• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.5 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1.5.3 Budaya Adat Istiadat Masyarakat

Budaya dan adat masyarakat batak Toba di Kecamatan Baktiraja ini hampir tidak ada perbedaannya dengan masyarakat Batak Toba lainnya.

Karena pada umumnya masyarakat Batak Toba itu memiliki kebiasaan dan budaya adat istiadat yang semuanya sama, hanya saja tempat dan daerahnya berbeda-beda. Suku Batak Toba diikat oleh struktur sosial yang dikenalnya dengan istilah dalihan natoluadat istiadat suku Batak Toba). Dalihan Natolu ini terdiri dari tiga unsur, yaitu:

1) Hula-hula (saudara dari ibu)

2) Dongan tubu (teman semarga, saudara kandung dari Ayah) 3) Boru (saudara perempuan dari Ayah)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kepustakaan yang relevan

Kajian pustaka merupakan paparan atau konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam suatu penelitian. Paparan atau konsep tersebut berasal dari pendapat para ahli, empiris (pengalaman peneliti), dokumentasi, dan nalar penelitian yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Penulisan skripsi ini merujuk ke beberapa buku pendukung yang relevan. Buku-buku yang digunakan skripsi ini adalah “Kearifan Lokal (hakikat, peran, dan metode tradisi lisan),” yang ditulis Robert Sibarani, 2014 dalam buku ini dinyatakan bahwa tradisi tidak sekedar penuturan, melainkan konsep pewarisan sebuah budaya dan bagian dari diri kita sendiri sebagai makhluk sosial menurut (pudentia, 2010) tradisi lisan tidak hanya kelisanan yang membutuhkan tuturan seperti peribahasa, dongeng, legenda, mantra, dan pantun, tetapi juga bagaimana kelisanan itu diwariskan secara epistemologi dan suatu tradisi lisan yang hidup bagi setiap etnik di Indonesia yang berisi nilai dan norma budaya dalam mengatasi dan menjawab persoalan sosial yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini, tradisi lisan menjadi sumber kearifan lokal untuk mengatur tatanan kehidupan secara arif atau bijaksana. Kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif.

Pemanfaatan kearifan lokal sebagai sumber pembentukan karakter bangsa. Kita berharap karakter bangsa ini berasal dari kearifan lokal kita

sendiri sebagai nilai dan norma warisan leluhur bangsa. Dimana kita membutuhkan karakter dalam kearifan lokal yang dapat membangun karakter bangsa untuk memberdayakan kehidupan masyarakat dalam menciptakan kedamaian dan kesejahteraan.

Buku sumber berikutnya yaitu “Ilmu Sosial Budaya dan Dasar”

(Setiadi, 2007)menjelaskan tentang pengertian kebudayaan dan menyatakan bahwa wujud kebudayaan itu adalah sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktifitas manusia yang berpola.

Sumber lain yaitu “Laporan Penelitian Pengabdian Budaya Batak”

(Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah, 2013). Buku ini menjelaskan beberapa situs-situs budaya yang terdapat di Kecamatan Baktiraja seperti, situs Istana Raja Sisingamangaraja serta situs yang ada di kawasan istana sisingamangaraja, kemudian situs Perkampungan Tombak Sulu-sulu serta situs-situs sekitarnya, dan situs Binanga Bibir Aek Sipangolu dan situs-situs sekitarnya.

Desa Tipang “Laporan Kegiatan Penelitian Pengabdian Budaya Batak” (Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah, 2013). Buku ini juga menjelaskan beberapa situs-situs yang terdapat di Kecamatan Baktiraja tepatnya di Desa Tipang. Situs-situs yang terdapat di Desa Tipang yaitu, silsilah marga manalu serta situs-situs sejarahnya dan yang bersangkut paut dengan situs batu manalu, kemudian ada situs makam batu Debataraja Simamora dan sejarahnya, batu makam Ompu Tuan Dihorbo Purba, makam batu Ompu Raja Doni Nababan, batu pauseang atau batu siungkap-ungkapon, batu maranak, batu partungkoan ni Lali.

2.1.1 Pengertian Tradisi Lisan

Menurut etimologi Tradisi adalah suatu kata yang mengacuh pada adat atau kebiasaan yang turun temurun, atau peraturan yang dijalankan masyarakat. Tradisi merupakan sinonim kata “budaya” di mana kedua hal tersebut adalah hasil karya masyarakat yang dapat membawa pengaruh pada masyarakat karena kedua kata tersebut dapat dikatakan makna dari hukum tidak tertulis dan ini menjadi patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar adanya. Tradisi budaya berusaha menggali, menjelaskan, dan menginterpretasi secara ilmiah warisan-warisan budaya leluhur pada masa lalu, menginterpretasikannya untuk implementasi pada pembentukan karakter generasi masa kini demi mempersiapkan kehidupan yang damai dan sejahterah untuk generasi masa mendatang. Kata tradisi berasal dari bahasa latin traditio (diteruskan) atau kebiasaan yang telah dilakukan dengan cukup lama dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dari suatu negara, kebudayaan, waktu, dan agama yang sama.

Hal yang paling menonjol dari tradisi adalah adanya informasi yang disampaikan oleh leluhur dan diteruskan dari generasi ke generasi baik secara tertulis maupun lisan, karena jika tanpa adanya hal ini maka suatau tradisi dapat punah. Pengertian lain, tadisi adalah kebudayaan masa lau yang memiliki proses berkelanjutan (continuity) hingga sekarang dan kemungkinan higga masa mendatang. Proses berkelanjutan yang dimaksud merupakan rangkaian transmisi budaya yang disampikan secara lisan.

Tradisi lisan merupakan kebudayaan masyarakat yang diwariskan oleh

Tradisi lisan diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan” atau “sistem wacana yang bukan aksara”, yang mengungkapkan kegiatan kebudayaan suatu komunitas. Hal tersebut muncul atas pendapat Sweeeney (1998:2-5) dalam buku Sibarani (2014) yang menegaskan bahwa pengertian kelisanan harus dikaitkan dalam konteks interaksinya dengan tradisi tulisan. Dalam kaitan ini perlu terlebih dahulu diutarakan kekaburan pemakaian istilah

“oral” dan istilah “orality”. Istilah yang pertama berkaitan dengan suara.

Implikasi kata lisan dalam lisan tertulis dan dalam lisan beraksara berbeda.

Sweeney mengusulkan sitilah “oracy” (orasi) untuk mencakup pengertian lisan pada istilah orality. Konsep kelisanan yang dipakai di sini lebih tepat digunakan dalam konteks sistem pengolahan bahan yang tidak mengandalkan huruf. Dengan pembatasan seperti itu, pembicaraan kelisanan ini lebih mencakup tradisi lisan dan tidak mengkhususkan diri pada sejarah lisan.

Menurut pudentia dalam buku Sibarani (2014) menyatakan tradisi lisan tidak sekedar penuturan, melainkan konsep pewarisan sebuah budaya dan bagian diri kita sendiri sebagai makhluk sosial dan merupakan cakupan segala hal yang berhubungan dengan sastra, budaya, sejarah, biografi dan berbagai pengetahuan lain yang disampaikan dari mulut ke mulut.

Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa tradisi lisan tidak hanya kelisanan yang membutuhkan tuturan seperti peribahasa, dongeng, legenda, mantra, dan pantun tetapi juga berkaitan dengan sistem kognitif pada kebudayaan, seperti sejarah hukum dan pengobatan.Namun, masa sekarang tradisi lisan tersebut sudah tidak persis adanya dengan yang dulu karena pengaruh

zaman moderndan penyesuaian dengan konteks zaman yang kita lakuakan sekarang, akan tetapi nilai dan normanya dapat diterapkan pada masa sekarang. Seperti yang sudah diketahiu sebelumnya, tradisi lisan merupakan kegiatan masa lalu yang berkaitan dengan masa kini dan perlu diwariskan pada masa mendatang untuk mempersiapkan generasi mendatang.

2.1.2 Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan lokal (lokal wisdom) terdiri atas dua kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Kata “kearifan” (wisdom) yang artinya

‘kebijaksanaan’, sedangkan kata “lokal” berarti ‘setempat’. Dengan demikian, kearifan lokal (local wisdom) dapat diartikan sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya.

Kearifan lokal diperoleh dari tradisi budaya atau tradisi lisan karena kearifan lokal merupakan kandungan tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun-temurun diwarisi dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya atau untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas.

Sibarani (2014) menyatakan bahwa kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat.

Menurut Balitbangsos Depsos RI (Sibarani 2014: 115), kearifan lokal merupakan kematangan masyarakat di tingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat yang

kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan yang lebih baik atau positif.

Menurut Sibarani (2014: 129) menyatakan, kearifan lokal merupakan milik manusia yang bersumber dari nilai budayanya sendiri dengan menggunakan akal budi, pikiran, hati, dan pengetahuannya untuk bertindak dan bersikap terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Kearifan lokal pada hakikatnya sudah sangat lama merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan hingga saat ini masih dimanfaatkan terutama oleh komunitas pedesaan.

Sibarani (2014: 130) Kearifan lokal sebagai nilai dan norma budaya warisan leluhur telah mengalami sejarah panjang yang mengalami transformasi sesuai dengan perkembangan kemajuan bangsa

2.1.3 Pengertian Situs-situs budaya

Situs-situs adalah suatu peninggalan jaman sejarah yang terdapat disuatu tempat dan berupa benda seperti batu, patung, candi dan lain-lain.

Situs Budaya adalah lokasi yang berada di darat yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.

Dalam bahasa inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa belanda diistilahkan dengan kata cultuur, dalam bhasa latin, berasal dari kata colerayang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah. Dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.

Situs-situs budaya merupakan peninggalan-peninggalan bersejarah bagi masyarakat yang memiliki hubungan dan manfaat bagi mayarakat setempat. Situs-situs tersebut harus direvitalisasi agar tetap terjaga dan manfaatnya sangat besar bagi masyarakat setempat.

Situs-situs budaya berkaitan dengan Kearifan lokal karena kearifan lokal diperoleh dari tradisi budaya dan merupakan kandungan tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun-temurun diwarisi dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas.

Menurut E.B. Tylor (Setiadi 2007:27), budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Menurut R. Linton (Setiadi 2007:27), kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya

Menurut Koentjaraningrat (Setiadi 2007:28), mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar.

Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (Setiadi 2007:28), mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Menurut Herkovits (Setiadi 2007:28), kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.

Dengan demikian, kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun on-material.

Koentjaraningrat (Setiadi 2007:29) mengemukakan bahwa kebudayaan itu dibagi atau digolongkan dalam tiga wujud, yaitu:

1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. Wujud yang dimaksud menunjukkan wujud dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tidak dapat diraba, dipegang, ataupun difoto, dan tempatnya ada dipikiran masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ini menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manuasia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservaasi, difoto, dan didokumentasi.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil, karya manusia. Wujud ini disebut kebudayaan fisik. Di mana wujud budaya ini hampir seluruhnya merupakan hasil fisik ( aktifitas perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat). Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.

Contoh nya situs budaya peninggalan zaman dulu yang masih ada sampai sekarang.

Menurut Sibarani (2014:95) Kebudayaan adalah keseluruhan kebiasaan kelompok masyarakat yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan, dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan hidupnya.

Situs-situs budaya adalah tempat-tempat peninggalan yang memiliki nilai budaya dan merupakan hasil peradaban manusia yang dianggap punya nilai bagi masyarakat.

Arti lain dari situs-situs budaya adalah peninggalan nenek moyang yang dapat dilihat secara nyata dan merupakan bentuk kebudayaan dari nenek moyang dahulu.

2.2 Teori yang Digunakan

Berdasarkan judul penelitian ini, teori yang digunakan penulis untuk mendeskripsikan judul “Kajian Tradisi Lisan Terhadap Situs-situs Budaya Di Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan”, menggunakan teori tradisi lisan. Berikut penjelasan teori tersebut.

Teori Tradisi Lisan

Tradisi lisan adalah salah satu kebiasaan masyarakat dalam menyampaikan sejarah melalui tutur lisan dari generasi ke generasi. Tradisi bukan hanya “tradisi yang lisan”, melainkan semua tradisi budaya yang diwariskan turun-temurun pada satu generasi ke generasi lain “dari mulut ke telinga” dengan menggunakan media lisan. Dalam hal inilah tradisi lisan sering disebut sebagai tradisi budaya (Sibarani, 2014:15).

Setiap tradisi lisan memiliki bentuk dan isi bentuk tersebut terbagi atas:

a. Teks, merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang tersusun ketat seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan nonverbal seperti teks pengantar sebuah performansi

b. Ko-teks, merupakan keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik, proksemik, kinetik, dan unsur material lainnya, yang terdapat dalam tradisi lisan.

c. Konteks, merupakan kondisi yang berkenaan dengan budaya, sosial, situasi, dan ideologi tradisi lisan.

Contoh objek kajian tradisi lisan dalam bentuk situs-situs budaya, (di rujuk dari Sibarani, 2014: 248)

TEKS, KO-TEKS, DAN KONTEKS

(STRUKTUR, ELEMEN, DAN KONDISI)

NILAI DAN NORMA (FUNGSI DAN MAKNA)

KEARIFAN LOKAL

TRADISI LISAN SITUS-SITUS

BUDAYA

BENTUK ISI

Skema diatas dapat dilihat bahwa tradisi lisan situs-situs budaya merupakan judul penulis dan bagian dari tradisi lisan adalah bentuk dan isi.

Bentuk yang dimaksud adalah kondisi situs-situs budaya tersebut. Isi tradisi lisan berupa nilai atau norma, yang dikristalisasi dari makna, maksud, peran, dan fungsi. Nilai atau norma tradisi lisan yang dapat digunakan menata kehidupan sosial disebut dengan kearifan lokal.Contoh skema diatas, Batu siungkap-ungkapon dianalisis, dari data tersebutlah penulis akan mengetahui bagaimana bentuk dan isinya. Bentuknya berupa batu keras dan kondisinya masih tetap sama seperti biasa belum pernah diperbaiki (dicat).

Adapun nilai dan normanya adalah masyarakat setempat percaya bahwa dalam menanam padi, batu tersebut dapat menentukan beras apa yang akan tumbuh apakah beras putih atau beras merah.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode merupakan jalan yang berkaitan dengan cara kerja dalam mencapai sasaran yang diperlukan bagi penggunanya, sehingga dapat memahami obyek sasaran yang dikehendaki dalam upaya mencapai sasaran atau tujuan pemecahan masalah.

Penelitian adalah penyaluran rasa ingin tahu manusia terhadap sesuatu masalah dengan perlakuan tertentu seperti memeriksa, mengusut, menelaah, dan mempelajari secara cermat, dan sungguh-sungguh sehingga diperoleh sesuatu (seperti mencapai kebenaran, memperoleh jawaban, pengembangan ilmu pengetahuan, dan sebagainya).

Metode penelitian adalah jalan atau tata cara yang ditempuh sehubungan dengan penelitian yang dilakukan dan memiliki langkah-langkah yang sistematis.

3.1 Metode Dasar

Metode Deskriptif adalah metode yang digunakan dalam menganalisis metode deskriptif kualitatif dengan teknik penelitian lapangan. Menurut Sibarani, dkk (2014:25), metode kualitatif berusaha menggali, menemukan, mengungkapakan, dan menjelaskan makna da pola objek peneliti yang diteliti secara holistik. Tujuan metode kualitatif dapat dipahami sebagai makna menjelaskan bagaimana fungsi, nilai, norma, dan kearifan lokal, sedangkan pola dapat dipahami sebagai kaidah, struktur, formula yang pada

gilirannya dapat menghasilkan model. Penelitian kualitatif ini mengikuti langkah-langkah Miles dan Huberman (Sibarani, 2014: 24-27) yakni:

1. Data Collection (pengumpulan data), yaitu pengumpulan data berupa kata-kata dengan cara wawancara, pengamatan, intisari dokumen, perekaman, dan pencatatan.

2. Data Reduction (reduksi data), yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan “menyisihkan” yang tidak perlu.

3. Data display (penyajian data), yaitu memperlihatkan data, mengklasifikasikan data, menyajikannya dalam bentuk teks yang bersifat naratif atau bagan.

4. Conclusion drawing/verification (penarikan kesimpulan/verifikasi) yaitu penarikan kesimpulan dan verifikasi sehingga dapat merumuskan temuan-temuan peneliti.

3.2. Lokasi dan Sumber Data Penelitian

Lokasi penelitian berada di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Alasan penulis untuk memilih lokasi penelitian ini adalah karena penduduk asli Batak Toba dan merupakan lokasi yang tepat karena daerah tersebut memiliki banyak peninggalan sejarah (situs-situs budaya). Di kecamatan ini penulis dapat memperoleh keterangan bagaimana cara melestarikan warisan leluhur.

Sumber data penelitian ini adalah data lapangan melalui wawancara dengan informan yang tinggal di daerah tersebut dan melalui proses pengambilan gambar.

3.3 Instrumen Penelitian

Untuk melakukan wawancara dengan informan, penulis menggunakan instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan. Adapun alat bantu yang digunakan yaitu:

1. Alat rekam (tape recorder): penulis sangat membutuhkan alat bantu untuk mengumpulkan data dari informan karena itu penulis memilih untuk menggunakan alat perekam karena daya ingat penulis sangat kurang.

2. Kamera : penulis juga membutuhkan alat bantu ini karena penulis akan mengambil beberapa gambar dari lokasi tersebut sebagai pelengkap data penelitian.

3. Buku tulis dan pulpen: sebelum terjun kelapangan, penulis memerlukan buku tulis dan pulpen untuk mencatat pertanyaan-pertanyaan yang akan penulis ajukan serta mencatat kata-kata informan yang memang penting untuk dicatat.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah sebuah cara penelitian dalam pengkajian data baik dari tinjauan pustaka maupun penelitian lapangan.

Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini adalah:

1. Metode wawancara mendalam dan terbuka

Metode wawancara ini memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada si informan untuk menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan si peneliti. Kemudian hasil wawancara ini direkam dan

dicatat sehingga tidak ada kata-kata informan yang tertinggal. Sesuai dengan kriteria pendekatan kualitatif, jumlah informan ditentukan berdasarkan kepadanan, kecukupan, dan keakuratan data sehingga jika tidak terdapat lagi informan baru pada informasi tertentu, maka pencarian informasi dari informan dicukupkan sampai disitu.

2. Metode observasi partisipotoris

Observasi yang dimaksud adalah partisipatoris karena seorang peneliti sebaiknya dapat berbaur, berinteraksi, dan berpartisipasi terhadap kegiatan yang diteliti.

Metode ini dilakukan untuk memperoleh keterangan lebih lengkap tentang situs-situs budaya sebagai objek yang diteliti, sehingga didapatkan data situs-situs budaya secara sepenuhnya.

3.5 Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah metode atau cara peneliti dalam mengolah data mentah sehingga menjadi data akurat dan ilmiah. Pada dasarnya dalam menganalisis data diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam manalar sesuatu. Untuk menganalisis data penelitian ini, penulis menggunakan teori tradisi lisan.

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Setelah semua data sudah terkumpul, data akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia karena sebagian besar data sementara masih bahasa daerah.

2. Setelah data tersebut diterjemahkan, data akan dianalisis dengan teori tradisi lisan.

3. Menganalisis ungkapan-ungkapan tradisional yang terdapat dalam data situs-situs budaya tersebut.

4. Menarik kesimpulan.

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Situs-situs budaya yang terdapat di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbanng Hasundutan

4.1.1 Tombak Situan Habonaran atau Harangan Sulu-sulu

Gambar 4.1 Gambar 4.2

Secara harfiah, Tombak adalah Hutan dan Sulu-sulu adalah Penerang.

Menurut masyarakat Baktiraja Tombak sulu-sulu adalah sebuah hutan yang dapat dijadikan sebagai tempat berlindung dan memandang. Konon katanya ibu dari raja Sisingamangaraja I tinggal disana.

Lokasi wisata yang terletak di Desa Marbun Dolok dengan obyek wisata alam hutan, Goa dan sungai. Jarak dari Doloksanggul sekitar 20 Km menuju kecamatan Baktiraja. Memasuki area goa pengunjung diminta oleh penduduk sekitar untuk menanggalkan alas kaki sebagai penghormatan

Untuk sarana dan prasarana yang tersedia ada gazebo pada pintu masuk yang berbentuk seperti rumah adat, tempat duduk dan peristirahatan .

4.1.2 Gerbang istana Sisingamangaraja

Gambar 4.3

Secara harfiah gerbang adalah pintu masuk - keluar yang harus dilalui dari suatu tempat dan berbentuk jeruji. Menurut masyarakat Baktiraja Gerbang istana Sisingamangaraja adalah jalan masuknya ke lingkungan istana pada jaman dulu hingga sekarang.Fungsinya adalah untuk menjaga sekitar istana dan makam Sisingamangaraja. Situs ini berada di desa lumban raja keadaan dan bentuknya berupa tembok dan pagar.

4.1.3 Istana Sisingamangaraja

Gambar 4.4

Secara etimologi Istana adalah sebuah bangunan besar dan mewah yang didiami oleh keluarga kerajaan atau petinggi suatu wilayah.

Menurut masyarakat Baktiraja istana Sisingamangaraja adalah tempat kediaman si raja batak yaitu sisingamangaraja.

Istana Sisingamangaraja merupakan salah satu situs budaya tentang sejarah dari kerajaan batak yang berpusat di desa Lumban Raja Desa Simamora kecamatan Baktiraja, kabupaten Humbanghasundutan. Lokasi istana Sisingamangaraja ini berjarak kurang lebih 150 km dari kota Medan.

Istana ini merupakan markas pemerintahan dari kerajaan batak waktu masa penjajahan di tanah batak. Istana Raja Sisingamangaraja ini adalah istana dari

sekaligus merupakan salah satukebanggan masyarakat Batak Toba. Menurut kebiasaan masyarakat batak sejak dinasti kerajaan Sisingamangaraja telah mengenal pemilihan dan penebalan nama Sisingmangaraja sebagai raja di wilayah Bakkara melalui rapat bius si onom ompu (Raja Oloan).

Gambar 4.5

Di dalam lokasi istana ini terdapat empat rumah besar dengan corak kaligrafi Batak yaitu rumah Bolon, Sopo Godang, Ruma Parsantian, dan Ruma Tari. Rumah bolon sebagi tempat tinggal raja, Sopo godang sebagi tempat untuk mengadakan rapat atau musyawarah, Ruma parsantian tempat tinggal bagi sanak saudara (dongan tubu) raja, dan Ruma tari sebagai tempat pertunjukan seni budaya masyarakat.

Istana ini telah mengalami perubahan pada tahun 1975 dan diresmikan oleh

Istana ini telah mengalami perubahan pada tahun 1975 dan diresmikan oleh