BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Perkebunan Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit (Elaeis Guineenis Jacq) berasal dari Nigeria, Afrika Barat.
Didatangkan ke Indonesia oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1848.
Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya
ditanami tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun
1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati
akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide
membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan
Deli, maka dikenalilah jenis sawit “Deli Dura” .
Pada tahun 1911, kelapa sawit dimulai diusahakan dan dibudidayakan
secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet,
seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit
pertama kali berlokasi di Pantai Timur Sumatera Utara (Deli) dan Aceh.
Semenjak era Orde Baru perluasan areal penanaman digalakkan,
dipadukan dengan sistem PIR ( Pirindu Perkebunan PTPN III). Perluasan area
perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi
sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif.
Beberapa pohon kelapa sawit yang ditanam di Kebun Raya Bogor hingga
sekarang masih hidup, dengan ketinggian sekitar 12m, dan merupakan kelapa
Kelapa sawit pertama kali di perkenalkan di Indonesia oleh pemerintahan
kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit
yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam dan ditanam di Kebun Raya Bogor.
Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial
pada tahun 1911. Perintis usaha kelapa sawit di Indonesia adalah Adrian Hallet,
seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika.
Budidaya yang dilakukan diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya kelapa
sawit di Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai
berkembang.
Perkebunan kelapa sawit pertama kali berlokasi di pantai timur Sumatera
Utara (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai 5.123 ha. Indonesia
mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara –
negara Eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar
850 ton.
Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit mengalami
perkembangan yang cukup pesat. Indonesia menggeser dominasi ekspor negara
Afrika pada waktu itu. Namun, kemajuan pesat yang dialami Indonesia tidak
diikuti dengan peningkatan perekonomian nasional. Hasil pengolahan ekspor
minyak sawit hanya meningkatkan perekonomian negara asing termasuk Belanda.
2.2. Minyak Kelapa Sawit
Kelapa sawit mengandung kurang lebih 80 persen perikrap dan 20 persen buah
Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi asam
lemak seperti Tabel 2.1
Tabel 2.1. Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit dan Minyak Inti Sawit.
Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit
(persen)
Sumber : ketaren 1986
Minyak dan lemak terdiri dari trigliserida campuran, yang merupakan ester
dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Lemak tersebut jika dihidrolisis atau
splitting yang berlangsung pada suhu tinggi dan tekanan tinggi akan menghasilkan
3 molekul asam lemak rantai panjang dan 1 molekul gilserol. Adapun proses
... (2.1)
2.3. Pemurnian Minyak Sawit
Proses pemurnian merupakan langkah yang perlu dilakukan dalam produksi
edible oil dan produk berbasis lemak. Tujuan dari proses ini adalah untuk
menghilangkan pengotor dan komponen lain yang akan mempengaruhi kualitas
dari produk akhir/jadi. Kualitas produk akhir yang perlu diawasi adalah bau,
stabilitas daya simpan dan warna produk.
Dalam sudut pandang industri, tujuan utama dari pemurnian adalah untuk
merubah minyak kasar/mentah menjadi edible oil yang berkualitas dengan cara
menghilangkan pengotor yang tidak diinginkan sampai level yang diinginkan
dengan cara yang paling efisien. Pengotor tersebut mungkin diperoleh selama
proses hulu, yaitu ekstraksi, penyimpanan atau transportasi dari minyak
kasar/mentah dari lapangan ke pabrik.
Proses pemurnian yang tepat sangat penting dilakukan dalam rangka untuk
memproduksi produk akhir yang berkualitas tinggi dalam rentang spesifikasi yang
telah ditentukan dan sesuai keinginan pelanggan. Ada dua tipe dasar teknologi
(i) Pemurnian secara kimia (alkali)
(ii) Pemurnian secara fisik
Perbedaan diantara kedua tipe tersebut didasarkan pada jenis bahan kimia
yang digunakan dan cara penghilangan asam lemak bebas. Pemurnian secara fisik
tampaknya pada prakteknya menggantikan penggunaan teknik pemurnian
menggunakan bahan kimia (alkali) karena tingginya asam lemak bebas pada
minyak yang dimurnikan dengan secara kimia. Proses deasidifikasi (deodorisasi)
pada proses pemurnian secara fisik mampu mengatasi masalah tersebut.
Terpisah dari hal tersebut, menurut literature, metode ini didasarankan
karena diketahui cocok untuk minyak tumbuhan dengan kadar fosfat yang rendah
seperti minyak sawit. Dengan demikian, pemurnian secara fisik terbukti memiliki
efisiensi yang lebih tinggi, kehilangan yang lebih sedikit (nilai emurnian <1,3),
biaya operasi yang lebih rendah, modal yang lebih rendah dan lebih sedikit bahan
untuk ditangani. Nilai pemurnian (NP) adalah parameter yang digunakan untuk
memperkirakan berbagai tahap pada proses pemurnian. Faktor ini tergantung pada
hasil produk dan kualitas dari input yang dihitung seperti berikut ini :
Nilai Pemurnian = ... (2.2)
NP biasanya dikuantifikasi untuk berbagai tahap dalam proses pemurnian secara
sendiri-sendiri dan pengawasan NP dalam pemurnian biasanya berdasarkan berat
yang dihitung dari pengukuran volumetric yang disesuaikan dengan suhu atau
menggunakan accurate cross-checked flow meters.
Secara umum, pemurnian secara kimia memerlukan tahap proses, peratatan dan
Diagram proses untuk proses pemurnian secara kimia dan secara fisik
digambarkan pada Gambar 2.1 (Hui, 1996).
Gambar 2.1. Proses pemurnian dari CPO secara kimia dan fisika 2.3.1. Pemisahan Gum
Pemisahan gum (De-Gumming) merupakan suatu proses pemisahan getah atau
lendir-lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air dan resin,
tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam minyak.
Biasanya proses ini dilakukan dengan cara dehidrasi gum atau kotoran lain
agar bahan tersebut lebih mudah terpisah dari minyak, kemudian disusul dengan
proses pemusingan (sentrifusi). Caranya ialah dengan melakukan uap air panas ke
dalam minyak disusul dengan pengaliran air dan selanjutnya disentrifusi sehingga
bagian lendir terpisah dari air.
Tujuan utama dari degumming adalah untuk menghapus getah yang tidak
diinginkan, yang akan menggangu stabilitas produk minyak di tahap selanjutnya.
(CPO) dengan jumlah makanan tertentu. Komponen utama yang terkandung
dalam getah yang harus dihapuskan adalah fosfat. Sangat penting untuk
menghapus fosfat dalam minyak sawit mentah karena adanya komponen ini akan
memberikan rasa dan warna yang tidak diinginkan dan mempercepat kerusakan
minyak (Leong, 1992).
2.3.2. Netralisasi
Netralisasi ialah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak
atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau
pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (soa stock). Pemisahan asam lemak
bebas dapat juga dilakukan dengan cara penyulingan yang dikenal dengan istilah
de-asidifikasi.
Netralisasi dengan Kaustik Soda (NaOH)
Netralisasi dengan kaustik soda banyak dilakukan dalam skala industri, karena
lebih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan cara netralisasi lainnya. Selain
itu penggunaan kaustik soda, membantu dalam mengurangi zat warna dan kotoran
yang berupa getah dan lendir dalam minyak.
Reaksi antara asam lemak bebas dengan NaOH adalah sebagai berikut :
Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan kotoran
seperti fosfatida dan protein, dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau emulsi
yang terbentuk dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi.
Dengan cara hidrasi dan dibantu dengan proses pemisahan sabun secara mekanis,
maka netralisasi dengan menggunakan kaustik soda dapat menghilangkan
fosfatida, protein, resin dan suspense dalam minyak yang tidak dapat dihilangkan
dengan proses pemisahan gum.
2.3.3. Pemucatan
Pemucatan (Bleaching) ialah suatu tahap proses pemurnian untuk menghilangkan
zat-zat warna yang tidak disukai dalam minyak. Pemucatan ini dilakukan dengan
cara mencampur minyak dengan sejumlah kecil adsorben, seperti tanah serap
(fuller earth), lempung aktiv (activated clay) dan arang aktif atau dapat juga
menggunakan bahan kimia.
Pemucatan Minyak Dengan Adsorben
Absorben yang digunakan untuk memucatkan minyak terdiri dari tanah
pemucat (bleanching earth) dan arang (bleanching carbon). Zat warna dalam
minyak akan diserap oleh permukaan adsorben dan juga menyerap suspense
koloid (gum dan resin) serta hasil degradasi minyak, misalnya peroksida.
Pemucatan minyak menggunakan adsorben umumnya dilakukan dalam ketel yang
dilengkapi dengan pipa uap. Minyak yang akan dipucatkan dipanaskan pada suhu
sekitar 1050oC, selama 1 jam. Penambahan absorben pada saat minyak mencapai
suhu sekitar 70-800oC dan jumlah absorben kurang lebih sebanyak 1,0-1,5 persen
penyaringan menggunakan kain tebal atau dengan cara pengepresan dengan filter
press. Minyak yang hilang karena proses tersebut kurang lebih 0,2-0,5 persen dari
berat minyak yang dihasilkan setelah proses pemucatan.
2.3.4. Deodorisasi
Tujuan deodorisasi adalah suatu tahap proses pemurnian mnyak yang bertujuan
untuk menghilangkan bau dan rasa (flavor) yang tidak enak dalam minyak.
Prinsip proses deodorisasi yaitu penyulingan minyak dengan uap panas dalam
tekanan atmosfer atau keadaan vakum.
Proses deodorisasi perlu dilakukan terhadap minyak yang digunakan untuk
bahan pangan. Beberapa jenis minyak yang baru diekstrak mengandung flavor
yang baik untuk tujuan bahan pangan, sehingga tidak memerlukan proses
deodorisasi: misalnya lemak susu, lemak babi, lemak cokelat dan minyak olive
( Ketaren, 1986).
2.4. Standar Mutu
Minyak sawit memegang peranan penting dalam perdagangan dunia. Oleh karena
itu, syarat mutu harus menjadi perhatian utama dalam perdagangnya. Istilah mutu
minyak sawit dapat dibedakan menjadi dua arti. Pertama, benar-benar murni dan
tidak bercampur dengan minyak nabati lain. Mutu minyak sawit tersebut dapat
ditentukan dengan menilai sifat-sifat fisiknya, yaitu dengan mengukur nilai titik
lebur angka penyabunan dan bilangan yodium. Kedua, pengertian mutu sawti
berdasarkan ukuran. Dalam hal ini syarat mutu diukur berdasarkan spesifikasi
standar mutu internasional yang meliputi kadar ALB, air, kotoran, logam besi,
Akhir-akhir ini minyak sawit berperan cukup penting dalam perdagangan
dunia. Berbagai industri, baik pangan maupun non pangan, banyak yang
menggunakannya sebagai bahan baku. Berdasarkan peranan dan kegunaan
minyak sawit itu, maka mutu dan kualitasnya harus diperhatikan sebab sangat
menentukan harga dan nilai komoditas ini
Standar mutu adalah merupakan hal yang penting untuk menentukan
minyak yang bermutu baik. Ada beberapa faktor yang menentukan standar mutu
yaitu : kandungan air dan kotoran dalam minyak dan kandungan asam lemak
bebas (Adlin, 1992).
Istilah mutu minyak sawit dapat dibedakan menjadi dua arti. Pertama,
benar-benar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain. Mutu minyak
tersebut dapat ditentukan dengan menilai sifat-sifat fisiknya, yaitu dengan
mengukur titik lebur, angka penyabunan, dan bilangan yodium. Kedua, pengertian
mutu sawit berdasarkan ukuran. Dalam hal ini, syarat mutu dapat diukur
berdasarkan spesifikasi standar internasional yang meliputi ALB, air, kotoran, dan
lain-lain (Fauzi, 1994).
Standar mutu di pabrik harus di bawah standar perdagangan karena
pemeriksaan dilakukan di pelabuhan pembeli sehingga makin baik mutu yang
dihasilkan di pabrik akan memberi kemungkinan lebih baik pula sesampainya
ditempat tujuan.
Perdagangan Internasional menghendaki syarat-syarat yaitu :
1. Asam lemak bebas (ALB) maksimum 5%
2. Kadar air 0,10%
4. Besi 10 ppm
5. Tembaga 0,5 ppm
6. Peroksida 10 meq
7. Pemucatan diukur dengan indikator cahaya (warna, yaitu Merah 3,5 dan
Kuning 35) (Lubis, 1992).
Tabel 2.2. Standar Mutu Minyak Sawit, Minyak Inti Sawit, dan Inti Sawit Karakteristik Minyak
2.5. Penimbunan Minyak Kelapa Sawit
Sejalan dengan makin meningkatnya luas areal perkebunan kelapa sawit, produksi
minyak sawit semakin meningkat. Penyimpanan dan penanganan selama
transportasi minyak sawit yang kurang baik dapat mengakibatkan terjadinya
kontaminasi baik oleh logam maupun bahan lain sehingga akan menurunkan
kualitas minyak sawit.
Pengawasan mutu minyak sawit selama penyimpanan, transportasi, dan
penimbunan perlu dilakukan dengan ketat untuk mencegah terjadinya penurunan
mutu minyak sawit. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan membuat
standarisasi prosedur penyimpanan, transportasi darat, dan penimbunan minyak
sawit. Standarisasi ini bertujuan untuk mencegah kontaminasi dan penurunan
kualitas minyak sawit.
Minyak produksi sebelum diangkat ketempat konsumen ditimbun dalam
tangki timbun. Minyak yang masuk kedalam tangki timbun suhunya 40-50oC. titik
leleh minyak sawit ± 40oC, sehingga untuk mempermudah pengeluaran minyak
dari tangki maka untuk maksud tersebut dipertahankan agar suhu minyak bertahan
diatas titik leleh. Selama penyimpanan terjadi peningkatan kadar asam lemak
bebas (ALB) yang disebabkan terjadinya proses autokatalitik yang dipercepat oleh
panas (Naibaho, 1998).
Tangki penimbunan minyak dipakai sebagai penampungan atau
penimbunan minyak produksi dan pengukuran minyak produksi harian. Alat ini
terdiri dari tangki berbentuk silinder yang didalamnya dilengkapi dengan pipa
pemanas berbentuk spiral, dan pada bagian atas terdapat lubang untk pengukuran
antara 500-3000 ton. Selama penimbunan ini dapat terjadi perusakan mutu, baik
peningkatan ALB maupun peningkatan oksidasi.
Persyaratan penimbunan yang baik adalah :
1. Kebersihan tangki dijaga, khususnya terhadap kotoran dan air.
2. Jangan mencampur minyak berkadar ALB tinggi atau minyak kotor dengan
minyak berkadar ALB rendah atau bersih.
3. Membersihkan tangki dan memeriksa pipa-pipa uap pemanas, tutup tangki,
dan alat-alat pengukur.
4. Memelihara suhu sekitar 40oC
5. Pipa pemasukan minyak harus terbenam ujungnya dibawah permukaan
minyak
6. Melapisi dinding tangki dengan dammar epoksi (hanya untuk minya sawit
bermutu tinggi) (Mangoensoekarjo, 2003).
2.6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mutu Minyak Kelapa Sawit
Rendahnya mutu minyak kelapa sawit sangat ditentukan oleh banyak faktor.
Faktor-faktor tersebut dapat langsung dari sifat pohon induknya penanganan
paska panen, atau kesalahan selama pemrosesan dan pengangkutannya. Berikut
ini akan dikemukakan beberapa hal yang secara langsung berkaitan dengan
penurunan mutu minyak sawit yaitu :
2.6.1 Asam Lemak Bebas
Asam lemak bebas dalam konsentrasi tinggi yang terikut dalam minyak sawit
sangat merugikan. Tingginya asam lemak bebas ini mengakibatkan rendemen
lemak bebas dalam minyak sawit. Kenaikan kadar ALB ditentukan mulai dari saat
tandan dipanen sampai tandan diolah di pabrik. Kenaikan ALB ini disebabkan
adanya reaksi hidrolisa pada minyak. Hasil reaksi hidrolisa minyak sawit adalah
gliserol dan ALB. Reaksi ini akan dipercepat dengan adanya fakto-fakrot panas,
air, keasaman, dan katalis (enzim). Semakin lama reaksi belangsung, maka
semakin banyak kadar ALB yang terbentuk.
... (2.4)
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan peningkatan kadar ALB yang relative
tinggi dalam minyak sawit antara lain :
1. Pemanenan buah sawit yang tidak tepat waktu.
2. Keterlambatan dalam pengumpulan dan pengangkutan buah.
3. Adanya mikroorganisme (jamur dan bakteri tertentu) yang dapat hidup pada
suhu dibawah 500C.
4. Terjadinya reaksi oksidasi, akibat terjadinya kontak langsung antara minyak
dan udara.
5. Penumpukan buah yang terlalu lama dan
6. Proses hidrolisa selama pemrosesan di pabrik
Pemanenan pada waktu yang tepat merupakan salah satu usaha untuk
Peningkatan kadar ALB juga dapat terjadi pada proses hidrolisa di pabrik. Pada
proses tersebut terjadi penguraian kimiawi yang dibantu oleh air dan berlangsung
pada kondisi suhu tertentu. Air panas dan uap air pada suhu tertentu merupakan
bahan pembantu dalam proses pengolahan.
Akan tetapi, proses pengolahan yang kurang cermat mengakibatkan efek samping
yang tidak diinginkan, mutu minyak menurun sebab air pada kondisi suhu tertentu
bukan membantu proses pengolahan tetapi malah menurunkan mutu minyak.
Untuk itu, setelah akhir proses pengolahan minyak sawit dilakukan pengeringan
dengan bejana hampa pada suhu 90oC.
Tabel 2.3. Hubungan antara Kematangan Panen dengan Rendemen Minyak dan ALB
Kematangan Panen Rendemen Minyak
(%)
Asam lemak bebas dapat berkembang akibat kegiatan enzim yang menghidrolisa
minyak. Enzim-enzim dan ko-enzim yang terdapat di dalam buah akan terus aktif
Enzim yang paling menggangu pada buah sawit yaitu : enzim lipase dan
oksidase. Enzim ini sering terikat pada buah karena buah luka atau terikut oleh
peralatan panen. Kegiatan enzim dapat berhenti dengan perebusan hingga
temperature 50oC selama beberapa menit. Namun, jika ditinjau dari proses
pengolahan selanjutnya, perebusan harus dilakukan dengan temperature yang
lebih tinggi.
Kandungan asam lemak bebas buah sawit yang baru dipanen biasanya
<0,3%. ALB minyak yang diperoleh dari buah yang tetap berada pada janjang
sebelum diolah (dan tidak mengalami memar) tidak pernah melewati 1,2%.
Sedangkan, ALB brondolan biasanya sekitar 5%. Di pihak lain, sangat jarang
diperoleh ALB di bawah 2% pada crude palm oil (CPO) hasil produksi PKS,
biasanya sekitar 3%.
Peningkatan ALB yang mencapai sekitar 20 kali ini terjadi karena
kerusakan buah selama proses panen sampai tiba di ketel perebusan.
Kemungkinan penyebab utama kerusakan terjadi pada saat pengisian buah
ditempat pemungutan, penurunan buah ditempat pengumpulan hasil, pengisian
buah ke alat transport pembawa buah ke pabrik, penurunan buah di loading ramp
dan pengisian buah ke lori.
Pembentukan lemak dalam buah sawit mulai berlangsung beberapa
minggu sebelum matang. Oleh karena itu penentuan saat panen adalah pada saat
buah akan membrondol (melepas dari tandannya). Karena itu kematangan tandan
biasanya dinyatakan dengan jumlah buahnya yang membrondol.
Kebalikan dari pembentukan lemak adalah penguraian atau hidrolisis
mulai berlangsungnya proses “kematian” yaitu saat buah membrondol atau saat
tandan dipotong dan terlepas hubungannya dengan pohon. Proses hidrolisis
dikatalisis oleh enzim lipase yang juga terdapat dalam buah, tetapi berada diluar
sel yang mengandung minyak.
Pembentukan asam lemak bebas oleh mikroorganisme (jamur dan bakteri
tertentu) juga dapat terjadi bila suasananya sesuai, yaitu pada suhu rendah
dibawah 50oC, dan dalam keadaan lembab dan kotor. Oleh karena itu minyak
sawit harus segera dimurnikan setelah pengutipannya. Pemanasan sampai suhu
diatas 90oC seperti pada pemisahan dan pemurniannya akan menghancurkan
semua mikroorganisme dan menonaktifkan enzimnya. Pada kadar air berkurang
dari 0,8% mikroorganisme juga tidak dapat berkembang. Jika lebih tinggi
sebaliknya minyak ditimbun dalam keadaan panas sekitar 50-600C
(Mangoensoekarjo, 2003).
2.6.2. Kadar air dan zat menguap
Cara hot plate dapat digunakan untuk menentukan kadar air dan bahan lain yang
menguap yang terdapat dalam minyak dan lemak. Cara tersebut dapat digunakan
untuk semua jenis minyak dan lemak. Sebelum dilakukan pengujian contoh,
minyak harus diaduk dengan baik. Dengan pengadukan, maka penyebaran air
dalam contoh akan merata (Ketaren, 1986).
2.6.3. Kadar Logam
Beberapa jenis bahan logam yang dapat terikut dalam minyak sawit antara lain
besi, tembaga, dan kuningan. Logam-logam tersebut biasanya berasal dari
untuk menghindari terikutnya kotoran yang berasal dari pengelupasan alat-alat
dan pipa adalah mengusahakan alat-alat dari stainless steel (Ketaren, 1986).
Agar dapat dipasarkan, minyak sawit yang dihasilkan pabrik harus memenuhi
spesifikasi mutu sebagai berikut :
Tabel 2.4. Spesifikasi mutu minyak sawit
Parameter Standar
2.7. Dampak dari Tingginya Kadar Asam Lemak Bebas di dalam Minyak Asam lemak bebas yang dihasilkan oleh proses hidrolisa dan oksidasi biasanya
bergabung dengan lemak netral dan pada konsentrasi sampai 15%, belum
menghasilkan flavor yang tidak disenangi.
Lemak dengan kadar asam lemak bebas lebih besar dari 1 persen, jika
dicicipi akan terasa membentuk film pada permukaan lidah dan tidak berbau
tengik, namun intensitasnya tidak bertambah dengan bertambahnya jumlah asam
lemak bebas. Asam lemak bebas, walaupun berada dalam jumlah kecil
mengakibatkan rasa tidak lezat. Hal ini berlaku pada lemak yang mengandung
asam lemak tidak dapat menguap, dengan jumlah atom C lebih besar dari 14
(C>14).
Asam lemak bebas yang dapat menguap, dengan jumlah atom karbon
pangan berlemak. Asam lemak ini pada umumnya terdapat dalam lemak susu dan
minyak nabati, misalnya minyak inti sawit.
Asam lemak bebas juga dapat mengakibatkan karat dan warna gelap jika