• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wanprestasi Dalam Perjanjian Gadai Pada PT. Pegadaian (Persero) UPC Kartini, Kisaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Wanprestasi Dalam Perjanjian Gadai Pada PT. Pegadaian (Persero) UPC Kartini, Kisaran"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GADAI

A. Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Jika berbicara tentang definisi perjanjian, maka pertama-tama harus diketahui pengertian perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi : “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.

Setiawan berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkapnya definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata perbuatan yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi perjanjian perlu diperbaiki menjadi :

a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.

▸ Baca selengkapnya: contoh perjanjian gadai mobil

(2)

Sehingga perumusannya menjadi persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.8

Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Defenisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan didalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.9

Adapun para sarjana mengemukakan beberapa rumusannya tentang pengertian perjanjian, yaitu :

1. R, Subekti, mengemukakan :

“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada

seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian ini menimbulkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian ini

8

R. Setiawan, S.H, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Penerbit Binacipta, Bandung, 1979, Cetakan Kedua, hal 49.

9

(3)

berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau

kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.”10

2. Wiryono Projo Dikoro, mengemukakan :

“Suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam

mana satu pihak berjanji itu dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sedangkan pihak lain berhak menuntut

pelaksanaan janji itu.”11

3. Abdulkadir Muhammad mengemukakan :

“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling

mengikat diri untuk melaksanakan sesuatu hal mengenai harta kekayaan.”12

Pengertian mengenai perjanjian seperti tersebut di atas dilihat secara mendalam, akan terlihat bahwa pengertian tersebut ternyata mempunyai arti yang luas dan umum sekali sifatnya, selain itu juga tanpa menyebutkan untuk tujuan perjanjian menurut konsepsi Pasal 1313 KUHPerdata, hanya menyebutkan tentang pihak yang satu atau lebih mengikatkan dirinya pada pihak lainnya dan sama sekali tidak menentukan untuk tujuan apa suatu perjanjian tersebut dibuat, serta kesepakatan kehendak antara para pihak untuk melaksanakan sesuatu hal tertentu.

Istilah “perjanjian” atau “Kontrak” dalam sistem hukum nasional memiliki pengertian yang sama. Suatu perjanjian atau kontrak memiliki unsur-unsur yaitu

10

R, Subekti, Op,Cit., hal 1

11

Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1993, hal 9.

12

(4)

pihak-pihhak yang kompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum, perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban timbal balik. Ciri kontrak yang utama ialah bahwa kontrak merupakan suatu tulisan yang memuat janji dari para pihak secara lengkap dengan dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya seperangkat kewajiban.13

2. Asas-Asas Perjanjian

Di dalam hukum perjanjian ada dikenal beberapa asas, diantaranya yaitu14:

a. Asas kebebasan berkontrak

Asas ini merupakan bahwa setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya, dan pada siapa perjanjian yang ditujukan. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi :

“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya”

Adapun tujuan dari pasal ini bahwa perjanjian itu dapat dibuat secara bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan isi dari perjanjian maupun syarat-syarat dan bebas untuk menentukan bentuknya, yaitu tertulis atau tidak tertulis. Hal ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat

13

Arfiana Novera dan Meria Utama, Dasar-Dasar Hukum Kontrak dan Arbiterasi,

Tunggal Mandiri, Malang, 2014, hal 6. 14

S. Imran, Asas-Asas Dalam Berkontrak: Suatu Tinjauan Historis Yuridis pada Hukum

(5)

perjanjian yang berupa apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum, ketentuan undang-undang, kebiasaan, dan kesusilaan sehingga perjanjian tersebut mengikat para pihak yang membuat sebagai undang-undang.

Kebebasan berkontrak dari para pihak untuk membuat perjanjian itu meliputi:

a) Perjanjian yang telah diatur oleh undang-undang

b) Perjanjian-perjanjian baru atau campuran yang belum diatur dalam undang-undang.

Namun, kebebasan itu tetap ada batasannya, yaitu selama kebebasan itu tidak melanggar norma, kesusilaan dan ketertiban umum.

b. Asas konsesualisme

Perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal.15 Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan di dalamnya ditemukan

istilah “semua”. Kata-kata “semua” menunjuan bahwa setiap orang diberi

kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang rasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

15

(6)

c. Asas kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian itu tidak akan mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikat dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

d. Asas kekuatan mengikat

Dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan, dan ada juga terhadap unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan, dan kebiasaan akan mengikat para pihak.16

e. Asas persamaan hak

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

16

(7)

f. Asas kepastian hukum

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.17

3. Syarat-Syarat Sah Perjanjian

Suatu perjanjian dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata, terdapat empat syarat untuk menentukan sahnya perjanjian, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat adalah suatu keadaan di mana ada pernyataan persesuaian kehendak antara pihak pertama dengan pihak lainnya. Kata sepakat dalam suatu perjanjian merupakan suatu keadaan yang menunjukan kedua belah pihak menyetujui isi perjanjian. Dengan adanya kata sepakat, maka perjanjian itu telah ada, mengikat kedua belah pihak dan dapat dilaksanakan.

Setelah terjadi kesepakatan, maka bagaimana telah diketahui dengan kata sepakat berakibat perjanjian itu mengikat dan harus dilaksanakan. Kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan yang bebas tanpa adanya penyimpangan. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakan :

“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

17

(8)

Dengan dilakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan

kehendak tersebut.

Pengertian sepakat dilukiskan sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatiei).18

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Pada umumnya semua orang cakap membuat perjanjian, hal ini sesuai dengan Undang-undang Pasal 1329 KUHPerdata. Orang yang dikatakan cakap mel akukan perbuatan hukum termasuk pula membuat perjanjian apabila sudah dewasa yaitu berumur 21 tahun atau telah kawin.

Adapun orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum terdapat dalam pasal 1330 KUHPerdata yaitu:

1. Orang-orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

3. Orang-orang yang telah kawin. (ketentuan ini menjadi hapus dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah mengatur bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum).

18

(9)

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian yaitu adanya objek perjanjian, yaitu berupa prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan perjanjian. Di dalam Pasal 1333 angka 1 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang paling sedikit ditentukan jenisnya.19

d. Suatu sebab yang halal

Syarat ini merupakan syarat yang keempat atau terakhir untuk sahnya perjanjian. Ketentuan dalam Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Suatu sebab dikatakan terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umu dan kepentingan umum (Pasal 1337 KUHPerdata). Semua perjanjian yang tidak memenuhi sebab yang halal akibatnya perjanjian menjadi batal demi hukum.

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan pada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya, tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan, perjanjian tersebut tetap dianggap sah. Adapun apabila syarat ketiga dan keempat tidak

19

(10)

dipenuhi, perjanjian tersebut batal demi hukum. Artinya, dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak ada.20

4. Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, adapun beberapa jenis-jenis perjanjian di antaranya yaitu:

a. Perjanjian timbal balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.21

b. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah. Perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Menurut ketentuan Pasal 1314 KUHPerdata, suatu persetujuan yang dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan.22

c. Perjanjian bernama (Benoemd, Specified)

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi

20

Firman Floranta Adonara, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung 2014, hal 87

21

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

Kenotaritan, Citra Aditya, Bandung, 2010, hal 54-55

22

(11)

sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan XVIII KUHPerdata

d. Perjanjian tidak bernama

Perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas, lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian adalah perjanjian sewa beli.23

e. Perjanjian obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). Menurut KUHPerdata, perjanjian jual beli saja mengakibatkan beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu penyerahan.

f. Perjanjian kebendaan (Zekelijke Overeenkomst)

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblilige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering).24

g. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya yaitu :

23

Ibid, hal 35-36

24

(12)

1) Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijschelding) Pasal 1438 KUHPerdata;

2) Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst), yaitu perjanjian antara para pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka;

3) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUHPerdata;

4) Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintahan), misalnya perjanjian ikatan dinas dan perjanjian pengadaan barang pemerintah (Keppres No. 29 Tahun 1984 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).25

B. Perjanjian Gadai

1. Gadai dan perjanjian gadai

Di dalam hukum perdata dikenal hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan dan hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan. Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan itu salah satunya adalah gadai (pand).26

25

Mariam Darus Badrulzaman 1, Op. Cit, hal 19-21. 26

(13)

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu barang yang bergerak yang diserahkan oleh orang yang berpiutang sebagai jaminan utangnya dan barang tersebut dapat dijual oleh yang berpiutang bila yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempoh.

Pegadaian menurut Susilo yaitu suatu hak yang diperoleh oleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak.27 PT. Pegadaian (Persero) adalah suatu badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai ijin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana masyarakat atas dasar hukum gadai.

Gadai diatur dalam buku II Titel XX KUHPerdata pasal 1150-1160 KUHPerdata. Pasal 1150 KUHPerdata memberi pengertian tentang gadai sebagai berikut :

“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang yang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.”

Dari defenisi gadai dalam Pasal 1150 KUHPerdata jelas terlihat bahwa gadai adalah suatu hak atas benda bergerak milik orang lain, yang tujuannya hanya sebagai jaminan tertentu bagi suatu pemenuhan suatu tagihan dari macam apapun. Jadi benda itu merupakan jaminan pelunasan bagi pemenang gadai.

27

(14)

Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka unsur-unsur atau elemen pokok gadai yaitu:28

1. Gadai adalah jaminan untuk pelunasan utang

2. Gadai memberikan hak didahulukan atau hak preferent pelunasan hutang kepada debitur tertentu terhadap kreditur lainnya

3. Objek gadai adalah barang bergerak

4. Barang bergerak yang menjadi obyek gadai tersebut diserahkan kepada debitur (dalam kekuasaan kreditur)

Dari ketentuan Pasal 1150 KUH Perdatadapat dilihat bahwa para pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai, ada 2 (dua), yaitu pihak berutang (pemberi gadai/debitur) dan pihak berpiutang (penerima gadai/kreditur).29 Kadang-kadang di dalam gadai terlibat tiga pihak, yaitu debitur (pihak yang berhutang), pemberi gadai, yaitu pihak yang menyerahkan benda gadai sebagai jaminan piutangnya. Kedudukan pemegang gadai di sini lebih kuat dari pemegang fidusia, karena benda jaminan berada dalam penguasaan kreditur. Dalam hal ini kreditur terhindar dari iktikad jahat (te kwader trouw) pemberi gadai, sebab dalam gadai benda jaminan sama sekali tidak boleh berada dalam penguasaan (inbezitstelling) pemberi gadai.30

Dalam hukum adat, gadai juga dikenal dengan istilah jual gadai. Jual gadai, atau dalam bahasa Jawa disebut adol sende, dalam bahasa Sunda disebut gade atau ngajual akad, dan dalam bahasa Minangkabau disebut sando, adalah persetujuan dengan pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pihak lain yang membayar sejumlah uang atau benda, dan selama tanah tersebut belum ditebus

28

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Jakarta, 2003, hal 228 29

Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum

Perikatan, Nuansa Mulia, Bandung, 2007, hal 43

30

(15)

oleh pemiliknya atau ahli warisnya maka selama itu pula penerima gadai atau ahliwarisnya berhak menguasai tanah tersebut.31

Defenisi gadai dalam Pasal 1150 dapat dikatakan bahwa gadai merupakan perjanjian riil, yaitu perjanjian yang disamping kata sepakat diperlukan suatu perbuatan nyata (dalam hal ini penyerahan kekuasaan atas barang gadai).32 Penyerahan yang dimaksud dalam Pasal ini adalah penyerahan yang dilakukan oleh debitur sebagai pemberi gadai dan ditunjukan kepada kreditur sebagai penerima gadai. Perjanjian gadai menimbulkan hubungan hukum antara pemegang gadai dengan pemberi gadai dimana memberikan kewajiban-kewajiban pada masing-masing pihak. Hak gadai terjadi dengan memperpanjangkannya terlebih dahulu, hal ini berarti terjadinya hak gadai tersebut baru ada setelah proses perjanjian gadai dilaksanakan.

Perjanjian gadai pada dasarnya sama dengan perjanjian pada umumnya yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, hanya saja perbedaannya disini terdapat pada adanya barang dalam perjanjian gadai, yang digunakan sebagai jaminan bahwa debitur akan melunasi hutangnya kepada kreditur. Pada hakikatnya perjanjian gadai terjadi apabila debitur atau pemberi gadai menyerahkan benda bergerak sebagai jaminan kepada si kreditur atau pemegang gadai dan kreditur diberi kekuasaan

31

Ifan Noor Adham, Perbandingan Hukum Gadai di Indonesia, Tatanusa, Jakarta, 2009, hal 59.

32

(16)

untuk mengambil pelunasan dengan menjual barang jaminan itu apabila debitur wanprestasi.

Perjanjian gadai merupakan perjanjian acceessoir, artinya perjanjian tambahan terhadap perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam – meminjam uang.33 Yang dimaksud perjanjian pokok, yaitu perjanjian antara pemberi gadai atau debitur dengan pemegang gadai atau kreditur yang membuktikan kreditur telah memberikan pinjaman kepada kreditur yang dijamin dengan gadai. Ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 1151 KUHPerdata yang berbunyi :

“Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi

pembuktian persetujuan pokoknya”

Berarti suatu perjanjian gadai dapat dibuktikan dengan apa-apa yang digunakan untuk pembuktian perjanjian pokoknya.

Menurut ketentuan undang-undnag, hak gadai ini lahir setelah dilakukan penyerahan kekuasaan atas barang yang digadaikan tersebut dari debitur kepada kreditur atau pihak ketiga (bezit). Penguasaan benda pada pihak ketiga harus berdasarkan kesepakatan pihak debitur dan pihak kreditur. Hal ini jelas terlihat dalam Pasal 1152 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut :

“Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa

diletakan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan si berpiutang atau pihak ketiga, tentang siapa yang telah disetujui oleh kedua bela pihak.

33

(17)

Tak salah ada adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan siberutang atau pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan siberpiutang.”

Dari pasal tersebut dapat diketahui, bahwa selama barang tersebut masih dalam kekuasaan sipenggadai maka perjanjian ini belum terjadi. Penyerahan kekuasaan ini oleh undang-undang dianggap sebagai syarat mutlak lahirnya suatu hak gadai.34 Hak menguasai barang-barang jaminan oleh kreditur tidak meliputi hak memakai, menikmati atau memungut hasil dari barang yang telah dipakai sebagai jaminan.35

Si pemberi gadai (debitur) tidak diperkenankan memiliki barangnya yang telah berpindah penguasaannya pada pemegang gadai (kreditur) sebelum melaksanakan kewajibannya yaitu membayar kembali pinjamannya atau hutangnya pada kreditur. Dapat dilihat dalam ayat 1 Pasal 1154 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut :

“Apabila si berutang atau si pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban

-kewajibannya, maka tak diperkenankan si berpiutang memiliki barang yang digadaikan”

Di dalam perjanjian gadai tidak boleh diperjanjikan bahwa benda gadai sebagai jaminan, menjadi milik si penerima gadai apabila si pemberi gadai lalai dalam melunasi hutangnya. Karena selain bertentangan dengan Pasal 1154 ayat (1) KUHPerdata juga dipertegas dengan ayat (2) pasal tersebut menyatakan :

“ Segala janji yang bertentangan dengan ini adalah batal”

34

R. Subekti 2, Op.Cit, Hal 80. 35

(18)

Undang-undang menyatakan bahwa apabila debitur lalai melunasi hutangnya maka kreditur diberi hak untuk menjual benda jaminan tersebut menurut syarat-syarat yang telah ditentukan dan kebiasaan setempat, dari hasil penjualan ini si kreditur mendapatkan pelunasan atas piutangnya.36 Si kreditur juga diberi hak untuk menarik bunga dan biaya yang telah dikeluarkan untuk perawatan benda tersebut setelah pelunasan atas piutangnya.

Penjualan terhadap benda jaminan merupakan konsekuensi dari wanprestasi si debitur dalam memenuhi kewajibannya, sebagaimana diatur dalam pasal 1155 KUHPerdata yang berbunyi :

“Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang adalah berhak jika si berutang atau si pemberi gadai bercedera janji, setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika telah ditentukan suatu tenggang waktu, setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barang gadainya di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang dengan lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut”

Penjualan benda jaminan itu dilakukan di muka umum dengan cara lelang. Pelelangan baru dapat dilakukan apabila batas waktu yang diperjanjikan antara dua pihak telah lampau atau lewat. Jika batas waktu pemenuhan prestasi yang harus dilakukan debitur tidak diperjanjikan sebelumnya maka oleh kreditur pelelangan baru dapat dilakukan apabila debitur telah diberi peringatan (somatie), supaya hutangnya dibayar, namun tidak diindahkannya.

Pelelangan dilakukan dengan terlebih dahulu memberitahukannya kepada debitur (pemberi gadai). Setelah pelelangan tersebut kemudian kreditur akan

36

(19)

mengambil pelunasan atas piutang berikut biaya untuk pelelangan dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk perawatan dan pemeliharaan benda jaminan serta bunganya. Kelebihan hasil yang didapat dari pelelangan benda jaminan diberitahukan dan diserahkan kepada debitur.37 Dengan itu berakhirlah atau hapuslah perjanjian pokok berupa pinjaman uang dan perjanjian gadai (pand) sebagai accesoirnya.

Pasal yang berakhir dari pasal yang mengatur tentang gadai adalah Pasal 1160 KUHPerdata yang menggambarkan tentang salah satu sifat dari pada gadai yaitu tidak dapat dibagi-bagi. Pasal 1160 KUHPerdata berbunyi :

“Barang gadai tidak dapat dibagi-bagi, sekalipun utangnya di antara para

waris si berutang atau di antara para warisnya si berpiutang dapat dibagi-bagi”.

Dari pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hutang tersebut dapat dicicil, namun pembayaran sebagian hutang tidaklah melepaskan sebagian atau seluruh gadai. Gadai akan hapus apabila seluruh hutang telah dilunasi.

Sumber hukum perjanjian gadai adalah tempat ditemukannya ketentuan hukum atau perundang-undangan yang mengatur mengenai perjanjian gadai. Adapun ketentuan yang secara khusus mengatur atau berkaitan dengan perjanjian gadai tersebut dapat ditemukan dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Adapun keseluruhan gadai diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160. Di dalam ketentuan ini diatur tentang pengertian gadai

37

(20)

sekaligus menjelaskan tentang perjanjian gadai yang terdapat dalam Pasal 1151, hak-hak para pihak dalam Pasal 1152 sampai dengan Pasal 1153, kewajiban para pihak dalam Pasal 1154 sampai dengan Pasal 1155, wanprestasi dalam Pasal 1156, tanggung jawab para pihak dalam Pasal 1157, bunga dalam Pasal 1158, debitur tidat berhak untuk menuntut kembali barang gadai sebelum dilunasi seluruhnya dalam Pasal 1159, dan tidak dibagi-baginya barang gadai dalam Pasal 1160.

Dalam artikel 1196 vv, titel 19 buku III NBW yang berbunyi bahwa gadai adalah38 :

“Hak kebendaan atas barang bergerak untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan” atau gadai adalah “suatu perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur dimana debitur menyerahkan benda bergerak kepada kreditur untuk menjamin pelunasan suatu hutanggadai, ketika debitur lalu melaksanakan prestasinya”

2. Syarat Sah Perjanjian Gadai

Syarat sahnya perjanjian gadai sesuai dengan syarat sahnya perjanjian yaitu yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditambah dengan syarat benda gadai dikuasai pemegang gadai (in bezit stelling) yaitu penyerahan benda jaminan kepada penerima atau pemegang gadai (pemberi hutang) di mana benda gadai berada dalam kekuasaan penerima atau pemegang gadai sampai hutang dilunasi oleh pemberi gadai.

38

(21)

Kreditur dilarang memiliki barang gadai, hal ini untuk melindungi kaum lemah yang memerlukan pinjaman, dari perbuatan curang pemilik uang yang akan memberikan pinjaman kepada pemilik barang gadai. Walaupun dalam pelaksanaannya masih ditemukan cara yang tidak baik dari pemilik uang yang akan memberikan kekuasaan barang gadai milik pinjaman uang yaitu dengan diperjanjikan bahwa bila lewat waktu gadai tidak ditebus, maka barang gadai segera dijual untuk melunasi hutang. Kelicikan yang sering terjadi adalah bila telah jatuh tempo untuk membayar hutang dan harus menebus barang gadai, pemilik yang sulit dijumpai, sehingga setelah lewat waktu seolah-olah ada kelalaian debitor, dan pemilik uang “menjual” barang untuk melunasi debitur.

Barang gadai dijual kepada diri pemilik uang itu sendiri.39

Dengan kata lain, benda yang digadaikan harus keluar dari kekuasaan pemberi gadai, jika syarat inbezitstelling tidak dipenuhi maka perjanjian gadai dianggap tidak pernah ada. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata.

Syarat sahnya perjanjian gadai mengacu pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:40

a. Adanya kesepakatan dari mereka yang mengikatkan diri.

Kesepakatan merupakan perwujudan dari kehendak dua pihak atau lebih mengenai hal yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, mengenai cara

39

Peter Mahmud Marzuki, Hukum Jaminan Indonesia, Jakarta, 1998, hal 238-239 40

(22)

melaksanakan perjanjian, mengenai saat pelaksaan dan mengenai pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan hal-hal yang telah disepakati tersebut. b. Adanya kecakapan dari para pihak untuk membuat perjanjian gadai.

Kecakapan bertindak ini berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum.

c. Adanya suatu hal tertentu.

KUHPerdata memberikan rumusan mengenai suatu hal tertentu dalam Pasal 1333, menyatakan: suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata, pada dasarnya hanya menegaskan kembali bahwa yang masuk dalam rumusan perjanjian ini, yang dapat menjadi kewajiban dalam perjanjian adalah kebendaan yang masuk dalam lapangan harta kekayaan.

d. Adanya kausa yang halal/ tentang sebab yang halal dalam perjanjian gadai. Perjanjian gadai yang dibuat tidaklah boleh bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, norma kesopanan dan norma kesusilaan.

3. Hak dan Kewajiban Para Pihak

(23)

mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang timbul dari adanya perjanjian gadai.

Pemegang gadai mempunyai beberapa hak sebagai berikut41 : 1. Menjual dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi)

Apabila para pihak tidak telah diperjanjikan lain, si berpiutang adalah berhak, jika si berutang atau si pemberi gadai cedera janji, maka tenggang waktu yang akan ditentukan lampau atau jika telah ditentukan suatu, menjual benda gadai. Parate eksekusi, yaitu wewenang yang diberikan kepada kreditor untuk mengambil pelunasan piutang dari kekayaan debitur, tanpa memiliki eksekutoriale titel. Jadi hak pemegang gadai ini tidak lahir dari perjanjian secara tegas dinyatakan para pihak, tetapi terjadi demi hukum, kecuali kalau diperjanjikan lain. Untuk melakukan hal penjualan ini, pemegang gadai harus terlebih dahulu memberikan peringatan (sommatie) kepada pemberi gadai supaya utangnya dibayar. Penjualan harus dilakukan di depan umum, menurut kebiasaan setempat serta atas syarat yang lazim berlaku (Pasal 1150 ayat 1 KUHPerdata). Ketentuan ini bersifat memaksa, karena berhubungan dengan ketertiban umum. Setelah penjualan dilakukan, pemegang gadai memberikan pertanggungjawaban tentang hasil penjualan itu kepada pemberi gadai.

2. Menjual benda gadai dengan perantaraan hakim

Penjualan benda gadai untuk mengambil pelunasan dapat juga terjadi jika si berpiutang menuntut di muka hakim supaya barang gadai dijual menurut cara yang ditentukan untuk melunasi utang beserta bunga dan biaya.

41

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverband, Gadai, dan Fiducia,

(24)

3. Atas izin hakim tetap menguasai benda gadai

Jika si berpiutang atau pemegang gadai dapat menuntut agar barang gadai tetap berada pada si pemegang gadai untuk suatu jumlah yang akan di tetapkan dalam vonis hingga sebesar piutangnya beserta bunga dan biaya (Pasal 1156 ayat 1 KUHPerdata).

4. Hak untuk mendapatkan ganti rugi

Pemegang gadai berhak untuk mendapatkan ganti rugi berupa biaya yang perlu dan berguna, yang telah dikeluarkan si berpiutang atau pemegang gadai untuk menyelamatkan benda gadai tersebut.42

5. Hak retensi (recht van terughouden)

Selama pemegang gadai tidak menyalahgunakan barang yang diberikan dalam gadai maka si berpiutang tidak berkuasa menuntut pengembaliannya, sebelum ia membayar sepenuhnya baik uang pokok maupun bunga dan biaya hutangnya, yang untuk menjamin barang gadai telah diberikan, beserta segala biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang-barang gadai.

6. Hak di dahulukan

Kreditur (pemegang gadai) mempunyai hak didahulukan terhadap tagihan-tagihannya, baik terhadap utang pokok, bunga, dan biaya (Pasal 1150 KUHPerdata), hak mana diwujudkan dalam hak kreditur menjual barang gadai sendiri ataupun melalui bantuan hakim (Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUHPerdata). Terhadap hak didahulukan ini ada pengecualiannya, yaitu biaya lelang dan biaya

42

(25)

yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang gadai (Pasal 1150 KUHPerdata).

Kewajiban pemegang gadai diatur dalam Pasal 1154, Pasal 1156 dan Pasal 1157 KUHPerdata. Kewajiban-kewajiban kreditur pemegang gadai adalah sebagai berikut:

1. Bertanggung jawab untuk hilangnya atau merosotnya barang gadai, sekedar itu telah terjadi karena kelalaiannya (Pasal 1157 ayat (1) KUHPerdata)

2. Kewajiban untuk memberitahukan kepada pemberi gadai, jika barang gadai dijual (Pasal 1156 ayat (2) KUHPerdata).

Kewajiban memberitahukan itu selambat-lambatnya pada hari yang berikutnya apabila ada sesuatu perhubungan pos harian ataupun suatu perhubungan telegraf, atau jika tidak demikian halnya, dengan pos yang berangkat pertama (Pasal 1156 ayat (2) KUHPerdata). Pemberitahuan dengan telegraf atau dengan surat tercatat, berlaku sebagai pemberitahuan yang sah (Pasal 1156 ayat (3) KUHPerdata).

3. Bertanggung jawab terhadap hasil penjualan barang gadai (Pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata).43

4. Menjaga barang yang digadaikan sebaik-baiknya.

5. Tidak diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan menjadi miliknya, walaupun pemberi gadai wanprestasi (Psal 1154 KUHPerdata).44

Sedangkan hak-hak pemberi gadai adalah sebagai berikut:

43

Ibid, hal 200-201

44

(26)

1. Menerima uang gadai dari pemegang gadai.

2. Berhak atas barang gadai, apabila hutang pokok, bunga dan biaya lainnya telah di lunasinya.

3. Berhak menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (Pasal 1156 KUHPerdata).

Kewajiban pemberi gadai:

1. Menyerahkan barang gadai kepada pemegang gadai.

2. Membayar pokok dan sewa modal kepada pemegang gadai.

3. Membayar biaya yang dikeluarkan oleh pemegang gadai untuk menyelamatkan barang-barang gadai (Pasal 1157 KUHPerdata).45

45

Referensi

Dokumen terkait

kecepatan otot dalam melangkah. Kekuatan otot tungkai ini digunakan saat lari menggiring bola, dan menendang bola, dengan otot tungkai yang kuat maka tendangan akan

Data primer diperoleh dari pengamatan dan wawancara langsung dengan responden berdasarkan daftar pertanyaan (kuisioner) dengan data yang diperlukan adalah data sebelum

Namun peristiwa yang terjadi dalam Kisah Para Rasul 2:4 harus dipahami sebagai sebuah penggenapan atas janji Bapa yang disebutkan dalam Kisah Para Rasul 1:5,

Sewaktu terjadinya Agresi Militer Belanda II di Selatpanjang Letda Abdul Murad Saidun mengambil alih komando menjadi seorang pimpinan Kompi setelah Kapten Simon Delima

Prinsip kerja dari arus searah adalah membalik phasa tegangan dari gelombang yang mempunyai nilai pos itif dengan menggunakan komutator, dengan demikian arus yang

Ayat aktif ialah ayat yang mengandungi kata kerja yang mengutamakan subjek asal sebagai unsur yang diterangkan. Ayat aktif terdiri daripada ayat aktif transitif

Dalam kegiatan pengadaan tanah tersangkut kepentingan dua pihak, yaitu instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk

Pada saat semua sel konduksi pada jantung (nodus SA, nodus AV, serat Purkinje) menghasil- kan impuls, nodus SA menghasilkan impuls lebih cepat, sehingga dapat mem- batalkan