Definisi, Dasar Hukum , Rukun dan Syarat Qardh Makalah ini di susun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fiqih mu’amalah Dosen Pengampu Imam Mustofa, M.S.I.
Disusun oleh:
Bagus Setiawan 1502100246
Kelas C
S1 PERBANKAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO
2 BAB I
PEMBAHASAN
Definisi, Dasar Hukum , Rukun dan Syarat Qardh
A. Pengertian Qardh (Utang Piutang)
Secara etiomologis qardh merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai– yaqridhu, yang berarti dia memutuskan nya. Qardh adalah bentuk masdar yang berate memutuskan. Dikatakan , qaradhu asy-sya bil- miqradh. Atau memutus sesuatu yang digunting. Al-qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik yang dibayar.
Adapun qardh secara terminalogis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaaatkannya dan mengembalikan gantikan nya di kemudian hari. Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah ,qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antar lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Definisi yang dikemukakan dalam kompilasi hukum ekonomi syariah bersifat aplikatif dalam akad pijam meminjam antara nasabah dan lembaga keuangan syariah. 1
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikannya secara bahasa sebagai potongan, maksudnya adalah harta yang dipinjamkan kepada seseorang yang membutuhkan. Harta tersebut merupakan potongan atau bagian dari harta orang yang member pinjaman tersebut.
Ulama secara umum mendefinisikan qardh adalah harta yang diberikan atau dipinjamkan oleh seseorang (debitur) kepada orang lain, pinjaman tersebut
1Ma da i, Fi ih Eko o i Sya iah”
3 dimaksudkan untuk membantu pihak peminjam, dan dia harus mengembalikannya dengan nilai yang sama. 2
Qardh dalam kompilasi hukum ekonomi syariah pasal 20 di definisikan sebagai penyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangkau waktu tertentu3
Definisi yang berkembang di kalangan fuqaha adalah sebagai berikut :
Al-qardh adalah “penyerahan (pemilikkan) harta al-misliyat kepada orang lain
untuk ditagih pengembaliannya”, atau dengan pengertian lain,”suatu akad yang
bertujuan untuk menyerahkan harta misliyat kepada pihak lain untuk
dikembalikan yang sejenis dengannya .
Dari definisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya utang piutang merupakan bentuk muamalah yang bercorak ta‟awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber ajaran islam (al-quran dan al-hadist) sangat kuat menyerukan prinsip hidup gotong royong seperti ini. Bahkan al-quran menyebut piutang untuk menolong atau meringankan orang
lain yang membutuhkan dengan istilah “menghutangkan pada allah dengan
hutang baik.”
“Barang siapa yang menghutangkan (karena allah) dengan hutang yang baik maka allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan ia akan
memperoleh pahala yang banyak.. (Al-hadid:11).4
Menurut Muhammad Muslehuddin, Qardh merupakan suatu jenis pinjaman pendahuluan untuk kepentingan peminjaman. Ini meliputi semua bentuk barang yang bernilai dan bayarannya juga sama dengan apa yang dipinjamkan.
2
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh,(Beiru: Dar Al-Fikr,2004), V/3786 sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa,”Fi ih Mu’a alah Ko te po e ”, (Jakarta:Rajawali Pers,2016),Hlm.168-169
3
Abu Abdullah bin Yazid al-Quzwaini Ibnu Maah,Sunan Ibni Majah, (Digital Library, Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani,2005),VII/378, hadis nomor 2524 sebagaimana dikutip oleh Imam
Mustofa,”Fi ih Mu’a alah Ko te po e ”, (Jakarta:Rajawali Pers,2016),hlm.169 4
4 Peminjam tidak mendapatkan nilai yang berlebih karena itu akan merupakan riba yang dilarang dengan keras.5
Dengan demikian dalam Qardh tidak ada imbalan atau tambahan nilai pengembalian.6
Tujuan dan hikmah dibolehkannya utang-piutang itu adalah memberi kemudahan bagi umat manusia dalam pergaulan hidup, karena diantara umat manusia itu ada yang berkecukupan dan ada yang berkekurangan. Orang yang berkekurangan dapat memanfaatkan utang dari pihak yang berkecukupan. 7
B. Dasar Hukum Qardh
Dasar hukum qardh adalah alquran ,hadist dan ijma.
a. Dalil al quran
1. firman Allah dalam QS.Albaqarah 245:
Siapakah yang mau member pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik(menafkahkan harta dijalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Sisi pengendalian dari ayat diatas bahwa Allah SWT menyerupakan amal sholeh dan memberi infak sabililah dengan harta yang dipinjam kan dan menyerupakan pembalasan nya yang berlipat ganda kepada pembayar utang.amal tersebut pinjaman utang karena orang yang berbuat baik melakukan nya untuk mendapatkan gantinya sehingga menyerupai orang yang mengutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.8
2. Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 12;
5
Muhammad Muslehuddin, “Sistem Perbankan Dalam Islam, Rineka Cipta”,Jakarta, 2004, hal. 78 sebagaimana dikutip oleh Andita Yuni Santoso, Pelaksanaan Akad Pembiayaan Qardh Pada Bank Bri Syariah Cabang Semarang” ,( Universitas Diponegoro S emarang,2005),hlm. 30
6
Atang Abd Hakim,”Fi ih Pe ba ka Sya iah(T a sfo asi Fi ih Mua alah Kedala Pe atu a Perundang-undangan , Ba du g:PT Refika Adita , ,hl . 66
7
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh”,(Jakarta: Prenada Media, Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005), hlm. 223 sebagaimana dikutip oleh Nu Hali ah, Studi Analisis Terhadap Praktek Akad Qardh Wal Ijarah Pada
Pe biayaa Tala ga Haji Di Ba k Sya i’ah Ma di i Caba g Se a a g”,( Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang,2009),hlm.14
8 Pasal 20 ayat (36)
Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah sebagaimana dikutip oleh Ma da i, Fiqih
5 “sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik; sesungguhnya aku akan menutupi dosa- dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan kumasukkan kedalam surge yang mengalir air di dalamnya sungai- sungai”.9
Apabila ada seseorang yang berada dalam situasi sulit, atau akan
terjerumus dalam kesulitan bila membayar utangnya, tannguhkan penagihan sampai dia lapang. Jangan menagihnya jika kamu mengetahui dia sempit, apalagi memaksanya dengan sesuatu yang amat dia butuhkan. Yang menangguhkan itu pinjamannya dinilai sebagai qardh hasan, yakni pinjaman yang baik. Setiap detik ia mengangguhkan dan menahan diri untuk tidak menagih, setiap saat itu pula Allah memberinya ganjaran sehingga berlipat ganda ganjaran itu. Yang lebih baik dari yang meminjamkan adalah menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu. Kalau demikian, jika kamu mengetahui bahwa hal tersebut lebih baik, bergegaslah meringankan yang berutang atau membebaskannya dari utang.10
3.
نم ىذ لااذ هل ل ض رق ي اض ر ق ان سح هف عض ي ف ه ل ه لو رجأ
م ير ك
Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah umat Islam diseru untuk ”meminjamkan kepada Allah”, artinya untuk membelanjakan harta di jalan Allah. Selaras dengan itu, manusia juga diseru untuk
”meminjamkan sesame manusia”, sebagai bagian dari kehidupan
bermasyarakat (civil society). Kata dza di atas (dalam lafad man dza) berfungsi sebagai penguat dorongan berinfak. Ayat ini dikemas dalam bentuk pertanyaan dengan tujuan mendorong siapa pun yang biasa berinfak untuk terus meningkatkan infaknya apalagi yang belum terbiasa,
9
Abu Abdullah bin Yazid al-Quzwaini Ibnu Maah,Sunan Ibni Majah, (Digital Library, Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani,2005),VII/378, hadis nomor 2524 sebagaimana dikutip oleh Imam
Mustofa,”Fi ih Mu’a alah Ko te po e ”, (Jakarta:Rajawali Pers,2016),hlm.170
10
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol.1: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qu ’a
6 karena Allah menjanjikan balasan yang berlipat ganda. Yang dimaksud dengan “pahala yang mulia” dalam ayat di atas adalahpengampunan
dosa-dosa.11
b. Dalil hadist
1. Riwayat imam muslim yang bersumber dari Abu Rafi‟ r.a sebgai berikut; “sesungguhnya Rasulullah SAW berutang seekor unta muda kepada seseorang laki- laki. Kemudian diberikan kepada beliau seekor unta shadaqah. Beliau memerintahkan Abu Rafi‟ kembali kepada beliau dan berkata , saya tidak menemukan diantara unta- unta tersebut kecuali unta yang usianya menginjak tujuh tahun. Beliau menjawab, berikan lah unta itu kepadanya karena sebaik-baik orang
adalah paling baik dalam membayar utang”(HR.Muslim) . Ibnu Majah
meriwayatkan hadist yang bersumber dari Ibnu Mas‟ud ra. Dari Nabi Saw, bersabda : “Tidaklah seseorang muslim memberi pinjaman kepada orang muslim yang lain dua kali melainkan pinjaman itu
(berkedudukan) seperti sedekah satu kali”. (HR. Ibnu Majah).12
2. Hadist riwayat ibnu mas‟ud;
“ dari ibnu mas‟ud, sesungguhnya nabi Muhamad Saw. Bersabda : tidaklah seorang muslim member pinjaman kepada orang muslim yang lain dua kali, melainkan pinjaman itu seperti sedekah sekali.13 3. Hadist riwayat Annas Bin Malik
“dari Annas Bin Malik ia berkata, Rasulullah Saw. Bersabda : saat malam isra‟ Mir‟aj aku melihat dipintu surge tertulis “sedekah dilipat gandakan sepuluh kali, dan qardh (pinjaman) dilipat gandakan delapan belas kali : aku bertanya kepada jibril wahai jibril kenapa qardh lebih utama darpada sedekah? Jibril menjawab “karena
11
M. Quraish Shahab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, hlm.22 sebagaimana di kutip oleh Burhanudin,”Pemahaman Dan Penerapan Al-Qard{ Al-Hasa Pada Kjks B t Ha iva”,(Fakultas “ya i’ah Da Huku Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,2012),hlm. 11-12
12Hal i i pe dapat dikala ga Mazhab Ha afiyah da Ha abilah, seda gka kala ga “afii’iyah da
Malikiyah tidak mensyaratkan yang demikian. Sebagimana dikutip oleh sebagaimana dikutip oleh Ma da i, Fi ih Eko o i Sya iah”,(Jakarta:Kencana, 2012),Hlm.334-335.
7 didalam sedekah pengemis meminta sedangkan dia punya, sedangkan orang yang meminjam, tidaklah ia meminjam kecuali karena ada kebutuhan.14
4. Hadist Riwayat Ibnu majah
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalaf Al Asqalani berkata, telah menceritakan kepada kami Ya'la berkata, telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Yasir dari Qais bin Rumi ia berkata, "Sulaiman bin Udzunan meminjami Alqamah seribu dirham sampai waktu yang telah ditentukan, ketika waktu yang telah ditentukan habis, Sulaiman meminta dan memaksa agar ia melunasinya, Alqamah pun membayarnya. Namun seakan-akan Alqamah marah hingga ia berdiam diri selama beberapa bulan. Kemudian Alqamah datang kembali kepadanya dan berkata, "Pinjami aku seribu dirham sampai batas waktu yang telah engkau berikan kepadaku dulu." Sulaiman menjawab, "Baiklah, dan dengan rasa hormat wahai Ummu Utbah, berikanlah kantung milikmu yang tertutup itu." Ia pun datang dengan membawa kantung tersebut, kemudian Sulaiman berkata, "Demi Allah, sesungguhnya itu adalah dirham-dirham milikmu yang pernah engkau bayarkan kepadaku, aku tidak merubah dirham itu sedikitpun." Alqamah berkata, "Demi Allah, apa yang mendorongmu melakukan inikepadaku?" ia menjawab, "Karena sesuatu yang aku dengar darimu." Ia bertanya, "Apa yang kamu dengar dariku?" ia menjawab, "Aku mendengarmu menyebutkan dari Ibnu Mas'ud berkata, "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada orang lain dua kali, kecuali seperti sedekahnya yang pertama." Ia berkata, "Seperti itu pula yang di beritakan Ibnu Mas'ud kepadaku." (HR.Ibnu Majah)
Hadits ini menyatakan sangat besar pahala yang diperoleh oleh seseorang yang memberikan pinjaman kepada orang yang
8 memerlukan. Ibnu Ruslan berkata, “Kita boleh berhutang kepada seseorang bila kita memerlukannya dan berhutang itu bukanlah suatu keburukan. Nabi Saw. sendiri pernah berhutang. 15
c. Dalil ijma‟
bahawa semua kaum muslimin telah sepakat dibolehkannya utang piutang.16 Hukum qardh adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqaridh dan mubah bagi muqtaridh. Hadistnya yang artinya :
“Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah Saw. Telah bersabda”barang
siapa melepaskan dari seorang muslim satu kesuahan dari
kesusahan-kesusahan dunia, niscaya allah melepakan dia dari kesusahan-kesusahan-kesusahan-kesusahan
hari kiamat. Barang siapa member kelonggaran pada seseorang yang
kesusahan niscaya allah akan memberikan kelonggaran baginya didunia dan
diakhirat, dan barang siapa yang menutupi (aib) seseorang muslim niscaya
allah menutupi aibnya didunia dan diakhirat dan allah selamanya menolong
hambanya, selama hambanya mau menolong saudarang”. (HR. Muslim) 17
C. Rukun dan Syarat Transaksi Qardh 1. Rukun Qardh ada 3, yaitu :
a. Shighat
Yang dimaksud dengan shighat adalah ijab dan Qabul. Tidak ada pervedaan diantara fukahah bahwa ijab qabul itu sah dengan lafadzh utang dan dengan semua lafadzh yang menunjukkan maknanya, seperti kata, “aku memberimu utang,” atau “aku mengutangimu.” Demikian pula qabul sah dengan semua lafadzh yang menunjukkan
15
Teu gku Muha ad Hasbi Ash “hiddie y, Koleksi Hadis-hadis Huku Vol.7”, (Semarang:PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm.122-123 Sebagaimana dikutip oleh Amala Shabrina, Optimalisasi Pinjaman Kebajikan (Al-Qardh) Pada BMT(Studi pada BMT UMJ, Ciputat)”(Jaka ta:Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (Uin), 2013),hlm. 29
16Hal i i pe dapat dikala ga Mazhab Ha afiyah da Ha abilah, seda gka kala ga “afii’iyah da
Malikiyah tidak mensyaratkan yang demikian. Sebagimana dikutip oleh sebagaimana dikutip oleh Ma da i, Fi ih Eko o i Sya iah”,(Jakarta:Kencana, 2012),Hlm.335.
9 kerelaan, seperti “aku berutang” atau ”aku menerima,” atau ”aku ridho” dan lain sebagainya.
b. „Aqidain
Yang dimaksud dengan „aqidain (;dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi utang dan pengutang. Adapun syarat-syarat bagi pengutang adalah merdeka, balig, berakal sehat, dan pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk).
c. Harta yang diutangkan
Rukun harta yang diutangkan adalah sebagai berikut :
1. Harta berupa harta yang ada padanya, maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang mengakibatkan perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat ditakar, ditimbang, ditanam, dan dihitung.
2. Harta yang diutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah mengutangkan manfaat (jasa).
3. Harta yang diutangkan diketahui, yaitu diketahui kadarnya dan diketahui sifatnya.18
Syarat Qardh :
1. Karena utang piutang sesungguhnya merupakan sebuah transaksi (akad), maka harus dilaksanakan melalui ijab dan qabul yang jelas sebagaimana jual beli, dengan menggunakan lafadzh qard, salaf atau yang sepadan dengannya. Masing-masing pihak harus memenuhi persyaratan kecakapan bertindak hukum dan berdasarkan iradah (kehendak bebas).
2. Harta benda yang menjadi objeknya harus mal-mutaqawim. Mengenai jenis harta benda yang dapat menjadi objek utang
18Hal i i pe dapat dikala ga Mazhab Ha afiyah da Ha abilah, seda gka kala ga “afii’iyah da
10 piutang terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha mazhab. Menuru fuqaha mazhab akad utang piutang hanya berlaku pada harta benda al-misliyat yakni harta benda yang banyak padanannya, yang lazimnya dihitung melalui timbangan, takaran dan satuan. Sedangkan harta benda al-kimyyat tidak sah dijadikan objek utang piutang seperti hasil seni, rumah, tanah, hewan, dan lain-lain.
3. Akad utang piutang tidak boleh dikaitkan dengan suatu persyaratan diluar utang piutang itu sendiri yang menguntungkan pihak muqridh (pihak yang menghutanginya). Misalnya persyaratan memberikan keuntungan (manfaat) apapun bentuknya atau tambahan, fuqaha sepakat yang demikian ini haram hukumnya. Jika keuntungan tersebut tidak dipersyaratkan dalam akad atau jika hal itu telah menjadi uruf kebiasaan dimasyarakat.19
Menurut fuqaha malikyyah membedakan utang piutang yang bersumber dari jual beli dan utang piutang (al-qardh). Dalam hal utang bersumber dari jual beli penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan adalah boleh. Sedangkan dalam hal utang piutang al-qardh penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak dijanjikan karena telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, hukumnya dalah haram. Penambahan tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi kebiasaan dimasyarakat baru boleh diterima.
Penambahan pelunasan utang yang diperjanjikan oleh
muqtaridh (pihak yang berutang), menurut sya‟fiah pihak yang
11 mengutanginya makruh menerimanya sedangkan menurut hanabilah pihak yang mengutangi dibolehkan menerimanya. 20
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa secara garis besar ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh, yaitu; 1. Akad qardh dilakukan dengan sighat ijab qabul atau bentuk lain
yang dapat menggantikan nya. Seperti muatah(akad dengan tindakan atau saling memberi dan saling mengerti).
2. Kedua belah pihak yang terlibat akad harus cakap hukum (berakal, baligh, dan tanpa paksaaan). Berdasarkan syarat ini , maka qardh sebagai akad tabrrau‟(berderma/social), maka akad qardh yang dilakukan anak kecil , oran gila, orag bodoh atau orang yang dipaksa, maka hukumnya tidak sah.
3. Menurut kalangan Hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah
harta yang ada padanannya dipasaran, atau padanan nilainya (mistil), sementara menurut jumhur ulama, harta yang
dipinjamkan dalam qardh dapat berupa harta apa saja yang dapat dijadikan tanggungan.
4. Ukuran, jumlah jenis, dan kualitas harta yang dipinjamkan harus jelas agar mudah untuk dikembalikan. Hal ini untuk menghindari perselisihan diantara para pihak yang melakukan akad qardh.
Al-zuhaili juga menjelaskan dua syarat lain dalam akad qardh, pertama, qardh tidak boleh mendatangkan keuntungan atau manfaat bagi pihak yang meminjamkan. Kedua, akad qardh tidak dibarengi dengan transaksi lain , seperti jual beli dan lain nya.
Pasal 612 kompilasi hukum ekonomi syariah (KHES) menyebutkan bahwa pihak peminjam harus mengembalikan pinjaman nya sebagaimana waktu yang telah ditentukan dan
12 disepakati oleh para pihak. Namun , dalam qardh , pihak peminjam tidak mengulur – ngulur waktu pengembalian pinjaman ketika dia sudah mampu untuk mengembalikan.
Ketentuan lain adalah pasal 614 KHES yang menyebutkan bahwa dalam akad qardh, pihak yang meminjamkan dapat meminta jaminan kepada pihak yang meminjam. Hal ini diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan pinjaman atau qardh.
Berbagai syarat dan ketentuan yang telah dijelaskan diatas harus terpenuhi saat akad qardh. Sah atau tidaknya suatu akad tergantung terpenuhi rukun , syarat dan ketentuan yang berlaku.21
21
13 BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN
14 DAFTAR PUSTAKA
Andita Yuni Santoso,” Pelaksanaan Akad Pembiayaan Qardh Pada Bank Bri
Syariah Cabang Semarang” ,( Universitas Diponegoro S emarang,2005)
Amala Shabrina, “Optimalisasi Pinjaman Kebajikan (Al-Qardh) Pada
BMT(Studi pada BMT UMJ, Ciputat)”(Jakarta:Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (Uin), 2013)
Atang Abd Hakim,”Fiqih Perbankan Syariah(Transformasi Fiqih Muamalah Kedalam Peraturan Perundang-undangan)”,(Bandung:PT Refika Aditam,2011)
Burhanudin,”Pemahaman Dan Penerapan Al-Qard{ Al-Hasan Pada Kjks Bmt
Haniva”,( Fakultas Syari‟ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,2012)
Ghufron A. Mas‟adi,”Fiqih Muamalah Kontekstual”,(Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada,2002)
Mardani, “Fiqih Ekonomi Syariah”,(Jakarta:Kencana, 2012)
Nur Halimah,” Studi Analisis Terhadap Praktek Akad Qardh Wal Ijarah Pada
Pembiayaan Talangan Haji Di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Semarang”,( Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang,2009)
Rachmat Syafe‟,”Fiqih Muamalah”,(Bandung:CV Pustaka Setia,2001)
Sulaiman Rasyid,”Fiqih Islam”,(Bandung:Sinar Baru Algensindo,2013)