BAB II
TINJAUAN UMUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
A. PENGERTIAN PERKAWINAN
Perkawinan merupakan ikatan suci antara pria dan wanita yang saling
mencintai dan menyayangi. Sudah menjadi kebutuhan hidup mendasar bila setiap
insan akan menikah. Umumnya , setiap orang berniat untuk menikah sekali
seumur hidupnya saja.6 Berkenaan pengertian perkawinan terdapat beberapa pengertian perkawinan yaitu menurut Undang-Undang, BW, adat, Kompilasi
Hukum Islam, dan pengertian menurut para ahli.
Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh masyarakat sejak zaman
dahulu, sekarang dan masa yang akan datang sampai akhir zaman. Karena itu
perkawinan adalah merupakan masalah yang selalu hangat di kalangan
masyarakat dan di dalam pencaturan hukum. Dari perkawinan timbul hungungan
suami istri dan kemudian hubungan antara orang tua dan anak-anaknya. Oleh
karena itu perkawinan mempunyai pengaruh yang sangat luas, baik dalam
hubungan kekeluargaan pada khususnya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara pada umumnya.
Hukum perkawinan di Indonesia masih “berbhineka” atau beraneka ragam.
Cara melangsungkan perkawinan saja ada yang menurut agama Islam, menurut
agama Kristen, menurut agama Budha, menurut agama Hindu dan menurut
Hukum adat yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
6
Pada zaman berlaku Staatblad 1898-158 (Koninklijk besluit atau Firman
Raja Belanda tanggal 29 Desember 1898 No.23) sebagai hukum perkawinan yang
berlaku di Indonesia. Dalam ketentuan tersebut berlaku hal sebagai berikut:
a) Bagi orang-orang Indonesia asli yang berlaku adalah hukum adat mereka
ditambah sekedar mengenai orang Kristen dengan Staatsblad 1933-74.
b) Bagi orang-orang Arab dan lain-lain bangsa Timur Asing, yang bukan
Tionghoa yang berlaku adalah hukum adat mereka.
c) Bagi orang Eropa yang berlaku adalah Burgelijk Wetboek. Bagi
orang-orang Tionghoa yang berlaku adalah Burgelijk Wetboek dengan sedikit
kekecualian yaitu yang mengenai hal pencatatan jiwa dan acara sebelum
perkawinan dilakukan.
d) Dalam hal perkawinan campuran yang berlaku pada umumnya hukum dari
suami.
Peraturan-peraturan tersebut berlaku sebelum Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan diundangkan, yang didasarkan pada Pasal II dan
Pasal IV Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.7
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan) mendefenisikan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri. Dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Menurut Pasal 26 KUH Perdata dikatakan UU memandang soal
perkawinan hanya dalam hubungan perdata dan dalam Pasal 81 KUH Perdata
7 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan menurut Islam
dikatakan bahwa tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan,
sebelum kedua belah pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka bahwa
perkawinan dihadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung.8 Dalam dua pengertian diatas sebenarnya sudah jelas bahwa menurut perundangan yang tegas
dinyatakan dalam KUH Perdata (BW), perkawinan itu hanya dilihat dari segi
keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan hal mana jelas bertentangan
dengan falsafah negara Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang
Maha Esa di atas segala-galanya. Apalagi menyangkut masalah perkawinan yang
merupakan perbuatan suci (sakramen) yang mempunyai hubungan erat sekali
dengan agama/kerohanian , sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir /jasmani , tetapi juga unsur bathin/rohani mempunyai peranan yang penting .
Dengan demikian jelas nampak perbedaan pengertian tentang perkawinan
menurut KUH Perdata dan menurut UU Perkawinan. Perkawinan menurut KUH
Perdata hanya sebagai “Perikatan Perdata” sedangkan perkawinan menurut UU
Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan „Perikatan
Keagamaan„. Hal mana dilihat dari tujuan perkawinan yang dikemukakan dalam
Pasal 1 UU Perkawinan bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Kalimat demikian itu tidak ada sama sekali dalam KUH Perdata (BW)
yang diumumkan dengan Maklumat tanggal 30 April 1847 (S. 1847-23) dan
8 Hilman Hadikusuma , Hukum Perkawinan Di Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
berlaku di Indonesia sampai tahun 1974, selama 127 tahun dan sampai buku ini
ditulis tahun 1990 berarti sudah berlaku selama 143 tahun.9
Pengertian perkawinan menurut masyarakat secara luas juga dapat
didefenisikan sebagai ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi
yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam
budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim
dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara
pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk
keluarga.10 Berbeda halnya mengenai perkawinan yang biasanya dikenal dalam masyarakat adat atau masyarakat yang masih memiliki hubungan kental dengan
adatnya. Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan
saja berarti „perikatan perdata‟ tetapi juga merupakan „perikatan adat‟ dan
sekaligus merupakan „perikatan kekerabatan dan ketetanggaan‟. Jadi terjadinya
suatu ikatan perkawinann bukan semata-mata membawa akibat terhadap
hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-isteri, harta
bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tapi juga menyangkut
hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan
ketetanggan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.11 Sehingga perkawinan menurut adat itu menjadi lebih rumit dengan hubungan-hubungan
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karenanya Teer Haar menyatakan
bahwa perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat,
9
Ibid., halaman : 7-8.
10http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, diakses pada tanggal 11 Juli 2013 pada pukul
20.00 WIB.
11
urusan martabat dan urusan pribadi dan begitu pula ia menyangkut urusan
keagamaan. Sebagaimana dikatakan Van Vollenhoven bahwa „dalam hukum adat
banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berhubungan
dengan tatanan dunia di luar dan di atas kemampuan manusia (Hoogere
wereldorde )‟. Perkawinan dalam arti „perikatan adat‟, ialah perkawinan yang
mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat
bersangkutan , akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan ini terjadi,
yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan „rasan
samak‟ (hubungann anak-anak , bujang-gadis) dan „rasa tuha‟ (hubungan antara
orang tua keluarga dari para calon suami ,istri). Setelah terjadinya ikatan
perkawinan maka, timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk
anggota keluarga/ kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam
pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan
memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak
mereka yang terikat dalam perkawinan12.
Hukum Islam juga mengatur dan mendefenisikan perkawinan nikah
artinya adalah terkumpul dan menyatu.13 Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang
manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke
pernikahan, sesuai peraturan yang diwajibkan oleh Islam dan dalam buku lain
perkawinan menurut agama Islam adalah perikatan antara wali perempuan (calon
isteri) dengan calon suami perempuan itu, bukan perikatan antara seorang pria
12 Ibid, halaman : 9.
13 http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam, diakses pada tanggal 11 Juli
dengan seorang wanita saja sebagaimana dimaksud salam UU Perkawinan atau
menurut hukum Kristen. Kata wali bukan saja “bapak” tetapi juga termasuk
„datuk‟ (embah), saudara-saudara pria, anak-anak pria, saudara-saudara bapak
yang pria (paman), anak anak pria dari paman kesemuanya menurut garis
(patrilineal) yang beragama Islam berarti pula perikatan kekerabatan bukan
perikatan perseorangan.14 Dan ada beberapa pengertian perkawinan menurut beberapa ahli.
Menurut Bachtiar, definisi Perkawinan adalah pintu bagi bertemunya dua
hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang
lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang
layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan. Perkawinan itu merupakan
ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat mendalam dari
masing-masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara kelangsungan
manusia di bumi.15
Terruwe menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu persatuan.
Persatuan itu diciptakan oleh cinta dan dukungan yang diberikan oleh seorang pria
pada isterinya, dan wanita pada suaminya. Menurut Goldberg, perkawinan
merupakan suatu lembaga yang sangat populer dalam masyarakat, tetapi sekaligus
juga bukan suatu lembaga yang tahan uji. Perkawinan sebagai kesatuan tetap
14 Ibid., halaman :11.
15 http://www.sarjanaku.com/2013/01/pengertian-perkawinan-makalah-masalah.html,
menjanjikan suatu keakraban yang bertahan lama dan bahkan abadi serta
pelestarian kebudayaan dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan inter-personal. 16 Menurut Kartono, Pengertian perkawinan merupakan suatu institusi sosial
yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna perkawinan
berbeda-beda, tetapi praktek-prakteknya perkawinan dihampir semua kebudayaan
cenderung sama perkawinan menunujukkan pada suatu peristiwa saat sepasang
calon suami-istri dipertemukan secara formal dihadapan ketua agama, para saksi,
dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi dengan upacara dan
ritual-ritual tertentu.17
Menurut sayuti Thalib perkawinan adalah perjanjian suci membenti
keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Unsur perjanjian
disini memperlihatkan segi kesengajaan dari suatu perkawinan serta
penampakannya kepada masyarakat ramai. Sedangkan suci untuk pernyataan segi
keagamaan dari suatu perkawinan.18
B. SYARAT PERKAWINAN
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan) mendefenisikan, perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami-isteri. Dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
16 http://www.sarjanaku.com/2013/01/pengertian-perkawinan-makalah-masalah.html,
diakses pada tanggal 16 Januari 2014 pada pukul 12.30 WIB.
17
http://www.sarjanaku.com/2013/01/pengertian-perkawinan-makalah-masalah.html, pada tanggal 11 Juli 2013, pada pukul 20.45 WIB.
18 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia , UI-Press, Cetakan kelima, Jakarta ,
Perkawinan di indonesia menganut asas monogami terbuka , artinya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, begitu juga
sebaliknya. Kecuali pengadilan memberikan izin kepada pria tersebut, untuk
beristri lebih dari seorang itupun dikehendaki oleh pihak pihak terkait serta
memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan baik menurut syarat alternatif
maupun kumulatif.19
Perkawinan dapat dilakukan apabila memenuhi ketentuan dan
syarat-syarat perkawinan yang diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 Undang-Undang
No.1 tahun 1974 Tentang perkawinan. Pasal 6 sampai Pasal 11 Undang-Undang
No.1 tahun 1974 Tentang perkawinan memuat mengenai syarat perkawinan yang
bersifat materiil, sedang Pasal 12 Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang
perkawinan mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil. Syarat
perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 sampai Pasal 11
Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila
salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya
telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan
19
harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua
pihak pria maupun wanita.
Ini merupakan syarat syarat yang harus dipenuhi oleh para calom mempelai untuk
melakukan suatu perkawinan menurut UU nomor 1 tahun 1974
Tetapi ada juga syarat syarat yang diatur menurut kompilasi hukum islam
tentang perkawinan yaitu menurut pasal 14 Kompilasi Hukum Islam
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami; Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan
hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun.
b. Calon Isteri; Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan
hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni dan calon
isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
c. Wali nikah; Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya
Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Dan wali nikah terdiri dari
dua bagian:
1. Wali nasab:
Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok
kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat
laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki
seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman,
yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki
mereka. Keempat, kelompok saudara laki kandung kakek, saudara
laki-laki seayah dan keturunan laki-laki-laki-laki mereka.
2. Wali hakim;
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.Dalam hal wali adlal atau
enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah
ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
d. Dua orang saksi
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki
muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
Ijab dan Kabul Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas
beruntun dan tidak berselang waktu.
Di dalam pengertian perkawinan itu juga kita melihat adanya unsur ikatan
menunjukkan bahwa Undang-undang Perkawinan kita pada prinsipnya menganut
asas monogami, karenanya poligami hanyalah dimungkinkan sepanjang hukum
agama yang bersangkutan mengizinkan dan itupun dibatasi oleh syarat-syarat
ketat, yaitu dengan izin pengadilan.20
C.AKIBAT PERKAWINAN
Akibat hukum yang ditimbulkan sebuah perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Terkait dengan hak dan kedudukan , suami dan isteri adalah seimbang
menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 77 adalah sebagai berikut:
a. Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan
susunan masyarakat
b. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain;
c. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
d. suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
e. jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
20
2. Terkait dengan kedudukan anak, dimana anak adalah sah bila dilahirkan
dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah menurut pasal 98
Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:
a. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan.
b. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar Pengadilan.
c. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak
mampu.
3. Terkait dengan harta benda dalam perkawinan akan terjadi percampuran harta
yang didapat menjadi harta bersama. Kecuali atas harta bawaan maupun harta
perolehan, itupun harus didasarkan pada perjanjian pemisahan harta.21 Diatur lebih lanjut dalam pasal 83 sampai dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam
Dan ada beberapa akibat hukum Dari adanya perkawinan akan
menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang
dilahirkan dalam perkawinan.
21
a. Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri (pasal 30-34
Undang-Undang No.1 Tahun 1974)
1. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan
rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
4. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
5. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
6. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,
saling setia.
7. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
sesuai dengan kemampuannya.
8. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
b. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan (pasal 35-37
Undang-Undang No.1 Tahun 1974)
1. Timbul harta bawaan dan harta bersama.
2. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya
terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hokum apapun.
3. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan
c. Akibat Perkawinan Terhadap Anak
Kedudukan anak (pasal 42-44 Undang-Undang No.1 Tahun 1974) dan
Hak dan Kewajiban antara anak dan orang tua (pasal 45-49
Undang-Undang No.1 Tahun 1974)
1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah
2. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
3. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
4. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya
sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri
5. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya
yang baik.
6. Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam
garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan
bantuan anaknya.
d. Kekuasaan orang tua (pasal 50-54 Undang-Undang No.1 Tahun 1974)
1. Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di
bawah kekuasaan orang tua.
2. Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun
di luar pengadilan.
3. Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun
4. Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau
belum pernah kawin
5. Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila: ia sangat
melalaikan kewajibannya terhadap anak dan anak berkelakuan buruk
sekali
6. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.
7. Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum
mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Isi kekuasaan orang tua adalah:
1. Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta
kekayaannya.
2. Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan
hokum di dalam maupun di luar pengadilan.
Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari
pengesahannya.
Kekuasaan orang tua berakhir apabila:
1. Anak itu dewasa
2. Anak itu kawin
3. Kekuasaan orang tua dicabut 22
22http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/02/hukum-perdata-akibat-hukum-perkawinan/,
D.PENGERTIAN PERCERAIAN
Cerai adalah sebuah kata yang seharusnya paling dihindari dalam kamus
sebuah rumah tangga. Cerai adalah awal dari sebuah petaka dan kesengsaraan,
baik bagi pasangan itu atau bagi anak-anak. Cerai hanya akan mengakibatkan luka
yang menganga. Cerai bukan jalan keluar tetapi suatu keterpaksaan yang tidak
menambah apa-apa kecuali kehampaan.23
Perceraian adalah pembubaran suatu perkawinan ketika pihak-pihak masih
hidup dengan didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dibenarkan serta
ditetapkan dengan suatu keputusan hakim yang didaftarkan pada catatan sipil.
Dalam pasal 38, Undang-Undang perkawinan menetukan bahwa pada
perjalanannya perkawinan dapat saja berakhir yaitu jika disebabkan oleh kematian
; perceraian atau atas keputusan pengadilan.24 Jadi salah satu prinsip dalam hukum perkawinan nasional yang seirama dengan ajaran agama ialah mempersulit
terjadinya perceraian (cerai hidup) , karena percraian berarti gagalnya tujuan
perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera , akibat
perbuatan manusia. Lain halnya terjadi putus perkawinan karena kematian yang
merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat di elakkan
manusia . nampaknya baik dalam KUH perdata maupun UU no 1 tahun 1974
putusnya perkawinan karena kematian hampir tidak diatur sama sekali.25 Dan yang ingin dibahas penulis pada bab ini adalah tentang putusnya perkawinan
akibat perceraian, dimana di dalam hukum Indonesia memperbolehkan terjadinya
23 http://www.syariahonline.com/v2/component/content/article/70/2740.html, diakses
pada tanggal 12 Juli 2013 pada pukul 15.05 WIB.
24 Budi susilo , Op,cit, halaman : 17.
25 Hilman hadikusuma , hukum perkawinan di Indonesia ,mandar maju , bandung ,2007,
suatu perceraian tetapi dengan alasan yang jelas dan sudah ditentukan. Menurut
pengertian orang secara luas perceraian itu berakhirnya suatu pernikahan. Saat
kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa
meminta pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut
harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama
pernikahan (seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan bagaimana mereka
menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Banyak negara yang
memiliki hukum dan aturan tentang perceraian, dan pasangan itu dapat diminta
maju ke pengadilan.26 Ada juga pengertian pengertian lain perceraian menurut para ahli diantara nya:
a. Menurut Subekti sebagai berikut :
“Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.”27
b. Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin sebagai berikut :
”Perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja
dan tempat tidur yang didalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada
kehendak baik dari suami maupun dari isteri untuk pemutusanperkawinan.
Perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan isteri.”
c. Menurut P.N.H. Simanjuntak sebagai berikut :
“Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan
keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak
dalam perkawinan.”28
26http://id.wikipedia.org/wiki/Perceraian, diakses pada tanggal 12 Juli 2013 pada pukul
16.00 WIB.
27
d. Hurlock sebagai berikut:
“ perceraian merupakan kalminasi dari penyelesaian perkawinan yang buruk,
dan yang terjadi bila antara suami-istri sudah tidak mampu lagi mencari cara
penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak, perlu disadari
bahwa banyak perkawinan yang tidak membuahkan kebahagiaan tetapi tidak
diakhiri dengan perceraian. Hal ini karena perkawinan tersebut dilandasi
dengan pertimbangan-pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi, dan
alasan lainnya. Perpisahan atau pembatalan perkawinan dapat dilakukan secara
hukum maupun dengan diam-diam dan kadang ada juga kasus dimana salah
satu pasangan (istri/suami) meninggalkan keluarga (minggat).29
Pada umumnya aturan tentang perkawinan dan perceraian didalam hukum
adat dipengaruhi oleh agama yang dianut oleh oleh masyarakat adat bersangkutan
. jadi anggota-anggota masyarakat adat yang menganut agama islam dipengaruhi
oleh hukum perkawinan dan perceraian agama islam dipengaruhi oleh hukum
perkawinan dan perceraian islam, yang menganut agama kristen/katholik
dipengaruhi hukum perkawinan dan perceraian kristen/ katholik, yang menganut
agama hindu/budha dipengaruhi hukum hindu/budha. 30 tetapi dalam agama kristen / katholik Salah satu agama yang tidak memperbolehkan adanya
perceraian oleh pasangan-pasangan di dalam umatnya adalah Kristen Katolik
Roma. Gereja Kristen Katolik Roma menanggapi masalah perceraian sebagai
berikut : Perceraian atau perpisahan tetap/selamanya dalam suatu ikatan
28 P.N.H.Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia , Jakarta, Djambatan,
2007, halaman: 53.
29 http://www.sarjanaku.com/2013/01/penyebab-perceraian-pengertian-dampak.html,
diakses pada tanggal 12Juli 2013 pada pukul 17.00 WIB.
30
pernikahan, memang tidak diperbolehkan dalam ajaran Kristen, karena itu ada
tertulis dalam Alkitab (Matius 19:9; Markus 10:9). Karena Injil merupakan dasar
kehidupan umat Kristen , maka tidak ada alasan apapun untuk mengadakan
perceraian. Selain itu juga terdapat pengajaran lain di Alkitab mengenai hal ini,
misalnya pada 1 Korintus 7.31 Dan dalam Agama Buddha tidak melarang perceraian, namun agama Buddha jelas juga tidak mendukung perceraian. Ajaran
Sang Guru Agung memberikan pada kita suatu cara untuk menjalankan kehidupan
pernikahan dan keluarga yang harmonis dan saling mencintai, oleh karena itulah
apabila ada permasalahan dalam keluarga, usahakan untuk dapat diselesaikan dan
jadikan perceraian sebagai usaha yang terakhir apabila usaha-usaha yang lain
gagal. Janganlah menyerah untuk menanggulangi masalah dalam rumah tangga,
seberapapun beratnya itu, dan juga jangan terlalu gampang untuk mengatakan dan
menggugat cerai, karena hal itu jelas-jelas tidak dianjurkan dalam agama Buddha.
32
dari semua agama yang terdapat di indonesia, hanya agama Islam yang banyak
mengatur soal perceraian, dimana menurut hukum islam istilah perceraian disebut
dalam bahasa arab yaitu „talak‟ yang artinya „melepas ikatan‟(sulaiman Rasjid ,
1989: 371). Hukum asal dari talak adalah „makruh‟(tercela). Sebagaimana hadis
riwayat Abudaud dan Ibnu majah dari Ibnu Umar yang mana Rasululloh SAW
mengatakan „sesuatu yang halal (boleh)yang sangat benci Allah ialah tallak33‟
Jadi dua orang yang mempunyai sifat dan kepribadian yang berbeda
disatukan dalam suatu ikatan perkawinan, tentu bukan suatu hal yang akan terus
31http://id.wikipedia.org/wiki/Perceraian#Kristen.2FKatolik, diakses pada tanggal 12 Juli
20.00 WIB.
32
http://artikelbuddhist.com/2011/05/pandangan-buddhis-mengenai-perkawinan-dan-perceraian.html, diakses pada tanggal 12 Juli 2013 pada pukul 21.00 WIB.
33
berjalan mulus. Pasti ada masanya di antara suami isteri akan timbul masalah
baik itu disebabkan oleh isteri maupun suami. Karena masalah yang ada di antara
mereka tidak menemukan jalan keluar yang baik, maka salah satu pihak dapat
mengajukan perceraian.
UU Perkawinan menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian,
karena perceraian akan membawa akibat buruk bagi pihak-pihak yang
bersangkutan. Dengan maksud untuk mempersukar terjadinya perceraian maka
ditentukan bahwa melakukan perceraian harus ada cukup alasan bagi suami isteri
itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.34
E. ALASAN PERCERAIAN
Pada umunya semua pasangan yang telah menikah menginginkan
perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga, rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi karena dalam
menyatukan dua orang yang berbeda memiliki proses yang cukup lama dan berat
, dalam masa masa sebelum dapat menyatukan prinsip tersebut aada masalah
masalah yang timbul dan tidak dapat diselesaikan dalam sebuah perkawinan
maka dapat terjadi perpisahan antara pansangan tersebut yang disebut dengan
perceraian. Penyebab perceraian dalam rumah tangga tentunya sangat beragam.
Mulai dari permasalahan ekonomi, jenuh, KDRT (kekerasan rumah tangga)
34 Sudarsono, Lampiran UUP Dengan Penjelasannya, Jakarta, Rineka Cipta, 1991,
hingga hadirnya orang ketiga.35 Menurut ketentuan hukum yang berlaku, di Indonesia Perceraian dapat terjadi karena alasan alasan yang diatur dalam pasal
19, peraturan pemerintahNomor 9 Tahun 1975, menggariskan bahawa perceraian
dapat terjadi atau dilakukan karena alasan sebagai berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan; alasan ini dapat digunakan
untuk mengajukan gugatan perceraian, karena bila seseorang telah berbuat
zina berarti dia telah melakukan pengkhianatan terhadap kesucian dan
kesakralan suatu perkawinan termasuk perbuatan menjadi pemabuk
pemadat dan penjudi, yang merupakan perbuatan melanggar hukum agama
dan hukum positif.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya. Hal ini terkait dengan kemampuan memberikan nafkah
baik lahir maupun batin , yang bila kemudiansalah satu pihak
meninggalkan pihak lain dalam waktu yang lama tanpa seizin pasangan
nya tersebut, maka akan berakibat pada tidak dilakukan nya pemenuhan
kewajiban yang harus diberikan kepada pasangan nya sehingga bila
pasangan nya tidak rela , maka dapat mengajukan alaasan tersebut untuk
menjadi dasar diajukan nya gugatan perceraian di pengadilan
35
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Hampir sama
dengan poin b, poin ini juga dapat dijadikan sebagai alasan oleh salah satu
pihak untuk mengajukan gugatan perceraian. Sebab , jika salah satu pihak
sedang menjalani hukuman penjara lima tahun atau lebih, itu artinya yang
bersangkutan tidak dapat menjalankan kewajiban nya sebagai seorang
suami/istri.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain; poin ini menitik beratkan pada kemaslahatan
atau manfaat dari perkawinan, dibandingkan dengan keselamatan
individu/salah satu pihak. Bila suatu perkawinan tetap di pertahan kan
namun akan berdampak pada keselamatan individu, maka akan lebih baik
jika perkawinan itu diputus dengan perceraian dalam hal ini harus bisa
benar benar dibuktikan , mengenai tindakan atau ancaman yang
membahayakan keseamatan seseorang/salah satu pihak. Dengan demikian
, alasantersebut dapat diterima oleh majelis hakim pemeriksa perkara di
pengadilan .
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri; Tidak dapat
dipungkiri bila ikatan perkawinan faktor-faktor jasadiah, terutama masalah
kebutuhan biologis. Ketika salah satu pihak tidak dapat menjalankan
yang dimilikinya, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai alasan oleh
saah satu pihak untuk mengajukan gugatan perceraian.
6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; tidak semua
kehidupan rumah tangga yang rukun tentramdan nyaman, apabila dipenuhi
dengan perselisihan. Apalagi , bila pertengkaran tersebut tak terelakan dan
tak terselesaikan. Jika hal itu berlangsung terus menerus, dan dapat
menimbulkan dampak buruk yang lebih besar kedepan, maka dei
perbolehkan untuk mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan.36
Selanjutnya dalam peraturan lain, yaitu dalam Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 juncto Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991
Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni
1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, untuk selanjutnya disenbut Kompilasi
Hukum Islam, khusus untuk mereka yang beragama Islam alasan Perceraian
ditambah 2 (dua) hal lagi yaitu:
a. Suami melanggar Ta'lik Talak
b. Peralihan agama atau Murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan yang terjadi dalam rumah tangga.37
Tetapi ada juga alasan alasan yang lebih dikenal oleh masyarakat secara
umum dalam proses perceraian tersebut yaitu:
36 Budi susilo ,Op,cit, halaman : 21-24.
37 http://perkaracerai.blogspot.com/2010/07/risalah-khalifah-umar-ibnu-al-khattab.html,
1. Munculnya Perbedaan Prinsip dan Ketidakcocokan.
Alasan inilah yang biasanya paling sering diungkapkan para pasangan
suami istri yang bercerai. Dan pasti akan menjadi kerugian bagi kedua belah pihak
apabila kedua pasangan suami istri tersebut membesar-besarkan masalah yang
sebenarnya kecil yang sedang terjadi dalam rumah tangganya.
2. Jenuh dan Bosan
Kadang alasan merasa jenuh terhadap pasangan atau terhadap kehidupan
rumah tangga yang begitu-begitu saja tanpa perubahan yang menjadi alasan
perceraian. Hal ini biasanya akan terjadi karena setiap pasangan tidak memiliki
komitmen sejak awal menikah. Dengan berjalannya waktu pasangan tersebut
merasa tidak kuat untuk menjalankan kehidupan rumah tangga.
3. KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Alasan adanya KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga kerap terjadi
dan menjadi alasan paling utama pasangan untuk secepat mungkin memilih jalan
perceraian. Alasan perceraian karena KDRT ini sering terjadi di Indonesia,
kekerasan yang terjadi bisa berupa fisik ataupun mental yang dialami pihak suami
ataupun pihak istri.
4. Perselingkuhan atau Orang Ketiga
Adanya perselingkuhan dikarenakan adanya orang ketiga akan menjadi
pemicu utama perceraian. Biasanya hal ini terjadi karena salah satu pihak merasa
jenuh atau pasangan kurang diperhatikan pasangannya, sehingga mencari sosok
pasangan yang bisa membuatnya nyaman dan mendapatkan apa yang tidak di
5. Komunikasi tidak lancar.
Faktor komunikasi memang masalah yang sebenarnya bisa di atasi, tetapi
karena kurangnya pengertian dan kesibukan yang terjadi diantara kedua belah
pihak menjadikan masalah komunikasi ini menjadi penyebab perceraian. Misalnya
saja kurang terjalin hubungan harmonis antar suami dan istri sehingga
mengakibatkan pasangan enggan untuk terbuka dan berbagi lagi, saat ada masalah
yang seharusnya dibicarakan bersama maka masalah tersebut hanya dipendam
sendiri saja
6. Masalah Ekonomi
Alasan perekonomian keluarga yang tidak mencukupi kadang menjadi
penyebab yang sering timbul dalam rumah tangga. Hal ini terjadi karena suami
tidak mampu menafkahi istri dan keluarganya, selain itu penghasilan istri yang
besar sehingga tidak menghargai penghasilan suami kadang menjadi pemicu
terjadinya perceraian. Banyak masalah ekonomi yang terjadi dalam rumah tangga
yang seharusnya dapat disikapi dengan baik oleh kedua belah pihak.
7. Perbedaan Pola Asuh Anak
Pola asuh anak yang sering kali berbeda, tidak jarang yang menimbulkan
pertengkaran, karena seringnya terjadi perbedaan maka sering pula terjadi
pertengkaran, dikarenakan masalah inilah biasanya pasangan merasa tidak cocok
dan memutuskan untuk mengakhiri rumah tangga mereka.
Iulah beberapa alasan perceraian rumah tangga yang sewaktu-waktu bisa
mengancam kehidupan Anda dan pasangan. Ada baiknya apabila Anda dan
keutuhan keluarga tetap terjaga. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa
pernikahan harmonis membutuhkan kerja sama yang baik, bukan hanya satu
pihak, tetapi dari Anda juga pasangan Anda.38
F. AKIBAT PERCERIAN
Diatur dalam pasal 41 UU No 1 Tahun 1974 dan Pasal 149 Kompilasi
Hukum Islam. Akibat putusnya perkawinan dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu :
1. Akibat talak
2. Akibat perceraian
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
1. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya baik berupa uang
maupun benda.
2. Member nafkah, mas kawin, dan kiswah terhadap bekas istri selama dalam
masa iddah kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in dan dalam keadaan
tidak hamil.
3. Melunasi mahar yang telah terhutang seluruhnya dan separoh apabila
qabla al dukhul.
4. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.
38 http://sahabathawa.com/hal-inilah-yang-biasanya-jadi-alasan-perceraian/, diakses pada
Yang menjadi hak suami terhadap istrinya melakukan rujuk kepada bekas
istrinya yang masih dalam masa iddah. Waktu tunggu atau masa iddah bagi
seorang janda ditentukan sebagai berikut :
1. Perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul waktu
tunggu ditetapkan 130 hari
2. Perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bai yang masih haid
ditetapkan tiga kali suci sekurang-kurangnya Sembilan puluh hari dan bagi
yang tidak haid juga ditetapkan Sembilan puluh hari
3. Perkawinan putus karena perceraian sedangkan janda tersebut dalam
keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai dia melahirkan.
4. Perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil waktu tunggu ditetapkan sampai dia melahirkan (pasal 153 ayat 2
inpres Nomor 1 Tahun 1951).
5. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
Bagi perkawinan yang putus karena perceraian tenggang waktu dihitung
sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum
tetap. Yang menjadi kewajiban istri yang di talak oleh suaminya dalam masa
iddah adalah :
1. Menjaga dirinya.
3. Tidak menikah dengan pria lain
Sedangkan yang menjadi hak istri dalam masa iddah mandapatkan nafkah iddah
dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyuz
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam pasal 156
inpres Nomor 1 tahun 1991 ada tiga akibat putusnya perkawinan karena
perceraian yaitu :
1. Terhadap anak-anaknya
2. Terhadap harta bersama
3. Terhadap muth‟ah
Ada tujuh akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhaap anak-anaknya
yaitu ; Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya
kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya diganti oleh :
1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita dalam garis lurus keatas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Anak yang sudah memayyiz berhak memilih hadanah dari ayah dan
ibunya
6. Apabila pemegang hadanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan agama dapat
memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunya hak
hadanah pula.
7. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan anaknya dan pemilikan
anaknya yang tidak turut padanya (pasal 156 inpres Nomor 1 tahun 1991)
Dalam pasal 41 UU Perkawinan disebutkan tiga akibat putusnya
perkawinan karana perceraian terhadap anak-anaknya sebagai berikut :
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan si anak.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak itu.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suamiuntuk membiayai
penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya.
Bagi suami atau istri yang khusus karena talak dan perceraian berhak
mendapatkan harta bersama. Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama
dalam perkawinan hak suami dalam harta bersama sebagian dari harta bersma itu
begitu juga istri mendapatkan bagian yang sama besar dengan suami.
Disamping itu, kewajiban lain dari bekas suami adalah memberikan muth‟ah
kepada bekas istrinya. Muth‟ah adalah berupa pemberian bekas suami kepada istri
yang dijatuhi talak baik benda atau uang dan yang lainnya. Syarat pemberian
1. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba‟da al dukhul
2. Perceraian itu atas kehendak suami39
39