• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gaya Berkomunikasi Dan Adaptasi Budaya Mahasiswa Batak Asal Sumatera Utara Di Institut Seni Indonesia Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gaya Berkomunikasi Dan Adaptasi Budaya Mahasiswa Batak Asal Sumatera Utara Di Institut Seni Indonesia Yogyakarta"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seorang wanita Batak asal Medan melakukan tindakan yang mengakibatkan dirinya dikecam secara luas secara khusus di media sosial pada Agustus 2014. Wanita bernama Florence Sihombing yang saat itu tercatat sebagai mahasiswi semester tiga Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, menulis di akun sosial media (Path) yang bernada memaki Yogyakarta dan warganya yang menyebar cepat diantara pengguna media sosial. Persoalan berawal pada hari Rabu siang (27/8/2014) ketika Florence mengantri bahan bakar minyak (BBM) untuk sepeda motornya di Stasiun Pengisian Bahan-bakar Umum (SPBU) Lempuyangan. Ia bermaksud membeli BBM non-subsidi dan masuk dalam antrian mobil tetapi ditolak petugas dan disarankan ikut antrian sepeda motor (http://www.voaindonesia.com). Perlakuan tersebut membuat Florence kesal dan mengekspresikannya di media sosial tanpa memikirkan ulang efek dari tindakannya. Pernyataan Florence dianggap sudah sangat keterlaluan dan telah melukai hati masyarakat di sana. Masyarakat Yogyakarta langsung mengecam tindakan Florence di media sosial hingga akhirnya Florence pun menuliskan permintaan maafnya di media yang sama. Komunitas Batak di Yogyakarta juga ikut meminta maaf atas ketidaksantunan Florence

(http://sosbud.kompasiana.com).

(2)

Florence menyampaikan pesannya melalui media sosial setidaknya dapat dijadikan gambaran gaya komunikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang secara pribadi punya gaya khas dalam berbicara, bukan hanya caranya tetapi juga topik-topik yang dibicarakan. Kekhasan ini umumnya diwarisi seseorang dari budayanya (Mulyana, 2008: 327).

Melihat latar belakang budaya Florence sebagai orang Batak maka bukan hal aneh jika Florence begitu eksplisit dalam mengutarakan pesannya. Kasus Florence ini seolah membenarkan stereotip tentang orang Batak yaitu kasar, nekad, suka bicara keras, pemberang dan suka berkelahi (Mulyana, 2005b: 13). Seandainya Florence menyampaikan kekesalannya tersebut di Tanah Batak atau di lingkungan Batak maka respon yang muncul tentu berbeda bahkan mungkin tidak berimbas sama sekali.

Cara Florence mengekspresikan kekesalannya merupakan hal yang biasa dikalangan orang Batak namun tidak demikian halnya bagi suku lain khususnya orang Jawa yang dalam banyak hal sangat berbeda dengan orang Batak. Sebagai seorang pendatang (yang berstatus mahasiswa) tentu Florence dituntut untuk mampu beradaptasi dengan budaya tempat dia berada termasuk dalam gaya komunikasi dengan lingkungan setempat. Adaptasi yang baik setidaknya akan membentuk gaya komunikasi yang sesuai dengan lingkungan dan diterima dengan baik.

(3)

menjalani pendidikan. Padahal tidak semua orang Batak itu kasar, nekad, suka bicara keras, pemberang dan suka berkelahi. Mahasiswa Batak di Yogyakarta tentu saja harus memperhatikan gaya berkomunikasi mereka dan menjalani proses adaptasi budaya dengan baik sehingga kasus seperti yang dialami Florence tidak perlu terulang. Komunikasi yang tidak peka terhadap sistem nilai budaya yang dianut suatu komunitas dapat menimbulkan perselisihan (Mulyana, 2005a: 27).

Salah satu institusi pendidikan di Yogyakarta yang juga mempunyai mahasiswa suku Batak adalah Institusi Seni Indonesia Yogyakarta (ISI Yogyakarta). Pada umumnya mahasiwa Batak tersebut berasal dari Sumatera Utara. Berdasarkan keterangan dari seorang mahasiswa ISI Yogyakarta suku Batak asal Medan, diperoleh keterangan bahwa ternyata dalam interaksi sehari-hari mahasiswa Batak asal Sumatera Utara khususnya dari Medan masih mempertahankan dialek dan gaya bahasa Medan. Bahkan beberapa kosakata yang hanya ada di Medan juga digunakan dalam percakapan dengan rekan-rekan yang bukan orang Batak dan tidak berasal dari Sumatera Utara. Fakta ini tentu saja menarik karena biasanya pendatang akan cenderung meniru dan mengikuti gaya komunikasi di lingkungan yang baru. Fakta tersebut juga menunjukkan bahwa gaya komunikasi mereka kurang lebih sama dengan gaya komunikasi Florence sebagai gambaran umum gaya komunikasi orang Batak.

Andriana Noro Iswari (2012) dalam penelitiannya berjudul “Komunikasi Antar Budaya di Kalangan Mahasiswa (Studi tentang Komunikasi Antar Budaya

di Kalangan Mahasiswa Etnis Batak dengan Mahasiswa Etnis Jawa di

(4)

mereka merantau. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan terdapat beberapa hambatan yang muncul di dalam proses komunikasi antarbudaya di kalangan mahasiswa etnis Batak yang ada di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hambatan yang muncul disebabkan adanya image yang melekat pada orang Batak yakni galak dan kasar sehingga mempengaruhi komunikasi antarbudaya mereka dengan mahasiswa yang berbeda etnis dengan mereka seperti banyak yang segan bahkan takut karena mereka dianggap kasar dan galak oleh teman-teman yang berbeda etnis dengan mereka. Penelitian ini memperlihatkan salah satu fenomena tentang orang Batak yang cenderung mempertahankan gaya komunikasinya sekalipun berada di daerah perantauan.

Keberadaan mahasiswa Batak di Yogyakarta secara khusus yang berasal dari Sumatera Utara turut melengkapi nuansa antarbudaya di daerah ini tanpa terkecuali di kampus ISI Yogyakarta. Bukan tanpa alasan jika mereka memilih ISI Yogyakarta untuk menjalani pendidikan. Selain karena di daerah Sumatera Utara belum ada perguruan tinggi yang khusus berorientasi dalam bidang kesenian, predikat yang melekat pada daerah Yogyakarta sebagai “Kota Pelajar” tentu

(5)

yang mendukung, serta beragam perguruan tinggi dengan kualitas yang sudah tidak perlu dipertanyakan (http://www.berkuliah.com).

Yogyakarta memang menjadi impian bagi sejumlah besar siswa di Indonesia untuk melanjutkan pendidikan. Sekalipun tidak berhasil menjadi mahasiswa di kampus negeri, kampus swasta tetap menjadi alternatif, yang penting bisa mewujudkan impian untuk kuliah di Yogyakarta. Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Humas Komisi Pemilihan Umum Daerah Istimewa Yogyakarta, Farid Bambang Siswantoro, mengatakan jumlah pendatang di Yogyakarta cukup besar. Di kalangan mahasiswa saja, jumlahnya mencapai 300 ribu orang yang tersebar di 72 kampus negeri dan swasta. Hal ini disampaikan terkait dengan surat suara cadangan untuk mengatasi lonjakan pemilih yang berasal dari warga pendatang di Yogyakarta pada Pemilu 2014 (http://www.rumahpemilu.org).

(6)

adalah bahwa orang Batak berbicara keras, lantang dan lugas (apa adanya); orang Minangkabau terampil bersilat lidah; orang Jawa berbicara halus, lembut dan terampil menggunakan bahasa plesetan. Gaya komunikasi orang Sunda mirip dengan gaya komunikasi orang Jawa (Mulyana, 2005a: 153-154).

Setiap orang mempunyai gaya komunikasi yang bersifat personal sebagai gaya khas seseorang waktu berkomunikasi. Gaya komunikasi merupakan kepribadian sehingga sukar diubah. Untuk memahami gaya berkomunikasi maka setiap orang harus berusaha menciptakan dan mempertahankan gaya komunikasi personal sebagai ciri khas pribadinya. Memang sulit untuk mengubah gaya komunikasi, karena gaya komunikasi melekat pada kepribadian seseorang (Liliweri, 2011: 308). Komunikasi konteks-tinggi atau konteks-rendah adalah cara paling utama/mendasar untuk membedakan gaya komunikasi dari kelompok budaya yang berbeda (Martin & Nakayama, 2008: 135).

Secara umum, komunikasi konteks-rendah mengacu pada pola komunikasi yang pada umumnya menggunakan bahasa verbal yang langsung (direct), sederhana dan berorientasi pada komunikator. Komunikator dituntut untuk mampu menyampaikan pesan secara jelas dan persuasif sehingga komunikan dapat dengan mudah memahaminya. Komunikasi konteks-tinggi mengacu pada pola komunikasi dengan menggunakan bahasa verbal yang tidak langsung (indirect) dan tidak berorientasi pada komunikator. Komunikan dituntut untuk mampu membaca “makna yang tersirat” dari pesan, menyimpulkan secara implisit

(7)

Menurut Mulyana (2005a: 135-136) sebenarnya gaya komunikasi tidak dapat dikotomikan menjadi komunikasi tinggi dan komunikasi konteks-rendah. Kedua gaya komunikasi tersebut boleh jadi ada dalam budaya yang sama, tetapi biasanya salah satunya mendominasi. Negara-negara Barat umumnya berbudaya konteks rendah, sedangkan negara-negara Timur umumnya berbudaya konteks-tinggi. Indonesia jelas menganut budaya konteks-tinggi. Meskipun budaya Indonesia bersifat konteks tinggi namun derajat konteks tingginya tidak sama antara kelompok etnik yang satu dengan kelompok etnik lainnya. Budaya Jawa yang dominan dan mewarnai budaya Indonesia, jelas sangat konteks tinggi. Begitu juga budaya Sunda. Sebaliknya, budaya Batak adalah budaya yang derajat konteks tingginya paling rendah, kalaupun tidak termasuk budaya konteks rendah. Lokasi kampus ISI Yogyakarta tidak seperti kampus negeri pada umumnya yang berada di Ibukota Provinsi ataupun di daerah perkotaan. Kampus ISI Yogyakarta berlokasi di Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul. Sebagai daerah kabupaten yang masih kental dengan nilai-nilai budaya Jawa, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa Batak asal Sumatera Utara yang memilih ISI Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Tantangan yang cukup penting untuk diperhatikan adalah komunikasi antarbudaya dengan warga khususnya warga asli suku Jawa.

(8)

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan yang menjadi permasalahan pada penelitian ini adalah:

1) Bagaimana gaya komunikasi mahasiswa Batak asal Sumatera Utara di Institut Seni Indonesia Yogyakarta?

2) Bagaimana adaptasi budaya yang dihadapi mahasiswa Batak asal Sumatera Utara di Institut Seni Indonesia Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Mengetahui gaya komunikasi mahasiswa Batak asal Sumatera Utara di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

2) Mengetahui adaptasi budaya yang terjadi pada mahasiswa Batak asal Sumatera Utara di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian komunikasi dan sumber bacaan secara khusus penelitian tentang komunikasi antarbudaya yang berkaitan dengan gaya komunikasi dan adaptasi budaya.

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul

[r]

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa: (1) Terdapat perbedaan aktivitas siswa kelas XI SMAN 2 Sungai Ambawang pada materi laju reaksi antara yang

Sajoto (1988) mengatakan bahwa program latihan yang dilakukan empat kali seminggu cukup efektif, namun rupanya pelatih cenderung melaksanakan latihan setiap minggu tiga

Penelitian ini dilakukan di Desa Trigadu, Kecamatan Galing, Kabupaten Sambas. Dalam penelitian ini diwawancarai 3 informan yang berprofesi sebagai pencari ikan

Dilihat dari masalah yang ada dan banyaknya fungsi dari latihan imajeri maka untuk melatih akurasi tendangan (shooting) pemain di PS Klapasawit yang lemah, peneliti

Secara lebih rinci tujuan penelitian ini adalah : (1) Untuk melihat kemampuan guru mengelola pembelajaran dengan menggunakan model Problem Based Learning (PBL)

[r]