• Tidak ada hasil yang ditemukan

fullpapers kmntsf0abf0d1f5full

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "fullpapers kmntsf0abf0d1f5full"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENERIMAAN GAY DALAM KELUARGA

(Studi tentang Penerimaan Keluarga terhadap Anggota Keluarga yang Gay) Rizka Ramadhani Putri

Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

ABSTRAK

Fenomena gay dalam kehidupan masyarakat di Indonesia bukanlah hal yang tabu untuk saat ini. Walaupun demikian, stigma negatif masih melekat pada gay. Dari aspek Negara dan agama, homoseksual adalah sesuatu yang salah. Oleh karenanya masyarakat menjadikannya sebagai konsensus dalam menyikapi homoseksual. Stigma negatif yang terkonsensus tersebut akhirnya menimbulkan penolakan terhadap keberadaan gay.

Fokus permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimana proses penerimaan keluarga terhadap identitas gay keluarga mereka ditengah stigma negatif masyarakat? ; (2) Apa yang mendasari penerimaan keluarga terhadap identitas gay keluarga mereka?

Untuk menjawab penelitian ini, peneliti menggunakan tipe penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian dilakukan di Surabaya dengan tujuh orang informan yang dipilih dengan teknik purposive. Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam kepada informan. Kemudian data diolah lalu dianalisis menggunakan teori dekonstruksi dari Jaques Derrida.

Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini antara lain: (1) ada tiga proses yang dilalui sebelum akhirnya keluarga menerima gay dalam keluarganya. Proses tersebut antara lain 1. Mereka ulang pengalaman dimasa lamapu; 2. Negoisasi; dan 3. Penerimaan. Adapun yang menjadi alasan penerimaan keluarga adalah adanya nilai-nilai kasih sayang dalam keluarga.

Kata kunci: Gay, Keluarga, Penerimaan, Stigma Negatif

ABSTRACT

(2)

2

Focus issues discussed in this study are (1) How does the process of family acceptance towards gay identities of their families amid the negative stigma of society? ; (2) What is the underlying acceptance of gay families to identity their families?

To answer this study, researchers used a qualitative descriptive research type. The research was conducted in Surabaya with seven informants were families re-occurrence in the past, negotiations, then acceptance.

As for the reason the family is their acceptance of the values of love in the family.

Keywords : Gay, Family, Acceptance, Negative Stigma

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini issue mengenai homoseksual menjadi salah satu sosial issue yang menarik dalam kehidupan sosial masyarakat. Homoseksual adalah konsep

untuk menjelaskan seseorang yang memiliki ketertarikan secara perasaan ataupun erotik baik secara predomian ataupun ekslusif terhadap individu yang memiliki kesamaan jenis kelamin dengan ataupun tanpa melibatkan hubungan fisik.

Sedangkan gay merupakan istilah untuk menyebutkan lelaki yang menyukai sesama lelaki sebagai partner seksual, serta memiliki ketertarikan baik secara

emosi maupun erotik, baik secara dominan maupun ekslusif dan juga dengan ataupun tanpa adanya hubungan fisik (Putri: 2013).

Kajian ini menjadi menarik dimana gay memiliki nilai-nilai dan gaya

(3)

3

Selain itu, semua ajaran agama pun melarang akan aktivitas homoseksual. Namun, di masyarakat saat ini yang sudah mengalami globalisasi, Gay mulai berani untuk

menunjukkan eksistensinya. Keberanian ini berawal saat berakhirnya masa Orde Baru ketika demokrasi menjadi issue hangat dan kebebasan berpendapat menjadi

mantra ampuh bagi kaum Gay untuk mulai berani menunjukkan identitasnya (Winke: 2008).

Semua aspek nilai dan norma yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa

gay adalah melanggar nilai dan norma yang telah disepakati masyarakat. Oleh karenanya masih terjadi masyarakat yang memandang sebelah mata terhadap

kaum gay semata karena melihat status mereka sebagai gay. Penolakan masyarakat beragam, mulai dari cemooh hingga diskriminasi terhadap hak-hak sosial yang seharusnya juga dimiliki kaum gay sama seperti heteroseksual. Dalam

keluarga juga Gay sering kali mendapat penolakan berupa diusir atapun tidak lagi dianggap sebagai anggota keluarga. Bahkan yang paling ekstrim ada kaum

homophobia, dimana istilah ini merujuk pada orang-orang yang melakukan penolakan keras terhadap teman-teman homoseksual (Lenhne: 976)

Namun saat ini globalisasi dan semakin terbukanya masyarakan akan

perbedan adalah salah satu faktor mulai terbiasanya masyarakat pada keberadaan kaum gay. Data yang dilansir dalam portal Gaya Nusantara (Oetomo,2006)

(4)

4

kaum gay yang tampil di muka umum. Pembiaran masyarakat terhadap semakin terbukanya kaum gay atas identitas mereka tidak serta merta menghilangkan

stigma negatif yang melekat pada kaum gay yang sudah ada sejak dahulu.

Karena disisi lain, issue gay manjadi dilematis saat dihadapkan pada

kondisi sosial masyarakat Indonesia yang mayoritas seorang muslim. Tak ayal masih banyak stigma negatif yang melekat pada kaum gay. Selain menjadi larangan agama apapun, Undang-undang No.44/2008 pun melarang adanya

hubungan sejenis di Indonesia. Oleh karena itu kaum Gay masih dianggap berperilaku seks menyimpang karena memiliki orientasi seksual terhadap sesama

jenis.

Ditengah stigma negatif yang mereka terima, kaum gay tetaplah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam berinteraksi dan memenuhi

kebutuhan hidupnya. Interaksi yang terjadi pasti memiliki keunikan masing-masing karena lawan interaksi mereka memandang gay sebagai orang yang tidak “biasa”. Kaum gay tentu telah mengetahui konsekuensi yang mereka terima atas

pilihan hidup yang mereka ambil.

Seorang gay sendiri tidak serta merta mudah menerima kenyataan bahwa

dirinya adalah seorang gay. Ada tahap-tahap yang menyertai hingga kemudian mereka menerima bahwa mereka menyukai sesama jenis. Dan kemudian masalah

(5)

5

Dalam penelitian dari National Gay and Lesbian Task Force (NGLTF)dan National Center for Transgender Equality (NCTE) tahun 2011 di

Amerika (Dalam artikel Pentingnya Penerimaan Keluarga bagi LGBT Posted May 22, 2012 at 8:36 am (http://lgbtindonesia.org/main/?p=724) diakses tanggal 17

Desember 2014 ) yang berjudul “Injustice at Every Turn”, menunjukkan bagaimana pentingnya penerimaan keluarga untuk seorang gay. Seorang gay yang dapat diterima dalam keluarganya akan memiliki ketahanan yang lebih

kuat dalam menghadapi masyarakat yang masih memberi stigma buruk terhadap gay, kemudian hal tersebut dapat nenurunkan tingkat depresi seorang gay.

Banyak penolakan pada kaum homoseksual yang datang dari keluarga yang pada akhirnya kerap menimbulkan konflik dalam keluarga itu sendiri. Misalnya, keluarga memaksa homoseksual untuk melakukan pernikahan dengan

lawan jenis dengan ancaman akan diusir dari keluarga jika tidak melakukannya. Sementara itu dalam kenyataannya mereka yang sudah menikah tetap sulit untuk

emninggalkan aktivitas homoseksualitasnya sehingga tidak jarang kaum gay yang sudah menikah tetap berperilaku homoseksual secara sembunyi-sembunyi (Abrar dan Wini dalam Lucy dan Sri: 2006).

Keterbukaan gay akan identitas homoseksualnya berakibat munculnya konflik. Bagi beberapa remaja gay mereka harus memiliki strategi untuk

(6)

6

hubungan dan terjadi saling menghindar antara gay dan keluarga (Alaminikita: 2008)

Keterbukaan gay kepada keluarga mereka terkait diri mereka yang notabene seorang gay bukanlah hal yang mudah. Akan sulit mengambil keputusan

untuk kemudian jujur terhadap keluarga, dan tentu saja akan sulut bagi keluarga untuk kemudian dapat menerima anggota keluarganya sebgai seorang gay. Kasusu penerimaan gay pada aspek institiusi keluarga sebenarnya merupakan aspek yang

sangat penting. Seperti halnya penelitian menjelaska pertapakah sifat penerimaan keluarga bersifat positif ataukah relatif dikarenakan setiap anggota

keluarga memiliki struktur pengetahuan berbeda terhadap status sosial gay. I.2 Masalah Penelitian

Dalam penelitian ini saya memfokuskan masalaha untuk melihat :

1. Bagaimana proses penerimaan keluarga terhadap identitas gay keluarga mereka ditengah stigma negatif masyarakat ?

2. Apa yang mendasari penerimaan keluarga terhadap identitas gay keluarga mereka?

I.3 Kerangka Konseptual

Dalam penelitian ini, teori tidak dijadikan landasan dalam menganalisis data. Namun, sebagai alat bantu dalam menganalisis data. Penelitian kualitatif

(7)

7

serta konsep-konsep akan membantu dalam menemukan jawaban dari rumusan masalah.

1.4.1 Teori Queer Judith Butler

Kata “Queer” dapat berarti sesuatu yang menimpang dan tidak benar.

Namun saat ini istilah Queer memiliki makna baru sebagai pandangan yang mendasari dukungan atas kaum LGBT. Queer teori berpandangan bahwa orientasi seksual bukanlah sesuatu yang bersifat natural sehingga tidak ada istilah iorientasi

seksual menyimpang. Judith Butler menolak prinsip identitas yang memiliki awal dan akhir. Butler juga menolak pandangan bahwa seks (male/female) sebagai

penentu dari gender (masculine/feminine), dan gender sebagai penentu sexual orientation.

I.4.2 Penerimaan Gay dalam Keluarga

Menerima status sosial gay dalam sebuah keluarga bukanlah hal yang mudah. Ada proses-proses yang harus dilewati seorang gay untuk kemudian

memiliki keberanian membukan identitas homosekssualnya. Banyaknya kasus penolakan dari keluarga dan juga stigma negatis terhadap kaum gay yang berkembang dimasyarakat menjadi alasan-alasan yang memicu kaum gay tidak

membuka identitas homoseksualnya terhadap keluarga.

Penolakan dari keluarga juga bukanlah hal yang tabu. Masyarakat

(8)

8

benar adalah apa yang secara dominan dianggap benar, dan menjadi salah ketita masyarakat mengkonsensukannya sebagai sesuatu yang salah. Begitu pula

homoseksual yang paa masyarakat luas masih dianggap sesuatu yang memalukan. Namun tentunya tidak semua gay menerima penolakan pasca membuka

identitas homoseksual mereka pada keluarga. Penerimaan dalam studi ini adalah penerimaan seorang gay dalamkeluarga tanpa adanya perlakuan mengucilkan, mengusir, atau membuang anggota keluarga yang telah membuka identitas

homoseksualnya. Keluarga tetap menerimanya sebagai anggota keluarga dan hubungan kekeluargaan tetap terjalin harmonis. Keterbukaan seorang gay atas

identitas homoseksualnya tidak menjadikan alasan bagi keluarga untu menolak keberadaannya dalam keluarga.

I.4.3 Penerimaan Gay dalam Dekonstruksi Jacques Derrida

Derrida menunjukan bahwa yang kita lakukan sering kali cenderung melepaskan teks dari konteksnya. Suatu teks sering kali kita lepaskan dari sejarah

awalnya dan akhirnya teks tersebut kita hadirkan sebagai makna final. Hal ini derrida sebut dengan logosentrisme. Pemikiran dekonstruksi menolak kemapanan dan kestabilan makna. Oleh karenanya dekonstruksi membuka ruang “kreatif yang

sangat luas dalam proses pemaknaan dan penafsiran akan suatu teks. Dekonstruksi memberika kebebasan bagi setiap orang untuk untuk menafsirkan suatu objek

(9)

9

Dekonstruksi beranggapan bahwa tidak ada makna yang menetap dalam hidup kita. Setiap konsep memiliki banyak lapisan makna yang dapat dibaca

secara berbeda-beda, oleh kepentingan yang berbeda sesuai dengan perkembangan di zamannya. Makna bisa berubah mengikuti konsentlasi yang menghubungakan

manusia dengan lingkungannya. Makna terus menerus digali dan diciptakan manusia untuk keberlangsungan hidupnya. (Shindunata, 2005:6)

Teori ini peneliti gunakan dalam analisis penelitian ini karena dalam

proses penerimaan terhadap anggota keluarga yang gay didalam suatu keluarga, tentu subjek yang melakukan penerimaan tersebut melakukan dekonstruksi

terhadap simbol-simbol dari gay. Terjadi dekontruksi nilai-nilai yang telah subjek pahami tentang gay yang bersumber dari berbagai konteks baik Negara, agama, budaya, maupun masyrakat. Dekonstruksi ini mempengaruhi pandangan keluarga

terhadap seorang gay sebelum melakukan coming out pada keluarga dan setelah melakukan coming out pada keluarganya.

1.5 Batasan Konsep 1.5.1 Homoseksual

Konsep homoseksual menjelaskan tentang orientasi seksual terhadap

sesama jenis. Laki-laki menyuaki berhubungan intim dengan laki-laki, dan perempuan menyukai berhubungan inti dengan perempuan. Homoseksual

(10)

10

mempermasalahkan kelamin mereka dan tetap menjadi laki-laki tetapi memiliki orientasi seks terhadap sesama laki-laki.

Homoseksualitas adalah kesenangan yang terus menerus terjadi dengan pengalaman erotis yang melibatkan kawan sesama jenis, yang dapat atau mungkin

saja tidak dapat dilakukan dengan orang lain atau dengan kata lain, homoseksualitas membuat perencanaan yang disengaja untuk memuaskan diri dan terlibat dalam fantasi atau perilaku seksual dengan sesama jenis (Olson, 2000: 10).

1.5.2 Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala

keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga adalah institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap proses sosialisasi individu

(Narwoko dan Suyanto, 2004: 92). Selain itu Keluarga merupakan unsur sosial yang paling sederhana dan berperan penting dalam menanamkan

dasar-dasar sosialisasi. Keluarga inti adalah anggota keluarga terdekat yang terdiri dari Ayah, Ibu dan anak-anak.

Konsep penerimaan keluarga adalah penerimaan akan hal-hal positif dan

negatif dari anggota keluarga lainnya serta mampu menghargai keputusan yang telah dibut olehnya. Penerimaan juga diartikan tidak ada perlakuan berbeda atau

(11)

11 PEMBAHASAN

II.1 Proses Penerimaan Gay dalam Keluarga

Berbicara tentang konsep gay, tidak bisa dilepaskan dengan konsensus dalam masyarakat yang menyatakan banyak hal negatif mengenai gay. seperti gay

adalah sebuah perilaku menyimpang, gay adalah bentuk abnormalitas, dan juga gay adalah hal yang memalukan. Stigma-stigma negatif tersebut menjadi logos. Di dalam logos, sebuah kebenaran hadir, dan tidak memberikan ruang untuk

kebenaran lain di luar logos (Sumarwan 2005:23). Begitu pula keluarga dalam memandang seorang gay. bagi keluarga gay masih dianggap hal yang abnormal,

dan menjadi hal yang memalukan bagi keluarga sehingga keberadaan gay dalam keluarga disembunyikan dari keluarga lain.

Sebelum adanya penerimaan dalam keluarga, terjadi sebuah pengakuan

dari gay. istilah yang sering digunakan adalah coming out, atau membuka identitas homoseksual seorang gay kepada orang lain. setelah adanya coming out, terjadi

beberapa hal yang kemudian menghasilkan penerimaan dalam keluarga.

Setelah menerima pengakuan dari anggota keluarga yang gay, terjadi beberapa proses pada keluarga sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk

menerima. Awalnya keluarga akan mengulang pengalaman di masa lamapu. Saat

(12)

12

menjadi seorang gay. kemudian dari pertanyaan tersebut keluarga mereka ulang kejadian dimasa lampau yang memberikan indikasi bahwa salah satu anggota

keluarga mereka berpotensi menjadi seorang gay.

Dalam mereka ulang tersebut, keluarga menemukan indikasi yang

mereka anggap merupakan bibi-bibit yang dapat menimbulakan perilaku homoseksual. Indikasi tersebut akhirnya menjadi stigma yang dilekatkan pada seorang gay oleh keluarganya. Stigma tersebut antara lain, sikap kemayu, lingkup

bermain saat kecil, serta belum menikah pada usia yang telah matang.

Dalam mereka ulang kejadian dimasa lampau, keluarga juga membuat

gambaran akan perilaku mereka yang kiranya dapat mempengaruhi anggota keluarganya menjadi deorang gay. seperti apakah dia kurang memberikan perhatian, apakah kurang memberikan waktu untuk bersama, atau apakah ada

yang salah dengan cara mereka memperlakukan anggota keluarga mereka.

Setelah membuat gambaran akan apa yang terjadi dimasa lampau

keluarga mulai berfikir tentang apa yang akan dilakukan setelah pengakuan. Lalu keluarga akan melakukan negoisasi, negosiasi adalah keputusan yang kemudian diambil. Negosiasi dalam hal ini adalah membicarakan secara baik-baik dan

(13)

13

Negosiasi dilakukan dengan berbicara kepada anggota keluarga yang gay. pembicaraan mengenai alasan mereka menjadi gay, dan juga mengungkapkan

rasa kecewa keluarga atas keputusan menjadi gay. Keluarga juga mempertanyakan apakah ada yang salah dengan caranya bersikap selama ini.

Negosiasi ini tidak menggunakan otot ataupun fisik. Negosiasi dialakukan dengan baik secara kekeluargaan dan penuh rasa tanggung jawab.

Negosiasi tidak selalu dengan berbicara, namun bisa juga dengan

perubahan sikap. Menjadi lebih perhatian, menjadi lebih memiliki waktu, atau menjadi lebih sering menjaga komunikasi. Usaha negosiasi dilakukan dengan

harapan agar anggota keluarga yang gay dapat merubah keputusan mereka menjadi homoseksual. Namun, hal tersebut tidak mungkin terjadi karena untuk mengambil keputusan menjadi homoseksual, seorang gay melalui proses yang

panjang.

Setelah mengetahui usaha untuk negosiasi tidak akan membuahkan hasil,

maka yang dapat dilakukan keluarga adalah pasrah. Pasrah menerima keputusan anggota keluarganya menjadi gay. Namun keluarga tidak pasrah begitu saja. Ada keinginan untuk memprotek anggota keluarga yang gay, keinginan untuk

memproteksi tersebut didasari oleh rasa kasih sayang antar keluarga dan juga harapan agar kedepannya anggota keluarga yang gay tidak terlalu dalam masuk

(14)

14

Bentuk pasrah dari pengakuan anggota keluarga yang gay tersebut adalah penerimaan. Keluarga menerima keputusan anggota keluarganya menjadi seorang

gay dan tetap memeperlakukannya dengan baik sebagai anggota keluarga. Di beberapa penerimaan yang sangat mendalam, anggota keluarga akan

memberitahukan kepada anggota keluarga yang lain terkait kondisi keluarganya dan meninta agar tidak menghakiminya dan menghargai keputusannya. Namun di dalam kebanyakan keluarga, identitas homoseksual anggota keluarga disimpan

menjadi rahasia keluraga dan tidak diberitahukan kepata anggota keluarga lain.

Dalam proses penerimaan tersebut, terjadi dekonstruksi makna gay dalam

keluarga. Agama memperdosakan perilaku gay dan Negara melarang adanya pernikahan sesama jenis, selain itu masyarakat masih memandang buruk keberadaan gay. namun keluarga, memandang gay sebagai sesama makhluk

sosial, terlebih sebagai individu yang memiliki ikatan darah yang sama, dan memiliki riwayat hidup bersama dan mengenal secara personal individu gay.

faktor-faktor tersebut yang membuat keluarga tidak hanya memandang gay dari segi abnormalitasnya dan kemudian dapat menerima keberadaan gay tersebut.

IV.2 Bentuk Penerimaan Keluarga

Bentuk penerimaan keluarga bermacam-macam. Ada keluarga yang menerima anggota keluarga yang gay tidak hanya sebagai keluarga, namun juga

(15)

15

antara keluarga dari gay dan juga pasangan dari gay. Sedangkan pada keluarga lain, ada penerimaan yang bersifat dualisme, dimana penerimaan hanya diberikan

kepada anggota keluarga yang gay namun tidak menerima keberadaan pasangan dari gay.

Peneriamaan yang bersifat dualisme menunjukkan sebenarnya masih ada penolakan terhadap keputusan anggota keluarga emenjadi seorang gay. dalam interaksi dengan keluarga, masalah kehidupan pribadi gay dengan pasangannya,

serta kenyataan dan keputusannya menjadi seorang gay tidak pernah dijadikan topik penbicaraan dan dianggap bahwa hal tersebut tidak terjadi. Penerimaan

seperti ini menunjukka penerimaan anggota keluarga sebagai bagian dari keluarga, bukan penerimaan terhadap identitas homoseksualnya.

Nilai kasih sayang keluarga yang membuat anggota keluarga ingin

memproteksi keluarga mereka dari hal-hal yang mereka anggap salah, nilai keluarga pula yang membuat keluarga selalu memiliki harapan agar anggota

keluarga mereka kembali kejalan yang mereka anggap benar.

Pada anggota keluaraga gay yang lain, menerimaan juga ada yang didasarkan pada jasa dari anggota keluarga yang gay tersebut terhadap

(16)

16

tangga keluarga. Karena alasan tersebut anggota keluarga yang lain menerima

keputusannya menjadi seorang gay

II.3 Dekonstruksi Nilai Sosial dalam Penerimaan Keluarga

Dengan sebuah konsep yang disebut dengan auto imunitas, Derrida ingin

menjelaskan bagaimana organisme akan menghancurkan pertahanan dirinya sendiri, jadi organisme pun melakukan imunisasi terhadap imunitasnya sendiri. dan hal tersebut memunculkan autoimunitas (Sindhunata, 2005:3). Dalam

penelitian ini, organisme adalah keluarga gay dan pertahanan diri adalah pemahaman keluarga tentang gay.

Proses auto imunitas melewati tiga tahap. Tahap pertama adalah perang dingin. Perang ini tidak terjadi secara fisik, melainkan terjadi di dalam pikiran individu. Dalam hal penerimaan gay, keluarga yang baru saja menerima

pengakuan dari gay tentang identitas homoseksualnya pasti akan merasa kaget. Kemudian dalam pikiran berkecamuk berbagai perasaan, kecewa, bingung, dan

tidak tahu harus berbuat apa.

Perang dalam pikiran individu terjadi dengan bentrokan antara nilai-nilai serta norma-norma yang diyakini dengan nilai-nilai keluarga yang dirasakannya.

(17)

17

Auto imunisasi pada tahap kedua lebih dahsyat dari tahap pertama. Pada tahap pertama jelas ada perang dingin antar dua blok. Pada tahap kedua perang

dingin didukung oleh adanya senjata-senjata. senjata-senjata tersebut adalah pengalaman keluarga bersama gay selama hidupnya dan juga bayang-bayang

keluarga tentang apa yang akan terjadi kepada keluarganya yang gay di kemudian hari.

Ada ketakutan diketahuinya identitas homoseksual anggota keluarga

mereka oleh orang lain dan mengakibatkan tercorengnya nama keluarga namun rasa kasih sayang dari keluarga menimbulkan rasa takut jika keluarga mereka

yang gay semakin terjerumus dalam dunia homoseksual jika mereka mengambil keputusan untuk meninggalkannya. Keluarga takut akan apa yang kemudian akan terjadi dengan keluarganya setelah adanya pengakuan homoseksual.

Ketakutan-ketakutan itu hanya ada dalam alam bawah sadar individu. individu tidak memahami apakah itu nyata atau hanya ilusi karena ketakutan

tersebut berada pada bawah sadar mereka. Namun tahap inilah yang paling menentukan apa yang akan terjadi pada tahap berikutnya. inilah proses auto imunitas yang paling berbahaya, karena terjadi di tingkat bawah sadar.

Pada tahap auto imunitas yang terakhir adalah lanjutan dari dua tahap sebelumnya. Individu mulai mengambil keputusan dari pengetahuan yang

(18)

18

diyakini serta diketahuinya dengan apa yang dirasakannya. Kemudian dari sini muncul bentuk dualisme penerimaan. Dimana penerimaan dilakaukan keluarga

terhadap gay sebgai anggota keluarga dan tetap menerimanya dengan baik dalam keluarga.

Keluarga masih mengannggap bahwa homoseksual adalah sesuatu yang salah, sesuai dengan tafsiran dominan dalam masyarakat. namun keluarga tidak melakukan penolakan karena adanya distorsi nilai keluarga selama proses auto

imunitas tahap kedua. Imunitas keluarga yang menganggap gay adalah seorang yang menimpang dan salah serta memalukan, kemudian terjadi proses auto

imunitas yang membuat pembenaran bagi penerimaan keluarga terhadap gay. yaitu, nilai kasih sayang serta pengalaman hidup bersama gay selama hidupnya.

PENUTUP III.1 Kesimpulan

Dalam masyarakat Indonesia, keberadaan gay masih menjadi hal yang negatif dan banyak menerima penolakan. Stigma negatif tersebut berkembang dan terus di reproduksi oleh masyarakat. akibatnya stigma negatif yang melekat pada

gay menjadi sulit dihilangkan. Gay masih dianggap sebuah kehidupan yang abnormal karena memiliki orientasi seksual yang berbeda dari masyarakat pada

(19)

19

Penelitian ini menunjukkan adanya dualisme penerimaan gay dalam sebuah keluarga. Bagaimanapun juga penerimaan seorang gay dalam keluarga

masih belum bisa diberikan secara murni. Dalam diri masing-masing individu dalam keluarga masih terdapat penolakan akan keputusan menjadi seorang gay.

Hal tersebut dikarenakan masih kuatnya pengaruh stigma negatif yang ada di masyarakat terkait gay.

Dalam proses penerimaan keluarga terhadap gay, ada tahap-tahap yang

harus dilalui. Dan tlam tahap tersebut melibatkan banyak individu yang terkait didalamnya seperti gay, keluarga dan anggota keluarga lainnya.Seluruh proses

yang dialami gay, mulai dari coming in hingga coming out sesungguhnya adalah upaya gay dalam memperoleh penerimaan keadaan dirinya sebagai homoseksual.

Penerimaan dari diri sendiri dan terlebih dari orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Butler, Judith. 2002. Gender Trouble. New York: Taylor & Francis e-Library Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Jogjakarta: Juxtapose research

and publication study club. Rosedakarya.

Skripsi

Alaminikita. 2008. Strategi Mengelolah Konflik Remaja Gay dan Lesbian terhadap Orang Tuan mengenai Coming Out dalam Menyampaikan Homoseksualitas.

(20)

20

Capriati, Winke & setiawan, Yogi. Gerak Progresif Gerakan Gay Kontemporer di Yogyakarta. dalam jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 12, Nomer 1, Juli 2008

Oetomo, Dede. Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta: Pustaka Marwa. 2003

Voughan, Philip Howell. Hunsband Against An Order In Ancillaryrelief Proceeding Adjusting A Previous Order In Favour of The Wife. Royal Court of Justife Strard. London, WC2A 2L. 2007

Wedanti, PH & Fridani, Diah. Dinamika Kesetiaan pada Kaum Gay. Jurnal Psikologi Udayana Vol 1. No.2. 2014

Artikel :

Sindunata. 2005, November-Desember. Terorisme Bawah Sadar. Basis, hlm. 3. _____________________________________________. Jaques Derrida: Setahun

Sesudah Kematiannya. Basis, hlm 3-6.

Sumarwan, A. 2005, November-Desember. Membongkar yang Lama Menenun yang Baru. Basis, hlm. 16-25.

Arianto, Rido.triawan. 2008. Jadi Kau Tak Merasa Bersalah?. Arus Pelangi, bab : 3 hlm 30

Web :

www.gayanusantara.co.id (diakses tanggal 1 Maret 2014)

Referensi

Dokumen terkait

meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara- cara yang umum berlaku ditengah-tengah masyarakat. Setiap pasangan yang sudah melakukan khitbah

Dari hasil pengamatan, dapat dilihat salah satu aktivitas yang membuat perawat terbebani dalam hal kebutuhan fisik (PD) yaitu perawat harus bertanggung jawab dalam

Berdasarkan beberapa pendapat ahli maka dapat diambil kesimpulan bahwa hakikat pemerliharaan sarana dan prasarana kantor merupakan suatu kegiatan

Setelah membaca, meneliti dan merevisi seperlunya, kami berpendapat bahwa tesis saudara Nurajizah yang berjudul “ PENGARUH PEMBERIAN MOTIVASI DAN PERHATIAN WANITA

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil pretest dan posttest kemampuan menganalisis pada kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah diterapkan

Sesuai dengan Perpres No.4 tahun 2015 dan turunanya tentang perubahan ke empat atas perpres no.54 tahun 2010 tentang pedoman pengadaan barang / Jasa Pemerintah maka

Hasil pengambilan data yang dikumpulkan selama kegiatan pra tindakan, lalu pengambilan data di lapangan dari siklus I dan siklus II dapat disimpulkan bahwa kemam- puan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika antara siswa yang mengikuti model