• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi MarsirimpaBatak Toba pada Siklus Mata Pencaharian di Kecamatan Baktiraja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi MarsirimpaBatak Toba pada Siklus Mata Pencaharian di Kecamatan Baktiraja"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

19 BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kepustakaan yang Relevan

Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung

pemecahan masalah dalam suatu penelitian. Paparanatau konsep-konsep tersebut

bersumber dari pendapat para ahli, empirisme (pengalaman penelitian),

dokumentasi, dan nalar penelitian yang berhubungan dengan masalah yang

diteliti.

Penulisan proposal skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung

yang relevan. Buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah buku-buku

tentang,“Kearifan Lokal (hakikat, peran, dan metode tradisi lisan),” (Sibarani,

2014). Buku ini menjelaskan tentang tradisi lisan yang hidup di setiap etnik di

Indonesia yang berisi nilai dan norma budaya yang dapat dimanfaatkan untuk

menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini, tradisi lisan

menjadi sumber kearifan lokal untuk menata kehidupan masyarakat secara arif.

Kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur

kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.

Kearifan lokal dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentukan karakter

bangsa. Kita mengharapkan karakter bangsa berasal dari kearifan lokal kita

sendiri sebagai nilai dan norma warisan leluhur bangsa. Kita membutuhkan

karakter dalam kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan

kehidupan masyarakat dalam penciptaan kedamaian dan peningkatan

(2)

20

Buku sumber selanjutnya yaitu “Kearifan Lokal Gotong-royong Pada

Upacara Adat Etnik Batak Toba,” (Sibarani, 2014). Buku ini menjelaskan konsep

gotong-royong yang terdapat dalam perumpamaan Batak Toba sebagai memori

kolektif, bahkan sebagai penyimpan kegotong-royongan dalam masyarakat Batak

Toba. Berdasarkan memori kolektif itu, konsep kegotong-royongan mencakup

nilai gotong-royong, yakni saling mendukung, saling mengiakan, saling

menyetujui, saling menbantu, saling bekerja sama, bersama-sama bekerja, saling

memahami, dan mendukung.

Makmur dan Berutu (2013) dalam bukunya “Sistem Gotong-royong Pada

Masyarakat Pakpak di Sumatera Utara,” menjelaskan bahwa, di Pakpak Bharat

terdapat banyak tipe gotong-royong yang dilakukan masyarakat, baik yang

sifatnya tolong-menolong dijumpai dalam aktivitas upacara adat (mergugu,

merkebbas, toktok ripe, muat nakan peradupen), aktivitas ekonomi (

rimpah-rimpah, abin-abin, mengurupi, merkua, page kongsi, merbellah, memakan,

jampalen, bendar kongsi), aktivitas religi dan berbagai aktivitas sosial lainnya.

Untuk kepentingan yang lebih luas, juga masih dipraktikkan, seperti: pembuatan

dan perawatan jalan, pembuatan jembatan, tempat pemandian umum,

pembangunan tempat ibadah, dan upacara-upacara adat serta upacara hari-hari

besar negara Republik Indonesi. Mereka selalu melaksanakan gotong-royong

untuk tujuan mendapatkan hasil yang optimal dari suatu kegiatan.

Haryati Soebadio (1983)dengan bukunya berjudul “Sistem Gotong-royong

Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Sumatera Barat,” menjadi salah satu sumber

penulis. Buku ini menjelaskan sistem gotong-royong dalam masyarakat pedesaan

(3)

21

mewujudkan adanya keteraturan sosial di dalam masyarakat. Gotong-royong

terlahir dari norma-norma adat yang mengatur sistem dan bentuk kerjasama

masyarakat dewasa ini.

Selanjutnya Alamsyah (1984) dengan bukunya berjudul “Sistem

Gotong-royong Dalam Masyarakat Pedesaan Provinsi Daerah Istimewah Aceh.” Buku ini

menjelaskan bahwa gotong-royong sangat erat hubungannya dengan struktur

sosial juga dengan norma-norma agama yang dianut oleh masyarakatnya.

Kemudian laporan hasil penelitian Sibarani, dkk.(2014) yang berjudul “Pola

Gotong-royong dan Model Revitalisasinya Pada Masyarakat Batak Toba,”

diungkapkan bahwa gotong-royong merupakan pekerjaan atau aktivitas yang

harus kompak, serempak, dan bersama-sama untuk membangun kedamaian dan

kesejahteraraan dalam masyarakat.

2.1.1 Pengertian Tradisi Lisan

Tradisi menurut etimologi adalah kata yang mengacuh pada adat atau

kebiasaan yang turun-temurun, atau peraturan yang dijalankan masyarakat.

Tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya.’’ Keduanya adalah hasil karya

masyarakat yang dapat membawa pengaruh pada masyarakat tersebut karena

kedua kata ini dapat dikatakan makna dari hukum tidak tertulis dan ini menjadi

patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar adanya.

Tradisi berasal dari bahasa latin traditio(diteruskan) atau kebiasaan yang

telah dilakukan dengan cukup lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu

kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau

(4)

22

yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa

adanya ini suatu tradisi dapat punah. Dalam pengertian lain tradisi ialah

adat-istiadat atau kebiasaan turun-temurun yang masih dijalankan di masyarakat.

Tradisi lisan merupakan salah satu jenis warisan kebudayaan masyarakat

setempat yang proses pewarisannya dilakukan secara lisan. Menurut Budhisantoso

(1981:64)bahwatradisi lisan merupakan sumber kebudayan seperti kemampuan

bersikap dan keterampilan sosial sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma maupun

kepercayaan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat pendukungnya.

Menurut Pudentia (Sibarani, 2014:32-35) bahwatradisi lisan merupakan

cakupan segala hal yang berhubungan dengan sastra, bahasa, sejarah, biografi, dan

berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke

mulut. Jadi tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa,

nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda, seperti yang umumnya diduga orang,

tetapi juga berkaitan dengan sistem kognitif pada kebudayaan, seperti sejarah

hukum dan pengobatan. Namun,masa sekarang tradisi lisan tersebut sudah tidak

persis adanya seperti dahulu karena pengaruh zaman modern dan penyesuaian

dengan konteks zaman yang kita lakukan sekarang, akan tetapi nilai dan

normanya dapat diterapkan pada masa sekarang.

Nilai dan norma tradisi lisan dapat dimanfaatkan untuk mendidik anak-anak

memperkuat identitas dan karakter mereka dalam menghadapi masa depan

sebagai generasi penerus bangsa. Tradisi lisan merupakan kegiatan masa lalu yang

berkaitan dengan keadaan masa kini dan yang perlu diwariskan pada masa

(5)

23 2.1.2 Pengertian Kearifan Lokal

Istilah kearifan lokal (local wisdom)terdiri atas dua kata, yakni kearifan

(wisdom) yang berarti kebijaksanaan, sedangkan kata lokal (local) ialah setempat.

Maka dari itu kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai gagasan-gagasan dan

pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan

berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota

masyarakatnya.

Sibarani (2014:180) menyatakan bahwa, kearifan lokal adalah

kebijaksanaan dan pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur

tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini

kearifan lokal itu bukan hanya nilai budaya, tetapi nilai budaya dapat

dimanfaatkan untuk menata kehidupan masyarakat dalam mencapai peningkatan

kesejahteraan dan pembentukan kedamaian.

Menurut Sibarani dan Balitbangsos Depsos RI (Sibarani, 2014:5),“Kearifan

lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai nilai-nilai budaya, gagasan-gagasan

tradisional, dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,

bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki oleh anggota masyarakat dalam

menata kehidupan sosial mereka. Kearifan lokal itu diperoleh dari tradisi budaya

atau tradisi lisan karena kearifan lokal merupakan kandungan tradisi lisan atau

tradisi budaya yang secara turun temurun diwariskan dan dimanfaatkan menata

kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya. Kearifan lokal

adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan

(6)

24

Menurut Balitbangsos Depsos RI (Sibarani 2014 :115) “Kearifan lokal

merupakan kematangan masyarakat ditingkat komunitas lokal yang tercermin

dalam sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam

mengembangkan potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang

dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang

lebih baik atau positif”.

Menurut Sibarani (2014:129) bahwa “Kearifan lokal merupakan milik

manusia yang bersumber dari nilai budayanya sendiri dengan menggunakan

segenap akal budi, dan pengetahuannya untuk bertindak dan bersikap terhadap

lingkungan sosialnya”.

2.1.3 Pengertian Marsirimpa (Gotong-royong)

Marsirimpa(gotong-royong) merupakan suatu pekekerjaan yang dilakukan

secara bersama-sama dengan melibatkan beberapa orang untuk

menyelesaikannya, sebelum melakukan marsirimpa (gotong-royong) mereka

terlebih dahulu membuat kesepakatan untuk waktu kapan dilakukan marsirimpa

(gotong-royong) tersebut, perlengkapan pangan buat seharian mereka bekerja

serta ditempat siapa terlebih dahulu dilaksanakanmarsirimpa (gotong-royong)

tersebut. Hal ini dilakukan selain sudah sebagai tradisi bagi kehidupan masyarakat

juga mereka merasa senasib dan sepenanggungan dalam hidup suka maupun duka,

untuk hal ini tidak ada yang kaya dan miskin karena semuanya ikut marsirimpa

(gotong-royong).

Berkenaan dengan konsep kearifan lokal gotong-royong tersebut, konsep

(7)

25

peserta gotong-royong sehingga ketiga kaidah tersebut dapat diterapkan.

Persyaratan awal yang harus dimiliki oleh orang yang ingin menerapkan ketiga

kaidah gotong-royong tersebut adalah kekompakan. Dengan kata lain, kaidah

bergotong-royong dilandasi oleh konsep “kekompakan, keserempakan, dan

kebersamaan”untuk dapat mewujudkan saling memahami, menyepakati,

mendukung (marsiantusan, masiaminaminan, masitungkol-tungkolan), saling

membantu (marsiurupan), dan bekerja sama (rampak mangula) Sibarani, dkk

(2014:41-42).

Contoh gotong-royong yang dimaksud dalam budayamarsirimpa adalah

penulismempunyai kelompok kerja sebanyak sepuluh orang. Kelompok kerja

yang sepuluh orang ini membuat suatu kesepakatan yaitu pertama, kelompok

kerja tersebut akan terlebih dahulu menentukan ke lahan atau ke tempat siapa

yang pertama untuk memulai pekerjaan tersebut. Kedua, makanan (sarapan,

makan siang, atau snack) untuk para kelompok kerja, apakah disediakan yang

mempunyai lahan pekerjaan atau dibawa masing-masing. Setelah disepakati

bersama barulah para kelompok kerja ini mulai bekerja sesuai dengan kesepakatan

yang telah disetujui bersama.

Pekerjaan yang akan dikerjakan oleh para kelompok kerja iniditentukan oleh

orang yang bersangkutan. Kelompok kerja tersebut tidak boleh menentukan

pekerjaan yangdikerjakan. Baik itu pekerjaan berat maupun pekerjaan ringan, para

kelompok kerja harus siap atas pekerjaan yang sudah ditentukan oleh orang yang

bersangkutan kepada para kelompok kerja. Demikian seterusnya bergantian mulai

dari orang pertama sampai orang kesepuluh.Tetapi kebiasaan gotong-royong

(8)

26

Menurut Collette (Makmur dan Berutu, 2013:1) bahwa gotong-royong telah

berurat berakar dan tersebar dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan

merupakan pranata asli paling penting dalam pembangunan.

Menurut Pranadji (Sibarani, 2014:8) bahwa gotong-royong merupakan

kekayaan adat-istiadat dan inti nilai modal sosial budaya bangsa, yang di

dalamnya terkandung nilai-nilai budaya (adat-istiadat) komposit sosiobudaya dari

berbagai suku dan masyarakat yang tersebar di seluruh penjuru nusantara.

Koentjaraningrat (Sibarani 2014:8) membagi gotong-royong menjadi dua

jenis yang dikenal oleh masyarakat Indonesia, yakni:

1. Gotong-royong (tolong-menolong), ini biasanya terjadi pada aktivitas

pertanian, aktivitas sekitar rumah tangga, aktivitas pesta, dan pada peristiwa

bencana dan kematian.

2. Gotong-royong (kerja-bakti), biasanya bersifat untuk kepentingan umum yang

dikelompokkan dua tipe, yakni kerja-bakti atas inisiatif warga masyarakat dan

kerja-bakti karena dipaksakan atau disuruh.

Ada beberapa macam gotong-royong menurut Koentjaraningrat (skripsi

Roya Kokumo,2011: 34), yakni :

1. Tolong-menolong dalam aktivitas pertanian.

2. Tolong-menolong dalam aktivitas sekitar rumah tangga.

3. Tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara.

4. Tolong-menolong dalam peristiwa kecelakaan, bencana, dan kematian. Dalam

aktivitas pertanian seperti halnya yang sangat berkaitan dengan bercorak

tanam, orang bisa mengalami musim sibuk, tetapi sebaliknya jugamusim yang

(9)

27

yangmemperbaiki atap rumahnya. Adapun tolong-menolong dalam aktivitas

persiapan pesta dan upacara, dalam aktivitas ini merangsang bagi para

pembantu bersifatlangsung, ialah ikut merayakan pesta, ikut menikmati

makanan enak danseterusnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sibarani, 2014: 9) bahwa,

gotong-royong diartikan sebagai bekerja bersama-sama, tolong-menolong, dan bantu-

membantu.

Menurut Berutu dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi

(Sibarani, 2014:10) bahwa gotong-royong dapat diartikan sebagai suatu model

kerja sama yang disepakati bersama. Menurut Makmur dan Berutu (Sibarani,

2014:10) gotong-royongmemiliki tiga defenisi, yakni:

1. Gotong-royong sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat

Indonesia umumnya dan masyarakat pakpak Bharat khususnya. Kebiasaan ini

telah berurat berakar dan dijadikan sebagai suatu solusi untuk pemecahan

permasalahan hidup yang dihadapi.

2. Sebagai bagian dari kebudayaan yang bersifat dinamis, bentuk dan substansi

sistem gotong-royong di Pakpak Bharat telah terjadi perubahan dan

penyesuaian sesuai dengan tuntutan zaman.

3. Sebagai suatu potensi sosial, tentu sistem gotong royong di Pakpak Bharat

dapat diadopsi dalam program pembangunan fisik, sektor budaya, maupun

sektor sosial ekonomi lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, gotong-royong didefenisikan sebagai pekerjaan

yang dilakukan bersama-sama, yang memiliki tujuan yang sama dan berusaha

(10)

28

kelompok-kelompok ini melakukannya secara bergiliran dan praktik ini tidak

hanya dilakukan di pedesaan saja akan tetapi dapat juga dilakukan di perkotaan

dalam hal upacara siklus kehidupan seperti upacara adat pernikahan, kelahiran,

dan kematian, serta juga pada siklus mata pencaharian mulai dari membibitkan,

atau menanam, merawat atau memelihara, dan memanen.

Koentjaraningrat (Sibarani 2014:11) memiliki lima alasan utama untuk

melakukan gotong-royong tersebut, yakni:

1. Seseorang tidak hidup sendiri, tetapi berada dalam komunitas dengan

lingkungan alamnya. Dia mesti berinteraksi dengan sesamanya dalam suatu

komunitas untuk menghadapi lingkungan itu.

2. Sebagaimana manusia lainnya, dia memiliki kelemahan dan kelebihan yang

menyebabkannya harus bekerja sama dengan orang lain,

3. Dengan demikian, keberadaannya sangat bergantung pada orang lain,

4. Atas dasar itu, dia harus menjaga hubungan baik dengan sesamanya, dan

5. Menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang lain.

Gotong-royong dapat menggambarkan perilaku-perilaku masyarakat desa

yang bekerja untuk gotong-royong lainnya tanpa menerima upah. Lebih luas,

sebagai suatu tradisi yang mengakar, meliputi aspek-aspek dominan lain dalam

kehidupan sosial. Gotong-royong dalam masyarakat sebagaimana yang kita

ketahui adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan bersifat

suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan lancar, mudah, dan

ringan.Contoh kegiatan yang dapat dilakukan secara bergotong-royong antara lain

dalam hal mata pencaharian seperti menanam padi. Sikap gotong-royong itu

(11)

29

Kecamatan Baktiraja. Karena, dengan adanya kesadaran maka masyarakat akan

melakukankegiatan dengan cara bergotong-royong.

Segalasesuatu akan lebih mudah dan cepat diselesaikan jika

bergotong-royong. Dengan demikian, pembangunan di daerah tersebut akan semakin lancar

dan maju.Bukan itu saja,dengan adanya kesadaran setiap masyarakat dalam

menerapkan perilaku gotong-royong maka hubungan persaudaraan atau

silaturahim akan semakin erat.

2.2Teori yang Digunakan

Berdasarkan judul penelitian ini, secara umum teori yang digunakan untuk

mendeskripsikan tradisi marsirimpaBatak Toba pada siklus mata pencaharian di

Kecamatan Baktiraja iniadalah teori tradisi lisan dan antropolinguistik. Berikut

akan dijelaskan teori tersebut.

2.2.1Tradisi Lisan

Tradisi lisan adalah salah satu cara masyarakat untuk menyampaikan sejarah

lisan melalui tutur/lisan dari generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan

berusaha menggali, menjelaskan, dan menginterpretasi secara ilmiah

warisan-warisan budaya leluhur pada masa lalu dan membentuk karakter generasi masa

kini demi mempersiapkan kehidupan yang damai dan sejahtera untuk generasi

masa mendatang (Sibarani, 2014:2-3).

Menurut Sibarani (2014 :251-252), “Tradisi lisan dapat dikaji dari latar

belakang ilmu sastra. Semua struktur seperti latar, alur, gaya bahasa, penokohan

(12)

30

Apabila hanya mengkaji teks tradisi lisan dari segi ilmu sastra, kajian itu hanya

kajian sastra, bukan kajian tradisi lisan dari latar belakang ilmu sastra.

Pesan atau amanat sebagai kandungan tradisi lisan dari sudut ilmu sastra

menjadi sangat penting diungkapkan, tetapi amanat atau pesan itu mesti dikaitkan

dengan konteks tradisi. Kajian ilmu sastra tidak hanya mengkaji kesastraan dari

tradisi lisan, tetapi lebih jauh mampu mengkaji keseluruhan tradisi lisan secara

holistik dengan kekhasan kajian dari sudut ilmu sastra. Penelitian tradisi lisan

harus dapat mengungkapkan kebenaran bentuk dan isi suatu tradisi lisan. Dengan

demikian, diperlukan kajian ilmu sastra yang relevan untuk mengkaji tradisi lisan

dengan tetap mempertimbangkan bentuk (teks, ko-teks, dan konteks), isi (makna,

atau fungsi, nilai atau norma, dan kearifan lokal), dan model revitalisasi atau

pelestarian seperti pengelolaan, proses pewarisan, perlindungan, pengembangan,

dan pemanfaatan sebuah tradisi lisanyang ada pada masyarakat Kecamatan

Baktiraja.

Nilai dan norma budaya tradisi lisan sebagai warisan masa lalu, bagaimana

nilai dan norma budaya itu dapat dilestarikan, direvitalisasi, dan direalisasikan

pada generasi masa kini, untuk mempersiapkan generasi masa depan yang damai

dan sejahtera. Disini dapat kita ketahui bahwa tradisi lisan memiliki bentuk dan

isi. Bentuk yang dimaksud terdiri atas:

a) Teks, merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang tersusun ketat

seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi

(13)

31

b) Ko-teks, merupakan keseluruhan unsure yang mendampingi teks seperti

unsur paralinguistik, proksemik, kinesik, dan unsur material lainnya, yang

terdapat dalam tradisi lisan.

c) Konteks, merupakan kondisi yang berkenaan dengan budaya, sosial,

situasi, dan idiologi tradisi lisan.

Isi yang terdapat dalam tradisi lisan yakni nilai atau norma yang pada

umumnya menjelaskan tentang makna, maksud, peran, dan fungsi. Nilai atau

norma tradisi lisan yang dapat digunakan untuk membentuk kehidupan sosial itu

disebut dengan kearifan lokal. Dalam hal ini, isi dapat dipilah menjadi beberapa

pembentukannya. Pertama, isi adalah makna atau maksud dan fungsi atau peran.

Kedua, nilai atau norma yang dapat diinferensikan dari makna atau maksud dan

fungsi atau peran dengan adanya kenyakinan terhadap nilai atau norma itu.

Ketiga, kearifan lokal yang merupakan penggunaan nilai dan norma budaya dalam

menata kehidupan sosial secara arif. Contoh objek kajian tradisi lisan dalam

(14)

32 2.2.2 Analisis Antropolinguistik

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan antropolinguistik.

Antropolinguistik adalah studi bahasa dalam kerangka kerja antropologi, studi

kebudayaan dalam kerangka kerja linguistik, dan studi aspek kehidupan manusia

dalam kerangka kerja bersama antropologi dan linguistik. Atas dasar itu,

antropolinguistik tidak hanya dapat digunakan untuk mengkaji teks

ungkapan-ungkapan tradisional gotong-royong sebagai bagian bahasa, tetapi juga mengkaji

unsur-unsur gotong-royong sebagai budaya dan aspek kegiatan bergotong-royong

yang dilakukan masyarakat (Sibarani, 2014:20).

Antropolinguistik mengkaji tradisi lisan dalam beberapa lapisan kajian.

Lapisan pertama mengkaji seluk-beluk teks, ko-teks, dan konteks untuk

menemukan struktur, formula atau pola masing-masing. Lapisan berikutnya

Marsirimpa

(gotong-royong)

Bentuk

Isi

Struktur Siklus Mata Pencaharian

• Menanam

• Mengelola tanaman

• Memanen

• Makna dan fungsi

• Nilai dan norma, dan

(15)

33

mengkaji seluk-beluk nilai dan norma budaya yang diinterpretasi berdasarkan

makna, pesan, dan fungsi sebuah tradisi lisan. Lapisan tersebut termasuk mengkaji

kearifan lokal yang dapat diterapkan dalam menata kehidupan sosial berdasarkan

nilai dan normanya. Dengan demikian, penelitian tradisi lisan secara idealnya

harus mampu mengungkapkan tiga lapisan kajian tradisi lisan atau tradisi budaya

tersebut dengan karakteristik kajian masing-masing pada setiap lapisan (Sibarani,

2014:20).

Kajian bahasa dalam perspektif antropolinguistik dikaitkan dengan

kebudayaan (Danesi, 2004; Duranti, 1997; Foley, 1997 dalam hasil penelitian

Sibarani 2014:20). Dengan perspektif ini, kajian tradisi budaya yang dilakukan

bukan hanya menggali struktur bahasa dalam kaitannya dengan budaya,

melainkan menggali konteks yang lebih luas seperti konteks situasi, konteks

budaya, konteks sosial, dan konteks ideology dan menggali konteks seperti

unsur-unsur material dan paralinguistik yang bermanfaat untuk memahami keseluruhan

tradisi yang dikaji (Sibarani, 2014:20).

2.2.2 Konsep Performansi, Indeksikalitas, dan Partisipasi

Dalam mengkaji bahasa, kebudayaan, dan aspek-aspek lain kehidupan

manusia, pusat perhatian antropolinguistik (Duranti, 1977) dalam jurnalnya

Robert Sibarani (2015:3), ditekankan pada tiga topik penting, yakni performansi

(performance), indeksikalitas (indexicality), dan partisipasi (participation).

Melalui konsep performansi, bahasa dipahami dalam proses kegiatan, tindakan,

dan pertunjukan komunikatif, yang membutuhkan kreativitas. Bahasa sebagai

(16)

34

secara terpisah dari pertunjukan atau kegiatan berbahasa tersebut. Konsep

indeksikalitas ini berasal dari pemikiran filosofi Amerika Charles Sanders Pierce

yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks (index), symbol (symbol),

dan ikon (icon). Indeks adalah tanda yang mengindikasikan bahwa ada hubungan

alamiah dan eksistensial antara yang menandai dan yang ditandai.

Konsep indeks (indeksikalitas) diterapkan pada ekspresi linguistik seperti

pronominal demonstratif (demonstrative pronouns), pronominal diri (personal

pronouns), adverbia waktu (temporal expressions), dan adverbia tempat (spatial

expressions). Konsep partisipasi memandang bahasa sebagai aktivitas sosial yang

melibatkan pembicara dan pendengar sebagai pelaku sosial (social

actors).Menurut konsep ini, kajian tentang aktivitas sosial lebih penting dalam

Referensi

Dokumen terkait

Tradisi menurut terminologi, seperti yang dinyatakan oleh Siti Nur Aryani dalam karyanya, Oposisi Pasca Tradisi , tercantum bahwa tradisi merupakan produk

Judul Tesis : TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK- ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN LINTONGNIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN.. Nama Mahasiswa : Demak

Nilai-nilai sosial dan nilai etis yang terdapat pada tradisi ngapati di Desa Surobayan seperti melestarikan budaya yang sudah ada dimana didalamnya terdapat shodaqoh,

Kedudukan tradisi lisan dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu budaya, Warta ATL, edisi II/Maret , Jakarta: Asosiasi Tradisi

Hasil dari penelitian menunjukkan: (1) Kondisi rumah tangga nelayan juragan dan pandhiga akibat perubahan iklim berdampak pada ekonomi dan sosial, (2) Terdapat perbedaan

Inpirasi penulis untuk penelitian ini adalah penulis ingin mengajak masyarakat untuk menjalankan kembali tradisi lisan terhadap situs-situs budaya kepada generasi

Judul Tesis : TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK- ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN LINTONGNIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN.. Nama Mahasiswa : Demak

Dalam konteks ini, penelitian akan menggali sejauh mana tari Gubang menjadi bagian penting dari identitas budaya suku Melayu di Tanjungbalai dan bagaimana perubahan dalam tradisi ini