• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membayangkan Dunia Tanpa Senjata Nuklir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Membayangkan Dunia Tanpa Senjata Nuklir"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Membayangkan Dunia Tanpa Senjata Nuklir:

NPT dan Post-agreement Negotiation1 Oleh: M. Sya’roni Rofii2

Abstrak

Tujuan jangka panjang Traktat Non-proliferasi Nuklir adalah menciptakan dunia yang bebas dari senjata nuklir, alasannya sederhana ingin menyelamatkan masa depan kemanusiaan dari kehancuran. Sselain senjata nuklir telah menciptakan efek traumatis masyarakat dunia, ia juga diharapkan menjadi penegasan tentang penghargaan atas kemanusiaan walaupun itu dalam kondisi perang. Visi NPT sangatlah luhur, namun demikian politik dunia sangatlah dinamis.

Keywords: NPT, IAEA, keamanan internasional, post-agreement negotiation

A. Pendahuluan

Isu non-proliferasi nuklir merupakan salah satu isu penting bagi masyarakat internasional dalam beberapa dekade terakhir. Bulan Mei 2010 kemarin merupakan momentum tahunan untuk melihat perkembangan NPT. Pembentukan rezim non-proliferasi nuklir merupakan salah satu agenda masyarakat internasional untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih damai dan beradab. Inisiatif menciptakan rezim ini memang awalnya datang dari negara-negara besar yang sadar akan arti penting kontrol senjata nuklir,3 yang dalam perkembangannya menjadi alat kontrol bagi

1 Diterbitkan oleh Jurnal Multiversa, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah

Mada, Vol. 1, No. 2, 2010.

2 (Kandidat Doktor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Marmara University; Direktur Riset

Bidang Politik dan Hubungan Internasional The Indonesian Institute for Transregional Studies (INTRENS).

3 Amerika Serikat dan Uni Soviet dianggap menjadi pionir penting dari elemen negara yang

(2)

hampir seluruh negara di dunia. Upaya-upaya serupa juga dilakukan pada sektor persenjataan lainnya yang memiliki daya ledak luar biasa.

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) bisa dilihat sebagai sebuah traktat internasional yang mengatur tentang penggunaan nuklir secara bertanggungjawab dan tidak melanggar aspek-aspek kemanusiaan sesuai dengan konsensus yang disepakati bersama, bertanggungjawab di sini berarti negara-negara yang menandatangani traktat tunduk pada ketentuan internasional meliputi: tidak menyimpan, tidak menggunakan, tidak mengembangkan senjata nuklir sebagai senjata, hal ini berlaku bagi negara penandatangan NPT dan sekaligus Non-Nuclear State Weapons (NNWS). Atau sering juga disebut sebagai tiga pilar NPT yaitu pencegahan penyebaran senjata dan teknologi nuklir, promosi penggunaan nuklir untuk tujuan damai, dan pencapaian perlucutan persenjataan secara umum.4 Akan tetapi, setiap negara penandatangan NPT berhak atas nuklir tetapi untuk tujuan damai, untuk kepentingan sipil dalam hal ini bisa berbentuk penggunaan nuklir sebagai sumber daya listrik, di Indonesia kita biasa mengenalnya dengan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Penggunaan Nuklir sebagai senjata pernah digunakan dan yang paling diingat oleh masyarakat internasional adalah ketika Perang Dunia II masih berkecamuk, dimana Amerika Serikat melakukan pengeboman di Hirosima dan Nagasaki sebagai balasan dari serangan udara tentara Jepang. Dampak dari penggunaan senjata nuklir saat itu adalah jatuhnya ribuan korban jiwa tanpa membedakan sipil dan militer (combatan dan non-combatant), begitu juga dengan seluruh infrastruktur dibumi hanguskan secara merata. Ternyata dampak yang ditimbulkan tidak selesai sampai di situ, mengingat senjata nuklir juga berpengaruh pada gangguan pada tubuh manusia. Secara garis besar tulisan ini hendak menguraikan tentang

4 Mohammed El Baradei, “Preserving the no-Proliferation Treaty,” Special Comment

(3)

bagaimana rezim NPT terbentuk? Seperti apa implementasinya di lapangan? Lantas bagaimana fenomena ini dilihat dari perspektif post

-agreement negotiation ?

B. Bipolaritas dan Kesadaran Universal

Pasca Perang Dunia II peperangan ternyata tidak bisa dihindarkan, tetapi yang membedakaanya dengan Perang Dunia I dan II adalah mereka para tentara dari negara-negara besar tidak berperang vis a vis di wilayah mereka, tetapi melakukan ekspansi ke negara-negara di kawasan Asia, Amerika Latin, Afrika. Kondisi ini dianggap sebagai masa terpanjang dalam sejarah perdamaian dunia—tentu saja, sebagaimana disebutkan Kenneth N.

Walz jika perang dipahami sebagai the absence of general war among the

major states of the world 5. Peperangan ini juga mengadung unsur multidimensional, perang ideologi adalah kata dominan yang menggambarkan situasi ini. Perang bintang ini dikenal juga dengan Perang Dingin (Cold War).

Saat Perang Dingin terjadi dunia memang berada dalam konstruksi polarisasi6, ada kutub Amerika Serikat ada pula kutub Uni Soviet, relasi antara keduanya memang saling beroposisi biner menguatkan eksistensi masing-masing. Jika kutub AS melakukan manuver, maka hampir pasti kutub USSR akan melakukan tindakan balasan atau penyeimbangan. Saat AS meluncurkan Apollo untuk eksplorasi di luar angkasa, USSR mengimbanginya dengan membentuk misi Sputnik ke luar angkasa juga; AS

5Kenneth N. Waltz, “Toward Nuclear Peace,” dalam Robert J. Art dan Kenneth N. Waltz

(eds.), The Use of Force; Military Power and International Politics, Fourth Edition (Maryland: University Press of America, 1993). Hlm 527.

6 Perdebatan seputar polarisasi ini dapat dilihat dalam misalnya, Maurice Mullard, The

(4)

melakukan sejumlah invasi ke Vietnam dan Korea, USSR turut serta menghadang dengan terlibat dalam aksi peperangan meskipun dilakukan secara diam-diam dengan mensuplai persenjataan.

Namun demikian, kondisi ini di satu sisi memang memudahkan masyarakat dunia untuk mengidentifikasi apakah keadaan dunia sedang stabil atau tidak, mengingat kunci stabilitas internasional ditentukan oleh dua hegemon ini. Di sisi lain kondisi bipolar ini menyebabkan tatanan dunia berada dalam kondisi persaingan tidak sehat, sebab ongkos dari persaingan ini ternyata sedikit banyak berdampak pada sektor ekonomi, karena negara yang terlibat dalam salah satu blok akan merasa kesulitan untuk berniaga dengan negara-negara lain dari blok berbeda. Kita bisa menyebutnya sebagai restriksi hubungan perdagangan.

Terkait dengan persoalan persenjataan, kedua hegemon ini perlahan tapi pasti melakukan upaya-upaya nyata dalam rangka mengurangi persenjataan yang dianggap berbahaya bagi masa depan dunia. Puluhan ribu nuklir beserta hulu ledaknya (war head) dipegang oleh AS-USSR dan mereka melakukan upaya-upaya pengurangan dengan mekanisme kontrol yang disepakati bersama, pendekatan yang digunakan adalah masing-masing mengurangi kuantitas senjata nuklirnya di bawah payung Strategic Arms Limitation Talks SALT I A-USSR 1969-1972, SALT II AS-USSR 1987,

dan kemudian dilanjutkan dengan Strategic Arms Reduction Talks START I AS-USSR 1982-1991, START II AS-Rusia 1993 dan 1997, Mocow Treaty pada tahun 2002 bisa juga dimasukkan dalam kategori ini7. Christopher A. Ford (2007)8 yang merupakan wakil AS dalam bidang NPT dalam Procedure

7 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relation and World Politics; Security,

Economy, Identity, Third Edition, (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2007), hlm. 258.

8 Christopher Ford, Procedure and Substance in the NPT Review Cycle: The Example of

(5)

and Substance in the NPT Review Cycle: The Example of Nuclear

Disarmament juga menguatkan kecenderungan itu.

Hal lain yang patut untuk dijadikan bahan perbandingan adalah bahwa selain negara-negara besar melakukan langkah-langkah strategis dalam mengurangi senjata nuklirnya, ternyata ada juga negara-negara

kecil dan menengah yang kebetulan memiliki instalasi nuklir baik untuk kepentingan energi sipil maupun untuk persenjatan mengambil langkah sukarela dengan mengumumkan penghentian instalasi nuklir dan menutupnya. Sikap ini seperti dilakukan oleh Afrika Selatan dan Kazakhstan.9

Afrika Selatan menyatakan penutupan instalasi nuklir yang pernah mampu mengolah kadar urainum pada level cukup tinggi sehingga dimungkinkan untuk menjadi persenjataan. Tetapi hal itu dianggap berakhir dengan deklarasi oleh petinggi negeri itu.

Berbeda dengan Afrika Selatan, Kazakhstan yang merupakan salah satu bagian dari masa lalu Uni Soviet, negara ini merupakan negara dimana instalasi nuklir Uni Soviet pernah didirikan, jika melihat sejarahnya memang Uni Soviet telah mampu membangun sejumlah instalasi nuklir untuk tujuan persenjataan di wilayah-wilayah strategis. Proses penghentian instalasi nuklir itu diumumkan oleh presiden Nursultan Nazabayev, ia dianggap sebagai pemimpin dunia pertama yang mengumumkan dan mengakui adanya senjata nuklir di negaranya, untuk kemudian menghancurkannya. Langkah itu diambil pada 29 Agustus 1991 (empat bulan sebelum kejatuhan Uni Soviet) 10 tepatnya di daerah Semipalatinsk.11

9Lihat “Perlucutan Sukarela Kazakstan dan Afrika Selatan,” dalam Majalah Gatra, Edisi

12 Mei 2010. Hlm 67.

10 Kejatuhan Uni Soviet oleh sejumlah analis juga dianggap berdampak pada lanskap

(6)

C. Pembentukan Rezim NPT

Untuk kepentingan yang lebih luas dan mengakomodasi kepenitngan masyarakat dunia dibentuklah Nuclear Non-Proliferation

Treaty (NPT) dalam naskah NPT disebutkan bahwa tujuan dibentuknya

NPT adalah untuk memastikan persenjataan nuklir tidak lagi digunakan sebagai alat persenjataan yang membahayakan keamanan manusia dan

alam, Considering the devastation that would be visited upon all mankind

by a nuclear war and the consequent need to make every effort to avert the danger of such a war and to take measures to safeguard the security of

peoples, .12

Mayoritas negara-negara di dunia telah menandatangi traktat ini, konsekuensi dari penandatangan NPT adalah negara-negara diminta untuk melaksanakan prinsip-prinsip transparansi dalam penggunaan nuklir, mereka harus terbuka kepada institusi yang diberi wewenang untuk melakukan kontrol. Setiap negara dimungkinkan memiliki nuklir untuk tujuan damai, sehingga dalam prosedur NPT negara yang mengembangkan nuklir damai diharuskan bekerjasama dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam rangka pengawasan penggunaan nuklir secara

transparan dalam article ))) disebutkan bahwa … . Each non

-nuclear-weapon State Party to the Treaty undertakes to accept safeguards, as set forth in an agreement to be negotiated and concluded with the International Atomic Energy Agency in accordance with the Statute of the

)nternational Atomic Energy Agency and the Agency’s safeguards system,

ilmuan nuklir tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab dalam hal ini para teroris.

11

Ibid.

12 Lihat International Atomic Energy Agency, Information Circular, “Treaty On The Non

(7)

for the exclusive purpose of verification of the fulfilment of its obligations assumed under this Treaty with a view to preventing diversion of nuclear energy from peaceful uses to nuclear weapons or other nuclear explosive devices. Procedures for the safeguards required by this Article shall be followed with respect to source or special fissionable material whether it is being produced, processed or used in any principal nuclear facility or is outside any such facility. The safeguards required by this Article shall be applied on all source or special fissionable material in all peaceful nuclear activities within the territory of such State, under its jurisdiction, or carried

out under its control anywhere. 13

Traktat NPT terus mengalami perubahan-perubahan sebagai upaya atas penyesuaian perubahan-perubahan zaman.

Begitu juga dengan sejumlah penyesuian di sejumlah kawasan, untuk kawasan Asia misalnya di Bangkok disepakati aturan yang mengatur tentang penciptaan kawasan Asia Tenggara bebas dari senjata nuklir ditandai dengan penandatangan traktat pada 10 negara pada 15 Desember

99 meliputi, Brunei Darussalam, Cambodia, )ndonesia, the Lao People’s

Democratic Republic, Malaysia, Myanmar, the Philippines, Singapore, Thailand dan Viet Nam. Kemudian mengalami penguatan pada 27 March 1997. Terdaftar di PBB pada 26 Juni 1997. Traktat Asia Tenggara ini mengacu

pada ketentuan NPT dengan agenda meliputi, …namely nuclear non

-proliferation, nuclear disarmament and the peaceful use of nuclear energy .14

Dalam NPT sendiri terdapat beberapa pengecualian yang memposisikan sejumlah negara besar masuk dalam kategori NWS (Nuclear Weapon State) terdiri dari AS, Rusia, Inggris, Prancis, China, negara-negara ini bisa dibilang memiliki priveledge sendiri jika dibandingkan dengan negara NNWS (Non-Nuclear Weapon State). NPT termasuk rezim

13 Ibid.

14

(8)

persenjataan nuklir yang paling banyak diratifikasi oleh negara-negara, tidak kurang dari 187 negara menjadi bagian dari rezim ini. Sementara beberapa negara yang mendeklarasikan diri tidak ikut atau keluar dari rezim ini diantaranya adalah: India, Pakistan, Israel, Korea Utara.

Sehingga NPT jika dibandingkan dengan rezim sebelumnya relatif lebih memiliki visi kedepan. Bandingkan misalnya dengan sejumlah rezim disarmament yang tidak berbicara secara spesifik tentang nuklir tetapi

mengakomodasi secara umum senjata-senjata yang dilarang untuk digunakan dalam peperangan karena dianggap membahayakan bagi keselamatan manusia. Hal yang umum kita temukan dalam hukum humaniter internasional. Beberapa diantaranya adalah Treaty of Versailles tahun 1919, Protokol Genewa pada tahun 1925 mengenai pelarangan penggunaan gas dan bakteri beracun dalam perang. Perjanjian lain pasca Perang Dunia II adalah PTBT (1963), NPT (1968), Seabed Treaty (1971), CTBT (1996), Zanger Committee (1974), NSG (1978), dan MTCR (1987).15

C. Tantangan Rezim NPT

Seperti diuraikan di atas bahwa rezim NPT memang dibentuk dalam rangka mewujudkan visi universal masyarakat dunia untuk menciptakan dunia yang damai. NPT disepakati oleh mayoritas negara dan diharapkan sebisa mungkin mampu mengajak seluruh negara di dunia. Namun demikian persoalan mengajak seluruh negara bukanlah persoalan mudah, mengingat masing-masing negara memiliki kecederungan dan alasan tersendiri untuk tidak terikat dalam rezim ini, kondisi demikian sekaligus menjadi tantangan bagi rezim ini.

15

(9)

Meskipun mayoritas negara di dunia bersepakat untuk terlibat dalam traktat NPT tetapi ada kecenderungan untuk perlahan-lahan berambisi untuk memiliki persenjataan nuklir, kondisi ini ada kalanya disebabkan oleh kekurangan energi tak terbarukan tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor ekternal. Untuk menguraikan persoalan ini paling tidak ada lima faktor yang bisa dijadikan evidences untuk menjelaskannya :

Pertama, bagi negara-negara besar yang menjadi kekhawatiran mereka adalah dunia tidak sedang berada dalam dua polar seperti pada Perang Dingin, kondisi yang ada sekarang adalah non-polar atau multipolar, sehingga sulit untuk melakukan identifikasi16 terhadap negara mana atau aktor mana yang tengah mengembangkan senjata nuklir, dan yang paling ditakutkan adalah aktor non-negara seperti teroris menjadi faktor utama ketakutan itu. Kondisi ini dalam proposisi post-agrement identik dengan variation in fundamental negotiations factors such as actors, situations and structure, and strategies and process can signal progress or retreat in regime

dynamics .17

Kedua, negara-negara yang tidak ikut dalam penandatangan NPT (non-NPT) terus melakukan upaya-upaya propaganda di kawasan dimana mereka berada, Israel harus diakui menjadi ancaman bagi negara-negara tetangga mereka di Timur Tengah, apalagi negara ini terus mengumumkan kemajuan teknologi persenjataannya. Begitu juga dengan yang terjadi di Asia Timur, dengan aksi Korea Utara di Semenanjung Korea, atau kepemilikan senjata nuklir India dan Pakistan yang terus menciptakan

16 Terkait dengan situasi ini, menarik juga untuk mengulas pandangan Waltz yang melihat

bahwa sebenarnya senjata nuklir tidak dalam situasi berkembang “proliferation” tetapi lebih kepada “spread” tersebar kemana-mana. Jika fokus pada proliferasi tentu hal itu hanya terjadi secara vertikal di negara-negara besar yang telah memiliki teknologi mutakhir untuk mengembangkan persenjataannya. Sementara persebaran bersifat sporadis dan merata, setiap negara dimungkinkan terlibat dalam persebaran ini sehingga bisa disebut bersifat horizontal. Waltz dalam kesimpulannya menyebutkan kemungkinan akan terus meningkatnya negara-negara nuklir. Lihat dalam Kenneth N Waltz, ”Toward,”, Op.Cit.

(10)

ketegangan dalam pertetanggaan. Memang tujuan awal mereka adalah sebagai strategi deterrence tetapi cenderung memprovokasi negara tetangga.

Ketiga, gejala arm race menjadi salah satu ketakutan banyak

negara, kepemilikan senjata nuklir negara satu akan memprovokasi negara lain untuk berada dalam kondisi takut dan menjadikan mereka menginginkan senjata serupa atau bahkan melebihi yang dimiliki negara terdahulu.

Keempat, negara-negara besar cenderung menjadikan posisi kepemilikan senjata nuklir dan sejumlah kestimewaannya untuk melakukan penekanan terhadap negara manapun yang diinginkan, dalam kasus ini kita bisa melihat standar ganda AS terhadap Israel dan Iran, dua negara ini diperlakukan sangat berbeda oleh AS padahal untuk kepemilikan nuklir Israel termasuk yang paling mengancam keamanan di kawasan. Kondisi ini menyebabkan traktat yang ada terus mengalami penurunan kualitas kepercayaan18 mengingat semakin tidak efektifnya konsensus.

Kelima, negara-negara besar seperti AS misalnya menawarkan jasa baik dengan memberikan fasilitas pertukaran uranium kadar rendah untuk energi listrik dengan uranium kadar tinggi yang dimiliki negara lain yang berpotensi menjadi senjata. Langkah ini terus menerus ditawarkan oleh AS dari rezim satu ke rezim berikutnya, tetapi yang paling terlihat adalah gagasan Presiden Barack Obama yang dalam banyak kesempatan secara tegas mengupayakan jalan damai untuk menyelesaikan setiap persoalan, berbeda dengan pendahulunya George W. Bush Jr yang cenderung menutup

18 Tekanan AS terhadap Iran dalam banyak kesempatan mendapatkan dukungan dari

(11)

jalan dialog. Obama banyak mengambil langkah akomodatif19 kepada negara yang dianggap berseberangan dengannya, seperti pemberian fasilitas pertukaran uranium kadar rendah dan memberikan bantuan finansial kepada negara yang mendengar ajakan itu, hal ini bisa dilihat dalam kasus nuklir Korea Utara dan Iran. Dari perspektif yang lain tindakan AS ini hanyalah strategi AS untuk melucuti kekuatan negara lain dan menjadikan proses pertukaran uranium sebagai langkah untuk memperkaya uranium yang dimiliki AS.

D. Post-agreement Negotiation pada NPT

Mei 2010 kemarin merupakan tahun penting bagi rezim NPT, sebab bulan Mei dianggap sebagai momentum yang bisa mempertemukan semua stakeholders yang terlibat dalam penandatangan NPT. Dalam forum yang

diselenggarakan di Markas Besar PBB New York itu sejumlah perkembangan NPT dilaporkan, IAEA selaku penanggungjawab program menjadi tulangpunggung pelaksanaan agenda tahunan itu.

Sebelum forum NPT dilaksakanan di New York, agenda serupa juga dilaksanakan tetapi bukan oleh lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa tetapi oleh pemerintah Amerika Serikat sendiri melalui inisasi pemerintahan Obama. Pertemuan itu disebut dengan KTT Nuklir yang dihadiri oleh sejumlah kepala negara, Indonesia sendiri diwakili oleh Wakil Presiden Budiono. Agenda KTT Nuklir tersebut adalah mencoba memaparkan kepada masyarakat internasional sejauh mana rezim-rezim yang ada menyangkut nuklir mampu memonitor perkembangan nuklir serta langkah-langkah apa yang tepat untuk mengurangi kuantitas persenjataan nuklir. AS sebagai promotor agenda KTT memaparkan sejumlah misi-misi

19“Program Nuklir Obama,”

(12)

strategisnya, beberapa diantaranya adalah mengumumkan kepada seluruh peserta dan dunia bahwa pemerintah AS tengah mengurangi secara

signifikan kepemilikan hulu ledak nuklir nuclear warhead dan juga nuclear stockpile , mereduksi nuklir seperti disepakati melalui mekanisme

START dengan menggunakan forum yang disebut AS sebagai Nuclear

Postur Review NPR 20, dalam kesempatan itu juga disebutkan kesiapan AS menjadi fasilitator pereduksian nuklir dengan memberikan fasilitas penyimpanan dan pertukaran uranium kadar tinngi dengan kadar lebih rendah.

Gambar .1. Penurunan Stockpile nuklir AS

20 Lihat “Program Nuklir Obama,” dalam

(13)

Uraian di atas mengantarkan kita pada satu kesimpulan bahwa penciptaan rezim NPT adalah sangat luhur tetapi dalam perjalanannya traktat ini terus mengalami pasang surut yang menyebabkan negara-negara anggota untuk larut dalam perdebatan sejauh mana efektifitas rezim NPT.

Dalam Post agreement dikenal keyakinan acceptance in beggining

tend to break down over the course of regime 21. Dari sudut pandang ini boleh jadi NPT diratifikasi oleh mayoritas negara di dunia, akan tetapi dalam perkembangannya ternyata negara-negara mulai berfikir ulang untuk menggunakan nuklir seperti halnya dilakukan oleh negara NWS.

Organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pertahanan pun masih menjadikan nuklir sebagai salah satu komponen penting menjaga stabilitas keamanan regional mereka. NATO misalnya, melihat pandangan Obama melalui NPR22 sebagai sesuatu yang luhur tetapi menurut NATO, kemanan regional di atas segala-galanya dan mereka selalu siap mengantisipasi tindakan-tindakan irasional dalam percaturan politik dunia, Salah satu alasan dibalik eksistensi pakta ini adalah untuk melindungi 900 juta orang

yang negaranya adalah anggota NATO, kata Sekjen NATO, Fogh

Rasmussen.23

21 Untuk menguatkan pandangan ini bisa juga dikomparasikan dengan preposisi yang

dibangun oleh Bertram J. Spector, ”Negotiation Readiness in the Development Context: Adding Capacity to Ripeness,” dalam http://negotiations.org/NegoReadiness2.doc, akses 16 Juni 2010.

22 Program NPR yang digulirkan Obama secara umum menginsiasi pengurangan senjata

nuklir. Pandangan senjata nuklir ini sempat ditentang oleh rival partai Demokrat yakni partai Republik yang menganggap langkah Obama dengan mengurangi terus menerus senjata nuklir sebagai sesuatu yang gila dan irasional mengingat senjata nuklir adalah ”lambang supremasi AS”, namun pandangan sinis itu dijawab oleh Obama dengan mengatakan, kurang lebih, ”AS tidak lagi membutuhkan berton-ton senjata nuklir serta hulu ledaknya, untuk mengalahkan musuh-musuh AS hanya membutuhkan senjata-senjata konvensional yang ada sekarang, mengingat senjata kita di atas rata-rata,”. Penyusun sendiri secara teoritis juga melihat ini sebagai sesuatu yang tidak perlu dibesar-besarkan, mengingat dunia sendiri tengah berlomba-lomba dalam bidang geo-ekonomi, sebagaimana didorong oleh Joseph Stiglitz dalam banyak karangannya. Tentu jika menyentuh masalah ini perdebatan akan sangat panjang hingga ke akar-akar paradigma fundamen dalam teori hubungan internasional.

23

(14)

E.Kesimpulan

Seperti diuraikan di atas bahwa fenomena persebaran senjata nuklir menjadi suatu yang tidak terhindarkan. Rezim NPT ditujukan untuk melakukan kontrol atas persebaran itu. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa NPT bisa saja menjadi rezim internasional untuk kepentingan perdamaian dunia dan keamanan manusia, tetapi efektivitas NPT tetap akan menjadi pertaruhan selama belum berada pada kondisi yang memuaskan setiap pihak.

Memang jika melihat kondisi yang ada sekarang NPT belumlah mampu meredam ketegangan-ketegangan antara negara khususnya di kawasan yang salah satu negara berpotensi menyalahgunakan senjata

nuklir. Boleh saja hal itu dianggap sebagai bagian dari rule breaking oleh

sejumlah negara atas norma bersama sebagaimana diasumsikan dalam

post-agreement negotiation . Namun demikian, harapan tetaplah

dikembalikan kepada rezim ini, mengingat mayoritas negara telah bersepakat untuk meratifikasinya dan terbukti membuahkan hasil perdamaian di beberapa kawasan.

Daftar Pustaka

Amalia, Muthia, Permasalahan Nuklir Korea Utara dan Peran Diplomasi Indonesia, dalam Diplomasi Indonesia dalam Dinamika Internasional:

Perspektif dan Analisis Diplomat Muda Indonesia.Jakarta: Departemen

Luar Negeri RI, 2009.

(15)

Fact Sheet, Increasing Transparency in the US Nuclear Weapons Stockpile, 03 Mei 2010, US Defense Department.

Firzli, M. Nicolas J., Turkey, Asia and the )ranian Nuclear Crisis , The Vienna Review (May 2010 issue); versi bahasa Arab dalam Al-Nahar (Apr 22, 2010).

Ford, Christopher, Procedure and Substance in the NPT Review Cycle: The Example of Nuclear Disarmament , US Department of State, dalam

http://www.state.gov maintained by the Bureau of Public Affairs. Akses 10 Junii 2010.

International Atomic Energy Agency (iaea.org), May 2003, Fact Sheet on DPRK Nuclear Safeguards.

)nternational Atomic Energy Agency, )nformation Circular, Treaty On The

Non-Proliferation Of Nuclear Weapons, )NFC)RC/ / April 1970.

Waltz, Kenneth N., Toward Nuclear Peace, dalam Robert J. Art dan

Kenneth N. Waltz. (eds.), The Use of Force; Military Power and

International Politics, Fourth Edition (Maryland: University Press of

America, 1993). Hlm 527.

Kessler, Glenn. "New Doubts On Nuclear Efforts by North Korea". Washington Post.http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2007/02/28/AR2007022801977.html, akses 5 Juni 2010.

Majalah Gatra, Edisi 12 Mei 2010.

Mullard, Maurice, The Politics of Globalization and Polarisation. Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2004.

Nazala, Rohdi Mohan, Post Agreement Negotiation, slide powerpoint

2010.

Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relation and World Politics; Security, Economy, Identity, Third Edition. New Jersey: Pearson

(16)

Perkovich, George, Principles for Reforming the Nuclear Order ,

Proliferation Papers,Paris, IFRI, Fall 2008.

Sanger, David E.; Broad, William J. (March 1, 2007). "U.S. Had Doubts on North Korean Uranium Drive". New York Times. http://www.nytimes.com/2007/03/01/washington/01korea.html.

Retrieved 2007-03-01

.

Spector, Bertram J., Negotiation Readiness in the Development Context:

Adding Capacity to Ripeness, dalam

Gambar

Gambar .1. Penurunan Stockpile nuklir AS

Referensi

Dokumen terkait

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari nilai agregasi sebelum pemberian aspirin antara kelompok perokok dan bukan perokok (p>0,05) begitu juga dengan yang setelah

Ini dibuktikan dengan adanya ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh kepala sekolah mengenai rencana kebijakan untuk kegiatan menanamkan nilai-nilai anti korupsi kepada

pendidikan yang diterapkan oleh lembaga pendidikan sekarang ini belum di daya gunakan secara optimal, melihat kenyataan yang ada dilapangan guru jarang sekali menggunakan

Berdasarkan hasil penelitian melalui observasi terhadap alur pelayanan kesehatan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP), maka diketahui kegiatan pokok per

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan, peneliti memaparkan beberapa kesimpulan yang didapatkan antara lain: 1) Hasil dari regresi sederhana

Hasil penelitian tentang penggunaan kondom pada responden yang berperilaku berganti-ganti pasangan seksual menunjukkan bahwa responden yang tidak selalu menggunakan kondom

PENGUASAAN PENGETAHUAN KETERAMPILAN DASAR MENGAJAR SEBAGAI KESIAPAN PRAKTIK PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN.. Universitas Pendidikan Indonesia