Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia di masa depan yang
perlu mendapat perhatian khusus. Adanya peningkatan dan perbaikan kualitas hidup anak merupakan salah satu upaya yang penting bagi kelangsungan hidup
suatu bangsa. Kualitas hidup anak dapat dilihat kesehatannya melalui keadaan status gizi yang baik dan merupakan salah satu indikator pembangunan. Status gizi anak merupakan satu dari delapan tujuan yang akan dicapai dalam Millenium
Development Goals (MDGs). Laporan United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan bahwa pada tahun 2013, Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Indonesia menduduki peringkat 121 dari 187 Negara, lebih rendah dibandingkan dengan peringkat IPM negara-negara di Asia Tenggara. Rendahnya IPM di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan kesehatan
penduduk (Maleke, dkk, 2015).
Bila penurunan kualitas sumber daya manusia ini terus berlanjut, akan
membahayakan nasib bangsa Indonesia. Maka diperlukan usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia bangsa. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui pendidikan. Pendidikan tidak lepas dari kata belajar dan
belajar berkaitan erat dengan kecerdasan. Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intelligence Quotient) yang memegang
pendidikan sebuah negara, makin tinggi kualitas sumber daya manusia (Sasaki, 2011)
Menurut Puspita (2012) gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), di antaranya kualitas kecerdasan anak. Kecerdasan
berkaitan dengan kualitas otak. Untuk mendapatkan kualitas otak yang maksimal dibutuhkan keadaan gizi yang baik. Perlu diketahui bahwa keadaan gizi seseorang
dalam suatu masa bukan saja ditentukan pada keadaan gizi masa sekarang, bahkan pada masa lampau. Ini berarti gizi masa ia di dalam kandungan, saat ia dilahirkan, masa kanak-kanak, memberikan pengaruh besar terhadap status gizi masa
sekarang hingga masa dewasa.
Gizi yang cukup dan memenuhi kebutuhan merupakan determinan utama
dalam pertumbuhan dan perkembangan otak dari sejak dalam kandungan sampai fase tersebut selesai. Di mana pertumbuhan otak berlangsung sejak dalam kandungan hingga usia 0-5 tahun dan perkembangan otak berlangsung mulai usia
6 tahun hingga usia dewasa, proses pertumbuhan otak hanya berlangsung hingga usia 5 tahun. Setelah ini proses pertumbuhan otak akan melambat. Salah satu
perkembangan otak di mulai dari masa perinatal (kehamilan). Salah satu perinatal yang menjadi resiko terjadinya gangguan perkembangan adalah Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) (Sutiari dan Wulandari, 2012).
Bayi berat lahir rendah biasanya memiliki fungsi sistem organ yang belum matur seperti pada pembentukan sel-sel otak yang disebut dengan neuron. Saat
akan dihubungkan satu dengan yang lainnya yang disebut dengan sinapsis. Setelah bayi lahir pembentukan sinapsis meningkat secara dramatis. Akan tetapi
jika bayi dengan BBLR pembentukan sinapsis akan mengalami gangguan pertumbuhan. Hal ini disebabakan bayi sudah mengalami defisiensi zat gizi makro
di dalam kandungan untuk proses perkembangan otak. Salah satunya adalah protein. Protein merupakan salah satu sumber zat gizi makro yang berkontribusi
besar pada fungsi otak (Kurniasih, 2015).
Menurut Ardi (2016) yang mengutip pendapat Georgieff bahwa, defisiensi zat gizi makro berpengaruh terhadap neuroanatomi, neurokimia dan neurofisiologi
dari perkembangan otak. Defisiensi zat gizi makro dapat mengakibatkan hipomielinisasi dan lebih jauh lagi mengurangi hantaran zat gizi dan migrasi
neuron yang abnormal selama periode awal perkembangan otak. Hal ini dibuktikan pada penelitian Luize yang dikutip oleh Ernawati, dkk (2014), menunjukkan bayi yang mengalami kekurangan energi dan protein berat memiliki
bobot otak 15-20% lebih ringan dibandingkan bayi normal. Defisiensi bisa mencapai 40% bila berlangsung sejak janin.
Menurut perkiraan World Health Organisation (WHO) (2013), hampir semua (98%) dari 5 juta kematian neonatal di negara berkembang atau berpenghasilan rendah. Lebih dari 2/3 kematian adalah BBLR yaitu berat badan
lahir kurang dari 2500 gram. Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 3,3%- 3,8% dan
berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram.
Angka kejadian BBLR di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu berkisar antara 9-30%. Secara nasional, angka BBLR
mencapai rentang 8%. Angka ini lebih besar dari target BBLR yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2015 yakni 7%
(Kurniasih, 2015). Berdasarkan Hasil Riskesdas (2013), bahwa persentase BBLR di Indonesia sebesar 10,2%, sedangkan presentase di Provinsi Sumatera Utara sebesar 7,2%.
Menurut Asiyah (2014), kondisi BBLR akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan anak selanjutnya. Masalah jangka panjang, selain
kekurangan gizi, bayi yang baru lahir tersebut juga akan mengalami kemunduran perkembangan otak. Hal ini akan berakibat terjadinya penurunan kemampuan belajar dan kemampuan akademik pada usia yang lebih lanjut. Studi mencatat
bahwa BBLR menurunkan skor IQ sampai 5 poin (Syafiq, 2007).
Kondisi BBLR yang berpengaruh terhadap kemampuan belajar menjadi
beban untuk menentukan kualitas Sumber Daya Manusia, salah satunya saat memasuki usia sekolah. Hal ini berkaitan dengan inteligensi anak. Anak sekolah adalah anak yang berusia 6-12 tahun, memiliki fisik lebih kuat dibandingkan
balita atau anak usia prasekolah, mempunyai sifat individual serta aktif dan tidak bergantung dengan orangtua. Anak sekolah dasar merupakan sasaran strategis
dipersiapkan dengan baik kualitasnya, anak sekolah sedang mengalami pertumbuhan secara fisik, mental dan intelektual yang sangat diperlukan guna
menunjang kehidupannya di masa mendatang, guna mendukung keadaan tersebut anak sekolah memerlukan kondisi tubuh yang optimal dan bugar, sehingga
memerlukan status gizi yang baik.
Gizi yang baik adalah gizi yang seimbang, artinya asupan zat gizi harus
sesuai dengan kebutuhan tubuh. Kebutuhan nutrisi pada setiap orang berbeda-beda berdasarkan unsur metabolik dan genetikanya masing-masing (Supariasa, 2002). Asupan zat gizi yang dibutuhkan pada anak sekolah harus tercukupi, sebab
pada masa ini anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cepat. Bila kebutuhan selama masa tersebut tidak terpenuhi maka pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan anak akan terjadi gangguan dan berpengaruh terhadap status gizi anak. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Baik pada status gizi
kurang, maupun status gizi lebih terjadi gangguan gizi (Almatsier.S, 2010). Menurut hasil Riskesdas (2013), bahwa secara nasional prevalensi kurus
(menurut IMT/U) pada anak umur 5-12 tahun adalah 11,2 persen, terdiri dari 4,0 persen sangat kurus dan 7,2 persen kurus. Masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8 persen, terdiri dari gemuk 10,8 persen dan sangat
gemuk (obesitas) 8,8 persen. Prevalensi sangat kurus paling rendah di Bali (2,3%) dan paling tinggi di Nusa Tenggara Timur (7,8%). Sebanyak 16 provinsi dengan
pendek dan 18,4% pendek), prevalensi kurus yaitu 12,3 persen (4% sangat kurus dan 8,3% kurus) dan prevalensi gemuk adalah 20,3 persen (13,3% gemuk dan 7%
obesitas).
Berdasarkan profil kesehatan Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara
(2013), menunjukkan bahwa ada 25 Kabupaten/Kota yang memiliki prevalensi pendek usia 5-12 tahun diatas angka prevalensi nasional (37,2%). Urutan 5 (lima)
tertinggi yaitu, Langkat (55,0%), Padang Lawas (54,9%), Nias Utara (54,8%), Batu bara (54,7%) dan Pakpak Barat (52,3%). Menurut WHO 2010, prevalensi tinggi bila prevalensi status gizi menurut indikator TB/U pendek 30% – 39% dan
prevalensi sangat tinggi bila prevalensi > 40%. Sedangkan prevalensi kurus diatas angka prevalensi nasional (11,2%). Urutan 3 (tiga) tertinggi prevalensi kurus
berdasarkan kabupaten/kota yaitu, Langkat (12,5%), (12,0%), Nias Utara (11,8%) dan Batu bara (11,5%).
Kesehatan dan pertumbuhan anak merupakan masalah yang perlu
mendapat perhatian terus-menerus oleh berbagai pihak, seperti pemerintah maupun keluarga. Anak-anak merupakan penerus bangsa, ditangan merekalah
kelak nasib bangsa ini akan ditentukan. Jika suatu bangsa memiliki anak-anak yang sehat jasmani dan rohani, akan tercipta sumber daya manusia yang berkualitas, cerdas dan produktif. Turunnya kualitas suatu generasi dapat dicegah
dengan cara menyelamatkan mereka dari gangguan kesehatan fisik, mental maupun intelektual. Jika cara tersebut tidak segera dilakukan, seperti yang
keadaan lost generation, yaitu generasi dengan jutaan anak kekurangan gizi berdampak pada tingkat kecerdasan (IQ) anak lebih rendah.
Banyak penelitian menunjukan bahwa status gizi anak sekolah yang baik akan menghasilkan derajat kesehatan yang baik dan tingkat kecerdasannya yang
baik pula. Sebaliknya, status gizi yang buruk menghasilkan derajat kesehatan yang buruk, mudah terserang penyakit, dan tingkat kecerdasan yang kurang (Devi,
2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Karsin yang dikutip oleh Indrawati dkk (2013), bahwa anak yang mengalami kurang energi protein (KEP) mempunyai IQ
lebih rendah 10-13 skor dibandingkan anak yang tidak KEP; anak yang mengalami anemia mempunyai IQ lebih rendah 5-10 skor dibandingkan yang
tidak anemia; anak yang mengalami Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) mempunyai IQ lebih rendah 50 skor dibandingkan anak yang mengalami GAKI. Hal yang sama juga dilakukan oleh Fithia dkk, (2011) juga menyimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi anak dengan kemampuan kognitif anak Sekolah Dasar di daerah endemik GAKI dalam
penelitiannya tentang hubungan antara status gizi dan faktor sosiodemografi dengan kemampuan kognitif anak Sekolah Dasar di daerah endemis GAKI. Kemudian, penelitian Ardi (2016) bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara status gizi dengan tingkat inteligensi anak.
Tingkat kecerdasan anak juga dipengaruhi oleh keadaan status gizi lebih,
kreativitas anak menjadi menurun dan cenderung malas akibat kelebihan berat badan.
SD Negeri 054901 Sidomulyo merupakan salah satu sekolah dasar yang terletak di Kelurahan Sidomulyo Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat. Hasil
survei awal di sekolah dasar tersebut pada siswa kelas 2A memiliki status gizi yang heterogen, yaitu dari 24 siswa terdiri 12 (50%) anak memiliki status gizi
kurus, 10 (41,7%) normal dan 2 (8,3%) gemuk. Untuk melihat status gizi anak di masa lampau dengan mengetahui riwayat berat lahir siswa. Pada siswa kelas 2 A, yaitu dari 24 siswa terdiri dari 9 (37,5%) dengan berat lahir rendah dan 15
(62,5%) berat lahir normal. Keadaan status gizi dapat mempengaruhi kecerdasan dan hasil prestasi siswa. Pada data awal bahwa hasil belajar para siswa kurang, hal
ini terlihat dari nilai ulangan yang dilakukan setiap bulannya, sekitar 20% mendapat nilai baik yaitu 80-90, 30% mendapat nilai cukup yaitu 70–75 dan 50% mendapatkan nilai kurang yaitu 50–65 (SD Negeri 054901 Sidomulyo, 2015).
Langkat adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera dengan luas wilayah 6.263,29 km2 dan jumlah penduduk 104.299 jiwa dan kepadatan 5,71
jiwa/km2. Salah satu kabupaten yang mulai berkembang pesat dengan pertumbuhan penduduknya hal ini tentunya sangat berhubungan dengan keadaan sumber daya manusianya, dapat kita yakinkan bahwa tumbuh kembang
penduduknya haruslah diperhatikan terutama bayi-bayi yang baru dilahirkan dan keadaan gizi anak usia sekolah, karena merupakan bibit-bibit pendiri Kabupaten
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa faktor gizi sangat esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan otak. Keseimbangan antara asupan dan
kebutuhan zat gizi sangat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, kecerdasan, kesehatan, aktivitas anak, dan hal-hal lainnya. Oleh karena itu,
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan berat badan lahir, status gizi dengan tingkat kecerdasan intelektual (IQ) pada anak sekolah dasar di SD Negeri
054901 Sidomulyo Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat tahun 2016. 1.2 Permasalahan Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian sebagaimana tersebut di atas maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah ada hubungan antara berat lahir dengan tingkat kecerdasan intelektual
(IQ) pada anak SD Negeri 054901 Sidomulyo kecamatan Stabat Kabupaten Langkat.
2. Apakah ada hubungan antara status gizi dengan tingkat kecerdasan intelektual
(IQ) pada anak SD Negeri 054901 Sidomulyo kecamatan Stabat Kabupaten Langkat.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara berat lahir, status gizi dengan tingkat kecerdasan intelektual (IQ) pada anak usia
1.4 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah “terdapat hubungan antara berat lahir, status gizi dengan IQ pada siswa SD Negeri
054901 Sidomulyo Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat.
1.5 Manfaat penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
hubungan berat lahir, status gizi terhadap tingkat kecerdasan intelektual (IQ) pada anak usia sekolah dasar serta memberikan gambaran riil tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecerdasan intelektual anak.
2. Bagi pihak sekolah sebagai fasilitator pendidikan, dapat melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status gizi siswa
dan menyedikan fasilitas yang memadai untuk menumbuhkembangkan taraf kecerdasan anak. Sehingga dapat membantu peningkatan skor IQ siswa serta menunjang hasil belajarnya.
3. Bagi praktisi kesehatan, penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam usaha perbaikan pelayanan gizi demi menunjang perkembangan kecerdasan