• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PEMBELAJARAN RETORIKA ISLAM NUSANT (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MODEL PEMBELAJARAN RETORIKA ISLAM NUSANT (1)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PEMBELAJARAN RETORIKA ISLAM NUSANTARA BERBASIS MEDIA SOSIAL DI INDONESIA

Dini Safitri dinisafitri@unj.ac.id

Wina Puspita Sari wina99ps@yahoo.com

Reny Yuliati rennyyuliati@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pembelajaran retorika Islam Nusantara berbasis media sosial di Indonesia. Berdakwah melalui media sosial tentunya juga memerlukan metode tersendiri. Bagaimana membuat pesan yang dapat diterima oleh pengguna media sosial, yang terdiri dari berbagai macam kalangan, tentunya memerlukan sebuah tim intelekual yang dapat mengelola pesan dengan baik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif untuk dapat mengetahui hasil dari penerapan model pembelajaran retorika dalam pengembangan Islam Nusantara di Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah model pembelajaran retorika Islam Nusantara di media sosial dalam pengembangan Islam Nusantara di Indonesia sudah dikelola oleh tim dari elit organisasi Islam dan memiliki sejumlah prosedur atau cara kerja yang dapat diterapkan dalam sebuah model. Namun belum di urus secara maksimal, sehingga perlu usaha lebih lanjut dalam penerapan model pembelajaran retorika Islam Nusantara sehingga sesuai ajaran islam yang rahmatan lil alamin, terutama berdasarkan yang telah dipraktikan oleh walisongo.

Kata Kunci: Model Pembelajaran, Retorika, Islam Nusantara, Media Sosial

Pendahuluan

Islam di Nusantara sudah menjadi bagian keseharian dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut terjadi karena di Indonesia, mayoritas penduduknya beragama Islam. Maka perpaduan antara budaya Islam dan budaya Nusantara sudah bercampur baur menjadi satu. Namun dengan kehadiran organisasi Islam transional di Indonesia, menjadi corak baru dan tantangan tersendiri bagi organisasi Islam Indonesia dalam mempertahankan nilai Islam Nusantara yang sudah tertanam di Masyarakat. Selain itu, kehadiran teknologi baru juga menjadi peluang dan ancaman bagi pegiat Islam Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam Nusantara melalui media sosial.

Namun sayangnya, kehadiran media sosial sering digunakan untuk menyerukan pesan berkonten negatif atau pesan untuk menyerang seseorang atau beberapa organisasi. Dalam penelitian Romzek1,

(2)

pemanfaatan media sosial seperti tersebut, dijelaskan dalam model retorika yang ia namakan "Hot Retorika". Menurut Romzek, hot retorika diciptakan dalam bentuk konten di luar rasionalitas dan logika. Romzek menghubungkan teori ilmu komunikasi politik yang membahas hubungan studi wacana, framing dan demokrasi, dengan perilaku pemilih yang menyesuaikan pandangan mereka tentang siapa yang sukses mendapatkan keberpihakan pemilih, dikaitkan dengan partai mana yang disukai.

Model Romzek tersebut, peneliti manfaatkan untuk menjelaskan bagaimana media sosial di manfaatkan oleh elit intelektual organiasi Islam di Nusantara dalam menyebarluaskan nilai Islam rahmatan lil alamin. Pada penelitian sebelumnya, para elit organisasi Islam, khususnya di Indonesia belum pernah mengunakan sosial media untuk menyebarluaskan Islam rahmatan lil alamin. Contohnya pada penelitian Syaikhu (2012), ulama Islam Indonesia menyebarkan paham Islam melalui tempat-tempat pendidikan, seperti sekolah, pondok, masjid dan juga lewat media buletin. Begitu pula hasil dari penelitian Bachtiar (2008) yang menyebutkan bahwa gerakan elit organisasi Islam mengunakan jaringan organisasi untuk melakukan gerakan dakwah, pembaharuan, dan aktif dalam kegiatan sosial dan ekonomi umat. Penelitian Aswar (2015) juga menyebutkan posisi dan pengaruh elit organisasi Islam demikian penting, dikarenakan jaringan pesantren yang luas yang menjadi basis pendukung baik di desa maupun di kota. Selain itu pengaruh tersebut juga disebabkan, karena adanya manajemen organisasi Islam yang sehat dan kaderisasi yang teratur.

Namun pada masa kini, ulama Islam Indonesia tidak hanya membuat pesantren, pondok, atau masjid, tapi juga membuat fanpage di media sosial. Oleh Karena itu, banyak dari kalangan para ulama juga memiliki pengikut yang banyak di media sosial. Ust Yusuf Mansur, Ust. Muhammad Arifin Ilham, Aa Gym, Ustad Felix Siauw dan Ust. Bachtiar Nasir adalah sederet ulama yang memiliki pengikut terbesar di media sosial. Mereka menjadi rujukan netizen untuk topik pemikiran islam, wawasan keislaman dan nilai-nilai Islam yang terkait dengan pembangunan, pengelolaan sumberdaya alam, kebangsaan, dan membagun peradaban.

Berdasarkan paparan di atas, penelitian ini bertujuan menjelaskan model pembelajaran retorika dalam pengembangan Islam Nusantara di Indonesia pembelajaran retorika dalam pengembangan Islam Nusantara di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti berharap dapat membuat teori atau model wacana baru, dari hasil pengembangan dan penggabungan teori dan model yang peneliti pakai dalam penelitian ini, yaitu situasi retorika, tindak tutur, dan model retorika argumentasi. Peneliti tertarik untuk mengembangkan lebih lanjut penggunaan media sosial untuk mencari tahu gambaran retorika dan tindak tutur organisasi Islam mengenai wacana Islam rahmatan lil alamin.

(3)

retorika Islam di media sosial. Walaupun berbeda-beda organisasi, tapi wacana Islam yang dibawa tetap satu, yaitu bersumber kepada Al Qur’an dan As Sunnah.

Dari segi metodologis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya metode analisis wacana dan retorika, khususnya dalam tindak tutur organisasi Islam Indonesia di media sosial. Dan dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi kepada pemerintahan, beserta elemen pendukungnya, khususnya organisasi Islam sebagai komunikator, untuk dapat membangun retorika Islam yang berbasis budaya emansipatif, sehingga terwujud kemashlahatan umat yang dikelola oleh iklim pemerintahan demokratis dengan ciri khas Nusantara. Kami berharap model pembelajaran retorika dalam pengembangan Islam Nusantara di Indonesia dapat menjadi model kebijakan kepada organisasi Islam dalam membuat pesan pengembangan Islam di Nusantara dengan media sosial menjadi lebih baik dan massif.

Penelitian sebelumnya tentang retorika, banyak dipakai dalam ilmu politik, salah satunya pernah ditulis oleh Snowball (1991)2. Snowball menguraikan strategi persuasif yang digunakan oleh Moral Majority di awal tahun1980-an, untuk meyakinkan dan menenangkan segmen dari populasi Amerika. Ia menganalisis gerakan yang kuat pada gerakan nasionalis Amerika saat itu. Ia mencoba menjelaskan beberapa hal, yaitu bagaimana energi retorika dari pendukung gerakan, bagaimana posisi retorika disahkan, dan menjelaskan penyebab perjuangan gerakan nasionalis Amerika saat itu, serta respon retorika terhadap kritik politik dan media. Dengan memeriksa pesan fundamental, taktik yang digunakan, dan kepribadian yang terlibat, studi tersebut menunjukkan bahwa, pesan dasar dari moral majority tetap konstan. Gerakan nasionalis sebagai gerakan mayoritas berhasil mengubah citra dari gerakan yang popular sampai pada kejatuhanannya.

Menurut Snowball, retorika dapat dimanfaatkan untuk momentum untuk kenaikan yang cepat, dalam rangka mempopularkan gerakan, namun dengan retorika juga menjadi momentum akar penurunan yang cepat dalam rangka menjatuhkan keputusan. Snowball menyelidiki reaksi rakyat Amerika terhadap pengaruh moral majority. Ia kemudian membuat ulasan mendalam mengenai bahasa yang biasa digunakan untuk mendorong gerakan. Ia melihat isu-isu spesifik dan terpolarisasi oleh kritikus dan pengikutnya. Baik kritikus dan pengikutnya memiliki cara dalam mengekspos alasan runtuhnya gerakan. Hasil ini kemudian menjadi bahan diskusi untuk penelitian di masa depan. Meskipun fokus utama dari penelitian ini adalah sejarah moral majority, namun analisis yang dipakai juga mengambarkan sifat respon sistem politik Amerika, untuk gerakan agama.

(4)

Selain Snowball, penelitian terbaru ditulis oleh Edward (2014)3, yang meneliti bagaimana presiden Amerika yaitu Bush dan Obama mendefinisikan "warga negara yang baik," khususnya yang berkaitan dengan imigran naturalisasi. Karena warga naturalisasi harus melalui proses berat untuk menjadi warga negara. Peneliti berpendapat, presiden membangun naturalisasi imigran, sebagai nyawa dari kemajuan dan kekuatan Amerika. Prestasi individu sebagai pahlawan warga, memberikan sesuatu untuk semua, yaitu untuk meniru. Pada saat yang sama, presiden menentukan kriteria warga yang baik, dalam satu dimensi. Kriteria ini dalam hasil penelitian, menunjukan akan merusak potensi kegiatan komunal, karena membawa isu dan masalah yang perlu dibahas, diperdebatkan, dan berpotensi dipecahkan.

Dari dua contoh penelitian retorika di atas, peneliti memperoleh irisan bahwa retorika digunakan pada tindakan dan persepsi, dalam pemikiran pribadi dan komunikasi publik. Retorika adalah sarana komunikasi serta teori, untuk memahami dan mengkritik diri sendiri, dan sarana alternatif komunikasi. Retorika berusaha menyatukan motif antara penulis dan pembaca dalam panduan menulis persuasif, dan kerangka kerja untuk membaca cerdas. Retorika adalah studi dan praktek argumentasi, serta pembuktian dalam teknik persuasi. Quintilian mengatakan, retorika adalah etos atau karakter penulis, atau "orang baik, berbicara dengan baik."4

Sementara itu, Robert Scott melihat retorika sebagai epistemik5. Retorika dilihat sebagai tantangan, bagaimana asumsi retorika dapat digunakan untuk melihat kebenaran sebagai teori, dalam peradaban barat. Dengan kata lain, retorika sebagai teori, adalah sesuatu yang ada, atau sesuatu yang dapat diperoleh seseorang, sebagai suatu kebenaran. Menurut Scott, asumsi ini membuat retorika menjadi sarana untuk mengkomunikasikan kebenaran, atau untuk memimpin individu yang tidak tahu, melalui persuasi. Dengan kata lain, retorika berfungsi mentransmisikan kebenaran, dan membuatnya terlihat sebagai kebenaran. Scott berpendapat, meskipun kebenaran bisa eksis, namun diperlukan peranan retorika yang bertindak sebagai metode untuk menghasilkan kebenaran tetap, dalam interaksi manusia. Dengan cara ini, retorika adalah epistemik. Jika kebenaran adalah situasional, maka dalam beretorika, kita secara etis bertanggung jawab untuk terlibat dalam interaksi. Interaksi yang terjadi, bertujuan mengejar

3 Edwards, Jason. 2014. The Good Citizen: Presidential Rhetoric, Immigrants, and Naturalization Ceremonies

dalam American Communication Journal, Volume 16, Issue 2

4 Aristotle. 1991. On Rhetoric: A Theory of Civic Discourse. Trans. George A. Kennedy. New York: Oxford University Press.

(5)

kebenaran, dengan cara menempatkan dan mempertimbangkan klaim yang dapat bersaing dengan klaim-klaim lainnya, sehingga membuat tindakan retorika yang terbaik.

Thomas Farrell, dalam esainya "Pengetahuan, Konsensus, dan Teori Retorika", membatasi retorika sebatas pengetahuan sosial dan menetapkan pengetahuan ilmiah, bukan bagian dari retorika. Dalam esai tersebut, Farrell menjelaskan retorika secara epistemik, adalah alat yang menghasilkan pengetahuan sosial dengan meningkatkan kesadaran individu dengan statusnya sebagai anggota dalam masyarakat. Ia mengacu pada kesadaran individu yang dapat digunakan untuk mengembangkan konsensus, yang kemudian mengarah kepada tindakan terkoordinasi dalam suatu masyarakat.

Farrell mengungkapkan bahwa pengetahuan ilmiah terletak di luar retorika. Namun retorika dibuat, bergantung pada tingkat konsensus yang dirumuskan oleh fakta-fakta ilmiah. Sedangkan konsensus, dihasilkan dari aktivitas retorika dan terkait dengan pengetahuan sosial. Oleh karena itu, ada dikotomi dari argumentasi Farrell, yaitu pengetahuan ilmiah berada di luar retorika, tetapi pengetahuan ilmiah divalidasi melalui pengetahuan sosial, yang berada di dalam wilayah retorika. Ia berpendapat bahwa pengetahuan sosial, seperti pengetahuan ilmiah, didasarkan pada beberapa bentuk "keteraturan" dan divalidasi melalui alasan dan tindakan tindakan berulang. Pernyataan ini menandai upaya Farrell untuk memvalidasi pengetahuan sosial dalam hal ilmiah. Hal ini adalah sugestif dari ketegangan disiplin antara bidang humaniora dalam beberapa teks retorika klasik.

Kedua esai di atas yang diungkapkan Scott dan Farrel, tentang retorika epistemik, didasarkan pada paradigma dunia rasional, dimana anggota masyarakat dan komunitas dapat berlatih retorika dan jenis tindakan retorika, karena merupakan produks pengetahuan. Melalui retorika, terbangun pengetahuan yang didasarkan pada logika, dan argumentasi beralasan. Scott berpendapat pengetahuan, dapat dilihat sebagai hasil dari penyelidikan kritis terhadap komitmen manusia dan kemampuan argumentatif. Sedangkan Farrell berpendapat, teori retorika didasarkan pada logika formal dan informal, yang dimaksudkan untuk memfasilitasi argumentasi beralasan, tentang pengetahuan sosial.

Berdasarkan empat contoh penelitian diatas, retorika dapat menghidupkan kembali isu-isu yang signifikan dalam sejarah teori retorika, yaitu, masalah retorika dan hubungannya dengan konstruksi pengetahuan dan pengembangan masyarakat di masyarakat. Konstruksi pengetahuan dan studi retorika, memberikan kita masukan bahwa retorika lebih dari sekedar persuasi. Retorika adalah tentang pembangunan dan mengejar pengetahuan.

(6)

terlebih dahulu mengupas kerangka ideologi pembuat teks. Stuart Hall mendefinisikan ideologi sebagai kerangka kerja yang meliputi mental, bahasa, konsep, kategori, citra pemikiran, dan sistem representasi, yang dipakai oleh kelas kelompok sosial, dan kemudian disebarkan untuk dipahami, didefinisikan, dicari tahu dan dimengerti oleh masyarakat6. Teori ideologi ini, membantu kita untuk menganalisa bagaimana ide tertentu datang, untuk mendominasi pemikiran sosial, mempertahankan dominasi dan kepemimpinan, atas masyarakat secara keseluruhan.

Peran ideologi sangat berguna untuk menjelaskan pengaturan hirarki dominasi dan subordinasi dalam masyarakat, khususnya menjelaskan bagaimana masyarakat mengatur dirinya sendiri. Menurut Hall, ideologi berkaitan dengan konsep dan bahasa pemikiran praktis, yang menstabilkan bentuk kekuasaan dan dominasi tertentu, atau yang mendamaikan dan mengakomodasi massa dalam formasi sosial7. Hall juga menambahkan, setiap orientasi, perspektif, dan ideologi memiliki dasar di suatu tempat. Dengan ideologi, seseorang diajarkan untuk memahami dunia seperti yang dikonstruksikan. Dengan kata lain, seseorang belajar makna, tidak muncul secara alami dari objek atau hubungan. Dalam kata-kata Hall, ia mengatakan tidak ada satu akhir, artinya tidak ada simbol yang menandakan petanda mutlak, seperti roda yang tanpa berhenti meluncur. Begitu pula pemaknaan, ia akan terus memproduksi makna-makna baru8.

Merujuk pada penelitian diatas, maka penelitian tentang peran ulama dalam penyebaran Islam di Nusantara sangat besar, mereka memproduksi banyak retorika Islam yang tidak hanya mempersuasi masyarakat nusantara untuk memeluk Islam, namun juga membangun pengetahun tentang Islam itu sendiri. Dan peran tersebut terus dilanjutkan oleh ulama masa kini dengan model retorika yang di sesuaikan dengan situasi retorika saat ini. Salah satunya dengan memanfaatkan media sosial sebagai sarana meretorikakan Islam. Walaupun banyak organisasi Islam yang berkembang di Indonesia, namun mereka memiliki model Islam yang satu, yang mengacu kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Peneliti berusaha untuk mencari tahu model tersebut dan kemudian memubuatnya serta memberikanya nama, dengan nama model pembelajaran retorika dalam pengembangan melalui media sosial.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode campuran dari metodologi kuantitatif dan kualitatif. Metodelogi kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Metode survei adalah metode penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian ini, kuesioner akan disebar kepada umat Islam di DKI Jakarta. Sedangkan untuk metodelogi kualitatif, yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode netnografi.

6 Stuart Hall. The Problem of Ideology: Marxism Without Guarantees, in Critical Studies in Cultural Studies, ed. David Morley and Kuan-Hsing Chen.London: Routledge. 1996. halaman 26.

7 Ibid, halaman 27

(7)

Menurut Kozinets, netnografi adalah metode penelitian yang khusus dirancang untuk mempelajari budaya dan komunitas online. Kozinets mengganti lapangan kerja etnografi menjadi Computer Mediated Communication (CMC), atau komputer yang memediasi interaksi. Pedoman melaksanakan netnografi mirip dengan pedoman pelaksanaan penelitian etnografi, namun peneliti netnografi melakukan penelitian etnografi pada budaya online. Dengan metode netnografi, peneliti dapat mempelajari keyakinan, nilai-nilai dan adat-istiadat serta perilaku masyarakat atau kelompok tertentu secara online.

Metode netnografi dipilih sebagai metode dalam penelitian ini, karena penelitian ini menggunakan internet sebagai lapangan penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh semakin banyak orang menggunakan Internet, mereka memanfaatkan sebagai alat komunikasi yang memungkinkan untuk memberdayakan pembentukan masyarakat, sehingga tercipta budaya baru yang diciptakan melalui komputer dan dimediasi dengan interaksi sosial.

Isi

Model pembelajaran retorika Islam Nusantara berbasis media sosial di Indonesia sudah di praktikan oleh organisasi keagamaan Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU. Peneliti sudah melakukan penelitian terhadap teks-teks yang di muat dalam NU Online. Terpilih 40 naskah untuk dijadikan objek penelitian. Dibawah ini peneliti hanya akan memaparkan 5 teks teratas yang menjadi objek penelitian. Teks 1 berjudul Selamat Hari Santri: Miniatur Islam Nusantara, ditulis oleh H. Asmawi Mahfudz, yang memiliki posisi sebagai elit intelektual NU, yaitu sebagai Mustasyar NU, dan pengajar di IAIN Tulungagung serta Pengasuh PP Al-Kamal Blitar. Menurut penulis peran santri sangat besar bagi perjuangan dan perkembangan bangsa dan NKRI. Santri telah berdialektika dengan masyarakat dan telah berperan besar dalam membangun tanah air Indonesia dan sekaligus sebagai pelopor gerakan Islam Nusantara dengan mengajarkan ilmu-ilmu agama islam secara kultural sampai dipersepsikan masyarakat mempunyai ilmu batin.

(8)

Islam Nusantara pada kerja akademik, yaitu penelitian. Meneliti bagaimana profil santri sebagai pelopor Islam Nusantara dengan menggunakan pendekatan sejarah. Ia merujuk pada khittah NU 1926, dimana NU fokus pada peningkatan kegiatan di bidang keilmuan/ pengkajian/ dan pendidikan.

Teks 2 berjudul Fiqih Madzhab Nusantara, masih ditulis Asmawi Mahfudz. Tulisan ini menjelaskan sinergis antara aspek ke-Islaman dan ke-Nusantaraan. Pada mulanya, ia menjelaskan terlebih dahulu pengertian fikih, bagaimana asal mula fikih muncul, berikut perkembangannya. Sebagai pengantar masuk ke fikih mazhab Nusantara, penulis mengaitkannya dengan tema yang sekarang sedang ngetrend 'Islam Nusantara'. Menurut penulis tema tersebut patut diapresiasi sebagai review terhadap praktik keberagaman Islam yang semakin hari semakin berkembang aspek kuantitas pemeluknya di dunia. Penulis melihat fenomena tersebut membutuhkan ide-ide dari pemikir muslim, contoh-contoh empiris dari praktik keberagaman Islam di dunia Muslim yang barangkali dapat dijadikan miniature untuk di contoh di belahan dunia Muslim yang lain. Tak terkecuali praktik Muslim Indonesia sebagai pemeluk mayoritas Muslim di dunia.

Teks 3 berjudul Membangun Pendidikan Tinggi Islam Nusantara, ditulis oleh Maswan, seorang elit intelektual NU yang memiliki posisi sebagai pengurus Lembaga Pendidikan Tinggi NU (LPTNU) cabang Jepara dan Dosen UNISNU Jepara. Dalam paragraf pendahuluannya, Penulis menyertakan diskusi tentang Islam Nusantara yang menjadi tema Muktamar NU, serta kelanjutan hasil Muktamar NU tentang Islam Nusantara, yang membutuhkan aplikasi dan keterlibatan pemikir-pemikir dari kalangan kiai, sesepuh NU, kader cendikiawan NU, praktisi pendidikan NU dan seluruh neven dan badan otonom. Menurut penulis, diperlukan keterlibatan pemikir-pemikir dari kalangan kiai, sesepuh NU, kader-kader cendikiawan NU, praktisi pendidikan NU dan seluruh neven dan badan otonom NU untuk memikirkan sebuah rumusan pendidikan Islam Nusantara sebagai wadah pengembangan ajaran pendidikan Islam bernuansa peradaban bangsa adalah suatu hal yang mendesak, sehingga konsep ideal tentang bangunan Islam Nusantara mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis berharap, wacana Islam Nusantara dijadikan materi dasar dan wajib pada perguruan tinggi NU, dan bila memungkinkan menjadi nama baru untuk seluruh perguruan tinggi NU. Namun, sebelum menuju kesana, perguruan tinggi NU harus merekonstruksi dan merevitalisasi lembaga pendidikan tinggi NU. Hal tersebut diperlukan agar perguruan tinggi NU dapat menjadi wadah pengembangan pendidikan NU, sehingga mampu menjadi pilar peradaban Islam Nusantara dan sekaligus pencetak kader-kader Islam Nusantara yang berperadaban global. Oleh karena itu, diakhir tulisan penulis menuntut berdirinya perguruan tinggi milik NU dalam satu nama: Perguruan Tinggi Islam Nusantara.

(9)

lahir dari paham bahwa Islam adalah ajaran universal yang ditampung dalam kultur/budaya manusia yang partikular. Kedua, Asumsi tidak benar mengenai semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Islam, dan bisa dirujukkan kepada teks Al Qur'an atau sunnah, karena Al Qur'an adalah kitab yang bersifat umum, mengatur hal-hal prinsip, dan tidak masuk ke hal yang bersifat teknis. Apa yang berasal dari Nabi juga tidak semua berhubungan dengan agama. Yang wajib diikuti adalah sunnah Nabi yang bersifat agama. Ketiga, Islam Nusantara adalah ekspresi rasa syukur terhadap khadiran Islam di bumi Nusantara melalui pendekatan budaya, yang nyaris tanpa pertumpahan darah.

Cara penulis menjabarkan dalil-dalil Islam Nusantara tersebut, menggunakan pendekatan historis, merujuk pada sirah Nabi dan cara dakwah Wali Songo, dan mengatakan pihak yang berseberangan dengan wacana Islam Nusantara memiliki kecenderungan berpikir ahistoris dan anakronis. Penulis juga menjelaskan kepada para penolak Islam Nusantara dan pengusung idiom tandingan dari Islam Nusantara, bahwa: 1). Yang harus diteladani dari Nabi adalah akhlaqnya, bukan ekspresi budayanya, 2). Arabisasi tidak sama dengan Islamisasi, 3). Islam Nusantara mendukung pengalaman Islam dalam ekspresi budaya lokal. Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis mengklaim bahwa tema Muktamar NU ke 33, "Meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan Dunia", semakin menemukan relevansi dan keshahihannya.

Teks 5, yang berjudul Kiprah Islam Nusantara dalam Kemerdekaan Indonesia, ditulis oleh Muhammad Zidni Nafi', seorang elit intelektual NU yang merupakan santri alumni Ma'had Qudsiyyah Kudus, aktivis CSSMORA dan PMII Rayon Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Penulis mengangkat tema ini, karena artikel ini dimuat bertepatan dengan tanggal 17 Agustus yang diperingati sebagai hari kemerdekaan. Penulis memaparkan fakta sejarah Islam Nusantara mulai dari rangkaian bukti sejarah kiprah Islam Nusantara oleh Wali Songo, Ulama, dan pesantren dalam menyumbangkan kekuatan untuk meraih kemerdekaan.

(10)

sedikit atau banyak dapat diaktualisasikan dalam konteks kekinian, dimana bangsa Indonesia saat ini sedang membutuhkan 'angin segar' untuk mengarungi masa kemerdekaannya.

Selain memaparkan kisah peran santri dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, penulis juga mengklaim bahwa wacana Islam Nusantara yang diangkat dari tema Muktamar NU, saat ini relevan dengan kondisi geopolitik dan geokultural global. Oleh karena itu,wacana Islam Nusantara perlu terus dilestarikan guna membentengi pengaruh asing maupun dari dalam negeri yang hendak memperkeruh suasana di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam teks ini, wacana pedagogi dalam bingkai materi sejarah peran santri, mendominasi isi teks.

Berdasarkan penelusuran peneliti, teks-teks yang sudah di muat di web resmi NU, kental dengan nuansa akademik. Dimana para menulis berusaha menjelaskan metodologi Fikih Nusantara. Melalui saluran media sosial, para pemikir atau elit NU berusaha menjelaskan konsep metodologi fikih nusantara sebagai upaya untuk mengkontekstualkan ajaran-ajaran Islam dalam kondisi sosial di berbagai tempat dan zaman. Para elit NU banyak mencontohkan bahwa bermazhab secara metodologis di China, maka akan melahirkan produk fikih yang bercorak China. Begitu juga bermazhab secara metodologis di Nusantara, maka akan melahirkan produk fikih yang penuh dengan nuansa budaya Nusantara, dengan catatan, tetap melihat aspek kemaslahatan dari produk yang dihasilkan. Dari uraiannya tersebut, para elit NU sampai pada pendapatnya, bahwa bermazhab secara manhaji atau metodologis, merupakan cara dan upaya paling kuat untuk melahirkan fikih Nusantara, yakni fikih yang mempertimbangkan kemaslahatan di Nusantara tanpa harus menegasikan karakteristik budaya nusantara.

Selain itu dalam teks elit NU juga diuraikan bagaimana tradisi pesantren memilih rujukan utama dalam bahtsul masail atau diskusi hukum, untuk menentukan mana metode yang paling dominan digunakan, ketika ditemukan pendapat hukum yang saling bertentangan dalam satu masalah yang sama, yaitu mengarah pada pendapat hukum (ulama) mazhab Syafi'iyyah. Namun elit NU juga menguraikan bahwa secara kultural, fikih klasik (khususnya mazhab Syafi'iyyah), lahir dari kebutuhan masyarakat abad pertengahan dalam wilayah dan konteks budaya tertentu yaitu Timur Tengah dan Asia barat. Maka menurut elit NU, sangat niscaya, bila sebagian dari produk hukum fikih klasik tersebut, merupakan cerminan kepetingan dari wilayah dan masa saat itu, bukan untuk wilayah dan masa saat ini. Oleh karena itu, elit NU ingin memunculkan fikih nusantara, yang adaptif terhadap kearifan lokal nusantara dan sesuai dengan kemashlatan muslim Indonesia.

(11)

reference (TOR) untuk melakukan kajian Islam Nusantara agar mudah dikaji, dipahami, dan dioperasionalisasikan dalam ranah akademik. Hal ini dilakukan untuk meluruskan kesalahpahaman sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian golongan terhadap Islam Nusantara. Ia berupaya menyakinkan masyarakat bahwa wacana Islam Nusantara adalah ikhtiar akademik dan strategi kedaulatan kebudayaan dan peradaban.

Menurut elit NU, kehadiran wacana Islam Nusantara bertujuan untuk memperkaya kajian akademik, dan akan melahirkan spesialisasi-spesialisasi keilmuan yang berwatak nusantara, terutama ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, filologi, histeriografi, pendidikan, ekonomi, politik, hukum, dan ilmu sosial maupun alam lainnya. Berikut ini kutipan wawancara dari salah seorang penulis, yaitu Profesor Isom Yusqi:

Jadi sebenarnya kerja Islam Nusantara itu, kerja-kerja akademik, ingin membangun sistem ilmu yang berbasis kondisi sosial masyarakat yang ada di Indonesia, yang dibuat oleh orang-orang Indonesia. Itu salah satu tujuannya. Disamping itu, kita juga ingin memelihara seni dan budaya. Kan banyak juga, di Aceh, ada tarian saman, yang hasil seni dan budaya itu di kreasi, di Islamisasi, itu ingin kita pelihara, dan ingin kita teorisasikan. Jadi konservasi budaya, tradisi, orang-orag Islam yang ada di Indonesia. Kemudian konservasinya dengan cara kita menteorisasikan, membentuk body of knowledge-nya. Itu juga masuk dalam kerja budaya. Jadi kerja akademik, kerja budaya.

Para penulis juga optimis bahwa keistimewaan kajian Islam Nusantara akan melahirkan sistem ilmu pengetahuan yang berwatak dan berkarakter sosial-nusantara dan mendorong tindakan-tindakan emansipatif demi tugas pencerdasan, humanisasi, dan kesejahteraan sosial. Selain itu, menurut penulis, kajian islam nusantara merupakan bagian dari islam faktual yang merupakan respon pemeluknya terhadap sumber ajaran. Proses faktualisasi ajaran Islam saat ini, tidak terlepas dari latar belakang sosio-historis umat beragama. Seperti, tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi, politik dan sejarah. Sehingga dengan latar belakang yang berbeda, sudah tentu keberagaman adalah keniscayaan. Dari keniscayaan akan keberagaman tersebut, penulis optimis, kehadiran Islam Nusantara merupakan bagian dari representasi dari rahmatan lil 'alamin.

(12)

kerja keras dan proses panjang yang dilewati warga Nahdliyyin di Indonesia, dalam memperlihatkan dan menawarkan wajah Islam yang ramah dan peka terhadap persoalan kemanusiaan. Oleh karena itu, elit NU mengajak seluruh elemen NU memperhatikan tiga rekomendasi dari Muktamar NU ke 33. Pertama, merumuskan bangunan pengetahuan Islam Nusantara, agar Islam Nusantara tidak terbatas menjadi topik di forum informal, tapi diskusi serius ilmuwan dunia. Kedua, sosialisasi terorganisir kepada publik, agar tidak diplintir kesana dan kemari. Ketiga, mengajak beberapa elemen di Indonesia yang memiliki kesamaan visi dalam menampilkan wajah Islam Nusantara yang ramah, menjadi muslim yang berkontribusi bagi kelangsungan umat manusia, dari Islam Nusantara untuk kelangsungan dunia.

Walaupun demikian, elit NU juga tidak menampik ada ketakutan oleh sebagian kelompok masyarakat terhadap pemaknaan Islam Nusantara, yaitu wacana yang berujung pada sekularisasi, pendistorsian, pendangkalan makna Islam, bahkan ditunggagi oleh liberalisme, kapitalisme, maupun radikalisme. Mereka sudah memahami hal tersebut, karena jauh sebelum mencuatnya ide Islam Nusantara, Gus Dur telah lebih dahulu muncul dengan konsep keIslaman yang membudaya yang dikenal dengan konsep pribumisasi Islam. Islam bersifat shalihun li kulli zaman wa makan. Artinya relevan untuk segala zaman dan tempat. KeIslaman yang mengakomodasi dan dapat diserap budaya lokal.

Menurut elit NU, Islam Nusantara adalah sebagai bentuk penanaman nilai-nilai keIslaman yang sesuai dengan jati diri bangsa. Konsep yang membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal, tanpa menghilangkan identitas normatif Islam. Islam nusantara adalah cara berIslam yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas, ketimbang ideologi kultural yang memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat tersebar di berbagai wilayah, tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat. Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian.

Selain di media sosial, Islam Nusantara sebagai wacana pedagogi, memiliki ruang kelas akademik di pascasarjana STAINU Jakarta sejak tahun 2012. Prodi Islam Nusantara tersebut bertujuan mengangkat kekayaan karya Ulama Indonesia, baik dalam metode pengajaran dan penyebaran nilai-nilai agama Islam, maupun dalam bentuk bangunan peningggalan bersejarah yang ditinggalkan untuk umat Islam. Semua hal tersebut ingin dilestarikan, serta dibuat teorisasi untuk kemudian dikreasikan, disempurnakan, dihidupkan kembali, dan dikonvervasikan dalam bentuk peradaban Islam yang maju. Lebih jauh lagi, gagasan Islam Nusantara bertujuan untuk meng-counter discourse terhadap paradigma keilmuan yang sangat sekularistik-posivistik, yang serba teknologistik-matealistik dan juga penyeimbang terhadap budaya sosial masyarakat modern yang cenderung materialistik, hedonistis dan pragmatis.

(13)

Model pembelajaran retorika Islam Nusantara berbasis media sosial di Indonesia perlu diperhatikan oleh para pengiat Islam Nusantara dalam rangka mengembangkan karakter Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Perhatian tersebut menjadi penting, karena di era keterbukaan informasi seperti sekarang, banyak sekali informasi yang masuk, baik itu informasi yang dapat dapat mendatangkan kebaikan dan sebaliknya. Untuk itu diperlukan penyaringan informasi, salah satunya dengan membuat model pembelajaran Islam Nusantara di Indonesia. Adapun target dari model pembelajaran retorika Islam Nusantara ini adalah penempatan nilai-nilai Islam kepada umat Islam Nusantara yang sesuai dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin .

Daftar Pustaka

Buku

Aristotle. 1991. On Rhetoric: A Theory of Civic Discourse. Trans. George A. Kennedy. New York: Oxford University Press.

Bernstein, B. 1990. The structuring of pedagogical discourse. Class, codes and control, Volume 4. London:

Routledge.

Brummet, Barry. 2015. Rhetoric in Popular Culture, Fourth Edition. UK: Sage Publication Ltd

D, Ruben Brent dan Lea P Stewart. 2006. Communication and Human Behavior. United States: Allyn and Bacon

Denzin, N. & Lincoln, Y. Eds. 2011. Handbook of qualitative research, 4th ed. Thousand Oaks, CA: Sage. Eriyanto. 2001.Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS

Foss, S. K. & K. A. Foss. 2003. Inviting transformation: Presentational speaking for a changing world. Prospect Heights, IL: Waveland.

, K. A. Foss, & Trapp, R. 2002. Contemporary perspectives on rhetoric (3rd ed.). Prospect Heights, IL: Waveland.

Freire, P. 1970. Pedagogy of the Oppressed. London: The Continuum Publishing Company.

Grossberg, Lawrence ed. 1996. On Postmodernism and Articulation: An Interview with Stuart Hall, in Critical Studies in Cultural Studies, ed. David Morley and Kuan-Hsing Chen. London: Routledge Hall, Stuart. 1996. The Problem of Ideology: Marxism Without Guarantees, in Critical Studies in Cultural

Studies, ed.

Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. 2009. Encyclopedia of Communication Theory. USA: Sage Publication Inc

(14)

Studies. UK: Sage Publication Ltd.

Maarif, Zainul. 2014. Retorika: Metode Komunikasi Publik. Jakarta: Dapur Buku.

Morley, David and Kuan-Hsing Chen. 1996. Stuart Hall: Critical Dialogues in Cultural Studies. London: Routledge

Miller, Daniel dan Don Slater. 2000. The Internet: An Ethnographic Approach. Oxford: Berg

Snowball, David. 1991. Continuity and Change in the Rhetoric of the Moral Majority. USA: Greenwood Publishing Gruop, Inc

Turmudzi, Endang dan Riza Sihabudi (ed). 2006. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

Wood and Smith. 2005. Online Communication. London: LEA Publisher

Zahro, Ahmad. 2004. Tradisi intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa'il, 1926-1999. Yogyakarta: LKiS

Jurnal

Aghaei, Sarah dkk. 2012. Evolution of The World Wide Web: From Web 1.0 to Web 4.0. International Journal of Web & Semantic Technology Volume 3, Issue 1

Clark, Urzsula. 2005. Bernstein’s theory of pedagogic discourse: Linguistics, educational policy and practice in the UK English/literacy classroom. English Teaching: Practice and Critique. December, 2005, Volume 4, Number 3, pp. 32-47

Darity, William A. 2008. Rhetoric.International encyclopedia of the social sciencesVol. 7. 2nd ed. Detroit: Macmillan Reference USA, p237-239. Gale Cengage Learning

Hamad, Ibnu. 2007. Lebih Dekat dengan Analisis Wacana. Mediator 8 (2) 325-344

Harmon, Derek J., Sandy E. Green Jr dan Thomas Goodnigth. 2015. A Model of Rhetorical Legitimation: The Structure of Communication and Cognition Underlying Institutional

Jason, Edwards. 2014. The Good Citizen: Presidential Rhetoric, Immigrants, and Naturalization Ceremonies dalamAmerican Communication Journal, Volume 16, Issue 2

Kaplan, Andreas M. dan Michael Haenlein. 2010. Users of the world, unite! The challenges and

opportunities of Social Media. Business Horizons, Volume 53, Issue 1.

Romzek, Barbara S. 2015. Living Accountability: Hot Rhetoric, Cool Theory, and Uneven Practice. dalam Political Science & Politics, Volume 48, Issue 01, January 2015, pp 27-34. American Political Science Association.

(15)

Artikel dalam Buku

Bernstein, B. 1971. ‘On the classification and framing of educational knowledge’, in M. F. D. Young (ed.) Knowledge and Control: new directions for the sociology of knowledge. London: Collier-Macmillan

Online

Referensi

Dokumen terkait

adalah petunjuk pelaksanaan atas Pasal 24 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 dan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2008, yaitu Peraturan

PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI (HDB) PADA TANAMAN PADI...

Namun beberapa penelitian yang dilakukan Rafika (2009) menemukan hasil yang tidak signifikan antara partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja SKPD Pemerintah Labuhan

Melalui hospitalitas sebagai jalan alternatif, maka nilai-nilai kearifan lokal direvitalisasi untuk diaktualkan dalam dialog antar agama yang tidak hanya mengajarkan umat

Fenomena Koebner pada psoriasis dapat terjadi karena diinduksi oleh trauma (luka bedah atau garukan buatan, abrasi atau luka bakar) yang terjadi pada daerah yang non lesi,

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratama (2012) dan Huriah (2006) yang mengemukakan mayoritas ibu memiliki perilaku yang baik dalam pemenuhan

Pendapat sebagian mahasiswa FAI UNISSULA yang lain (25% responden) bahwa nikah siri tidak sah sebab tidak memiliki kekuatan hukum. Adapun akibat dari nikah siri

Organisasi saat ini tidak lagi hanya mencari anggota organisasi yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, namun mereka juga mencari pegawai yang mampu