• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Topologi Jaringan Antena Base Transceiver Station Berbasis Ramah Lingkungan di Kota Medan Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Topologi Jaringan Antena Base Transceiver Station Berbasis Ramah Lingkungan di Kota Medan Chapter III V"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Medan dengan mengambil data populasi menara BTS untuk menggambarkan pemetaan antena BTS di kota Medan.

3.2. Populasi dan Sampel

Ada dua operator telepon seluler di kota Medan yang memiliki menara antena BTS yang banyak, sehingga populasi menara antena BTS yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan data dari dua operator tersebut. Populasi yang diambil pada penelitian ini tidak termasuk antena micro indoor, hanya antena macro. Satu sampel antena diambil dari setiap menara antena BTS.

3.3. Parameter yang di ukur

Besaran yang diukur adalah koordinat BTS dan power density pada coverage area dari BTS tersebut.

3.4. Alat Ukur yang Digunakan

Alat ukur yang digunakan adalah GPS merek Garmin tipe GPS MAP 64s dan alat ukur power density merek Lutron tipe EMF-819

3.5. Tahapan Penelitian

(2)

1. Melakukan pemetaan koordinat menara antena BTS, pengukuran power density pada jarak sekitar 100 meter dari menara antena BTS tersebut. 2. Membuat parameter-parameter yang berhubungan dengan jaminan

koneksitas komunikasi mobile station, biaya pembangunan yang minimum, dan pengalihan hubungan komunikasi terkait dengan ambang batas PD di suatu BTS

3. Membuat model matematis topologi menara antena BTS dengan mepertimbangkan ambang batas power density sebagai batasan syarat aman terhadap lingkungan hidup khususnya terhadap kesehatan masyarakat.

Gambar 3.1. Bagan Alir Fishbone Metode Penelitian 3.6. Metode Pengukuran

Pengukuran dilakukan pada lokasi BTS sesuai dengan koordinat masing-masing menara BTS yang digunakan oleh kedua operator telepon seluler. Besaran yang diukur adalah kuat medan listrik (E) pada area menara antena BTS tersebut. Hasil pengukuran tersebut dikonversikan kebesaran power density dengan menggunakan rumus (2.3). Pengukuran dilakukan untuk satu buah antena directional atau satu buah antena sektoral untuk masing-masing menara antena BTS setiap operator, sehingga jumlah antena yang dilakukan pengukurannya untuk kedua

(3)

operator seperti pada Tabel 3.1. Jumlah seluruh antena pada menara antena ke dua operator sebanyak 2.498 antena dan jumlah seluruh sampel yang diambil dari kedua operator adalah sebanyak 690 antena, dan antena pengukuran kuat medan dilakukan pada seluruh antena sampel pada jarak sekitar 100 meter dari antena BTS.

Tabel 3.1. Jumlah sampel antena BTS Operator GSM 900 GSM 1800

Real Sampel Real Sampel

A 614 186 546 183

B 816 229 522 92

Jumlah 1430 415 1068 275

3.7. Rancangan Model

Antena BTS harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat mencakup daerah geografis yang memenuhi kualitas layanan pemakai telepon selular. Namun pada umumnya dalam pemodelan BTSL diformulasikan dengan meminimumkan biaya, yang mencakup biaya instalasi dan peralatan. Dalam literatur, persoalan penentuan lokasi BTS memiliki kesamaan dengan persoalan penempatan fasilitas, oleh karena itu persoalan BTSL dapat dimodelkan sebagai persoalan Program Linier Cacah Campuran (PLCC) BTSL atau yang dikenal dengan Mixed Integer Linear Programming (MILP). Nilai cacah atau integer disini dikaitkan dengan variabel bernilai 0-1. dengan pemahaman bahwa variabel bernilai 1 berarti di lokasi tersebut dapat ditempatkan BTS, nilai 0 jika tidak. Dalam beberapa literatur seperti, George dan Laurence(1988),Mirchandani dan Francis (1990), dan Rappaport (1996) dapat diperoleh secara rinci tentang optimasi jaringan. Model PLCC yang berkenaan dengan BTS diajukan oleh Mathar dan Niersen (2000).

(4)

dalam bentuk minimum biaya. Koneksi antara BTS dan jaringan tetap pada model yang dibuat dapat terjadi melalui switch jaringan setelah melalui hub atau langsung melalui switch seperti pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Hubungan antar BTS pada model

Koneksi antara BTS i dan BTS j dilakukan melalui hub atau melalui switch. Jadi persoalan demikian ini juga dikenal sebagai persoalan Rancangan Jaringan (RJ) yaitu memilih opsi dengan biaya minimum terhadap kumpulan BTS terlokasi (Dutta dan Kubat, 1999; Kubat dan Smith, 2000).

Seperti yang telah disampaikan terdahulu bahwa tujuan dari rancangan topologi jaringan (RTJ) adalah mampu mencakup daerah geografis sehingga dapat memberi layanan berkualitas terhadap permintaan pemakai atau Frequency Channel dengan mempertimbangkan perlindungan lingkungan hidup. Cakupan dipenuhi oleh penempatan antena BTS untuk suatu daerah, yang dalam hal ini dinyatakan sebagai persoalan BTSL. Jadi BTSL dapat didefenisikan sebagai persoalan pemilihan, dari kelompok calon lokasi BTS, yaitu sub-kelompok berbiaya minimum yang mampu mencakup semua daerah geografis dan aman terhadap lingkungan. Karena persoalan RTJ mengemukakan persoalan BTSL dan RJPD, penyelesaiannya yang terkait dengan variabel BTSL dinyatakan oleh keseimbangan antara biaya minimum sub-kelompok BTS dan sub-sub-kelompok BTS yang dapat terhubung dengan jaringan tetap pada biaya minimum. Karena itu, biaya minimum sub-kelompok BTS yang dihasilkan oleh penyelesaian RJPD tidak perlu sama seperti yang diberikan oleh

Hub

Switch BTS

BTS

3

(5)

penyelesaian BTSL, sehingga penyelesaian RJPD lebih baik atau setidak-tidaknya sama dengan jumlah penyelesaian persoalan BTSL dan RJPD.

Dalam pemodelan ini, ada kaitan antara BTSL dengan FC, hal demikian perlu dilakukan agar dapat tercapai pemenuhan kualitas layanan seperti yang diharapkan pemakai. Jadi untuk tipe BTS terpilih harus dapat menerima FC yang cukup untuk melayani permintaan. Persoalan demikian ini dinyatakan sebagai persoalan FCA, yaitu membagi FC yang tersedia untuk seluruh sistem. Pada umumnya secara teoritis, jumlah channel tidak cukup untuk melayani permintaan seluruh pemakai, berarti FC harus dipakai ulang (reuse) dalam BTS berbeda. Namun pemakaian ulang frekuensi mengakibatkan persoalan gangguan (interferensi) co-channel yang dapat terjadi apabila BTS tetangga memakai FC yang sama, sehingga model yang dihasilkan harus mampu mencegah gangguan co-channel dengan menghindari BTS tetangga membagi channel frekuensi sama.

Terdapat hal lain selain gangguan co-channel, yaitu persoalan gangguan dari channel terdekat dan untuk mengatasi ini, dalam model diajukan jarak frekuensi tertentu antara pasangan FC yang diperuntukkan pada suatu BTS terpilih. Jadi secara teoritis, untuk melayani permintaan FC yang diperlukan BTS maka diperlukan FCA yang bertujuan untuk memaksimumkan pemakaian spektrum frekuensi dengan mempertimbangkan tingkat gangguan yang masih dapat diterima. Pada dasarnya, persoalan FCA dapat diselesaikan dalam suatu model tersendiri. Seperti yang biasanya dilakukan oleh perusahaan telepon selular yaitu dengan cara membuat model terpisah antara persoalan BTSL dan FCA, namun cara demikian dapat menghasilkan penyelesaian RJ yang buruk.

(6)

pengaturan FCA. Serta juga mepertimbangkan power density untuk perlindungan lingkungan hidup pada daerah daerah cakupan menara antena BTS.

Gambar 3.3. Flowchart rancangan model

Flow chart blok rancangan model ini seperti pada Gambar 3.3. Pada flowchart dapat dilihat bahwa awal terjadinya sebuah koneksi pada jaringan telepon seluler antara BTS j dengan BTS i dilakukan dengan pemilihan BTS i. Kemudian melakukan koneksi dengan hub j dengan pemilihan biaya yang efisien, bila BTS yang dituju tidak berada pada lokasi hub j maka hub j melakukan koneksi dengan

ya

Power density

Inisialisasi

tdk

tdk tdk

ya ya

Pilih BTS i

Hub j Switchk

R > Rpeak

i = i’

Drop Call

Selesai Koneksi ke BTS j BTSL j– BTS i = R

i’= i + 1

(7)

switch k dengan pemilihan biaya yang efisien. Memeriksa ketersediaan FCA dilakukan setelah koneksi BTS i dengan hub j dan atau koneksi hub j dengan switch k berhasil dilakukan. Kemudian menghitung jarak (R) BTS j dengan BTS i, bila jarak tersebut lebih kecil dari Rpeak (jarak yang dilarang karena power density () nya

lebih besar dari nilai ambang batas, efek negatif terhadap lingkungan hidup) maka dilakukan kembali pemilihan BTS pengganti BTS i yaitu BTS i’. Bila jarak BTS j dengan BTS i lebih besar dari Rpeak (jarak yang diperbolehkan karena power density ()nya tidak melebihi nilai ambang batas, aman bagi lingkungan hidup) maka BTS j terkoneksi dengan BTS i.

3.8. Program Linear

Program Linear merupakan metode matematika untuk mengalokasikan sumber daya yang biasanya terbatas supaya mencapai hasil yang optimal, misalnya memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Oleh karena itu program linear banyak dipergunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah antara lain ekonomi dan industri.

Para pengambil keputusan sering menghadapi masalah dalam menentukan alokasi sumber daya yang terbatas karena mereka menginginkan hasil yang seoptimal mungkin. Dengan menggunakan model program linear, para pengambil keputusan dapat memprediksi hasil yang akan diperolehnya.

Bentuk umum model program linear adalah : Max (min) Ž = ∑cj xj

Kendala ∑aj xj (≤,=,≥) bi, ( i=1,2….m)

xj ≥ 0, ( j=1,2….m)

dimana

(8)

Ž : nilai fungsi tujuan

cj : sumber per unit kegiatan, untuk masalah memaksimalkan, cj menunjukkan keuntungan per unit kegiatan, sedangkan untuk kasus meminimalkan, cj menunjukkan biaya per unit perkegiatan

bi : besarnya sumber daya i (i = 1,2, …… ,m) aij

aij : banyaknya sumber daya i yang dipakai sumber daya j.

3.8.1. Program integer

Pada masalah program linear penyelesaian optimalnya dapat berupa bilangan real yang berarti penyelesaian bisa berupa bilangan pecahan. Untuk penyelesaian yang berbentuk pecahan jika mengalami pembulatan ke integer terdekat maka hasil yang diperoleh bisa menyimpang jauh dari yang di harapkan. Akan tetapi banyak permasalahan dikehidupan nyata yang memerlukan penyelesaian variabel, keputusannya berupa integer sehingga harus dicari model penyelesaian masalah untuk memperoleh penyelesaian integer yang optimum. Program integer merupakan program pengembangan dari program linear dimana beberapa atau semua variabel keputusannya harus berupa integer. Jika hanya sebagian variabel keputusannya merupakan integer maka disebut program integer campuran (mixed integer programming ) . Jika semua variabel keputusannya bernilai integer disebut program integer murni (pure integer programming). Sedangkan Program integer 0-1 merupakan bentuk program integer dimana sebuah variabel keputusannya harus bernilai integer 0 atau 1 (binary)

Bentuk umum model program integer adalah : Max(min) Ž = ∑ cj xj

Kendala ∑aij xj(≤,=,≥) bi, (i=1,2….m)

xj ≥ 0, (j=1,2….m)

(9)

Bentuk umum model program integer 0-1 adalah : Max(min) Ž = ∑ cj xj

Kendala ∑aij xj(≤,=,≥) bi, (i=1,2….m) Xj = 0 atau xj = 1 , (j=1,2,,n)

Sedangkan bentuk umum dari model mixed integer linear programming (Hoffman dan Ralphs, 2012) adalah :

Max ∑ � + ∑

�

� + ∑ �

�

�

dengan batasan,

∑ � + ∑ �

�

�

+ ∑ �

�

{=} ∀ 

Kendala,

� � � ∀  = ∪ � ∪

� { , } ∀  ,

� ℤ ∀  �, �

� ℝ ∀  .

(10)

Contoh : pembulatan nilai solusi jumlah pensil yang harus diproduksi dari 14.250,2 menjadi 14.250,0 semestinya dapat diterima. Namun demikian sebab utama kegagalan pendekatan ini adalah bahwa solusi yang diperoleh mungkin bukan solusi integer optimum yang sesungguhnya. Dengan kata lain, solusi pembulatan dapat lebih jelek dibanding solusi integer optimum yang sesungguhnya atau mungkin merupakan solusi tak layak. Ini membawa konsekuensi besar jika jumlah produk-produk seperti pesawat angkut komersial atau kapal perang yang harus diproduk-produksi dibulatkan kebilangan bulat terdekat. Tiga masalah berikut disajikan untuk mengilustrasikan prosedur pembulatan :

Masalah 1

Maksimumkan Ž=100X1 + 90 X2

Dengan syarat 10 X1 + 7 X2≤ 70

5 X1 + 10 X2≤ 50

X1 + X2 ≥ 0

Masalah 2

Minimumkan Ž = 200X1 + 400 X2

Dengan syarat 10 X1 + 25 X2 ≥ 100

3X1 + 2X2≥ 12

X1 ; X2≤ 0

Masalah 3

Maksimumkan Ž = 80 X1 + 100 X2

Dengan Syarat 4X1 + 2X2≤ 12

X1 + 5X2≤ 15

(11)

Perbandingan antara solusi dengan metode simplek tanpa pembatasan bilangan bulat, pembulatan kebilangan bulat terdekat dan solusi integer optimum yang sesungguhnya untuk ketiga masalah tersebut seperti pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Tabulasi penyelesaian masalah program integer

No. Masalah Solusi dengan

metode simpleks

Masalah pertama adalah masalah maksimasi, dimana solusi pembulatan menghasilkan keuntungan 680, hanya lebih kecil 20 dibanding yang dihasilkan solusi bulat optimum 700. Masalah kedua adalah masalah minimasi dimana solusi pembulatan adalah tak layak. Ini menunjukkan bahwa meskipun pendekatan adalah sederhana, namun kadang-kadang menyebabkan solusi tak layak. Untuk mencegah ketidaklayakan, nilai solusi simplek dalam masalah minimasi harus dibulatkan ke atas, misalnya pada masalah kedua jika solusi dibulatkan ke atas diperoleh X1 = 2

dan X2 = 4 dan merupakan solusi layak. Sebaliknya, pada masalah maksimasi nilai

solusi simplek semestinya dibulatkan ke bawah.

(12)

bawah menjadi X1 = 2 dan X2 =1, maka solusinya menjadi layak, ini dapat dibuktikan

dengan meneliti masing-masing kendala model dengan nilai variabel keputusan yang dibulatkan ke bawah.

Suatu metode yang serupa dengan pendekatan pembulatan adalah prosedur coba-coba (trial and error). Dengan menggunakan cara ini, pengambil keputusan mengamati solusi Integer dan memilih solusi yang mengoptimumkan nilai fungsi tujuan. Metode ini sangat tidak efektif jika masalahnya melibatkan sejumlah besar kendala dan variabel, terlebih lagi memeriksa kelayakan setiap solusi yang dibulatkan memakan banyak waktu.

3.8.3. Pendekatan Grafik

Masalah Integer Programming yang melibatkan hanya 2 (dua) variabel dapat diselesaikan secara grafik. Pendekatan ini identik dengan metode grafik LP dalam semua aspek, kecuali bahwa solusi optimum harus memenuhi persyaratan bilangan bulat. Mungkin pendekatan termudah untuk menyelesaiakan masalah integer programming dua dimensi adalah dengan menggunakan kertas grafik dan menggambarkan sekumpulan titik-titik integer dalam ruang solusi layak. Masalah berikut akan diselesaikan dengan pendekatan grafik.

Maksimumkan Z = 100X1 + 90X2

Dengan syarat 10X1 + 7X2 < 70

5X1 + 10X2 < 50

X1 ; X2 non negative integer

(13)

B C

Gambar 3.4. Solusi Grafik Masalah

Ruang solusi layak adalah OABC. Solusi optimum masalah LP ditunjukkan pada titik B, dengan X1 = 5,38 dan X2 = 2,31 serta Z =746,15. Untuk mencari solusi integer

optimum masalah ini, garis Z (slope = -9/10) digeser secara sejajar dari titik B menuju titik asal. Solusi integer optimum adalah titik integer pertama yang bersinggungan dengan garis Z. Titik itu adalah A, dengan X1 =7 dan X2 = 0 serta Z =

700.

3.8.4. Pendekatan Gomory

Suatu prosedur sistematik untuk memperoleh solusi integer optimum tehadap pure integer programming pertama kali dikemukakan oleh R.E. Gomory . Ia kemudian memperluas prosedur ini untuk menangani kasus yang lebih sulit yaitu mixed integer programming. Langkah-langkah prosedur Gomory diringkas sebagai berikut :

1. Selesaikan masalah integer programming dengan menggunakan metode simplek. Jika masalah sederhana, dapat diselesaikan dengan pendekatan grafik, sehingga pendekatan Gomory kurang efisien.

A 5

10 X2

X1

0 7 10

5 X1 + 10 X2 = 50

Z = 746,15 10 X1 + 7 X2 = 70

(14)

2. Periksa solusi optimum. Jika semua variabel basis memiliki integer, solusi optimum integer optimum integer telah diperoleh dan proses telah berakhir. Jika satu atau lebih variabel basis masih memiliki nilai pecah, teruskan ke tahap 3. 3. Buatlah suatu skala Gomory ( Suatu bidang pemotong atau cutting plane ) dan

cari solusi optimum melalui prosedur dual simplek, kembali ke tahap 2.

3.8.5. Kendala Gomory ( Pure Integer Programming )

Tabel 3.3. Optimum masalah LP dengan metoda Gomory Basis Xi 1) Xm Wj 2) Wn solusi

Z 0… 0 C1…. Cn b0

Xi 1… 0 a11 a1n b1

Xm 0 1 am1 amn b1

1) Variabel Xi ( i = 1, ….., m) menunjukan variabel basis. 2) Variabel Wj ( j = 1, ….., n) adalah variabel non bebas Pada persamaan ke i, variabel Xi diasumsikan bernilai non integer Xi = bi - ∑aij wj, dimana b non integer.

Pisahkan bi dan aij menjadi bagian yang bulat dan bagian yang pecah non negative seperti berikut :

bi = bi + fi jadi fi = bi bi , dimana 0 < f i < 1 aij = aij + fij jadi fij = aij aij , dimana 0 < f ij < 1

3.8.6. Metode Branch dan Bound

(15)

Langkah-langkah metode Branch dan Bound untuk masalah maksimasi dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Selesaikan masalah LP dengan metode simplek biasa tanpa pembatasan bilangan bulat.

2. Teliti solusi optimumnya, jika variabel basis yang diharapakan bulat adalah bulat, solusi optimum telah tercapai. Jika satu atau lebih variabel basis data yang diharapkan bulat ternyata tidak bulat, lanjutkan ke langkah 3.

3. Nilai solusi pecah yang layak dicabangkan ke dalam sub-sub masalah. Tujuannya adalah untuk menghilangkan solusi kontinyu yang tidak memenuhi persyaratan bulat dalam masalah itu. Pencabangan itu dilakukan melalui kendala-kendala mutually exclusive yang perlu untuk memenuhi persayaratan bulat dengan jaminan tidak ada solusi bulat layak yang diikutsertakan.

4. Untuk setiap sub-masalah, nilai solusi optimum kontinyu fungsi tujuan ditetapkan sebagai batas atas. Solusi bulat terbaik menjadi batas bawah (pada awalnya, ini adalah solusi kontinyu yang dibulatkan ke bawah). Sub-sub masalah yang memiliki batas kurang dari batas bawah yang ada tidak diikutsertakan pada analisa selanjutnya. Suatu solusi bulat layak adalah sama baik atau lebih dari batas atas untuk setiap sub masalah yang dicari. Jika solusi yang demikian terjadi, suatu sub masalah dengan batas atas terbaik dipilih untuk dicabangkan, kembali ke langkah 3.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang metode Branch dan Bound, disajikan sebuah contoh masalah berikut,

Maksimumkan Z = 3X1 + 5X2

Dengan syarat 2X1 + 4X2< 25

(16)

2X2 <10

X1 ; X2 non negative integer

Solusi optimum kontinyu masalah ini adalah X1 =8, X2 = 2,26 dan Z =35,25. Solusi

ini menunjukkan batas awal. Batas bawah adalah solusi yang dibulatkan ke bawah X1 =8, X2 = 2 dan Z = 34 dalam metode Branch dan Bound, masalah itu dibagi ke

dalam dua bagian untuk mencari nilai solusi bulat yang mungkin dibagi X1 dan X2.

Untuk melakukan ini, variabel dengan solusi pecah yang memiliki bagian pecah terbesar dipilih. Karena pada solusi ini hanya X2 yang memiliki bagian pecahan, ia

dipilih. Untuk menghilangkan bagian pecah dari nilai X2 = 2,25, dua kendala baru

dibuat. Kendala-kendala ini mewakili dua bagian baru dari masalah itu. Dalam hal ini, dua nilai bulat terdekat terhadap 2,25 adalah 2 dan 3. sehingga diperoleh dua masalah baru melalui dua kendala mutually exclusive, X2 < 2 dan X2 > 3, yang akan

diuraikan berikut ini sebagai bagian dari A dan B. Kendala-kendala ini secara efektif menghilangkan semua nilai pecah yang mungkin bagi X2, antara 2 dan 3.

Pengaruhnya mereka mengurangi ruang solusi layak sedemikian rupa sehingga angka solusi bulat yang dievakuasi pada masalah ini semakin sedikit.

Bagian A

Maksimumkan Z = 3X1 + 5X2

Dengan syarat 2X1 + 4X2 < 25 X1 < 8

2X2 < 10 (berlebih) X2 < 2

X1; X2 ≥ 0 Bagian B

Maksimumkan Z = 3X1 + 5X2

Dengan syarat 2X1 + 4X2 < 25 X1 < 8

(17)

X2 ≥ 3 X1; X2 ≥ 0

Bagian A : X1 = 8 ;X2 = 2 ; dan Z = 34, Bagian B : X1 = 6, 5 ; X2 = 3 ; dan Z = 34, 5.

Bagian A menghasilkan suatu solusi yang semuanya bulat. Untuk bagian A batas atas dan bawah adalah Z = 34. Solusi pecah bagian B membenarkan pencarian lebih lanjut karena menghasilkan nilai fungsi tujuan yang lebih besar dari batas atas bagian A. Sangat mungkin bahwa pencarian lebih lanjut dapat menghasilkan suatu solusi yang semuanya bulat dengan nilai fungsi tujuan melebihi batas atas bagian A = 34. Bagian B dicabangkan ke dalam dua sub bagian b1 dan b2 pertama dengan kendala X1 ≤ 6 dan yang lainnya dengan X2 ≥ 7. Kedua sub masalahnya dinyatakan sebagai

berikut :

Sub bagian B1

Maksimumkan Z= 3X + 5X2

Dengan syarat 2X1 + 4X2≤ 25

X1≤ 8 (berlebih)

2X2≤ 10

X2 ≥ 3

X1≤ 6

X1 ; X2≥ 0

Sub Bagian B2

Maksimumkan Z = 3X1 + 5X2

Dengan syarat 2X1 + 4X2≤ 25

X1≤ 8

2X2 ≤ 10

X2 ≥ 3

X1≥ 7

X1 ;X2≥ 0

(18)

Sub-bagian B1 : X1= 6 , X2 =3,25 dan Z = 34,25

Sub bagian B2 : tidak layak

Karena sub-bagian B1 menghasilkan nilai fungsi tujuan yang lebih besar dari 34 batas atas bagian A, maka harus dicabangkan lagi ke dalam dua sub masalah, dengan kendala X2 ≤ 3 dan X2 ≥ 4. Kedua kendala sub masalah

diberi nama bagian B1a dan B1b Bagian B1a

Maksimumkan Z = 3X1 + 5X2

Dengan Syarat 2X1 + 4X2≤ 25

X1 ≤ 8

2X2 ≤ 10

X2 ≥ 3

X1 ≤ 6

X1 ; X2≥ 0

Bagian B1b

Maksimumkan Ž=3X1 + 5X2

Dengan syarat 2X1 + 4X2≤ 25

2 X2≤ 10

X2 ≥ 3 (berlebih)

X2 ≥ 4

X1 ≤ 6

X1 ; X2≥ 0

Solusi optimum dengan metode simpleks adalah : Sub Bagiab B1a ; X1 = 6, X2 = 3 dan Z = 33

Sub bagian B1b : X1 = 4,25, X2 = 4 dan Z = 33,5

(19)

Jika pencarian telah diselesaikan, solusi bulat dengan fungsi tujuan tertinggi (dalam masalah maksimasi) dipilih solusi optimum. Hasil perhitungan di atas dapat digambarkan pada Gambar 3.5.

(20)

62 4.1. Pemodelan Matematis

Kerangka dasar model yang dirumuskan untuk Cellular Topological

Network Design (desain topologi jaringan seluler) adalah dengan

mempertimbangkan power density (CTND - PD). Model yang dirumuskan dalam

penelitian ini didasarkan pada Mazzini et al. (2001) . Namun demikian, pada Model yang mereka buat, hanya melakukan integrasi lokasi BTS , Frequency Channel

Assigment (FCA ) dan desain jaringan. Mereka tidak memasukkan pertimbangan

tentang efek radiasi EMF terhadap lingkungan hidup yang bersumber dari antena

BTS tersebut ke dalam model yang mereka lakukan.

4.1.1. Model power density

Pada Penelitian ini juga dilakukan penyelidikan banyaknya antena BTS di

kota Medan yang memiliki power density melebihi nilai ambang batas (4,5 watt/m2

untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.). Efek negatif

terhadap lingkungan hidup akan lebih berbahaya bila besarnya power density

melebihi nilai ambang batas. Bahaya yang dapat diakibatkan oleh power density yang

melebihi nilai ambang batas terhadap lingkungan hidup di kota Medan diantaranya

seperti yang tertera pada Tabel 4.2. dan besar, luas, serta banyaknya antena BTS

yang telah melampaui nilai ambang batas power density di kota Medan seperti yang

dapat dilihat pada Gambar 4.2., 4.3., 4.4., dan Tabel 4.1.

Ada tiga model numerik yang berhubungan dengan power density yang

(21)

of Mobiles (GSM), yaitu model Far Field, model Silinder, dan model Non -

vanishing (Bikram, 2014). Menurut Komisi Internasional tentang Perlindungan

terhadap Non Radiasi Pengion (ICNIRP-International Commission on Non-Ionizing Radiation Protection, 1998) radiasi yang dipancarkan dari BTS harus berada di bawah nilai ambang batas power density ( < 4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz.

dan < 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.) radiasi tidak berbahaya bagi

lingkungan hidup. Dengan menggunakan model Far Field (Gambar 4.1), power

density (ρ)dapat dinyatakan sebagai berikut (ITU-K70, 2007) :

2

P = daya yang dipancarkan antena (watt)

G = penguatan antena

R = jarak dari antena (m)

sumber ITU-R BS.1698 (2005)

Gambar 4.1. Tiga zona power density pada antena parabolik

Pada model ini, dapat dikatakan bahwa radiasi medan elektromagnetik yang dipancarkan antena BTS akan mencakup seluruh daerah R yang merupakan radius atau jari-jari dari sinyal EMR yang dipancarkan antena BTS dengan pusat pancaran adalah antena BTS itu sendiri. Model ini akan hanya berlaku untuk daerah

(22)

medan yang jauh (far field region) dengan jarak melebihi 2D2/λ, dimana D adalah

dimensi maksimum dari antena dan λ adalah panjang gelombang yang dipancarkan

antena BTS. Nilai ambang batas minimum dari power density dilakukan dengan membatasi jarak dari antena BTS, dan ini merupakan zona eksklusi dimana bila power density yang dimilikinya lebih tinggi dari nilai ambang batas (4,5 watt/m2

untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.) akan

menimbulkan resiko bahaya terhadap lingkungan hidup khususnya kesehatan masyarakat.

Pada jarak kurang dari 2D2/λ dari titik antena BTS adalah daerah yang sangat dekat dengan menara antena BTS. BTS tidak dapat diasumsikan menjadi sumber titik dan daerah yang dicakup tidak dapat dianggap bulat. Untuk antena

vertical collinear dipole yang biasa digunakan dalam komunikasi selular dimana

pada model ini dianggap daerah silinder dekat dengan antena BTS untuk

memperkirakan besarnya PD. Dengan model ini, spasial rata-rata PD paralel dengan

antena dapat diperkirakan dengan membagi daya net input antena dengan luas

permukaan imajiner silinder disekitar panjang pancaran antena. Kemudian, nilai

rata-rata PD yang dekat dengan sekitar antena BTS dapat dihitung sebagai :

2 P

LR

 watt/m2 (4.2.)

dimana L adalah tinggi antena. Untuk antena GSM tipe sektor, maka besarnya PD dihitung berdasarkan rumus berikut :

180 BW

P LR

   watt/m2 (4.3.)

dimana BW adalah azimuth 3 dB beam witdh dalam satuan derajat dan memiliki

sudut azimuth φ dalam arah OX. Dengan Bertambahnya jarak dari antena BTS,

(23)

EMR karena kenyataannya total daya radiasi yang dipancarkan melalui permukaan lateral dari silinder akan berkurang.

Jelas terlihat pada persamaan (4.2) dan (4.3) bahwa besarnya power density sangat tergantung dari besarnya daya yang dipancarkan (P) dan jarak dari antena BTS (R). Bila daya pemancar dibesarkan maka pada jarak yang sama, power density akan semakin besar artinya radiasi EMF akan semakin besar, akibatnya efek negatif terhadap lingkungan hidup juga akan semakin bertambah besar. Demikian juga apabila daya yang dipancarkan tetap dan jarak semakin dekat dengan antena BTS, maka power density akan semakin besar dan juga akan menambah besarnya efek negatif terhadap lingkungan hidup disekitarnya.

Untuk model Far Field, R akan menjadi lebih kecil pada daerah spherical

sehingga iluminasi akan menjadi lebih kecil dan cenderung menjadi nol karena R

mendekati nol, tetapi dalam kenyataannya perilaku ini tidak benar karena dimensi

fisik antena adalah terbatas dan non vanishing . Kesalahan tersebut dapat dihilangkan

dengan formulasi berikut .

Besarnya puncak PD dapat dihitung (Kamo et al., 2011.; Miclaus dan Bechet, 2006.; Cicchetti dan Faraone, 2004.) dengan menggunakan model berikut :

(24)

dimana Wrad= Pin; dengan adalah efesiensi antena dan Pin adalah daya input pada

dimana DA adalah diameter antena

Jarak dari antena BTS adalah sebagai fungsi dari PD yang dapat ditentukan dengan rumus berikut (Kamo et al., 2011.; Miclaus dan Bechet, 2006.; Cicchetti dan

Besarnya q dapat dihitung dengan rumus berikut : 2

Dari persamaan (4.7), Rpeak adalah jarak terjauh dari antena BTS dimana besarnya power density berada tepat pada nilai ambang batas (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.), atau dengan kata

lain nilai ambang batas power density berada pada jarak Rpeak.. Sepanjang jarak Rpeak dari antenaBTS akan memiliki power density diatas nilai ambang batas sehingga akan berbahaya bagi lingkungan hidup yang berada disekitarnya.

Dalam rangka menjaga lingkungan hidup dan kondisi sehat orang-orang yang tinggal di dekat antena BTS sebagai dampak EMR dari BTS, maka perlu untuk merubah lokasi BTS yang dipilih sedemikian rupa sehingga jarak antara BTSi dan

BTSj lebih besar dari Rpeak. Dari Persamaan Rpeak di atas, maka dapat dengan mudah

dilihat bahwa Rpeak adalah merupakan fungsi dari power densityρPeak. Oleh karena

(25)

4.1.2. Hasil pengukuran EMF dan efek negatifnya terhadap lingkungan hidup Dari hasil pengukuran power density di lapangan pada menara-menara BTS operator A (lampiran A) dan menara-menara BTS operator B (lampiran B) baik untuk GSM dengan frekuensi kerja 900 MHz. maupun untuk GSM dengan frekuensi kerja 1.800 MHz. dapat digambarkan dalam bentuk grafik.

Gambar 4.2. Grafik power density antena operator A untuk GSM 1.800 MHz. Sebaran titik-titik sampel antena BTS operator A dengan jumlah 183 antena BTS yang bekerja pada frekuensi 1.800 MHz seperti yang digambarkan pada Gambar 4.2. Dari 183 antena BTS tersebut hanya ada 14 antena atau sebesar 8 persen yang berada di bawah nilai ambang batas (garis X) power density (di bawah 9 watt/m2). Hal ini menyatakan bahwa pada jarak sampai dengan 100 meter dari antena-antena BTS (untuk frekuensi 1.800 MHz.) yang dimiliki operator A, ada sebanyak 92 persen antena BTS yang memiliki radiasi EMF yang berdampak negatif terhadap lingkungan hidup di kota Medan.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 50 100 150 200

X

(26)

Gambar 4.3. Grafik power density antena operator A untuk GSM 900 MHz. Sebaran titik-titik sampel antena BTS operator A dengan jumlah 186 antena BTS yang bekerja pada frekuensi 900 MHz seperti yang digambarkan pada Gambar 4.3. Dari 186 antena BTS tersebut hanya ada 13 antena atau sebesar 7 persen yang berada di bawah nilai ambang batas (garis X) power density (di bawah 4,5 watt/m2).

Hal ini menyatakan bahwa pada jarak sampai dengan 100 meter dari antena-antena BTS (untuk frekuensi 900 MHz.) yang dimiliki operator A, ada sebanyak 93 persen antena BTS yang memiliki radiasi EMF yang berdampak negatif terhadap lingkungan hidup di kota Medan.

(27)

Sebaran titik-titik sampel antena BTS operator B dengan jumlah 92 antena BTS yang bekerja pada frekuensi 1.800 MHz seperti yang digambarkan pada Gambar 4.4. Dari 92 antena BTS tersebut hanya ada 20 antena atau sebesar 21 persen yang berada di bawah nilai ambang batas (garis X) power density (di bawah 9 watt/m2). Hal ini menyatakan bahwa pada jarak sampai dengan 100 meter dari

antena-antena BTS (untuk frekuensi 1.800 MHz.) yang dimiliki operator B, ada sebanyak 79 persen antena BTS yang memiliki radiasi EMF yang berdampak negatif terhadap lingkungan hidup di kota Medan.

Gambar 4.5. Grafik power density antena operator B untuk GSM 900 Mhz. Sebaran titik-titik sampel antena BTS operator A dengan jumlah 229 antena BTS yang bekerja pada frekuensi 900 MHz seperti yang digambarkan pada Gambar 4.5. Dari 229 antena BTS tersebut hanya ada 24 antena atau sebesar 10,5 persen yang berada di bawah nilai ambang batas (garis X) power density (di bawah 4,5 watt/m2). Hal ini menyatakan bahwa pada jarak sampai dengan 100 meter dari antena-antena BTS (untuk frekuensi 900 MHz.) yang dimiliki operator B, ada sebanyak 89,5 persen antena BTS yang memiliki radiasi EMF yang berdampak negatif terhadap lingkungan hidup di kota Medan.

0 2 4 6 8 10 12

0 50 100 150 200 250

X

(28)

Tabel 4.1. Persentase jumlah PD di bawah nilai ambang batas

Dari total sampel antena BTS sebanyak 690 (Tabel 4.1) hanya 71 buah atau sebanyak 10,2 persen antena BTS yang berada di bawah nilai ambang batas power density (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800

MHz.). Kondisi demikian sangat berisiko terhadap lingkungan hidup khususnya

terhadap kesehatan masyarakat yang berdomisili disekitar menara antena BTS. Mengingat lebih dari 80 persen antena BTS dari dua operator pada jarak 100 meter yang ada dikota Medan memiliki power density EMF di atas nilai ambang batas. Efek negatif yang terjadi terhadap kesehatan masyarakat dikelurahan Padang Bulan, kecamatan Medan Baru, kota Medan juga dinyatakan oleh Nasution F.K.T. (2012), adanya keluhan gangguan kesehatan berupa sakit kepala, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, keletihan, sakit pada otot, dan rasa mual dengan persentase di atas 60 persen (data pada lampiran C). Tabulasi dampak yang terjadi terhadap lingkungan hidup akibat level EMF di atas nilai ambang batas diperlihatkan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Dampak EMF diatas nilai ambang batas terhadap lingkungan hidup

Level Power Density EMF Dampak Lingkungan Hidup

f = 900 MHz. f = 1.800 MHz. Kesehatan Manusia Hewan

> 4,5 watt/m2 > 9 watt/m2

Kelelahan *) Hilang kemampuan navigasi

Lekas marah Ancaman kelangsungan

Sakit kepala (headaches) *) populasi unggas

Mual *) Tersesat kembali ke habitatnya

(29)

Lanjutan Tabel 4.2.

Level Power Density EMF Dampak Lingkungan Hidup

f = 900 MHz. f = 1.800 MHz. Kesehatan Manusia Hewan

Catatan : *) data penelitian di kota medan yang dilakukan Nasution F.K.T. (2012)

Dengan demikian model yang dibuat pada penelitian ini menjadi solusi untuk melindungi lingkungan hidup khususnya kesehatan masyarakat di kota Medan dari bahaya radiasi EMF antena BTS.

Gambar 4.6. Jarak batas aman power density operator A pada frekuensi 1.800 MHz.

Besarnya power density yang dicatat pada pengukuran dilokasi BTS adalah pengukuran power density yang tertinggi (

ρ

peak) dilokasi BTS. Gambar 4.6. menggambarkan jarak aman dari setiap antena BTS yang diukur dimana pada jarak

(30)

tersebut (Rpeak) besarnya power density berada pada nilai ambang batas yaitu 9 w/m2 untuk frekuensi 1.800 Mhz. Besarnya Rpeak dihitung berdasarkan rumus (4.7). Untuk operator A diperoleh jarak terdekat lingkungan hidup yang aman terhadap radiasi EMF adalah sebesar 425 meter. Jarak terjauh lingkungan hidup yang aman terhadap radiasi EMF adalah 780 meter dari antena BTS.

Gambar 4.7. Jarak batas aman power density operator A pada frekuensi 900 MHz.

Jarak aman minimal dari antena BTS (Rpeak) operator A untuk frekuensi 900 Mhz adalah seperti yang terlihat pada Gambar 4.7. dengan nilai ambang batas power density 4,5 w/m2. Dari hasil pengukuran, jarak terdekat lingkungan hidup yang aman terhadap radiasi EMF adalah sebesar 175 meter. Jarak terjauh lingkungan hidup yang aman terhadap radiasi EMF adalah sebesar 475 meter dari antena BTS.

Jarak aman minimal dari radiasi EMF antena BTS (nilai ambang batas power density 9 w/m2) terhadap lingkungan hidup (Rpeak) operator B untuk frekuensi 1.800 Mhz adalah seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.8.

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

0 50 100 150 200

(31)

Dari hasil pengukuran, jarak aman lingkungan hidup dengan antena BTS yang terdekat adalah sebesar 290 meter. Jarak aman lingkungan hidup dengan antena BTS yang terjauh adalah sebesar 685 meter.

Gambar 4.9. Jarak batas aman power density operator B pada frekuensi 900 MHz.

Jarak aman minimal dari radiasi EMF antena BTS (nilai ambang batas power density 4,5 w/m2)terhadap lingkungan hidup (Rpeak) operator B untuk frekuensi 900 Mhz adalah seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.9. Dari hasil pengukuran, jarak aman lingkungan hidup dengan antena BTS yang terdekat adalah sebesar 150 meter. Jarak aman lingkungan hidup dengan antena BTS yang terjauh adalah sebesar 495 meter.

0 100 200 300 400 500 600 700 800

0 20 40 60 80 100

0 100 200 300 400 500 600

0 50 100 150 200 250

Jumlah BTS Jumlah BTS

(32)

Dari data yang diperoleh pada Gambar 4.6, 4.7, 4.8, dan 4.9. dapat diambil sebuah gambaran bahwa jarak aman terdekat lingkungan hidup dari radiasi EMF antena BTS di kota Medan adalah 150 sampai dengan 175 meter dari antena BTS. Jarak aman terjauh lingkungan hidup dari radiasi EMF antena BTS di kota Medan adalah 685 meter sampai dengan 780 meter dari antena BTS seperti yang tertera pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Rpeak terdekat dan terjauh

J a r a k (m) Operator A Operator B

900 Mhz. 1.800 Mhz. 900 Mhz. 1.800 Mhz.

Terdekat 175 425 150 290

Terjauh 475 780 495 685

4.2. Konsep Dasar Model yang Digunakan

(33)

pemrograman stokastik, di mana diharapkan pengguna menggunakan distribusi untuk optimasi BTSL.

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa permintaan untuk komunikasi selular sangat banyak, khususnya di kota Medan. Tingkat kenaikan dalam penggunaan telepon selular memiliki konsekuensi serius, ketersediaan frekuensi yang dapat digunakan yang diperlukan untuk komunikasi antara pengguna ponsel dan BTS pada jaringan radio selular telah melebihi lebar pita frekuensi yang disediakan. Perencanaan yang memerlukan kehati-hatian dalam merancang jaringan diperlukan untuk memastikan penggunaan yang efisien dari sumber daya frekuensi yang terbatas. Salah satu isu yang paling penting pada desain jaringan radio selular untuk menentukan alokasi spektrum adalah efisien dan bebas dari konflik saluran antar sel, sementara juga dapat melayani baik permintaan trafik dan kendala kompatibilitas elektromagnetik (EMC). Hal ini biasanya disebut sebagai Channel Assigment atau Frequency Assignment Problem (FAP). Masalah FAP pertama sekali muncul pada tahun 1960 (Metzger et al.,1970). Pengembangan layanan nirkabel baru seperti jaringan telepon selular menyebabkan kelangkaan frekuensi yang dapat digunakan dalam spektrum radio. Frekuensi yang diberikan atau yang dilisensi oleh pemerintah kepada operator dikenakan biaya untuk penggunaan setiap frekuensi tunggal secara terpisah. Ini menandakan agar operator dapat mengembangkan rencana kebutuhan frekuensi yang tidak hanya untuk menghindari tingkat gangguan yang tinggi, tetapi juga meminimalkan biaya lisensi.

(34)

frekuensi. Fungsi dari pemecahan masalah ini dapat bervariasi sesuai dengan konteks masalah. Ketika Assignment didasarkan pada variabel ukuran spektrum frekuensi, maka biasanya bertujuan untuk meminimalkan jumlah kanal frekuensi yang digunakan (Smith dan Palaniswani, 1998., Jaimes et al., 1996). Karena permintaan komunikasi seluler meningkat, maka untuk mendapatkan kanal yang bebas interferensi akan sulit atau tidak ada frekuensi yang tersedia. Tujuan dari meminimalkan jumlah frekuensi adalah juga untuk meminimalkan interferensi, dan terpenuhinya permintaan dalam spektrum frekuensi tetap (Aardal, 2007.; Ngo et al., 1998.). Beberapa pendekatan heuristik telah diusulkan untuk memecahkan berbagai versi dari FAP, seperti Neural Networks (Ngo et al., 1998.; Smith dan Palaniswani, 1998.; Moradi, 2010.), genetik dan evolusi algoritma (Wang, 2002.; Fu et al., 2006.; Acan et al., 2003.; Aizaz et al., 2012.; Chia et al., 2012), teknik Local Search (Amadi dan Capone, 2003), Particle Swarm Optimization (Hasselbach et al., 2008.; Mundada, 2011.), Ant Colony Optimization (Parsapoor dan Bilstrup, 2013.).

(35)

jenis media, dan kapasitas link yang tersedia. Desain topologi jaringan adalah salah satu masalah klasik yang telah dieksplorasi dalam konteks jaringan lainnya, dan pada umumnya adalah masalah NP-hard.

Sinyal medan elektromagnetik (EMF) yang dipancarkan oleh antena BTS menimbulkan Radiasi elektromagnetik (EMR). Sinyal ini dapat mencakup hingga radius 9 km jaraknya dari BTS, tergantung pada kekuatan daya yang dipancarkan oleh BTS. Jumlah BTS sangat tergantung pada jumlah pengguna seluler (Bikram, 2014). Di kota Medan, misalnya, ada tujuh operator telepon selular, akibatnya banyak orang yang terkena paparan gelombang medan elektromagnetik yang dipancarkan antena BTS. Santini et al. (2003), Abde-Rassoul et al. (2007), Shahbazi-Gahrouei et al. (2014) membuat laporan tentang efek kesehatan bagi masyarakat yang tinggal di dekat antena BTS. Sementara Government of India Ministry of Communications & Information Technology Department of Telecommunications (2010) membuat sebuah laporan bahwa radiasi EMF dari antena BTS berdampak negatif terhadap lingkungan hidup (manusia, hewan, dan tumbuhan). Oleh karena itu pada penelitian ini bukan saja hanya berfokus pada masalah merancang topologi konfigurasi jaringan sistem selular, tetapi juga bertujuan mengurangi dampak negatif EMR dari antena BTS terhadap lingkungan hidup disekitar antena BTS. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan sebuah model matematis yang disebut Cellular Topological Network Design (CTND) yang ramah lingkungan, dalam hal ini digunakan faktor power density untuk mengukur besaran EMR.

(36)

untuk mengetahui bahwa masalah CTND dapat diselesaikan secara terpisah (separately) atau terpadu (integratedly). Banyak formulasi pemrograman matematika telah diusulkan untuk menyelesaikan secara terpisah masing-masing masalah ini, dan keduanya menghasilkan yang sama baik dengan menggunakan teknik yang sesuai. Namun, tampaknya intuitif yang baik untuk kedua masalah FCA dan TND tergantung pada solusi masalah BTSL, sesuai dengan solusi terbaik mereka masing-masing. Analisis komputasi sebelumnya dilaporkan dalam Mazzini et al. (2003) yang menunjukkan bahwa ada trade off antara BSL dan FCA dan antara BTSL dan masalah TND. Untuk menunjukkan hubungan ini, para penulis memecahkan masalah CTND untuk sebuah contoh kecil. Masalah ini diselesaikan baik secara terpisah maupun secara terpadu.

Penelitian ini menyajikan model mixed integer linear programming (MILP) untuk memecahkan masalah desain jaringan seluler untuk jaringan generasi kedua. Pada penelitian ini diperluas model yang dilakukan oleh Gonzales et al. (2010) dengan memberlakukan pembatasan jarak antara BTS di lokasi yang dipilih karena efek radiasi EMF terhadap orang-orang di sekitarnya.

4.3. M o d e l

(37)

menghubungkan BTS dengan MSC (switch). Sedangkan switch dapat menghubungkan antara BSC (hub) dengan BSC (hub) yang dituju, dan juga dapat menghubungkan antara BSC (hub) dengan PSTN . Set dari notasi-notasi yang digunakan adalah sebagai berikut :

Set

I : set dari kandidat base transceiver station (BTS) J : set dari hub set calon lokasi menara antena BTS yang akan diinstalasi antena BTS. Setiap j lokasi pada N memiliki permintaan panggilan trafik tertentu.

Parameter-parameter yang digunakan pada pemodelan ini khususnya untuk meminimalkan biaya lokasi BTS adalah untuk instalasi BTS, koneksi BTS dengan hub, koneksi BTS dengan switch, koneksi hub dengan switch, dan biaya

memindahkan BTS i ke BTS i’ karena tidak terpenuhinya power density.

(38)

sedangkan parameter lainnya adalah memaksimumkan agar koneksi dapat berlangsung tanpa terjadinya drop call , parameter tersebut adalah :

i : Jumlah maksimum MS dari titik-titik yang dapat dilayani oleh BTS i ∀ �

λ

i : Jumlah maksimum dari FC yang dapat di digunakan oleh BTS i ∀ �

p

l : Jumlah kanal komunikasi pada titik

l

yang diminta ∀�

σ

: Jumlah saluran komunikasi yang dibawa oleh FC

d

: Jarak minimum frekuensi orthogonal antara FCs yang berdekatan

ρ

:

Power density

= { �� � � �� ∀ � � �, ∀�

dan variabel-variabel biner ditetapkan sebagai berikut :

= { �� � � �� ∀ � ℎ �

= { �� � � �� ∀ ℎ� ��� � ℎ� �, �, ∀

= { �� � � �� ∀ ℎ� ��� � ℎ �, �, ∀

� = { �� � � �� ∀ ℎ� ℎ� ��� � ℎ , ∀

= { �� � � �� ∀ � � �, �, ∀

Variabel kontiniu :

il

x tingkat liputan permintaan l yang dilayani oleh BTS I dimana ∀ �, ∀� Besaran xil berada diantara 0 dan 1

4.3.1. Melakukan formulasi dari fungsi tujuan

(39)

1. Biaya instalasi BTS,

2. Biaya untuk menghubungkan BTS ke jaringan telepon tetap,

3. Biaya mengubah lokasi BTS karena tidak terpenuhi nilai ambang batas power density (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.).

Model dari meminimalkan biaya untuk BTSL dapat dilakukan dengan menjumlahkan model biaya minimal untuk instalasi atau penempatan BTS, biaya minimal untuk koneksi BTS yang dipilih dengan hub, biaya minimal koneksi BTS dengan switch, biaya minimal koneksi hub dengan switch, dan biaya minimal

pemindahan BTS i ke BTS i’. Diagram alir dari model meminimalkan biaya ini dapat

dilihat pada Gambar 4.10.

4.3.1.a. Model biaya instalasi BTS

Biaya instalasi BTS dimodelkan sebagai berikut :

= ∑ .

Model yang diperoleh pada persamaan 4.9. menyatakan bahwa biaya instalasi seluruh BTS-BTS yang dipilih merupakan jumlah dari setiap biaya instalasi BTS yang dipilih dimana BTS-BTS tersebut merupakan kumpulan BTS yang direncanakan pada sebuah jaringan telepon seluler. Kumpulan BTS i yang direncanakan ini adalah kumpulan BTS dengan biaya instalasi yang minimal dengan memperhatikan besarnya power density. BTS i dipilih bila power density nya berada di bawah nilai ambang batas (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.). C1 mengandung variabel yi, yang menyatakan bahwa

(40)

lingkungan hidup pada daerah tersebut sudah terlindungi dari bahaya radiasi EMF dari antena BTS tersebut.

4.3.1.b. Model biaya koneksi BTS yang dipilih ke hub

Biaya koneksi BTS yang dipilih untuk terhubung dengan hub dapat ditulis sebagai :

= ∑ ∑

atau

= ∑ ∑

.

Model yang diperoleh pada persamaan 4.10. menyatakan biaya minimum untuk melakukan koneksi antara BTS i yang dipilih dengan hub j dimana BTS i tidak berada pada lokasi yang dilarang dalam arti lokasi yang tidak melebihi nilai ambang batas power density (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.). Koneksi BTS i dengan hub ini dilakukan untuk menghubungkan BTS i dengan BTS lainnya yang berada dalam satu hub dengan BTS i. dalam hal ini BSC berlaku sebagai hub pada jaringan telepon seluler.

4.3.1.c. Model biaya koneksi BTS yang dipilih dengan switch

Biaya koneksi untuk setiap BTS yang dipilih dengan switch, ditulis sebagai berikut :

= ∑ ∑

atau

= ∑ ∑

(41)

Model yang diperoleh pada persamaan 4.11. adalah biaya minimal koneksi antara BTS i yang dipilih dengan switch dimana lokasi BTS i tidak berada pada lokasi yang dilarang. Pada jaringan telepon seluler, switch dapat berupa MSC sebagai media untuk menghubungkan BTS i yang dipilih melalui BSC (hub) dengan BTS yang dituju melalui BSC (hub) lainnya atau menghubungkan BTS i yang dipilih melalui BSC (hub) dengan jaringan telepon tetap PSTN.

4.3.1.d. Model biaya koneksi hub dengan switch Biaya koneksi hub dengan switch:

= ∑ ∑ �

atau

= ∑ ∑ � .

Model yang diperoleh pada persamaan 4.12. adalah biaya minimal koneksi antara hub dengan switch. Koneksi ini terjadi karena BTS yang dituju oleh BTS i berada pada kelompok BTS di bawah koordinasi BSC (hub) yang berbeda dengan BTS i. Pada jaringan seluler hub dapat berupa BSC dan switch dapat berupa MSC dimana hubungan koneksi keduanya dapat dilakukan melalui media transmisi udara (microwave link) atau dapat juga dilakukan menggunakan media transmisi kabel fiber optic (FO).

4.3.1.e. Model biaya pemindahan BTS

Biaya pemindahan BTS dari i ke i’:

= ∑ �

�,

(42)

= ∑ ∑ � �,

.

Model yang diperoleh pada persamaan 4.13. menyatakan biaya untuk melakukan pemindahan BTS dari lokasi i ke lokasi yang baru yaitu lokasi i’. pemindahan ini dilakukan karena pada lokasi BTS i dinyatakan tidak layak atau tidak memenuhi syarat perlindungan lingkungan hidup (melebihi nilai ambang batas power density)sehingga harus dipindahkan ke lokasi yang baru.

Model akhir yang dihasilkan pada penelitian ini merupakan biaya minimum untuk penentuan lokasi BTS (BTS Location) yang aman bagi kesehatan lingkungan hidup dan jaminan ketersediaan FCA untuk melayani hubungan komunikasi telepon seluler. Model yang dihasilkan merupakan penjumlahan dari model biaya instalasi BTS (C1), model biaya koneksi BTS yang dipilih ke hub (C2), model biaya koneksi BTS yang dipilih dengan switch (C3), model biaya koneksi hub dengan switch (C4), dan model biaya pemindahan BTS (C5). Model yang dihasilkan untuk pemecahan masalah ini dapat dinyatakan sebagai meminimalkan biaya sebagai berikut :

��� � = � + � + � + � + � (4.14)

Model tersebut menjamin terjadinya hubungan komunikasi telepon seluler pada sebuah jaringan telepon seluler dengan melakukan pemilihan BTS di dalam kelompok BTS yang dibangun yang pada saat terjadinya koneksi memiliki power density yang aman terhadap kesehatan manusia yang berada pada lokasi

l

, jaminan

(43)

Pertama, merumuskan masalah BTSL, seperti biasanya dalam masalah lokasi perlu menjamin bahwa setiap titik permintaan dilayani oleh antena BTS. Dengan kata lain, kita perlu memastikan bahwa untuk BTS yang dipilih benar-benar dapat melayani (mencakup) permintaan, asalkan BTS tidak berada di lokasi terlarang. Untuk hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

∑ �

�,�

, ∀ �  .

Lokasi terlarang adalah lokasi dimana power density nya berada diatas nilai ambang batas (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.) sehingga tidak boleh ada BTS yang dipilih pada lokasi tersebut. Jarak

lokasi yang dipilih harus berada lebih besar dari Rpeak artinya lokasi antena BTS yang

dilarang adalah pada lokasi BTSj dalam jarak RPeak dari BTSi ( i  j ).

Model 4.15. menyatakan bahwa BTS i yang dipilih benar-benar dapat melayani permintaan koneksi pada titik l sehingga komunikasi itu dapat berlangsung dengan baik. Selanjutnya, dalam model ini harus dijamin bahwa calon lokasi BTS yang tidak dipilih tidak harus melayani permintaan setiap titik, dan harus ada batas atas untuk jumlah poin yang dilayani oleh BTS yang dipilih, kondisi ini dinyatakan pada (4.16).

∑ µ � ,

=

∀ � .

(44)

variabel linear xil didefinisikan sebagai berapa banyak titik l dilayani oleh base

station i. Jika xil = 1, berarti base stationi berfungsi sepenuhnya (100%) melayani

permintaan dari titik l. Jika bervariasi antara 0 dan 1, BTS i(iF) hanya melayani sebahagian dari permintaan titik l. Dalam hal ini, ketentuan (4.15) menjamin bahwa BTS lainnya melayani permintaan yang tersisa yang tidak dilayani oleh BTS i. Jika xil = 0, titik l tidak dilayani oleh BTS i.

Kedua, untuk masalah CTND . Untuk menjamin kelayakan masalah

CTND, model harus memastikan bahwa semua BTS yang dipilih dan jaringan tetap

(fixed network) terhubung dengan baik . Ketentuan (4.17) merupakan jaminan untuk

semua BTS bahwa jika BTS i dipilih yang tidak berada pada lokasi terlarang (iF) , harus terhubung setidaknya ke hub atau switch, hal ini dilakukan agar BTS yang

dipilih dapat melakukan koneksi dengan BTS yang dituju melalui hub atau melalui

switch.

∑ 

+ ∑ 

, ∀  �,  � .

Sedangkan Persamaan ( 4.18) sebagai jaminan untuk semua hub bahwa jika ada base

station yang dipilih, yang tidak di lokasi terlarang terhubung ke hub j dan harus

terhubung setidaknya untuk switch k.

∑ µ 

, ∀  �,  �, ∀  .

Untuk masalah FCA, kelayakan masalah tergantung pada gangguan

saluran, permintaan dan keterbatasan kapasitas. Ketentuan set FCA yang diwakili

oleh rumus (4.19) melalui (4.22). Persamaan (4.19) menjamin bahwa kanal frekuensi

(45)

oleh setidaknya d kanal frekuensi orthogonal, ini dilakukan dengan maksud agar

tidak terjadi interferensi terhadap kanal yang berdekatan (co-channel interference).

∑ �+�

=

, ∀  �, ∀�  { , … , − } .

Ketentuan (4.20.) adalah untuk memastikan bahwa jika kanal frekuensi m diberikan

ke BTS i, maka tidak boleh diberikan untuk salah satu dari BTS-BTS yang memiliki

set interferensi Ni. Set interferensi Ni diperoleh untuk setiap BTS i dan BTS lainnya

yang menyebabkan gangguan saluran frekuensi, artinya frekuensi kanal tidak akan

diberikan kepada BTS yang sedang mengalami interferensi.

+ ∑ � ,

� �

∀ �, ∀  .

Persamaan (4.21) menyatakan bahwa jumlah kanal frekuensi yang diberikan ke BTS

i sudah cukup untuk melayani permintaan dari titik-titik yang dilayani oleh base

station. Parameter σ didefinisikan sebagai berapa banyak saluran komunikasi dapat

dibawa oleh kanal frekuensi. Dalam hal teknologi FDMA sudah di-set menjadi 1,

sementara itu dapat di-set menjadi 3 dalam kasus teknologi TDMA.

 ∑

� , ∀  �, .

Sedangkan set ketentuan pada (4.22) menjamin bahwa kanal frekuensi dapat

diberikan ke BTS i hanya pada base station dipilih, dan masih sebagai penyebab

terikatnya pada jumlah maksimum kanal frekuensi yang diberikan ke BTS i.

∑ 

(46)

Ketentuan pada persamaan (4.23) dan (4.24) dinyatakan dalam biner dan variabel-variabel kontiniu, masing-masing sebagai berikut :

, , , , �  { , }, ∀�, ∀  , ∀  , ∀  .

� , ∀  �, ∀� , (4.24)

(47)

Gambar 4.11. Flowchart ketentuan yang dipersyaratkan pada model yang diperoleh Secara ringkas, model yang diperoleh dapat digambarkan dengan flowchart seperti pada Gambar 4.10. dengan beberapa ketentuan yang juga dapat digambarkan dengan flowchart seperti pada Gambar 4.11. Ketentuan-ketentuan yang dipersyaratkan pada model yang diperoleh harus terpenuhi. Hal ini terlihat pada flowchart Gambar 4.11., bahwa pemilihan atau instalasi BTSL harus memenuhi nilai

(48)

ambang batas power density (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.). Demikian juga pada perancangan jaringan telepon selular (CTND) memasukkan power density sebagai parameter yang harus terpenuhi. Hal ini juga terjadi pada pemberian FCA ke kanal BTS yang harus memenuhi nilai ambang batas power density. Dengan demikian pemilihan BTS, pemberian FCA pada perancangan CTND memenuhi nilai ambang batas power density dengan tujuan memberikan jaminan perlindungan lingkungan hidup dari bahaya paparan radiasi EMF antena BTS.

4.4. Algoritma Penyelesaian Model

Penelitian ini mengadopsi uji pendekatan untuk mengurangi masalah di

mana sebagian besar variabel-variabel bilangan integer adalah tetap konstan dan

hanya sebagian kecil diperbolehkan bervariasi dalam langkah-langkah diskrit.

Langkah-langkah prosedur dapat diringkas sebagai berikut :

Langkah 1. Memecahkan masalah dengan mengabaikan persyaratan integral . Langkah 2. Memperoleh (sub-optimal) solusi bilangan integer yang layak,

menggunakan pembulatan heuristik dari solusi berkelanjutan .

Langkah 3. Membagi set I dari variabel integer ke dalam set I1, pada batas-batas

dimana yang nonba sic pada solusi kontiniu, dan set I2, I

 

I1 I2. Langkah 4. Melakukan pencarian pada fungsi tujuan, menjaga variabel dalam

nonbasic I1 dan memperbolehkan hanya perubahan diskrit dalam

nilai-nilai dari variabel dalam I2.

Langkah 5. Melakukan pengurangan biaya dalam variabel I1. jika ada harus

dibebaskan dari batasan, dan tambahkan ke set I2 dan ulangi dari

(49)

Perlu dicatat bahwa prosedur di atas memberikan kerangka untuk

pengembangan strategi khusus untuk masalah klasifikasi tertentu. Hasil bilangan

integer disimpan dalam variabel superbasic. Kemudian melakukan pencarian garis

bilangan integer untuk meningkatkan solusi bilangan integer yang layak

(Mawengkang H. et al. 2012) .

Model mitigasi antena BTS untuk melindungi kesehatan masyarakat yang ada pada rekomendasi ITU-T K70 (2007) dilakukan dengan perlakuan antena BTS itu sendiri baik dengan cara merubah besaran daya maupun merubah arah fisik antena tanpa merelokasi antena BTS itu sendiri. Ini dilakukan untuk melindungi sebahagian kecil daerah dari daerah cakupan seluruhnya. Demikian juga dengan penelitian lainnya yang telah dilakukan sebagaimana uraian pada tinjauan pustaka mencari lokasi antena BTS dengan tujuan untuk meminimalkan jumlah pemakaian FCA. Juga ada dengan tujuan meminimalkan cost pembangunan sebuah jaringan BTS dengan cara meminimalkan jumlah BTS dalam sebuah jaringan telepon selular. Sedangkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti berupa model matematis adalah membangun jaringan BTS dengan biaya koneksi yang minimal, keberhasilan hubungan komunikasi yang maksimal dengan melakukan manajemen pengaturan pemakaian FCA, dan melakukan perlindungan kesehatan masyarakat melalui pertimbangan power density.

4.5. Simulasi Model

(50)

1. Perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi antar MS pada BTS yang berbeda dalam satu switch.

2. Perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi antar MS pada BTS yang berbeda dalam satu hub yang sama

3. Perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi antar MS dalam satu BTS pada sel yang berbeda

4. Perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi antar MS dalam satu BTS dan sel yang sama

4.5.1. Simulasi perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi antar MS pada BTS yang berbeda dalam satu switch

Pada model yang diperoleh, simulasi perlindungan lingkungan hidup dalam hubungan komunikasi yang dibangun untuk menghubungkan MS A dengan MS B pada BTS berbeda yang berada dalam satu switch dilakukan seperti pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Komunikasi MS antar BTS dalam satu switch berbasis perlindungan lingkungan hidup.

Keterangan : tanda (+) pada baris FCA menyatakan ketersediaan kanal, tanda (-) sebaliknya. tanda (-) pada baris BTSL menyatakan biaya yang minimum, tanda (+) sebaliknya tanda (+) pada kolom hub dan switch menyatakan hub dan switch dapat melayani dengan baik

(51)

Selanjutnya dapat dilihat bahwa ketersediaan kanal (FCA) hanya ada pada BTS 3, kemudian dapat dilihat bahwa biaya koneksi BTSL juga lebih minimum pada BTS 3. Maka yang menangani MS A pada daerah asal adalah BTS 3. Dengan demikian MS A sudah terlindungi dari bahaya radiasi EMF antena BTS asal karena power density yang berada pada lokasi MS A telah berada di bawah nilai ambang batas (< 4,5 watt/m2) . Pada hubungan komunikasi ini diasumsikan bahwa hub dan switch dapat melaksanakan koneksi antar BTS tersebut dengan baik. Hal yang sama dilakukan pada daerah tujuan (MS B), BTS 12 yang memenuhi syarat perlindungan lingkungan hidup karena memiliki power density dibawah nilai ambang batas (< 4,5 watt/m2), juga FCA tersedia, dan biaya koneksi BTSL minimum. Dengan demikian

komunikasi MS A dengan MS B dilakukan melalui BTS 3 dan BTS 12. Dapat disimpulkan bahwa dengan model ini, hubungan komunikasi antar MS pada BTS yang berbeda dalam satu switch dapat melakukan perlindungan lingkungan hidup dari paparan radiasi EMF antena BTS, baik pada daerah asal MS maupun pada daerah tujuan MS.

4.5.2. Simulasi perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi antar MS pada BTS yang berbeda dalam satu hub

(52)

tujuan, BTS 12 memenuhi syarat perlindungan lingkungan hidup karena power density yang dimiliki BTS 12 berada di bawah nilai ambang batas (< 4,5 watt/m2). dan juga adanya FCA yang tersedia, dan biaya koneksi BTS yang minimum.

Tabel 4.5. Komunikasi MS antar BTS dalam satu hub berbasis perlindungan lingkungan hidup

Keterangan : tanda (+) pada baris FCA menyatakan ketersediaan kanal, tanda (-) sebaliknya. tanda (-) pada baris BTSL menyatakan biaya yang minimum, tanda (+) sebaliknya tanda (+) pada kolom hub menyatakan hub dapat melayani dengan baik

Dengan demikian yang melayani hubungan komunikasi MS A dengan MS B adalah BTS 3 pada daerah asal dan BTS 12 pada daerah tujuan.

4.5.3. Simulasi perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi antar MS dalam satu BTS pada sel yang berbeda.

Pada model yang diperoleh, simulasi perlindungan lingkungan hidup dalam hubungan komunikasi yang dibangun untuk menghubungkan MS A dengan MS B dalam satu BTS pada sel yang berbeda dilakukan seperti pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Komunikasi antar MS dalam satu BTS pada Sel yang berbeda berbasis perlindungan lingkungan hidup

(53)

Pada simulasi hubungan komunikasi tersebut MS A di cakup oleh Sel 1 , Sel 2, dan Sel 3. Hanya Sel 1 dan Sel 2 yang memiliki power density < 4,5 watt/m2, artinya hanya Sel 1 dan Sel 2 yang memenuhi syarat perlindungan lingkungan hidup. Selanjutnya dapat dilihat bahwa ketersediaan kanal (FCA) hanya ada pada Sel 1, dan biaya koneksi BTS juga lebih minimum pada Sel 1. Maka yang menangani MS A pada daerah asal adalah Sel 1. Dengan demikian MS A sudah terlindungi dari bahaya radiasi EMF antena BTS asal karena power density yang berada pada lokasi MS A telah berada di bawah nilai ambang batas (< 4,5 watt/m2). Hal yang sama dilakukan pada daerah tujuan, Sel 3 yang memenuhi syarat perlindungan lingkungan hidup karena power density pada Sel 3 berada dibawah nilai ambang batas (< 4,5 watt/m2). Disamping itu adanya ketersediaan FCA, dan biaya koneksi BTS yang minimum. Dalam hal ini hubungan komunikasi MS A dengan MS B dilakukan melalui sel 1 pada daerah asal dan sel 3 pada daerah tujuan. Dapat disimpulkan bahwa dengan model ini, hubungan komunikasi antar MS pada BTS yang sama dapat melakukan perlindungan lingkungan hidup dari paparan radiasi EMF antena BTS, baik pada daerah asal MS maupun pada daerah tujuan MS.

4.5.4. Perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi antar MS dalam satu BTS dan sel yang sama.

Pada model yang diperoleh, simulasi perlindungan lingkungan hidup dalam hubungan komunikasi yang dibangun untuk menghubungkan MS A dengan MS B pada BTS dan sel yang sama dilakukan seperti pada Tabel 4.7.

(54)

pemancar antena BTS maka sel 1a dibedakan dengan sel 1b hanya untuk kejelasan dari uraian penjelasan.

Tabel 4.7. Komunikasi antar MS dalam satu BTS dan Sel yang sama berbasis perlindungan lingkungan hidup.

Frekuensi 900 MHz.

ASAL (BTS 1) TUJUAN (BTS 1)

MS SEL 1a SEL 1b MS SEL 1a SEL 1b

A

PD > 4,5 < 4,5

B

PD < 4,5 > 4,5

FCA + + FCA + +

BTSL - - BTSL - -

Keterangan : tanda (+) pada baris FCA menyatakan ketersediaan kanal, tanda (-) sebaliknya. tanda (-) pada baris BTSL menyatakan biaya yang minimum, tanda (+) sebaliknya

Pada hubungan komunikasi tersebut, MS A di cakup oleh sel 1 pada BTS 1 yang dalam hal ini disebut sel 1a. Sel 1a memiliki power density di atas nilai ambang batas (> 4,5 watt/m2), maka untuk melakukan perlindungan lingkungan hidup pada daerah Sel 1a, daya (P) yang dipancarkan oleh antena BTS 1 (persamaan 4.2) dikurangi sampai menghasilkan power density di bawah nilai ambang batas (< 4,5 watt/m2), dan sel ini dinyatakan sebagai sel 1b. Dalam hal ini diasumsikan ketersediaan kanal (FCA) dan koneksi BTS yang minimum terpenuhi. Hal yang sama dilakukan pada daerah tujuan, dan yang memenuhi syarat perlindungan lingkungan hidup adalah sel 1a karena memiliki power density di bawah nilai ambang batas (< 4,5 watt/m2). Dengan demikian hubungan komunikasi antar MS dalam satu sel tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat perlindungan lingkungan hidup dari paparan radiasi EMF antena BTS 1.

(55)

dipancarkan oleh antena BTS, hal ini diperlihatkan pada pembahasan butir 4.5. di atas. Perbandingan hasil simulasi model dengan paparan gelombang EMF hasil pengukuran di kota Medan (Tabel 4.1.) seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Perbandingan hasil simulasi model dengan kondisi riil di lapangan Power Density Kondisi di lapangan Simulasi Model Jarak dari antena BTS (m)

PD > NAB 89,8 % 0 % 100

PD < NAB 10,2 % 100 % 100

(56)

98

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dituangkan pada Disertasi ini, dapat disimpulkan

hal-hal sebagai berikut :

1. Paparan radiasi EMF yang bersumber dari menara antena BTS di kota Medan

memiliki resiko terhadap lingkungan hidup khususnya kesehatan masyarakat yang

berada pada jarak sampai dengan 500 meter dari antena BTS. Pada jarak sampai

dengan 100 meter, lebih dari 80 % antena BTS tersebut memiliki power density

yang melebihi nilai batas ambang, sehingga sangat berbahaya bagi lingkungan

hidup yang berada pada radius tersebut. Paparan radiasi ini lebih besar pada

menara antena BTS yang menggunakan menara bersama (tower sharing) karena

terjadinya kumulatif power density yang dihasilkan oleh beberapa antena BTS

dari operator telepon selular yang berbeda.

2. Penelitian ini telah berhasil memberikan suatu model jaringan topologi antena

(BTS) yang dapat memberikan perlindungan penuh terhadap lingkungan hidup

khususnya kesehatan masyarakat dari bahaya paparan radiasi EMF antena BTS,

dengan demikian novelty dari penelitian ini tercapai.

3. Model ini memberikan perlindungan penuh terhadap lingkungan hidup berbasis

Rpeak dan ambang batas power density.

4. Model ini juga menjamin koneksitas komunikasi melalui FCA dengan biaya yang

(57)

operator telepon selular dan juga perlindungan lingkungan hidup khususnya

terhadap kesehatan masyarakat.

5. Model ini peneliti sebut sebagai model Cellular Topological Network Design

(CTND) ramah lingkungan. Model dibangun berdasarkan gabungan antara

persoalan penentuan lokasi BTS, persoalan Frequency Channel Assignment

(FCA) dan rancangan topologi jaringan (TND) yang semuanya berbasis power

density dan ini berarti berbasis ramah lingkungan hidup.

6. Secara optimisasi, model ini termasuk dalam bentuk Mixed-Integer programming

problem dengan metode pencarian sekitar (Neighborhood Search Method) yang

dikembangkan untuk menyelesaikan model yang diperoleh.

5.2. Saran

Untuk menjaga keamanan, kenyamanan, estetika, dan lingkungan hidup

khususnya kesehatan masyarakat di kota Medan, maka disarankan beberapa hal

berikut :

1. Adanya regulasi pemerintah kota Medan yang mengatur tata letak BTS agar

memasukkan perlindungan lingkungan hidup sebagai syarat utama dalam

perencanaan dan pembangunan menara antena BTS.

2. Pemerintah kota Medan harus melakukan pengawasan secara terus menerus

terhadap besarnya paparan radiasi EMF pada lingkungan hidup yang memerlukan

perlindungan dari paparan radiasi EMF antena BTS.

3. Meninjau ulang regulasi pemerintah tentang menara bersama (tower sharing) yang

dapat menyebabkan terjadinya akumulasi paparan radiasi EMF pada coverage

(58)

4. Ijin warga yang dipersyaratkan pada pembangunan menara antena BTS harus

diperluas sampai dengan jarak Rpeak dari antena BTS, karena power density

Gambar

Gambar 3.1. Bagan Alir Fishbone Metode Penelitian
Tabel 3.1. Jumlah sampel antena BTS
Gambar 3.2.  Hubungan antar BTS  pada model
Gambar 3.3. Flowchart rancangan model
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul PENGEMBANGAN DAN VALIDASI METODE ANALISIS TABLET ATORVASTATIN SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa rasio tepung biji kecipir dan tepung terigu tidak memberikan pengaruh yang nyata

Perlindungan orang asing di wilayah pendudukan telah ditegaskan di dalam Pasal 35-39 Seksi II Bagian III Konvensi Jenewa IV 1949, yang pada intinya adalah semua

Siang Malam Foto telah berdiri sekitar 14 tahun yang lalu dengan tim photograpy yang memiliki passion yang sangat tinggi serta mengusung misinya dalam

Dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pengendalian dan kestabilan dari kendaraan saat berbelok di jalan, kondisi kritis dari kendaraan yaitu yawing-rate dikontrol terhadap

Adanya kandungan SDBS pada ikan di pasaran kemungkinan karena air yang digunakan dalam budidaya ikan air tawar tersebut mengandung surfaktan SDBS..

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapat informasi tentang hubungan minat menjadi bidan dengan prestasi belajar mahasiswa DIII STIKES „ Aisyiyah Yogyakarta seperti yang

Password yang bisa anda curi adalah password yang ada di server HTTP (server yang tidak terenkripsi), bila data tersebut ada di server yang terenkripsi maka anda harus