• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Mediator Dalam Sengketa Perceraian Menurut Perma No.1 Tahun 2008 (Studi Di Pengadilan Negeri Stabat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Mediator Dalam Sengketa Perceraian Menurut Perma No.1 Tahun 2008 (Studi Di Pengadilan Negeri Stabat)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

A. PENGERTIAN PERKAWINAN

Perkawinan merupakan ikatan suci antara pria dan wanita yang saling

mencintai dan menyayangi. Sudah menjadi kebutuhan hidup mendasar bila setiap

insan akan menikah. Umumnya , setiap orang berniat untuk menikah sekali

seumur hidupnya saja.6 Berkenaan pengertian perkawinan terdapat beberapa pengertian perkawinan yaitu menurut Undang-Undang, BW, adat, Kompilasi

Hukum Islam, dan pengertian menurut para ahli.

Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh masyarakat sejak zaman

dahulu, sekarang dan masa yang akan datang sampai akhir zaman. Karena itu

perkawinan adalah merupakan masalah yang selalu hangat di kalangan

masyarakat dan di dalam pencaturan hukum. Dari perkawinan timbul hungungan

suami istri dan kemudian hubungan antara orang tua dan anak-anaknya. Oleh

karena itu perkawinan mempunyai pengaruh yang sangat luas, baik dalam

hubungan kekeluargaan pada khususnya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat

dan bernegara pada umumnya.

Hukum perkawinan di Indonesia masih “berbhineka” atau beraneka ragam.

Cara melangsungkan perkawinan saja ada yang menurut agama Islam, menurut

agama Kristen, menurut agama Budha, menurut agama Hindu dan menurut

Hukum adat yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

6

(2)

Pada zaman berlaku Staatblad 1898-158 (Koninklijk besluit atau Firman

Raja Belanda tanggal 29 Desember 1898 No.23) sebagai hukum perkawinan yang

berlaku di Indonesia. Dalam ketentuan tersebut berlaku hal sebagai berikut:

a) Bagi orang-orang Indonesia asli yang berlaku adalah hukum adat mereka

ditambah sekedar mengenai orang Kristen dengan Staatsblad 1933-74.

b) Bagi orang-orang Arab dan lain-lain bangsa Timur Asing, yang bukan

Tionghoa yang berlaku adalah hukum adat mereka.

c) Bagi orang Eropa yang berlaku adalah Burgelijk Wetboek. Bagi

orang-orang Tionghoa yang berlaku adalah Burgelijk Wetboek dengan sedikit

kekecualian yaitu yang mengenai hal pencatatan jiwa dan acara sebelum

perkawinan dilakukan.

d) Dalam hal perkawinan campuran yang berlaku pada umumnya hukum dari

suami.

Peraturan-peraturan tersebut berlaku sebelum Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 tentang perkawinan diundangkan, yang didasarkan pada Pasal II dan

Pasal IV Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.7

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU

Perkawinan) mendefenisikan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara

seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri. Dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Menurut Pasal 26 KUH Perdata dikatakan UU memandang soal

perkawinan hanya dalam hubungan perdata dan dalam Pasal 81 KUH Perdata

7 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan menurut Islam

(3)

dikatakan bahwa tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan,

sebelum kedua belah pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka bahwa

perkawinan dihadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung.8 Dalam dua pengertian diatas sebenarnya sudah jelas bahwa menurut perundangan yang tegas

dinyatakan dalam KUH Perdata (BW), perkawinan itu hanya dilihat dari segi

keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan hal mana jelas bertentangan

dengan falsafah negara Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang

Maha Esa di atas segala-galanya. Apalagi menyangkut masalah perkawinan yang

merupakan perbuatan suci (sakramen) yang mempunyai hubungan erat sekali

dengan agama/kerohanian , sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur

lahir /jasmani , tetapi juga unsur bathin/rohani mempunyai peranan yang penting .

Dengan demikian jelas nampak perbedaan pengertian tentang perkawinan

menurut KUH Perdata dan menurut UU Perkawinan. Perkawinan menurut KUH

Perdata hanya sebagai “Perikatan Perdata” sedangkan perkawinan menurut UU

Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan „Perikatan

Keagamaan„. Hal mana dilihat dari tujuan perkawinan yang dikemukakan dalam

Pasal 1 UU Perkawinan bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Kalimat demikian itu tidak ada sama sekali dalam KUH Perdata (BW)

yang diumumkan dengan Maklumat tanggal 30 April 1847 (S. 1847-23) dan

8 Hilman Hadikusuma , Hukum Perkawinan Di Indonesia Menurut Perundangan, Hukum

(4)

berlaku di Indonesia sampai tahun 1974, selama 127 tahun dan sampai buku ini

ditulis tahun 1990 berarti sudah berlaku selama 143 tahun.9

Pengertian perkawinan menurut masyarakat secara luas juga dapat

didefenisikan sebagai ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi

yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam

budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim

dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara

pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk

keluarga.10 Berbeda halnya mengenai perkawinan yang biasanya dikenal dalam masyarakat adat atau masyarakat yang masih memiliki hubungan kental dengan

adatnya. Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan

saja berarti „perikatan perdata‟ tetapi juga merupakan „perikatan adat‟ dan

sekaligus merupakan „perikatan kekerabatan dan ketetanggaan‟. Jadi terjadinya

suatu ikatan perkawinann bukan semata-mata membawa akibat terhadap

hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-isteri, harta

bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tapi juga menyangkut

hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan

ketetanggan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.11 Sehingga perkawinan menurut adat itu menjadi lebih rumit dengan hubungan-hubungan

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karenanya Teer Haar menyatakan

bahwa perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat,

9

Ibid., halaman : 7-8.

10http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, diakses pada tanggal 11 Juli 2013 pada pukul

20.00 WIB.

11

(5)

urusan martabat dan urusan pribadi dan begitu pula ia menyangkut urusan

keagamaan. Sebagaimana dikatakan Van Vollenhoven bahwa „dalam hukum adat

banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berhubungan

dengan tatanan dunia di luar dan di atas kemampuan manusia (Hoogere

wereldorde )‟. Perkawinan dalam arti „perikatan adat‟, ialah perkawinan yang

mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat

bersangkutan , akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan ini terjadi,

yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan „rasan

samak‟ (hubungann anak-anak , bujang-gadis) dan „rasa tuha‟ (hubungan antara

orang tua keluarga dari para calon suami ,istri). Setelah terjadinya ikatan

perkawinan maka, timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk

anggota keluarga/ kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam

pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan

memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak

mereka yang terikat dalam perkawinan12.

Hukum Islam juga mengatur dan mendefenisikan perkawinan nikah

artinya adalah terkumpul dan menyatu.13 Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang

manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke

pernikahan, sesuai peraturan yang diwajibkan oleh Islam dan dalam buku lain

perkawinan menurut agama Islam adalah perikatan antara wali perempuan (calon

isteri) dengan calon suami perempuan itu, bukan perikatan antara seorang pria

12 Ibid, halaman : 9.

13 http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam, diakses pada tanggal 11 Juli

(6)

dengan seorang wanita saja sebagaimana dimaksud salam UU Perkawinan atau

menurut hukum Kristen. Kata wali bukan saja “bapak” tetapi juga termasuk

„datuk‟ (embah), saudara-saudara pria, anak-anak pria, saudara-saudara bapak

yang pria (paman), anak anak pria dari paman kesemuanya menurut garis

(patrilineal) yang beragama Islam berarti pula perikatan kekerabatan bukan

perikatan perseorangan.14 Dan ada beberapa pengertian perkawinan menurut beberapa ahli.

Menurut Bachtiar, definisi Perkawinan adalah pintu bagi bertemunya dua

hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang

lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang

layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan. Perkawinan itu merupakan

ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat mendalam dari

masing-masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara kelangsungan

manusia di bumi.15

Terruwe menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu persatuan.

Persatuan itu diciptakan oleh cinta dan dukungan yang diberikan oleh seorang pria

pada isterinya, dan wanita pada suaminya. Menurut Goldberg, perkawinan

merupakan suatu lembaga yang sangat populer dalam masyarakat, tetapi sekaligus

juga bukan suatu lembaga yang tahan uji. Perkawinan sebagai kesatuan tetap

14 Ibid., halaman :11.

15 http://www.sarjanaku.com/2013/01/pengertian-perkawinan-makalah-masalah.html,

(7)

menjanjikan suatu keakraban yang bertahan lama dan bahkan abadi serta

pelestarian kebudayaan dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan inter-personal. 16 Menurut Kartono, Pengertian perkawinan merupakan suatu institusi sosial

yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna perkawinan

berbeda-beda, tetapi praktek-prakteknya perkawinan dihampir semua kebudayaan

cenderung sama perkawinan menunujukkan pada suatu peristiwa saat sepasang

calon suami-istri dipertemukan secara formal dihadapan ketua agama, para saksi,

dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi dengan upacara dan

ritual-ritual tertentu.17

Menurut sayuti Thalib perkawinan adalah perjanjian suci membenti

keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Unsur perjanjian

disini memperlihatkan segi kesengajaan dari suatu perkawinan serta

penampakannya kepada masyarakat ramai. Sedangkan suci untuk pernyataan segi

keagamaan dari suatu perkawinan.18

B. SYARAT PERKAWINAN

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU

Perkawinan) mendefenisikan, perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara

seorang pria dan wanita sebagai suami-isteri. Dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

16 http://www.sarjanaku.com/2013/01/pengertian-perkawinan-makalah-masalah.html,

diakses pada tanggal 16 Januari 2014 pada pukul 12.30 WIB.

17

http://www.sarjanaku.com/2013/01/pengertian-perkawinan-makalah-masalah.html, pada tanggal 11 Juli 2013, pada pukul 20.45 WIB.

18 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia , UI-Press, Cetakan kelima, Jakarta ,

(8)

Perkawinan di indonesia menganut asas monogami terbuka , artinya dalam suatu

perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, begitu juga

sebaliknya. Kecuali pengadilan memberikan izin kepada pria tersebut, untuk

beristri lebih dari seorang itupun dikehendaki oleh pihak pihak terkait serta

memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan baik menurut syarat alternatif

maupun kumulatif.19

Perkawinan dapat dilakukan apabila memenuhi ketentuan dan

syarat-syarat perkawinan yang diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 Undang-Undang

No.1 tahun 1974 Tentang perkawinan. Pasal 6 sampai Pasal 11 Undang-Undang

No.1 tahun 1974 Tentang perkawinan memuat mengenai syarat perkawinan yang

bersifat materiil, sedang Pasal 12 Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang

perkawinan mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil. Syarat

perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 sampai Pasal 11

Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang perkawinan, yaitu:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila

salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya

telah meninggal dunia.

3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun

dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan

19

(9)

harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua

pihak pria maupun wanita.

Ini merupakan syarat syarat yang harus dipenuhi oleh para calom mempelai untuk

melakukan suatu perkawinan menurut UU nomor 1 tahun 1974

Tetapi ada juga syarat syarat yang diatur menurut kompilasi hukum islam

tentang perkawinan yaitu menurut pasal 14 Kompilasi Hukum Islam

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :

a. Calon Suami; Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan

hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang

ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami

sekurang-kurangnya berumur 19 tahun.

b. Calon Isteri; Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan

hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang

ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni dan calon

isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

c. Wali nikah; Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus

dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya

Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi

syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Dan wali nikah terdiri dari

dua bagian:

1. Wali nasab:

Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok

(10)

kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat

laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki

seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman,

yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki

mereka. Keempat, kelompok saudara laki kandung kakek, saudara

laki-laki seayah dan keturunan laki-laki-laki-laki mereka.

2. Wali hakim;

Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab

tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat

tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.Dalam hal wali adlal atau

enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah

ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

d. Dua orang saksi

Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki

muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta

menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.

Ijab dan Kabul Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas

beruntun dan tidak berselang waktu.

Di dalam pengertian perkawinan itu juga kita melihat adanya unsur ikatan

(11)

menunjukkan bahwa Undang-undang Perkawinan kita pada prinsipnya menganut

asas monogami, karenanya poligami hanyalah dimungkinkan sepanjang hukum

agama yang bersangkutan mengizinkan dan itupun dibatasi oleh syarat-syarat

ketat, yaitu dengan izin pengadilan.20

C.AKIBAT PERKAWINAN

Akibat hukum yang ditimbulkan sebuah perkawinan adalah sebagai berikut :

1. Terkait dengan hak dan kedudukan , suami dan isteri adalah seimbang

menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 77 adalah sebagai berikut:

a. Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan

susunan masyarakat

b. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan

memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain;

c. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara

anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun

kecerdasannya dan pendidikan agamanya;

d. suami isteri wajib memelihara kehormatannya;

e. jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat

mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama

20

(12)

2. Terkait dengan kedudukan anak, dimana anak adalah sah bila dilahirkan

dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah menurut pasal 98

Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:

a. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,

sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum

pernah melangsungkan perkawinan.

b. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di

dalam dan di luar Pengadilan.

c. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang

mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak

mampu.

3. Terkait dengan harta benda dalam perkawinan akan terjadi percampuran harta

yang didapat menjadi harta bersama. Kecuali atas harta bawaan maupun harta

perolehan, itupun harus didasarkan pada perjanjian pemisahan harta.21 Diatur lebih lanjut dalam pasal 83 sampai dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam

Dan ada beberapa akibat hukum Dari adanya perkawinan akan

menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang

dilahirkan dalam perkawinan.

21

(13)

a. Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri (pasal 30-34

Undang-Undang No.1 Tahun 1974)

1. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan

rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam

pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum

4. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

5. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.

6. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,

saling setia.

7. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu

sesuai dengan kemampuannya.

8. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

b. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan (pasal 35-37

Undang-Undang No.1 Tahun 1974)

1. Timbul harta bawaan dan harta bersama.

2. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya

terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hokum apapun.

3. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan

(14)

c. Akibat Perkawinan Terhadap Anak

Kedudukan anak (pasal 42-44 Undang-Undang No.1 Tahun 1974) dan

Hak dan Kewajiban antara anak dan orang tua (pasal 45-49

Undang-Undang No.1 Tahun 1974)

1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah

2. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.

3. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak

4. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya

sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri

5. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya

yang baik.

6. Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam

garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan

bantuan anaknya.

d. Kekuasaan orang tua (pasal 50-54 Undang-Undang No.1 Tahun 1974)

1. Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di

bawah kekuasaan orang tua.

2. Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun

di luar pengadilan.

3. Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun

(15)

4. Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan

barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau

belum pernah kawin

5. Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila: ia sangat

melalaikan kewajibannya terhadap anak dan anak berkelakuan buruk

sekali

6. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk

memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.

7. Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum

mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Isi kekuasaan orang tua adalah:

1. Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta

kekayaannya.

2. Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan

hokum di dalam maupun di luar pengadilan.

Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari

pengesahannya.

Kekuasaan orang tua berakhir apabila:

1. Anak itu dewasa

2. Anak itu kawin

3. Kekuasaan orang tua dicabut 22

22http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/02/hukum-perdata-akibat-hukum-perkawinan/,

(16)

D.PENGERTIAN PERCERAIAN

Cerai adalah sebuah kata yang seharusnya paling dihindari dalam kamus

sebuah rumah tangga. Cerai adalah awal dari sebuah petaka dan kesengsaraan,

baik bagi pasangan itu atau bagi anak-anak. Cerai hanya akan mengakibatkan luka

yang menganga. Cerai bukan jalan keluar tetapi suatu keterpaksaan yang tidak

menambah apa-apa kecuali kehampaan.23

Perceraian adalah pembubaran suatu perkawinan ketika pihak-pihak masih

hidup dengan didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dibenarkan serta

ditetapkan dengan suatu keputusan hakim yang didaftarkan pada catatan sipil.

Dalam pasal 38, Undang-Undang perkawinan menetukan bahwa pada

perjalanannya perkawinan dapat saja berakhir yaitu jika disebabkan oleh kematian

; perceraian atau atas keputusan pengadilan.24 Jadi salah satu prinsip dalam hukum perkawinan nasional yang seirama dengan ajaran agama ialah mempersulit

terjadinya perceraian (cerai hidup) , karena percraian berarti gagalnya tujuan

perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera , akibat

perbuatan manusia. Lain halnya terjadi putus perkawinan karena kematian yang

merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat di elakkan

manusia . nampaknya baik dalam KUH perdata maupun UU no 1 tahun 1974

putusnya perkawinan karena kematian hampir tidak diatur sama sekali.25 Dan yang ingin dibahas penulis pada bab ini adalah tentang putusnya perkawinan

akibat perceraian, dimana di dalam hukum Indonesia memperbolehkan terjadinya

23 http://www.syariahonline.com/v2/component/content/article/70/2740.html, diakses

pada tanggal 12 Juli 2013 pada pukul 15.05 WIB.

24 Budi susilo , Op,cit, halaman : 17.

25 Hilman hadikusuma , hukum perkawinan di Indonesia ,mandar maju , bandung ,2007,

(17)

suatu perceraian tetapi dengan alasan yang jelas dan sudah ditentukan. Menurut

pengertian orang secara luas perceraian itu berakhirnya suatu pernikahan. Saat

kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa

meminta pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut

harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama

pernikahan (seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan bagaimana mereka

menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Banyak negara yang

memiliki hukum dan aturan tentang perceraian, dan pasangan itu dapat diminta

maju ke pengadilan.26 Ada juga pengertian pengertian lain perceraian menurut para ahli diantara nya:

a. Menurut Subekti sebagai berikut :

“Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau

tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.”27

b. Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin sebagai berikut :

”Perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja

dan tempat tidur yang didalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada

kehendak baik dari suami maupun dari isteri untuk pemutusanperkawinan.

Perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan isteri.”

c. Menurut P.N.H. Simanjuntak sebagai berikut :

“Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan

keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak

dalam perkawinan.”28

26http://id.wikipedia.org/wiki/Perceraian, diakses pada tanggal 12 Juli 2013 pada pukul

16.00 WIB.

27

(18)

d. Hurlock sebagai berikut:

“ perceraian merupakan kalminasi dari penyelesaian perkawinan yang buruk,

dan yang terjadi bila antara suami-istri sudah tidak mampu lagi mencari cara

penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak, perlu disadari

bahwa banyak perkawinan yang tidak membuahkan kebahagiaan tetapi tidak

diakhiri dengan perceraian. Hal ini karena perkawinan tersebut dilandasi

dengan pertimbangan-pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi, dan

alasan lainnya. Perpisahan atau pembatalan perkawinan dapat dilakukan secara

hukum maupun dengan diam-diam dan kadang ada juga kasus dimana salah

satu pasangan (istri/suami) meninggalkan keluarga (minggat).29

Pada umumnya aturan tentang perkawinan dan perceraian didalam hukum

adat dipengaruhi oleh agama yang dianut oleh oleh masyarakat adat bersangkutan

. jadi anggota-anggota masyarakat adat yang menganut agama islam dipengaruhi

oleh hukum perkawinan dan perceraian agama islam dipengaruhi oleh hukum

perkawinan dan perceraian islam, yang menganut agama kristen/katholik

dipengaruhi hukum perkawinan dan perceraian kristen/ katholik, yang menganut

agama hindu/budha dipengaruhi hukum hindu/budha. 30 tetapi dalam agama kristen / katholik Salah satu agama yang tidak memperbolehkan adanya

perceraian oleh pasangan-pasangan di dalam umatnya adalah Kristen Katolik

Roma. Gereja Kristen Katolik Roma menanggapi masalah perceraian sebagai

berikut : Perceraian atau perpisahan tetap/selamanya dalam suatu ikatan

28 P.N.H.Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia , Jakarta, Djambatan,

2007, halaman: 53.

29 http://www.sarjanaku.com/2013/01/penyebab-perceraian-pengertian-dampak.html,

diakses pada tanggal 12Juli 2013 pada pukul 17.00 WIB.

30

(19)

pernikahan, memang tidak diperbolehkan dalam ajaran Kristen, karena itu ada

tertulis dalam Alkitab (Matius 19:9; Markus 10:9). Karena Injil merupakan dasar

kehidupan umat Kristen , maka tidak ada alasan apapun untuk mengadakan

perceraian. Selain itu juga terdapat pengajaran lain di Alkitab mengenai hal ini,

misalnya pada 1 Korintus 7.31 Dan dalam Agama Buddha tidak melarang perceraian, namun agama Buddha jelas juga tidak mendukung perceraian. Ajaran

Sang Guru Agung memberikan pada kita suatu cara untuk menjalankan kehidupan

pernikahan dan keluarga yang harmonis dan saling mencintai, oleh karena itulah

apabila ada permasalahan dalam keluarga, usahakan untuk dapat diselesaikan dan

jadikan perceraian sebagai usaha yang terakhir apabila usaha-usaha yang lain

gagal. Janganlah menyerah untuk menanggulangi masalah dalam rumah tangga,

seberapapun beratnya itu, dan juga jangan terlalu gampang untuk mengatakan dan

menggugat cerai, karena hal itu jelas-jelas tidak dianjurkan dalam agama Buddha.

32

dari semua agama yang terdapat di indonesia, hanya agama Islam yang banyak

mengatur soal perceraian, dimana menurut hukum islam istilah perceraian disebut

dalam bahasa arab yaitu „talak‟ yang artinya „melepas ikatan‟(sulaiman Rasjid ,

1989: 371). Hukum asal dari talak adalah „makruh‟(tercela). Sebagaimana hadis

riwayat Abudaud dan Ibnu majah dari Ibnu Umar yang mana Rasululloh SAW

mengatakan „sesuatu yang halal (boleh)yang sangat benci Allah ialah tallak33

Jadi dua orang yang mempunyai sifat dan kepribadian yang berbeda

disatukan dalam suatu ikatan perkawinan, tentu bukan suatu hal yang akan terus

31http://id.wikipedia.org/wiki/Perceraian#Kristen.2FKatolik, diakses pada tanggal 12 Juli

20.00 WIB.

32

http://artikelbuddhist.com/2011/05/pandangan-buddhis-mengenai-perkawinan-dan-perceraian.html, diakses pada tanggal 12 Juli 2013 pada pukul 21.00 WIB.

33

(20)

berjalan mulus. Pasti ada masanya di antara suami isteri akan timbul masalah

baik itu disebabkan oleh isteri maupun suami. Karena masalah yang ada di antara

mereka tidak menemukan jalan keluar yang baik, maka salah satu pihak dapat

mengajukan perceraian.

UU Perkawinan menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian,

karena perceraian akan membawa akibat buruk bagi pihak-pihak yang

bersangkutan. Dengan maksud untuk mempersukar terjadinya perceraian maka

ditentukan bahwa melakukan perceraian harus ada cukup alasan bagi suami isteri

itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.34

E. ALASAN PERCERAIAN

Pada umunya semua pasangan yang telah menikah menginginkan

perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga, rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi karena dalam

menyatukan dua orang yang berbeda memiliki proses yang cukup lama dan berat

, dalam masa masa sebelum dapat menyatukan prinsip tersebut aada masalah

masalah yang timbul dan tidak dapat diselesaikan dalam sebuah perkawinan

maka dapat terjadi perpisahan antara pansangan tersebut yang disebut dengan

perceraian. Penyebab perceraian dalam rumah tangga tentunya sangat beragam.

Mulai dari permasalahan ekonomi, jenuh, KDRT (kekerasan rumah tangga)

34 Sudarsono, Lampiran UUP Dengan Penjelasannya, Jakarta, Rineka Cipta, 1991,

(21)

hingga hadirnya orang ketiga.35 Menurut ketentuan hukum yang berlaku, di Indonesia Perceraian dapat terjadi karena alasan alasan yang diatur dalam pasal

19, peraturan pemerintahNomor 9 Tahun 1975, menggariskan bahawa perceraian

dapat terjadi atau dilakukan karena alasan sebagai berikut:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan; alasan ini dapat digunakan

untuk mengajukan gugatan perceraian, karena bila seseorang telah berbuat

zina berarti dia telah melakukan pengkhianatan terhadap kesucian dan

kesakralan suatu perkawinan termasuk perbuatan menjadi pemabuk

pemadat dan penjudi, yang merupakan perbuatan melanggar hukum agama

dan hukum positif.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar

kemampuannya. Hal ini terkait dengan kemampuan memberikan nafkah

baik lahir maupun batin , yang bila kemudiansalah satu pihak

meninggalkan pihak lain dalam waktu yang lama tanpa seizin pasangan

nya tersebut, maka akan berakibat pada tidak dilakukan nya pemenuhan

kewajiban yang harus diberikan kepada pasangan nya sehingga bila

pasangan nya tidak rela , maka dapat mengajukan alaasan tersebut untuk

menjadi dasar diajukan nya gugatan perceraian di pengadilan

35

(22)

3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Hampir sama

dengan poin b, poin ini juga dapat dijadikan sebagai alasan oleh salah satu

pihak untuk mengajukan gugatan perceraian. Sebab , jika salah satu pihak

sedang menjalani hukuman penjara lima tahun atau lebih, itu artinya yang

bersangkutan tidak dapat menjalankan kewajiban nya sebagai seorang

suami/istri.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain; poin ini menitik beratkan pada kemaslahatan

atau manfaat dari perkawinan, dibandingkan dengan keselamatan

individu/salah satu pihak. Bila suatu perkawinan tetap di pertahan kan

namun akan berdampak pada keselamatan individu, maka akan lebih baik

jika perkawinan itu diputus dengan perceraian dalam hal ini harus bisa

benar benar dibuktikan , mengenai tindakan atau ancaman yang

membahayakan keseamatan seseorang/salah satu pihak. Dengan demikian

, alasantersebut dapat diterima oleh majelis hakim pemeriksa perkara di

pengadilan .

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri; Tidak dapat

dipungkiri bila ikatan perkawinan faktor-faktor jasadiah, terutama masalah

kebutuhan biologis. Ketika salah satu pihak tidak dapat menjalankan

(23)

yang dimilikinya, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai alasan oleh

saah satu pihak untuk mengajukan gugatan perceraian.

6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; tidak semua

kehidupan rumah tangga yang rukun tentramdan nyaman, apabila dipenuhi

dengan perselisihan. Apalagi , bila pertengkaran tersebut tak terelakan dan

tak terselesaikan. Jika hal itu berlangsung terus menerus, dan dapat

menimbulkan dampak buruk yang lebih besar kedepan, maka dei

perbolehkan untuk mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan.36

Selanjutnya dalam peraturan lain, yaitu dalam Instruksi Presiden Nomor 1

Tahun 1991 juncto Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991

Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni

1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, untuk selanjutnya disenbut Kompilasi

Hukum Islam, khusus untuk mereka yang beragama Islam alasan Perceraian

ditambah 2 (dua) hal lagi yaitu:

a. Suami melanggar Ta'lik Talak

b. Peralihan agama atau Murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan yang terjadi dalam rumah tangga.37

Tetapi ada juga alasan alasan yang lebih dikenal oleh masyarakat secara

umum dalam proses perceraian tersebut yaitu:

36 Budi susilo ,Op,cit, halaman : 21-24.

37 http://perkaracerai.blogspot.com/2010/07/risalah-khalifah-umar-ibnu-al-khattab.html,

(24)

1. Munculnya Perbedaan Prinsip dan Ketidakcocokan.

Alasan inilah yang biasanya paling sering diungkapkan para pasangan

suami istri yang bercerai. Dan pasti akan menjadi kerugian bagi kedua belah pihak

apabila kedua pasangan suami istri tersebut membesar-besarkan masalah yang

sebenarnya kecil yang sedang terjadi dalam rumah tangganya.

2. Jenuh dan Bosan

Kadang alasan merasa jenuh terhadap pasangan atau terhadap kehidupan

rumah tangga yang begitu-begitu saja tanpa perubahan yang menjadi alasan

perceraian. Hal ini biasanya akan terjadi karena setiap pasangan tidak memiliki

komitmen sejak awal menikah. Dengan berjalannya waktu pasangan tersebut

merasa tidak kuat untuk menjalankan kehidupan rumah tangga.

3. KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

Alasan adanya KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga kerap terjadi

dan menjadi alasan paling utama pasangan untuk secepat mungkin memilih jalan

perceraian. Alasan perceraian karena KDRT ini sering terjadi di Indonesia,

kekerasan yang terjadi bisa berupa fisik ataupun mental yang dialami pihak suami

ataupun pihak istri.

4. Perselingkuhan atau Orang Ketiga

Adanya perselingkuhan dikarenakan adanya orang ketiga akan menjadi

pemicu utama perceraian. Biasanya hal ini terjadi karena salah satu pihak merasa

jenuh atau pasangan kurang diperhatikan pasangannya, sehingga mencari sosok

pasangan yang bisa membuatnya nyaman dan mendapatkan apa yang tidak di

(25)

5. Komunikasi tidak lancar.

Faktor komunikasi memang masalah yang sebenarnya bisa di atasi, tetapi

karena kurangnya pengertian dan kesibukan yang terjadi diantara kedua belah

pihak menjadikan masalah komunikasi ini menjadi penyebab perceraian. Misalnya

saja kurang terjalin hubungan harmonis antar suami dan istri sehingga

mengakibatkan pasangan enggan untuk terbuka dan berbagi lagi, saat ada masalah

yang seharusnya dibicarakan bersama maka masalah tersebut hanya dipendam

sendiri saja

6. Masalah Ekonomi

Alasan perekonomian keluarga yang tidak mencukupi kadang menjadi

penyebab yang sering timbul dalam rumah tangga. Hal ini terjadi karena suami

tidak mampu menafkahi istri dan keluarganya, selain itu penghasilan istri yang

besar sehingga tidak menghargai penghasilan suami kadang menjadi pemicu

terjadinya perceraian. Banyak masalah ekonomi yang terjadi dalam rumah tangga

yang seharusnya dapat disikapi dengan baik oleh kedua belah pihak.

7. Perbedaan Pola Asuh Anak

Pola asuh anak yang sering kali berbeda, tidak jarang yang menimbulkan

pertengkaran, karena seringnya terjadi perbedaan maka sering pula terjadi

pertengkaran, dikarenakan masalah inilah biasanya pasangan merasa tidak cocok

dan memutuskan untuk mengakhiri rumah tangga mereka.

Iulah beberapa alasan perceraian rumah tangga yang sewaktu-waktu bisa

mengancam kehidupan Anda dan pasangan. Ada baiknya apabila Anda dan

(26)

keutuhan keluarga tetap terjaga. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa

pernikahan harmonis membutuhkan kerja sama yang baik, bukan hanya satu

pihak, tetapi dari Anda juga pasangan Anda.38

F. AKIBAT PERCERIAN

Diatur dalam pasal 41 UU No 1 Tahun 1974 dan Pasal 149 Kompilasi

Hukum Islam. Akibat putusnya perkawinan dapat dibedakan menjadi dua macam

yaitu :

1. Akibat talak

2. Akibat perceraian

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :

1. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya baik berupa uang

maupun benda.

2. Member nafkah, mas kawin, dan kiswah terhadap bekas istri selama dalam

masa iddah kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in dan dalam keadaan

tidak hamil.

3. Melunasi mahar yang telah terhutang seluruhnya dan separoh apabila

qabla al dukhul.

4. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai

umur 21 tahun.

38 http://sahabathawa.com/hal-inilah-yang-biasanya-jadi-alasan-perceraian/, diakses pada

(27)

Yang menjadi hak suami terhadap istrinya melakukan rujuk kepada bekas

istrinya yang masih dalam masa iddah. Waktu tunggu atau masa iddah bagi

seorang janda ditentukan sebagai berikut :

1. Perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul waktu

tunggu ditetapkan 130 hari

2. Perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bai yang masih haid

ditetapkan tiga kali suci sekurang-kurangnya Sembilan puluh hari dan bagi

yang tidak haid juga ditetapkan Sembilan puluh hari

3. Perkawinan putus karena perceraian sedangkan janda tersebut dalam

keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai dia melahirkan.

4. Perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut dalam keadaan

hamil waktu tunggu ditetapkan sampai dia melahirkan (pasal 153 ayat 2

inpres Nomor 1 Tahun 1951).

5. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian

sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.

Bagi perkawinan yang putus karena perceraian tenggang waktu dihitung

sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum

tetap. Yang menjadi kewajiban istri yang di talak oleh suaminya dalam masa

iddah adalah :

1. Menjaga dirinya.

(28)

3. Tidak menikah dengan pria lain

Sedangkan yang menjadi hak istri dalam masa iddah mandapatkan nafkah iddah

dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyuz

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam pasal 156

inpres Nomor 1 tahun 1991 ada tiga akibat putusnya perkawinan karena

perceraian yaitu :

1. Terhadap anak-anaknya

2. Terhadap harta bersama

3. Terhadap muth‟ah

Ada tujuh akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhaap anak-anaknya

yaitu ; Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya

kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya diganti oleh :

1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu

2. Ayah

3. Wanita dalam garis lurus keatas dari ayah

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

5. Anak yang sudah memayyiz berhak memilih hadanah dari ayah dan

ibunya

6. Apabila pemegang hadanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani

(29)

atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan agama dapat

memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunya hak

hadanah pula.

7. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya

menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan anaknya dan pemilikan

anaknya yang tidak turut padanya (pasal 156 inpres Nomor 1 tahun 1991)

Dalam pasal 41 UU Perkawinan disebutkan tiga akibat putusnya

perkawinan karana perceraian terhadap anak-anaknya sebagai berikut :

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan si anak.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan anak itu.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suamiuntuk membiayai

penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya.

Bagi suami atau istri yang khusus karena talak dan perceraian berhak

mendapatkan harta bersama. Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama

dalam perkawinan hak suami dalam harta bersama sebagian dari harta bersma itu

begitu juga istri mendapatkan bagian yang sama besar dengan suami.

Disamping itu, kewajiban lain dari bekas suami adalah memberikan muth‟ah

kepada bekas istrinya. Muth‟ah adalah berupa pemberian bekas suami kepada istri

yang dijatuhi talak baik benda atau uang dan yang lainnya. Syarat pemberian

(30)

1. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba‟da al dukhul

2. Perceraian itu atas kehendak suami39

39

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman perawat tentang hubungan dukungan keluarga dengan orientasi realita pada klien skizofrenia di wilayah kerja

Berkaitan dengan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kemampuan representasi matematis mahasiswa dalam pembelajaran dengan model PBL

Sedangkan menurut Bruner (dalam Sagala, 2003 : 35) dalam proses belajar dapat dibedakan pada tiga fase yaitu: 1) informasi, dalam tiap.. pelajaran diperoleh sejumlah informasi,

[r]

Zona Penggunaan bagi Pejalan Kaki adalah area dari koridor sisi jalan. yang secara khusus digunakan untuk area pejalan kaki dan

Untuk menanggulangi kejadian-kejadian seperti ini perlu adanya suatu lembaga yang mampu menjadi jalan tengah.Wujud nyatanya adalah dengan memperbanyak pengoperasionalan

Hasil dari penelitian ini adalah menghasilkan system e-learning berbasis website untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, efektif dan waktu lebih efisien sehingga

Dalam ajaran Islam khususnya dalam kitab suci al-Qur’an banyak kita temukan ayat-ayat yang sebenarnya membicarakan tentang manusia, mulai dari proses asal-usul