BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Teoritis
2.1.1 Pemasaran Relasional (Relationship Marketing)
2.1.1.1 Pengertian Pemasaran Relasional
Menurut Chan (2003:6), pemasaran relasional merupakan pengenalan pada setiap pelanggan secara lebih dekat dengan menciptakan komunikasi dua arah yang dengan mengelola suatu hubungan yang saling menguntungkan antara pelanggan dan perusahaan.
Menurut Kotler (2008:15), Manajemen Hubungan Pelanggan (Customer Relationship Management) adalah keseluruhan proses membangun dan
memelihara hubungan pelanggan yang menguntungkan dengan menghantarkan nilai dan kepuasan pelanggan yang unggul. Proses ini berhubungan dengan semua aspek untuk meraih, mempertahankan, dan menumbuhkan pelanggan.
Menurut Chan (2003:13), era relationship marketing yakni: 1. Era Sebelum Relationship Marketing
yang baik. Suatu perusahaan dikatakan baik bila pelanggan bersedia melakukan pembelian pertama dari perusahaan itu, dan setelah pembelian pertama, ia punya keinginan untuk melaukan pembelian berikutnya berulang-ulang.
2. Era Sesudah Relationship Marketing
Perkembangan yang terjadi belakangan ini memberikan kesadaran dibenak para pemasar bahwa loyaliats pelanggan tidak bisa diperoleh hanya dengan mengandalkan value dan brand. Loyalitas pelanggan harus dibangun dengan usaha keras dalam bentuk personalisasi, customize marketing program, atau disebut juga one to one marketing.
Menurut Peppers (2004:23), pembelajaran relationships bisa juga didasarkan dari sebuah kepercayaan yang melekat antara seorang pelanggan dan sebuah perusahaan.
2.1.1.2Karakteristik Relationship
Menurut Peppers (2004:35-37), karakteristik hubungan antara perusahaan dan pelanggan adalah:
1. Sebuah hubungan (relationship) termasuk kebersamaan. Ini berarti bahwa relationship keduanya yaitu antara perusahaan dan pelanggan harus
melekat dalam sifatnya. Ini mungkin kelihatannya seperti pikiran sehat. 2. Sebuah hubungan (relationship) digerakkan oleh interaksi. Ketika kedua
3. Peranan ini mengarah ke karakteristik ketiga dari sebuah hubungan (relationship) : ini pada dasarnya berulang-ulang. Maksudnya, sejak kedua
belah pihak sedang berinteraksi satu sama lain, interaksi mereka membangun cerita , akhirnya – membangun sebuah keadaan.
4. Karakteristik lain dari sebuah hubungan (relationship) pelanggan adalah bahwa ini akan mendorong keuntungan yang terus-menerus dari kedua belah pihak.
5. Hubungan (relationship) juga membutuhkan perubahan perilaku dari kedua belah pihak – perusahaan sama baiknya seperti pelanggan – dan terus berlanjut.
6. Karakteristik lainnya dari sebuah hubungan (relationship), ternyata mungkin ini tidak tampak seperti sebutan yang berharga, adalah keunikan. Setiap hubungan (relationship) adalah berbeda. Hubungan (relationship) didasari dengan individu, bukan dengan populasi.
(relationship). Itu merupakan unsur-unsur yang lebih emosional dari sebuah hubungan (relationship) ; tetapi untuk sebuah perusahaan untuk mengakui dan menggunakan unsur-unsur yang menguntungkan , itu harus mampu mencocokkan budaya dan perilaku sendiri dengan kebutuhan dalam membangkitkan dan mempertahankan kepercayaan dari pelanggan.
2.1.2 Pemasaran Rasional (Rational Marketing)
Pemasaran Rasional (Rational Marketing) merupakan strategi pemasaran yang dirancang berdasarkan motivasi konsumen dalam memilih produk karena alasan rasional (Kartajaya, 2004:12).
Biasanya seseorang membeli berdasarkan pertimbangan logika atau rasionya. Setelah secara rasional orang mau, tertarik dan membeli produk atau jasa yang ditawarkan. Pada level rational ditandai dengan penggunaan tool-tool marketing yang cerdas, seperti marketing mix, branding, positioning dan
sebagainya.
Suatu perusahaan dikatakan menggunakan pemasaran rasional apabila : 1. Perusahaan mampu menghasilkan produk yang memberikan kegunaan
optimal bagi konsumen
2. Produk tersebut benar-benar dibutuhkan konsumen 3. Mutu produk terjamin
4. Harga terjangkau dan sesuai dengan kemampuan konsumen
Rini (2009:3) perusahaan berusaha untuk menantang konsumen, dengan cara memberikan problem-solving experiences, dan mendorong pelanggan untuk berinteraksi secara kognitif dan/atau secara kreatif dengan perusahaan atau produk. Iklan pikiran biasanya lebih bersifat tradisional, menggunakan lebih banyak informasi tekstual, dan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawabkan. Menurut Schmitt cara yang baik untuk membuat think campaign berhasil adalah (1) menciptakan sebuah kejutan yang dihadirkan baik dalam bentuk visual, verbal ataupun konseptual, (2) berusaha untuk memikat pelanggan dan (3) memberikan sedikit provokasi.
1. Kejutan (Surprise)
2. Memikat (Intrigue)
Jika kejutan berangkat dari sebuah harapan, Intrigue campaign mencoba membangkitkan rasa ingin tahu pelanggan, apa saja yang memikat pelanggan. Namun, daya pikat ini tergantung dari acuan yang dimiliki oleh setiap pelanggan. Terkadang apa yang dapat memikat seseorang dapat menjadi sesuatu yang membosankan bagi orang lain, tergantung pada tingkat pengetahuan, kesukaan, dan pengalaman pelanggan tersebut.
3. Provokasi (Provocation)
Provokasi dapat menimbulkan sebuah diskusi, atau menciptakan sebuah perdebatan. Provokasi dapat beresiko jika dilakukan secara tidak baik dan agresif.
2.1.3 Pemasaran Emosional
Emosional adalah pembelian yang berkaitan dengan perasaan atau emosi seseorang dan bersifat subjektif seperti pengungkapan rasa cinta, kebanggaan, dan sebagainya. Pembelian yang didasari motivasi emosional terjadi pada saat proses penyeleksian barang dan jasa, didasari oleh alasan yang subjektif dan pribadi, seperti misalnya kebanggaan, ketakutan, afeksi atau status. Pemasaran emosional merupakan strategi pemasaran yang dirancang berdasarkan keinginan membeli konsumen untuk dapat mengekspresikan emosi dan perasaannya (Kartajaya, 2004:14).
menyangkut keindahan, tetapi suasana hati dan emosi jiwa yang mampu membangkitkan kebahagiaan atau bahkan kesedihan (Andreani, 2007:2).
Menurut Schmitt dalam Rini (2009:3) menyatakan bahwa perasaan berhubungan dengan perasaan yang paling dalam dan emosi pelanggan. Iklan yang bersifat feel good biasanya digunakan untuk membuat hubungan dengan pelanggan, menghubungkan pengalaman emosional mereka dengan produk atau jasa, dan menantang pelanggan untuk bereaksi terhadap pesan feel campaign sering digunakan untuk membangun emosi pelanggan secara perlahan. Ketika pelanggan merasa senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, pelanggan akan menyukai produk dan perusahaan. Sebaliknya, ketika pelanggan merasa tidak senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, maka konsumen akan meninggalkan produk tersebut dan beralih kepada produk lain. Jika sebuah strategi pemasaran dapat mencipktakan perasaan yang baik secara konsisten bagi pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan loyalitas merek yang kuat dan bertahan lama.
Menurut Schmitt dalam Rini (2009:3), yakni Affective experience adalah tingkat pengalaman yang merupakan perasaan yang bervariasi dalam intensitas, mulai dari perasaan yang positif atau pernyataan mood yang negatif sampai emosi yang kuat. Jika pemasar bermaksud untuk menggunakan affective experience sebagai bagian dari strategi pemasaran, maka ada dua hal yang harus diperhatikan dan dipahami, yaitu:
spesifik. Suasana hati merupakan keadaan afektif yang positif atau negatif. Suasana hati seringkali mempunyai dampak yang kuat terhadap apa yang diingat konsumen dan merek apa yang mereka pilih.
2. Emosi (emotion), lebih kuat dibandingkan suasana hati dan merupakan pernyataan afektif dari stimulus yang spesifik, misalnya marah, iri hati, dan cinta. Emosi-emosi tersebut selalu disebabkan oleh sesuatu atau seseorang (orang, peristiwa, perusahaan, produk, atau komunikasi).
Menurut Berndt Schmitt dalam Kartajaya (2006:10) bahwa di era ini sangatlah penting menyentuh panca indra pelanggan. Untuk itu, pemasar haruslah dapat mengidentifikasi bagaimana produk atau servis mereka dapat menyentuh emosi pelanggan.
2.1.4 Pemasaran Spiritual
Pemasaran spiritual (spiritual marketing) merupakan strategi pemasaran yang dirancang berdasarkan etika dan kejujuran (Mussry, dkk., 2007:18).
Prinsip-prinsip spiritual marketing yakni:
1. Pelanggan harus dicintai perusahaan karena hanya dangan mencintai pelanggan sebuah perusahaan akan bertahan hidup. Sedangkan pesaing harus dipandang sebagai mitra untuk berkembang sehingga harus dapat dihormati.
3. Prinsip yang menekankan perusahaan tidak perlu berambisi memenuhi kebutuhan dan keinginan semua orang tapi harus dapat melayani segmen pasar yang benar membutuhkannya.
Perkembangan pemasaran spiritual sendiri mampu mengembalikan nilai-nilai agama ditengah-tengah kehidupan perekonomian masyarakat kita. Dalam berbisnis telah muncul kesadaran akan pentingnya etika, kejujuran, dan prinsip-prinsip agama lainnya. Perusahaan-perusahaan yang telah menjalankan bisnis dengan menerapkan pemasaran spiritual telah memberikan contoh kepada kita, tentang cara-cara berbisnis yang berpegang teguh pada kebenaran, kejujuran, sikap amanah, serta tetap memperoleh keuntungan. Nilai-nilai inilah yang menjadi landasan atau hukum dalam melakukan suatu bisnis. Oleh karenanya, kita bisa mencontoh perusahaan-perusahaan seperti itu dengan mengutamakan nilai-nilai spiritual. Dalam melakukan pemasaran dan bisnis dipenuhi oleh nilai-nilai ibadah. Dan menjadikan Allah sebagai persinggahan terakhir dari spirit aktifitas ekonomi yang kita lakukan. Kita bekerja dan berbisnis hanyalah untuk Allah, maka segala sesuatunya kita pertanggungjawabkan kepada-Nya.
dapat dijadikan pedoman bagi pengikutnya dalam menjalankan aktivitas ekonominya.
Pada prinsipnya, spiritual marketing merupakan bagian dari etika marketing yang dapat memberikan panduan bagi marketer dalam menjalankan kegiatan pemasarannya sehingga sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh perusahaan. Tujuan dari kegiatan pemasaran diharapkan mengarah pada pemerolehan keuntungan yang besar bagi perusahaan. Oleh karena itu, secara internal, perusahaan sudah mempunyai rambu-rambu tersendiri dalam melaksanakan kegiatan pemasaran.
Pendekatan spiritual dalam membangun brand, misalnya, diyakini tidak hanya sanggup mendongkrak profit, lebih dari itu mampu menebarkan value yang menjamin kelanggengan merek. Bahkan sanggup membentuk diferensiasi yang tak tertandingi. Lalu dimana sesungguhnya efek luar biasanya? Bahwa pemasaran tidak hanya dalam pengertian the meaning of marketing, melainkan juga dalam pengertian marketing of the meaning. Yang berarti adanya tuntutan agar dunia pemasaran menunjukkan nilainya. Bahwasanya pemasaran tidak hanya produk dan manfaat fungsional ataupun emosional, melainkan mesti pula menonjolkan manfaat spiritual.
2.1.5 Kepercayaan (Trust)
2.1.5.1 Pengertian Kepercayaan
kepentingan terbaik dan akan menghasilkan hasil yang positif bagi pihak yang dipercaya. Terbukti dengan banyaknya literatur tentang pentingnya kepercayaan (trust) dalam pembentukan hubungan, kehadiran kepercayaan (trust) adalah pusat
hubungan (relationship) yang sukses. Manfaat hubungan berdasarkan kepercayaan yang signifikan dan dijelaskan sebagai berikut :
1. Kerjasama (cooperation): Kepercayaan (trust) bertindak untuk mengurangi perasaan ketidakpastian dan risiko, sehingga bertindak untuk menimbulkan kerjasama peningkatan antara hubungan anggota.
2. Komitmen (commitment): juga sebuah blok membangun hubungan, komitmen memerlukan kerentanan, maka akan terbentuk hanya dengan pihak dapat dipercaya.
3. Durasi hubungan (relationship duration) : kepercayaan (trust) mendorong hubungan anggota ini bekerja untuk melestarikan hubungan dan untuk menahan godaan dalam mengambil keuntungan jangka pendek dan / atau bertindak oportunis.
4. Kualitas (quality): mempercayai pihak lebih cenderung untuk menerima dan menggunakan informasi dari mitra terpercaya, dan pada gilirannya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari informasi.
Menurut Hawkins dalam Ferrinadewi (2008:94) sikap adalah proses pengorganisasian motivasi, emosi, persepsi dan kognitif yang bersifat jangka panjang dan berkaitan dengan aspek lingkungan disekitarnya.
Sebagian konsumen cenderung memiliki keyakinan bahwa mereka akan berhadapan dengan situasi yang sama dimasa yang akan datang. Sikap menjadi wujud dari antisipasi mereka ketika mereka harus berada dalam situasi tersebut.
Menurut Ferrinadewi (2008:96-98) sikap memiliki beberapa komponen yaitu kognitif, afektif dan konatif.
1. Komponen kognitif
Dalam komponen kognitif terdiri dari keyakinan dan pengetahuan konsumen tentang produk. Keyakinan dan pengetahuan tentang produk ini berbeda antara satu konsumen dengan konsumen yang lain.Semakin positif keyakinan konsumen terhadap produk maka semakin positif pula sikap konsumen terhadap produk.
2. Komponen afektif
Komponen afektif merupakan perasaan atau emosi kita terhadap objek tertentu. Biasanya diungkapkan dalam bentuk rasa suka atau tidak suka. Umumnya keyakinan konsumen akan suatu produk melekat erat dengan perasaannya.
3. Komponen konatif
Menurut Luarn dan Lin dalam Ferrinadewi (2008:147) kepercayaan adalah sejumlah keyakinan spesifik terhadap integritas (kejujuran pihak yang dipercaya dan kemampuan menepati janji), benevolence (perhatian dan motivasi yang dipercaya untuk bertindak sesuai dengan kepentingan yang mempercayai mereka), Competency (kemampuan pihak yang dipercaya untuk melaksanakan kebutuhan
yang mempercayai) dan predictability (konsistensi perilaku pihak yang dipercaya).
Dalam riset Costabile dalam Ferrinadewi (2008:147) kepercayaan atau trust didefinisikan sebagai persepsi akan kehandalan dari sudut pandang
konsumen didasarkan pada pengalaman, atau lebih pada urut-urutan transaksi atau interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan akan kinerja produk dan kepuasan.
2.2 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Peneliti Judul Variabel Hasil
Rini,
2.3 Kerangka Konseptual
Waringin (2011) menyatakan bahwa biasanya seseorang membeli berdasarkan pertimbangan logika atau rasionya dan setelah secara rasional orang mau, tertarik dan membeli produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan, tahap selanjutnya perusahaan juga harus mampu memberikan sesuatu yang menyentuh emosi mereka. Salah satu tujuannya, agar penjualan bisa terus berlanjut, bukan hanya dalam waktu singkat. Di antaranya bisa dengan; menjalin kedekatan, memberikan perhatian secara tulus dan rutin. Selain kepada konsumen yang bersangkutan, perusahaan juga bisa memberikan perhatian pula kepada orang-orang di sekitarnya yang memiliki kedekatan atau arti tersendiri bagi konsumen (misalnya: anak, pasangan hidup, orang tuanya dan sebagainya) sehingga konsumen merasa diperhatikan dan dihargai. Secara umum, rational dan emotional marketing yang dijalankan dengan baik akan mampu memberikan
kepuasan pelanggan dalam menggunakan produk atau jasa perusahaan. Selain itu, pemasaran rasional dan emosional juga dapat mempengaruhi kepercayaan. (Kotler, 2006:176) mendefinisikan keyakinan atau kepercayaan sebagai gambaran
pemikiran yang dianut seseorang tentang suatu hal. Keyakinan yang didasarkan pada pengetahuan nyata, pendapat, dan iman dapat dipengaruhi oleh faktor rasional dan emosional.
Faktor lain yang mendasari masyarakat untuk menjadi nasabah bank adalah faktor spiritual. Spiritual marketing merupakan bentuk pemasaran yang dijiwai dengan nilai-nilai spiritual agama dalam setiap proses dan bentuk transaksinya. Spiritual marketing mengandung nilai-nilai ibadah yang dilandasi pada kebutuhan yang paling pokok seperti kejujuran, moral dan etika dalam berbisnis dan oleh karena itu dapat berpengaruh terhadap kepercayaan nasabah.
Dalam Spiritual Marketing, seorang konsumen akan mempertimbangkan apa yang diputuskan, dibeli atau digunakan juga bisa memberi arti bagi kehidupannya di akhirat nanti. Masyarakat menggunakan nilai-nilai agama seperti prinsip perbankan yang sesuai dengan syariah dan penggunaan dana yang hanya disalurkan pada usaha yang halal dan apabila ini berlangsung terus menerus maka nasabah akan terus menjadi nasabah yang loyal.
Penerapan strategi pemasaran rasional, emosional dan spiritual diprediksi akan menimbulkan kepercayaan pelanggan. Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas, maka kerangka konseptual digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Pemasaran Rasional (X1)
Pemasaran Spiritual (X3)
2.4 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. (Sugiyono, 2012:93).
Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka konseptual sebelumnya, maka hipotesis penelitian dalam penelitian ini adalah : “Pemasaran Rasional, Pemasaran Emosional, dan Pemasaran Spiritual secara parsial dan simultan
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepercayaan nasabah Bank