• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Air Defence Identification Zone (Adiz) Sebagai Perwujudan Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Konvensi Paris 1919

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaturan Air Defence Identification Zone (Adiz) Sebagai Perwujudan Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Konvensi Paris 1919"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

A. Sejarah dan Sumber Hukum Udara

1. Sejarah hukum udara

Perkembangan hukum udara diawali pada Konferensi Internasional

Hukum Udara yang pertama diselenggarakan pada tahun 1910 setelah sejumlah

balon udara milik Jerman melintasi wilayah udara di atas negara Perancis, yang

mana hal ini dianggap oleh pihak Perancis sebagai suatu ancaman terhadap

keamanannya. Sembilan tahun setelah Konferensi pertama tersebut dibentuklah

Konvensi Paris 1919 yang berlandaskan adagium Romawi (cujus est solum, ejus

usque ad coelum at ad inferos) yang berarti bahwa negara melaksanakan

hak-haknya sampai pada suatu ketinggian dimana ia masih memiliki kontrol efektif

terhadap ruang udaranya. Tujuan utama perjanjian itu adalah untuk menegakkan

kedaulatan negara terhadap ruang udara di atas wilayahnya dan untuk membentuk

ketentuan-ketentuan bagi pengguna ruang udara. Hukum udara itu sendiri dapat

dipahami sebagai serangkaian ketentua nasional dan internasional mengenai

pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan

hukum, publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan

internasional.14

      

14

Syahmin, et al., 2012. Hukum Udara dan Luar Angkasa, [online]

(2)

Konvensi Paris 1919 ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1919 dan

baru berlaku pada tanggal 11 Juli 1922. Dapat dikatakan bahwa konvensi Paris

1919 tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum

mengenai penerbangan udara. Pengaturan Hukum Udara dalam Pasal 1 Konvensi

Paris 1919 menjelaskan mengenai kedaulatan penuh dan eksklusif negara peserta

terhadap ruang angkasa di atas wilayah darat dan lautnya. Kendati demikian pada

perkembangannya, konvensi tersebut mengalami beberapa perubahan materi

terutama mengenai keanggotaan dalam konvensi yang mana menjelaskan bahwa

setiap negara memiliki kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang berada di

atasnya.15 Pelaksanaan masalah kebebasan navigasi udara Konvensi Paris dirasa hanya sebagai konvensi yang diberikan atas dasar resiprositas semata kepada para

pihak, bukan penilaian objektif. Oleh sebab itu, perkembangan pesat dalam lalu

lintas udara juga membuat Konvensi Paris harus direvisi kembali. Amerika

Serikat berinisiatif untuk merevisi Konvensi Paris yang dilaksanakan pada 1

November-7 Desember 1944 di Chicago, yang mengatur tentang dua kebebasan

dasar yaitu hak lintas damai dan hak mendarat teknik untuk keperluan

pengambilan bahan-bahan dan reparasi dan tiga kebebasan komersial yang

berkaitan dengan lalu lintas komersial.16

Perkembangan yang hampir serupa telah terjadi dalam bidang Hukum

Antariksa (Outer Space Law). Diawali pada 4 Oktober 1957 ketika Sputnik Rusia

diluncurkan ke ruang angakasa yang kemudian diikuti oleh pesawat ruang

angkasa Amerika Serikat, yang mengakibatkan negara lain menganggap hal

      

15

T. May Rudy. Hukum Internasional II. Bandung: Refika Aditama, 2002, hal 31

16

(3)

tersebut sebagai suatu ancaman terhadap keamanan mereka. Prinsip-prinsip yang

berlaku untuk ruang angkasa terjabarkan dalam Space Treaty 1967, dengan

prinsip utama yang mengatur ruang angkasa antara lain Non appropriation

principle dan Freedom exploitation principle. Prinsip pertama atau non

kepemilikan adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa beserta

benda-benda langit merupakan milik bersama umat manusia, tidak dapat diklaim atau

diletakkan di bawah kedaulatan suatu negara. Adapun prinsip kedua adalah

prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa adalah zona yang bebas untuk

dieksploitasi oleh semua negara sepanjang untuk tujuan damai (equity).17 Tujuan

utama dari perjanjian ini adalah untuk mencegah tuntutan-tuntutan kedaulatan di

ruang angkasa oleh negara-negara secara individu dan untuk membuat

ketentuan-ketentuan bagi penggunaan damai ruang angkasa.

Sejalan dengan meningkat pesatnya lalu lintas pengangkutan ruang

angkasa, muncul pula kebutuhan akan prinsip dan pengaturan hukum yang lebih

tegas. Sejumlah studi dan perjanjian mengenai registrasi, pertolongan para

astronaut, dan tanggung jawab bagi kerugian yang telah diatur dalam Space

Treaty 1967, telah dikodifikasi dalam perarturan-perarturan hukum internasional

publik dan perdata yang mengikat (Syahmin, 2012: 6). Beberapa pakar hukum

internasional memberikan definisi yang berbeda tentang antariksa, antara lain

Priyatna Abdurrasyid yang mengatakan hukum antariksa adalah hukum yang

mengatur ruang angkasa dengan segala isinya atau hukum yang mengatur ruang

yang hampa udara. Ruang lingkupnya meliputi tiga hal, yaitu luas wilayah ruang

      

17

(4)

di antariksa dimana hukum antariksa diteapkan dan berlaku, bentuk kegiatan

manusia yang diatur di ruang tersebut, dan bentuk kegiatan peralatan penerbangan

dan alat-alat penunjungnya.18

Paul Fauchile berusaha menerapkan doktrin Grotius ke dalam masalah

kedaulatan suatu negara di ruang udara dengan mengatakan bahwa udara itu

bebas. Akan tetapi tindakan menyamakan lautan dengan ruang udara tidaklah

benar. Hal tersebut diasumsikan bahwa udara dengan lautan itu dua hal yang

berbeda. Mengenai masalah pemilikan ruang udara ini melahirkan dua kelompok

besar, yaitu mereka yang berpendapat bahwa udara sifatnya itu bebas yang

dikelompokkan sebagai penganut teori ruang udara bebas dan mereka yang

berpendapat bahwa negara itu berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah

negaranya. Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai dan di

atas perairan yang tunduk pada kedaulatan negara, seperti yang telah

dikemukakan di atas, terdapat sejumlah teori yang beragam. Akan tetapi ketika

pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914, karena alasan darurat dan praktis

dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima oleh semua negara adalah teori

kedaulatan negara atas ruang udara adalah tidak terbatas.19 Teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh negara yang sedang berperang, akan tetapi juga oleh

negara-negara netral. Teori tersebut dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris

1919, untuk pengaturan navigasi udara, dimana peserta perjanjian mengakui

bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang

      

18

Abdurrasyid, Priyatna. Hukum Ruang Angkasa Nasional, Penempatan dan Urgensinya. Jakarta: Rajawali Pres, 2007, hal 187

19

(5)

udara di atas wilayahnya dan perairan terirtorialnya. Tetapi bagaimanapun juga

konsep kedaulatan tersebut masih bisa dibatasi dengan adanta hak lintas damai

bagi pesawat-pesawat asing.

2. Sumber hukum udara

Adapun pengaturan hukum udara secara internasional adalah sebagai

berikut:

a. Konvensi Paris 1919

Beberapa bulan sebelum ditanda tanganinya perjanjian perdamaian di

versailles, Dewan tertinggi dari Konferesi perdamaian memutuskan untuk

mengadakan suatu panitia penerbangan dan memberi tugas kepadanya untuk

menyiapkan suatu peraturan guna mengatur lalu lintas udara internasional dimasa

yang akan datang. Pekerjaan yang dilakukan panitia telah menghasilkan suatu

perjanjian penerbangan, yang ditandatangani di Paris pada tanggal 13 oktober

1919 oleh 27 negara. Perjanjian Paris ini merupakan cikal bakal dari lahirnya

Konvensi Chicago.

Konferensi Paris 13 Oktober 1919 yang diikuti oleh 27 negara

menghasilkan Konvensi Paris 1919 (Paris Convention). Pasal 1 Konvensi Paris

1919 mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara

di atas wilayahnya. Konsekuensinya adalah negara diberi hak untuk mengatur

maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah udara mereka.20

Ratifikasi Konvensi Paris berjalan sangat lambat karena ada beberapa

ketentuan yang tidak atau kurang disetujui oleh Negara peserta Konferensi, antara

      

20

(6)

lain ketentuan yang menyangkut hak lintas seperti yang terdapat pada Pasal 5:

“...no contracting State shall, except by a special and temporary authorization,

permit the flight above its territory of an aircraft which does not possess the

nationality of a contracting State”. Pasal ini hendak menegaskan bahwa ada

pembatasan terhadap masalah lintas. Pembatasan tersebut mempunyai hubungan

dengan kriteria keanggotaan suatu negara terhadap konvensi. Jadi, negara yang

menjadi anggota Konvensi mempunyai wewenang membatasi penerbangan

pesawat udara negara lain yang bukan anggota Konvensi, melalui wilayah udara

negara anggota Konvensi.21

Selanjutnya hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah ketentuan

Pasal 2 Konvensi Paris yang menyatakan: “Setiap Negara melakukan di masa

damai untuk sesuai kebebasan lintas damai di atas wilayahnya dengan pesawat

dari kontraktor lain Serikat , asalkan kondisi yang ditetapkan dalam Konvensi ini

yang diamati . Peraturan yang dibuat oleh Negara kontrak untuk pengakuan atas

wilayahnya dari pesawat dari kontraktor lain Serikat harus diterapkan tanpa

pembedaan kebangsaan”

Ketentuan Pasal 2 ini mengandung arti bahwa masalah lintas diberikan

kepada pesawat udara komersial dan non-komersial, tetapi dalam batas pesawat

udara negara anggota Konvensi saja. Dengan demikian, pesawat udara negara

anggota Konvensi berhak melintasi wilayah udara negara anggota Konvensi yang

      

21

(7)

lain tanpa terlebih dahulu mendapat izin pemerintah negara yang disebut

terakhir.22

b. Konvensi Chicago 1944

Menjelang berakhirnya perang dunia II, pemerintah Amerika Serikat yang

pada waktu itu dijabat oleh Presiden Roosevelt telah mengambil inisiatif untuk

mengundang berbagai Negara, baik negara sekutunya maupun

Negara-negara netral di Eropa dan Asia, kecuali Negara-Negara-negara Amerika Latin untuk

menghadiri suatu konferensi di Chicago, yang bertujuan menyusun

ketentuan-ketentuan bersama yang baru megenai lalu lintas udara sipil internasional dan

mengganti perjanjian yang telah ada sebelumnya yakni Perjanjian Paris.

Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, yang merupakan penegasan dari

Konvensi Paris 1919, menyatakan: “Negara mengakui bahwa setiap negara

memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas wilayahnya”.

Pasal ini mengatur tentang kedaulatan yang dimiliki oleh negara peserta Konvensi

di ruang udara di atas wilayahnya. Walaupun konsep kedaulatan bukan

merupakan prinsip ekonomi, karena lebih tepat disebut konsep politik, namun

demikian, dari Pasal 1 Konvensi ini dapat ditarik suatu konsekuensi ekonomi yang

penting, bahwa setiap negara memiliki hak untuk menutup ruang udara di atas

wilayahnya dari usaha komersial yang dilakukan oleh negara asing. Dengan cara

ini suatu negara dapat melakukan monopoli angkutan udara untuk ke dan dari

wilayahnya. Oleh karena itu, demi menjamin terciptanya ketertiban lalu lintas

penerbangan sipil internasional diperlukan kesediaan negara-negara untuk

      

22

(8)

membuat perjanjian internasional baik bilateral, regional, plurilateral maupun

multilateral mengenai hak-hak komersial. Pasal 5 Konvensi menyatakan:

“Setiap Negara kena setuju bahwa semua pesawat dari kontraktor lain

Serikat, menjadi pesawat tidak bergerak di bidang jasa penerbangan internasional

dijadwalkan berhak, tunduk pada ketaatan terhadap ketentuan Konvensi ini, untuk

membuat penerbangan ke atau transit non-stop di nya wilayah dan membuat

berhenti untuk tujuan non-lalu lintas tanpa perlu mendapatkan izin sebelumnya,

dan tunduk pada hak Negara diterbangkan lebih membutuhkan arahan. Setiap

Negara tetap berhak, karena alasan keselamatan penerbangan, membutuhkan

pesawat yang ingin melanjutkan lebih daerah yang tidak dapat diakses atau tanpa

fasilitas navigasi udara yang memadai untuk mengikuti ditentukan rute, atau untuk

mendapatkan izin khusus untuk penerbangan tersebut. Pesawat tersebut, jika

terlibat dalam pengangkutan penumpang, kargo, atau surat untuk remunerasi atau

menyewa pada selain layanan udara internasional terjadwal, juga harus, tunduk

pada ketentuan Pasal 7, memiliki hak istimewa untuk mengambil atau pemakaian

penumpang, kargo, atau surat, tunduk pada hak setiap Negara di mana embarkasi

atau debit tersebut dilakukan untuk memaksakan peraturan-peraturan tersebut,

kondisi atau keterbatasan karena dapat mempertimbangkan diinginkan”.

Pasal 5 menyatakan bahwa penerbangan non-schedule yang melintasi

batas wilayah negara, baik penerbangan yang bersifat non-trafic maupun

penerbangan traffic yaitu mengangkut dan menurunkan barang atau surat, harus

mendapatkan izin dari negara kolong dan selama penerbangan diharuskan

(9)

kaitannya dengan pertukaran hak-hak komersial untuk penerbangan non-schedule

internasional. Sedangkan Pasal 6 Konvensi mengatur tentang penerbangan

terjadwal internasional yang berbunyi:

" Tidak ada layanan udara internasional yang dijadwalkan dapat dioperasikan di

atas atau ke dalam wilayah Negara kontrak , kecuali dengan izin khusus atau

otorisasi lainnya dari Negara tersebut , dan sesuai dengan ketentuan izin atau

otorisasi tersebut " .

Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa penerbangan sipil yang melayani

pengangkutan terjadwal internasional (schedule international) hanya dapat

beroperasi apabila sebelumnya telah diberikan izin berupa suatu “permission” atau

pemberian hak lainnya oleh negara yang melintasi rute penerbangannya. Dengan

perkataan lain, pengoperasian angkutan udara terjadwal internasional memerlukan

adanya perjanjian antar negara, baik secara bilateral maupun secara multilateral.

Adapun 6 (enam) dokumen hasil Konperensi Chicago, yaitu :

1. The Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention

1944).

2. International Air Services Transit Agreement (IASTA).

3. International Air Transport Agreement (IATA).

4. Draft of 12 Tehnical Annexes (Annex 1 – 12).

5. Standard form of Bilateral Agreement (Chicago Form Agreement).

6. The Provisional International Civil Aviation Organization (PICAO).

Sembilan puluh enam pasal dari konvensi ini menetapkan hak-hak khusus

(10)

1944 yang ditandatangani di Chicago pada tanggal 7 Desember 1944 dengan

anggota berjumlah 152 negara termasuk Indonesia, dinilai mengandung

kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah adanya pertentangan kepentingan

antara penegakan kedaulatan negara secara maksimal dengan kekerasan senjata

yang berlawanan dengan kepentingan melindungi keselamatan jiwa manusia di

dunia penerbangan sipil. Sehingga pada tanggal 10 Mei 1984 di Montreal telah

ditandatangani protokol yang merubah Konvensi Chicago (Amandement to

Chicago Convention 1944) dengan memasukkan Pasal 3 Bis, mengenai:

1) Kewajiban hukum untuk tidak menggunakan senjata terhadap pesawat udara

sipil (kemanusiaan).

2) Negara berhak memerintahkan pesawat udara sipil pelanggar untuk mendarat

dibandar udara yang ditentukan

3) Negara diminta menggunakan prosedur pencegatan (Interception) terhadap

pesawat udara sipil.

4) Setiap pesawat udara sipil harus mematuhi instruksi yang diberikan oleh

pesawat udara negara yang melakukan pencegatan.

5) Setiap negara harus menetapkan dalam perundang-undangan nasionalnya

ketentuan hukum yang berat bagi para pelaku dan operator pesawat udara

sipil, yang dengan sengaja bertentangan dengan Konvensi ini.

Dalam melakukan penyergapan harus diperhatikan tata cara sebagaimana

diatur dalam Attachment dari Annex 2 Rules of the Air. Untuk menjamin adanya

tingkat keselamatan yang optimal bagi penerbangan maka negara melalui ICAO

(11)

negara dalam menyelenggarakan pengendalian ruang udara di atas wilayah

kedaulatannya. Bila terdapat negara yang dalam menentukan pengendalian ruang

udara di atas wilayah kedaulatannya berlainan dari standar yang ditetapkan ICAO,

maka negara tersebut wajib memberitahukan perbedaannya tersebut kepada ICAO

sehingga bisa diketahui oleh negara-negara lain. Daftar negara-negara yang

mempunyai perbedaan pengaturan dari standar ICAO beserta isi perbedaannya

dicantumkan dalam suplemen annex yang bersangkutan. Sedang bagi

penerbangan di atas wilayah yang tidak termasuk kedaulatan suatu negara (laut

lepas), ICAO menetapkan aturanketentuan pengaturan penggunaan ruang udara

(annexes) yang direkomendasikan untuk diikuti oleh semua negara.

3. Perjanjian Warsawa Tahun 1929

Pada tanggal 12 oktober 1929 di Warsawa ditandatangani suatu perjanjian

yang lengkapnya bernama ”Convention for the Unification of Certain Rules

Relating to International Carriage by Air”, yang lebih dikenal dengan sebutan “

Perjanjian Warsawa “. Perjanjian ini mengatur antara lain dua hal pokok, yaitu :23 1) Mengenai Dokumen Angkatan Udara

2) Mengenai masalah tanggung jawab pengangkut udara Internasional.

Pentingnya perjanjian ini ialah ketentuan-ketentuan didalamnya mengatur

mengenai limit tanggung jawab ganti rugi.

      

23

(12)

B. Prinsip-Prinsip Hukum Udara Internasional

Prinsip-prinsip hukum udara internasional tertuang dalam

Konvensi-konvensi Hukum udara Internasional yang dari waktu ke waktu terus berkembang.

Konvensi-konvensi tersebut muncul dari konferensi Internasional yang dilakukan

negara-negara didunia yang menganggap perlu adanya aturan-aturan yang

mengatur tentang ruang udara (space). Adapun prinsip-prinsip hukum udara

internasional adalah sebagai berikut :

1. Prinsip kedaulatan wilayah udara.

Negara berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi

(supreme authority) bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti

seluas-luasnya baik kedalam maupun keluar, namun demikian tetap harus memerhatikan

hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan internasional lainnya.24 Sebagai negara berdaulat dapat menentukan bentuk negara, bentuk pemerintahan,

organisasi kekuasaan kedalam maupun ke luar, mengatur hubungan dengan warga

negaranya, mengatur penggunaan public domain, membuat undang-undang dasar

beserta peraturan pelaksanaanya, mengatur politik ke luar negeri maupun dalam

negeri, negara di luar negeri maupun dalam negeri, termasuk warga negara asing

yang ada diwilayahnya, walaupun tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless),

mengatur wilayah darat, laut, maupun udara untuk kepentingan pertahanan,

keamanan, keselamatan penerbangan maupun kegiatan sosial lainnya. Menurut

Konvensi Montevedeo Tahun 1933, negara berdaulat memenuhi unsur-unsur

penduduk tetap, pemerintahan yang diakui oleh rakyat, dapat mengadakan

      

24

(13)

hubungan internaional, mempunyai wilayah darat, laut, maupun udara, walaupun

persyaratan wilayah merupakan persyaratan mutlak untuk negara yang

berdaulat.25

Negara berdaulat melaksanakan prinsip yuridiksi teritorial (territorial

jurisdiction principle) disamping prinsip-prinsip yuridiksi lainnya. Sampai saat ini

belum ada konvensi internasional yang secara khusus mengatur wilayah suatu

negara yang meliputi wilayah darat, laut maupun udara, namun demikian bukan

berarti bahwa wilayah suatu negara tidak diatur, sebab dapat ditemukan

diberbagai konvensi internasional yang memuat pengaturan wilayah kedaulatan di

udara seperti Konvensi Paris 1919,26Konvensi Chicago 1994,27 Konvensi Hanava 1928,28 Konvensi Jenewa 1958,29 Konvensi PBB 1982 (UNCLOS),30 dan

Konvensi Wina 1961.31 Contohnya dalam Konvensi Paris 1919 mengatur tentang kedaulatan suatu negara terhadap wilayah udaranya. Hal tersebut diatur dalam

Pasal 1, yang merupakan pasal utama yang berbunyi “Para pengagung anggota

konvensi mengakui bahwa setiap penguasa mempunyai kedaulatan yang penuh

dan utuh atas ruang udara di ats wilayahnya. Pasal ini sebenarnya telah terbentuk

berdasarkan hukum kebiasaan internaional yang terjadi sejak Inggris melakukan

      

25

Konvensi Montevedeo 1993 persyaratan negara berdaulat adalah a permanent populations; a defined territory; a goverment and capacity to enter into relation with other States.

26

Convention Relating to the Reguation of Aerial Navigation, signed at Paris on 13 Oktober 1919.

27

Convention on International Civil Aviation, Signed at Chicago on 7 December 1944.

28

Convention on the Rights and Duties of States.

29

Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, Lihat Robert E.Riggs,1988;366-387; A. Le Roy Bennet, 1988 ; 455-480.

30

Convention on Commercial Aviation,signed at hanava on 20 February 1928

31

(14)

tindakan sepihak (unilateral action) dalam The Aerial Navigation Act of 1911

yang diikuti oleh negara-negara di Eropa lainnya sampai berakhirnya perang

dunia pertama 1918. The Aerial Navigation Act of 1911 berisikan bahwa Inggris

mempunyai kedaulatan penuh dan utuh atas ruang udara diatas wilayahnya

(Complete and exclusive sovereignty). Berdasarkan tersebut Inggris mempunyai

hak se The Aerial Navigation Act of 1911 cara mutlak mengawasi semua bentuk

penerbangan pesawat udara sipil maupun pesawat udara militer.

Prinsip kedaulatan yang utuh dan penuh atas ruang udara diatas daratan

maupun perairan tersebut dicantumkan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang

rumusannya : “The high contracting parties recognizw that every Power has

complete and exclusive soverrignty over the air space above its territory. For the

purpose of the present Convention, the territory of a state shall be understoos as

including the national territory,both that of the mother country and of the

colonies, and the territorial waters adjacent thereto”. Pencantuman prinsip

kedaulatan atas wilayah udara diatas daratan dan perairan tersebut sesuai dengan

penugasan Komisi Navigasi Penerbangan Internasional. Komisi Navigasi

Penerbangan tersebut diarahkan memasukkan prinsip kedaulatan negara diatas

daratan meupun perairan dan yuridiksi diatas wilayah udaranya.

2. Prinsip yuridiksi ruang udara.

Yuridiksi ruang udara diatur dalam Bab II Pasal 3 dan 4 Konvensi Tokyo

1963. Menurut Pasal 3 ayat (1) Konvensi Tokyo 1963 yang mempunyai yuridiksi

(15)

udara adalah negara pendaftar pesawat udara.32 Berdasarkan ketentuan tersebut

ternyata bahwa Konvensi Tokyo 1963 telah sepakat adanya unifikasi yuridiksi.

Menurut konvensi tersebut disepakati yang mempunyai yuridiksi terhadap tindak

pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara dalah negara

pendaftar pesawat udara. Unifikasi demikian sangat penting sekali untuk

mencegah terjadinya conflict of jurisdiction, karena transportasi udara mempunyai

karakteristik internasional yang tidak mengenal batas kedaulatan suatu negara,

sekali terbang dapat melewati berbagai negara, sementara itu di dalam pesawat

udara dapat menimbulkan persaingan yuridiksi (conflict of jurisdiction). Sebagai

ilustrasi adanya persaingan yuridiksi dalam transportasi udara dapat digambarkan

penerbangan Garuda Indonesia di atas Swiss, dalam pesawat udara tersebut terjadi

perkelahian antara penumpang warga negara Swedia dengan penumpang warga

negara Norwegia. Penumpang warga negara Swedia membunuh penumpang

warga negara Norwegia, sementara pesawat udara Garuda Indonesia tetap terbang

di atas Swiss, Prancis, Spanyol, dan mendarat di Lisboa, Portugal.

Kedaulatan teritorial suatu negara berhenti pada batas-batas luar dari laut

wilayahnya. Kedaulatan ini tidak berlaku terhadap ruang udara yang terdapat

diatas laut lepas atau zona-zona dimana Negara-negara pantai hanya mempunyai

hak-hak berdaulat seperti atas landas kontinen. Atas alasan keamanan, status

kebebasan yang berlaku dilaut lepas tidak pula mungkin bersifat absolut.33 Pasal 12 konvensi Chicago dengan alasan keamanan tersebut menyatakan bahwa diatas

      

32

Pasal 3 Ayat 91, The State of Registration of the aircarft is competent to exercise jurisdiction over offences and acts committed onboard.

33

(16)

laut lepas ketentuan yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh

ICAO sehubungan dengan penerbangan dan maneuver pesawat-pesawat yang

terdapat dalam annex dari konvensi. Namun internasionalisasi dinilai kurang

lengkap. Pertama karena kekuasaan pengaturan oleh ICAO terbatas pada

penerbangan sipil dan tidak berlaku terhadap pesawat-pesawat udara public

walaupun majelis dari ICAO talah menyarankan kepada Negara-negara pihak

untuk memasukkan dalam legislasi nasionalnya masing-masing

ketentuan-ketentuan yang juga diberlakukan kepada pesawat-pesawat publik yaitu

ketentuan-ketentuan udara seperti yang terdapat dalam annek II dari konvensi.

ICAO tidak mempunyai wewenang pelaksanaan, kepada masing-masing pihaklah

diberikan wewenang untuk mengambil tindakan agar pesawat udara yang

mempunyai kebangsaan dari Negara tersebut yang berada diatas laut lepas atau

zona eksklusif menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan dan

peraturan-peraturan yang berlaku Pasal 12 konvensi.

3. Prinsip mengenai tanggung jawab

Hukum udara terdapat beberapa sistem dan prinsip mengenai tanggung

jawab, yaitu sistem warsawa, system Roma dan system Guatemala.34[15] Sistem

Warsawa mempergunakan prinsip “presumption of liability” dan prinsip pada

“limitation of liability” untuk kerugian pada penumpang, barang dan bagasi

tercatat, sedangkan untuk kerugian pada bagasi tangan di pergunakan prinsip

“presumption of non-liability” dan prinsip “limitation of liability”. Prinsip –

prinsip ini dipergunakan pula dalam ordonansi pengangkutan udara. Sistem Roma

      

34

(17)

mempergunakan prinsip “absolute liability” dan prinsip “limitation of liability”,

sedangkan dalam system Guatemala dipergunakan prinsip ‘Absolute liability” dan

prinsip “limitation of liability” untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang

dan bagasinya, tanpa membedakan antara bagasi tercatat dan bagasi tangan, bagi

barang dipergunakan prinsip “presumption of liability” dan prinsip “Limitation of

liability”, sedangkan untuk kerugian karena keterlambatan dipergunakan prinsip

prinsip – prinsip yang sama dengan untuk barang. Pada liability Convention tahun

1972 dipergunakan prinsip “absolute liability” apabila kerugian ditimbulkan di

permukaan bumi dan prinsip “Liability based on fault” apabila kerugian di

timbulkan benda angkasa atau orang didalamnya, yang diluncurkan oleh suatu

Negara lain.

Prinsip – prinsip tanggung jawab yang dipergunakan dalam hukum udara

adalah:35

a. Prinsip “presumption of liability” yang dipergunakan dalam konvensi

Warsawa tahun 1929, protocol the hague tahun 1955 dan Ordonansi

pengangkutan udara untuk penumpang, bagasi tercatat dan barang, dan

protocol Guatemala tahun 1971 untuk barang dan kelambatan.

b. Prinsip “Presumption of non-liability” yang dipergunakan dalam Konvensi

Warsawa tahun 1929, protocol The Hague tahun 1955 dan Ordonansi

Pengangkut Udara untuk bagasi tangan.

c. Prinsip “Absolute liability’ yang dipergunakan dalam Konvensi Roma tahun

1952 untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di permukaan bumi.

      

35

(18)

d. Prinsip “Absolute liability” yang dipergunakan dalam protocol Guatemala

tahun 1971 untuk tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan

bagasinya.

e. Prinsip “Absolute liability” yang dipergunakan dalam Liability Convention

tahun 1972 untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda-benda dipermukaan

bumi dan pesawat udara yang sedang terbang.

f. Prinsip “Liability based on fault” yang dipergunakan dalam Liability

Convention tahun 1972 untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda angkasa

lain dan orang didalamnya.

g. Prinsip “limitation of liability” yang dipergunakan dalam Konvensi Warsawa

tahun 1929, protocol the Hague dan Ordonansi pengangkutan untuk

penumpang bagasi tercatat dan barang dan dalam protocol Guatemala tahun

2971 untuk barang dan kelambatan.

h. Prinsip “Limitation of liability” yang dipergunakan dalam protocol Guatemala

tahun1971 untuk penumpang dan bagasinya.

i. Prinsip “Limitation of liability” yang dipergunakan dalam Konvensi Roma

tahun 1952.

Beberapa prinsip yang pada dasarnya sama, namun ada beberapa

perbedaan yang prinsipil yang perlu dikemukakan. Prinsip “Absolute liability”

dalam konvensi Roma tidak benar-benar mutlak karena masih ada kemungkinan

untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya bagi operator pesawat udara,

yaitu dalam hal kejadian adalah akibat dari suatu konflik bersenjata atau huru hara

(19)

prinsip “Absolute liability” dalam protocol Guatemala masih memberi

kesempatan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal

kerugian yang disebabkan oleh penumpang sendiri. Prinsip “Limitation of

liability” dalam Konvensi Warsawa dan Ordonansi pengangkutan udara, bersifat

tidak mutlak, karena batas tanggung jawab itu masih dapat dilampaui, yaitu

apabila kerugian ditimbulkan dengan sengaja oleh pengangkut atau karena

kelalaian berat (gross negligensi), berbeda dengan prinsip “Limitation of liability”

dalam Konvensi Roma dan protocol Guatemala yang tidak dapat dilampaui karena

sebab apapun juga.

Masalah tanggung jawab senantiasa aktual, dan akan selalu aktual selama

ada kemungkinan kecelakaan pesawat udara atau peristiwa-peristiwa lain yang

menimbulkan kerugian pada penumpang atau pihak lain dengan siapa pihak

pengangkut mempunyai perjanjian angkutan, baik untuk angkutan udara

internasional maupun dalam negeri, apapun sebabnya. Dalam Hukum Udara

Internasional masalah tanggung jawab telah lama menjadi perhatian, karena

dalam kenyataan Konvensi internasional ke dua yang penting setelah konvensi

Paris tahun 1919 yang mengatur aspek pengaturan penerbangan Internasional

setelah Perang Dunia ke-I adalah Konvensi Warsawa tahun 1929 yang mengatur

masalah tanggung jawab pengangkut dan dokumen, angkutan pada penerbangan

Internasional,dan di susul tahun 1933 oleh Konvensi Roma yang mengatur

tanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga dipermukaan

bumi. Perjanjian Roma tahun 1933 ini kemudian diganti oleh Konvensi Roma

(20)

Konvensi Warsawa sendiri beberapa kali di ubah dengan beberapa

protocol, yaitu protocol The Hague tahun 1955 dan protocol Guatemala tahun

1971 dengan protocol tambahan Montreal tahun 1975 nomor 1 sampai 4. Di

samping itu terdapat suatu konvensi tambahan yaitu Konvensi Guadalajara tahun

1961 yang mengatur tanggung jawab pada jebis charter tertentu. Konvensi

Warsawa sampai sekarang menjadi merupakan perjanjian multilateral dalam

bidang hukum Udara perdata yang paling banyak pesertanya dan di perlakukan

pula bagi penerbangan dalam negeri antara lain di Indonesia, meskipun dengan

beberapa perubahan dan tambahan, yaitu sebagaimana diatur dalam Ordonansi

pengangkutan Udara.

C. Tanggung Jawab Wilayah Udara

Kedaulatan yang dimiliki oleh negara terkandung hal-hal yang

berhubungan dengan kedaulatan dan tanggung jawab negara terhadap wilayahnya.

Wilayah negara merupakan tempat di mana negara menyelenggarakan

yurisdiksinya atas masyarakat, segala kebendaan serta segala kegiatan yang terjadi

di dalam wilayah. Kedaulatan negara seperti ini disebut juga dengan kedaulatan

teritorial. Kedaulatan teritorial akan berakhir pada batas-batas terluar wilayah

territorial negara bersangkutan, dan karena yurisdiksi territorial suatu negara akan

meliputi perairan territorial, maka pada hakekatnya batas terluar wilayah negara.

adalah batas terluar laut teritorial.36

      

36

Try Sutrisno Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional,

(21)

Kedaulatan yang dimiliki oleh negara terkandung hal-hal yang

berhubungan dengan kedaulatan dan tanggung jawab negara terhadap wilayahnya.

Wilayah negara merupakan tempat di mana negara menyelenggarakan

yurisdiksinya atas masyarakat, segala kebendaan serta segala kegiatan yang terjadi

di dalam wilayah. Kedaulatan negara seperti ini disebut juga dengan kedaulatan

teritorial. Kedaulatan teritorial akan berakhir pada batas-batas terluar wilayah

territorial negara bersangkutan, dan karena yurisdiksi territorial suatu negara akan

meliputi perairan territorial, maka pada hakekatnya batas terluar wilayah negara

adalah batas terluar laut teritorial. Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar dalam

bukunya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kedaulatan atas wilayah

adalah kewenangan yang dimiliki suatu negara untuk melaksanakan

kewenangannya sebatas dalam wilayah-wilayah yang telah menjadi bagian dari

kekuasaannya.37

F. Sugeng Istanto dalam memaknai kedaulatan teritorial menyebutkan

salah satu kualifikasi yang harus dipenuhi negara sebagai subjek hukum

internasional adalah wilayah tertentu. Negara, sebagai organisasi kekuasaan,

menguasai wilayah tersebut. Di wilayah itu negara memegang kekuasaan

kenegaraan yang tertinggi, yakni hak melakukan kedaulatan wilayah. Dalam

wilayah itu negara tersebut melaksanakan fungsi kenegaraan dengan

mengecualikan negara lain.38

      

37

Dewysrinurlatifah.wordpress.com/hukum/hukum-internasional/ (diakses tanggal 1 Maret 2016).

38

(22)

Sehubungan dengan pemahaman kedaulatan teritorial dengan batas-batas

negaranya, beberapa dekade belakangan ini terdapat istilah ”borderless world”

atau “dunia tanpa batas”. Istilah ini muncul sebagai akibat dari tumbuh dan

berkembangnya faham globalisasi, terutama globalisasi di bidang ekonomi yang

dimotori oleh transnational/multinational corporations (TNCs/MNCs). Intinya

faham globalisasi ini menekankan bahwa dunia ini yang berisi negara-negara

dengan batas wilayahnya menjadi “tanpa batas”. Pertanyaannya adalah apakah

globalisasi dengan borderless world-nya memiliki efek terhadap kedaulatan

negara? Akankah kedaulatan yang dimiliki negara-negara menjadi berkurang atau

kabur karena faham globalisasi ini?. Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah

tidak. Faham globalisasi tidak akan berpengaruh banyak terhadap kedaulatan yang

dimiliki oleh negara. Seperti yang telah diungkap sebelumnya bahwa kedaulatan

tersebut adalah tunggal-bulat dan tidak dibagi-bagi serta menafikkan keberadaan

negara lain, suatu negara tetap memilki hak untuk melakukan apapun juga

(melaksanakan kedaulatan) di wilayahnya. Kalau pun berpengaruh terhadap

berkurangnya kedaulatan, lebih kearah berkurangnya kedaulatan ekonomi suatu

negara, dan memang hal ini (aktivitas ekonomi) yang menjadi sasaran utama

faham globalisasi dengan ide pasar bebasnya (free trade).

Kembali ke kedaulatan teritorial yang telah dibahas sebelumnya, kedaulatan

teritorial tersebut akan membawa konsekuensi bahwa negara ternyata memiliki

tanggung jawab terhadap wilayahnya. Pemahaman tanggung jawab negara disini

perlu dibedakan antara tanggung jawab dalam arti responsibility dengan tanggung

(23)

Perbedaan antara responsibility dan liability dapat dilihat dari pemahaman

secara etimologi (study of the history of words), Responsibility berasal dari akar

kata Latin respons (us). Kata ini berkaitan dengan kata Latin lainnya respondere,

to respond dan spondere, to pledge, promise. Responsible berarti “answerable or

accountable, as for something within one’s powers or control”. Responsibility

berarti “ the state or fact of being responsible”, dan “a particular burden of

obligation upon a person who is responsible”. Secara sederhana, tanggung jawab

(responsibility) didefinisikan sebagai kemampuan untuk menjawab atau

memenuhi janji atau commitment, baik janji kepada orang lain maupun janji

kepada diri sendiri.

Sedangkan liability berasal dari kata liable. Oxford Dictionary memaknai

liable sebagai “legally responsible for paying the cost of something” dan liability

dimaknai “state of being legally responsible for somebody or something”.

Sederhananya liability didefinisikan sebagai tanggung jawab untuk membayar

sesuatu atas kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan akibat dari sebuah

perbuatan -konsep ganti kerugian-. Kata liability ini banyak digunakan di ranah

Hukum Perdata dan Hukum Lingkungan, dalam Hukum Tata Negara, Hukum

Internasional atau Hukum Pemerintahan liability digunakan secara terbatas, dalam

contoh kasus, jika ada sebuah perbuatan negara yang merugikan negara lain maka

konsep liability yang digunakan.

Dengan demikian, melihat penjelasan mengenai responsibility dan

liability, tampak nyata perbedaan secara definisi dan penggunaan antara

(24)

jawab dalam arti responsibility yaitu tanggung jawab yang dilakukan pemerintah

terhadap wilayahnya.

Udara merupakan salah satu sumber daya alam dan unsur lingkungan.39 Udara selain mengandung sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan bagi

pembangunan untuk kemakmuran rakyat, udara juga dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan lain misalnya kepentingan politik. Karakteristik sumber daya alam di

udara terdiri dari: sumber daya energi (surya dan angin), sumber daya gas, sumber

daya ruang. Kekhasan wilayah udara Indonesia sebagai negara kepulauan yang

berada di antara Benua Asia-Australia, serta di dua Samudera Pasifik-Hindia

menyebabkan wilayah udara Indonesia menjadi penggerak sirkulasi udara global

dan pembentukan iklim dunia yang merupakan keunggulan strategis wilayah

udara Indonesia. 40 Tiga aspek yang harus diperhatikan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan ruang udara beserta sumber daya yang terkandung

di dalamnya, yakni:

1. Aspek keamanan dan keselamatan,

2. Aspek pertahanan negara, dan

3. Aspek lingkungan hidup. Pertahanan dan keamanan negara adalah segala

upaya untuk mempertahankan kadaulatan negara, keutuhan wilayah

negara, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan

terhadap keutuhan bangsa dan negara.41

      

39

Philip Kristanto, Ekologi Industri,Penerbit Andi, Yagyakarta, 2002, hal. 40.

40

RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional, hal 35.

41

Referensi

Dokumen terkait

[r]

PROGRAM STUDI D3 MARKETING FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SULTAN

Tepat pada saat inilah logika kedaulatan dan rasio kepemerintahan bersinggungan dengan kapitalisme, sistem ekonomi yang berbasiskan pertukaran komoditas dalam

Secara umum terlihat bahwa dalam konteks pencapaian swasembada daging sapi, dari beberapa cara untuk mencapai swasembada, yaitu 1) menggeser kurva penawaran ke kanan

Jika disimpulkan protocol TCP/IP adalah salah satu jeni protocol yang memungkinkan kumpulan komputer untuk berkomunikasi dengan suatu standar yang

Manajemen Pembelajaran merupakan salah satu faktor terpenting dalam menyelenggarakan pengajaran. Dengan adanya manajemen dapat mewujudkan proses pembelajaran yang

Ini membuktikan bahwasannya Indonesia memiliki banyak regulasi yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya minerba, dalam hal ini berarti pemerintah

Nabi bersabda kepadanya: “ Kamu telah tergesa-gesa wahai orang yang sedang shalat. Apabila anda selesai shalat, lalu kamu duduk, maka memujilah kepada Allah dengan