BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya bersifat majemuk.
Kemajemukan dapat dilihat secara horizontal dan vertikal. Kemajemukan secara
horizontal adanya kesatuan sosial yang berbeda-beda seperti suku bangsa, agama,
kedaerahan, adat istiadat, dan lain sebagainya, sedangkan kemajemukan secara
vertikal adanya kesatuan sosial yang bersifat lapisan sosial di masyarakat yang
berbeda-beda seperti pendidikan, ekonomi serta kedudukan sosial politik (Pelly,
2005).
Kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan faktor yang
tidak dapat dihindari. Kemajemukan tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman
sehingga terjadi pertikaian atau konflik dalam berinteraksi antara satu dengan
yang lainnya, baik secara sengaja maupun tidak. Konflik juga terjadi karena
adanya perbedaan pandangan antar masing-masing individu dan memiliki
sentimen-sentimen (primordial) dan sentimen berdasarkan lapisan sosial tertentu.
Hal tersebut dapat dilihat dengan terwujudnya hubungan kedekatan sesama suku
bangsa, agama, kedaerahan, serta sesama lapisan sosial tertentu. Kenyataan
tersebut juga dapat terwujud di lingkungan kampus.
Kampus secara harafiah adalah lapangan atau “tegal” yang diambil dari
bahasa latin yaitu “campus” yang memiliki arti “lapangan luas” kemudian
(universitas, akademi), tempat semua kegiatan belajar-mengajar dan administrasi
berlangsung1. Ruang kuliah diklaim sebagai terminal ilmu, dimana mahasiswa tidak sekedar datang untuk kuliah, ujian dan kumpul tetapi kampus menjadi agen
pengembangan bakat dan penanaman nilai-nilai, sehingga dari ruang kuliah dan
berbagai kegiatan kampus itu diharapkan akan lahir mahasiswa yang kreatif,
kritis, bertanggung jawab dan bermoral. Selain sebagai tempat menimba ilmu
dalam bidang pendidikan, kampus menjadi tempat berkumpulnya kemajemukan
mahasiswa. Kemajemukan di kampus menyebabkan terjadinya interaksi sesama
mahasiswa dengan ada yang bergaul secara berkelompok dengan alasan yang
berbeda-beda.
Sebagai mahkluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi sosial.
Manusia senantiasa hidup bersama, berinteraksi dan bergantung satu sama lain
untuk mempertahankan hidupnya dengan melakukan hubungan dan pengaruh
timbal balik dengan manusia lain dalam rangka memenuhi kehidupannya
(Soekanto, 2012:54). Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada
saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan
mungkin berkelahi. Aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi
sosial. Mahasiswa dalam lingkungan kampus pasti mengalami interaksi sosial
dengan sesama mahasiswa. Dengan kata lain, lebih sering disebut dengan kata
“bergaul” untuk menjalin hubungan antarsesama. Dalam lingkungan kampus
terjadi pergaulan sesama mahasiswa dengan cara yang berbeda seperti adanya
pergaulan hanya sesama asal daerah, sesama agama serta suku bangsa dengan
memiliki tujuan yang dapat menguntungkan individu ataupun kelompok.
Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena
tanpa interaksi sosial, tidak mungkin ada kehidupan berkelompok. Bertemunya
orang perorang secara badaniah tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam
suatu kelompok sosial. Pergaulan semacam itu baru akan terjadi apabila
orang-orang perorang-orangan atau kelompok-kelompok manusia bekerjasama, berbicara dan
untuk mencapai suatu tujuan, mengadakan persaingan, pertikaian, dan lain
sebagainya. Pertemuan berdasarkan perbedaan kelompok merupakan kegiatan
sehari-hari yang tidak dapat dihindarkan misalnya dalam hal pekerjaan, sekolah,
kegiatan jual beli, acara keagamaan atau bahkan hanya sekedar bertegur sapa.
Aktivitas seperti itu merupakan bentuk interaksi sosial dan merupakan kunci dari
semua kehidupan, karena tanpa interaksi tidak akan mungkin ada kehidupan
bersama (Soekanto, 2012:54-55). Seperti halnya interaksi sosial yang terjadi di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara merupakan
kampus yang memiliki kemajemukan mahasiswa dalam lingkungan kecil.
Fakultas tersebut merupakan tempat berkumpulnya mahasiswa yang terdapat di
dalamnya keberagaman suku bangsa, seperti suku bangsa Batak Toba, Karo,
Mandailing, Nias, Melayu, Jawa, Tionghoa; serta perbedaan agama yang
mencakup agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha; dan juga memiliki
asal daerah yang berbeda pula. Dengan keadaan tersebut, maka dengan tidak
hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian lapangan. Inilah yang menjadi daya
tarik bagi peneliti untuk melihat wujud-wujud pengelompokan mahasiswa dalam
bergaul di kampus.
1.2. Ruang Lingkup Permasalahan dan Lokasi Penelitian
1.2.1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana keberadaan
pengelompokan-pengelompokan mahasiswa yang terwujud di FISIP USU?. Rumusan masalah
tersebut diuraikan ke dalam 3 (tiga ) pertanyaan penelitian, yakni :
1. Pengelompokan-pengelompokan apa saja yang terwujud di kalangan
mahasiswa FISIP USU?
2. Faktor apa yang mendasari mahasiswa bergabung dalam pengelompokan
FISIP USU?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh adanya gejala pengelompokan
(grouping) mahasiswa dalam pergaulan di FISIP USU?
1.2.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Sumatera Utara Medan. Alasan pemilihan lokasi karena di FISIP USU cenderung
terjadi pengelompokan-pengelompokan mahasiswa. Alasan lainnya adalah karena
peneliti merupakan mahasiswa FISIP, Sehingga data tentang pengelompokan
1.3. Tinjauan Pustaka
Bicara tentang pengelompokan mahasiswa di kampus, terlebih dahulu
harus dipahami berbagai konsep yang berkaitan dengan hal tersebut.
Manusia adalah makhluk individu yang tidak dapat melepaskan diri dari
hubungan dengan manusia lain. sebagai akibat dari hubungan yang terjadi di
antara individu-individu (manusia) kemudian lahirlah kelompok-kelompok sosial
yang dilandasi oleh kesamaan-kesamaan kepentingan bersama. Manusia adalah
makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat (Homosocious/Zoopoliticon) yang
tidak pernah lepas dari masyarakat, karena sejak manusia lahir pasti sudah terikat
dengan masyarakat. Akibatnya, sifat kodrati manusia tidak mungkin dapat hidup
seorang diri tanpa bantuan orang lain sehingga manusia membentuk sebuah
kelompok. Manusia itu berkelompok karena kesadaran akan kepentingan bersama
yang nantinya akan mengadakan kerjasama dengan semua pihak dalam usaha
mencapai tujuan, meskipun dalam banyak hal kehidupan masyarakat kita
mengetahui ada kepentingan manusia yang tidak sama bahkan saling bertentangan
(Wursanto, 2005:57).
Kelompok (group) adalah kumpulan dari individu yang berinteraksi satu
sama lain, pada umumnya hanya melakukan pekerjaan, untuk meningkatkan
hubungan antar individu, atau bisa saja keduanya.
Menurut Mardikanto (1993) kelompok adalah himpunan yang terdiri dari
dua tau lebih individu (manusia) yang memiliki ciri-ciri: (1) memiliki ikatan yang
struktur dan pembagian tugas yang jelas, (4) memiliki kaidah-kaidah atau norma
tertentu yang disepakati bersama, dan (5) memiliki keinginan dan tujuan bersama.
Menurut Horton dan Hunt (1999) kelompok adalah sejumlah orang yang
memiliki pola interaksi yang terorganisasi dan terjadi secara berulang-ulang.
Defenisi lain diungkapkan oleh Kartono (2001) kelompok adalah kumpulan dua
atau lebih individu yang kehadirannya masing-masing individu memiliki arti dan
nilai bagi individu lainnya. Sedangkan Page dan Mac dalam Soekanto (2006)
menjelaskan kelompok sebagai himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang
hidup bersama, memiliki hubungan timbal balik, dan memiliki kesadaran untuk
saling tolong-menolong. Kelompok juga sebagai tempat untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia baik kebutuhan sosiologis, ekonomis, maupun
kebutuhan psikologis. Dengan berkelompok manusia dapat mengembangkan
potensi yang dalam dalam dirinya ( Soekanto, 2006).
Pengelompokan adalah penggolongan diri ke dalam suatu komunitas
tertentu karena adanya kesamaan seperti agama, suku bangsa, asal daerah, serta
memiliki kesamaan lain. Pengelompokan selalu terjadi di dalam masyarakat. Hal
tersebut terjadi karena dalam suatu masyarakat memiliki keberagaman dalam suku
bangsa, kedaerahan, demikian juga dalam hal strata sosialnya yaitu strata sosial
atas, menengah dan bawah. Perbedaan strata ini dapat dilihat dari ekonomi
maupun pendidikan.
Kelompok atau pengelompokan terwujud karena adanya adanya sistem
interaksi sosial. Mengutip Gillin dan Gillin dalam Soekanto (2012:55)
yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua
orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur,
berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi.
Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi. Ada dua syarat
terjadinya interaksi sosial :
1. Adanya kontak sosial (social contact), yang dapat berlangsung dalam
tiga bentuk, yaitu antarindividu, antarindividu dengan kelompok,
antarkelompok. Selain itu, suatu kontak dapat pula bersifat langsung
maupun tidak langsung.
2. Adanya komunikasi, yaitu seseorang memberi arti pada perilaku orang
lain, perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.
Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan
yang ingin disampaikan oleh orang tersebut (Soekanto, 2012:62)
Individu sebagai makhluk sosial tidak bisa dipisahkan dengan interaksi
sosial dan bentuk-bentuk interaksi sosial, selain itu juga individu juga tidak dapat
dipisahkan dari situasi tempat ia berada dan situasi ini sangat berpengaruh
terhadap kelompok yang terbentuk akibat situasi tersebut. Kelompok itu terdiri
dari dua atau lebih individu, yang ada secara bersama-sama dalam satu hubungan
psikis tertentu, dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Yang terpenting
dalam sebuah kelompok bukanlah persamaan dan perbedaan satu sama lainnya,
Dalam kehidupan, individu memang tidak dapat lepas dari kelompok.
Ketika individu lahir, ia adalah bagian dari kelompok kecil yang dinamakan
keluarga. Selanjutnya, individu mulai menjadi anggota dari berbagai kelompok di
lingkungan rumah, sekolah, tempat kerja dan juga di tengah masyarakat individu
beraktivitas dan berkembang bersama orang-orang di dalam kelompok. Hal itu
dapat menimbulkan interaksi sosial dan juga saling mempengaruhi antar individu
dalam kelompok tersebut.
Thomas (2008) dalam buku Dinamika Kelompok mengemukakan
beberapa teori tentang terbentuknya kelompok:
1. Teori Kontrak Sosial atau Perjanjian Sosial
Teori ini dikembangkan oleh Rousseau, Hobes dan Locke. Mereka
sama-sama berangkat dari sebuah pemikiran awal yang menyatakan bahwa
terbentuknya sebuah negara adalah karena adanya kesepakatan dari
masyarakat atau individu-individu dalam masyarakat untuk melakukan
kesepakatan atau perjanjian. Mereka sama-sama mendasarkan
analisis-analisi mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sebagai sumber
kewenangan sebuah negara.
2. Teori Hasrat Sosial
Teori ini berpendapat bahwa manusia yang tadinya hidup terpisah-pisah
kemudian hidup dalam pergaulan antar manusia disebabkan karena pada
diri tiap individu terdapat hasrat sosial yang senantiasa mendorong untuk
3. Teori Tenaga yang Menggabungkan
Pencetus teori ini adalah P.J. Bowman. Ia mengemukakan bahwa
kelompok terbentuk karena manusia senantiasa hidup bersama dalam
suatu pergaulan yang didorong oleh tenaga-tenaga yang menggabungkan
atau mengintergrasikan individu ke dalam suatu pergaulan.
4. Teori kedekatan (Propinguiri Theorty)
Merupakan teori yang sangat dasar tentang terbentuknya kelompok yang
menjelaskan bahwa kelompok terbentuk karena adanya afilasi
(perkenalan) di antara orang-orang tertentu.
5. Teori Keseimbangan
Teori keseimbangan ( a blance theory of group formation) yang
dikembangkan oleh Theodore Newcomb. Teori ini menyatakan bahwa
seseorang yang tertarik pada yang lain karena adanya kesamaan sikap di
dalam menanggapi suatu tujuan.
6. Teori Alasan Praktis (Practical Theory)
Teori ini menyatakan bahwa kelompok terbentuk karena kelompok
cenderung memberikan kepuasan atas kebutuhan-kebutuhan sosial yang
mendasar dari orang-orang yang berkelompok. Kebutuhan-kebutuhan
sosial praktis tersebut dapat berupa alasan ekonomi, status sosial,
kemanan, politis dan alasan sosial lainnya.
Hampir semua manusia memiliki kelompok bergaul dalam kehidupannya
atau disebut kelompok sosial, baik keluarga atau kelompok lain seperti teman
manusia yang hidup bersama, karena adanya hubungan di antara mereka.
Mengutip Sarwono dan Eko dalam kajian Widyaningsih (2010), menjelaskan
bahwa tidak semua kelompok itu bisa dikatakan sebagai kelompok sosial, oleh
karena itu ada beberapa syarat tertentu untuk disebut sebagai kelompok, yakni
persyaratan fisik yang harus dipenuhi, seperti ada beberapa individu yang
berinteraksi dan saling tergantung untuk mencapai tujuan bersama, dan ada pula
persyaratan non-fisik, seperti persepsi sebagai satu kesatuan serta perasaan
sebagai bagian dari kelompok. Selain itu syarat tersebut juga terdapat beberapa
syarat lainnya untuk disebut sebagai kelompok sosial menurut Soekanto
(2005:115), yakni:
a. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan bagaian dari
kelompok yang bersangkutan.
b. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota
yang lainnya.
c. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga hubungan antara
mereka bertambah erat. Faktor-faktor tersebut dapat berupa nasib yang
sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang
sama dan lain-lain.
d. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku.
e. Bersistem dan berproses.
Tidak hanya terdapat syarat tertentu pada suatu kelompok. Kelompok pun
(2010) tentang Interaksi Sosial Himpunan Mahasiswa Lampung di Yogyakarta
menjelaskan bahwa kelompok sosial mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu :
a) Adanya motif yang sama
Kelompok sosial terbentuk karena anggota-anggotanya mempunyai motif
yang sama. Motif yang sama ini merupakan pengikat sehingga setiap
kelompok tidak bekerja sendiri-sendiri, melainkan bekerja sama untuk
mencapai suatu tujuan tertentu yang telah disepakati.
b) Adanya sikap in-group dan out-group
Apabila orang lain di luar kelompok bertingkah laku khusus, maka mereka
akan tersingkirkan dari kelompok. Dan sikap penolakan yang ditunjukkan
oleh kelompok yang oleh kelompok itu disebut dengan sikap out-group atau
sifat terhadap “orang luar”. Jika kelompok manusia itu menunjukkan orang
luar untuk membuktikan kesediaannya berkorban bersama dan
kesetiakwanannya, baru kemudian menerima ornag itu dalam segala
kegiatan kelompok. Sikap menerima ini disebut sikap in-group atau sikap
terhadap “orang dalam”.
c) Adanya solidaritas
Adanya solidaritas yang tinggi di dalam kelompok tergantung kepada
kepercayaan setiap anggota akan kemampuan anggota lainnya untuk
melakukan tugas dengan baik.
d) Adanya struktur kelompok
Struktur kelompok adalah suatu sistem mengenai relasi antara
mereka masing-masing dalam interaksi kelompok untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Di dalam struktur kelompok terdapat susunan kedudukan
fungsional dan juga susunan hierarkis antara anggota kelompok.
e) Adanya norma kelompok
Norma kelompok di sini adalah pedoman-pedoman yang mengatur tingkah
laku individu dalam suatu kelompok.
Kelompok bisa saja membatasi independensi individu, namun setiap
individu pasti menjadi anggota suatu kelompok tertentu. Hal ini dikarenakan
kelompok memberikan manfaat tertentu bagi individu. Mengutip Burn dalam
Kajian Ika (2010) menjelaskan tentang tiga manfaat kelompok, yaitu:
a. Kelompok memenuhi kebutuhan individu untuk merasa berarti dan dimiliki.
Adanya kelompok membuat individu tidak merasa sendirian, ada orang lain
yang membutuhkan dan menyayanginya.
b. Kelompok sebagai sumber identitas diri. Individu yang tergabung dalam
kelompok bisa mendefenisikan dirinya sebagai anggota suatu kelompok.
c. Kelompok sebagai sumber informasi tentang dunia dan tentang diri kita.
Hubungan-hubungan yang terjadi dalam kelompok tersebut antara lain
menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu
kesadaran. Kelompok-kelompok yang terwujud tersebut menjadi bagian di dalam
kehidupan masyarakat luas. Menurut Koentjraningrat (2009:116), masyarakat
adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul” atau dengan dengan istilah
ilmiah saling “berinteraksi”. Secara khusus menurut antropologi masyarakat
adat-istiadat tertentu yang bersifat kontiniu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas
bersama.
Kampus dapat juga dilihat sebagai masyarakat karena di dalam kampus
terjadi interaksi antarsesama warganya (mahasiswa). Dikatakan kampus sebagai
masyarakat, karena di dalam kampus terdapat masyarakat kampus yang menjalin
interaksi yang cenderung lama. Dikatakan lama meskipun hari itu juga interaksi
akan berakhir, tetapi besok harinya akan terjalin kembali interaksi sosial sesama
mahasiswa dengan memiliki identitas tertentu .
Masyarakat kampus terdiri dari mahasiswa yang berbeda suku bangsa,
kedaerahan maupun lapisan sosial. Di dalam kampus mahasiswa berinteraksi
antarsesama mereka. Interaksi tersebut didasari oleh berbagai kepentingan. Para
mahasiswa tersebut cenderung berinteraksi dengan sesama suku bangsa, agama,
kedaerahan maupun sesama strata sosial di dalam kampus, misalnya adanya
mahasiswa yang bergaul hanya sesama suku bangsa Batak, Minangkabau, Melayu
serta sesama orang kaya. Interaksi warga yang cenderung sesama golongan
sesungguhnya didasarkan atas sentimen-sentimen yang dimiliki mereka. Geertz
(1973b:250) menyebutnya dengan istilah sentimen Primordial.
Mengutip pandangan Geertz, Suparlan (1973b:250) menyatakan bahwa:
“Primordialitas/ ikatan-ikatan primordial adalah sesuatu
Dengan kata-kata sederhana, Geertz menjelaskan bahwa primordialitas
sebagai sebuah dunia jati diri perorangan atau pribadi, yang secara kolektif
diratifikasi2 dan secara publik diungkapkan, yang merupakan sebuah keteraturan dunia. Primordialitas adalah sesutu yang utama, yaitu perasaan yang dipunyai
orang per-orang, berkenaan dengan kehadirannya atau kehidupannya di dunia ini
sebagai suatu takdir bahwa dia dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu lingkungan
keluarga dan kerabat, keyakinan keagamaan, bahasa, berbagai adat serta sistem –
sistem makna yang ada dalam kebudayaannya, yang di rasakan sebagai dunia
kehidupannya yang utama karena tidak dapat terpisahkan dari dirinya. Selain
sentimen primordialitas, interaksi sosial yang terwujud juga didasarkan pada
kedudukan atau poisisi mereka di dalam suatu lapisan tertentu. Orang yang
menempati suatu lapisan tertentu akan cenderung berinteraksi dengan sesama
mereka, misalnya sesama orang kaya akan memilih berteman dengan sesama
orang kaya.
Interaksi sosial yang cenderung berinteraksi dengan sesama warga
tertentu, tentu akan menimbulkan stereotip terhadap kelompok lain di luar
kelompok. Stereotip adalah gambaran yang dimiliki seseorang terhadap
sekelompok orang lain, misalnya suku bangsa Minangkabau menganggap suku
bangsa Batak kasar, akibatnya mereka membentuk suatu pengelompokan yang
hanya bersuku bangsa Minangkabau saja. Revida (2009) mengungkapakan
stereotip biasanya terbentuk atas dasar kejadian yang sudah ada sebelumnya,
kemudian diperkuat oleh pengamatan pribadi secara sepintas yang biasanya
2
berkonotasi negatif. Pengamatan ini hanya melihat dari sisi luarnya saja tanpa
mengetahui latar belakang sikap dan perilaku yang membentuknya sehingga
stereotip bisa menumbuhkan fanatisme dan kecurigaan yang akhirnya akan
menyebabkan masing-masing kelompok menutup diri dan memperkuat stereotip
tersebut. Segala pandangan-pandangan tersebut dapat menghambat terjadinya
interaksi dengan kultur serta latar belakang yang berbeda sehingga terjadinya
pengelompokan yang hanya memiliki kesamaan.
Pengelompokan yang cenderung bergaul dengan sesama anggota yang
memiliki kesamaan, tentu akan menimbulkan dampak. Dampak adalah benturan;
pengaruh yang mendatangkan akibat, baik positif maupun negatif. Pengaruh
adalah daya yang timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak,
kepercayaan dan perbuatan orang, serta keadaan dimana ada hubungan timbal
balik atau hubungan sebab akibat yang mempengaruhi (KBBI, online 2017).
Dampak positif adalah memberi kesan dengan dampak yang positif yang bisa
menguntungkun bagi orang yang ikut serta dalam kelompok itu sendiri, misalnya
pengelompokan berdasarkan agama, jika seseorang bergabung dalam kelompok
ini maka akan terjalin keeratan untuk belajar tentang agama yang dianut. Dampak
negatif adalah memberi kesan negatif dengan tujuan agar mereka mengikuti atau
mendukung keinginannya yang buruk dan menimbulkan akibat tertentu, misalnya
pengelompokan mahasiswa sesama suku bangsa Minangkabau yang memandang
suku bangsa Batak Toba orang yang kasar sehingga terjadi perenggangan antar
Dalam kajian Lailatul (2014), tentang Konflik dalam Lembaga
Kependidikan menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses sosial dimana
individu atau kelompok berusaha memenuhi keinginannya dengan jalan
menentang, mengancam, berprasangka, dan juga dengan kekerasan. Mengutip
Suparlan (2005), Prof. Irwan Abdullah menguraikan 5 (lima) jenis-jenis konflik,
diantaranya:
1. Konflik hubungan yaitu konflik yang muncul karena adanya emosi negatif,
misalnya miss komunikasi/ tindakan negatif yang berulang-ulang yang
diwujudkan suatu kelompok terhadap kelompok lain. pada dasarnya konflik ini
bersifat personal.
2. Konflik data yaitu konflik karena kurang informasi dalam mendukung
keputusan bijak sehingga menimbulkan pertentangan.
3. Konflik kepentingan yaitu persaingan untuk memperoleh kepentingan dengan
cara menjelekkan lawan, misalnya penerima pegawai sesuai dengan suku
bangsa tertentu.
4. Konflik struktural yaitu konflik yang mencerminkan perbedaan strata yang
cenerung tidak seimbang dimana masing-masing posisi bersaing dalam
menemukan akses sumber ekonominya.
5. Konflik nilai yaitu sistem nilai yang berbeda yang dipaksa oleh suatu
kelompok dengan yang lainnya, misalnya orang Batak memaksa orang lain
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap penelitian tentunya memiliki tujuan dan manfaat yang sangat
penting, karena melalui tujuan dan manfaat itulah maka suatu penelitian dapat
dimengerti oleh peneliti maupun dibaca publik. Adapun tujuan dari penelitian ini
ialah untuk mendeskripsikan keberadaan pengelompokan mahasiswa yang
terwujud di kampus dengan menitikberatkan perhatian pengelompokan di FISIP
USU, mencakup pengelompokan apa saja yang terwujud di kalangan mahasiswa,
faktor yang mendasari terjadinya pengelompokan di kampus, serta dampak yang
ditimbulkan adanya gejala sosial pengelompokan di FISIP USU.
Adapun manfaat dari penelitian ini secara akademisi ialah sebagai salah
satu sumbangsih tentang pengelompokan mahasiswa dalam pergaulan di FISIP
USU. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat berguna bagi mahasiswa atau
pembaca dalam memahami wujud-wujud pengelompokan yang terjadi di
lingkungan kampus. Penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan masukan dalam
berinteraksi sesama mahasiswa ataupun masyarakat luar. Selain itu juga sebagai
alat penyampai aspirasi mahasiswa mengenai pengelompokan dalam bergaul yang
seharusnya di kampus.
1.5. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian etnografi bersifat kualitatif dengan
1.5.1. Teknik Observasi
Observasi3 atau pengamatan dilakukan untuk melihat bagaimana keberadaan pengelompokan yang terwujud. Observasi yang digunakan adalah
observasi non partisipasi. Hal tersebut karena peneliti hanya ingin melihat
pengelompokan apa saja yang terwujud tanpa harus ikut terlibat di dalam
kehidupan pengelompokan mahasiswa. Dalam observasi non partisipasi peneliti
akan mengamati tentang:
Bagaimana wujud-wujud pengelompokan yang terjadi di FISIP USU?
Siapa saja yang terlibat dalam pengelompokan tersebut?
Kegiatan apa yang dilakukan dalam pengelompokan?
Apakah ada orang lain yang terlibat di luar kelompok tersebut?
Misalnya pengelompokan berdasarkan agama apakah mengundang
Pendeta atau Ustadz untuk memimpin ibadah?
Observasi yang dilakukan dilengkapi dengan kamera photo untuk
mengabadikan hal-hal yang tidak terobservasi di lapangan baik data pribadi
informan atau hasil penelitian pribadi. Di samping itu, hasil foto yang dilakukan
dapat dijadikan sebagai penegasan data yang diperoleh di lapangan.
1.5.2. Teknik Wawancara Mendalam (depht interview)
Wawancara mendalam adalah suatu kegiatan dimana terjadi percakapan
yang telah terstruktur, dimana pewawancara akan memberikan
pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab oleh orang yang akan diwawancarai sesuai dengan
3
aspek-aspek yang akan diteliti. Dalam wawancara ini peneliti akan menggunakan
tape recorder untuk merekam segala sesuatu informasi yang diungkapkan
informan. Hal tersebut digunakan karena daya ingat manusia yang terbatas dan
akan sulit mengingat semua yang diucapkan informan jika hanya mendengar saja.
Selain itu, dengan alat ini akan mempermudah peneliti dalam melakukan
wawancara serta menuangkan kembali hasil rekaman ke dalam catatan lapangan
setelah wawancara berakhir. Seperti dalam penelitian ini aspek yang akan dikaji
ialah “pengelompokan mahasiswa di Kampus”.
Menurut Webster’s New Collagiate Dictionary, seorang informan adalah
seorang pembicara asli yang berbicara dengan menggunakan kata-kata, frasa, dan
kalimat dalam bahasa atau dialek sebagai sumber informasi. Informan akan
memberikan informasi yang sesuai dengan apa yang diketahui dan menjadi
sumber informasi yang sesuai dengan pemahaman informan atas pertanyaan
ataupun masalah yang diberikan.
Pemilihan dan penetapan informan sangatlah penting dalam penelitian.
Meskipun hampir setiap orang dapat menjadi informan, namun tidak setiap orang
dapat menjadi informan yang baik. Informan yang baik yaitu informan yang dapat
memberikan jawaban ataupun informasi yang ditanyakan dan dapat membantu
menyelesaikan permasalahan dengan informasi yang diberikan. Pemilihan dan
penetapan informan yang tepat dapat membantu dan mempermudah proses
penelitian.
Adapun informan yang saya wawancarai untuk memperoleh data
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara yang membentuk wujud pengelompokan berdasarkan suku bangsa
yaitu Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol (IMIB) dan Forum Mahasiswa Nias
(ForMaN-USU).
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara yang membentuk wujud pengelompokan berdasarkan agama yaitu
Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FISIP (HMI Kom FISIP) dan
Gerakan Kristen Mahasiswa Indonesia Komisariat FISIP (GMKI Kom
FISIP).
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara yang membentuk wujud pengelompokan berdasarkan asal daerah
yaitu Ikatan Mahasiswa Simalungun (IMAS-USU) dan Ikatan Mahasiswa
Dairi (IMADA).
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam (depth
interview). Wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan data-data dengan
mengajukan pertanyaan mendalam berkaitan tentang pengelompokan mahasiswa
yang terwujud di FISIP USU. Proses wawancara dilakukan di FISIP atau
diberbagai arena yang memungkinkan dan disetujui oleh informan.
Aspek-aspek yang akan menjadi pertanyaan kepada mahasiswa yang
membentuk wujud pengelompokan berdasarkan suku bangsa di FISIP USU:
a) Bagaimana sejarah singkat Ikatan Imam Bonjol (IMIB) dan Forum
Mahasiswa Nias (ForMaN)?
c) Mengapa memilih masuk dalam pengelompokan tersebut?
d) Apa yang menjadi faktor atau mendasari mahasiswa bergabung
dalam pengelompokan?
e) Bagaimana dampak yang terjadi dengan bergabungnya mahasiswa
dalam pengelompokan?
f) Kegiatan apa saja yang dilakukan dalam pengelompokan?
g) Apakah menurut mahasiswa wujud pengelompokan adalah hal
yang wajar di kalangan mahasiswa?
Pertanyaan wawancara kepada mahasiswa yang membentuk wujud
pengelompokan berdasarkan agama di FISIP USU:
a) Bagaimana sejarah singkat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan
Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
b) Bagaimana struktur kepemimpinan pengelompokan?
c) Mengapa memilih masuk dalam pengelompokan tersebut?
d) Apa yang menjadi faktor atau mendasari mahasiswa bergabung
dalam pengelompokan?
e) Bagaimana dampak yang terjadi dengan bergabungnya mahasiswa
dalam pengelompokan?
f) Kegiatan apa saja yang dilakukan dalam pengelompokan?
g) Bagaimana pandangan mahasiswa terhadap pengelompokan di
FISIP
Pertanyaan wawancara kepada mahasiswa yang membentuk wujud
a) Bagaimana sejarah singkat Ikatan Mahasiswa Simalungun (IMAS)
dan Ikatan Mahasiswa Asal Dairi (IMADA)?
b) Bagaimana struktur kepemimpinan pengelompokan?
c) Mengapa memilih masuk dalam pengelompokan tersebut?
d) Apa yang menjadi faktor atau mendasari mahasiswa bergabung
dalam pengelompokan?
e) Bagaimana dampak yang terjadi dengan bergabungnya mahasiswa
dalam pengelompokan?
f) Kegiatan apa saja yang dilakukan dalam pengelompokan?
g) Bagaimana pandangan mahasiswa terhadap pengelompokan di
FISIP?
1.5.3. Studi Dokumentasi
Selain teknik interview (wawancara) yang menjadi dasar teknik penelitian
ini, peneliti juga menggunakan metode tambahan seperti studi dokumentasi yang
bertujuan untuk mempermudah penulis dalam mencari data. Dokumen dapat
berupa catatan lapangan, catatan pribadi, rekaman wawancara, foto dan lain
sebagainya.
1.5.4. Studi Pustaka
Studi pustaka sangat dibutuhkan oleh peneliti. Jenis-jenis kepustakaan
yang peneliti gunakan yaitu beberapa buku, jurnal, artikel, skripsi dan beberapa
data-data yang bersumber dari media cetak dan eletronik yang berkaitan dengan
masalah pengelompokan mahasiswa di kampus. Sumber-sumber data yang
tentang hal-hal mana saja yang diperlukan. Hal tersebut membantu peneliti dalam
mengetahui wujud-wujud pengelompokan serta yang mendasari terjadinya
pengelompokan di Fakultas Ilmu Soisal dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara.
1.6. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisas data interpretatif kualitatif, yakni
mengalisis data tentang Pengelompokan Mahasiswa di FISIP USU. Analisis data
dilakukan dengan mengklasifikasikan data-data yang diperoleh dari lapangan ke
dalam tema-tema, kategori-kategori. Peneliti melakukan pengecekan ulang atau
check and recheck terhadap data yang diperoleh dari hasil wawancara dan
observasi. Keseluruhan data yang diperoleh dari lapangan kemudian diolah secara
sistematis, sehingga peneliti kemudian menemukan tema-tema yang saling
berkaitan. Kemudian diuraikan ke dalam bagian-bagian sub judul pada bab sesuai
dengan temanya masing-masing, sehingga ditemukan sebuah kesimpulan yang
dapat menjawab persoalan penelitian.
1.7. Pengalaman Penelitian
Setelah proposal di acc oleh dosen pembimbing pada tanggal 1 Maret
2017, peneliti merasa lega karena proposal akhirnya berlalu walau akan banyak
tantangan kedepannya lagi. Karena sudah acc, peneliti tidak langsung melakukan
penelitian karena masih memilah-milah bagaimana cara wawancara yang tepat.
bingung saat penelitian lapangan. Berhubung belum adanya outline4 skripsi yang
disusun peneliti sehingga mengakibatkan kebingungan.
Selang semingggu semenjak acc proposal, akhirnya peneliti
memberanikan diri untuk memulai penelitian di FISIP. Sejujurnya peneliti belum
menemukan apa yang akan ditulis di bab 3 dan 4. Meskipun begitu peneliti
berusaha untuk melakukan penelitian karena terkadang tema-tema tersebut bisa
muncul saat melakukan penelitian. Akhirnya tanggal 9 Maret 2017 peneliti
melakukan wawancara dengan mahasisa FISIP yaitu Yosephine Tamba yang saat
itu kira-kira pukul 11 siang, kami duduk di koridor. Dia adalah mahasiswa jurusan
Antropologi 2013. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu peneliti
menjelaskan tentang judul skripsi dan rumusan masalah penelitian. Peneliti
sengaja memulai wawancara dengan teman jurusan karena dengan begitu akan
mulai berani untuk melakukan wawancara dengan mahasisa jurusan lain.
Yosephine menjelaskan bahwa dia tidak masuk dalam pengelompokan khusus di
FISIP tetapi dia tetap menjawab apa faktor pengelompokan itu sendiri sehingga
mahasiswa masuk dalam pengelompokan.
Hari berikutnya peneliti kembali melakukan wawancara pada tanggal 10
Maret 2017 dengan melakukan wawancara dengan Fernando Ginting yaitu
jurusan Sosiologi. Seperti biasa peneliti kembali menjelaskan tentang
permasalahan mengenai skripsi. Melakukan wawancara di koridor FISIP. dia
menerima peneliti dengan baik dan terbuka. Dalam penelitian ini informan
menjelaskan bahwa dia masuk dalam pengelompokan berdasarkan suku bangsa
yaitu IMKA. Dia juga menjelaskan bahwa faktor masuk ke dalam IMKA tentu
karena sesuai dengan identitasnya. Informan juga menjelaskan faktor serta
dampak dari adanya pengelompokan.
Selama seminggu peneliti tetap melakukan penelitian di FISIP dengan
mengandalkan panduan wawancara (interview guide) . Akhirnya peneliti memilih
untuk jeda sejenak karena masih adanya kebingungan bagi peneliti apa yang akan
ditulis di dalam skripsi ini. Peneliti bingung untuk membuat outline. Selama
berhari-hari berpikir untuk membuat outline, karena sudah putus asa akhirnya
peneliti meminta bantuan kepada senior untuk membuat outline. Akhirnya ada
seorang senior yang sangat baik untuk memantu peneliti untuk membuat outline.
setelah berunding akhirnya outline pun jadi. Peneliti akhirnya merasa gagal
karena selama ini peneliti hanya melakukan wawancara seputar pertanyaan
mengapa mahasiswa masuk dalam pengelompokan. Padahal sesungguhnya
peneliti harus menjelaskan sekitar sejarah pengelompokan, struktur
pengelompokan. Karena pengelompokan berdasarkan agama, suku bangsa dan
daerah, akhirnya peneliti kembali melakukan penelitian. Sebelum melakukan
penelitian terlebih dahulu peneliti menyerahkan outline kepada dosen
pembimbing pada tanggal 28 Maret 2017.
Outline yang sudah jelas sesuai bentuk daftar isi, akhirnya peneliti
semangat untuk melakukan penelitian. Waktu yang cukup banyak terbuang
selama 1 bulan akhirnya membuat peneliti melakukan wawancara sembari
langsung mengerjakan skripsi. Pada tanggal 10 April 2017 akhirnya saya
anggota IMIB dan menjadi ketua IMIB tahun 2015. Sebelumnya peneliti sudah
menghubungi Achil dengan meminta nomor kontaknya kepada teman jurusan.
Kami pun akhirnya melakukan wawancara di koridor FISIP sekitar pukul 14.00
WIB. Kami melakukan wawancara dengan terlebih dahulu peneliti menjelaskan
tentang permasalahan skripsi. Informan pun menjelaskan tentang sejarah singkat
IMIB serta faktor dan dampak bergabung dalam pengelompokan. Beruntungnya,
karena penelitian ini untuk skripsi, informan menyarankan untuk melihat
AD/ART5 pengelompokan agar lebih jelas tentang IMIB. Informan pun mengirimkannya melalui email seminggu kemudian. Sesungguhnya peneliti
sempat putus asa untuk menghubungi informan karena tidak adanya pulsa
informan dan juga paket internet. Tetapi peneliti tetap semangat untuk melakukan
penelitian. seiring dengan penelitian, malam harinya peneliti langsung
mengerjakan ke dalam skripsi.
Pada tanggal 17 April 2017 peneliti melakukan wawancara dengan
Andriaman Lukas, seorang anggota ForMaN. Kebetulan dia adalah junior di
jurusan dan dia bersedia untuk melakukan wawacara. Sama seperti sebelumnya,
peneliti terlebih dahulu menghubungi informan dengan meminta kontaknya
kepada senior. Kami melakukan wawancara di kantin FISIP agar lebih santai.
Peneliti kemudian menjelaskan tentang permasalahan yang akan dikaji dalam
skripsi. Informan kemudian menjelaskan tentang sejarah singkat ForMaN,
kemudia menjelaskan faktor-faktor serta dampaknya. Informan juga mengirimkan
AD/ART sebagai pelengkap untuk bahan skripsi. Kemudian pada tanggal 20 April
2017 peneliti kembali melakukan wawancara dengan informan karena ada
permasalahan lain yang harus dijawab tentang pengelompokan sebagai pelangi
dalam kehidupan mahasiswa.
19 Maret 2017 peneliti kembali melakukan wawancara dengan informan
yang berasal dari pengelompokan agama (HMI) yaitu Yusria, kami melakukan
wawancara di koridor FISIP sekitar pukul 11.00 WIB. Dia menjadi bagian dari
kepengurusan HMI sehingga memudahkan peneliti untuk melakukan wawancara.
Sebelumnya peneliti sudah menghubungi informan dan menjelaskan tentang
permasalahan dalam penelitian. Informan kemudian menjelaskan seputar HMI,
bagaimana cara masuknya serta faktor apa saja yang mendasari mahasiswa
bergabung dalam pengelompokan serta dampak. Informan juga menyerahkan
suatu skripsi tentang HMI tentu ini sangat membantu peneliti untuk melengkapi
bahan skripsi.
Peneliti senantiasa melakukan penelitian sembari langsung mengerjakan
skripsi. Peneliti sempat putus asa untuk mencari informan berdasarkan asal
daerah. Sebelumnya peneliti sudah melakukan penelitian dengan wawancara yang
dilakukan terhadap informan yang berasal dari pengelompokan asal daerah yaitu
Lady, tetapi hanya menjelaskan tentang faktor dan dampak. Hal itu karena
wawancara ini dilakukan pada awal-awal Maret sebelum outline dibuat oleh
peneliti. Meksipun begitu peneliti tetap bersemangat,. Peneliti kemudian mencari
tahu tentang IMADA dan akhirnya sekilas sejarah IMADA ditemukakan dari
Meskipun peneliti telah kehilangan beberapa hari setelah acc proposal
tetapi itu tidak menjadi penghalang dalam menyelesaikan penelitian. Segala
penelitian yang dilakukan menjadikan peneliti untuk tetap bersemangat dalam
mengerjakan skripsi. Sekecil apa pun usaha pasti akan ada hasilnya. Setiap
wawancara yang dilakukan adalah wawancara persahabatan. Hal ini dilakukan
agar selama wawancara tidak kaku dan mendapat hasil yang sesuai dengan