• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TRADISI LISAN TERHADAP SITUS-SITUS BUDAYA DI KECAMATAN BAKTIRAJA, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN TRADISI LISAN TERHADAP SITUS-SITUS BUDAYA DI KECAMATAN BAKTIRAJA, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TRADISI LISAN TERHADAP SITUS-SITUS BUDAYA DI KECAMATAN BAKTIRAJA, KABUPATEN HUMBANG

HASUNDUTAN

SKRIPSI

DISUSUN OLEH:

DEWI SARTIKA SIMANUNGKALIT 120703008

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK MEDAN

2016

(2)

KAJIAN TRADISI LISAN TERHADAP SITUS-SITUS BUDAYA DIKECAMATAN BAKTIRAJA, KABUPATEN HUMBANG

HASUNDUTAN

SKRIPSI

DISUSUN OLEH:

DEWI SARTIKA SIMANUNGKALIT 120703008

Diketahui oleh

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof,Dr. Robert Sibarani. M.S Dra. Herlina GintingM.Hum Nip. 196402121987031004 Nip. 196402121988032001

Ketua Jurusan,

Drs. Warisman Sinaga M.Hum Nip. 196207161988031002

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK MEDAN

2016

(3)

ABSTRAK

Dewi sartika Simanungkalit, 2016. Judul skripsi: Kajian Tradisi lisan terhadap situs-situs budaya di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan: terdiri dari 5 BAB.

Tradisi lisan merupakan kebudayaan masyarakat yang diwariskan oleh leluhur yang dilakukan secara lisan. Situs Budaya adalah lokasi yang berada di darat yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan lokasi dan cerita situs-situs budaya yang terdapat di Kecamatan Baktiraja. Manfaat penelitian ini dapat memberikan masukan kepada penulis untuk menambah pengetahuan mengenai situs-situs budaya, sebagai referensi bagi peneli berikutnya yang memiliki topik yang sama dengan situs-situs budaya dan mendorong program pelestarian situs-situs di Kecamatan Baktiraja sebagai bagian dari keudayaan nasional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan tehnik lapangan. Teori yang digunakan adlah teori tradisi lisan. Adapun situs-situs budaya pada masyarakat Batak Toba terutama di kecamatan baktiraja, sudah menjadi hal lumrah mengingat kecamatan baktiraja adalah asal dari si raja Batak. Situs-situs ini harus didasari dengan kebijakan masyarakat juga karena masyarakatlah yang tahu keberadaan dan kebenaran dari asal mulanya situs tersebut. Itu sebabnya masyarakat dianjurkan dan diajak untuk mengulang kembali sejarah-sejarah yang terdapat di daerahnya masing-masing melihat perkembangan kebudayaan dan pariwisata di daerah Batak Toba, maka masyarakatlah yang menjadi tuan rumah jika suatu saat daerah tersebut menjadi daerah wisatawan. Demikian pula dengan pola pelestarian situs- situs budaya tersebut harus dengan adanya kesepakatan untuk melestarikan, menjaga dan saling kerja sama agar sesuai dengan yang diharapkan.

Kata kunci: Kajian Tradisi Lisan, Situs-situs budaya di KecamatanBaktiraja

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga skripsi ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Adapun judul skripsi ini adalah “Kajian Tradisi lisan terhadap situs-situs budaya di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan”.

Terwujudnya skripsi ini bukanlah semata-mata jerih payah penulis sendiri, melainkan dari berbagai pihak. Maka, dalam kesempataan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun meterial sehingga penulis dapat meyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

Agar dapat memperoleh gambaran yang jelas dan meyeluruh tentang isi skripsi ini, penulis memaparkan rincian sistematika sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

Bab II merupakan tinjauan pustaka, yang mencakup kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan.

Bab III merupakan metode penelitian yang mencakup metode dasar, lokasi penelitian, sumber data penelitian, insrtumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

Bab IV merupakan pembahasan yang ada pada rumusan masalah. Bab V merupakan kesimpulan dan saran.

(5)

Harapan saya semoga skripsi ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi skripsi ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan karena pengalaman penulis yang masih kurang. Oleh karena itu, saya harap kepada para pembaca, terutama dosen saya untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi penulis.

Medan, April 2016 Penulis,

Dewi Sartika Simanungkalit NIM : 120703008

(6)

HATA PATUJOLO

Parjolo mandok mauliate do au tu Debata ala di lehon do hahipason, pangurupion dogot pargogo tu au, ido umbahen boi pasaehon sikripsi on.

Molo judul ni sikripsi on ima” Kajian tradisi lisan terhadap situs-situs budaya di kecamatan Baktiraja” sikripsi on boi sae dang na holan gogo ni panurat, alai boi sae dibahen angka pangurupion sian angka dongan, alani i panurat mandok mauliate dohot patorushon lasni ni roha tu angka na mangurupi, mangalehon tingkina dohot lasniroha na ias laho mangurupi panurat pasaehon sikripsi on.

Asa boi parguruhon sikripsi on dohot mambahen gombaran na tangkas, hu bagi ma gabe lima bagian.Bab na parjolo hupatorang ma latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,dohot gambaran umum lokasi penelitian.Bab na padua hon hupatorang do tinjauan pustaka ima ke pustakaan na relevan dohot teori yang di gunakan .Bab na patoluhon hupatorang ma hupatorang ma disi metode dasar, lokasi penelitian, instrumen penelitian, sumber data penelitian, metode pengumpulan data dohot analisis data. Manguduti ma muse bab paopatton di patorang ma di bagasan angka masalah na adong di judul sikripsi on, bab na palimahon ima di kesimpulan dohot saran.

(7)

Songon na husadari godang dope angka hahurangan di bagasan panuturan sikripsion, alai sian roha naserep dohot hata naelek mangido ma ahu pandapot dohot hatorangan na denggan sian angka na manjaha, asa lam tu denggan na ma muse sikripsion , manang na aha pe di patorang di sikripsi on sai anggiat ma boi manambai parbinotoan di hita saluhutna .

Medan, September 2016 Panurat,

Dewi Sartika Simanungkalit Nim: 120703008

(8)

ht pTjolo

pr\jolo mn\dko\ muliate do aH T debt al di lehno\ do hhipsno\ p>Rpian\ dohto\ pr\gogo T aH Ido Um\bhne\ boI psaehno\s\k\rpi\si*

molo JdL\ ni s\k\rpi\si ano\ Im kjian\

t\rdisi lisn\ tre\hdp\ sitS\ sitS\ Bdy di kesmtn\

bk\tirj kBptne\ hM\b^ hsN\Dtn\* s\k\rpi\si ano\

boI sae d^ n holn\ gogo ni pNrt\ alI boI sae alni a^k p>Rpiano\ sian\ do<n\ alni I pNrt\ mn\dko\

mUliate dohto\ ptorS\hno\ ls\ ni roh T a^k nm>Rpi m<lehno\ ti^ki n dohto\ ls\ ni roh n Ias\ lho m>Rpi pNrt\ psaehno\ s\k\rpi\si ano\*

as boI I pr\GRhno\ s\k\rpi\si ano\ dohto\

mm\bhne\ gmo\brn\ n t^ks\ Hbgi m gbe lim bgian\

bb\ npr\jolo Hptor^ m ltr\ belk^mslh\ peRMsn\

mslh\ Tjan\ penelitian\ mn\pat\ penelitian\ dohto\

gm\brn\ umM\ loksi penelitian\* bb\ n pDahno\

Hptor^ do tni\jUan\ pS\th Im kepS\tkan\ n rewepn\

dohto\ teaori y^ diGnkn\* bb\ n ptoLhno\ Hptor^ m disi metode dsr\ loksi penelitian\ In\s\t\Rmne\

penelitian\ sM\bre\ dt penelitian\ metode pe<M\Pln\ dt dohto\ anlissi\ dt* nm>Dti m Mse bb\ paopt\hno\

diptor^ m dibgsn\ a^k mslh\ n ado^di JdL\

s\k\rpi\si ano\* bb\ plimhno\ Im kesmi\Pln\ dohto\

srn\*

(9)

so<no\ n Hsdri god^ dope a^k hHr<n\ di bgsn\

pNrtn\ s\k\rpi\si ano\ alI sian\ roh n serpe\

dohto\ ht n aelke\ m<ido m aH pn\dpt\ dohto\

htor<n\ n de^gn\ sian\ a^k nmn\jh as lm\ T de^gn\ n m Mse s\k\rpi\si ano\ mn^ n ah pe diptor^ di s\k\rpi\si ano\ sI a^giat\ m bI mnm\bI pr\binotoan\ di hit sLhT\n*

medn\ spe\tme\bre\ 2016 pNrt\

dewi sr\tik simN^klti\

nmi\ 120703008

(10)

UCAPAN TERIMAKASI

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang menjadi teman dalam segala suasana serta memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini, memberikan kesehatan, kemampuan, dan berkat-Nya yang tiada henti di dalam kehidupan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Tradisi Lisan terhadap situs-situs Budaya yang terdapat di Kecamatan Baktiraja Kabupaten Humbang Hasundutan”.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan, bantuan, saran, dan bimbingan dari orang-orang di sekitar penulis. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada seluruh Keluarga yang telah memberikan dukungan Doa dan motivasi sehinggapenulis dapat menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi.

Ayahanda S. Simanungkalit dan Ibunda O. Simare-mare tercinta yang tidak pernah lupa untuk membawakan nama penulis di dalam doanya yang senantiasa mengiringi setiap perjalanan kehidupan untuk meraih cita-cita yang penulis harapkan.

Bapak tua Pdt. L Manullang S. IP dan Mama Tua Amd yang telah merawat, mendoakan dan yang mencukupi dana penulis untuk membiayai pendidikan mulai dari SD hingga Perguruan tinggi. Dengan semuanya itu semoga penulis mampu memberikan yang terbaik untuk membanggakan Bapak tua, dan Mama tua.

(11)

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono,M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak pembantu Dekan I, pembantu Dekan II, dan pembantu Dekan III, serta seluruh staf administrasi di jajaran Fakultas Ilmu Budaya.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum, selaku ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang selalu memotifasi penulis baik dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi.

3. Ibu Herlina Ginting, M, Hum, selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan nasehat dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

4. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani,M.S, selaku dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktu, memberikan saran, dan pengetahuan kepada penulis di setiap bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh Staf pengajar di Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara yang telah mendidik, memberi nasihat,dan motifasi dalam menempuh perkuliahan.

6. Kakakanda Chrisyanti Manullang, Elyanti Manullang, Romauli Manullang, Roddika Simanungkalit, Cristin Simanungkalit, Kak Putri

(12)

yang memberikan motivasi dan bantuan materi serta memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Kakak penulis di beri kesehatan dan rejeki dalam pekerjaan supaya tercapai setiap harapan-harapan yang di inginkan.

7. Abangnda penulis B. Manullang, Dwi June Manullang dan bang Portim Manullang yang telah membantu penulis baik dari segi moril dan materi.

8. Adik-adik tersayang Manuel Simanungkalit, Afdon Simanungkalit, Jackson Simanungkalit, Ayu mega Simanungkalit dan Sandi Simanungkalit yang membantu penulis serta membuat penulis lebih semangat dalam mengerjakan skripsi ini.

9. Bapak Camat Baktiraja yang memberikan ijin kepada penulis untuk mengambil informasi dari kecamatan Baktiraja.

10. Bapak M. Sinaga selaku Sekretaris Kecamatan Baktiraja yang telah memberikan saran, masukan sehingga penulis mengerti dalam menyelesaikan skripsi ini dan terimakasih kepada seluruh informan yang telah meluangkan waktu dan memberikan informasi yang penulis butuhkan untuk mengerjakan skripsi ini.

11. Bapak K. Simamora dan ibu Br. Malau yang telah banyak membantu penulis dan menemani penulis ketika penulis melakukan penelitian di Kecamatan Baktiraja.

12. Alumni Sastra Daerah abangnda Risdo Saragih, Bob Sihombing, Lijen, Melboy, Kakanda Naomi Kristina Siahaan, Tifani Panjaitan, dan

(13)

alumni lain yang tidak dapat disebut satu per satu, yang memberi saran, petunjuk untuk penyusunan skripsi ini.

13. Kakanda Fifi selaku pegawai Sastra Daerah,yang selalu membantu penulis dalam kelancaran proses skripsi dan adminstrasi penulis untuk melengkapi persyaratan yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini.

14. Sahabat-sahabat penulis Valentina Lumbantoruan, Aje putri Tobing, Novi sari Siahaan dan teman seperjuangan stambuk 2012, Ronica Simbolon, Astina oktavia Nababan, Ramayanti sitanggang, Sarmino Berutu, Ria Sinaga, Olihi Solin, Tri Putra Rajagukguk, Tri Hamdani Padang, Bob valentino simanjuntak, Jekli Sinurat, Hamdani Harahap, Paulus Napitupulu, Era Tumangger, Lamro Purba, Fertika Sinaga dan teman-teman lain yang tidak dapat disebut satu persatu terimakasih buat motifasi dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini.

15. Sahabat dekat penulis di kelompok R7 Rianti Simbolon, Tumbur Naibaho, Roniuli Sinaga, Sri Elsyta Silalahi, Subur Naibaho, Seprans Edo Silitonga

16. Adik-adik Mahasiswa : Ellen Katrina Simamora, Stefani Silalahi, Sriwati Purba, Ricardo Nadeak, Dasa Banjarnahor, Sesil Sitompul,Capah, Darmila, Dosmaulina, Veronika, Emma Ambarita, Rayna, lastri yang memberi saran dan telah membantu penulis.

(14)

Akhirnya,pada kesempatan ini penulis berharap yang terbaik dan akan berdoadan memohon kepada Tuhan yang maha kuasa agar senantiasa di berkati kehidupan mereka yang telah memberikan pertolongan.

Medan Penulis,

Dewi Sartika Simanungkalit NIM. 120703008

(15)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...iii

KATA PENGANTAR ...iv

UCAPAN TERIMAKASIH ...x

DAFTAR ISI ...xv

DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1 Harangan sulu-sulu ...24

Gambar 4.2 Goa Partonunan ...24

Gambar 4.3 Gerbang Sisingamangaraja ...25

Gambar 4.4 Istana Sisingamangaraja ...26

Gambar 4.5 Bale...27

Gambar 4.6 Makam Sisingamangaraja X ...28

Gambar 4.7 Makam Sisingamangaraja XI ...28

Gambar 4.8 Batu Si ungkap-ungkapon ...29

Gambar 4.9 Aek Si pangolu ...30

Gambar 4.10 Hariara tungkot ...31

Gambar 4.11 Batu Hundul-hundulan ...32

Gambar 4.12 Aek Binanga janji ...32

Gambar 4.13 Aek Si tio-tio ...33

Gambar 4.14 sampuran Sigota-gota ...34

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2 Rumusan Masalah ...4

1.3 Tujuan Penelitian ...4

1.4 Manfaat Penelitian ...5

1.4.1 manfaat praktis ...5

1.4.2 manfaat teoritis ...5

1.5 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...6

1.5.1 Letak Geografi Kabupaten Humbang Hasundutan ...6

1.5.2 Keadaan Penduduk ...7

1.5.3 Budaya Adat Istiadat Masyarakat ...7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan ...8

2.1.1 Pengertian Tradisi Lisan ...10

2.1.2 Pengertian Kearifal Lokal ...12

2.1. 3Pengertian Situs-Situs Budaya ...13

2.2 Teori Yang Digunakan ...16

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Dasar ...19

3.2 LokasiDan Sumber Data Penelitian ...20

3.4Instrumen Penelitian...21

3.5 Metode Pengumpulan Data ...21

3.6 Metode Analisis Data ...22

(17)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Situs –Situs Budaya Yang Terdapat Di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten

Humbang Hasundutan ...24

4.1.1 Tombak Situan Habonaran Atau Harangan Sulu-Sulu ...24

4.1.2 Gerbang Istana Sisingamangaraja ...25

4.1.3 Istana Sisingamangaraja ...26

4.1.4 Makam Raja Sisingamangaraja ...28

4.1.5 Batu Siungkap-Ungkapon ...29

4.1.6 Binanga Bibir/Aek Sipangolu ...30

4.1.7 Hariara Tungkot ...31

4.1.8 Batu Hundul-Hundulan ...32

4.1.9 Air Terjun Binanga Janji ...32

4.1.10 Aek Sitio-Tio ...33

4.1.11 Sampuran sigota-gota ...34

4.2 Cerita Situs Budaya Yang Terdapat Di Kecamatan Baktiraja ...35

4.2.1 Tombak Sulu-sulu ...35

4.2.2 Gerbang Sisingamangaraja ...36

4.2.3 Istana Sisingamangaraja ...36

4.2.4 Makam Sisingamangaraja ...38

4.2.5 Batu Siungkap-ungkapon ...39

4.2.6 Binanga Bibir Aek Sipangolu ...40

4.2.7 Hariara Tungkot ...41

4.2.8 Batu hundul-hundulan ...41

4.2.9 Aek Binanga Janji ...42

(18)

4.2.10 Aek Sitio-tio ...42

4.2.11 Sampuran Sigota-gota ...42

4.3 Kearifan Lokal dan Pola Pelestarian yang Terdapat Pada Situs-Situs Budaya Di Kecamatan Baktiraja ...42

4.3.1 Nilai Kearifan dan Pola Pelestarian Situs Tombak atau harangan Sulu-sulu ...45

4.3.2 Nilai, Kearifan dan Pola Pelestarian Gerbang Sisingamangaraja ...46

4.3.3 Nilai Kearifan dan Pola Pelestarian Istana Sisingamangaraja ...46

4.3.4Nilai Kearifan Pola Pelestarian Makam Sisingamangaraja ...47

4.3.5 Nilai Kearifan dan Pola pelestarian Batu Siungkap-ungkapon ...48

4.3.6 Nilai Kearifan dan Pola Pelestarian Binanga Bibir Aek Sipangolu ....48

4.3.7 Nilai Kearifandan Pola Pelestarian Hariara Tungkot ...48

4.3.8 Nilai Kearifan dan Pola Pelestarian Batu Hundul-hundulan ...50

4.3.9 Nilai Kearifan dan Pola Pelestarian Air Terjun Binangan Janji ...50

4.3.10Nilai Kearifan dan Pola Pelestarian Aek Sitio-tio ...50

4.3.11 Nilai Kearifan dan Pola Pelestarian Sampuran Sigota-gota...51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...52

5.2 Saran ...54

DAFTAR PUSTAKA ...56

(19)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Pertanyaan Lampiran 2 Data Informan Lampiran 3 Surat Penelitian

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki alam yang mempesona dan sangat tinggi nilainya untuk dijadikan sebagai objek wisata, salah satunya adalah propinsi Sumatera Utara. Sumatera utara memilikiberagam etnisseperti etnik Melayu, Batak, India, Nias dan lain-lain.

Salah satu kebudayaan yang terdapat pada setiap etnis tersebut adalah situs- situs budayanya. Jika membahas mengenai Sumatera Utara, maka secara spontan akan muncul di benak yaitu “Batak” mengapa demikian, karena Batak adalah suatu etnik yang mendominasi kebudayaan Sumatera Utara.

Batak memiliki sub-Etnik yaitu, Batak Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, dan Angkola Mandailing.

Salah satu sub etnik Batak yang besar ialah Batak Toba. Batak Toba mempunyai banyak peninggalan sejarah diberbagai daerah salah satunya adalah Humbang hasundutan. Peninggalan sejarah tersebut dijadikan sebagai suatu objek budaya dan kerap dikatakan dengan istilah situs-situs budaya. Namun di sini penulis hanya fokus pada situs-situs budaya di Kecamatan Baktiraja, kabupaten Humbang hasundutan. Hal ini dikarenakan Kecamatan Baktiraja membutuhkan publisitas.

Tradisi lisan situs-situs budaya merupakan kebiasaan yang dilakukan masyarakat dalam menyampaikan kisah-kisah yang pernah terjadi sebelumnya dan mempunyai bukti yang nyata lalu disampaikan dari mulut

(21)

ke mulut oleh nenek moyang dari generasi ke generasi.Istilah situs-situs budaya atau yang lebih dikenal dengan peninggalan sejarah jaman dulu berarti suatu kejadian lampau atau legenda yang pernah terjadi sebelumnya di daerah tersebut. Salah satu contoh Batu gantung yang dipercayai pernah terjadi.Situs-situs budaya pada hakikatnya merupakan warisan leluhur bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah dan di berbagai etnik di Indonesia dengan berbagai variasi istilah dan penerapannya.

Pada masa kini tradisi lisan situs-situs budaya semakin memudar hal itu disebabkan karena kesibukan para orang tua sehingga tidak sempat untuk menyampaikannya kepada anak-anak. Kemajuan teknologijuga mempengaruhi masyarakat tersebut sehingga mengakibatkan generasi muda tidak mau tahu dan situs–situs tersebut diketahui bukan berdasarkan cerita yang sebenarnya melainkan dari apa yang diketahui sekilas. Selain itu Masuknya agama juga mempengaruhi memudarnya tradisi lisan terhadap situs-situs budaya karena sebelum masuknya agama, masyarakat masih mempercayai situs tersebut sebagai tempat untuk memuja leluhur dan melakukan berbagai ritual. Tetapi setelah masuknya agama masyarakat mulai berpikir dan tradisi tersebut lambat laun hilang.

Adapun alasan penulis tertarik untuk mengkaji tradisi lisan terhadap situs-situs budaya ini adalah karena penulis ingin mengetahui situs apa saja yang terdapat di Kecamatan Baktiraja dan penulis ingin mendokumentasikannya supaya situs-situs budaya tetap ada ditengah-tengah masyarakat dan dapat dipertahankan. Tradisi lisan terhadap situs- situsbudaya ini mengandung nilai kearifan lokal di mana masyarakat akan

(22)

termotivasi menjadi bijak untuk tetap melestarikan tradisi lisan terhadap situs-situs budaya. Salah satu nilai kearifan lokal yang terdapat pada tradisi lisan situs-situs budaya adalah pelestarian dan kreatifitas budaya. Dengan nilai tersebut masyarakat akan tetap melestarikan dan membuat suatu kreatifitas budaya. Untuk itu, penulis ingin melakukan penelitian yang berjudul “Kajian Tradisi Lisan terhadap Situs-situs Budaya yang Terdapat di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan”. Adapun jenis- jenis nilai kearifan lokal Sibarani (2012:135) yaitu kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan gotong-royong, pengelolaan gender, pelestarian dan kreatifitas budaya, peduli lingkungan, kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan, penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur.

Inpirasi penulis untuk penelitian ini adalah penulis ingin mengajak masyarakat untuk menjalankan kembali tradisi lisan terhadap situs-situs budaya kepada generasi muda dan anak-anak agar mereka tahu betapa pentingnya objek kebudayaan itu karena penulis kuatir dengan perkembangan jaman sekarang ini situs-situs budaya tersebut hancur begitu saja akibat tidak dijaga dan kurang kepedulian masyarakat.Penulis berharap masyarakat dapat memberikan perhatian penuh. Dengan demikian, situs- situs budaya tersebut dapat dijadikan objek budaya yang berguna bagi masyarakat sebagai sumber penghasilan. Alangkah baiknya warisan leluhur tersebut dilestarikan oleh generasi penerus bangsa kita ini.

(23)

1.2Rumusan Masalah

Perumusan masalah adalah bagian yang sangat penting bagi pembuatan skripsi ini, karena dengan adanya perumusan masalah ini maka deskripsi masalah akan terarah sehingga hasilnya dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Masalah adalah suatu bentuk pertayaan yang memerlukan penyelesaian atau pemecahan.

Adapun masalah yang akan dibahas adalah :

1. Apa saja kah situs-situs budaya yang terdapat di Kecamatan Baktiraja?

2. Bagaimanakah cerita situs-situs budaya yang terdapat di Kecamatan Baktiraja?

3. Apa kearifan lokal yang terdapat di Kecamatan Baktiraja dan pola pelestarian situs-situs budaya di Kecamatan Baktiraja?

1.3Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mendeskripsikan situs-situs budaya yang terdapat di Kecamatan Baktiraja.

2. Mendeskripsikan cerita situs-situs budaya yang terdapat di Kecamatan Baktiraja

3. Mendeskripsikan kearifan lokal dan pola pelestarian situs-situs budaya di Kecamatan Baktiraja

(24)

1.4Manfaat penelitian

Hasil penelitian tradisi lisan situs-situs budaya ini akan memberi manfaat untuk masyarakat dan manfaat teoritis tradisi lisan sebagai berikut.

Manfaat untuk masyarakat berkenaan dengan memungkinkan hasil penelitian ini dapat diterapakan dalam masyarakat untuk meningkatkan dalam melestarikan dan membudidayakan menjadi suatu objek wisata, dan manfaat teoritisnya berkenaan pada bidang pendidikan seperti penjelasan dibawah ini.

1.4.1 Manfaat Praktis

a. Bermanfaat bagi masyarakat, khususnya generasi muda untuk memo- tivasi mereka dalam melestarikan situs-situs budaya

b. Bermanfaat bagi masyarakat untuk tetap menceritakan situs-situs budaya kepada anak-anak mereka

c. Bermanfaat untuk para guru sebagai bahan pembelajaran mata pela- jaran muatan lokal.

1.4.2 Manfaat Teoritis

a. Sebagai dokumentasi Kearifan lokal dalam hal situs-situs budaya pada Departemen Sastra Daerah FIB USU.

b. Sebagai Acuan Sastra Daerah khususnya Sastra Batak terhadap tradisi situs-situs

c. Mendorong program pelestarian sastra daerah sebagai bagian dari kebudayaan Nasional.

d. Sebagai referensi bagi peneliti berikutnya.

(25)

1.5 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1.5.1 Letak Geografi Kabupaten Humbang Hasundutan

Kecamatan Baktiraja merupakan salah satu dari 10 kecamatan di kabupaten Humbang yang merupakan pemekaran dari kecamatan Muara pada Tahun 2002,yang terletak di pinggiran Danau Toba dan berada di lembah yang di kelilingi bukit dengan ketinggian ± 300-1.500 dpl.

Ditinjau dari segi geografis kecamatan Baktiraja terletak di bagian tengah Sumatera Utara, dan berada di pinggiran danau toba yang mempunyai luas wilayah 50.363 KM2, berbatasan dengan wilayah :

Sebelah Utara : Kecamatan Sitio-tio kabupaten Samosir Sebelah Selatan : Kecamatan Dolok Sanggul

Sebelah Barat : Kecamatan Pollung

Sebelah Timur : Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli utara Kecamatan Baktiraja terdiri dari 7(tujuh)Desa yaitu :

a. Desa Marbun Toruan b. Desa Sinambela c. Desa Simangulampe d. Desa Simamora

e. Desa Siunong-unong julu f. Desa Tipang

g. Desa Marbun Tonga Marbun Dolok

(26)

1.5.2 Keadaan Penduduk

Kecamatan Baktiraja dihuni penduduk sebanyak 6.830 jiwa yang terdiri dari Laki-Laki 3.344 jiwa dan perempuan 3.486 (keadaan bulan februari 2009 ). Masyarakat yang bermukim di di kecamatan Baktiraja adalah suku batak Toba yang sudah lama mendiami tempat tersebut. Mata pencaharian yang paling utama adalah pertanian yang menghasilkan padi, bawang merah, sayur-sayuran. Sistem kemasyarakatan adalah patrilineal dan sistem kepercayaannya adalah penganut agama kristen.

1.5.3 Budaya Adat Istiadat Masyarakat

Budaya dan adat masyarakat batak Toba di Kecamatan Baktiraja ini hampir tidak ada perbedaannya dengan masyarakat Batak Toba lainnya.

Karena pada umumnya masyarakat Batak Toba itu memiliki kebiasaan dan budaya adat istiadat yang semuanya sama, hanya saja tempat dan daerahnya berbeda-beda. Suku Batak Toba diikat oleh struktur sosial yang dikenalnya dengan istilah dalihan natoluadat istiadat suku Batak Toba). Dalihan Natolu ini terdiri dari tiga unsur, yaitu:

1) Hula-hula (saudara dari ibu)

2) Dongan tubu (teman semarga, saudara kandung dari Ayah) 3) Boru (saudara perempuan dari Ayah)

(27)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kepustakaan yang relevan

Kajian pustaka merupakan paparan atau konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam suatu penelitian. Paparan atau konsep tersebut berasal dari pendapat para ahli, empiris (pengalaman peneliti), dokumentasi, dan nalar penelitian yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Penulisan skripsi ini merujuk ke beberapa buku pendukung yang relevan. Buku-buku yang digunakan skripsi ini adalah “Kearifan Lokal (hakikat, peran, dan metode tradisi lisan),” yang ditulis Robert Sibarani, 2014 dalam buku ini dinyatakan bahwa tradisi tidak sekedar penuturan, melainkan konsep pewarisan sebuah budaya dan bagian dari diri kita sendiri sebagai makhluk sosial menurut (pudentia, 2010) tradisi lisan tidak hanya kelisanan yang membutuhkan tuturan seperti peribahasa, dongeng, legenda, mantra, dan pantun, tetapi juga bagaimana kelisanan itu diwariskan secara epistemologi dan suatu tradisi lisan yang hidup bagi setiap etnik di Indonesia yang berisi nilai dan norma budaya dalam mengatasi dan menjawab persoalan sosial yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini, tradisi lisan menjadi sumber kearifan lokal untuk mengatur tatanan kehidupan secara arif atau bijaksana. Kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif.

Pemanfaatan kearifan lokal sebagai sumber pembentukan karakter bangsa. Kita berharap karakter bangsa ini berasal dari kearifan lokal kita

(28)

sendiri sebagai nilai dan norma warisan leluhur bangsa. Dimana kita membutuhkan karakter dalam kearifan lokal yang dapat membangun karakter bangsa untuk memberdayakan kehidupan masyarakat dalam menciptakan kedamaian dan kesejahteraan.

Buku sumber berikutnya yaitu “Ilmu Sosial Budaya dan Dasar”

(Setiadi, 2007)menjelaskan tentang pengertian kebudayaan dan menyatakan bahwa wujud kebudayaan itu adalah sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktifitas manusia yang berpola.

Sumber lain yaitu “Laporan Penelitian Pengabdian Budaya Batak”

(Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah, 2013). Buku ini menjelaskan beberapa situs-situs budaya yang terdapat di Kecamatan Baktiraja seperti, situs Istana Raja Sisingamangaraja serta situs yang ada di kawasan istana sisingamangaraja, kemudian situs Perkampungan Tombak Sulu-sulu serta situs-situs sekitarnya, dan situs Binanga Bibir Aek Sipangolu dan situs-situs sekitarnya.

Desa Tipang “Laporan Kegiatan Penelitian Pengabdian Budaya Batak” (Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah, 2013). Buku ini juga menjelaskan beberapa situs-situs yang terdapat di Kecamatan Baktiraja tepatnya di Desa Tipang. Situs-situs yang terdapat di Desa Tipang yaitu, silsilah marga manalu serta situs-situs sejarahnya dan yang bersangkut paut dengan situs batu manalu, kemudian ada situs makam batu Debataraja Simamora dan sejarahnya, batu makam Ompu Tuan Dihorbo Purba, makam batu Ompu Raja Doni Nababan, batu pauseang atau batu siungkap-ungkapon, batu maranak, batu partungkoan ni Lali.

(29)

2.1.1 Pengertian Tradisi Lisan

Menurut etimologi Tradisi adalah suatu kata yang mengacuh pada adat atau kebiasaan yang turun temurun, atau peraturan yang dijalankan masyarakat. Tradisi merupakan sinonim kata “budaya” di mana kedua hal tersebut adalah hasil karya masyarakat yang dapat membawa pengaruh pada masyarakat karena kedua kata tersebut dapat dikatakan makna dari hukum tidak tertulis dan ini menjadi patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar adanya. Tradisi budaya berusaha menggali, menjelaskan, dan menginterpretasi secara ilmiah warisan-warisan budaya leluhur pada masa lalu, menginterpretasikannya untuk implementasi pada pembentukan karakter generasi masa kini demi mempersiapkan kehidupan yang damai dan sejahterah untuk generasi masa mendatang. Kata tradisi berasal dari bahasa latin traditio (diteruskan) atau kebiasaan yang telah dilakukan dengan cukup lama dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dari suatu negara, kebudayaan, waktu, dan agama yang sama.

Hal yang paling menonjol dari tradisi adalah adanya informasi yang disampaikan oleh leluhur dan diteruskan dari generasi ke generasi baik secara tertulis maupun lisan, karena jika tanpa adanya hal ini maka suatau tradisi dapat punah. Pengertian lain, tadisi adalah kebudayaan masa lau yang memiliki proses berkelanjutan (continuity) hingga sekarang dan kemungkinan higga masa mendatang. Proses berkelanjutan yang dimaksud merupakan rangkaian transmisi budaya yang disampikan secara lisan.

Tradisi lisan merupakan kebudayaan masyarakat yang diwariskan oleh

(30)

Tradisi lisan diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan” atau “sistem wacana yang bukan aksara”, yang mengungkapkan kegiatan kebudayaan suatu komunitas. Hal tersebut muncul atas pendapat Sweeeney (1998:2-5) dalam buku Sibarani (2014) yang menegaskan bahwa pengertian kelisanan harus dikaitkan dalam konteks interaksinya dengan tradisi tulisan. Dalam kaitan ini perlu terlebih dahulu diutarakan kekaburan pemakaian istilah

“oral” dan istilah “orality”. Istilah yang pertama berkaitan dengan suara.

Implikasi kata lisan dalam lisan tertulis dan dalam lisan beraksara berbeda.

Sweeney mengusulkan sitilah “oracy” (orasi) untuk mencakup pengertian lisan pada istilah orality. Konsep kelisanan yang dipakai di sini lebih tepat digunakan dalam konteks sistem pengolahan bahan yang tidak mengandalkan huruf. Dengan pembatasan seperti itu, pembicaraan kelisanan ini lebih mencakup tradisi lisan dan tidak mengkhususkan diri pada sejarah lisan.

Menurut pudentia dalam buku Sibarani (2014) menyatakan tradisi lisan tidak sekedar penuturan, melainkan konsep pewarisan sebuah budaya dan bagian diri kita sendiri sebagai makhluk sosial dan merupakan cakupan segala hal yang berhubungan dengan sastra, budaya, sejarah, biografi dan berbagai pengetahuan lain yang disampaikan dari mulut ke mulut.

Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa tradisi lisan tidak hanya kelisanan yang membutuhkan tuturan seperti peribahasa, dongeng, legenda, mantra, dan pantun tetapi juga berkaitan dengan sistem kognitif pada kebudayaan, seperti sejarah hukum dan pengobatan.Namun, masa sekarang tradisi lisan tersebut sudah tidak persis adanya dengan yang dulu karena pengaruh

(31)

zaman moderndan penyesuaian dengan konteks zaman yang kita lakuakan sekarang, akan tetapi nilai dan normanya dapat diterapkan pada masa sekarang. Seperti yang sudah diketahiu sebelumnya, tradisi lisan merupakan kegiatan masa lalu yang berkaitan dengan masa kini dan perlu diwariskan pada masa mendatang untuk mempersiapkan generasi mendatang.

2.1.2 Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan lokal (lokal wisdom) terdiri atas dua kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Kata “kearifan” (wisdom) yang artinya

‘kebijaksanaan’, sedangkan kata “lokal” berarti ‘setempat’. Dengan demikian, kearifan lokal (local wisdom) dapat diartikan sebagai gagasan- gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya.

Kearifan lokal diperoleh dari tradisi budaya atau tradisi lisan karena kearifan lokal merupakan kandungan tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun-temurun diwarisi dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya atau untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas.

Sibarani (2014) menyatakan bahwa kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat.

Menurut Balitbangsos Depsos RI (Sibarani 2014: 115), kearifan lokal merupakan kematangan masyarakat di tingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat yang

(32)

kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan yang lebih baik atau positif.

Menurut Sibarani (2014: 129) menyatakan, kearifan lokal merupakan milik manusia yang bersumber dari nilai budayanya sendiri dengan menggunakan akal budi, pikiran, hati, dan pengetahuannya untuk bertindak dan bersikap terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Kearifan lokal pada hakikatnya sudah sangat lama merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan hingga saat ini masih dimanfaatkan terutama oleh komunitas pedesaan.

Sibarani (2014: 130) Kearifan lokal sebagai nilai dan norma budaya warisan leluhur telah mengalami sejarah panjang yang mengalami transformasi sesuai dengan perkembangan kemajuan bangsa

2.1.3 Pengertian Situs-situs budaya

Situs-situs adalah suatu peninggalan jaman sejarah yang terdapat disuatu tempat dan berupa benda seperti batu, patung, candi dan lain-lain.

Situs Budaya adalah lokasi yang berada di darat yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.

Dalam bahasa inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa belanda diistilahkan dengan kata cultuur, dalam bhasa latin, berasal dari kata colerayang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah. Dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.

(33)

Situs-situs budaya merupakan peninggalan-peninggalan bersejarah bagi masyarakat yang memiliki hubungan dan manfaat bagi mayarakat setempat. Situs-situs tersebut harus direvitalisasi agar tetap terjaga dan manfaatnya sangat besar bagi masyarakat setempat.

Situs-situs budaya berkaitan dengan Kearifan lokal karena kearifan lokal diperoleh dari tradisi budaya dan merupakan kandungan tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun-temurun diwarisi dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas.

Menurut E.B. Tylor (Setiadi 2007:27), budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Menurut R. Linton (Setiadi 2007:27), kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya

Menurut Koentjaraningrat (Setiadi 2007:28), mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar.

Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (Setiadi 2007:28), mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

(34)

Menurut Herkovits (Setiadi 2007:28), kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.

Dengan demikian, kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun on-material.

Koentjaraningrat (Setiadi 2007:29) mengemukakan bahwa kebudayaan itu dibagi atau digolongkan dalam tiga wujud, yaitu:

1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. Wujud yang dimaksud menunjukkan wujud dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tidak dapat diraba, dipegang, ataupun difoto, dan tempatnya ada dipikiran masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ini menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manuasia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservaasi, difoto, dan didokumentasi.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil, karya manusia. Wujud ini disebut kebudayaan fisik. Di mana wujud budaya ini hampir seluruhnya merupakan hasil fisik ( aktifitas perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat). Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.

Contoh nya situs budaya peninggalan zaman dulu yang masih ada sampai sekarang.

Menurut Sibarani (2014:95) Kebudayaan adalah keseluruhan kebiasaan kelompok masyarakat yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan, dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan hidupnya.

Situs-situs budaya adalah tempat-tempat peninggalan yang memiliki nilai budaya dan merupakan hasil peradaban manusia yang dianggap punya nilai bagi masyarakat.

(35)

Arti lain dari situs-situs budaya adalah peninggalan nenek moyang yang dapat dilihat secara nyata dan merupakan bentuk kebudayaan dari nenek moyang dahulu.

2.2 Teori yang Digunakan

Berdasarkan judul penelitian ini, teori yang digunakan penulis untuk mendeskripsikan judul “Kajian Tradisi Lisan Terhadap Situs-situs Budaya Di Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan”, menggunakan teori tradisi lisan. Berikut penjelasan teori tersebut.

Teori Tradisi Lisan

Tradisi lisan adalah salah satu kebiasaan masyarakat dalam menyampaikan sejarah melalui tutur lisan dari generasi ke generasi. Tradisi bukan hanya “tradisi yang lisan”, melainkan semua tradisi budaya yang diwariskan turun-temurun pada satu generasi ke generasi lain “dari mulut ke telinga” dengan menggunakan media lisan. Dalam hal inilah tradisi lisan sering disebut sebagai tradisi budaya (Sibarani, 2014:15).

Setiap tradisi lisan memiliki bentuk dan isi bentuk tersebut terbagi atas:

a. Teks, merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang tersusun ketat seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan nonverbal seperti teks pengantar sebuah performansi

b. Ko-teks, merupakan keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik, proksemik, kinetik, dan unsur material lainnya, yang terdapat dalam tradisi lisan.

(36)

c. Konteks, merupakan kondisi yang berkenaan dengan budaya, sosial, situasi, dan ideologi tradisi lisan.

Contoh objek kajian tradisi lisan dalam bentuk situs-situs budaya, (di rujuk dari Sibarani, 2014: 248)

TEKS, KO-TEKS, DAN KONTEKS

(STRUKTUR, ELEMEN, DAN KONDISI)

NILAI DAN NORMA (FUNGSI DAN MAKNA)

KEARIFAN LOKAL

TRADISI LISAN SITUS-SITUS

BUDAYA

BENTUK ISI

(37)

Skema diatas dapat dilihat bahwa tradisi lisan situs-situs budaya merupakan judul penulis dan bagian dari tradisi lisan adalah bentuk dan isi.

Bentuk yang dimaksud adalah kondisi situs-situs budaya tersebut. Isi tradisi lisan berupa nilai atau norma, yang dikristalisasi dari makna, maksud, peran, dan fungsi. Nilai atau norma tradisi lisan yang dapat digunakan menata kehidupan sosial disebut dengan kearifan lokal.Contoh skema diatas, Batu siungkap-ungkapon dianalisis, dari data tersebutlah penulis akan mengetahui bagaimana bentuk dan isinya. Bentuknya berupa batu keras dan kondisinya masih tetap sama seperti biasa belum pernah diperbaiki (dicat).

Adapun nilai dan normanya adalah masyarakat setempat percaya bahwa dalam menanam padi, batu tersebut dapat menentukan beras apa yang akan tumbuh apakah beras putih atau beras merah.

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode merupakan jalan yang berkaitan dengan cara kerja dalam mencapai sasaran yang diperlukan bagi penggunanya, sehingga dapat memahami obyek sasaran yang dikehendaki dalam upaya mencapai sasaran atau tujuan pemecahan masalah.

Penelitian adalah penyaluran rasa ingin tahu manusia terhadap sesuatu masalah dengan perlakuan tertentu seperti memeriksa, mengusut, menelaah, dan mempelajari secara cermat, dan sungguh-sungguh sehingga diperoleh sesuatu (seperti mencapai kebenaran, memperoleh jawaban, pengembangan ilmu pengetahuan, dan sebagainya).

Metode penelitian adalah jalan atau tata cara yang ditempuh sehubungan dengan penelitian yang dilakukan dan memiliki langkah- langkah yang sistematis.

3.1 Metode Dasar

Metode Deskriptif adalah metode yang digunakan dalam menganalisis metode deskriptif kualitatif dengan teknik penelitian lapangan. Menurut Sibarani, dkk (2014:25), metode kualitatif berusaha menggali, menemukan, mengungkapakan, dan menjelaskan makna da pola objek peneliti yang diteliti secara holistik. Tujuan metode kualitatif dapat dipahami sebagai makna menjelaskan bagaimana fungsi, nilai, norma, dan kearifan lokal, sedangkan pola dapat dipahami sebagai kaidah, struktur, formula yang pada

(39)

gilirannya dapat menghasilkan model. Penelitian kualitatif ini mengikuti langkah-langkah Miles dan Huberman (Sibarani, 2014: 24-27) yakni:

1. Data Collection (pengumpulan data), yaitu pengumpulan data berupa kata-kata dengan cara wawancara, pengamatan, intisari dokumen, perekaman, dan pencatatan.

2. Data Reduction (reduksi data), yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan “menyisihkan” yang tidak perlu.

3. Data display (penyajian data), yaitu memperlihatkan data, mengklasifikasikan data, menyajikannya dalam bentuk teks yang bersifat naratif atau bagan.

4. Conclusion drawing/verification (penarikan kesimpulan/verifikasi) yaitu penarikan kesimpulan dan verifikasi sehingga dapat merumuskan temuan-temuan peneliti.

3.2. Lokasi dan Sumber Data Penelitian

Lokasi penelitian berada di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Alasan penulis untuk memilih lokasi penelitian ini adalah karena penduduk asli Batak Toba dan merupakan lokasi yang tepat karena daerah tersebut memiliki banyak peninggalan sejarah (situs-situs budaya). Di kecamatan ini penulis dapat memperoleh keterangan bagaimana cara melestarikan warisan leluhur.

Sumber data penelitian ini adalah data lapangan melalui wawancara dengan informan yang tinggal di daerah tersebut dan melalui proses pengambilan gambar.

(40)

3.3 Instrumen Penelitian

Untuk melakukan wawancara dengan informan, penulis menggunakan instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan. Adapun alat bantu yang digunakan yaitu:

1. Alat rekam (tape recorder): penulis sangat membutuhkan alat bantu untuk mengumpulkan data dari informan karena itu penulis memilih untuk menggunakan alat perekam karena daya ingat penulis sangat kurang.

2. Kamera : penulis juga membutuhkan alat bantu ini karena penulis akan mengambil beberapa gambar dari lokasi tersebut sebagai pelengkap data penelitian.

3. Buku tulis dan pulpen: sebelum terjun kelapangan, penulis memerlukan buku tulis dan pulpen untuk mencatat pertanyaan- pertanyaan yang akan penulis ajukan serta mencatat kata-kata informan yang memang penting untuk dicatat.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah sebuah cara penelitian dalam pengkajian data baik dari tinjauan pustaka maupun penelitian lapangan.

Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini adalah:

1. Metode wawancara mendalam dan terbuka

Metode wawancara ini memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada si informan untuk menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan si peneliti. Kemudian hasil wawancara ini direkam dan

(41)

dicatat sehingga tidak ada kata-kata informan yang tertinggal. Sesuai dengan kriteria pendekatan kualitatif, jumlah informan ditentukan berdasarkan kepadanan, kecukupan, dan keakuratan data sehingga jika tidak terdapat lagi informan baru pada informasi tertentu, maka pencarian informasi dari informan dicukupkan sampai disitu.

2. Metode observasi partisipotoris

Observasi yang dimaksud adalah partisipatoris karena seorang peneliti sebaiknya dapat berbaur, berinteraksi, dan berpartisipasi terhadap kegiatan yang diteliti.

Metode ini dilakukan untuk memperoleh keterangan lebih lengkap tentang situs-situs budaya sebagai objek yang diteliti, sehingga didapatkan data situs-situs budaya secara sepenuhnya.

3.5 Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah metode atau cara peneliti dalam mengolah data mentah sehingga menjadi data akurat dan ilmiah. Pada dasarnya dalam menganalisis data diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam manalar sesuatu. Untuk menganalisis data penelitian ini, penulis menggunakan teori tradisi lisan.

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Setelah semua data sudah terkumpul, data akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia karena sebagian besar data sementara masih bahasa daerah.

(42)

2. Setelah data tersebut diterjemahkan, data akan dianalisis dengan teori tradisi lisan.

3. Menganalisis ungkapan-ungkapan tradisional yang terdapat dalam data situs-situs budaya tersebut.

4. Menarik kesimpulan.

(43)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Situs-situs budaya yang terdapat di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbanng Hasundutan

4.1.1 Tombak Situan Habonaran atau Harangan Sulu-sulu

Gambar 4.1 Gambar 4.2

Secara harfiah, Tombak adalah Hutan dan Sulu-sulu adalah Penerang.

Menurut masyarakat Baktiraja Tombak sulu-sulu adalah sebuah hutan yang dapat dijadikan sebagai tempat berlindung dan memandang. Konon katanya ibu dari raja Sisingamangaraja I tinggal disana.

Lokasi wisata yang terletak di Desa Marbun Dolok dengan obyek wisata alam hutan, Goa dan sungai. Jarak dari Doloksanggul sekitar 20 Km menuju kecamatan Baktiraja. Memasuki area goa pengunjung diminta oleh penduduk sekitar untuk menanggalkan alas kaki sebagai penghormatan

(44)

Untuk sarana dan prasarana yang tersedia ada gazebo pada pintu masuk yang berbentuk seperti rumah adat, tempat duduk dan peristirahatan .

4.1.2 Gerbang istana Sisingamangaraja

Gambar 4.3

Secara harfiah gerbang adalah pintu masuk - keluar yang harus dilalui dari suatu tempat dan berbentuk jeruji. Menurut masyarakat Baktiraja Gerbang istana Sisingamangaraja adalah jalan masuknya ke lingkungan istana pada jaman dulu hingga sekarang.Fungsinya adalah untuk menjaga sekitar istana dan makam Sisingamangaraja. Situs ini berada di desa lumban raja keadaan dan bentuknya berupa tembok dan pagar.

(45)

4.1.3 Istana Sisingamangaraja

Gambar 4.4

Secara etimologi Istana adalah sebuah bangunan besar dan mewah yang didiami oleh keluarga kerajaan atau petinggi suatu wilayah.

Menurut masyarakat Baktiraja istana Sisingamangaraja adalah tempat kediaman si raja batak yaitu sisingamangaraja.

Istana Sisingamangaraja merupakan salah satu situs budaya tentang sejarah dari kerajaan batak yang berpusat di desa Lumban Raja Desa Simamora kecamatan Baktiraja, kabupaten Humbanghasundutan. Lokasi istana Sisingamangaraja ini berjarak kurang lebih 150 km dari kota Medan.

Istana ini merupakan markas pemerintahan dari kerajaan batak waktu masa penjajahan di tanah batak. Istana Raja Sisingamangaraja ini adalah istana dari

(46)

sekaligus merupakan salah satukebanggan masyarakat Batak Toba. Menurut kebiasaan masyarakat batak sejak dinasti kerajaan Sisingamangaraja telah mengenal pemilihan dan penebalan nama Sisingmangaraja sebagai raja di wilayah Bakkara melalui rapat bius si onom ompu (Raja Oloan).

Gambar 4.5

Di dalam lokasi istana ini terdapat empat rumah besar dengan corak kaligrafi Batak yaitu rumah Bolon, Sopo Godang, Ruma Parsantian, dan Ruma Tari. Rumah bolon sebagi tempat tinggal raja, Sopo godang sebagi tempat untuk mengadakan rapat atau musyawarah, Ruma parsantian tempat tinggal bagi sanak saudara (dongan tubu) raja, dan Ruma tari sebagai tempat pertunjukan seni budaya masyarakat.

Istana ini telah mengalami perubahan pada tahun 1975 dan diresmikan oleh presiden Republik Indonesia. Perisriwa pemugaran baru kembali dilakukan ketika masih dalam naungan Tapanuli utara.

(47)

4.1.3.1 Makam Raja Sisingamangaraja X dan XI

Gambar 4.6

Secara harfiah Makam adalah kuburan pahlawan. Menurut masyarakat Baktiraja makam Sisingamangaraja adalah tempat peristirahatan raja Sisingamangaraja. Keadaan dan bentuknya, Situs ini berlokasi yang sama dengan Gerbang Sisingamangaraja dan Istana Sisingamangaraja. Situs ini berupa makam yang terbuat dari batu.

Gambar 4.7

(48)

Pada tahun 1975 Sisingamangaraja telah diangkat oleh bius Bakkara sehingga lahirlah dinasti Sisingamangaraja ke XI dan resmi menjadi raja batak.

Setelah peresmian itu sisingamangaraja ke XI menggeser sebuah batu yang ada disekitar istana, ditemukanlah satu tengkorak yang dimana tengkorak tersebut diyakini adalah tengkorak kepala dari sisingamangaraja ke X dan dijadikanlah itu sebagai makam Sisingamangaraja.

4.1.3.2 Batu Si ungkap-ungkapon

Gambar 4.8

Arti Siungkap-ungkapon adalah yang harus dibuka dan ditutup kembali. Batu Siungkap-ungkapon ini berdiameter sekitar 100 cm. Batu yang tampak tersebut atau batu yang kita lihat jika kitaa berkunjung bukanlah batu asli melainkan batu simbol. Menurut nara sumber batu asli siungkap-

(49)

ungkapon terkubur tepat dibawah batu simbol tersebut. Pada jaman dahulu batu siungkap-ungkapon adalah Sejenis batu yang dimiliki oleh serumpun kelompok bius di Kecamatan Baktiraja.Batu ini berada di Lumban raja Bakkara yang dimiliki oleh bius Siraja Oloan, Marbun, Manullang dan seluruh wilayah Bakkara. Sedangkan Bius tipang yang terdiri dari kelompok marga besar yaitu Purba, Simamora, Nababan, Manalu berada di sebelah timur tipang dolok yang berdekatan dengan perkampungan Purba dan Nababan.

4.1.6 Binanga Bibir Aek Si pangolu

Gambar 4.9

Secara harfiah Binanga adalah sungai, bibir adalah mata mulut, dan sipangolu artinya penghidup. Namun menurut masyarakat Baktiraja Binanga bibir aek sipangolu adalah air kehidupan. Aek sipangolu ini berada di desa Simangulampe, Kec, Baktiraja, Kab. Humbang Hasundutan.

(50)

4.1.7 Hariara Tungkot

Gambar 4.10

Hariara adalah nama sebuah pohon. Jenis pohon ini biasanya besar dan daun lebat. Di Baktiraja Hariara tungkot adalah tongkat yang dipakai dan ditancapkan oleh Raja Sisingamangaraja yang kemudian tumbuh menjadi pohon. Batang pohon menjulang tinggi, ranting nya runcing berbentuk mata pedang dan sebagian daunnya terbalik. Situs ini terletak di desa Sinambela dan merupakan peninggalan Raja sisingamangaraja yang masih diperhatikan hingga sekarang. Jarak dari dolok sanggul sekitar 18 km dan sekitar 500 m dari kecamatan Baktiraja.

(51)

4.1.8 Batu Hundul-hundulan

Gambar 4.11

Batu Hundul-hundulan adalah tempat duduk yang terbuat dari batu.

Batu hundul-hundulan diperkirakan memiliki lebar 80-90 cm. Masyarakat Baktiraja mmenamainya batu hundul-hundulan karena batu ini merupakan tempat duduk sisingamangaraja dan dipercaya sebagai tempat tempat peristrahatan Raja Sisingamangaraja.Lokasi ini terletak di Desa Sinambela jarak dari Dolok sanggul sekitar 18 km.

4.1.9 Aek Binanga Janji

Gambar 4.12

(52)

Secara etimologi Aek binanga adalah air sungai. Menurut masyarakat Aek Binanga janji adalah air terjun tempat perjanjian raja sisingamangaraja.

Air terjun binanga janji adalah salah satu peninggalan Sisingamangaraja yang terletak di Desa Marbun.Berupa air terjun dengan ketinggian meter serta dapat juga dijadikan sebagai pemandian dengan kedalaman air sekitar satu meter. Jarak lokasi air terjun dari Kecamatan Baktiraja sekitar 1 Km dan dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda 2 dan 4 dengan kondisi jalan aspal yang baik selebihnya 100 meter dicapai dengan berjalan kaki mengikuti jalan batu dan tepian aliran air terjun. Jarak dari Kota Doloksanggul ± 22 Km.

Belum terdapat sarana dan prasarana di lokasi ini dimana semua masih alami.

4.1.10 Aek Sitio-tio

Gambar 4.13

Aek Sitio-tio artinya Air yang jernih. Aek Sitio-tio adalah salah satu tempat yang sudah ada sejak masa kejayaan Sisingamangaraja yang berupa

(53)

telaga kecil yang bersumber dari mata air abadi yang tidak pernah keruh dan dinaungi oleh pohon besar sejenis beringin. Airnya yang berasal dari mata air ini mengalir langsung ke danau toba. Aek Sitio-tio Berlokasi di Desa Siunong-unong julu.Jarak dari kota Doloksanggul 16 Km dengan waktu pencapaian ke obyek wisata.

4.1.11 Sampuran Sigota-gota

gambar 4. 14

Sampuran artinya air terjun dan sigota-gota merupakan nama air terjun tersebut. Sampuran sigota-gota ini berupa air terjun dan mengalir langsung ke danau toba.Lokasi terletak di Desa Tipang dengan objek wisata berupa air terjun yang dapat dijadikan sebagai pemandian dengan kedalaman air sekitar 1 meter.

Jarak dari Kota Doloksanggul 24 Km.

(54)

4.2 Cerita Situs-situs Budaya yang terdapat di Kecamatan Baktiraja 4.2.1 Tombak Situan Habonaran atau Harangan Sulu-sulu

Tombak sulu-sulusalah satu situs sejarah dari kerajaan sisingamangaraja I yang berada disekitar perkampungan Lumban Raja Bakkara. Tombak sulu-sulu ini diyakini menjadi tempat lahirnya Sisingamangaraja I dari ibunya boru Pasaribu sampai dia berusia kurang lebih 12 tahun. Menurut sejarah, tombak sulu-sulu ini dihuni oleh mahluk halus yang berupa jin, binatang buas yang sangat menyeramkan hal itu dikarenakan jarang dilalui oleh manusia. Tombak sulu-sulu adalah sebuah hutan yang dapat melindungi, memandang, karena dari tombak sulu-sulu ini tampak terlihat seluruh wilayah Baktiraja dan memiliki kesakralan yang sangat kuat.

Di tombak sulu-sulu terdapat beberapa tempat tertentu dimana pada jaman dulu Boru pasaribu (ibu) sisingamangarajalah yang tinggal di tombak sulu- sulu tersebut.

a. Aek paranggiran adalah tempat si boru pasaribu melakukan pembersihan diri (permandian) yang berada dipinggiran tombak sulu-sulu yang dilewati sungai aek silang.

b. Tano jormat adalah tempat si Boru pasaribu mencari kayu bakar daerah daratan pinggiran tombak sulu-sulu.

c. Tombak hatuaan adalah tempat pengambilan air dan tempat sisingamangaraja membersihkan diri ketika sisingamangaraja menemui si raja magamaga, lumban batu.

d. Goa partonunan adalah tempat tinggalnya sisingamangaraja dan ibunya si boru pasaribu, sekaligus tempat si boru pasaribu bertenun untuk pakaian

(55)

mereka sehari-hari. Bentuk goa ini seperti rumah adat batak dengan lubang (pintunya) yang kecil dan rendah tetapi dapat masuk kedalamnya.

Jika hujan datang, dalaman goa itu tidak akan basah.

e. Hau sangkapmadeha adalah pohon pertama yang dipanjat oleh sisingamangaraja dan disinilah ia menunjukkan sikap dan perilaku kesaktiannya.

f. Aek suruk-suruk adalah tempat si boru pasaribu mengambil air untuk diminum dan dipakai untuk kebuthan lainnya termasuk untuk pengorbatan.

g. Hau pongki adalah sejenis pohon pertanda perkampungan hatuaan.

4.2.2 Gerbang Sisingamangaraja

Menurut masyarakat Baktiraja Gerbang istana Sisingamangaraja adalah jalan masuknya ke lingkungan istana pada jaman dulu hingga sekarang.Fungsinya adalah untuk menjaga sekitar istana dan makam Sisingamangaraja. Situs ini berada di desa lumban raja keadaan dan bentuknya berupa tembok dan pagar.

4.2.3 Istana Sisingamangaraja

Menurut masyarakat Baktiraja istana Sisingamangaraja adalah tempat kediaman si raja batak yaitu sisingamangaraja.Istana Raja Sisingamangaraja ini adalah istana dari raja Sisingamangaraja I sampai dengan Raja Sisingamangaraja XII dan sekaligus merupakan salah satukebanggan masyarakat Batak Toba. Menurut kebiasaan masyarakat batak sejak dinasti kerajaan Sisingamangaraja telah mengenal pemilihan dan penebalan nama

(56)

Sisingmangaraja sebagai raja di wilayah Bakkara melalui rapat bius si onom ompu (Raja Oloan). Dinasti kerajaan ini hanya sampai kepada Sisingamangaraja XII, hal ini disebabkan oleh hilangnya piso gaja dompak, yang mana piso gaja dompaklah syarat utama pewarisan tahta kerajaan barang siapa yang bisa mencabut piso gaja dompak sevara resmi dialah yang mendapat gelar Sisingamangaraja sebagai raja Batak. Akibat hilangnya Piso gaja dompak pengangkatan gelar raja pun dihentikan. Menurut pendapat lain

Piso gaja dompak dibawa oleh belanda.

Sistem pemerintahan Raja Sisingamangaraja: Raja Sisingamangaraja adalah raja ni uhum (pimpinan hukum) dan raja ni adat (pemimpin adat). Raja Sisingamangaraja memiliki wewenang untuk mengambil keputusan baik tentang adat maupun tentang hukum dari semua daerah yang dikuasainya (tanah Batak). Keadaan dan bentuknya, situs ini dikelilingi oleh gerbang Sisingamngaraja dan situs ini berupa ruma bolon yang memiliki (gorga) gerga batak.

Istana Sisingamangaraja ini sudah berdiri sebelum terjadinya perang paderi yang dipimpin oleh si Pongki Nangolngolan (Tuanku Rao). Pada masa perang paderi, istana ini dipimpin oleh adalah Raja Sisingamangaraja XII.

Sejak kedatangan Belanda tahun 1883 dalam tujuan memperluas wilayah kekuasaan Belanda di Tanah Batak. Belanda melakukan pengejaran Raja Sisingamangaraja XII yang mengakibatkan kehancuran markas Istana Sisingamangaraja ini. Terjadinya penjajahan Belanda terhadap Raja Sisingamangaraja XII membuat dirinya pergi ke Sionomhudon.

(57)

4.2.4 Makam Raja Sisingamangaraja X dan XI

Raja Sisingamangaraja ke X adalah raja yang dibunuh oleh keponakannya yang bernama Sipongki Nangolngolan, menurut sejarahnya dimakam ini hanya ada dua penggalan dari kepala Sisingamanga raja ke X.

Sipongki Nangolngolan atau tuanku Rao adalah keponakannya yang balas dendam yang mengajak pamannya bertemu di dolok imun Siborongborong dengan alasan rindu kepada pamannya sekaligus untuk meminang putrinya.

Raja Sisingamangaraja menyetujuinya dan mereka bertemu disana, Sipongki Nangolngolan langsung merangkul pamannya itu dan pada saat itulah datang panglima dari sipongki Nangolngolan menebas leher raja Sisingamangaraja ke X maksud pemenggalan kepala tersebut adalah sebuah bukti untuk kerajaan tuanku Rao bahwa Sisingamangaraja telah mati dengan membawa kepala raja Sisingamangaraja ke istana tuanku Rao. Tetapi saat itu juga penggalan kepala dari raja Sisingamangaraja ke X terbang sampai ke istana tepat dipangkuan istrinya yang sedang duduk diatas batu. Kemudian istrinya menyembunyika kepala suaminya tersebut dibalik batu itu yang sekarang menjadi makam dari Sisingamangaraja ke X. Hal ini dilakukan istrinya supanya masyarakat tidak tahu bahwa Sisingamangaraja ke X telah meninggal dan Sipongki Nangolngolan tidak mempunyi bukti ke tanah padang bahwa dia mengalahkan raja Sisingamangaraja keX.

Pada tahun 1975 Sisingamangaraja telah diangkat oleh bius Bakkara sehingga lahirlah dinasti Sisingamangaraja ke XI dan resmi menjadi raja batak. Setelah peresmian itu sisingamangaraja ke XI menggeser sebuah batu yang ada disekitar istana, ditemukanlah satu tengkorak yang dimana

(58)

tengkorak tersebut diyakini adalah tengkorak kepala dari sisingamangaraja ke X dan dijadikanlah itu sebagai makam Sisingamangaraja.

4.2.5 Batu Si ungkap-ungkapaon

Menurut ceritanya apabila dibuka pada masa penanaman padi oleh masyarakat bakkara jika dari batu itu keluar semut putih maka itu petunjuk supaya masyarakat mananam benih padi yang berwarnah putih dan jika yang keluar semut merah maka masyarakat harus menanam benih padi yang merah.Batu Siungkap-ungkapon hanya ada di Tipang dan di Bakti Raja tempat Sisingamangaraja. Akan tetapi batu Siungkap-ungkapon terlebih dahulu ada di Tipang sebelum ada di Bakti Raja. Batu Siungka-ungkapon yang ada di Tipang dan Bakti Raja (Istana Sisingamangaraja ) ada 2 bius karena merekalah yang memulai mengokohkan adat batak yang dasarnya atau awalnya mardingdinghon dolok, namaralamanhon tao, namartaruphon ombun (berdingding bukit, halaman danau, atap awan).

Raja bius tersebut terhitung : 5 di Bakkara

6 di Muara 7 di Tipang 8 di Janji Raja

9 di Sabulan ( Samosir ) 10 di Tamba (Samosir )

Itulah batas partano pinonggol (Tanah Pinonggol) yang bersatu mengerjakan pekerjaan di tempat masing-masing.Jika di katakan marhaboli hauma di tempat ini yang membuka adalah ke tujuh raja bius tersebut .Antara ke tujuh

(59)

raja Bius akan menyuruh assistennya untuk membuat berita antara ketujuh raja bius tersebut memiliki assisten masing-masing.Kedudukan di atas raja bius tak ada lagi selain pemerintah.

Pada zaman dahulu sebelum berdirinya peradatan hukum, si pitu marga berebut mengundang raja,untuk di beri makan.Walaupun rumahnya masih satu tetapi raja tetap di beri makansupaya kampungnya membawa nama menjadi raja.

4.2.6 Binanga Bibir Aek Si pangolu

Pada zaman dahulu Raja Sisingamangaraja yang sedang menunggangi gajah putih dan melintasi perbukitan Simangulampe, saat di tengah perjalanan tiba-tiba gajah yang ditunggangi Raja Sisingamangaraja lemas karena kehausan, melihat kondisi gajah yang kehausan dan melihat jauhnya jarak menuju ke sumber air ataupun Danau toba, Raja Sisingamangaraja merasa kasihan dan kemudian dia meminta kepada Debata Mula jadi Nabolon agar memberikan petunjuk agar Raja Sisingamangaraja dapat memperoleh sumber air kepada gajahnya. Permohonan Raja Sisingamangaraja dikabulkan sehingga Raja sisingamangaraja menancapkan tongkatnya keatas batu yang ada di dekatnya sesuai petunjuk yang dia peroleh, maka keluarlah air dari batu tersebut dan hingga pada saat ini bekas peninggalan tancapan tongkat Raja sisingamngaraja itu menjadi salah satu situs yang terkenal dan dibudidayakan oleh pemerintah Humbang hasundutan.

(60)

4.2.7 Hariara Tungkot

Munculnya aek sipangolu disebut-sebut karena kekuatan tongkat raja Sisingamangaraja. Ketika Raja Sisingamangaraja menancapkan tongkatnya ke sebuah batu untuk mendapatkan air minum. Pohon Hariara/bintatar rantingnya berbentuk pisau bermata dua, daunnya rimbun seperti pohon biasa, namun daun Hariara ini bisa terbalik keatas dan menyerupai mata pisau yang menandakan akan ada musibah yang akan terjadi. Tanda-tanda ini akan muncul dua minggu setelah daun terbalik dan tajam. Ini adalah pertanda buruk yang akan terjadi di seluruh wilayah Baktiraja kejadian yang akan terjadi adalah musim kemarau yang sangat panjang, penyakit tanaman, hewan mati dan lain sebagainya. Dahulu pertanda ini sudah pernah terjadi ketika Sisingamangaraja masih meminpin di Baktiraja dengan ilmu yang di milikinya. Sisingamangaraja dapat mengetahui peristiwa yang akan terjadi dari mata bathinnya. Dia melihat perubahan apa yang akan di tunjukkan oleh daun Hariara tungkot tersebut. dari tempat dia duduk di atas sebuah batu. Dan batu ini masih ada sampai sekarang dan dijaga oleh masyarakat di sekitarnya.

4.2.8 Batu Hundul-hundulan

Pada jaman dulu Batu hundul-hundulan adalah tempat duduk dan tempat istirahat Raja Sisingamangaraja di atas batu ini juga dia melihat perubahan yang akan terjadi pada Hariara tungkot. Dan batu ini masih ada sampai sekarang dan dijaga oleh masyarakat di sekitarnya.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tesis ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi semakin punahnya nyanyian anak- anak pada masyarakat Batak Toba, menganalisis fungsi dan

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Zetty Nurmaya Gultom selaku sahabat yang sangat membantu dalam menyelesaikan skripsi, terimakasih juga kepada Venna, Melva,

Penelitian ini, seperti yang telah disebutkan dalam bab pendahuluan terbatas pada bentuk, makna, dan fungsi yang terkandung dalam tradisi lisan budaya badikia

Adapun tradisi marsirumpa pada masyarakat Batak Toba pada bidang sistem pencaharian, siklus kehidupan dan pekerjaan umum harus didasari dengan kesepakan untuk

Adapun tradisi marsirumpa pada masyarakat Batak Toba pada bidang sistem pencaharian, siklus kehidupan dan pekerjaan umum harus didasari dengan kesepakan untuk melaksanakan

Tradisi ini, dipercaya oleh komunitas adat untuk mengembalikan semangat ke badan (paulak tondi tu badan). Desertasi ini berjudul “Tradisi Lisan Mangupa horja godang Masyarakat

Kedudukan tradisi lisan dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu budaya, Warta ATL, edisi II/Maret , Jakarta: Asosiasi Tradisi

Pendekatan antropologi sejarah peneliti gunakan untuk mengetahui strategi-strategi yang dijalankan masyarakat dahulu untuk mengolah tanaman pangan pokok masyarakat,