BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan hukum nasional yang pada saat sekarang ini merupakan
masalah hangat, karena didorong oleh adanya semangat untuk menegakkan The
Rule of Law, dan didukung oleh perasaan tidak puas terhadap hukum-hukum
positif sekarang ini.
Dalam rangka proses pembangunan di Indonesia sebagai negara yang
sedang berkembang, permasalahan hukum adalah merupakan suatu hal yang tidak
dapat diabaikan termasuk dalam hal ini permasalahan-permasalahan yang berada
dalam ranah hukum pidana.
Pembangunan dalam bidang hukum khususnya pembangunan hukum
pidana, tidak hanya mencakup pembangunan yang bersifat struktural, yakni
pembangunan lembaga-lembaga hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme,
tetapi juga harus mencakup pembangunan substansial berupa produk-produk yang
merupakan hasil suatu sistem hukum dalam bentuk peraturan hukum pidana dan
yang bersifat kultural, yakni sikap-sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi
berlakunya sistem hukum.1
Hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok yang menjadi titik
perhatiannya. Masalah pokok dalam hukum pidana tersebut meliputi masalah
tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta korban sebagai objek
dalam ilmu hukum pidana. Masalah perbuatan jahat perlu dibedakan ke dalam
1
perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat dipandang secara konkret sebagaimana
terwujud dalam masyarakat, yaitu perbuatan manusia yang
memperkosa/menyalahi norma-norma dasar masyarakat secara konkret. Ini adalah
pengertian “perbuatan jahat”dalam kriminologis. Perbuatan jahat dalam arti
hukum pidana, perbuatan jahat disini adalah perbuatan jahat sebagaimana
terwujud in abstractio dalam peraturan-peraturan pidana.2
Perbuatan-perbuatan pidana ini menurut wujud atau sifatnya adalah
bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum,
perbuatan-perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melawan (melanggar)
hukum. Tegasnya perbuatan-perbuatan tersebut merugikan masyarakat, dalam arti
bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan
masyarakat yang baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan
pidana itu bersifat merugikan masyarakat, jadi anti-sosial. Karenanya
perbuatan-perbuatan itu dilarang keras atau pantang dilakukan.3
Perkembangan masyarakat pada masa sekarang ini mengakibatkan banyak
kegiatan-kegiatan yang dapat dikategorikan oleh masyarakat sebagai suatu
tindakan yang telah menyimpang dari hukum yang ada. Faktor ekonomi serta
pendidikan yang rendah mengakibatkan adanya efek negatif yang berkembang di
dalam masyarakat sehingga menimbulkan suatu perbuatan yang bisa
dikategorikan sebagai suatu kejahatan dan meresahkan masyarakat sekitar.
Hukum Pidana seringkali digunakan untuk menyelesaikan masalah sosial
2 Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang, 2004, Hal. 32. 3
khususnya dalam penanggulangan kejahatan khususnya masalah perjudian sebagai
salah satu bentuk penyakit masyarakat, salah satu bentuk patologi sosial.4
Perjudian merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat, satu bentuk
patologi sosial. Sejarah perjudian sudah ada di muka bumi ini sejak beribu-ribu
tahun yang lalu, sejak dikenalnya sejarah manusia. Masih segar menempel di
ingatan sewaktu masih kecil, tengah bermain-main kelereng. Barangsiapa yang
menang, mendapat hadiah segenggam gundu atau kemenangan dalam jenis
permainan lainnya mendapat hadiah berupa: digendong oleh temannya melintas
halaman. Dalam permainan karet gelang jika kalah bermain, sebab gelang
karetnya tertindih oleh milik lawan, dia harus membayar 5 gelang karet.
Bermacam-macam bentuk permainan anak-anak itu sudah mengandung unsur
perjudian secara kecil-kecilan, karena di dalamnya ada unsur pertaruhan.5
Pada dasarnya, individu yang melakukan tindakan judi disebabkan oleh
adanya ekspektasi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya (utility
maximitation) bagi kesejahteraannya. Ekspektasi tersebut kemudian membuat
para pelaku judi melakukan spekulasi-spekulasi dengan cara-cara yang destruktif
yang menghalalkan segala cara. Kemenangan yang dirasakan ketika berhasil Perjudian merupakan penyakit sosial yang buruk. Kemenangan yang
dihasilkan dari perjudian tidak akan bertahan lama dan justru akan berakibat pada
pengrusakan karakter individu dan akan merusak kehidupannya. Banyak sudah
fakta menceritakan bahwa pemenang judi tidak selalu memiliki hidup yang
sejahtera, sebagian besar mengalami kemiskinan yang begitu parah dan
mengalami keterasingan dari keluarga dan masyarakat.
4 Kartini Kartono, Patologi Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, Hal. 57. 5
meraup keuntungan membuat eskalasi kegembiraan yang sangat tinggi dan
mengantar keinginan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi. Salah
satu cara destruktif yang digunakan oleh para pelaku tindakan judi adalah akan
mempertaruhkan segala sesuatu yang dianggap sebagai harta untuk diserahkan di
tempat perjudian. Kelanjutan dari perilaku tersebut akan berefek kepada
tindakan-tindakan yang menyimpang lainnya (disfungtional behaviour), tidak lagi
mematuhi pranata-pranata sosial, norma, nilai dan hukum positif sehingga akan
menimbulkan virus di dalam masyarakat, bila tidak diselesaikan secara
komprehensif, baik secara persuasif dan preventif maka akan menimbulkan
penyakit sosial masyarakat. Penyakit sosial akan sulit diobati bilamana didukung
oleh suatu kebiasaan atau perilaku menetap yang telah dilakukan oleh sebagian
masyarakat pada generasi sebelumnya yang terus menerus masih dilestarikan
seperti perilaku sabung ayam dan sejenisnya yang di dalamnya ada unsur judi.
Terdapat pula pemahaman yang keliru oleh sebagian masyarakat bahwa
perilaku-perilaku yang cenderung beraroma judi dianggap sebagai permainan dan filantropi
(kerelaan memberikan sumbangan kepada pihak lain) namun semua itu jelas
menggambarkan model judi yang dimodifikasi.6
Perjudian di satu pihak sangat erat berkaitan dengan kehidupan dunia
bawah (underworld), tapi di pihak yang lain dilegatisasi dan seakan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari dunia rekreasi dan hiburan. Keberanian dalam
mengambil risiko dan ketangguhan menghadapi ketidakpastian dalam dunia
perjudian dan bisnis merupakan dua elemen yang nuansanya sama, kendati dalam
konteks yang amat berbeda. Oleh sebab itu, dalam komunitas masyarakat tertentu
perjudian tidak dianggap sebagai perilaku menyimpang yang dapat menimbulkan
masalah moral dalam komunitas. Berbeda dengan pendapat tersebut, American
Psychiatric Association (APA) menyatakan bahwa perilaku berjudi dapat
dianggap sebagai gangguan kejiwaan yang termasuk dalam Impuls Control
Disorder, jika perilaku berjudi tersebut sudah tergolong kompulsif. Hal ini
didasarkan atas kriteria perilaku yang cenderung dilakukan secara berulang-ulang
tanpa dikendalikan, sudah mendarah daging dan sulit untuk ditinggalkan.7
Selain itu kasus yang banyak terjadi adalah tindak pidana perjudian yang
dilakukan oleh sebagian orang adalah tindak pidana perjudian yang sama sekali
baru. Baru dalam artian cara melakukan serta alat-alat yang digunakan untuk
berjudi. Hal ini disebabkan oleh perkembangan iptek termasuk juga lingkungan
dimana mereka sering berinteraksi. Seperti mengenai judi yang dilakukan dalam
dunia maya, Pemerintah khususnya Lembaga Perwakilan Rakyat yang salah satu
fungsinya adalah legislasi, membentuk peraturan-peraturan mengenai kejahatan di
dalam dunia maya termasuk perjudian. Hal tersebut dapat kita lihat dalam Pada dasarnya telah ada pengaturan mengenai tindak pidana perjudian
sebagaimana diatur dalam Pasal 303 KUHP serta Undang-undang No. 7 Tahun
1974 tentang Perjudian. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih ditemukan
beberapa kelemahan. Suatu permainan dapat dikatakan judi apabila beberapa
orang telah tertangkap tangan sedang bermain suatu permainan yang telah
dikategorikan judi di dalam peraturan oleh petugas yang berwenang. Artinya,
pelaku judi tidaklah perlu takut harus ditangkap akibat laporan dari pihak lain
selama pelaku tidak tertangkap tangan oleh aparat ketika sedang bermain judi.
Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) terkhusus pada Pasal 27. Kenyataannya adalah masih banyak di
bentuk-bentuk perjudian yang dilakukan yang belum diketahui oleh Pemerintah yang
berkembang dari masing-masing daerah.
Judi atau permainan “judi” atau “perjudian” menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah “permainan dengan memakai uang sebagai taruhan”.8 Berjudi
ialah9
Sedangkan menurut Kartini Kartono dalam bukunya Patologis Sosial,
perjudian adalah :
“Mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan dengan tujuan mendapatkan sejumah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula”.
10
1. Adanya pengharapan untuk menang; :
“Pertaruhan dengan sengaja; yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai, dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak atau belum pasti hasilnya”.
Berdasarkan Pasal 303 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
perjudian dinyatakan sebagai berikut:
“Main judi berarti tiap-tiap permainan yang kemungkinannya akan menang pada umumnya tergantung pada untung-untungan saja; juga kalau kemungkinan bertambah besar, karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Main judi mengandung juga segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau main itu, demikian juga segala pertaruhannya.”
Berdasarkan defenisi tersebut maka Permainan Judi (hazardspel)
mengandung unsur:
8
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, Hal. 419.
9Ibid 10
2. Bersifat untung-untungan saja;
3. Ada yang dipertaruhkan;
4. Ada insentif berupa hadiah bagi yang menang; dan
5. Pengharapan untuk menang semakin bertambah jika ada unsur kepintaran,
kecerdasan dan ketangkasan.
Secara hukum, pihak yang dapat dihukum dalam perjudian, ialah11
1. Orang atau Badan Hukum (Perusahaan) yang mengadakan atau memberi kesempatan main judi sebagai mata pencahariannya, dan juga bagi mereka yang turut campur dalam perjudian (sebagai bagian penyelenggara judi) atau juga sebagai pemain judi. Walaupun di tempat tersembunyi tetap dapat dihukum.
:
2. Orang atau Badan Hukum (Perusahaan) yang sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi kepada umum. Dalam hal ini tidak perlu disyaratkan sebagai mata pencaharian, asal di tempat umum yang dapat dikunjungi orang banyak/umum dapat dihuku, kecuali ada izin dari pemerintah bahwa judi tersebut tidak dapat dihukum.
3. Orang yang mata pencahariannya dari judi.
4. Orang yang hanya ikut pada permainan judi yang bukan sebagai mata pencaharian.
Perjudian dalam proses sejarah generasi ternyata tidak mudah untuk
diberantas. Ironisnya sekalipun secara eksplisit hukum menegaskan bahwa segala
bentuk “judi” telah dilarang dengan tegas dalam undang-undang, namun segala
bentuk praktik perjudian menjadi diperbolehkan jika ada “izin” dari pemerintah.
Hal ini tertuang dalam Pasal 303 bis ayat (1) ke-2 yaitu:
“Barangsiapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu”
Di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa turut bermain judi di jalan
umum merupakan suatu kejahatan kecuali jika telah ada izin dari pemerintah yang
berwenang. Kenyataannya adalah hasil perjudian pernah dipergunakan oleh
pemerintah untuk usaha-usaha pembangunan, sebagai contohnya, di Provinsi DKI
Jakarta semasa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin yang melegalkan perjudian
dan prostitusi. Namun, terlepas dari itu pengaruh negatif dari perjudian lebih besar
daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu pemerintah dan aparat hukum
terkait harus mengambil tindakan tegas agar masyarakat menjauhi dan akhirnya
berhenti melakukan tindakan perjudian.12
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas maka dalam rangka
penanggulangan masalah perjudian diperlukan adanya kebijakan hukum pidana
(penal policy). Kebijakan tersebut harus dikonsentrasikan pada dua arah, pertama
pada arah kebijakan aplikatif yaitu kebijakan untuk bagaimana
mengoperasionalisasikan peraturan perundang-undangan hukum pidana yang
berlaku pada saat ini seefektif mungkin untuk menangani masalah perjudian.
Sedangkan yang kedua adalah kebijakan formulatif atau kebijakan yang mengarah
pada pembaharuan hukum pidana (penal law reform) yaitu kebijakan untuk
bagaimana merumuskan peraturan pada undang-undang hukum pidana berkaitan
dengan penanggulangan perjudian di masa yang akan datang.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan
yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana perjudian di Indonesia?
12
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku permainan judi dadu
guling (samkwan) menurut Putusan No. 141/Pid.B/2013/PN.KBJ?
C. Manfaat dan Tujuan Penulisan
1. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam skripsi ini adalah:
a. Manfaat Teoritis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk menambah
dan memperluas pengetahuan mengenai tindak pidana judi serta apakah
permainan-permainan baru yang muncul di tengah-tengah masyarakat
pada saat ini yang telah memenuhi salah satu unsur dari perjudian dapat
dikenakan sanksi yang berkenaan dengan hukum pidana bagi para
akademisi dan terutama bagi penulis sendiri dalam menerapkan
pengetahuan ilmu hukum yang diperoleh selama pendidikan di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara serta sebagai tambahan literatur dalam
hukum pidana khususnya tentang tindak pidana perjudian.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
serta dapat menjadi salah satu referensi nantinya bagi para praktisi hukum
dalam melakukan penyelidikan, penyidikan serta dalam mengambil
keputusan berkaitan dengan tindak pidana perjudian serta
permainan-permainan baru yang dapat dikategorikan sebagai perjudian dalam
2. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini, maka tujuan
yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur tentang perjudian di
Indonesia.
b. Untuk mengetahui unsur-unsur permainan dadu guling (samkwan) dapat
dikategorikan perjudian serta bagaimana pertanggungjawaban terhadap
pelaku permainan tersebut berdasarkan suatu putusan hakim.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini berjudul “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Permainan Judi Dadu Guling (Samkwan) berdasarkan Putusan No. 141/Pid.B/2013/PN.KBJ ”.
Berdasarkan penelusuran literatur tentang judul skripsi di Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa judul tersebut
belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehingga
layak untuk ditulis dan diteliti. Kalaupun ada judul yang serupa, namun
permasalahan dan materi pembahasan yang diangkat berbeda. Judul-judul yang
telah ada di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang mirip
adalah “Tindak Pidana Perjudian dan Penanggulangannya di Wilayah Tanah Karo
(Mart Mahendra, 010222115), Peranan Polisi dalam Menanggulangi Tindak
Pidana Perjudian studi Polres Langkat (Yulia C.S. Aruan, 050200250), Peranan
Polri dalam Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana Perjudian di Kota Medan
(Muhammad Syukri, 070200456), Upaya Kepolisian dalam Penanganan Tindak
070200455), dan Perspektif Kriminologi Terhadap Kejahatan Perjudian di Kota
Medan (Sriwahyuni Tanjung, 980200132)”.
Dengan demikian, apabila di kemudian hari ditemukan skripsi dengan
judul yang sama yang telah ada sebelumnya, maka hal tersebut menjadi tanggung
jawab penulis.
E. Tinjauan Pustaka
1. Perkembangan Perjudian di Indonesia
Perjudian adalah sebuah permainan yang digandrungi di seluruh dunia tak
terkecuali di Indonesia. Sejarah mencatat, dari penggalian arkeolog di Mesir
ditemukan sejenis permainan judi yang diduga berasal dari tahun 3500 SM. Pada
lukisan makam dan keramik terlihat orang yang sedang melempar astragali, yaitu
tulang kering di bawah tumit domba atau anjing yang disebut pula tulang buka
kaki. Ada juga papan pencatat untuk melihat nilai pemain. Tulang ini memiliki
sisi yang tidak rata. Setiap sisi memiliki nilai tersendiri. Astragali juga dimainkan
oleh penduduk Yunani dan Romawi yang membuat tiruannya dari batu dan
logam.13
Permainan dadu juga sudah ada jauh sebelum masehi. Ada dadu yang
terbuat dari tulang, namun lebih banyak tembikar atau kayu. Dadu tertua yang
dibuat berumur 3000 SM, berasal dari Irak dan India. Orang kuno juga berjudi
dengan menggunakan sebatang tongkat kecil. Dalam cerita Mahabharata dapat
diketahui bahwa Pandawa kehilangan kerajaan dan dibuang ke hutan selama 13
tahun karena kalah dalam permainan judi melawan Kurawa.14
13
diakses tanggal 26 September 2016 14
Di Indonesia sendiri, permainan yang mengandung unsur taruhan ini telah
ada sejak zaman dulu. Judi tradisional yang terkenal adalah judi sabung ayam.
Para penduduk akan mempertaruhkan hartanya sebagai taruhan dalam berjudi.
Perkembangan judi di Indonesia dimulai pada masa penjajahan VOC. Pemerintah
Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) memberikan izin kepada para Kapten
Tionghoa untuk membuka dan mengurus rumah judi untuk memperolah pajak
yang tinggi dari pengelolaan rumah judi tersebut. Rumah judi yang didirikan
dapat berada di dalam benteng ataupun di luar benteng kota Batavia. Pada masa
itu judi yang terkenal ada judi dadu dan kartu. Judi lotere yang berasal dari Eropa
baru masuk pada abad 19.15
Menurut Kartini Kartono, sejak tahun 1960-an sampai tahun 1981 judi
bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Baik legal maupun yang ilegal
dan mencapai puncaknya pada tahun 1977. Judi tersebar hampir di seluruh kota
besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang dan Makassar.
Bentuknya juga bermacam-macam. Ada yang berbentuk kasino, lotto fair,
stand-stand adu nasib dengan wajah permainan, stand-stand kim dan mesin jackpot. Ada yang
bersifat lokal dan kecil-kecilan, ada juga yang besar, mewah dan berkaliber
internasional. Namun sejak 1981 segala bentuk perjudian dilarang oleh
pemerintah. Namun prakteknya hingga kini perjudian masih tumbuh di
Indonesia.16
Dalam harian Suara Merdeka terbitan Senin 19 Januari 2004
17
15
diuraikan
latar belakang sejarah panjang mengenai judi di Indonesia.
September 2016
16 Kartini Kartono, Op.cit, Hal. 56. 17
Pada umumnya, dulu perjudian selalu terkait dengan dunia malam dan hiburan. Di bawah kekuasaan Belanda di Indonesia, judi berlangsung dengan sebuah ordonansi yang dikeluarkan oleh residen setempat.
Judi dalam bentuk lotere sudah ada sejak tahun 1960-an yang zaman itu lebih dikenal dengan nama lotere buntut. Pada masa itu, di Bandung ada lotere yang disebut Toto Raga sebagai upaya pengumpulan dana mengikuti pacuan kuda. Sedangkan di Jakarta semasa Gubernur Ali Sadikin muncul undian lotere yang diberi nama Toto dan Nalo. Tahun 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres No. 113 Tahun 1965 yang menyatakan lotere buntut merusak moral bangsa dan masuk dalam kategori subversi. Memasuki orde baru, lotere ini malah semakin berkembang. Di tahun-tahun berikutnya malah Pemda Surabaya mengeluarkan Lotere Totalisator PON Surya yang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan olahraga dan hanya berdasarkan undian yang bertujuan untuk menghimpun dana bagi PON VII yang akan diselenggarakan di Surabaya pada tahun 1969.
Pada tahun 1974, Toto KONI dihapus. Pemerintah melalui Menteri Sosial pada saat itu mulai memikirkan sebuah gagasan untuk menyelenggarakan forecast sebagai bentuk undian tanpa menimbulkan ekses judi. Setelah melakukan beberapa studi banding maka pada tahun 1976, Depsos meminta penilaian dari Kejagung, Badan Koordinasi Intelijen Negara dan Depdagri untuk menyelenggarakan forecast dan merencanakan pembagian hasil 50-30-20. Akan tetapi rencana itu belum bisa terlaksana karena Presiden Suharto saat itu bersikap hati-hati dan meminta untuk dipelajari lebih dalam lagi.
Pada tanggal 28 Desember 1985, Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola diresmikan, diedarkan dan dijual. Porkas dimaksudkan menghimpun dana masyarakat untuk menunjang pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga di Indonesia. Porkas lahir berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1954 tentang Undian, yang antara lain bertujuan agar undian yang menghasilkan hadiah tidak menimbulkan keburukan sosial. Porkas tidak ada tebakan angka hanya menebak menang, seri atau kalah. Porkas juga hanya beredar sampai tingkat kabupaten dan anak-anak di bawah usia 17 tahun dilarang menjual, mengedarkan serta membelinya. Pada tanggal 11 Januari 1986, penarikan pertama Porkas dilakukan. Hingga dalam bulan berikutnya dalam tahun yang sama, dana Porkas mencapai 11 Milyar rupiah, dimana dananya dibagi kepada KONI Pusat dan KONI daerah, Kantor Menpora, PSSI Pusat serta dalam perhelatan Asian Games X di Seoul.
Pada tanggal 25 November 1993, pemerintah mencabut dan membatalkan pemberian izin untuk pemberlakuan SDSB tahun 1994. Lotere SDSB di Indonesia berakhir setelah sebelumnya didahulu berbagai demonstrasi mahasiswa anti-SDSB. Setelah itu, Dana Masyarakat untuk Olahraga (Damura) dibentuk, namun ditunda hingga semua persoalan yang menyangkut penggalangan dana masyarakat itu sudah jelas.
Jelaslah bahwa di Indonesia sendiri, perjudian berkembang dengan sangat
marak bahkan pada saat orde baru pemerintah menggunakan undian-undian yang
menyerupai judi dengan tujuan menggalang dana untuk meningkatkan sarana dan
prasarana dibidang olahraga dan sosial. Tidaklah heran jika pada masa sekarang
ini masih banyak praktek judi yang berkembang di Indonesia. Pada masa sekarang
perjudian bahkan sudah semakin modern. Judi-judi seperti sabung ayam mungkin
sudah tidak ditemui di kota-kota besar lagi. Bahkan perjudian telah merambah
hingga ke dalam dunia maya. Untuk mengantisipasi hal itu maka pemerintah telah
membuat peraturan-peraturan yang tegas sehingga dapat memberikan efek jera
kepada para pelaku judi.
2. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana telah banyak dikemukakan oleh para ahli hukum
pidana. Antara satu pengertian tindak pidana dengan pengertian tindak
pidana yang lain secara umum terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok yang memisahkan secara tegas antara perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana, dan kelompok yang menyamakan antara
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.18
Dalam konsep KUHP, tindak pidana diartikan sebagai perbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh perundang-undangan
18
dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Dalam konsep tersebut juga dikemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai
tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh
peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana
selalu dipandang melawan hukum kecuali ada alasan pembenar.19
Dalam Bahasa Belanda, strafbaarfeit itu terdiri dari tiga kata yaitu straf,
baar, dan feit. Straf diartikan sebagai pidana atau hukum, baar diartikan
sebagai dapat atau boleh, dan feit diartikan sebagai tindak, peristiwa,
pelanggaran dan perbuatan
Istilah tindak pidana berasal dari Bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit, yaitu
istilah yang terdapat KUHP Belanda demikian juga dalam KUHP
Indonesia, tetapi tidak ada penjelasan secara rinci mengenai pengertian
strafbaarfeit tersebut.
20
Menurut Simons, strafbaarfeit adalah
. Jadi, secara harafiah straafbaarfeit dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana.
21
Sedangkan menurut Pompei, strafbaarfeit adalah :
“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.”
22
19
Ibid, Hal. 98. 20
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal. 69. 21 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hal. 5.
22
Ibid, Hal. 6.
:
Selain pengertian menurut para ahli tersebut, ada juga beberapa istilah
yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun
dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit
yaitu23
1) Tindak Pidana :
Merupakan istilah resmi yang digunakan dalam perundang-undangan
pidana di Indonesia. Istilah ini digunakan antara lain dalam
Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta ( yang telah diganti
dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2002), Undang-undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang telah
diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001), dan
perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini yaitu
Wirjono Prodjodikoro. Menurut beliau, tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana24
Ahli hukum lainnya yang menggunakan istilah ini yaitu Satochid
Kartanegara. Menurut beliau, tindak pidana diartikan sebagai tindakan
yang dilakukan oleh manusia untuk mana ia dapat dipidana .
25
2) Peristiwa Pidana
.
Istilah ini digunakan oleh Mr. R. Tresna dalam bukunya Asas-asas
Hukum Pidana. Menurut beliau, peristiwa pidana adalah26
“Suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.”
:
23 Adami Chazawi, Op.cit, Hal. 67-68. 24
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, Hal. 209.
25Ibid, Hal. 208. 26
Ahli hukum lainnya yang menggunakan istilah ini adalah Utrecht,
dalam bukunya Hukum Pidana I. Menurut beliau, peristiwa pidana
diartikan sebagai27
3) Delik
:
“Suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit) yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum”.
Istilah ini sebenarnya berasal dari Bahasa Latin yaitu delictum. Dalam
Bahasa Jerman disebut delict, dalam Bahasa Perancis disebut dengan
delit, dan dalam Bahasa Belanda disebut dengan delict28
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata “delik” diberi
batasan yaitu
.
29
Beberapa ahli hukum pidana memberikan pengertian mengenai delik
dalam arti strafbaarfeit, antara lain yaitu Vos, van Hamel dan Simons.
Menurut Vos, delik didefinisikan sebagai feit yang dinyatakan dapat
dihukum berdasarkan undang-undang. Menurut van Hamel, delik
adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain.
Sedangkan menurut Simons delik berarti
: “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena
merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.”
30
4) Pelanggaran Pidana
:
“Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.”
27
Evi Hartanti, Op.cit, Hal. 6. 28
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hal. 7. 29Ibid.
Digunakan oleh Mr. M. H. Tirtaadmidjaja dalam bukunya Pokok-pokok
Hukum Pidana.
5) Perbuatan yang boleh dihukum
Digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya Ringkasan Tentang Hukum
Pidana.
6) Perbuatan Pidana
Digunakan oleh Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau seperti
dalam buku Asas-asas Hukum Pidana.
Menurut beliau, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah
perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana,
asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada
perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada
orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman
pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang
yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula. Yang satu
tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang,
jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam
pidana, jika karena tidak ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk
menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan
keadaan konkret: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua, adanya
orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. 31
Karena itulah menurut Prof. Moeljatno, kurang tepat jika untuk pengertian
yang abstrak itu digunakan istilah “peristiwa” sebagaimana halnya dalam
Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) dahulu, yang
memakai istilah “peristiwa pidana”. Sebab peristiwa itu adalah pengertian
yang konkret, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian tertentu saja,
misalnya: matinya orang. Peristiwa ini saja tidak dilarang. Hukum Pidana
tidak melarang adanya orang mati, tetapi melarang adanya orang mati
karena perbuatan orang lain. Jika matinya orang itu karena keadaan alam,
entah karena penyakit, entah karena sudah tua, entah karena tertimpa
pohon yang roboh ditiup angin puyuh, maka peristiwa itu tidak penting
sama sekali bagi hukum pidana. Juga tidak penting, jika matinya orang itu
karena binatang. Baru apabila matinya ada hubungan dengan kelakuan
orang lain, disitulah peristiwa tadi menjadi penting bagi hukum pidana.32
Menurut beliau pula, untuk adanya perbuatan pidana itu harus ada
unsur-unsur yaitu: (1) perbuatan (manusia), (2) memenuhi rumusan dalam
undang-undang (syarat formil), (3) bersifat melawan hukum (syarat
materiil)33
Pada dasarnya tidak ada perdebatan tentang istilah-istilah mana yang
digunakan untuk merujuk kepada perbuatan pidana tersebut. Akan tetapi,
ada beberapa sarjana yang mencampuradukkan pengertian tindak pidana
atau strafbaarfeit dengan pertanggungjawaban pidana. .
31
Moeljatno, Op.cit, Hal. 59. 32Ibid, Hal. 60.
33
Simons menerangkan, bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan (handeling)
yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggung jawab. Sementara Van Hamel merumuskan sebagai
berikut: strafbaarfeit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang
dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana
(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.
Jika melihat pengertian-pengertian ini maka di situ dalam pokoknya
ternyata:
1) Bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti handeling, kelakuan atau tingkah
laku;
2) Bahwa pengertian strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang
yang mengadakan kelakuan tadi.
Mengenai yang pertama, ini berbeda dengan pengertian “perbuatan” dalam
perbuatan pidana. Perbuatan adalah kelakuan ditambah kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan atau dengan pendek yaitu kelakuan ditambah
akibat dan bukan kelakuan saja. Sebetulnya Simons di bagian lain berkata
strafbaarfeit itu terdiri atas handeling dan gevolg (kelakuan dan akibat).
Adapun mengenai yang kedua, hal itu berbeda dengan “perbuatan pidana”
sebab di sini tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan
pertanggungjawaban pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana.
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu
sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Apakah
ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan
perbuatannya itu, yaitu dengan kesalahannya. Jadi, perbuatan pidana
dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana dipisahkan dengan kesalahan.
Lain halnya strafbaarfeit. Di situ dicakup pengertian perbuatan pidana dan
kesalahan.34
Pengertian perbuatan pidana yang dikemukakan oleh Komariah dan
Indrianto tersebut dipengaruhi oleh pendapat Simons dan Van Hamel,
karena memasukkan kesalahan sebagai bagian dari unsur perbuatan
pidana. Padahal, kesalahan tidak terkait dengan perbuatan pidana, tapi
berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana. Ketika seseorang
terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana,
tidak secara otomatis orang itu dijatuhi pidana. Untuk menjatuhkan pidana Pendapat Simons dan Van Hamel yang mencampuradukkan antara
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana ternyata diikuti oleh
beberapa ahli hukum pidana Indonesia. Komariah Emong Supardjaja
mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan manusia yang
memenuhi rumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah
melakukan perbuatan itu. Demikian halnya yang dikemukakan oleh
Indrianto Seno Adji yang mengatakan, bahwa perbuatan pidana adalah
perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan
hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
34
kepada orang itu, harus terdapat kesalahan kepada orang itu dan telah
dibuktikan dalam proses peradilan.35
Kedua, karena criminal act ini juga dipisahkan dari pertanggungjawaban
pidana yang dinamakan criminal liability atau responsibility. Untuk
adanya criminal liability (jadi untuk dapat dipidananya seseorang) selain
daripada melakukan criminal act (perbuatan pidana) orang itu juga harus
mempunyai kesalahan (guilt). Hal ini dinyatakan dalam kalimat Latin:
“Actus non facit reum, nisi mens sit res”. (an act does not make a person
guilty, unless the mind is guilty). Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana
tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di
samping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela,
ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis: tidak dipidana jika
tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld, ohne schuld keine strafe). Perbuatan pidana ini menurut Prof. Moeljatno dapat kita samakan dengan
istilah Inggris criminal act. Pertama, karena criminal act ini juga berarti
kelakuan dan akibat, atau dengan kata lain: akibat dari suatu kelakuan,
yang dilarang oleh hukum. Dalam Kenny’s Outline of Criminal Law 1952
tentang criminal act atau dalam bahasa Latin: actus reus ini diterangkan
sebagai berikut: “actus reus may be defined as such result of human
conduct as the law seeks (mencoba) to prevent. It is important to note that
the actus reus, which is result of conduct, must be distinguished from the
conduct whict proceed the result”.
36
35 Mahrus Ali, Op.cit. Hal. 99. 36
b. Unsur-unsur Tindak Pidana
Berdasarkan uraian di atas dapat kita ketahui bahwa menurut Prof.
Moeljatno, unsur-unsur perbuatan pidana adalah unsur-unsur yang terdapat
di dalam pengertian perbuatan yang dipisahkan dengan
pertanggungjawaban pidana. Ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana
adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa
yang melakukannya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi
beberapa hal. Pertama, perbuatan itu berujud suatu kelakuan baik aktif
maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang
dilarang oleh hukum. Kedua, kelakuan dan akibat yang timbul tersebut
harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya yang formil
maupun yang materiil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang
menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum.
Dalam unsur yang ketiga ini terkait dengan beberapa yang wujudnya
berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada di
dalam undang-undang. Misalnya berkaitan dengan diri pelaku perbuatan
pidana, tempat terjadinya perbuatan pidana, keadaan sebagai syarat
tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.
Menurut Prof. Moeljatno pada hakikatnya perbuatan pidana harus terdiri
dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan
dan akibat yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian
dalam alam lahir (dunia). Unsur-unsur perbuatan atau elemen perbuatan
pidana adalah:
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal ikhwal
yang mana oleh Van Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu yang
mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di
luar diri si pelaku. Selain itu terdapat hal ikhwal tambahan dalam
keadaan tertentu. Misalnya dalam Pasal 164, 165 KUHP yaitu
kewajiban untuk melapor kepada yang berwajib jika mengetahui akan
terjadinya suatu kejahatan. Jika kejahatan tersebut benar-benar terjadi
maka orang yang sebenarnya telah mengetahui akan terjadinya
kejahatan tersebut tetapi tidak melapor baru saja telah melakukan
perbuatan pidana. Atau seperti pada Pasal 331 KUHP yaitu keharusan
memberi pertolongan kepada orang yang sedang menghadapi bahaya
maut. Jika orang yang membutuhkan pertolongan tersebut meninggal,
orang yang sebenarnya dapat memberi pertolongan tetapi tidak
memberi pertolongan baru saja melakukan tindak pidana. Hal ikhwal
tambahan tertentu seperti yang dicontohkan di atas dalam buku-buku
Belanda dinamakan Bijkomende voorwarden van strafbaarhaid, yaitu
syarat-syarat tambahan untuk dapat dipidananya (strafbaar) seseorang.
Keadaan yang terjadinya kemudian daripada perbuatan yang
bersangkutan dinamakan unsur tambahan, karena rasionya atau
alasannya untuk mengadakan syarat tersebut ialah bahwa tanpa adanya
keadaan itu, perbuatan yang dilakukan tidak cukup merupakan
penggangguan ketertiban masyarakat, sehingga perlu diadakan sanksi
pidana. Namun hal ikhwal tertentu di atas tidak selalu diterima oleh
3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
4) Unsur melawan hukum yang objektif.
5) Unsur melawan hukum yang subjektif, yaitu terletak pada hati sanubari
pelaku perbuatan pidana. Sifat melawan hukumnya perbuatan
tergantung kepada bagaimana sikap batinnya terdakwa. Misalkan,
seseorang yang mengambil barang orang lain tetapi untuk diberikan
kepada pemiliknya bukanlah suatu perbuatan yang dilarang karena
bukan pencurian. Tidak ada niat dari si pelaku untuk mengambil barang
tersebut dan menjadikan barang tersebut menjadi miliknya. Dalam teori
unsur melawan hukum yang demikian ini dinamakan subjektif
Onrechtselement, yaitu unsur melawan hukum yang subjektif.37
Sedangkan menurut Simons ada dua unsur yang harus dipenuhi agar suatu
perbuatan itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana yaitu unsur objektif
dan unsur subjektif. Unsur objektif yaitu berupa tindakan yang dilarang
atau diharuskan, serta akibat keadaan atau masalah tertentu, sedangkan
unsur subjektif yaitu berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan
bertanggungjawab (toerekenings vatbaar) dari pelaku38
1) Unsur Subjektif
.
Jadi, berdasarkan doktrin-doktrin tersebut dapat disimpulkan bahwa
unsur-unsur tindak pidana tersebut terdiri atas unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku.
Asas hukum pidana menyatakan bahwa “tiada hukuman jika tiada
kesalahan” (actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang
37Ibid, Hal. 100. 38
dimaksudkan di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh
kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (neglicance/culpa).
Dalam Crimineel Wetboek (KUHP) tahun 1809 dicantumkan39
Kemudian dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman
sewaktu mengajukan Crimineel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi
KUHP Indonesia tahun 1915), memuat
:
“Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tindakan
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh
undang-undang”.
40
Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan
diketahui) adalah
: “Kesengajaan adalah dengan
sadar berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (de
bewuste richting van den wil op een bepaald misdriff)”.
41
a) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk) :
“Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus mengkehendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu”
Pada umumnya para pakar telah sepakat bahwa kesengajaan terdiri dari
tiga bentuk yaitu kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), kesengajaan
dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzjin), dan
kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis).
Maksud berbeda dengan motif. Umumnya, motif diidentikkan
menyebabkan ayahnya meninggal. A menembak B dan B meninggal.
Pada contoh tersebut, dorongan untuk membalas kematian ayahnya
itu disebut dengan motif, sedangkan yang disebut dengan maksud
adalah kehendak A untuk melakukan perbuatan atau mencapai akibat
yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana,
dalam hal ini yaitu menghilangkan nyawa B. Sengaja sebagai
maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan dimengerti.
b) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzjin)
Yaitu dimana si pelaku (doer/dader) mengetahui pasti atau yakin
benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain.
Si pelaku menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan itu pasti
akan timbul akibat lain.
Satochid Kartanegara memberikan contoh sebagai berikut43
c) Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis)
: A
berkehendak untuk membunuh B. Dengan membawa senjata api, A
menuju ke rumah B. Akan tetapi ternyata setelah sampai di rumah B,
C berdiri di depan B. Karena rasa marah, walaupun ia tahu bahwa C
yang berdiri di depan B, A tetap melepaskan tembakan. Peluru yang
ditembakkan oleh A pertama-tama mengenai C kemudian B, hingga
C dan B mati.
Dalam hal ini, opzet A terhadap B adalah kesengajaan sebagai
maksud (oogmerk), sedangkan terhadap C adalah kesengajaan
dengan keinsafan pasti.
42Ibid, Hal.16. 43
Kesengajaan ini disebut juga kesengajaan dengan kesadaran
kemungkinan, yaitu bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan
tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu. Akan tetapi, si
pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga
dilarang dan diancam oleh undang-undang.
Contohnya yaitu dalam kasus kue tar di kota Hoorn44
44
Ibid, Hal. 18.
: A hendak
membalas dendam terhadap B yang berdiam di Hoorn. A mengirim
pada B sebuah kue tar beracun dengan tujuan untuk membunuhnya.
Ia tahu bahwa selain B, tinggal istri B di rumah B. A memikirkan
ada kemungkinan bahwa istri B yang tidak bersalah akan memakan
kue tar tersebut. Walaupun demikian ia tetap mengirimnya.
Perkara tersebut diadili oleh Hof. Amsterdam dengan putusan
tanggal 9 Maret 1911.
Dari uraian tersebut, dolus eventualis bertitik tolak dari kesadaran
akan kemungkinan. Artinya si pelaku sadar akan kemungkinan
tersebut.
Unsur kedua dari kesalahan (schuld) adalah kealpaan (culpa). Bila
kesengajaan adalah sesuatu yang dikehendaki, maka kealpaan adalah
sesuatu yang tidak dikehendaki. Kealpaan adalah bentuk kesalahan
yang lebih ringan dari kesengajaan sehingga sanksi atau ancaman
hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang dilakukan dengan
Simons memberikan penjelasan mengenai kealpaan45
Contoh kealpaan menurut Satochid Kartanegara yaitu :
“Umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun perbuatan dilakukan dengan hati-hati masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang.”
46
a) Apakah terdapat ketidakhati-hatian pada diri A?
: A membuat api
untuk menanak nasi. Jelas di sini bahwa A membuat api dengan
sengaja. Akan tetapi kemudian api menjilati dinding rumah sehingga
menimbulkan kebakaran.
Dalam hal ini perbuatan A yang menimbulkan kebakaran tersebut harus
ditinjau dari sudut syarat-syarat schuld yaitu:
b) Apakah A dapat membayangkan akan timbulnya kebakaran itu atau
tidak?
Misalnya setelah A membuat api, api ditinggalkan dan kemudian A
pergi ke sumur untuk mengambil air. Akan tetapi, saat itu angin
kencang datang sehingga api menjilat dinding rumah yang terbuat dari
bahan kering. Dalam hal ini harus diperhatikan dan diperhitungkan
berbagai masalah yang berhubungan dengan kejadian itu. Misalnya A
dapat disimpulkan telah lalai karena ia meninggalkan api, padahal ia
sedang menunggui api dan ia tahu bahwa angin bisa saja bertiup
kencang setiap saat pada saat itu.
2) Unsur objektif
Unsur objektif adalah unsur dari luar diri pelaku, terdiri atas:
45Ibid, Hal. 25. 46
a) Perbuatan manusia, berupa:
i. Act, yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif;
ii.Omission, yaitu perbuatan pasif atau perbuatan negatif, seperti
mendiamkan atau membiarkan.
b) Akibat (result) perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan
menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh
hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik,
kehormatan, dan sebagainya.
c) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang
membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan
hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.
Semua unsur tindak pidana yang telah diuraikan tersebut merupakan
satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, dapat menyebabkan
terdakwa dibebaskan dari pengadilan.
3. Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Pidana di Indonesia
Masalah pertanggungjawaban pidana merupakan segi lain dari tindak
pidana yang dapat dibedakan dari masalah si pembuat (yang melakukan tindak
pidana). Artinya pengertian subjek tindak pidana dapat meliputi dua hal yaitu
siapa yang melakukan tindak pidana (si pembuat) dan siapa yang
dipertanggungjawabkan. Pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan
cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban yang ditempuh oleh pembuat
undang-undang.47
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan
toerekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada
pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak. Saat ini sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif
menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem
pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional menerapkan asas geen
straf zonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu
asas fundamental yang perlu ditegaskan sebagai pasangan dari asas legalitas.
Kedua syarat tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut
sehingga memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas
strict liability (pertanggungjawaban mutlak), vicarious liability
(pertanggungjawaban pengganti), erfolgshaftung (asas menanggung akibat secara
murni), error (kesesatan), rechterlijk pardon (pemberian maaf oleh hakim), culpa
in causa (pertanggungjawaban pidana dapat dicelakan kepada pelaku) dan
pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak
pidana.48
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban
pidana. Tindak pidana tidak berdiri sendiri manakala terdapat
47
Barda Nawawi Arief, Masalah Pemidanaan Sehubungan dengan Perkembangan Kriminalitas
dan Perkembangan Delik-Delik Khusus dalam Masyarakat Modern, Kertas Kerja pada Seminar
Perkembangan Delik-Delik Khusus, Dalam Masyarakat Modern, BPHN-UNAIR di Surabaya, Bina Cipta, Bandung, 1982.
pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak
pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Tindak pidana hanya menunjuk
kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang
yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang
diancamkan. Hal ini tergantung pada apakah pelaku perbuatan tersebut memiliki
kesalahan yang merujuk kepada asas tiada suatu pidana tanpa kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan
suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh
undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang dilarang, pelaku akan
diminta pertanggungjawaban apabila perbuatan tersebut melawan hukum. Dilihat
dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya orang yang mampu
bertanggung jawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.
Prof. Romli Artasasmita, pakar ilmu hukum pidana menyatakan konsep
sistem pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: rumusan tentang
pertanggungjawaban atau liability, seorang filosof besar hukum abad ke-20,
Roscou Pound menguraikan bahwa liability diartikan sebagai kewajiban untuk
membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah
dirugikan. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang
terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan
adanya keyakinan bahwa pembalasan sebagai suatu alat penangkal, maka
pembayaran ganti rugi bergeser kedudukannya yang semula sebagai suatu hak
istimewa kemudian menjadi suatu kewajiban. Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi
kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang
bersangkutan.49
a. Kemampuan bertanggung jawab
Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang
sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan
objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur
pertangungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang teridir dari
kemampuan bertanggungjawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan
menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:
Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan
bertanggungjawab harus ada50
1) Kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk yang merupakan faktor akal. :
2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tersebut yang merupakan faktor
perasaan/kehendak.
b. Kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa)
1) Kesengajaan (dolus)
Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja”, yaitu teori
kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. Menurut teori
kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur
49
Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Yayasan LBH, Jakarta, 1989, Hal. 79.
50
delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A mengarahkan
pistol kepada B dan A menembak mati B. A adalah “sengaja” apabila A
benar-benar menghendaki kematian B.
Menurut teori pengetahuan atau membayangkan, manusia tidak
mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat
menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu
akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena
suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dank arena itu
tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang
terlebih dahulu dibuat.
Dalam ilmu hukum pidana dibedakan tiga macam sengaja, yaitu:
a) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk) adalah apabila pembuat
menghendaki akibat perbuatannya atau dengan kata lain jika
pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya
tidak akan terjadi maka sudah tentu ia tidak akan pernah mengetahui
perbuatannya.
b) Sengaja dilakukan dengan keinsyafan agar tujuan tercapai,
sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa
pelanggaran juga.
c) Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan besar
dapat ditimbulkan suatu pelanggaran disamping pelanggaran
pertama.
Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud
melanggar larangan dalam undang-undang, tetapi ia tidak
mengindahkan larangan itu. Dalam kealpaan, terdakwa tidak
mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan
sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang
dilarang. Menurut Moeljatno mengutip pernyataan Van Hamel,
kealpaan mengandung dua syarat yaitu tidak mengadakan
penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan
penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat, maka kealpaan
tersebut dapat dibedakan atas dua, yaitu:
a) Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) terjadi apabila si pembuat
dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya
suatu akibat yang menyertai perbuatannya meskipun ia telah
berusaha mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu.
b) Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) terjadi apabila si
pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan
timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi
seharusnya ia dapat membayangkan atau memperkirakan
kemungkinan suatu akibat tersebut.
Ada pula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat
ringannya, yang terdiri dari:
a) Kealpaan berat (culpa lata) dan
c. Alasan penghapus pidana
Terdapat dua alasan:
1) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak
pada diri orang tersebut; dan
2) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak
di luar orang itu.
Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain
terhadap alasan penghapus pidana sejalan dengan pembedaan antara dapat
dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pelaku. Oleh karena itu
dibedakan dua jenis alasan penghapusan pidana, yaitu:
1) Alasan pembenar yaitu menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik
dalam undang-undang.
2) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan yaitu seseorang tidak
dapat dipertanggungjawabkan meskipun perbuatannya bersifat melawan
hukum. Dalam hal ini ada alasan yang menghapuskan kesalahan dari
pelaku sehingga tidak dipidana.
Di dalam KUHP sendiri, tidak disebutkan secara eksplisit sistem
pertanggungjawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering
menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan, namun kedua istilah
tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Baik
negara-negara civil law maupun common law, merumuskan pertanggungjawaban
pidana secara negatif yaitu undang-undang merumuskan keadaan-keadaan yang
dilihat pada ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya
merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.51
Dengan demikian ternyata bahwa untuk adanya kesalahan, terdakwa
harus52
a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum). :
b. Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab.
c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau
kealpaan.
d. Tidak adanya alasan pemaaf.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana.
Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula serta merta akan
dijatuhi pidana. Pelaku tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai
kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan
konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi
terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. Oleh karena penelitian
merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
51 Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, Hal. 260. 52
teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa
disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.53
1. Metode Pendekatan
Berdasarkan rumusan masalah yang terdapat di dalam penelitian ini maka
tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum/normatif (legal research).
Penelitian hukum ini dilakukan dengan menggunakan bahan pustaka atau data
sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan. Melalui pendekatan ini, dilakukan pengkajian
terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan topik
penelitian. Selain itu digunakan juga pendekatan lain untuk mempertajam analisis
ilmiah dalam penelitian yaitu pendekatan analisis.
2. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum dapat dibedakan
menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.54
a. Bahan Hukum Primer
Selain bahan hukum, dalam penelitian ini juga menggunakan
bahan non hukum yang tidak bersifat dominan dibandingkan dengan bahan
hukum.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang meliputi peraturan
yang mengikat dan dibuat oleh pihak-pihak yang berwenang yaitu seluruh
peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1974
53
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1985, Hal. 1.
54
tentang Penertiban Perjudian, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1981 tentang Penertiban Perjudian dan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP).
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer yang bersumber dari media cetak dan
elektronik seperti buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, laporan hukum,
hasil karya ilmiah para sarjana, yurisprudensi dan artikel-artikel yang
dimuat di dalam koran, majalah ataupun situs internet.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang bersifat menunjang
bahan-bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia,
dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
3. Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif,
yaitu data yang dperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya
dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas 4 (empat) bab, yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah,
manfaat penulisan, tujuan penulisan, keaslian penulisan, metode
BAB II : KETENTUAN TINDAK PIDANA JUDI BERDASARKAN PERATURAN YANG BERLAKU DI INDONESIA
Bab ini terdiri atas 2 sub bab yang menjelaskan tentang
peraturan-peraturan yang mengatur tentang tindak pidana perjudian baik itu
unsur perjudian maupun sanksi.
BAB III : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PERMAINAN DADU GULING (SAMKWAN)
Terdiri dari 2 sub bab yang menjelaskan permainan dadu guling jika
ditinjau dari hukum pidana Indonesia juga menjelaskan bagaimana
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku permainan dadu guling.
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dan saran terhadap analisis yang dilakukan.
Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap
permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, sedangkan saran