanan pada dasarnya merupakan salah satu aspek dari pengendalian yang sangat penting. Koordinasi disini adalah suatu proses rangkaian kegiatan yang menghubungkan, bertujuan untuk menyerasikan setiap langkah dan kegiatan dalam berorganisasi agar tercapai gerak yang cepat untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan. Dengan pengendalian dengan koordinasi yang baik, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan akan tercapai suatu keadaan :

a. Dapat dicegah dan dihilangkan titik pertentangan.

b. Para pejabat atau petugas terpaksa berfikir dan berbuat dalam hubungan sasaran dalam tujuan bersama.

c. Dapat dicegah terjadinya kesimpangsiuran dan duplikasi kegiatan.

d. Dapat mengembangkan prakarsa dan daya improvisasi para pejabat, karena dalam rangka koordinasi, mau tidak mau mereka harus mendapatkan cara dan jalan yang cocok bagi pelaksanaan-pelaksanaan tugas secara menyeluruh dan mencapai keseimbangan dan keserasian.

2. Badan Koordinasi Dalam Penanganan Daerah Perbatasan

Adanya suatu kelemahan koordinasi dalam bidang perencanaan tata ruang, khususnya didaerah perbatasan, sering dialami oleh pihak pemerintah sendiri. Belum adanya suatu asas hukum tentang suatu perselisihan antara wewenang memang bukan hanya menghambat dan mengganggu kelancaran jalannya pemerintahan. Melihat keadaan tersebut, khususnya penataan rencana tata ruang didaerah perbatasan, maka kiranya perlu dibentuk suatu badan koordinasi untuk menyelesaikan masalah-masalah penataan rencana tata ruang didaerah perbatasan, sehingga dimungkinkan nantinya, badan tersebut berfungsi sebagai badan pengendali dan pengkoordinasi antara pemerintah yang memiliki kepentingan.

BAB V

PERENCANAAN PERIZINAN DALAM PEMBANGUNAN DI DAERAH A. KONSEP DASAR PERIZINAN

1. Pengertian Perizinan

Untuk mengendalikan setiap kegiatan setiap kegiatan atau perilaku orang atau badan yang sifatnya preventif adalah melalui izin. Ada beberapa bentuk yang sifatnya mengandung pengertian izin, seperti dispensasi, izin dan konsesi. Dispensasi adalah keputusan administrasi negara yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan suatu peraturan yang menolak perbuatan itu. Izin adalah suatu keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan yang pada umumnya dilarang, tetapi diperkenankan dan bersifat konkret. Konsesi adalah suatu perbuatan yang penting bagi umum, tetapi pihak swasta dapat turut serta dengan syarat pemerintah turut campur tangan.

Ateng Syafrudin mengatakan, izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan. Hal yang dilarang menjadi boleh. Penolakan atas permohonan izin memerlukan perumusan limitatif. Asef Warlan Yusuf, mengatakan izin “adalah suatu instrument pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang digunakkan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat”.

2. Jenis Pemberian Izin

(17)

a. Izin lokasi

b. Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) c. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

d. Izin Gangguan (HO)

e. Surat Izin Usaha Keparawisataan (SUIK) f. Izin Reklame

g. Izin Pemakaian Tanah dan Bangunan Milik/Dikuasai Pemerintah Kota h. Inzin Trayek

i. Izin Penggunaan Trotoar

j. Izin Pembuatan Jalan Masuk Pekarangan

k. Izin Penggalian Damija Jalan (Daerah Milik Jalan) l. Izin Pematangan Tanah

m. Izin Pembuatan Jalan di Dalam Komplek Perumahan, Pertokoan dan Sejenisnya n. Izin Pemanfaatan Titik Tiang Pancang Reklame, Jembatan Penyeberangan Orang dan

Sejenisnya

o. Tanda Daftar Perusahaan (TDP) p. Izin Usaha Perdagangan

q. Izin Usaha Industri/Tanda Daftar Industri r. Tanda Dftar Gudang

s. Izin Pengambilan Air Permukaan

t. Izin Pembuangan Air Buangan ke Sumber Air

u. Izin Perubahan alur, Bentuk, Dimensi, dan Kemiringan Dasar Saluran/Sungai

v. Izin Perubahan atau Pembuatan Bangunan dan Jaringan Pengairan Serta Penguatan Tanggul Yang di Bangun oleh Masyarakat.

w. Izin Pembangunan Lintasan yang Berada di Bawah/ di Atasnya.

x. Izin Pemanfaatan Bangunan Pengairan dan Lahan pada Daerah Sepadan Saluran/Sungai

y. Izin Pemanfaatan Lahan Mata Air dan Lahan Pengairan Lainnnya. B. Konsep Dasar Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Perizinan

1. Pengertian Kewenangan dan Wewenang

Menurut Bahasa Indonesia, kata kewenagan mengandung arti: (1) Hal wewenang, dan (2) Hak dan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu. Sedangkan kata wewenang mengandung arti, (1) Hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenaganan (2) kekuasaan membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain. Menurut Prajudi Atmosudirjo, yang dimaksud dengan kewenagan (authority gezag) adalah: “Apa yang dimaksud dengan kekuasaan formal, yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif/ administratif.

Sedangkan yang dimaksud dengan wewenang (competence bevoegdheid), menurut Prajudi adalah:

“Kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan/menerbitkan surat-surat izin dari seorang pejabat atas nama menteri, sedangkan kewenagannya masih berada pada tangan menteri (delegasi wewenang).

2. Kewenagan Pemerintah Daerah Dalam Perizinan

(18)

dan Keputusan Kepala Daerah yang berisikan tentang perizinan merupakan salah satu bentuk ketetapan (beschikking) yang terdapat dalam lapangan hukum public.

C. IMPLEMENTASI INSTRUMEN PERIZINAN SEBAGAI SIKAP TINDAKAN ADMINISTRASI NEGARA

Sjachran Basah mengemukakan tentang adanya fungsi hukum, yaitu:

1. Direktif, sebagai pengarah dalam membagun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.

2. Integratif, sebagai pemelihara (termasuk kedalamnya hasil-hasil pembangunan) dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

3. Prespektif, sebagai menyempurna, baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga, apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

4. Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak, baik administrasi negara maupun warga, apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.

Sebagai salah satu contoh dari atribusi yang memberikan “Freies Ermessen/diskresi kepada administrasi negara adalah Pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan sumber pendapatan daerah, yang diantaranya adalah :

1. Hasil pajak daerah 2. Hasil retribusi daerah

3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan 4. Lain-lain dan PAD yang sah

5. Dana perimbangan

6. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

D. PENGATURAN SANKSI DI BIDANG PERIZINAN Sanksi administrasi dalam bidang perizinan adalah

1. Besturrdwang (paksaan pemerintah)

2. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin, pembayaran dan lain-lain)

3. Pengenaan denda administrasi

4. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom)

Sanksi atas pelanggaran izin dapat berbentuk sanksi administrasi, yaitu dapat berupa pencabutan izin, sanksi perdata, dapat berupa penjara dan pidana denda.

E. TATA BANGUNAN

1. Obyek dan Subyek Dalam Perizinan Bangunan

Subyek mendirikan bangunan adalah setiap orang atau badan hukum yang ingin mendirikan bagunan, sedangkan yang menjadi obyek izin mendirikan bangunan adalah setiap bangunan yang didirikan untuk keperluan tertentu.

2. Pengawasan dan Penegakan Hukum Dalam Tata Bangunan

(19)

Adapun sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran tata bagunan adalah :

Sanksi pidana atau denda yang dikenakan dengan uang paksa dwangsom, melakukan pembongkaran, penyegelan, dan selain itu juga dikenakan sanksi bestuursdwang dengan sanksi administrasi berupa :

a. Pencabutan izin pembagunan

b. Pencabutan izin untuk menggunakan dan atau kelayakan untuk menggunakan bangunan c. Penundaan izin.

BAB VI

KONSEP KERJASAMA PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN PADA DAERAH PERBATASAN

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan wilayah terutama dinegara sedang berkembang masih ditandai dengan keadaan yang tidak seimbang diantara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya, sehingga sering terjadinya stagnasi kewilayahan dan kesenjangan yang lainnya. Namun sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dan dilanjutkan dengan penyempunaannya melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, konsep otonomi daerah malah kepada arus disintegrasi dan perkembangan wilayah yang semakin kacau dan sulit di koordinasikan.

B. ISU PERMASALAHAN PADA DAERAH PERBATASAN

Masalah-masalah yang bersifat lintas administratif semakin hari semakin banyak bermunculan kepermukaan, terlebih lagi sejak diberlakukannya konsep ekonomi yang tertuang didalam UU N. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Adanya ketergantungan suatu daerah kepada daerah lainnya diakibatkan oleh berbagai sebab, yang masing-masing daerah memiliki perbedaan satu sama lainnya. Diantara contohnya antara lain adalah wilayag yang dimiliki oleh suatu daerah sangat terbatas, kondisi alam atau geografis yang dimiliki oleh daerah, dan sebab-sebab lainnya.

C. STUDI KASUS PENATAAN RUANG DI DAERAH PERBATASAN

1. Kasus BARLINGMASCAKEP (Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen)

Faktor-faktor yang melatas belakangi terbentuknya kawasan tersebut adalah :

a. Adanya keberatan hubungan geografis, budaya atau kultur serta kepemilikan sumber daya alam yang ada pada masing-masing daerah tersebut sehingga saling menunjang satu sama lain.

b. Masing-masing daerah memiliki produk unggulan yang berasal dari sector pertanian dan pertambangan

c. Adanya jalur perdagangan diantara kelima daerah tersebut yang sangat intensif antara waktu ke waktu.

d. Memiliki sarana dan prasarana yang saling menunjang diantara lima daerah tersebut. 2. Kasus Kerjasama Antara Jakarta Dengan Bekasi Mengenai Pengelolaan Sampah

(20)

administatif, tentunya diperlukan suatu kerjasama dan koordinasi diantara kedua pihak yang bersangkutan, seperti halnya pemerintah DKI Jakarta dengan pemerintaj Kota Bekasi. Artinya, pemerintah DKI Jakarta harus memberikan kompensasi tersebut dituangkan dalam bentuk surat kerjasama diantara dua pemerintahan.

D. STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH DAERAH PERBATASAN MELALUI PENDEKATAN MANAJEMEN

1. Pendekatan Manajemen Dalam Pelaksanaan Pembangunan di Daerah Perbatasan Salah satu upaya menuju kearah pelaksanaan manajemen pembagunan di daerah perbatasan adalah melalui pelaksanaan konsep regional management yang lahir dari semangat kebersamaan dalam rangka memecahkan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada satu daerah. Hal ini dapat terjadi oleh karena karakteristik dari regional management adalah pemanfaatan sumber daya, potensi local dan kebutuhan pasar.

2. Forum Regional Sebagai Upaya Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan di Daerah Perbatasan

Konsep dari forum regional merupakan salah satu upacaya dalam pencapaian dari tujuan otonomi daerah itu sendiri. Karena dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, secara sederhana politik perkembangan dititik beratkan kepada daerah, sehingga memungkinkan para actor local, khususnya kabupaten/kota atau provinsi, dapat berpartisipasi serta berkaitan dengan kegiatan pembagunan, terlebih lagi pada kegiatan pengembangan dan pembangunan didaerah perbatasan.

BAB VII

PERAN SWASTA DALAM PELAKSANAAN RENCANA TATA RUANG KOTA SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN INVESTASI DI DAERAH

A. PERKEMBANGAN SERTA PERMASALAHAN KOTA-KOTA BESAR DI ERA MODERNISASI

1. Perkembangan Kota-kota Besar di Era Modernisasi

Raharjo Adisasmita mengklasifikasikan fungsi kota yang diantaranya adalah: a. Fungsi tempat tinggal

b. Fungsi tempat pekerjaan c. Fungsi lalu lintas (transportasi) d. Fungsi rekreasi

Revitalisasi kota (urban revitalization) adalah upaya peneingkatan kembali fungsi dan perkotaan untuk melakukan pemanfaatan lahan perkotaan agar pendapatan kota meningkat. Kota-kota besar umumnya mempunyai lebih dari satu kawasan pusat perniagaan (central bisniss district), sehingga memerlukan perencenaan dan desain yang mengacu pada terlaksananya efisiensi kegiatan, terciptanya keindahan dan segi kenyamanan dari estetika dan arsitektur serta terwujudnya struktur dan pola pemerataan ruang yang dikesinambungkan dalam konteks pengembangan perkotaan.

(21)

2. Isu dan Titik Kritis Permasalahan Perencanan dan Pembangunan Kota-Kota Besar di Indonesia

Paradigma perncanaan pembangunan adalah cara pandang terhadap suatu konsep dan persoalan pembangunan yang digunakan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pembangunan diperkotaan. Khsusnya kota-kota besar, konsep dan paradigma perencanaan pembangunan memiliki pandangan yang berbeda-beda. Hal ini dilatar belakangi oleh adanya perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap kota, baik dari segi geografis, sosial kultur dan lain sebagainya.

Konsentrasi permukiman penduduk dikota mengakibatkan arus urbanisasi penduduk kekota dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan. Terlebih lagi keberadaan kota merupakanhal yang menjanjikan impian kebanyakan orang. Tidak seimbangnya sarana dan prasarana perkotaan disbanding dengan pertumbuhan penduduk menimbulkan ketidakteraturan. Terlebih lagi, lahan perkotaan relative terbatas, sedangkan jumlah penduduk meningkat terus. Demikian pula kegiatan ekonomi, sosial administrasi pemerintahan semakin hari semakin bertambah padat, sedangkan lahan untuk menampung berbagai kegiatan tidak mengalami pertambahan atau perluasan.

B. PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN Peran serta masyarakat dalam pembangunan kota dapat berupa antara lain:

a. Kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban mereka, seperti membayar pajak dan membayar retribusi atas pelayanan yang merka terima.

b. Kesediaan untuk menaati perturan yang digariskan oleh pemerintah kota, seperti mendapakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB sebelum mendirikan bangunan, membuang sampah pada tempat yang telah disediakan, dan peraturan-peraturan lainnya. c. Kesediaan mereka untuk membangun dan mengoperasikan sarana dan prasaranan kota. d. Kesidiaan mereka untuk mencadangkan lahan dalam pembangunan sarana dan prasarana

perktaan.

e. Kesediaan mereka untuk mengelola dan memelihara sarana-prasarana yang telah disediakan oleh pemerintah dengan baik.

C. PERAN SWASTA DALAM PELAKSANAAN REVITALISASI KOTA DAN PELAKSANAAN RENCANA TATA RUANG KOTA SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN INVESTASI DI DAERAH

1. Peran Swasta Dalam Pelaksanaan Rencana Pembangunan Kota

Partisipasi swasta dalam melakukan revitalisasi kota dan pelaksanaan rencana pembangunan (penyediaan pelayanan umum) tetap bernilai strategis. Kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga atau swasta dalam memberikan kepada masyarakat dapat dilakukan dengan:

a. Membentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

b. Membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau Badan Layanan Umum (BLU) sebagai salah satu penggerak roda perekonomian daerah guna meningkatkan keuntungan sebagai suber Pendapatan Asli Daerah (PAD)

(22)

2) Kerjasama melalui kontrak, baik kontrak pelayanan, pengelolaan, kontrak bagi keuntungan, kontrak bangunan kelola-sewa-serah, kontrak-bangun-sewa-serah dan lain sebagainya.

Bentuk-bentuk pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa : a. Sewa

b. Pinjam pakai

c. Kerjasama pemanfaatan

d. Bangun-guna-sewa dan bangun-serah-guna.

2. Peran Swasta Dalam Pembangunan Kota Sebagai Upaya Meningkatkan Investasi di Daerah

Adanya keterlibatan pihak swasta dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan sebenarnya telah diatur dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, terlebih lagi dalam hal pelaksanaan pengadaan barang atau jasa pemerintah. Berdasarkan ketentuan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 yang telah diubah dengan Perpres No. 8 Tahun 2006, dalam hal pelaksanaan penyediaan barang atau jasa yang bernilai diatas Rp. 100.000.000 ( seratus juta) harus melalui pelelangan. Dengan kata lain, pemerintah memberikan kesempatan kepada pihak swsta untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembagunan. Adanya peran serta pihak swasta dalam kegiatan pembagunan merupakan salah satu solusi asal masalah dana yang dialami pemerintah daerah.

Dengan demikian, melalui peran swasta dan peningkatan perlindungan hukum terdapat dunia usaha akan lebih memperlancar tercapainya tujuan utama prinsip otonomi daerah, yaitu untuk mempercepat pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

BAB VIII

KAJIAN TEORITIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

A. Kajian Teoritis Terhadap Undang-Undang No. 26 Tahun 2007

Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang kemudian mengalami perubahan menjadi Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang selama ini dijadikan sebagai dasar pengaturan penataan ruang sebagaimana dimaksud diatas telah memberikan landasan bagi penyelenggaraan penataan ruang nasional, namun karena perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, pengaturan di dalam undang-undang tersebut masih terdapat beberapa hal yang masih mengandung kelemahan.

Yang dimaksud dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana disinggung diatas, adalah antara lain :

1. Perkembangan situasi nasional dan internasional yang menuntut penegakan prinsip-prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi dan keadilan dalam rangka penyelenggaraan dan penataan ruang yang baik dengan memperhatikan Hak Asasi Manusia;

2. Perkembangan wilayah, baik nasional, provinsi maupun wilayah kabupaten/kota yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan yang terjadi dalam lingkungan yang lebih luas;

3. Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang telah memeberikan kewenagan kepada daerah untuk melaksanakan kegiatan dan pengaturan ruang wilayah sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

(23)

efektif, transparan dan partisipatif, pemanfaatan ruang yang tertib, serta pengendalian pemanfaatan ruang yang menjamin efektivitas dan efisiensi kegiatan pembangunan secara berkelanjutan.

B. Telaah Kritis Terhadap Kebijakan dan Undang-Undang Penataan Ruang

Adanya telaah kritis terhadap isi dari ketentuan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tersebut, ditujukan untuk menjamin tercapainya tujuan penataan ruang yang dapat memberikan dasar yang jelas, tegas dan menyeluruh, sehingga terdapat suatu jaminan dan kepastian hukum dalam menyelenggarakan penataan ruang tanpa adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Adapun telaah kritis terhadap ketentuan undang-undang tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tata ruang merupakan konsep dinamis, oleh karena dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta teknologi, sehingga dalam pelaksanaanya tata ruang hendaknya memperhatikan kondisi-kondisi tersebut.

2. Dalam penerapan konsep tata ruang tidak bisa dilakukan secara periodik membutuhkan revisi berdasarkan cakupan tentang alam dan perkembangan teknologi dalam pembangunan lingkungan buatan.

3. Dalam hal visi, pengendalian dengan memperhatingkan daya tampung dan daya dukung lingkungan tetap sebagai acuan normative;

4. Dalam menentukan ketentuan sanksi, hendaknya memeperhatikan ketentuan dari Undang-undang Tata Usaha Negara, terkecuali jika suatu tindakan yang berkaitan dengan penataan terdapat tindakan yang mengandung unsur pidana.

Referensi

Dokumen terkait

Kami akan mempertimbangkan hal apa saja yang terlibat dalam mendengarkan, membahas hambatan untuk mendengarkan secara efektif dan cara menguranginya,

Jumlah data dan threshold memiliki hubungan linier yaitu semakin besar jumlah data yang diuji, maka akan semakin sedikit fitur optimal yang diperoleh begitu pula

Kunjungan II (9 Oktober 2012) Pemeriksaan subyektif tidak ada keluhan, tumpatan sementara dibuka, saluran akar diirigasi dengan NaOCL 2,5% dan dilakukan pengepasan guta

Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penelitian itu disatukan dengan kata lain sehingga

Qawlan layyina ini adalah etika komunikasi yang diimbangi dengan sikap dan perilaku yang baik, lemah lembut, tanpa emosi dan caci maki, atau dalam bahasa

Berdasarkan Tabel 2, hasil pengujian menunjukkan bahwa secara bersama-sama orientasi kepemimpinan, inovasi proses, inovasi produk, implementasi inovasi, dan size mempunyai pengaruh

Perancangan sistem aplikasi SPMB berbasis SMS Gateway dan WAP ini, maka dapat memudahkan penyampaian informasi hasil kelulusan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

Kalau Tuhan sendiri yang mengatakan bahwa ahli Taurat dan orang Farisi penuh kemunafikan, maka itu tidak perlu disang- sikan oleh siapapun karena Tuhan adalah pribadi yang