• Tidak ada hasil yang ditemukan

METAFORA DALAM WAYANG KULIT LAKON KILATB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "METAFORA DALAM WAYANG KULIT LAKON KILATB"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

METAFORA DALAM WAYANG KULIT LAKON

KILATBUWANA SEBAGAI REPRESENTASI

KEHIDUPAN MASYARAKAT JAWA

TESIS

Oleh:

Ferdi Arifin

13/353716/PSA/7528

PROGRAM STUDI ILMU LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

(2)

THESIS

by:

Ferdi Arifin

13/353716/PSA/7528

LINGUISTICS GRADUATE STUDIES PROGRAM FACULTY OF SCIENCE AND CULTURE

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

(3)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Yogyakarta, April 2015

(4)

iv

 Ayahku, R Eko Miyanto, S.H. yang senantiasa mendukung dan bekerja keras untuk anaknya tanpa memberikan interfensi dalam bentuk apapun.  Ibuku, Nur Halimah, Amd. yang selalu banyak nasihat demi kebaikan

anaknya.

 Keluarga besar yang selalu mengarapkanku menjadi model yang baik untuk saudara-saudara kecilku.

(5)

v

PRAKATA

Segala puji dan syukur yang senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT yang

telah melimpahkan nikmat dan karunianya kepada kita semua. Dengan segala

kehendak Allah SWT penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis ingin

mengucapkan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang dengan tulus dan

ikhlas telah memberikan segenap bantuan, bimbingan, arahan, serta semangat

kepada penulis sehingga tesisi ini dapat terselesaikan.

1. Prof. Dr. Marsono, S.U. selaku dosen pembimbing tesis yang selama

penyusunan tesis ini beliau dengan penuh kesabarannya selalu

memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis dari awal hingga tesis ini

jadi.

2. Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A. selaku ketua Program

Pascasarjana Linguistik yang telah memberikan banyak pelajaran dalam

mendalami ilmu linguistik.

3. Dr. Pujo Semedi Hargoyuwono, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

sekaligus dosen antropologi yang memberikan banyak wawasan dalam

perkuliahan selama ini, terlebih mata kuliah Kebudayaan dan Konstruksi

Tubuh dan Marxisme dan Teori Konflik.

4. Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo yang sabar dan tekun memberikan

ilmu-ilmu yang bermanfaat serta memberikan pengalaman hidup yang

(6)

vi

motivasi tinggi dalam belajar.

6. Dr. Suhandano, M.A. yang selalu menyenangkan dalam memberikan

perkuliahan sehingga menjadikan semangat belajar.

7. Dr. Aris Munandar, M.Hum. selaku dosen bahasa Inggris yang

memberikan perkuliahan dengan asik.

8. Tri Mastoyo Jati Kesuma, M.Hum. yang mengajarkan segenap ilmunya

dengan santai sehingga tidak merasa tegang di dalam kelas, meskipun

sering membuat menganga karena buku-buku yang dimilikinya.

9. Segenap dosen-dosen lain yang pernah memberi pelajaran di kelas seperti

Prof. Dr. Lasiyo, Prof. Dr. Suhardi, M.A., Prof. Dr. Praptomo Baryadi

Isodorus, M.Hum., Dr. Widya Nayati, M.A., Wiwik Suhastami, M.A.,

Ph.D. Terima kasih atas pelajaran yang telah disampaikan selama ini.

10.Teman-teman Leisure Community Sidiq Hari Madya, S.Sos., Satria Aji

Imawan, SIP., Remo Adhy Pradana, S.E., Rifki Amelia Fadlina, SIP.,

Syefi Nuraeni Fitriana, S.Farm., Apt., dan Kalikautsar, S.T., M.Eng. selain

itu juga pengurus baru Leisure Community Adityo Ramadhan D dan

Candra Kirana Mustahziyin. Terima kasih atas wawasan yang kalian

miliki sehingga memunculkan berbagai pandangan baru.

11.Teman-teman SKM UKM Bulaksumur yang selalu memberikan

(7)

vii

Soedardi calon Sarjana Komunikasi dan Muhammad Ilham Adhi P calon

Sarjana Sosial, dll.

12.Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis

sebutkan satu per satu.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para

pembaca. Mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan manfaat serta kontribusi

khususnya dalam bidang linguistik.

Yogyakarta, April 2015

(8)

viii

LEMBAR PENGESAHAN ...

LEMBAR PERNYATAAN ...iii

PERSEMBAHAN ... iv

PRAKATA ... v

DAFTAR ISI ...viii

INTISARI ... xi

ABSTRAK ... xii

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 4

1.5.2 Manfaat Praktis ... 5

1.6 Tinjauan Pustaka ... 5

1.7 Landasan Teori ... 6

1.7.1 Metafora ... 7

1.7.1.1 Metafora Struktural ... 7

1.7.1.2 Metafora Ontologikal ... 8

1.7.1.3 Metafora Orientasional ... 8

1.7.2 Elemen Pembentuk Ranah Sumber dan Ranah Target Metafora Wayang Kulit Lakon Kilatbuwana ... 9

(9)

ix

1.8 Metode Penelitian ... 11

1.8.1 Metode Pengumpulan Data ... 11

1.8.2 Metode Analisis Data ... 11

1.8.3 Metode Penyajian Data ... 12

1.9 Sistematika Penelitian ... 12

BAB II: JENIS-JENIS METAFORA ... 13

2.1 Pengantar ... 13

2.2 Metafora Struktural ... 13

2.3 Metafora Ontologikal ... 22

2.4 Metafora Orientasional ... 30

BAB III: ELEMEN RANAH SUMBER DAN RANAH TARGET PADA PEMBENTUKAN METAFORA DALAM WAYANG KULIT LAKON KILATBUWANA ... 34

3.1 Pengantar ... 34

3.2 Ranah Sumber ... 35

3.2.1 Ranah Sumber Tubuh ... 35

3.2.2 Ranah Sumber Lingkungan Alam ... 37

3.2.3 Ranah Sumber Agama dan Kepercayaan ... 42

3.2.4 Ranah Sumber Pekerjaan ... 43

3.2.5 Ranah Sumber Ekonomi dan Pemerintahan ... 46

3.2.6 Ranah Sumber Bangunan ... 47

3.2.7 Ranah Sumber Alat dan Kain ... 48

3.3 Ranah Target ... 51

3.3.1 Jiwa ... 52

3.3.2 Perasaan ... 54

3.3.3 Pikiran ... 56

3.3.4 Ilmu ... 57

(10)

x

BAB IV: KEHIDUPAN MASYARAKAT JAWA DARI KONSEP METAFORA

WAYANG KULIT LAKON KILATBUWANA... 65

4.1 Pengantar ... 65

4.2 Tubuh Manusia ... 66

4.3 Air ... 68

4.4 Tumbuhan ... 70

4.5 Peliharaan ... 72

4.6 Bangunan ... 73

4.7 Kain ... 75

4.8 Alat dan Bahan ... 76

BAB V: KESIMPULAN ... 78

5.1 Kesimpulan ... 78

5.2 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA

(11)

xi

INTISARI

Wayang kulit merupakan salah satu seni pertunjukkan paling kuna yang masih eksis di kalangan masyarakat Jawa. Salah satu alasan wayang kulit tetap eksis karena dalam ceritanya menunjukkan gambaran kehidupan masyarakat setempat sehingga sebuah kebudayaan dapat terlihat dari pertunjukkan tersebut. Penelitian ini megkaji salah satu lakon dalam pewayangan yaitu Kilatbuwana dari metafora yang digunakan dalam percakapan antar-tokoh wayang. Penggunaan metafora dalam wayang kulit adalah salah upaya untuk melihat kehidupan masyarakat Jawa. Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari sebuah hasil transkripsi tim peneliti wayang kulit di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta. Dari transkripsi data yang sudah ada kemudian identifikasi keseluruhan lakon Kilatbuwana tersebut yang masuk dalam kategori metafora. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana ditemukan jenis-jenis metafora yang muncul dalam percakapan antar-tokohnya, kemudian elemen pembentuk ranah sumber dan ranah target dari metafora dalam lakon tersebut, dan metafora dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana mencerminkan kehidupan masyarakat Jawa. Ada tiga jenis metafora yang muncul yaitu struktural, ontologikal, dan orientasional, sedangkan elemen pembentuk ranah sumber dan ranah target dalam metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana tidak lepas dari budaya yang dimiliki masyarakat setempat, dan ternyata kehidupan orang Jawa tercermin dalam temuan data metafora di wayang kulit lakon Kilatbuwana. Secara keseluruhan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa metafora dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa meskipun tidak secara menyeluruh. Namun, apabila data yang digunakan dalam penelitian metafora ini lebih luas cakupannya, tidak menutup kemungkinan bahwa gambaran kehidupan masyarakat Jawa akan terlihat lebih jelas.

(12)

xii

Javanese. A reason of leather puppet existence is because Javanese‘s leather puppet stories represent its society, so that it can be used to present Javanese culture. Because of various stories of Javanese‘s leather puppet, this research examines metaphor usage among the character in one of leather puppet‘s lakon that is Kilatbuwana. Metaphor usage in Javanese‘s leather pupper aims at seeing Javanese‘s life. Based on the transcription, this research thus indetifies entirely language usage in conversation among puppet characters of Kilatbuwana put into metaphor category. This research employed qualitative method because the method was appropriate to conduct metaphor research although some arguments needed native participants to reinfoce the analysis. The data were obtained by research team of Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta that had already written many characters (lakon) of Javanese‘s leather puppet. The result

shows that several kinds of metaphor of Kilatbuwana leather puppet are used in conversation among the characters, form elements of source domain and target domain of Kilatbuwana‘s metaphor is tied in the society culture. Moreover, Javanese culture is represented by leather puppet metaphor, for instance, in Kilatbuwana‘s metaphor. The result of this research shows that Kilatbuwana metaphor represents the whole life of Javanese although it is not complete. Yet, if the research uses entirely leather puppet lakon bith Mahabarata and Ramayana, it will be possible to see entirely imagine of Javanese culture clearly.

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wayang kulit merupakan kesenian purba yang masih terjaga eksistensinya dalam perkembangan zaman yang begitu pesat. Kekuatan eksistensi wayang kulit dikarenakan kesenian tersebut tidak hanya sebagai sebuah seni pertunjukan melainkan juga sebagai media pembelajaran bagi masyarakat karena memadukan aspek kehidupan seperti pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi (Arifin, 2013: 78). Selain itu, eksistensi kesenian ini tidak lepas dari sebuah upaya pemahaman terhadap masyarakat multikultur seperti di Indonesia dengan melibatkan unsur Islam, Buddha, Khatolik, Kristen, bahkan kelompok etnis tertentu (Korsovitis, 2001: 59—68). Bahkan dalam sebuah riset seni pertunjukan menyebutkan bahwa seni pertunjukan –seperti wayang kulit- dapat dijadikan sebagai media untuk merefleksi keadaan, ingatan, dan emosi sehingga dapat memulihkan depresi seseorang secara visual (Argyle & Bolton, 2005: 340—354).

Sejarahnya sendiri, wayang kulit di Jawa muncul dari kepercayaan animisme dan dinamisme yang sangat kental, sehingga masyarakat percaya bahwa nenek moyang yang sudah mati menjadi roh pelindung bagi masyarakat yang masih hidup. Oleh karena itu, pertunjukan wayang –dahulunya masih bebentuk boneka- dilakukan sebagai rasa terima kasih masyarakat terhadap roh para leluhur (Sunarto, 1997: 11). Dalam perkembangannya, beberapa komponen dari pagelaran wayang mulai digantikan dengan komponen baru sesuai dengan keadaan masyarakat, seperti boneka diganti dengan wayang kulit, dukun digantikan dalang, sajian digantikan sajen, nyanyian dan hymne digantikan suara suluk dan sindenan, bunyi-bunyian digantikan gamelan, tempat pemujaan batu digantikan dengan panggung dan debog (Mulyono, 1978: 56—57). Kemudian pada awal abad ke-20, wayang kulit mulai memberikan pengaruh pada seni pertunjukan teater di Eropa dan Amerika bahkan banyak akademisi mereka yang mempelajari wayang di tahun 1960-an. Hal tersebut ternyata karena pengaruh koleksi di Museum Raffles di Inggris ketika mereka menjajah Indonesia dan membawa sebagian bentuk peradaban yang ada (Cohen, 2007: 340).

Dalam hal ini wayang kulit menjadi subyek dari penelitian bahasa karena eksistensi wayang kulit di era revolusi teknologi dan budaya populer saat ini. Penelitian ini akan melihat fenomena bahasa yang muncul dengan pendekatan metafora dan etnolinguistik. Hal tersebut dikarenakan penggunaan bahasa dalam wayang kulit penuh dengan unsur metaforis dan mencerminkan kebudayaan masyarakatnya karena bahasa wayang tidak mengikuti perkembangan zaman dan tetap mencirikan kebudayaan masyarakatnya.

(14)

pandangan hidup mereka melaui tuturan-tuturan metaforis yang muncul berdasarkan hasil pengamalan kultural. Metafora sendiri adalah the essense of metaphor is understanding and experiencing one kind of thing in term of another

(Lakoff & Johanson, 1980: 5). Dalam kognisi manusia, terkadang untuk menjelaskan atau memahami suatu konsep bisa menggunakan konsep lainnya. Ditambah lagi pendapat Kovecses (2005: 8) bahwa metafora secara esensi juga mengandung aspek pikiran, praktik sosial-budaya, pengetahuan, dan tubuh.

Oleh karena itu, metafora merupakan instrumen yang sesuai untuk mengkaji bahasa dan pikiran masyarakat Jawa yang tercermin dalam seni pertunjukan wayang kulit. Bentuk data yang akan dianalisis dalam penelitian ini seperti pada contoh berikut:

(I.1) PUNTADEWA : Nuwun inggih, menawi sandhanganing jiwa menika menapa?

PUNTADEWA : maaf sebelumnya, misalkan pakaiannya jiwa itu apa?)

KILATBUWANA : Sandhanganing jiwa iku, cipta, rasa, budi, karsa. Cipta iku kang anampa samubarang, karsa iku kang nenimbang samubarang, budi iku keng ngleramake samubarang, karsa iku nindakake samubarang. Iku sesandhangani pun jiwa.

KILATBUWANA : pakaiannya jiwa itu, cipta, rasa, budi, karsa. Cipta itu yang menerima segalanya, karsa itu yang menimbang segalanya, budi itu yang menyelaraskan semuanya, karsa itu menjalankan semuanya. Itulah pakaiannya jiwa.)

(Feinstein, dkk, 1986: 11)

(I.2) KILATBUWANA: [...] si bapa kang ndarbeni sedya ngrukunake Pandawa lan Ngastina aja nganti tuwuhing peperangan gede [...]

KILATBUWANA: [...] si bapa memiliki keinginan merukunkan Pandawa dan Astina supaya jangan sampai tumbuhnya peperangan besar [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 295)

Sepenggal dialog antara Puntadewa dan Kilatbuwana pada contoh (I.1) tersebut merupakan data yang akan dianalisis dengan menggunakan metafora. Dari ungkapan yang dituturkan Puntadewa dan Kilatbuwana mengungkapkan kata

sandhangan jiwa yang merupakan sebuah bentuk ekspresi metafora. Pada metafora tersebut jiwa merupakan sebuah target sedangkan kata sandhangan

adalah sarana untuk menjelaskan target nya. Metafora tersebut memiliki source

(15)

3

merefleksikan kebudayaan Jawa dalam melihat konsep ‗jiwa‘ diibaratkan dengan konsep material meskipun ‗jiwa‘ sendiri adalah sebuah kebenaran yang abstrak. Hal tersebut merupakan hasil kognisi masyarakat terhadap pengalaman yang mereka alami sehingga menggunakan konsep-konsep tersebut untuk menggambarkan orang Jawa. Dilihat dari aspek metaforisnya contoh (I.1) tersebut mengindikasikan bahwa masuk dalam jenis metafora tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat jenis metafora apa saja yang muncul dalam temuan data yang lain.

Pada contoh (I.2) menunjukkan bahwa ‗tumbuhan‘ sebagai ranah sumber untuk menjelaskan bentuk perang. Menurut Wahab (1991: 96) sebagai seorang pengikut aliran relativisme Sapir dan Whorf yang menyatakan dunia nyata tidak diperoleh secara langsung melainkan dibangun berdasarkan pengaruh pengetahuan dan bahasa, sehingga metafora memiliki peranan penting dalam segala aspek kehidupan karena pengetahuan realita -seperti konsep kecantikan- tercipta melalui interaksi antara informasi yang ada dengan lingkungan (source domain). Dengan begitu juga bahasa menjadi karakter umum sebagai sistem tanda yang muncul karena cerminan dari realita serta menjadi gambaran dari dunia (Fiumara, 1995: 8). Oleh karena itu, metafora dalam wayang memiliki keterkaitan dengan kebudayaan dalam proses pembentukan ranah sumber dan ranah target.

Setelah menelaah dari kedua pemahaman tersebut, penelitian ini akan melihat bagaimana metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana dapat merepresentasikan kehidupan masyarakat Jawa. Berdasarkan data metafora yang ditemukan, penelitian ini hanya akan melihat metafora dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana yang merefleksikan konsep kehidupan masyarakat Jawa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang sudah dijelaskan di atas, penelitian ini merangkum beberapa rumusan masalah yang akan dijawab melalui hasil penelitian sebagai berikut.

1. Apa saja jenis metafora yang digunakan dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana?

2. Bagaimana elemen ranah sumber dan ranah target pada pembentukan metafora dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana?

3. Bagaimana kehidupan masyarakat Jawa tercermin dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana? Mengapa demikian!

1.3 Tujuan Penelitian

(16)

1. Mengklasifikakan jenis metafora yang muncul dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana.

2. Mendeskripsikan elemen ranah sumber dan ranah target pada pembentukan metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana.

3. Menjelaskan kehidupan orang Jawa dari konsep metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana.

1.4 Ruang Lingkup

Penelitian ini merupakan penelitian linguistik yang mengkaji wayang kulit untuk melihat konsep kehidupan masyarakat Jawa dengan pendekatan metafora dan etnolinguistik. Banyaknya seni pertunjukan wayang yang ada di Indonesia, seperti wayang kulit purwa, wayang golek, wayang beber, wayang kancil, wayang suket, dan sebagainya, penelitian ini hanya difokuskan pada wayang kulit purwa khususnya cerita Mahabharata karena dianggap penggunaan bahasa yang digunakan sudah dapat merepresentasikan cerita yang lainnya.

Selain itu, untuk lebih membatasi data temuan yang begitu banyak penelitian ini tidak akan melihat semua metafora wayang kulit, melainkan metafora-metafora tertentu yang mencerminkan kehidupan masyarakat Jawa pada wayang kulit lakon Kilatbuwana. Hal ini dikarenakan penggunaan metafora dalam wayang sangat banyak sekali sehingga temuan data hanya akan dibatasi pada fakta bahasa metaforis yang mencerminkan konsep kehidupan masyarakat Jawa.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat yang akan dibagi dalam dua kategori, yaitu manfaat penelitian secara teoritis dan praktis.

1.5.1 Manfaat Teoritis

Metafora dan etnolinguistik adalah sebuah cabang ilmu linguistik yang mengkorelasikan antara fakta bahasa dengan kebudayaan yang ada. Secara teoritis, penelitian ini akan memberikan sebuah pengetahuan baru dalam bidang ilmu linguistik yang mengkaji wayang kulit dari perspektif bahasa maupun budaya. Lebih dari itu, penelitian ini juga merupakan salah satu upaya untuk pengembangan bidang makro linguistik dalam ranah kebudayaan.

1.5.2 Manfaat Praktis

(17)

5

menunjukkan metafora wayang kulit dalam mencerminkan orang Jawa bisa dijadikan acuan untuk diikuti dari nilai-nilai positifnya untuk hidup yang lebih baik. Harapanya supaya masyarakat dapat belajar dari kebudayaan luhur masa lalu untuk menghadapi kebudayaan baru yang sudah populer.

1.6 Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini menemukan beberapa penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai tinjauan untuk melihat kemurnian dari penelitian sekaligus sebagai acuan untuk lebih baik lagi. Ada beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang metafora ataupun wayang kulit seperti pada penelitian Setyari (2007) yang berjudul Panyandra Bentuk Tubuh Indah Dalam Masyarakat Jawa yang menjelaskan mengenai pembentukan istilah-istilah panyandra , faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kata tersebut, dan cara pandang masyarakat Jawa yang terlihat. Inti dari penelitian yang dilakukan adalah melihat hubungan antara tubuh indah dengan bentuk lingkungan masyarakat Jawa yang cenderung bersifat agraris. Dari keseluruhan data yang ditemukan untuk melihat konsep cantik dalam masyarakat Jawa. Penelitian Panyandra Bentuk Tubuh Indah Dalam Masyarakat Jawa berbeda dengan penelitian yang akan Peneliti lakukan karena dalam penelitian tersebut hanya melihat bentuk tubuh yang indah dari wanita, sedangkan dalam penelitian ini membahas mengenai perilaku baik dan buruk orang Jawa yang dilihat dari bentuk metaforanya.

Selain itu ada Wulandari (2013) yang meneliti tentang Kajian Metafora Dalam Novel Para Priyayi. Penelitian metafora yang dilakukan Wulandari membuktikan bahwa metafora dalam Novel Para Priyayi memiliki bentuk dan jenis, memuat ranah kehidupan masyarakat Jawa, dan mengandung nilai-nilai kearifan budaya Jawa. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa metafora dalam novel Para Priyayi menjelaskan ranah kehidupan masyarakat Jawa dan mengandung nilai-nilai kearifan budaya Jawa. Wulandari tidak menyinggung sama sekali metafora dalam wayang kulit untuk melihat nilai-nilai kearifan budaya Jawa sehingga Peneliti menjadikan penelitian ini sebagai tinjaun untuk penelitian Metafora Wayang Kulit Dalam Mencerminkan orang Jawa. Rachmad Efendi (2012) meneliti tentang Metafora Dalam Percakapan Antar-Tokoh Pada Film The King‟s Speech yang menunjukkan bahwa dalam percakapan antar-tokoh pada film tersebut menggunakan metafora yang terbentuk dari fungsi atau peran elemen penyusunnya serta konteks yang ada di dalamnya.

(18)

Sedangkan untuk etnolinguistik dalam metafora, penelitian milik Ishak Bagea (2013) yang berjudul Metafora Dalam Wacana Pingitan Masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara juga menjadi tinjauan pustaka karena menjadi sebuah acuan untuk melihat pola relasi yang terjadi di masyarakat antara metafora dan kebudayaan yang ada.

Selain itu, Penulis juga menemukan beberapa jurnal yang berkaitan dengan riset pada wayang kulit purwa sebagai sebuah tinjaun pustaka untuk memahami lebih mendalam mengenai wayang kulit itu sendiri. Jones (1957) mengkaji wayang kulit Jawa dan Bali sebagai studi material di Inggris karena ketika penjajahan Inggris atas Indonesia, Raffles sempat membawa beberapa wayang kulit ke Inggris sebagai sebuah koleksi dan akhirnya saat ini wayang tersebut dikoleksi dan diteliti oleh pihak Victoria and Albert Museum di Oxford. Ada lagi peneliti asal Amarika Ward Keeler (1995) yang mengkaji javanese shadow puppet sebagai sebuah seni pertunjukan yang dikorelasikan dengan aspek psikologis dan budaya. Dalam penelitiannya, dia hanya menekankan pada pengaruh Islam yang menggeser nilai-nilai Hiduisme dan Budaisme sebagai akar dari wayang kulit. Riset terakhir mengenai wayang kulit dilakukan oleh Schechner (1990) dengan judul Wayang Kulit in the Colonial Margin yang hanya menekankan pada sejarah singkat perkembangan wayang kulit yang dikomodifikasi oleh pihak kolonial sebagai aset ekonomi dan mengajarkan kepada para dalang untuk bisa menulis supaya terdapat teks naskah pedalangan yang bisa mereka pelajari.

Dari temuan pustaka di atas, belum ada yang secara spesifik membahas mengenai tentang metafora wayang kulit sebagai cerminan kebudayaan masyarakat Jawa. Dari tinjauan tersebut penelitian ini masih bisa dilanjutkan karena sejauh ini belum ada yang pernah menuliskannya, sedangkan dari tinjaun pustaka tersebut akan digunakan sebagai acuan untuk membantu penelitian ini supaya baik hasilnya. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan beberapa konsep penelitian yang sudah ada tersebut sebagai acuan pustaka.

1.7 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori metafora dan etnolinguistik untuk menjawab rumusan masalah yang ada. Hal tersebut dikarenakan kedua teori saling melengkapi untuk menganalisis data yang akan muncul dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana.

1.7.1 Metafora

(19)

7

Knowles dan Moon (2005: 93) bahwa metafora merupakan alat kreatifitas dalam sebuah fenomena kebahasaan karena menjelaskan suatu hal dengan hal lain, sehingga para penulis karya sastra menjadikannya sebuah alat dalam menciptakan karya. Oleh karena itu, metafora dianggap sebagai ekspresi-ekspresi linguistik yang terdapat dalam sistem konseptual seseorang.

Untuk menjawab rumusan masalah yang pertama pada klasifikasi jenis metafora yang ada dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana akan menggunakan teori Lakoff dan Johanson (1980) yang mengklasifikasikan tiga jenis metafora menjadi tiga jenis metafora, yaitu (1) metafora struktural, (2) metafora ontologikal, dan (3) metafora orientasional, dengan masing-masing penjelasannya sebagai berikut.

1.7.1.1 Metafora Struktural

Metafora struktural merupakan jenis metafora yang domain sumbernya membentuk struktur pengetahuan terhadap konsep target, dengan kata lain fungsi kognitif bentuk-bentuk metafora struktural memungkinkan penutur memahami target A dengan makna-makna yang terstruktur dalam sumber B. Namun, pemahaman mengenai metafora struktural terjadi dengan mengkonseptualisasikan elemen-elemen yang ada pada A dan elemen-elemen pada B. Penggunaan konseptualisasi elemen harus sesuai dengan mapping yang tidak hanya menjelaskan ciri-ciri ekspresi yang diartikan tetapi juga membentuk keseluruhan struktur dasar, sehingga tanpa pemahaman ini akan sulit untuk memahami metafora struktural yang menjelaskan struktur dan pemahaman konsep target, seperti kasus yang dicontohkan Lakoff dan Johanson berikut.

Times are things (waktu adalah benda)

The passing of time is motion (pergantian waktu adalah gerakan)

Dari kedua contoh di atas, bahasa Inggris menunjukkan bahwa kebudayaan di sana menganggap time (waktu) merupakan sesuatu yang memiliki elemen dasar, yaitu obyek fisik, loksasi, dan pergerakannya. Elemen tersebut terstruktur dengan beberapa mapping yang muncul dalam kalimat bahasa Inggris seperti berikut.

The time for action has arrived (waktu untuk beraksi telah tiba)

The time will come when... (waktu akan datang ketika...)

Time is flying by (waktu terbamg tinggi)

(20)

1.7.1.2 Metafora Ontologikal

Metafora ontologikal atau ontological metaphor kurang lebih membentuk struktur kognisi untuk konsep target daripada yang dilakukan metafora struktural. Metafora yang masuk dalam kategori ontologikal merupakan bentuk kategori umum dari sebuah konsep target yang abstrak dikonseptualisasikan menjadi sebuah bentuk entitas yang konkrit. Metafora ontologikal melihat kejadian , aktifitas, emosi, sebagai entitas dan substansi. Selain itu juga metafora ontologikal untuk mengklasifikasikan pemahaman mengenai kejadian, tindakan, aktifitas, dan keadaan. Kejadian-kejadian dan berbagai tindakan dikonseptualisasikan secara metafora sebagai obyek-obyek, aktifitas sebagai sub-stance, keadaan sebagai

container. Selain itu semua, bentuk klasifakasi metafora ontologikal lainnya adalah personifikasi (Lakoff dan Johanson, 2003: 25—33). Berikut adalah gambaran singkat mengenai metafora ontologikal.

source domain target domain

physical object nonphysical or abstract entities (e.g., the mind)

event (e.g going to the race)

actions (e.g giving someone a call)

substance activities (e.g., a lot of running in the game)

container undelineated physical obyek (e.g., clearing the forest)

surfaces (e.g., land areas, the visual field)

states (e.g., in love)

(Kovecses, 2002: 35)

1.7.1.3 Metafora Orientasional

(21)

9

pada pengaruh budaya sehingga memungkinkan untuk terjadi perbedaan pemahaman mengenai orientasi dari suatu budaya dengan budaya lain.

more is up; less is down : Speak up, please. Keep your voice down, please.

healthy is up; sick is down : Lazarus rose from the dead. He fell ill. conscious is up; unconscious is down: Wake up. He sank into a coma.

control is up; lack of control is down : I‟m on top of the situation. He is under my

rational is up; nonrational is down : The discussion fell to an emotional level. He couldn‟t rise above his emotions.

Contoh di atas merupakan bentuk metafora orientasi yang dicontohkan Kovecses (2002: 36) bahwa posisi up atau atas cenderung bermakna positif daripada orientasi down yang mengacu pada sesuatu yang negatif. Namun, apa yang dicontohkan oleh Kovecses tersebut merupakan pengalaman fisik yang terjadi pada kebudayaan di Inggris, sedangkan pada penelitian ini nantinya akan melihat apakah ruang orientasi orang Jawa berbeda dengan orang Inggris atau sama dari yang terlihat pada data metafora orientasional di wayang kulit lakon Kilatbuwana.

1.7. 2 Elemen Pembentuk Ranah Sumber dan Ranah Target Metafora Wayang Kulit Lakon Kilatbuwana

Untuk menjawab rumusan masalah kedua mengenai bagaimana elemen pembentuk metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana menggunakan teori source domain dan target domain. Dalam melihat kasus pada temuan data metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana menggunakan teori dari Kovecses (2005: 15— 25) yang menjelaskan bagaimana source domain dan target domain terbentuk. Ada beberapa penjelasan menurut Kovecses bahwa secara umum source domain

(22)

1.7.3 Etnolinguistik

Agar bisa melihat konsep kehidupan masyarakat Jawa dalam pewayangan melalui metaforanya, penelitian ini juga menggunakan teori linguistik antropologis atau yang juga dikenal sebagai etnolinguistik. Teori ini juga dijelaskan dalam linguistic relativity yang dicontohkan oleh linguis sekaligus filosofer Jerman pada abad ke-18, Wilhem von Humboldt, bahwa struktur bahasa mencerminkan dunia dan ada hubungan antara bahasa, pikiran, pandangan hidup, dan budaya (Trask, 1999: 112).

Awal dari teori etnolinguistik ini dipicu sejak seorang antropolog Amerika, Franz Boas, melakukan penelitian pada masyarakat Indian Amerika. Boas mengungkapkan bahwa untuk memahami adat istiadat dan kepercayaan suatu masyarakat daerah, seorang peneliti harus mengerti bahasa yang mereka gunakan karena bahasa merupakan bagian terpenting untuk mengetahui mental kehidupan masyarakat. Dia memandang peran bahasa dalam kehidupan bisa dijadikan petunjuk untuk melihat sistem kebudayaan yang ada. Kemudian setelah peninggalan Boas, gagasan tersebut dilanjutkan oleh muridnya Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf yang mengungkapkan bahwa bahasa mengandung esensi penting dalam suatu ekspresi kebudayaan yang dikenal dengan semua orang dan mereka juga mempercayai bahwa struktur dari bahasa mengandung teori dari struktur alam semesta (Duranti, 1997: 56—58).

Pandangan bahwa bahasa merefleksikan kebudayaan tidak hanya dipahami oleh Boas, Sapir, maupun Whorf, melainkan juga Wilhem van Humbolt yang beranggapan bahwa setiap bahasa mengandung karakteristik pandangan hidup dari seseorang. Bahasa merupakan mediasi antara manusia dan alam yang mempengaruhinya. Selain itu, Humbolt juga beranggapan bahwa setiap bahasa menggambarkan lingkaran kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya (Wierzbicka, 1992: 3).

Dari beberapa pandangan terhadap bahasa dan kebudayaan, kemudian teori ini dikembangkan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf yang menggagas bahasa mencerminkan kebudayaan dalam sebuah hipotesis yang sering dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf (Sampson, 1980: 80—102). Hipotesis tersebut menunjukkan bahwa bahasa membentuk persepsi manusia terhadap realitas dunia, sehingga penutur bahasa memandang realitas dunia dapat terlihat dari bahasanya (Ahaern, 2012: 40). Hipotesis Sapir-Whorf juga didukung oleh Ward Goodenough (1957|1964: 36) yang menyatakan bahwa kebudayaan bukan hanya bentuk fenomena material saja melainkan juga pengaturan berbagai hal pada bentuk-bentuk yang ada dalam pikiran manusia yang direfleksikan dalam bahasa (Duranti, 1997: 27).

(23)

11

lagi, Wierzbicka (1992: 63) sebuah bahasa bisa dianggap sebagai sebuah clues untuk melihat perbedaan kebudayaan secara universal dan hal demikian juga mengacu pada bukti sebagai etnofilosofi modern yang berlaku. Oleh karena itu, bahasa yang dimaksudkan dalam penjelasan teori tersebut terdapat dalam metafora-metafora di pewayangan, sehingga teori ini akan mengungkapkan kehidupan masyarakat Jawa dari metafora yang ada.

1.8 Metode Penelitian

Berdasarkan tahap dan pelaksanaannya, metode penelitian ini terdiri dari cara penyediaan data, cara analisis, dan cara pemaparan hasil data (Sudaryanto, 1992: 57). Hal tersebut merupakan metode paling mendasar dalam sebuah penelitian linguistik.

1.8.1 Metode Pengumpulan Data

Cara penyediaan atau pengumpulan data penelitian ini dengan mencari transkripsi teks pedalangan lakon Kilatbuwana yang kemudian dikoreksi dengan dalang secara garis besarnya kemudian dituliskan sebagai sebuah data. Data yang dikumpulkan oleh peneliti pada dasarnya menggunakan hasil riset dari tim Akademi Seni Karawitan Indonesia (AKSI) Surakarta yang mentranskripsikan beberapa teks pedalangan khususnya lakon-lakon carangan dari beberapa dalang yang ada.

Dari beberapa teks pedalangan yang sudah ditranskripsikan oleh AKSI, penelitian ini mengambil salah satu lakon sebagai bentuk studi kasus penelitian metafora, yaitu lakon Kilatbuwana. Teks lakon carangan Kilatbuwana tersebut kemudian diidentifikasi bentuk metafora apa saja yang sekiranya muncul dan bisa menjadi sebuah data.

1.8.2 Metode Analisis Data

Setelah data dikumpulkan secara cukup untuk mendapatkan gambaran umum tentang konsep perilaku orang Jawa dalam metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana, kemudian data tersebut dianalisis sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini, yaitu dengan klasifikasi temuan data sesuai dengan teori yang digunakan, menganalisis ranah kehidupan masyarakat Jawa, dan menganalisis lebih mendalam aspek kebudayaan dalam temuan metafora tersebut.

(24)

Metode tersebut cocok untuk penelitian model etnolinguistik karena aspek bahasa maupun aspek budaya akan diperhatikan dengan seksama. Dengan menggunakan metode tersebut akan meminimalisis kemungkinan untuk melakukan kesalahan proses pengerjaan. Hal demikian dilakukan karena penelitian ini bersifat kajian pustaka dan lapangan, sehingga peneliti harus bisa lebih terstruktur dalam proses pencarian data supaya tidak terjadi kesalahan dan pengulangan pengambilan data.

1.8.3 Metode Penyajian Data

Setelah data dianalisis, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil analisis data. Hasil analisis data pada penelitian ini disajikan dengan menjabarkan keseluruhan penjelasan dari rumusan masalah yang ada, yaitu dengan menyajikan jenis-jenis metafora yang muncul pada wayang kulit lakon Kilatbuwana, menyajikan analisis ranah sumber dan ranah target pembentuk metafora, dan menyajikan penjabaran mengenai kehidupan masyarakat Jawa yang tercermin dalam wayang kulit.

1.9 Sistematika Penyajian

(25)

13

BAB II

JENIS METAFORA

2.1 Pengantar

Metafora merupakan sebuah bentuk linguistik yang didesign untuk menggambarkan atau membentuk suatu yang dirasa menyerupai berdasarkan hasil berfikir manusia (Trask, 1999: 123). Kekuatan metafora juga digunakan untuk memahami lebih jauh lagi makna dari sebuah pengalaman yang dialami sehingga dapat mendefinisikan realita kehidupan manusia (Feinstein, 1982: 45). Secara umum metafora merupakan hasil percapakan antara manusia yang mengkonseptualisasikan suatu tuturan atau ekspresi lain dalam sebuah bentuk kata lain, seperti sebuah usaha untuk mengkonstruksi keseluruhan kalimat dari sebuah kata-kata yang digunakan sebagai bentuk metafora dan mencerminkan pikiran, tindakan, perasaan, dan tujuan penutur (Black, 1955: 275—277).

Menurut Aristoteles menyebutkan bahwa metafora adalah “giving the thing a

name that belongs to something else‖ atau sebuah pemberian bentuk dari suatu hal

yang juga dimiliki hal lain sehingga metafora disebut sebagai sebuah sign of genius, tetapi harus melalui proses pemahaman terhadap dunia melalui istilah-istilah kategorisasi yang dipelajari diwariskan oleh manusia (Hartman, 1982: 328). Oleh karena itu, berbagai pengalaman dan pengetahuan manusia dari hasil berfikirnya tertuangkan dalam sebuah bentuk metafora sebagai suatu bentuk ekspresi manusia dalam berbicara.

Dalam bagian ini metafora merupakan sebuah hasil berfikir manusia dari berbagai pengalaman dan pengetahuan manusia terhadap dunia sehingga muncul banyak sekali konsep metafora. Konsep metafora sendiri bisa diklasifikasikan berdasarkan fungsi kognisi manusia bahwa mereka muncul atau diungkapkan berdasarkan tiga jenis konseptual metafora secara umum yang dibedakan ke dalam metafora struktural, metafora ontologikal, dan metafora oriental (Kovecses, 2002: 33).

2.2 Metafora Struktural

(26)

(II.1) KILATBUWANA: [...] Ingkeng ndak wenangke darbe pitakon luwih dhisik anakku Prabu Duryudana. Ngelmu ingkang bapa tawunen lan usungana pupung aku isih urip, Ngger.

KILATBUWANA: [...] Yang ku persilahkan untuk bertanya lebih dahulu anakku Prabu Duryudana. Ilmu Bapa kuraslah dan angkatlah selagi aku masih hidup, Ngger.

(Feinstein, dkk, 1986: 10)

Penjelasan:

Dari perkataan Kilatbuwana tersebut, dia menggunakan kata tawunen dan

usungana yang merupakan bentuk kata kerja. Penggunaan kata tawunen atau kuraslah biasanya digunakan untuk obyek yang berkaitan dengan air seperti menguras kolam, bak mandi, maupun penampungan air lainnya. Sedangkan kata

usungana atau angkatlah biasanya digunakan untuk obyek benda yang bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain.

Kedua kata yang digunakan tersebut merupakan bentuk metafora struktural yang menjelaskan sebuah kata dengan kata lain, yaitu dalam konteks tersebut Kilatbuwana memiliki sebuah ilmu yang diibaratkan bahwa dia merupakan sebuah wadah ilmu seperti wadah air yang kemudian dijelaskan dengan penggunaan metafora tawunen atau kuraslah. Sedangkan kata usungana atau angkatlah juga merupakan metafora struktural yang melanjutkan metafora sebelumnya, sehingga pada konteks tersebut Duryudana diibaratkan sebagai seorang yang harus menguras air dan mengangkatnya untuk kebutuhannya, layaknya seperti seorang yang mencari air kemudian menyimpannya untuk suatu kebutuhan.

Contoh (II.1) tersebut menunjukkan bahwa ekspresi metafora tawunen dan

usungana membentuk sebuah konseptual metafora ILMU ADALAH AIR sehingga bisa ditawu dan diusung oleh seseorang.

(II.2) DURYUDANA: inggih, menawi dipun keparengaken ingkang putra nyuwun kalidamar pepadhang kula kepingin mangertos mengah margining kamulyan, kajen-kineringan salebetipun gesang wonten Madyapada menika saratipun menapa?

DURYUDANA: ya, jika diperbolehkan putramu ini minta pencerahan yang saya ingin mengerti tentang jalan kemakmuran, supaya dihormati selama hidup di dunia selalu itu syaratnya apa?

(27)

15

Penjelasan:

Pada contoh (II.2) ekspresi metafora yang muncul dalam kalimat tersebut adalah

margining atau jalannya yang diasosiasikan dengan kamulyan atau kemakmuran. Dalam konteks tersebut kemakmuran diasosiasikan dengan suatu tujuan atau alamat yang bisa dituju dengan menggunakan kata jalan, sehingga kalimat tersebut menjadi metaforis karena kemakmuran dijelaskan seperti sebuah alamat yang bisa dituju dan diberikan arah.

(II.3) KILATBUWANA: [...] Mula piwulang wirya, harta, tri winasis mau kudu tinutup lan kinunci klayan kelakuwan becik, muna -muni, sola h-tingkah lan solah-bawa saben dina.

KILATBUWANA: [...] Sehingga ketiga ajaran wirya, harta, tri winasis tersebut harus ditutup dan dikunci dengan kelakuan baik, perkataan, perilaku, dan kesopanan berkata setiap hari.

(Feinstein, dkk, 1986: 10)

Penjelasan:

Dalam contoh kalimat (II.3) Kilatbuwana memberikan ajaran berperilaku baik dengan menggunakan ungkapan metaforis yaitu pada kata tinutup dan kinunci

atau ditutup dan dikunci. Penggunaan metafora tersebut dikarenakan untuk mengasosiasikan bahwa ajaran wirya, harta, dan tri winasis merupakan sebuah bentuk yang bisa lepas dari ruangan yang ada pintunya sehingga harus ditutup dan dikunci dengan kelakuan baik, perkataan, perilaku, dan kesopanan.

Pada contoh (II.3) ekspresi metafora muncul pada kata tinutup dan kinunci yang membentuk metafora konseptual WIRYA, HARTA, WINASIS ADALAH RUANGAN sehingga bisa ditutup dan dikunci supaya tidak lepas dari pemiliknya.

(II.4) PUNTADEWA: Nuwun inggih, menawi keng putra ing Ngamarta dipun keparengaken nyuwun katrangan menggah kula nate mireng bilih wonten sandhanganing raga lan sandhanganing jiwa menika kadospundi?

PUNTADEWA: iya, jika putra Amarta diperbolehkan minta keterangan seperti saya pernah dengar jika pakaiannya raga dan pakaiannya jiwa itu seperti apa?

(28)

Penjelasan:

Kata sandhangan atau pakaian dalam kalimat yang diungkapkan oleh Puntadewa merupakan bentuk metafora karena diasosiasikan dengan jiwa yang secara alami tidak memiliki wujud. Jiwa merupakan hal yang berbeda dengan tubuh yang memiliki bentuk sehingga Plato dalam tulisannya menyebutkan dualisme dalam manusia, yaitu body dan soul (Synnott, 1993: 7—10). Dia menjelaskan bahwa dalam manusia, tubuh merupakan penjara bagi jiwa. Namun, bagi orang Jawa terlihat dari esensi kalimat Puntadewa bahwa jiwa sama halnya dengan raga karena bisa diberikan sandhangan atau pakaian. Oleh karena itu, dalam konteks tersebut jiwa diasosiasikan dengan tubuh yang terlihat oleh mata dan bisa diberi pakaian untuk menutupinya dan menjadikannya lebih enak dipandang. Ekspresi metafora sandhangan pada contoh (II.4) membentuk metafora konseptual JIWA ADALAH TUBUH sehingga harus ditutupi dengan pakaian supaya lebih baik dan sopan.

(II.5) PUNTADEWA: Nun, sokur sakethi mangayubagya jumurung. Mboten ketang namung sakglugut tambah seserepan kula.

PUNTADEWA: ya, syukur seribu kebahagiaan sudah memahamkan. Meskipun cuma sakglugut menambah pengetahuan saya.

(Feinstein, dkk, 1986: 11)

Penjelasan:

Esensi dari kalimat tersebut bahwa Puntadewa mungacapkan banyak terimakasih sudah mendapatkan penjelasan meskipun hanya sedikit. Bentuk ekspresi metafora struktural yang muncul dalam kalimat tersebut muncul pada kata sakglugut. Dalam bahasa Indonesia, glugut adalah serbuk pada pohon bambu yang dapat menjadikan gatal-gatal dalam tubuh kalau terkena. Bentuk dari glugut sendiri adalah kecil-kecil dan bertebaran seperti sebuah potongan rambut-rambut pendek yang habis dicukur, sehingga kata tersebut memiliki kesan sedikit dan kecil. Sedangkan imbuhan sak pada kata sakglugut menegaskan bahwa jumlah yang sedikit. Oleh karena itu, bentuk metafora sakglugut tersebut dikonseptualisasikan dengan pengetahuan yang disampaikan secara singkat oleh Kilatbuwana pada Puntadewa sehingga dapat menambah sedikit pengetahuannya.

(29)

17

WERKUDARA: kamu adalah seorang guru harus menjadi sendang, harus mau dicidhuk, ditimba, jangan memiliki rasa curiga.

(Feinstein, dkk, 1986: 11)

Penjelasan:

Guru merupakan salah satu sumber ilmu sehingga guru diasosiasikan dengan sendang. Terdapat tiga bentuk metafora sekaligus dalam kalimat yang diungkapkan oleh Werkudara tersebut, yaitu sendang, dicidhuk, dan ditimba. Ketiga bentuk metafora tersebut menunjukkan bahwa seorang guru diasosiasikan dengan sebuah tempat air yang bisa diambil dengan gayung maupun ember. Kata

dicidhuk dan ditimba dikonseptualisasikan untuk seorang murid yang harus mengambil ilmu dari seorang guru dan seorang guru juga tidak boleh enggan untuk membagikan ilmunya –yang diasosiasikan seperti air- kepada murid-muridnya. Oleh karena itu, pada konteks tersebut, guru diasosiasikan seperti sendang karena harus bisa menampung air atau ilmu yang banyak untuk dibagi-bagikan kepada muridnya.

Ekspresi metafora pada contoh (II.6) tidak berbeda dengan contoh (II.1) bahwa ILMU ADALAH AIR dan GURU ADALAH TEMPAT AIR oleh karena itu guru diasosiasikan dengan sendang sehingga bisa didapatkan airnya.

(II.7) KRESNA: [...] perang gedhe mau dudu samubarang sinangga entheng, sabab iku kinodrat minangka dadi wates ing antarane jaman peteng myang jaman padhang, ing antarane sirnaning angkara murka, tuwuhing kautaman. [...] Mula aku wani ngendika ing ngarep, katone panemu nggonmu bakal murungake Bratayuddha Jayabinangun iku kaya bener lan becik, nanging sejatine, Panembahan, iku sawijining kang bakal gawe butheking kahanan Ngastina lan Ngamarta.

KRESNA: [...] perang besar itu bukan sesuatu yang berasa ringan, sebab itu sudah ditakdirkan sebagai batas antara jaman kegelapan ke jaman terang, di antaranya hilangnya angkara murka, tumbuhnya keutamaan [...] sehingga saya berani bicara di depan, sepertinya pendapatmu yang akan menggagalkan Bratayuddha Jayabinangun itu seakan benar dan baik, tapi sejatinya, Panembahan, itu salah satu yang akan membuat keruhnya suasana Astina dan Amarta.

(Feinstein, dkk, 1986: 23)

(30)

Pada pecakapan yang diungkapkan oleh Kresna tersebut terdapat banyak unsur metaforis di dalamnya seperti jaman peteng, jaman padhang, tuwuhing, dan

butheking. Pada konteks jaman peteng atau jaman kegelapan ke jaman padhang

atau jaman terang mengkonseptualisasikan bahwa jaman peteng adalah keadaan ketika masyarakat masih dalam belenggu kejahatan dan situasi belum dalam. Pada sebuah kasus jaman peteng biasa diasosiasikan seperti era penjajahan ketika bangsa pribumi dijajah oleh kolonial sehingga peteng dikonseptualisasikan sebagai sebuah keadaan yang tidak bahagia, sedangkan untuk jaman padhang

diasosiasikan dengan keadaan yang bahagia maupun sejahtera. Pada konteks tersebut harus ada perang untuk menuju ke jaman padhang bisa dicontohkan seperti sebuah perjuangan bangsa Indonesia berperang melawan Kolonial untuk merdeka dan hidup sejahtera tanpa ada penjajahan, sehingga bisa diasosiasikan dengan jaman padhang.

Bentuk ekspresi metafora tuwuhing kautaman atau tumbuhnya keutamaan maupun kebaikan dikonseptualisasikan bahwa keutamaan atau kebaikan seperti sebuah tanaman atau kehidupan. Oleh karena itu, supaya tanaman bisa tumbuh dengan baik harus dirawat dengan baik sehingga hasil dari tanaman tersebut juga akan baik. Ekspresi metafora ini diasosiasikan dengan kehidupan manusia bahwa manusia harus selalu memupuk dan menjaga kehidupan supaya nantinya menjadi tumbuh menjadi manusia yang berkualitan dan menghasilkan sesuatu keutamaan atau kebaikan bagi sesama. Bentuk ekspresi metafora tersebut membentuk metafora konseptual KEUTAMAAN ADALAH TUMBUHAN BERBUAH.

Pada bentuk ekspresi metafora struktural yang terakhir muncul pada kata

butheking kahanan atau keruhnya keadaan. Dalam hal ini keadaan diasosiasikan dengan air yang bisa jernih dan keruh sehingga apabila ada seseorang yang ingin mengobok-obok air yang sudah tenang dan bening bisa jadi keadaan dalam air tersebut menjadi tidak tenang lagi dan keruh karena perilaku yang tidak baik. Ekspresi metafora tersebut membentuk metafora konseptual KEADAAN ADALAH AIR. dirinya dengan merdeka terhadap keadaan apapun. Miskin ya senang, kaya ya bersyukur itu orang yang sudah bertempat di surga yang abadi.

(Feinstein, dkk, 1986: 72)

(31)

19

Kata merdika atau merdeka merupakan bentuk kata nominal yang merujuk pada suatu kebebasan sesuatu. Konteks tersebut merujuk pada kepribadian yang diasosiasikan sebagai bentuk yang bisa terjajah dan bisa merdeka, sehingga pribadi dikonseptualisasikan seperti keadaan yang harus merdeka untuk bisa menikmati nikmat dunia. Biasanya kata merdeka untuk mengacu pada sebuah kedaulatan negara. Bentuk tersebut merupakan ekspresi metafora struktural karena kata merdika sehingga menjelaskan metafora konseptual PASRAH ADALAH MERDEKA. Hal demikian dikarenakan orang yang sudah dapat memasrahkan keadaannya dalam situasi apapun maka dia sudah bisa melepaskan diri dari konstruksi sosial yang sering membelenggu kehidupan manusia.

(II.9) SEMAR: [...] aja sok meksa, sing gelem ngabekti men gabekti, nek ra gelem ya wis men, wong kuwi ngundhuh wohing pakerti.

SEMAR: [...] jangan suka memaksa, yang mau berbakti ya berbakti, kalau tidak mau ya sudahlah. Orang itu memanen buahnya perilaku.

(Feinstein, dkk, 1986: 106)

Penjelasan:

Pada bentuk metafora struktural di atas menjukkan bahwa perilaku diasosiasikan seperti tumbuhan dan buahnya dengan adanya ekspresi metafora ngundhuh wohing atau memanen buah. Metafora tersebut mengkonseptualisasikan kehidupan dan perilaku seperti tumbuhan yang dapat berbuah, sehingga untuk dapat menikmati tumbuhan dan buah yang bagus harus dirawat dan dijaga dengan baik pula seperti perilaku. Oleh karena itu, pada contoh (II.9) menunjukkan bahwa ekspresi metafora ngundhuh wohing membentuk metafora konseptual BUDI PEKERTI ADALAH TANAMAN BERBUAH karena bisa menghasilkan buah yang dikonseptualisasikan dengan akibat dari perbuatan.

(II.10) SEMAR: e, Petruk, suwe-suwe kok rembugmu gawe panas ati. Kowe ora ngabekti ya sakarepmu ning aja eneng garepku. Aku lagi butheg pikirku.

SEMAR: e, Petruk, lama-lama kok perkataanmu membuat hati panas. Kamu tidak berbakti yang silahkan tapi jangan di hadapanku. Aku lagi keruh pikiran.

(Feinstein, dkk, 1986: 106)

(32)

Kata butheg atau keruh merupakan bentuk penanda metafora struktural untuk menjelaskan suatu hal dengan hal yang lain. Pada konteks tersebut penanda ekspresi metafora struktural butheg untuk mengkonseptualisasikan pikiran dan mengasosiasikannya bahwa pikiran seperti air yang bisa keruh maupun jernih. Oleh karena itu, pada contoh (II.10) juga membentuk metafora konseptual PIKIRAN ADALAH AIR.

(II.11) SEKTISORA: satriya, bagus nanging letheg bebudenmu [...]

SEKTISORA: satriya, tampan tapi kotor budimu [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 128)

Penjelasan:

Kata letheg merupakan bentuk ekspresi metafora struktural untuk mengasosiasikan budi sebagai sebuah benda yang bisa kotor. Biasanya dalam kata

letheg digunakan oleh orang Jawa untuk mengacu pada baju kotor. Oleh karena itu, letheg menjadi penanda metafora struktural untuk menjelaskan budi yang bisa kotor kalau tidak dijaga kebersihannya. Ekspresi metafora letheg pada contoh (II.11) membentuk metafora konseptual BUDI ADALAH SESUATU YANG BISA KOTOR.

(II.12) BRAMANGKARA: [...] Kanjeng Panembahan Kilatbuwana kuwi ingkang ngukir jiwa ragaku [...]

BRAMANGKARA: [...] Kanjeng Panembahan Kilatbuwana itu yang mengukir jiwa ragaku [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 172)

Penjelasan:

(33)

21

(II.13) LAMBANGCITRA: kula niku gadhah bojo loro wae le ngingoni wis megap-megap

LAMBANGCITRA: saya itu punya isteri dua saja memeliharanya sudah sesak nafas

(Feinstein, dkk, 1986: 175)

Penjelasan:

Bentuk di atas terdapat dua bentuk penanda metafora struktural yaitu ngingoni

yang berarti memelihara dan wis megap-megap yang diartikan secara bebas ‗sudah sesak nafas‘. Penanda metafora struktural tersebut dikonsepkan untuk mengasosiasikan bojo atau isteri seperti sebuah peliharaan yang harus diberi makan, sedangkan wis megap-megap atau ‗sesak nafas‘ merupakan penanda

metafora struktural yang mengkonseptualisasikan bahwa seakan-akan tenggelam dan kehabisan nafas ingin mati. Dengan penjelasan tersebut contoh (II.13) menunjukkan metafora konseptual ISTRI ADALAH PELIHARAAN.

(II.14) SEMAR: [...] sang adi Panembahan Abiyasa kuwi wis ngumbah jiwa karo ngumbah raga

SEMAR: [...] sang adi Panembahan Abiyasa itu sudah mencuci jiwa dan mencuci raga

(Feinstein, dkk, 1986: 193)

Penjelasan:

Bentuk metafora struktural di atas terdapat pada kata ngumbah yang memiliki arti mencuci. Dari bentuk tersebut ‗jiwa‘ dan ‗raga‘ diasosiasikan seperti benda yang bisa kotor dan harus dicuci untuk membersihkannya. Oleh karena itu, Abiyasa yang dikenal sebagai orang suci dikonseptualisasikan bahwa dia sudah mencuci jiwa dan raganya. Pada contoh (II.14) ekspresi metafora ngumbah yang diikuti dengan jiwa dan raga membentuk metafora konseptual JIWA RAGA ADALAH BENDA YANG BISA KOTOR karena harus dikumbah.

(II.15) KILATBUWANA: wis, saiki menepke pikirmu [...]

KILATBUWANA: sudah, sekarang endapkan pikiranmu [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 246)

Penjelasan:

Menepke memiliki arti ‗endapkan‘ yang mengacu pada keadaan suatu air yang

(34)

yang sedang keruh sehingga harus diendapkan lebih dahulu supaya bisa jernih kembali. Biasanya metafora tersebut muncul untuk mengkonseptualisasikan keadaan pikiran yang sedang tidak tenang, gelisah, dan banyak masalah. Oleh karena itu, ekspresi metafora menepke tersebut membentuk meafora konseptual PIKIRAN ADALAH AIR karena harus diendapkan.

(II.16) KILATBUWANA: he, e, ngger, panjenengan kaki prabu gegununganing Praja Ngastina [...]

KILATBUWANA: he, e, nak, kamu adalah prabu gegununganing kerajaan Astina

(Feinstein, dkk, 1986: 292)

Penjelasan:

Pada ekspresi metafora gegununganing memiliki bentuk dasar gunung. Dari bentuk tersebut seorang raja diasosiasikan dengan gunung. Hal tersebut dikarenakan gunung adalah tempat paling tinggi yang berada di bumi. Oleh karena itu, ekspresi metafora gegununganing tersebut membentuk metafora konseptual RAJA ADALAH GUNUNG karena memiliki posisi yang tinggi di masyarakat.

2.3 Metafora Ontologikal

Metafora ontologikal atau ontological metaphor kurang lebih membentuk struktur kognisi untuk konsep target daripada yang dilakukan metafora struktural. Metafora yang masuk dalam kategori ontologikal merupakan bentuk kategori umum dari sebuah konsep target yang abstrak dikonseptualisasikan menjadi sebuah bentuk entitas yang konkrit. Berikut adalah temuan data pada lakon Kilatbuwana.

(II.17) SENGKUNI: weh, swarane wis atos.

SENGKUNI: weh, suaranya sudah keras

(Feinstein, dkk, 1986: 51)

Penjelasan:

(35)

23

menyakitkan, sehingga kesan yang diberikan pada metafora tersebut bahwa suara menjadi sebuah hal abstrak yang bisa dirasakan.

(II.18) CANTRIK: [...] Nyawang priyayi bagus ngendikane alus nyang ati

CANTRIK: [...] melihat orang tampan berbicara halus di hati

(Feinstein, dkk, 1986: 69)

Penjelasan:

Pada teks tersebut penanda metafora ontologikal terdapat pada kata alus nyang ati

atau ‗halus di hati‘. Bentuk tersebut digunakan untuk mengikuti kata suara yang merupakan bentuk tidak terlihat dan tidak bisa dirasakan. Dengan metafora ontologikal, suara diasosiasikan seperti benda yang bisa dirasakan seperti kasar dan halusnya. Pada teks di atas alus juga mengasosiasikan hati seperti indera perasa karena bisa merasakan halus dan kasarnya.

(II.19) ABIYASA: [...] ora ana peteng kang ora bisa dipadhangi. Awit sangka pembudidaya kang sinarta anteping tekad lang bantering panyuwun.

ABIYASA: [...] tidak ada gelap yang tidak bisa diterangi. Sebab dari usaha yang diikuti kemantapan tekad dan terus-menerus permintaan.

(Feinstein, dkk, 1986: 71)

Penjelasan:

Pada teks di atas penanda metafora ontologikal terdapat pada kata peteng ‗gelap‘

dan dipadhangi ‗diterangi‘. Kata peteng dan padhang pada dasarnya mengacu pada sebuah pencahayaan, tetapi karena berdasarkan pengalaman berfikir, kedua penanda metafora ontologikal tersebut digunakan untuk mengacu pada suatu keadaan buruk ke arah keadaan yang terang sehingga sesuatu yang abstrak seperti keadaan menjadi entitas karena bisa diterangi.

(II.20) SEMAR: e, Petruk, suwe-suwe kok rembugmu gawe panas ati. Kowe ora ngabekti ya sakarepmu ning aja eneng ngarepku. Aja nambah butheg pikirku.

(36)

(Feinstein, dkk, 1986: 106)

Penjelasan:

Kalimat di atas terdapat dua penanda metafora ontologikal yaitu pada gawe panas ati dan nambah butheg pikirku. Bentuk gawe panas ati atau ‗membuat hati panas‘

merupakan bentuk metafora ontologikal dengan mengasosiasikan hati yang panas menjadi sebuah bentuk kejadian, sedangkan nambah butheg pikirku atau ‗menambah keruh pikiranku‘ mengasosiasikan bahwa pikiran yang berupa benda abstrak menjadi konkrit karena bisa ditambah dan dikurangi. Oleh karena itu, pada kalimat di atas merupakan bentuk metafora ontologikal karena menjelaskan sebuah keadaan dan mengasosiasikan hal abstrak menjadi terkesan konkrit.

(II.21) ABIYASA: iki suwargane wong tua kang darbe anak putu padha mukti wibawa ana ing praja

ABIYASA: ini surganya orang tua yang memiliki anak cucu berbakti dan berwibawa untuknegara

(Feinstein, dkk, 1986: 199)

Penjelasan:

Pada bentuk teks di atas, penanda metafora ontologikal terdapat pada kata

suwargane wong tua atau ‗surganya orang tua‘. Surga merupakan area atau lokasi

yang mengacu pada sebuah keindahan dan kenikmatan. Pada konteks tersebut orang tua memiliki anak dan cucu yang berbakti dan berwibawa untuk negara sama halnya memiliki surga. Oleh karena itu, teks di atas termasuk dalam CONTAINER.

(II.22) KILATBUWANA: [...] rasa iku kanggo nenimbang samubarang [...]

KILATBUWANA: [...] rasa itu untuk menimbang sesuatu [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 11)

Penjelasan:

Pada teks di atas merupakan bentuk metafora ontologikal karena terdapat kata

nenimbang atau menimbang. Kata tersebut muncul untuk mengikuti kata ‗rasa‘

(37)

25

memutuskan sesuatu sehingga muncul ekspresi metafora nenimbang pada contoh tersebut.

(II.23) KILATBUWANA: [...] Anak ora bakal bisa mbales sepira bobot katresnaning ibu.

KILATBUWANA: [...] anak tidak mungkin bisa membalas berapa beratnya rasa cinta ibu.

(Feinstein, dkk, 1986: 13)

Penjelasan:

Bobot atau berat merupakan sebuah kata yang mengacu pada beban sebuah benda. Pada teks di atas kata bobot diikuti oleh katresnaning atau ‗rasa cinta‘ sehingga

menjadikan bentuk tersebut menjadi metafora ontologikal. Katresnaning atau ‗rasa cinta‘ merupakan sesuatu yang abstrak dan tidak terlihat diasosiasikan sebagai sebuah benda yang memiliki sebuah ukuran masa dengan menambahkan kata bobot sehingga bentuk abstrak pada katresnaning menjadi terkesan konkrit.

(II.24) NAKULA: Ingkang badhe kula suwunake katrangan dhateng Bapa Panembahan Begawan Kilatbuwana [...]

NAKULA: yang akan saya mintakan keterangan pada Bapa Panembahan Begawan Kilatbuwana [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 14)

Penjelasan:

Pada teks tersebut merupakan bentuk metafora ontologikal yang ditandai dengan kata suwunake atau ‗mintakan‘ diikuti katrangan atau ‗keterangan‘. Keterangan

merupakan sesuatu yang abstrak tetapi diasosiasikan sebagai sebuah benda yang bisa berpindah tempat dan dimiliki sehingga memiliki kesan bentuk metafora tersebut menjadikan sesuatu yang abstrak menjadi bentuk yang konkrit.

(II.25) DURYUDANA: wadhuh, sewu sembah ngaturaken genging panuwun

DURYUDANA: wadhuh, seribu hormat saya ucapkan basarnya terima kasih

(Feinstein, dkk, 1986: 16)

(38)

Penggunaan kata sewu sembah atau ‗seribu hormat‘ tersebut merupakan bentuk

metafora ontologikal. Hal tersebut dikarenakan kata ‗sembah‘ merupakan benda abstrak yang tidak terlihat tetapi diasosiasikan seperti sebuah benda konkrit yang bisa dihitung dengan penambahan kata sewu sebelum kata sembah.

(II.26) GARENG: o, alah, Truk, mbok ya sing rada sopan neh, rumangsaku kok kaya ora tau nampa wulangan.

GARENG: o, alah, Truk, sedikit sopanlah, perasaanku kok seperti tidak pernah menerima ajaran

(Feinstein, dkk, 1986: 67)

Penjelasan:

Pada teks di atas tidak tidak berbeda dengan bentuk sebelumnya, yaitu penanda metafora ontologikal muncul pada kata nampa atau ‗menerima‘ tetapi kata

tersebut diikuti oleh wulangan atau ‗ajaran‘. Ajaran merupakan sebuah bentuk

yang tidak terlihat atau abstrak tetapi diasosiasikan sebagai sebuah hal yang konkrit dan bisa berpindah kepemilikan.

(II.27) ABIYASA: [...] Mlarat ya seneng, sugih yo sokur, iku wong kang wis manggon ana ing kaswargan langgeng.

ABIYASA: [...] miskin ya senang, kaya ya bersyukur, itu orang yang sudah tinggal di surga sejati.

(Feinstein, dkk, 1986: 72)

Penjelasan:

Bentuk metafora kaswargan langgeng atau ‗surga yang sejati‘ merupakan bentuk

metafora ontologikal yang berkaitan dengan CONTAINER. Hal tersebut dikarenakan karena surga merupakan area atau lokasi yang mengacu pada sebuah keindahan dan kenikmatan, sehingga bentuk tersebut menjadi metafora ontologikal.

(II.28) SEMAR: [...] kula susah ngrasake kahanan [...]

SEMAR: [...] saya sedih merasakan situasi [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 103)

(39)

27

Pada teks tersebut menunjukkan metafora ontologikal pada ngrasake kahanan

atau ‗merasakan keadaan‘. Hal tersebut karena ‗keadaan‘ merupakan sebuah hal yang tidak berwujud tetapi menjadi sebuah metafora ontologikal dengan menambahkan kata ngrasake sehingga ‗keadaan‘ yang semula abstrak menjadi

konkrit.

(II.29) PUNTADEWA: Nun, sokur sakethi mangayubagya jumurung. Mboten ketang namung sakglugut tambah seserepan kula.

PUNTADEWA: ya, syukur seribu kebahagiaan sudah memahamkan. Meskipun cuma sakglugut menambah pengetahuan saya.

(Feinstein, dkk, 1986: 11)

Penjelasan:

Pada teks di atas menunjukkan metafora ontologikal pada penggunaan sakethi mangayubagya atau ‗seribu kebahagiaan‘. Kebahagiaan merupakan sesuatu yang

abstrak dan tidak terlihat tapi diasosiasikan menjadi sesuatu hal konkrit yang memiliki bentuk dan bisa dihitung. Metafora ontologikal ini mengacu pada ungkapan rasa bahagia yang banyak dengan penanda ribuan pada kata kebahagiaan.

(II.30) SAMBA: [...] watakipun Begawan Durna niku remen ngothak-athik lan ngedu tiyang

SAMBA: [...] sifat Begawan Durna itu suka bongkar pasang dan adu domba

(Feinstein, dkk, 1986: 163)

Penjelasan:

(40)

(II.31) ABIYASA: iya, kulup, tak tampa sembah pangabektimu marang aku

ABIYASA: iya, cucu, aku terima hormat dan kebaktianmu padaku

(Feinstein, dkk, 1986: 192)

Penjelasan:

Tampa atau terima merupakan sebuah tindakan dari hasil proses transaksi memberi dan diberi terhadap sebuah benda yang konkrit. Pada konteks tersebut, metafora ontologikan mengasosiasikan hormat dan kebaktian seseorang seperti sebuah benda yang bisa diberikan dan diterima layaknya benda konkrit.

(II.32) ABIYASA: iya, iya, aku nyangoni karaharjan

ABIYASA: iya, iya saya memberi selamat

(Feinstein, dkk, 1986: 202)

Penjelasan:

Karaharjan atau keselamatan adalah sebuah bentuk abstrak yang tidak terlihat. Esensi dari konteks tersebut menggambarkan bahwa bentuk keselamatan yang abstrak menjadi diasosiasikan dengan berda yang bisa diberikan kepada orang lain dengan penambahan kata nyangoni yang merupakan kata kerja dan biasanya mengacu pada tindakan memberi uang kepada orang lain.

(II.33) DURYUDANA: Paman Harya ing kepatihan, apa mboya dadi guguping pikir pakenira marang piji mangarsa, paman?

DURYUDANA: Paman Harya di kepatihan, apakah jadi gugup pikiran kamu terhadap tugas di depan, Paman?

(Feinstein, dkk, 1986: 293)

Penjelasan:

Pikiran merupakan bentuk abstrak yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Ekspresi metafora guguping yang diikuti oleh kata ‗pikiran‘ menjadikan bentuk

(41)

29

(II.34) SENGKUNI: awit watake Pandawa alus budine

SENGKUNI: sebab wataknya Pandawa halus budinya

(Feinstein, dkk, 1986: 313)

Penjelasan:

Metafora tersebut menunjukkan tentang karakter budi pekerti seseorang karena adanya penggunaan kata alus atau ‗halus‘ budinya. Budi pekerti merupakan

sesuatu yang abstrak dan tidak bisa dilihat oleh mata sehingga masyarakat harus menggunakan metafora untuk menjelaskan bentuk abstrak tersebut dengan entitas yang ada. Pada bentuk metafora tersebut menggunakan ekspresi alus atau ‗halus‘

yang diikuti dengan kata budi. Masyarakat mencoba menjelaskan budi pekerti dengan sesuatu yang bisa diraba dengan indera. Oleh karena itu, pada ekspresi metafora tersebut masuk dalam jenis metafora ontologikal karena menjelaskan sesuatu yang abstrak menjadi sebuah entitas yang ada.

(II.35) JANAKA: aja wedi kangelan, ya, ngger, rehning abot lelakon iki aku wus kebacut ngulungake basa marang paman, saguh nyowanake Semar marang Astina [...]

JANAKA: jangan takut kesulitan, ya, Ngger, karena beratnya perjalanan ini saya sudah terlanjur memberikan (dengan tangan) jawaban pada paman, bersedia mendatangkan Semar ke Astina [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 338)

Penjelasan:

Pada contoh tersebut menjelaskan bahwa ekspresi mataforis yang digunakan masuk jenis metafora ontologikal karena menjelaskan sesuatu yang abstrak menjadi sebuah entitas. Hal tersebut ditunjukkan pada penggunaan ekspresi

ngelungke atau ‗memberikan (dengan tangan)‘. Pada kata basa memiliki maksud jawaban dari Janaka atas permintaan dari sang paman. Jawaban merupakan sesuatu yang abstrak dan tidak terlihat, tetapi menjadi sebuah entitas karena mendapatkan ekspresi metafora ngelungke yang biasanya diasosiasikan dengan memberikan sesuatu dengan tangan. Secara pemahaman umun, pemberian dengan menggunakan tangan selalu mengacu pada bentuk material sehingga ‗jawaban‘ yang berbentuk abstrak seakan menjadi sebuah entitas yang berpindah tangan.

(II.36) SEMAR: [...] Kawula ngelungke pati, si Gusti nggih ngelungke pati. [...]

(42)

(Feinstein, dkk, 1986: 372)

Penjelasan:

Bentuk tersebut masuk dalam jenis metafora ontologikal karena ekspresi

ngelungke atau ‗menyerahkan‘ yang diikuti oleh kata pati atau ‗kematian‘.

Ekspresi metafora tersebut menjelaskan bahwa kematian yang abstrak menjadi sebuah benda material atau entitas yang ada karena bisa berpindah tangan dengan ekspresi metafora ngelungke. Dengan demikian bisa dilihat bahwasannya bagi masyarakat Jawa kehidupan adalah sesuatu yang bisa diberikan atau diminta seperti yang diungkapkan dalam ekspresi metaforis di atas.

2.4 Metafora Orientasional

Metafora orientasional menentukan kurang struktur konseptual untuk target konsep daripada metafora ontologikal. Jenis metafora ini berasal dari metafora yang berhubungan dengan orientasi ruang dasar manusia seperti atas-bawah, tengah-samping, dan sebagainya. Berikut adalah temuan data pada lakon Kilatbuwana.

(II.37) KILATBUWANA: [...] Darmakusuma, Werkudara, Janak, Kembar, kowe aja pada cilik ati dupeh ditinggal kakangmu Dwarapati.

KILATBUWANA: [...] Darmakusuma, Werkudara, Janaka, Kembar, kalian jangan kecil hati meski ditinggal kakakmu Dwarapati

(Feinstein, dkk, 1986: 24)

Penjelasan:

Pada teks di atas penanda metafora orientasional pada kata cilik atau ‗kecil‘

karena mengasosiasikan dengan ruang. Hati merupakan sesuatu yang mengacu pada perasaan sehingga pada bentuk tersebut bermaksud untuk menunjukkan perasaan sedih seperti pada konsep MORE IS UP, BIG IS UP, LESS IS DOWN, SMALL IS DOWN.

(II.38) SETYAKI: [...] pendita menika kedah longgar penggalihipun, gedhe pangapurane

Referensi

Dokumen terkait

Lahir pada tahun 1975 di Jayapura, Pa- pua, penari dan koreografer Jeck Kurniawan Siompo Pui yang lebih dikenal sebagai Jecko Siompo, adalah salah satu penari yang juga sedang

mengembangan video tutorial lalu di validasi oleh ahli materi dan ahli media , implementasi (implementation) media pembelajaran video tutorial pembuatan aksesoris di uji cobakan ke

Dari Gambar IV.3 dan Gambar IV.4 dapat dilihat bahwa penurunan dan efisiensi penurunan parameter BOD paling besar terjadi pada saat ketebalan zeolit 10 cm, dengan

Untuk pengukuran BB/TB didapatkan ibu bekerja kategori shift dengan status gizi balita (BB/TB) terdapat 85 orang dengan perician 18 orang kategori status gizi baik, 67 orang

kuantitatif. Statistik deskriptif adalah tehnik analisis data dan dengan bantuan aplikasi SPSS 21. Hasil dari .penelitian ini menjelaskan bahwa Optimalisasi Pengelolaan Badan

Pelaksanaan tracer study dengan responden jumlah lulusan sebanyak 32 responden menggunakan kuesioner dengan 5 kategori karakteristik yaitu kategori

Persoalan tentang pelanggaran hak-hak asasi manusia yang disertai kekerasan, fe- no-mena maraknya gerakan radikal yang mengatasnamakan gerakan keagamaan, korupsi yang sangat

Yellow: target is sensed within the window limits (Yellow LED also indicates programming status during setup mode) Red flashing: indicates relative strength of received