• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Efek Haloperidol Pada Penanganan Agitasi Psikosis Akut Antara Individu Yang Merokok Dengan Yang Tidak Merokok Di Ugd Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan Efek Haloperidol Pada Penanganan Agitasi Psikosis Akut Antara Individu Yang Merokok Dengan Yang Tidak Merokok Di Ugd Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Obat

Setiap obat memiliki sifat khusus masing-masing agar dapat bekerja dengan baik. Sifat fisik obat, dapat berupa benda padat pada temperatur kamar ataupun bentuk gas, namun dapat berbeda dalam penanganannya berkaitan dengan pH kompartemen tubuh dan derajat ionisasi obat tersebut. Berat molekul obat yang bervariasi dari ukuran sangat besar sampai sangat kecil dapat memengaruhi proses difusi obat tersebut dalam kompartemen tubuh. Bentuk suatu molekul juga harus sedemikian rupa sehingga dapat berikatan dengan reseptornya. Setiap obat berinteraksi dengan reseptor berdasarkan kekuatan atau ikatan kimia. Selain itu, desain obat yang rasional berarti mampu memperkirakan struktur molekuler yang tepat berdasarkan jenis reseptor biologisnya.

2.1.1. Mekanisme Kerja Obat

11

(2)

ini menjelaskan bagaimana obat berinteraksi dengan reseptornya ataupun pengaruh obat terhadap fisiologi tubuh. Fase farmakodinamika dipengaruhi oleh struktur kimia obat, jumlah obat yang sampai pada reseptor, dan afinitas obat terhadap reseptor dan sifat ikatan obat dengan reseptornya.

2.1.2. Fase Farmasetika

11

Fase farmasetika merupakan fase yang dipengaruhi antara lain oleh cara pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan. Sediaan obat yang banyak dipakai adalah sediaan padat atau cair. Untuk dapat diabsorpsi obat harus dapat melarut dalam tempat absorpsinya. Sediaan tablet merupakan bentuk sediaan farmasi yang paling banyak tantangannya dalam mendesain dan membuatnya untuk memperoleh bioavailabilitas obat penuh dan dapat dipercaya serta kohesi yang baik dari zat amorf atau gumpalan. Walaupun obat telah baik proses pembuatan, melarut, dan tidak mempunyai masalah dengan bioavailabilitas obat, masih banyak hal lain yang harus diperhatikan dalam proses farmasetika obat, mulai dari penampilan obat, pembubukan, atau pengelupasan dalam botol selama pengepakan atau penanganan. Penambahan pengikat, perekat dapat memengaruhi waktu hancur tablet, kecepatan melarut tablet, dan mungkin bioavailabilitas obat.

2.1.3. Fase Farmakokinetika

12

Farmakokinetika mempelajari proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat dari dalam tubuh atau ilmu yang mempelajari pengaruh tubuh terhadap obat. Proses farmakokinetika tersebut menentukan berapa cepatnya, berapa konsentrasinya, dan untuk berapa lama obat tersebut berada pada organ target.

a. Absorpsi

13

(3)

absorpsi, derajat ionisasi, pH tempat absorpsi, dan sirkulasi darah di tempat obat melarut. Untuk dapat diabsorpsi, obat harus dapat melarut atau dalam bentuk yang sudah terlarut sehingga kecepatan melarut akan sangat menentukan kecepatan absorpsi. Untuk itu, sediaan obat padat sebaiknya diminum dengan cairan yang cukup untuk membantu mempercepat kelarutan obat. Derajat keasaman atau kebasaan (pH) berbeda jika zat berada dalam bentuk larutan. Obat yang terlarut dapat berupa ion atau non-ion. Bentuk non-ion relatif lebih mudah larut dalam lemak sehingga lebih mudah menembus membran, karena sebagian besar membran sel tersusun dari lemak. Kecepatan obat menembus membran dipengaruhi oleh pH obat dalam larutan dan pH dari lingkungan obat berada. Obat yang bersifat asam lemah akan mudah menembus membran sel pada suasana asam, karena obat relatif tidak terionisasi atau bentuk ionnya sedikit. Sebaliknya obat-obat yang bersifat basa lemah akan mudah diabsorpsi di usus halus karena juga relatif tidak terionisasi.

b. Distribusi

12-14

(4)

ada lagi celah diantara sel-sel endotel tersebut) dan pembuluh darah kapiler ini dibalut oleh astrosit otak yang merupakan lapisan-lapisan membran sel. Sawar uri terdiri dari satu lapis sel vili dan satu lapis sel endotel kapiler dari fetus. Karena itu obat yang dapat diabsorpsi melalui pemberian oral juga dapat masuk ke fetus melalui sawar uri. Akan tetapi obat larut lemak yang merupakan substrat P-gp atau MRP (Multidrug-Resistance Protein) akan dikeluarkan oleh P-gp atau MRP yang terdapat

pada membran sel endotel pembuluh kapiler otak. Dengan demikian P-gp menunjang fungsi sawar darah otak dan sawar uri untuk melindungi otak dan fetus dari obat yang efeknya merugikan.

c. Metabolisme

12-14

Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia dalam jaringan biologis yang dikatalisis oleh enzim menjadi metabolit-nya. Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non-polar (larut lemak) menjadi non-polar (larut air) agar dapat di ekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini, obat aktif umumnya diubah menjadi tidak aktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya pro-drug), kurang aktif, atau menjadi toksik. Proses metabolisme terdiri

(5)

reaksi fase II yang terpenting adalah glukoronidasi melalui enzim UDP-Glucoronyl-Transferase (UGT), terutama terjadi dalam mikrosom hati,

tetapi juga di jaringan ekstra-hepar (usus halus, ginjal, paru, kulit). Reaksi konjugasi yang lain (asetilasi, sulfasi, konjugasi dengan glutathione) terjadi di dalam sitosol.

d. Ekskresi

12-14

(6)

disebabkan oleh adanya gangguan hepar atau ginjal sehingga memperpanjang waktu paruhnya. Ekskresi obat kedua penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses. Selain itu, ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum. Ekskresi dalam ASI, saliva, keringat dan air mata secara kuantitatif tidak penting. Ekskresi ini bergantung terutama pada difusi pasif dari bentuk non-ion yang larut lemak melalui sel epitel kelenjar, dan pH. Parameter dalam proses farmakokinetika meliputi volume distribusi, bersihan (clearance), bioavailabilitas, dan waktu paruh. Volume distribusi adalah volume perkiraan obat terlarut dan terdistribusi dalam tubuh. Semakin besar nilai volume distribusi, semakin luas distribusinya. Besarnya volume distribusi ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, dan derajat ikatan obat dengan protein plasma dan dengan berbagai jaringan. Bersihan adalah kecepatan obat dibersihkan dari dalam tubuh atau volume plasma yang dibersihkan dari obat persatuan waktu (volume/waktu). Bersihan total adalah jumlah bersihan dari berbagai organ, seperti hepar, ginjal, empedu, paru-paru, dan lain-lain. Bersihan obat-obat yang tidak diubah melalui urin merupakan bersihan ginjal. Di dalam hati, bersihan obat melalui biotransformasi obat parent drug menjadi satu atau lebih metabolit, atau ekskresi obat yang tidak diubah (unchanged drug) ke dalam empedu, atau kedua-duanya. Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui jalur pemberian tertentu masuk ke sirkulasi sistemik. Untuk suatu dosis intravena dari obat, bioavailabilitas adalah sama dengan satu, atau dianggap 100% masuk ke dalam tubuh. Untuk obat yang diberikan per-oral, bioavailabilitas dapat berkurang 100% karena absorpsi yang tidak lengkap dan eliminasi first-pass.12-14

2.1.4. Fase Farmakodinamika

(7)

merupakan reseptor obat yang paling penting. Jenis-jenis protein lain yang telah diidentifikasikan sebagai reseptor obat meliputi enzim-enzim, transpor protein (misalnya Na+/K+ATPase), dan protein struktural (misalnya tubulin). Obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Berakhirnya kerja obat pada tingkat reseptor merupakan salah satu akibat dari serangkaian proses. Dalam beberapa hal, efek berlangsung hanya selama obat menempati reseptor sehingga dengan lepasnya obat dari reseptor efek akan segera berakhir. Ada juga kerja obat masih tetap ada walaupun obat sudah terdisosiasi disebabkan oleh adanya beberapa molekul pasangan masih dalam bentuk aktif. Semua respon farmakologi harus mempunyai suatu efek maksimum (Emax). Tidak perduli berapa konsentrasi obat yang akan dicapai, akan didapat suatu titik dimana tidak ditemukan lagi suatu respon. Kepekaan organ target pada obat dicerminkan oleh konsentrasi obat yang diperlukan untuk menghasilkan 50% dari efek maksimum. Kepekaan yang meningkat pada suatu obat biasanya ditandai oleh respon yang berlebihan pada dosis kecil atau dosis sedang.

2.1.5. Faktor Genetik yang Memengaruhi Metabolisme Obat

11-14

Faktor genetik dalam metabolisme obat telah diteliti sejak 60 tahun yang lalu. Polimorfisme pada gen CYP sering kali merupakan penyebab dari variasi respon tubuh terhadap obat. Fenotipe oksidasi obat yang spesifik terhadap suatu enzim CYP dapat ditentukan secara in-vitro menggunakan substrat model selektif. Secara fenotipe, variasi adalah “Poor Metabolizer” (PM) digunakan untuk carrier alel homozigot atau heterozigot dengan kehilangan fungsi lengkap (null alleles); “Extensive Metabolizer” (EM) merupakan fenotipe normal dan biasanya mewakili

populasi umum; “intermediate Metabolizer” (IM); “ultra rapid Metabolizer” (UM). Polimorfisme yang menyebabkan PM, IM dan UM pada enzim CYP 1A1, 1A2, 2C8, 2E1, 2J2l dan 3A4 jarang sekali ditemukan.

2.2. Haloperidol

15

(8)

turunan butyrophenones, yang merupakan suatu antagonis reseptor dopamin. Haloperidol dikelompokkan dalam antipsikotika generasi pertama bersama-sama dengan thioxanthenes, dibenzoxazepines, dihydroindoles, dan diphenyl.

2.2.1. Struktur

16

Karakteristik dari kelas butyrophenones adalah sebuah cincin finil yang terlekat pada rantai 3 karbon, yang selanjutnya rantai 3 karbon ini melekat pada kelompok amino tersier. Sebagian besar butyrophenones memiliki sebuah cincin piperidin pada kelompok amino. Haloperidol merupakan salah satu prototipe dari kelompok butyrophenones. Selain haloperidol dikenal juga droperidol dan spiperon.16

Gambar 2.1. Struktur Kimia Haloperidol

2.2.2. Farmakokinetika

(9)

Keadaan tetap biasanya dicapai dalam kurun waktu 3 sampai 5 hari. Bioavailabilitas (jumlah obat mencapai sirkulasi sistemik) lebih besar sampai 10 kali lipat apabila diberikan secara parenteral, dikarenakan pemberian oral akan mengurangi bioavailabilitas akibat absorbsi inkomplet dan metabolisme sewaktu melewati hati.

Tabel 2.1. Farmakokinetika Haloperidol

16

Bioavailabilitas (%) Ikatan Protein (%)

Volume Distribusi / Vd (L/Kg) Waktu Paruh / t½ (Jam) Metabolit Aktif

Konsentrasi Plasma Setelah 12 Jam (mg/mL)

40-70

Diadaptasi dari : Van-Kammen, Hurford, Marder. First-Generation Antipsychotic. Dalam Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry, 9th Edition. 2009

Penurunan awal konsentrasi plasma haloperidol dimulai pada saat obat mulai terdistribusi masuk ke dalam berbagai kompartemen tubuh. Dikarenakan haloperidol sangat lipofilik, haloperidol cenderung mengakumulasi dalam jaringan seperti lemak, paru, dan otak. Pengukuran konsentrasi plasma cukup untuk menggambarkan konsentrasi obat dalam otak. Akan tetapi, efek obat dapat lebih lama dibandingkan dengan konsentrasi plasma. Haloperidol juga sangat tinggi terikat protein, mencapai lebih dari 90%. Kondisi-kondisi yang dapat mengubah konsentrasi protein plasma seperti malnutrisi juga akan memengaruhi bioavailabilitas obat.

Haloperidol terutama dimetabolisme di hati dan terjadi melalui konjugasi dengan asam glukuronat, hidroksilasi, oksidasi, demetilasi, dan pembentukan sulfoksida. Haloperidol memiliki hanya satu metabolit utama, yaitu reduced-haloperidol, yang kurang aksi anti-dopaminergiknya dibandingkan komponen utama. Akan tetapi reduced-haloperidol ini diubah kembali menjadi komponen induk, dan peristiwa ini dapat berkontribusi pada aktifitas antipsikosisnya.

16

2.2.3. Farmakodinamika

16

(10)

bagaimana efek dari haloperidol pada sejumlah area reseptor yang berbeda, bagaimana efek-efek ini memengaruhi sekelompok neuron, dan bagaimana aktivitas pada suatu reseptor diterjemahkan menjadi suatu aksi intraseluler.

Hipotesis dopamin menyatakan bahwa antipsikotika mengurangi gejala psikosis dengan menurunkan aktivitas dopamin. Pada awalnya hipotesis ini diusulkan oleh Arvid Carlsson dari Swedia, didasarkan pada pengamatan haloperidol dan klorpromazin meningkatkan kadar berbagai metabolit dopamin di area yang kaya dopamin pada otak tikus. Kedua obat ini juga diamati mempunyai efek yang inkonsisten pada neurotransmiter yang lain. Arvid Carlsson menginterpretasikan ini penemuan ini dengan mengindikasikan bahwa kedua obat ini berperan sebagai antagonis dopamin dan sistem pengaturan diri sendiri/self-regulating berkompensasi dengan peningkatan produksi dopamin. Peneliti

lain mengamati bahwa obat antipsikotika generasi pertama menghambat aktivasi dan perilaku streotipik mencit yang diinduksi oleh amfetamin. Bukti ilmiah lain yang mendukung peran dopamin pada psikosis datang dari kenyataan bahwa seluruh obat-obat yang dapat mengurangi psikosis adalah suatu antagonis dopamin, dan obat-obatan yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas dopamin seperti amfetamin, metilfenidat, atau kokain cenderung untuk meningkatkan neurotransmisi dopamin dan juga cenderung memperburuk pasien dengan skizofrenia. Pada dosis tinggi obat-obatan ini juga menyebabkan psikosis pada individu sehat.

16

Peran dopamin pada aktivitas antipsikotika yang diusulkan Carlsson tersebut juga didukung oleh Slomon Sinder dan Philip Seeman pada tahun 1970an, yang menemukan korelasi yang kuat antara potensi antipsikotika dengan afinitas obat terhadap reseptor D

16

2. Penelitian terkini

menggunakan ikatan reseptor D2 selektif dan positron emission tomography (PET) mengindikasikan bahwa antagonis reseptor dopamin

(11)

Neuron dopamin dengan badan sel di area tegmentum ventral berproyeksi melalui sistem dopamin meso-limbo-kortikal ke nukleus akumbens, amygdala dan neokorteks. Sel dopamin di substansia nigra berproyeksi ke putamen kaudatus melalui sistem nigrostriatal. Telah diusulkan bahwa aktivitas pada sistem meso-limbo-kortikal ini yang menerangkan aktivitas antipsikotika obat, dan efek samping neurologik seperti efek samping ekstra piramidal dan tardive diskinesia disebabkan oleh aktivitas di sistem nigrostriatal.

2.2.4. Efek Samping

16

Efek samping haloperidol atau antipsikotika generasi pertama diakibatkan oleh blokade reseptor dopamin di striatum dan inaktivasi neuron dopamin di substansia nigra. Hal ini menyebabkan sindrom ekstra piramidal, termasuk parkinsonisme, distonia, dan akatisia. Efek pada sistem motorik yang diakibatkan oleh antipsikotika berbeda dikarenakan awitannya yang cepat, dan toleransi terhadap efek samping ini cenderung timbul. Obat antipsikotika generasi pertama juga memengaruhi sekresi hormon dari pituitari terutama diakibatkan oleh blokade reseptor dopamin di hipotalamus atau pada pituitari itu sendiri. Hormon yang dipengaruhi terutama prolaktin, sehingga konsentrasi prolaktin meningkat. Peningkatan konsentrasi hormon ini kadang menyebabkan ginekomastia, galaktorea, dan pada laki-laki disfungsi ereksi. Hormon lain yang dipengaruhi adalah Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle-Stimulating Hormone (FSH).

2.3. Interaksi Obat dengan Merokok

16

Selain dampaknya terhadap kesehatan orang-orang dengan gangguan jiwa secara umum, merokok juga ternyata dilaporkan berdampak pada metabolisme obat, yang berpotensi besar menyebabkan gangguan pada pengobatan yang diberikan. Komponen asap rokok telah dilaporkan menginduksi berbagai isoenzim sitokrom P450 (CYP), yang memegang peranan penting pada metabolisme obat. Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) dari asap rokok merupakan komponen yang

(12)

CYP1A1, CYP1A2 dan CYP2E1.4,5

Tabel 2.2. Berbagai Substrat Isoenzim-Isoenzim Sitokrom P450 (CYP) Obat-Obat Psikotropika Berdasarkan studi in-vitro dan in-vivo

Sehingga dapat disimpulkan bahwa merokok dapat memengaruhi penatalaksanaan klinis pasien-pasien dengan gangguan jiwa dikarenakan perubahan farmakokinetika obat.

CYP1

*) Merokok Menginduksi CYP1A1/A2, dan CYP2E1

(13)

Organ hati merupakan tempat metabolisme xenobiotik primer yang mengandung isoenzim (CYP) pada manusia. Akan tetapi isoenzim-isoenzim ini juga terdapat pada organ lain, seperti traktus intestinal, otak, dan paru-paru. Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi via reaksi metabolisme fase I dan fase II di hati. Isoenzim CYP terlibat pada metabolisme fase I, yang merupakan proses oksidasi yang memetabolisasi substansi eksogen dan endogen menjadi komponen yang lebih hidrofilik untuk dieliminasi. Terinduksinya isoenzim CYP ini akan menyebabkan obat tereliminasi dengan cepat.

2.3.1. CYP1A1/1A2

5,17

Isoenzim CYP1A1/1A2 terhitung berkisar 13-17% dari total keseluruhan isoenzim hati. Isoenzim ini terutama ditemukan di hati, akan tetapi ditemukan juga di otak, paru-paru dan plasenta ibu yang merokok.

2.3.2. CYP2E1

5,17

Isoenzim CYP2E1 terhitung berkisar 7-10% dari total keseluruhan isoenzim di hati. Isoenzim ini ditemukan juga di paru-paru, ginjal, limfosit dan plasenta.

2.3.3. Mekanisme Induksi

5,17

Definisi induksi adalah peningkatan jumlah dan/atau aktivitas dari sebuah enzim. Waktu tunda yang sering tampak pada induksi enzim diakibatkan oleh waktu yang dibutuhkan untuk transkripsi, translasi atau stabilisasi enzim sebelum aksinya pada target.

Mekanisme induksi dari isoenzim CYP yang disebabkan oleh komponen asap rokok (hidrokarbon aromatik) melibatkan ikatan hidrokarbon pada reseptor intraseluler spesifik (Ah-Aryl Hydrocarbon Receptor). Kompleks hidrokarbon-Ah-reseptor ini kemudian bermigrasi ke

dalam inti sel dan berinteraksi dengan ARE (Ah-responsive element), yang menyebabkan peningkatan mRNA dari aktivasi transkripsional gen CYP. mRNA ini mengarahkan pembentukan asam amino menjadi protein dalam retikulum endoplasma. Kemudian, dengan penambahan haem pada protein, produksi CYP akhirnya lengkap. Selain meningkatkan produksi

(14)

CYP, diyakini pula bahwa degradasi CYP sendiri dihambat oleh hidrokarbon aromatik ini.

Waktu awitan induksi bervariasi berdasarkan indusernya. Hal ini tampak rifampisin yang membutuhkan waktu 2 hari, fenobarbital 7 hari, dan karbamazepin 2 minggu untuk menginduksi isoenzim CYP. Data waktu awitan induksi isoenzim CYP oleh hidrokarbon sendiri sampai saat belum jelas. Begitu juga data tentang waktu perubahan stop induksi setelah berhenti merokok. Merokok sendiri tidak memengaruhi ukuran dan aliran darah hati.

5

Lamanya waktu induksi dipengaruhi oleh peningkatan usia individu. Telah didemonstrasikan bahwa bersihan indikator CYP pada individu usia >40 tahun berbeda bermakna antara perokok dan tidak perokok, sedangkan pada individu yang berusia <40 tahun tidak ditemukan perbedaan.

8

Jumlah rokok juga memengaruhi bersihan obat yang berarti memengaruhi isoenzim CYP. Perokok berat akan memperbesar bersihan obat. Akan tetapi belum ada kesepakatan definisi perokok berat dan perokok ringan antar penelitian. Pada penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa perbedaan signifikan ditemukan apabila individu tersebut merokok minimal 20 batang setiap harinya.

5

2.4. Agitasi pada Psikosis

5

Definisi agitasi sangat banyak diusulkan oleh para ahli. Hal ini yang menyebabkan besarnya rentang prevalensi agitasi yang ditemukan. Dari beberapa definisi yang ada, terdapat beberapa kesamaan, sehingga agitasi dapat didefinisikan sebagai hiperaktivitas psikomotor baik verbal maupun motorik yang kacau dan tidak bertujuan.

Agitasi berbeda dari kecemasan, dimana kecemasan merupakan gejala subjektif dan diutarakan oleh pasien. Agitasi juga berbeda dengan agresi dimana agresi merupakan tindakan penyerangan baik verbal maupun fisik pada diri sendiri, orang lain atau pada suatu objek. Agitasi merupakan keadaan yang sering kali ditemukan pada unit gawat darurat psikiatri maupun rumah sakit umum. Agitasi dapat disebabkan oleh

(15)

keadaan psikosis, mania, demensia, epilepsi dan trauma kepala. Yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah agitasi pada psikosis.

2.4.1. Penatalaksanaan Cepat Agitasi pada Psikosis atau Rapid

Neuroleptizitation

19

Agitasi pada psikosis merupakan suatu keadaan yang harus cepat ditangani dikarenakan dapat tereskalasi menjadi perilaku agresif yang dapat membahayakan penderita maupun orang-orang di sekitarnya. Terdapat berbagai protokol pemberian antipsikotika terhadap keadaan ini, dan tidak adanya keseragaman antara keseluruhan protokol. Haloperidol baik sediaan oral maupun suntikan telah direkomendasikan di seluruh protokol dengan dosis yang berbeda-beda. Berbagai literatur/protokol merekomendasikan prosedur rapid neuroleptizitation dengan pemberian haloperidol 5-20 mg tanpa membedakan pemberian secara oral atau intramuskular.16 Salah satu protokol yang disusun berdasarkan bukti ilmiah di Amerika merekomendasikan dosis awal pemberian haloperidol per oral maupun intra-muskular 5mg, dengan pengulangan setiap 15-30 menit apabila tidak berespon, dengan dosis maksimum 20mg.

2.4.2. Overt Agitation Severity Scale (OASS)

20,21

Overt Agitation Severity Scale (OASS) merupakan instrumen

psikometri yang dikembangkan oleh Yudofsky dkk pada tahun 1997. OASS versi aslinya telah diuji kesahihan dan kehandalannya pada pasien rawat jalan maupun rawat inap. OASS disusun berdasarkan perilaku verbal yang dapat dilihat secara objektif dan pergerakan dari ekstremitas atas maupun bawah. Perbedaan dari OASS dari instrumen yang mengukur agitasi lainnya adalah keseluruhan pemeriksaan dilakukan secara objektif.

Pada uji kesahihan dan keandalan yang ditujukan pada pasien rawat jalan, OASS menunjukkan konsistensi internal 0,88 – 0,91, test-retest 0,97-0,91 dalam 15 menit, inter rater r = 0,90, P < 0,01, validitas

konstruksinya dibandingkan dengan skala lain r = 0,81, P < 0,01 dan validitas diskriminan r = 0,28, P < 0,01. Pada Uji kesahihan dan keandalan pada pasien rawat inap juga menunjukkan hasil yang hampir sama.

22

(16)

Overt Agitation Severity Scale (OASS) telah diterjemahkan ke

dalam Bahasa Indonesia oleh Sirait PJ pada tahun 2013 dengan pembanding PANSS-EC dan menunjukkan korelasi bermakna dengan PANSS-EC dengan kekuatan korelasi kuat sampai sangat kuat (p= 0,001; r= 0,767-0,951) sedangkan uji Wilcoxon menunjukkan perbedaan bermakna (p< 0,001, z= -4,107). Reliabilitas konsistensi internal menunjukkan chronbach alpha >0,6, dan antar penilai menunjukkan nilai kappa >0,7.

2.5. Konsep Hubungan Dosis-Respon

23

Hubungan dosis-respon suatu obat merupakan suatu konsep yang menerangkan bagaimana interaksi obat-reseptor untuk menghasilkan efek obat. Konsep ini juga menerangkan sebab variasi respon farmakologi. Sehingga dengan mengetahui konsep ini, dapat membantu klinisi untuk menetapkan pemilihan obat yang rasional.

Dalam konsep ini terdapat dua terminologi yang wajib diketahui oleh klinisi, yaitu potensi dan efikasi. Sebagai ilustrasi, Gambar 2.3. menampilkan hasil titrasi 4 obat berbeda dengan kurva dosis-respon yang berbeda pula.

11

11

(17)

Obat A dan B dikatakan lebih poten dari obat C dan D karena posisi relatif kurvanya lebih di kiri dari aksis log dosis. Potensi adalah konsentrasi (EC50) atau dosis (ED50) yang dibutuhkan suatu obat untuk menghasilkan 50% efek maksimal. Sehingga potensi farmakologi dari obat B lebih dari obat B, ini disebut parsial agonis dikarenakan ED50 obat A lebih besar dari ED50 obat B. Potensi suatu obat bergantung pada afinitas (KD) reseptor untuk mengikat obat dan juga pada seberapa banyak ikatan

obat-reseptor yang memberikan efek. 2.6. Kerangka Teori

11

(18)

2.7. Kerangka Konsep

Gambar 2.4. Kerangka Konsep

RESPON KLINIS MEROKOK

SUNTIKAN HALOPERIDOL INTRAMUSKULAR

BMI USIA

GANGGUAN MEDIS UMUM OBAT LAIN

Gambar

Tabel 2.2. Berbagai Substrat Isoenzim-Isoenzim Sitokrom P450 (CYP) Obat-Obat Psikotropika Berdasarkan studi in-vitro
Gambar 2.2. Kurva Hubungan Dosis-Respon 4 Jenis Obat
Gambar 2.3.
Gambar 2.4. Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Namun kedua faktor tersebut, belum sepenuhnya dapat direalisasikan dengan baik, sehingga mendukung Hasil belajar mata pelajaran aqidah akhlak siswa kelas X11 secara

Dapat disimpulkan dari hasil perhitungan yang telah dilakukan:(1) rasio profitabilitas yang telah diukur dengan ROA, ROE, GPM, dan NPM lebih kecil setelah

STRATEGI PENGEMBANGAN DESA DIENG KULON SEBAGAI DESA WISATA DI DATARAN TINGGI.. DIENG KABUPATEN

Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari model pendidikan multikultural pada pendidikan dasar yang tepat yang dapat dilaksanakan di Indonesia dengan melihat dan mengkaji

[r]

Penelitian bertujuan untuk melihat hubungan pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dan tindakan IMD dengan status pemberian ASI eksklusif di Desa Bandar Klippa Kecamatan

KETERKAITAN MAKNA SEMBAH DAN BUDI LUHUR MENURUT MANGKUNAGARA IV DENGAN HADIS NABI Makna Sembah yang diajarkan oleh Mangkunagara IV kepada rakyatnya dituangkan dalam Serat Wedhatama

pada pria dengan usia 12 tahun sedangkan pada anita, migren pada pria dengan usia 12 tahun sedangkan pada anita, migren sering terjadi pada usia !esar dari 12 tahun&#34; #I$..