• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak di Yayasan Amal Sosial Al-Washliyah Gedung Johor Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak di Yayasan Amal Sosial Al-Washliyah Gedung Johor Medan"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Evaluasi

2.1.1 Pengertian Evaluasi

Suchman (dalam Arikunto, 2004: 1-2) mengemukakan evaluasi sebagai

sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang

direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Definisi lain dikemukakan oleh

Worthen dan Sanders (dalam Arikunto, 2004). Dua ahli tersebut berpendapat bahwa

evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu. Dalam

mencari sesuatu tersebut, juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam

menilai keberadaan suatu program, produksi, prosedur, serta alternatif strategi yang

diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Seorang ahli yang terkenal

dalam evaluasi program bernama Stufflebeam (dalam Arikunto, 2004) mengatakan

bahwa evaluasi merupakan proses penggambaran, pencarian, dan pemberian

informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan

alternatif keputusan.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa evaluasi

adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang

selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat

dalam mengambil sebuah keputusan.

2.1.2 Fungsi Evaluasi

Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan antara

(2)

1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja

kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat

dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan

seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu telah tercapai.

2. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai

yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan

mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target.

3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis

kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi

tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada

perumusan ulang masalah kebijakan. Evaluasi dapat pula menyumbang pada

definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan

menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu

dihapus dan diganti dengan yang lain (Dunn, 1999: 609).

2.1.3 Model-Model Evaluasi

Ada berbagai macam model evaluasi yang sering digunakan sebagai strategi

atau pedoman kerja pelaksanaan evaluasi program, yaitu:

1. Goal Oriented Evaluation Model, merupakan model yang muncul paling awal. Objek pengamatan pada model ini adalah tujuan dari program yang

sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara

berkesinambungan, terus-menerus, memeriksa sejauh mana tujuan tersebut

sudah terlaksana di dalam proses pelaksanaan program.

(3)

kerja program, dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang

terjadi, baik hal-hal positif maupun hal-hal negatif.

3. Formatif-Summatif Evaluation Model, dalam model ini evaluator tidak dapat melepaskan diri dari tujuan. Tujuan evaluasi formatif memang berbeda

dengan tujuan evaluasi sumatif. Model ini menunjukkan tentang “apa, kapan,

dan tujuan” evaluasi tersebut dilaksanakan.

4. Countenance Evaluation Model, model ini menekankan adanya pelaksanaan dua hal pokok yaitu deskripsi dan pertimbangan serta membedakan adanya

tiga tahap dalam evaluasi program yaitu anteseden, transaksi, keluaran.

5. The Discrepancy Evaluation Model, evaluasi model ketimpangan pada dasarnya hampir sama dengan konsep evaluasi berbasis tujuan. Dalam

evaluasi model ketimpangan memerlukan 6 langkah untuk melaksanakannya,

yaitu mengembangkan suatu desain dan standar yang menspesifikasikan

karakteristik implementasi ideal, merencanakan evaluasi menggunakan model

evaluasi ketimpangan, menjaring kinerja objek evaluasi meliputi pelaksanaan

program dan hasil-hasil kualitatif/kuantitatif, mengidentifikasi ketimpangan

antara standar dengan hasil pelaksanaan objek evaluasi, menentukan

penyebab ketimpangan, serta menghilangkan ketimpangan dengan membuat

perubahan terhadap implementasi (Tayibnapis, 2000).

2.1.4 Proses Evaluasi

Pelaksanaan evaluasi terdiri dari dua tahap yaitu:

1. Pra Kegiatan

Evaluasi dilakukan baik oleh individu maupun tim, penting untuk mengetahui

(4)

arah prioritas sebelum saat itu dan di masa mendatang untuk mengetahui

apakah program yang sedang dievaluasi tersebut masih relevan dan

diperlukan.

2. Kegiatan Evaluasi

Dalam melakukan proses evaluasi ada beberapa etik birokrasi yang perlu

diperhatikan oleh pihak-pihak yang erat hubungannya dengan tugas-tugas

evaluasi di antaranya adalah:

a) Semua tugas dan tanggung jawab pemberi tugas harus jelas.

b) Pengertian dan konotasi yang tersirat dalam evaluasi yaitu mencari

kesalahan haruslah dihindari.

c) Kegiatan evaluasi dimaksudkan di sini adalah membandingkan

rencana dengan pelaksanaan melalui pengukuran kuantitatif atau

kualitatif totalitas program secara teknis.

d) Tim yang melakukan evaluasi adalah pemberi saran atau nasehat

kepada manajemen, sedangkan pendayagunaan saran atau nasehat

tersebut serta pembuat keputusan berada di tangan manajemen

program.

e) Dalam proses pengambilan keputusan yang telah didasarkan atas

data-data atau penemuan teknis perlu dikonsultasikan sebaik mungkin

karena menyangkut kelanjutan program.

f) Hendaknya hubungan dan proses selalu didasari oleh suasana

konstruktif dan obyektif serta menghindari analisa-analisa subyektif

(5)

2.1.5 Tahapan Evaluasi

Untuk kepentingan praktis, ruang lingkup evaluasi secara sederhana dapat

dibedakan atas empat kelompok (Azwar, 1996: 12) yaitu:

1. Penilaian terhadap masukan (input) yaitu penilaian yang menyangkut pemanfaatan berbagai sumber daya, baik sumber dana, tenaga dan sumber

sarana.

2. Penilaian terhadap proses (process) yaitu penilaian yang lebih menitikberatkan pada pelaksanaan program, apakah sesuai dengan rencana

yang telah ditetapkan atau tidak. Proses yang dimaksud di sini mencakup

semua tahap administrasi, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, dan

aspek pelaksanaan program.

3. Penilaian terhadap keluaran (output) yaitu penilaian yang dapat dicapai dari pelaksanaan suatu program.

4. Penilaian terhadap dampak (impact) yaitu penilaian yang mencakup pengaruh yang ditimbulkan dari pelaksanaan suatu program.

2.2 Program

Pengertian program adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan. Program

merupakan sebuah sistem, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan bukan hanya satu

kali tetapi berkesinambungan. Program adalah cara tersendiri dan khusus yang

dirancang demi pencapaian suatu tujuan tertentu. Dengan adanya suatu program,

maka segala rancangan akan lebih teratur dan lebih mudah untuk dilaksanakan.

Program adalah unsur utama yang harus ada bagi berlangsungnya aktivitas yang

teratur, karena dalam program telah dirangkum berbagai aspek seperti: (1) Adanya

(6)

pencapaian tujuan tersebut, (3) Adanya prinsip-prinsip dan metode-metode yang

harus dijadikan acuan dengan prosedur yang harus dilewati, (4) Adanya pemikiran

atau rancangan tentang anggaran yang diperlukan, (5) Adanya strategi yang harus

diterapkan dalam pelaksanaan aktivitas (Wahab dalam Siagian dan Agus, 2010: 117).

2.2.1 Evaluasi Program

Apabila program dikaitkan dengan evaluasi program maka program

didefinisikan sebagai unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau

implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang

berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok

orang. Ada tiga pengertian penting dan perlu ditekankan dalam menentukan

program, yaitu:

1. Realisasi atau implementasi suatu kebijakan.

2. Terjadi dalam waktu relatif lama, bukan kegiatan tunggal tetapi jamak

berkesinambungan.

3. Terjadi dalam organisasi yang melibatkan sekelompok orang.

Definisi yang terkenal untuk evaluasi program dikemukakan oleh Ralph

Tyler, yang mengatakan bahwa evaluasi program adalah proses untuk mengetahui

apakah tujuan pendidikan sudah dapat terealisasi. Menurut Cronbach dan Stufflebean

(dalam Arikunto, 2006: 4) evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi

(7)

2.3 Kebijakan Publik

2.3.1 Pengertian Kebijakan Publik

Istilah kebijakan publik menurut Peterson adalah tindakan yang dilakukan

pemerintah yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah terhadap massa. Menurut

Austen Ranney kebijakan publik adalah suatu sederetan tindakan selektif atau

deklarasi statement yang dibuat oleh pemerintah.

Lingkup kebijakan publik sangat luas mencakup berbagai bidang

pembangunan, seperti kebijakan publik di bidang kesehatan, transportasi, pertanian,

pertahanan, pendidikan dan lain-lain. Menurut hierarkinya, kebijakan publik dapat

bersifat nasional, regional, maupun lokal, seperti Undang Dasar,

Undang-Undang, Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah,

Peraturan Presiden, Peraturan atau surat keputusan gubernur/walikota/bupati, bahkan

pernyataan forum terbuka dan temu press.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa

kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh negara melalui administrasinya

(birokat) yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik (negara atau

orang secara umum) bukan hanya kehidupan perseorangan serta bermanfaat bukan

hanya untuk pengguna langsung (direct benefit) tetapi juga pengguna tak langsung (indirect benefit) dapat bersifat forward effect atau backward effect bahkan multiplayer effect (banyak guna) yaitu berupa intervensi kearah yang lebih baik (Subarsono, 2005).

2.3.2 Proses Penyusunan Kebijakan Publik

Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang

(8)

nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi

kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.

Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.

Bagan 2.1

Proses Penyusunan Kebijakan Publik

Penyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Penilaian Kebijakan

Sumber: Dunn (dalam Subarsono 2005: 9)

Tahapan analisis kebijakan yaitu:

1. Perumusan masalah: Memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi yang

menimbulkan masalah.

2. Forecasting (peramalan): Memberikan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari diterapkannya.

PERUMUSAN MASALAH

FORECASTING

REKOMENDASI KEBIJAKAN

MONITORING KEBIJAKAN

(9)

3. Rekomendasi kebijakan: Memberikan informasi mengenai manfaat bersih

dari setiap alternatif, dan merekomendasikan alternatif kebijakan yang

memberikan manfaat bersih paling tinggi.

4. Monitoring kebijakan: Memberikan informasi mengenai konsekuensi

sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan termasuk

kendala-kendalanya.

5. Evaluasi kebijakan: Memberikan informasi mengenai kinerja atau hasil dari

suatu kebijakan (Dunn, dalam Subarsono, 2005).

2.3.3 Tahapan Kebijakan Publik

Dalam penyusunan agenda kebijakan ada tiga kegiatan yang perlu dilakukan

yakni:

1. Membangun persepsi dikalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah.

2. Membuat batasan masalah.

3. Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda

pemerintah. Memobilisasi dukungan ini dapat dilakukan dengan cara

mengorganisir kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, dan

kekuatan-kekuatan politik, publikasi melalui media massa dan sebagainya.

Pada tahap formulasi dan legitimasi kebijakan, analisis kebijakan perlu

mengumpulkan dan menganalisis informasi yang berhubungan dengan masalah yang

bersangkutan, kemudian berusaha mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan,

membangun dukungan dan melakukan negoisasi, sehingga sampai pada sebuah

(10)

Tahap selanjutnya adalah implementasi kebijakan. Pada tahap ini diperlukan

dukungan sumberdaya, dan penyusunan organisasi pelaksana kebijakan. Dalam

proses implementasi sering ada mekanisme insentif dan sanksi agar implementasi

suatu kebijakan berjalan dengan baik.

Dari tindakan kebijakan akan dihasilkan kinerja dan dampak kebijakan, dan

proses selanjutnya adalah evaluasi terhadap implementasi, kinerja, dan dampak

kebijakan. Hasil evaluasi ini bermanfaat bagi penentuan kebijakan baru di masa yang

akan datang, agar lebih baik dan lebih berhasil (Winarno, 2007).

2.4 Implementasi Kebijakan

2.4.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan dalam arti luas adalah tahap dari proses kebijakan

segera setelah penetapan Undang-Undang. Implementasi merupakan pelaksanaan

undang-undang dimana berbagai aktor organisasi, prosedur dan teknik bekerja

bersama-sama menjalankan kebijakan guna mencapai tujuan kebijakan atau

program-program kebijakan. Implementasi menurut Lester dan Stewart (dalam

Winarno 2007: 144-145) yaitu fenomena yang kompleks yang dapat dipahami

sebagai proses, output maupun sebagai outcome.

Ripley dan Franklin (dalam Winarno 2007: 145) berpendapat bahwa

implementasi adalah apa yang terjadi setelah Undang-Undang ditetapkan yang

(11)

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah disajikan dapat disimpulkan

bahwa implementasi adalah proses pelaksanaan Undang-Undang yang sudah

ditetapkan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan atau program kebijakan.

2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel

atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain.

Beberapa ahli telah merangkum faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan melalui

berbagai teori, antara lain:

1. Teori George C.Edwards III (1980)

Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan pemerintah

dipengaruhi oleh empat variabel yaitu:

a) Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa tujuan dan sasaran

kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.

b) Sumberdaya

Implementasi tidak akan berjalan efektif apabila implementor

kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan implementasi walaupun

isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten.

c) Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh

(12)

d) Struktur Birokrasi

Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi

adalah adanya prosedur operasi yang terstandarisasi (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman implementor untuk bertindak.

2. Teori Merilee S.Grindle (1980)

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (1980) dipengaruhi

oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel isi kebijakan ini mencakup:

a) Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan.

b) Jenis manfaat yang diterima oleh target group, sebagai contoh, masyarakat di wilayah slum areas lebih suka menerima program air bersih atau pelistrikan daripada menerima program kredit sepeda

motor.

c) Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan.

d) Apakah letak program sudah tepat.

e) Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan

rinci.

f) Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup:

a) Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki

(13)

b) Karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa.

c) Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

3. Teori Daniel A.Mazmanian dan Paul A.Sabatier (1983)

Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983), ada tiga kelompok variabel yang

memengaruhi keberhasilan implementasi, yakni:

a) Karakteristik dari masalah (tractability of the problems)

Sifat masalah itu (mudah atau sulit) untuk dipecahkan memengaruhi

mudah atau tidaknya suatu program untuk diimplementasikan.

Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran, proporsi kelompok

sasaran terhadap total populasi, dan cakupan perubahan perilaku yang

diharapkan.

b) Karakteristik kebijakan atau undang-undang (ability of statute to structure implementation)

Berisi tentang kejelasan isi kebijakan, seberapa jauh kebijakan

tersebut memiliki dukungan teoretis, besarnya alokasi sumberdaya

finansial terhadap kebijakan tersebut, seberapa besar adanya

keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana,

kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana,

tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan, serta seberapa

luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam

implementasi kebijakan.

c) Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).

Yaitu kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan

(14)

kelompok pemilih (constituency groups), dan tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor.

4. Teori Donald S.Van Meter dan Carl E.Van Horn (1975)

Ada lima variabel yang memengaruhi kinerja implementasi, yakni:

a) Standar dan sasaran kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat

direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan

terjadi multiinterprestasi dan mudah konflik di antara para agen

implementasi.

b) Sumberdaya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik SDM

maupun non-SDM.

c) Komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu

dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan

koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu

program.

d) Karakteristik agen pelaksana

Mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan

yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi

implementasi suatu program.

e) Kondisi sosial, ekonomi, dan politik

Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat

mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; karakteristik para

(15)

publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

f) Disposisi implementor

Mencakup tiga hal yang penting, yakni: respon implementor, kognisi,

yakni pemahamannya terhadap kebijakan, dan intensitas disposisi

implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

5. Teori G.Shabbir dan Dennis A.Rondinelli (1983)

Ada empat variabel yang dapat memengaruhi kinerja dan dampak

suatu program, yakni: kondisi lingkungan, hubungan antar organisasi,

sumberdaya organisasi untuk implementasi program dan karakteristik dan

kemampuan agen pelaksana.

6. Teori David L.Weimer dan Aidan R.Vining (1999)

Ada tiga kelompok variabel besar yang dapat memengaruhi

keberhasilan implementasi suatu program, yakni: logika kebijakan,

lingkungan tempat kebijakan dioperasikan dan kemampuan implementor

kebijakan.

Logika dari suatu kebijakan ini dimaksudkan agar suatu kebijakan

yang ditetapkan masuk akal (reasonable) dan mendapat dukungan teoretis. Kita dapat berpikir bahwa logika dari suatu kebijakan seperti halnya

hubungan logis dari suatu hipotesis. Lingkungan tempat kebijakan tersebut

dioperasikan akan memengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan,

karena bisa jadi kebijakan berhasil di daerah tertentu tetapi tidak di daerah

lainnya. Yang dimaksud dengan lingkungan adalah sosial, politik, ekonomi,

(16)

kompetensi serta keterampilan implementor juga sangat mempengaruhi

keberhasilan suatu kebijakan (Subarsono, 2005: 89-103).

2.5 Sistem Pelayanan Publik

2.5.1 Pengertian Pelayanan Publik

Berdasarkan sejarah perjalanan administrasi publik, pelayanan publik semula

dipahami secara sederhana sebagai pelayanan baik itu barang maupun jasa yang

diselenggarakan oleh pemerintah. Melihat adanya pergeseran pemerintah, korporasi

dan satuan sosial ekonomi lainnya dalam penyelenggaraan layanan barang dan jasa

yang menjadi kebutuhan masyarakat, mendefinisikan pelayanan publik sebagai

pelayanan pemerintah menjadi kurang tepat.

Agus Dwiyanto (2010: 18-23) mengemukakan bahwa terdapat dua kriteria

dalam menentukan apakah suatu pelayanan dikatakan sebagai pelayanan publik atau

bukan. Kriteria pertama adalah sifat dari barang itu sendiri. Barang dan jasa yang

sangat bagi kehidupan warga masyarakat luas harus disediakan oleh negara sehingga

pelayanan tersebut menjadi bagian dari pelayanan publik. Misalnya, pendidikan

dasar, pelayanan kesehatan preventif dan dasar, pertahanan negara, pembersihan

pencemaran udara dan pembangunan jalan umum. Kriteria kedua yaitu tujuan dari

penyediaan barang dan jasa. Penyediaan barang dan jasa yang dilakukan untuk

mencapai tujuan dan misi negara, walaupun barang dan jasa tersebut bersifat privat

dapat dikatakan pelayanan publik. Misalnya, pelayanan pendidikan, kesehatan dan

jaminan sosial.

Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

menyatakan bahwa “Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam

(17)

perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau

pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Sesuai dengan pengertian pelayanan publik tersebut maka ruang lingkup

pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik, pelayanan jasa publik dan

pelayanan administratif. Pelayanan barang publik sebagaimana yang diatur dalam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2012 meliputi:

1. Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi

pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran

pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja

daerah.

2. Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh suatu badan

usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari

kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan.

3. Pengadaan dan penyaluran barang publik yang pembiayaannya tidak

bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran

pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya

sebagaian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau

kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi Misi

Negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pelayanan administratif merupakan pelayanan yang diselenggrakan oleh

penyelenggara yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan

masyarakat. Pelayanan administratif sebagaimana yang diatur dalam Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2012 meliputi:

1. Tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur

(18)

perlindungan pribadi dan/atau keluarga, kehormatan, martabat, dan harta

benda warga negara;

2. Tindakan administratif oleh instansi non-pemerintah yang diwajibkan oleh

negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan serta diterapkan

berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan.

Berdasarkan pengertian, kriteria dan ruang lingkup di atas dapat dikatakan

bahwa pelayanan publik adalah pelayanan barang publik, jasa publik atau

administrasi yang dilakukan oleh penyelenggara baik pemerintah pusat maupun

daerah atau oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan daerah atau oleh institusi

lain dengan anggaran berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)

atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

2.5.2 Standar Pelayanan

Agar warga masyarakat di daerah memiliki jaminan untuk memperoleh

pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan minimalnya maka pemerintah pusat

perlu membuat kebijakan dan standar pelayanan minimal (SPM) yang harus dipenuhi

oleh daerah. Melalui standar pelayanan minimal (SPM) pemerintah dapat menjamin

warga dimanapun mereka bertempat tinggal untuk memperoleh jenis dan mutu

pelayanan yang minimal sama seperti yang dirumuskan dalam standar pelayanan

minimal. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009

menyatakan bahwa “standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai

pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai

kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang

(19)

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005,

standar pelayanan mengatur aspek input (masukan), process (proses), output (hasil) dan/atau manfaat. Aspek input penting untuk distandarisasi karena kuantitas dan kualitas dari input pelayanan berbeda-beda antar daerah. Hal ini sering menyebabkan ketimpangan antar daerah. Standar proses dirumuskan untuk menjamin pelayanan

publik di daerah memenuhi prinsip-prinsip penyelenggaraan. Menurut Agus

Dwiyanto (2010: 37-40), prinsip-prinsip penyelenggaraan layanan meliputi

transparan, non-partisipan, efisien dan akuntabel. Standar output pelayanan sangat penting untuk diatur. Standar output dapat digunakan untuk menilai apakah sudah memenuhi standar yang telah ditetapkan atau belum. Penentuan standar output harus memperhatikan tujuan dan nilai yang ingin diwujudkan dalam penyelenggaraan

layanan dan juga kapasitas yang dimiliki setiap daerah.

2.6 Standar Pelayanan Minimal Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

Standar pelayanan minimal lembaga kesejahteraan sosial anak merupakan

tolak ukur kinerja atau manajemen pelayanan untuk lembaga asuhan. SPM ini

tertuang di dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 30/HUK/2011 tentang Standar

Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak. Standar

nasional pengasuhan ini merupakan instrumen penting dalam kebijakan pengaturan

pengasuhan alternatif untuk anak. Pengasuhan anak melalui panti atau lembaga

asuhan perlu diatur agar tata cara dan prosedur pengasuhan yang diberikan panti

sejalan dengan kerangka kerja nasional pengasuhan alternatif untuk anak dan agar

panti atau lembaga asuhan dapat berperan secara tepat.

Standar nasional pengasuhan anak ini disusun untuk menanggapi

(20)

laporan pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Anak Pemerintah Indonesia, pada tahun

2004 mengeluarkan empat rekomendasi terkait situasi pengasuhan anak di panti

asuhan, rekomendasi tersebut adalah:

1. Melaksanakan studi komprehensif untuk menelaah situasi anak-anak yang

ditempatkan dalam panti, termasuk kondisi hidup mereka dan

layanan-layanan yang disediakan.

2. Mengembangkan program-program dan aturan kebijakan untuk mencegah

penempatan anak-anak dalam panti, antara lain melalui penyediaan dukungan

dan panduan kepada keluarga-keluarga paling rentan dan dengan

menjalankan kampanye-kampanye penggalangan kesadaran.

3. Mengambil semua tindakan yang perlu untuk mengijinkan anak-anak yang

ditempatkan dalam institusi-institusi kembali ke keluarga mereka kapan pun

dimungkinkan dan mempertimbangkan penempatan anak-anak dalam

institusi-institusi sebagai sebuah upaya penempatan terakhir.

4. Menetapkan standar-standar yang jelas bagi panti-panti yang sudah ada dan

memastikan adanya tinjauan periodik terhadap penempatan anak, sesuai

dengan pasal 25 dari Konvensi (CRC/C/15/Add.223 26 February 2004).

2.6.1 Proses Penyusunan Standar

Selain memanfaatkan hasil penelitian, penyusunan standar juga dilakukan

dengan mempelajari berbagai dokumen, yaitu:

1. Konvensi Hak Anak, peraturan perundang-undangan khususnya

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang-Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta kebijakan pelayanan

(21)

2. Standar pengasuhan anak di institusi dari berbagai negara di dunia,

diantaranya Inggris, Skotlandia, Lesotho, Guyana, Ghana, Afrika Selatan,

Vietnam dan Timor Leste.

Penyusunan standar diawali dengan menyusun kertas kerja oleh tim penyusun

yang terdiri dari tiga anggota dan seorang team leader. Tim ini juga terlibat sebagai peneliti dalam Penelitian Kualitas Pengasuhan Anak di panti asuhan dan

memfasilitasi Penelitian oleh Anak. Selanjutnya standar dibahas beberapa kali oleh

task group (terdiri dari perwakilan pengurus panti, LSM lokal sebagai praktisi, akademisi dan penentu kebijakan) dan reference group (yaitu task group ditambah dengan pemerhati anak dan forum panti yang terdiri dari kepala, pegasuh, dan

pengurus panti).

2.6.2 Tujuan Standar

Standar pengasuhan untuk panti atau lembaga asuhan ini bertujuan untuk:

1. Memperkuat pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pengasuhan dalam

keluarganya.

2. Memberikan pedoman bagi panti atau lembaga asuhan dalam melaksanakan

perannya sebagai alternatif terakhir dalam pengasuhan anak.

3. Mengembangkan pelayanan langsung untuk mendukung keluarga yang

menghadapi tantangan-tantangan dalam pengasuhan anak.

4. Mendukung pengasuhan alternatif berbasis keluarga melalui orang tua asuh,

perwalian, dan adopsi.

5. Memfasilitasi instansi yang berwenang untuk mengembangkan sistem

(22)

termasuk dalam hal pengambilan keputusan tentang pengasuhan, perijinan

pendirian panti, monitoring dan evaluasi kinerja panti.

Berdasarkan tujuan tersebut, standar nasional pengasuhan anak ini

mengandung komponen-komponen utama pengaturan sebagai berikut:

1. Prinsip-prinsip pengasuhan anak termasuk tentang sistem pengasuhan

alternatif.

2. Pemenuhan semua aspek-aspek hak-hak anak baik kebutuhan dasar,

kebutuhan pengasuhan anak, perlindungan, maupun partisipasi anak.

3. Transformasi peran panti asuhan atau lembaga untuk mendukung pengasuhan

keluarga dan pengasuhan alternatif berbasis keluarga.

4. Tahapan untuk melakukan pelayanan terkait kebutuhan pengasuhan anak

mulai dari proses rujukan, asesmen, perencanaan pengasuhan dan pelayanan

lainnya, implementasi, terminasi dan evaluasi.

5. Peran pelaksana pengasuhan di panti.

6. Peran Dinas Sosial/Instansi Sosial dalam mendukung pengasuhan anak baik

dalam keluarga inti maupun keluarga alternatif.

7. Manajemen pelayanan panti atau lembaga asuhan termasuk mengatur

pendirian, perijinan dan akreditasi panti atau lembaga asuhan.

2.6.3 Pengguna Standar

Standar ini perlu digunakan oleh beberapa pihak yaitu:

1. Pelaksana pelayanan di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (Kepala LKSA,

Pengurus, Pengasuh dan Staf)

Standar ini menjadi acuan bagi pelaksana LKSA untuk memberikan

(23)

melalui pengasuhan alternatif secara profesional, sesuai dengan kebutuhan

dan kepentingan terbaik anak.

2. Dinas Sosial/Instansi Sosial

Standar ini menjadi acuan bagi Dinas Sosial/Instansi Sosial untuk mendukung

pengambilan keputusan tentang pengasuhan anak dan keluarganya khususnya

yang membutuhkan kewenangan Dinas Sosial/Instansi Sosial, yaitu

penempatan anak dalam keluarga alternatif atau di panti atau lembaga

asuhan; melakukan asesmen terhadap usulan pendirian panti, memberikan

atau membatalkan ijin serta melakukan monitoring dan evaluasi terhadap

kinerja panti atau lembaga asuhan.

3. Anak

Anak dapat menggunakan standar ini untuk mengetahui hak serta pelayanan

yang seharusnya mereka terima; mendiskusikan keputusan pengasuhan dan

pelayanan yang terbaik bagi mereka bersama orang tua atau keluarga dan

pihak panti atau lembaga asuhan sebagai pemberi pelayanan, serta dapat

menggunakan standar ini untuk melapor kepada pihak berwenang, jika ada

hak mereka yang dilanggar ataupun tidak terpenuhi.

4. Pemangku Kepentingan Lainnya

Pemangku kepentingan lainnya yang berkepentingan dengan keputusan

tentang pengasuhan anak baik dalam bentuk kelembagaan maupun

(24)

2.6.4 Cakupan Standar

Standar ini terdiri dari 5 bab yang mengatur tentang:

1. Bab I pendahuluan yang meliputi latar belakang, proses penyusunan standar,

tujuan standar, pendekatan yang mendasari standar, pengguna standar,

cakupan standar dan definisi yang digunakan dalam standar.

2. Bab II mengatur tentang prinsip-prinsip utama tentang pengasuhan alternatif

untuk anak yang meliputi hak anak untuk memliki keluargaa, tanggung jawab

dan peran orang tua dan keluarga, pencegahan keterpisahan keluarga,

kontinum pengasuhan, dukungan kepada keluarga untuk pengasuhan, peran

negara, pengasuhan alternatif, pengasuhan berbasis Lembaga Kesejahteraan

Sosial Anak, asesmen kebutuhan pengasuhan anak, pengambilan keputusan

untuk penempatan anak dalam pengasuhan alternatif, menjaga

keberlangsungan pendidikan dan kehidupan sosial budaya anak, dan

keterlibatan anak dalam pengambilan keputusan pengasuhan mereka.

3. Bab III mengatur tentang penentuan respon yang tepat untuk anak yang

mencakup peran Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak dalam pelayanan bagi

anak dan perencanaan pengasuhan.

4. Bab IV mengatur tentang standar pelayanan yang mencakup:

a. Pendekatan awal dan penerimaan rujukan yang mencakup pendekatan

awal, penerimaan rujukan, asessmen awal, pengambilan keputusan

pelayanan, kesepakatan, rujukan ke instansi lain, dan menjaga

kebersamaan anak bersaudara.

b. Pelayanan pengasuhan oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang

(25)

c. Pelayanan berbasis Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang

mencakup peran sebagai pengganti orang tua, martabat anak,

perlindungan anak, perkembangan anak, identitas anak relasi anak,

partisipasi anak, makanan dan pakaian, akses terhadap pendidikan dan

kesehatan, privasi atau kerahasiaan pribadi anak, pengaturan waktu

anak, dan kegiatan atau pekerjaan anak di panti atau lembaga asuhan,

aturan, disiplin dan sanksi.

d. Pelaksana pengasuhan yang mencakup orang tua dan keluarga,

pengasuh, dan pekerja sosial.

e. Evaluasi serta pengakhiran pelayanan dan pengasuhan untuk anak.

5. Bab 5 mengatur tentang standar kelembagaan yang mencakup visi, misi dan

tujuan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak, pendirian, perijinan, peran Dinas

Sosial/Instansi Sosial dan akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak;

dan fasilitas.

2.7 Kerangka Pemikiran

Menyikapi banyaknya kasus mengenai rendahnya kualitas pelayanan dan

pola pengasuhan di panti asuhan, pemerintah terus melakukan berbagai upaya agar

mutu pelayanan dan pengasuhan meningkat. Salah satunya dengan mengeluarkan

Peraturan Menteri Sosial Nomor 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional

Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak. Dalam peraturan

tersebut terdapat berbagai indikator pelayanan dan pengasuhan baik aspek input, process dan output yang secara garis besar meliputi pendekatan awal, penerimaan rujukan, asesmen lanjutan, perencanaan pengasuhaan, pelayanan anak, pengaturan

(26)

tua dan keluarga dalam pengambilan keputusan penting, peran pengasuh dan pekerja

sosial profesional serta pengakhiran pelayanan dan pengasuhan anak.

Yayasan Amal Sosial Al-Washliyah Gedung Johor Medan hadir sebagai salah

satu Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak, yang didirikan oleh organisasi Al

Djami’yatul Al-Washliyah pada tanggal 20 April 1969 melalui Badan Hukum

Nomor 67 Tahun 1955 dan sudah menampung sebanyak 1.836 anak asuh dengan

latar belakang permasalahan sosial yang berbeda-beda seperti yatim, piatu, yatim

piatu, anak terlantar, dan fakir miskin. Sebagai pelayanan publik, Yayasan Amal

Sosial Al-Washliyah Gedung Johor Medan juga harus menerapkan standar

pelayanan minimal (SPM) sebagai pedoman pengelolaan panti asuhan demi

terjaminnya kualitas pelayanan dan pengasuhan yang baik dan memenuhi standar.

Dalam pelaksanaannya, standar pelayanan minimal lembaga kesejahteraan

sosial anak perlu dipantau dan dievaluasi. Pemantauan dilakukan guna memastikan

bahwa proses memang berjalan sesuai dengan rencana yang telah disusun.

Sedangkan evaluasi diperlukan guna mengetahui apakah hasil yang dicapai dalam

pelaksanaan standar pelayanan minimal sesuai dengan yang diharapkan sebelumnya,

dan sebagai perencanaan di masa mendatang.

Hal yang paling mendasar dalam melakukan evaluasi adalah mengetahui

terlebih dahulu kegiatan dan objek apa saja yang dapat dijadikan bahan atau sasaran

evaluasi. Objek atau sasaran yang dijadikan bahan evaluasi dalam penelitian ini

adalah standar pelayanan pengasuhan.

Berdasarkan uraian yang telah disajikan, penulis merumuskan kerangka

(27)

Bagan 2.2

Skema Kerangka Pemikiran

Peraturan Menteri Sosial Nomor 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak, meliputi:

1. Bab I Pendahuluan, latar belakang, proses penyusunan standar, tujuan standar, pendekatan yang mendasari standar, pengguna standar, cakupan standar, definisi yang digunakan dalam standar.

2. Bab II Prinsip-prinsip utama pengasuhan alternatif untuk anak. 3. Bab III Standar penentuan respon yang tepat bagi anak. 4. Bab IV Standar pelayanan pengasuhan.

5. Bab V Standar kelembagaan.

Evaluasi SPM LKSA di Yayasan Amal Sosial Al-Washliyah Gedung Johor Medan

Indikator Standar Pelayanan Minimal LKSA, meliputi:

1. Indikator Input (Masukan), yaitu: Standar pendekatan awal dan penerimaan rujukan

2. Indikator Process (Proses), meliputi:

a. Standar pelayanan pengasuhan oleh LKSA b. Standar pelayanan berbasis

LKSA

c. Standar pelaksana pengasuhan

(28)

2.8 Definisi Konsep dan Definisi Operasional 2.8.1 Definisi Konsep

Definisi konsep merupakan proses dan upaya penegasan dan pembatasan

makna konsep dalam suatu penelitian. Untuk menghindari salah pengertian atas

makna konsep yang dijadikan objek penelitian, maka seorang peneliti harus

menegaskan dan membatasi makna konsep yang akan diteliti. Dengan kata lain,

peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil penelitian untuk memaknai konsep

sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh peneliti. Definisi konsep

adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian

(Siagian, 2011: 136-138).

Untuk lebih memahami pengertian konsep-konsep dalam penelitian ini, maka

peneliti merumuskan definisi yang digunakan masing-masing konsep sebagai

berikut:

1. Evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya

sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan

alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan.

2. Program adalah cara tersendiri dan khusus yang dirancang demi pencapaian

suatu tujuan tertentu. Dengan adanya suatu program, maka segala rancangan

akan lebih teratur dan lebih mudah dilaksanakan.

3. Evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi tentang pelaksanaan

program untuk disampaikan kepada pengambil keputusan.

4. Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh negara melalui

administrasinya (birokat) yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan

publik (negara atau orang secara umum) bukan hanya kehidupan

(29)

benefit) tetapi juga pengguna tidak langsung (indirect benefit) dapat bersifat forward effect atau backward effect bahkan multiplayer effect (banyak guna) berupa intervensi kearah yang lebih baik.

5. Implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan undang-undang dimana

berbagai aktor organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama-sama

menjalankan kebijakan guna mencapai tujuan kebijakan atau

program-program kebijakan.

6. Pelayanan publik adalah pelayanan barang publik, jasa publik atau

administrasi yang dilakukan oleh penyelenggara baik pemerintah pusat

maupun daerah atau oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan daerah

atau oleh institusi lain dengan anggaran berasal dari Anggaran Pendapatan

Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

7. Standar pelayanan minimal (SPM) adalah patokan pelayanan secara minimal

yang dapat digunakan sebagai acuan dan harus dipenuhi oleh penyelenggara

baik aspek input, process dan output.

2.8.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah suatu proses menjadikan variabel penelitian dapat

diukur sehingga transformasi dan unsur konseptual ke dunia nyata. Definisi

operasional adalah lanjutan dari perumusan definisi konsep. Perumusan definisi

konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang konsep-konsep,

baik berupa obyek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti, maka perumusan

operasional ditujukan dalam upaya mentransformasi konsep ke dunia nyata sehingga

(30)

Sesuai dengan identifikasi dan batasan masalah, penelitian ini memiliki satu

variabel atau variabel tunggal, yaitu pelaksanaan standar pelayanan minimal lembaga

kesejahteraan sosial anak. Pelaksanaan SPM Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

oleh Yayasan Amal Sosial Al-Wasliyah dilihat dari ketercapaian indikator-indikator

yang diatur dalam Bab 4 tentang Standar Pelayanan Pengasuhan Peraturan Menteri

Sosial Nomor 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Untuk Lembaga

Kesejahteraan Sosial Anak baik aspek input, process, dan output. Adapun yang menjadi indikator dalam penelitian ini adalah:

A. Input (Masukan), yaitu:

Standar Pendekatan Awal dan Penerimaan Rujukan, meliputi:

a) Pendekatan awal

b) Penerimaan rujukan

c) Asesmen awal

d) Pengambilan keputusan pelayanan

e) Kesepakatan

f) Rujukan ke instansi lain

g) Kebersamaan anak bersaudara

B. Process (Proses), meliputi:

1. Standar Pelayanan Pengasuhan Oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial

Anak, meliputi:

a) Asesmen dan Rencana Pengasuhan, meliputi:

1) Asesmen lanjutan

2) Perencanaan pengasuhan

b) Pelaksanaan Rencana Pengasuhan, meliputi:

(31)

2) Dukungan pengasuhan berbasis keluarga

3) Dukungan pengasuhan berbasis keluarga pengganti

4) Pengasuhan oleh orang tua asuh (fostering) 5) Perwalian

6) Pengangkatan anak

2. Standar Pelayanan Berbasis Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak,

meliputi:

a) Pelayanan pengasuhan dalam Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

b) Peran sebagai pengganti orang tua

c) Martabat anak sebagai manusia

d) Perlindungan anak, meliputi:

1) Perlindungan dari segala bentuk tindak kekerasan dan hukuman

fisik

2) Mekanisme pelaporan

3) Kapasitas pengurus, petugas, dan relawan dalam merespon

kekerasan

4) Prosedur pemberian hukuman disiplin

5) Lingkungan yang aman dari kekerasan dan hukuman fisik

6) Pencegahan dan respon terhadap kekerasan dan hukuman fisik

antar anak

7) Kerahasiaan laporan tentang kekerasan

8) Pemahaman perkembangan anak

e) Perkembangan anak

f) Identitas anak, meliputi:

(32)

2) Identitas anak

g) Relasi anak, meliputi:

1) Dukungan relasi antara anak dengan keluarga/kerabat

2) Kunjungan anak kepada orang tua/keluarga/kerabat/teman

3) Kunjungan oleh keluarga/kerabat/teman

4) Kedekatan antara anak dan keluarga/kerabat/masyarakat

5) Relasi antar anak di dalam LKSA

6) Relasi yang positif dan pantas antara laki-laki dan perempuan

7) Relasi dengan pengasuh/pengurus

8) Relasi dengan pihak di luar lembaga (guru, teman, dari sekolah

dan lingkungan sekitar)

h) Partisipasi anak, meliputi:

1) Suara anak

2) Pilihan anak

i) Makanan dan pakaian

j) Akses terhadap pendidikan dan kesehatan

k) Privasi/kerahasiaan pribadi anak, meliputi:

1) Menjaga kerahasiaan pribadi anak

2) Menghargai privasi anak

l) Pengaturan waktu anak, meliputi:

1) Jadwal harian, waktu bermain dan istirahat anak

2) Respon terhadap kebutuhan istirahat dan bermain anak

m) Kegiatan/pekerjaan anak di LKSA

1) Larangan mempekerjakan anak

(33)

n) Aturan, disiplin, dan sanksi

3. Standar Pelaksanaan Pengasuhan, meliputi:

a) Orang tua dan keluarga

b) Pengasuh

c) Pekerja sosial profesional

C. Output (Keluaran), yaitu:

Standar Evaluasi Serta Pengakhiran Pelayanan dan Pengasuhan untuk Anak,

meliputi:

a) Review penempatan dan pengasuhan

b) Pelaporan anak yang melarikan diri atau pengasuhannya diakhiri

Referensi

Dokumen terkait

From the result of the data analysis, the writer makes the conclusion that generally, the ability of the third year students of English Department of FKIP UIR to

[r]

[r]

Bangunan yang rampung dibangun pada tahun 2011 tersebut telah disertifikasi oleh Lembaga Konsil Bangunan Hijau Indonesia, biasa juga disebut sebagai Green

Jika jumlah tersebut lebih kecil dari nilai wajar atas aset bersih teridentifikasi entitas anak yang diakuisisi dan pengukuran atas seluruh jumlah tersebut telah

Harry tak menutup mata, sebagai perusahaan bahan peledak yang sepenuhnya dimiliki negara, perusahaan tak hanya semata mengejar profit, namun bagaimana menjadikan PT Dahana

ii) Dalam sewa menyewa biasa, Perusahaan dan Anak perusahaan mengakui aset untuk sewa operasi di laporan posisi keuangan (neraca) konsolidasi sesuai sifat aset tersebut.

Berdiskusi kegiatan apa saja yang sudah dimainkannya hari ini, mainan apa yang paling disukai 3.. Bercerita pendek yang