• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Resistensi Malathion dan Sipermethrin Terhadap Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Kota Medan Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Resistensi Malathion dan Sipermethrin Terhadap Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Kota Medan Tahun 2016"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Resistensi Nyamuk

2.1.1 Pengertian Resistensi Nyamuk

Menurut WHO (1992) dalam Sucipto (2015) resistensi terhadap insektisida adalah kemampuan individu serangga dalam populasi untuk bertahan hidup terhadap suatu dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat membunuh spesies serangga tersebut. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang disebabkan oleh seleksi serangga hama yang diberi perlakuan insektisida secara terus menerus. Secara prinsip mekanisme resistensi ini akan mencegah insektisida berikatan dengan titik targetnya atau tubuh serangga menjadi mampu untuk mengurai bahan aktif insektisida sebelum sampai pada titik sasaran. Jenis atau tingkatan resistensi itu sendiri meliputi tahap rentan, toleran baru kemudian tahap resisten.

Resistensi insektisida merupakan suatu kenaikan proporsi individu dalam populasi yang secara genetik memiliki kemampuan untuk tetap hidup meski terpapar satu atau lebih senyawa insektisida. Peningkatan individu ini terutama oleh karena matinya individu-individu yang sensitif insektisida sehingga memberikan peluang bagi individu yang resisten untuk terus berkembangbiak dan meneruskan gen resistensi pada keturunannya (Tabashnik, 2011).

(2)

(cross resistance). Resistensi tunggal adalah resistensi pada populasi serangga terhadap satu jenis insektisida sedangkan resistensi ganda (silang) adalah perkembangan resistensi pada populasi serangga termasuk nyamuk akibat penekanan secara selektif insektisida lain dengan mekanisme sama/target site sama, tetapi bukan dari satu kelompok insektisida (WHO, 1992).

Menurut Herat (1997) yang dikutip oleh Sucipto (2015) bahwa status resistensi terhadap serangga, diukur menggunakan prosedur standar WHO dengan uji Susceptibility, yaitu metode standar yang tepat untuk mengukur resistensi insektisida khususnya di lapangan. Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasi hasil Letal Concentration (LC50) atau LC100 adalah :

1. Kematian 99-100 % = Susceptible/Rentan/Peka 2. Kematian 80-98 % = Toleran

3. Kematian <80 % = Resisten 2.1.2 Jenis-jenis Resistensi

Menurut WHO (1975) penggunaan insektisida pada pengendalian populasi nyamuk, menyebabkan tekanan seleksi atas individu nyamuk yang memiliki kemampuan untuk tetap hidup bila kontak dengan insektisida dengan mekanisme berbeda. Resistensi secara umum dikenal 3 tipe, yaitu :

(3)

seperti, ukuran kutikula tebal dan tingginya kandungan lemak berperan dalam fenomena resistensi non spesifik.

2. Resistensi fisiologis, populasi serangga mungkin terseleksi untuk tetap hidup terhadap tekanan insektisida tertentu oleh mekanisme fisiologis yang berbeda (enzim mendetoksifikasi timbunan insektisida dalam lemak). Contoh resistensi fisiologis adalah nyamuk yang resisten dapat meningkat akibat penggunaan insektisida seperti Malathion dan Sipermethrin. Tipe resistensi ini adalah reversible (dapat pulih seperti semula) ketika tekanan insektisida dihilangkan, tetapi kerentanannya jarang dapat kembali ke nilai sebelumnya dan menurun kembali dengan cepat manakala penggunaan insektisida dimulai lagi.

3. Resisten Perilaku (resistance behavioristic), adalah kemampuan populasi nyamuk lari/menghindar dari efek insektisida karena perilaku alamiah atau modifikasi perilaku mereka (induced behavior) akibat insektisida. Hal ini dilakukan dengan cara menghindari permukaan atau udara yang mendapat perlakuan insektisida atau memperpendek periode kontak (Sucipto 2015).

2.1.3 Mekanisme Resistensi Serangga

(4)

Menurut WHO (1980) ada 3 mekanisme dasar yang berperan dalam proses terjadinya resistensi/penurunan status kerentanan serangga terhadap insektisida, diantaranya :

1. Peningkatan metabolisme toksikan (insektisida) dalam tubuh serangga dengan enzim mixed function oxisade, hidrolase, esterase dan glutathione-S-transferase.

2. Perubahan sensitivitas tempat sasaran dalam tubuh serangga, yang berupa insensitivitas saraf dan insensitivitas enzim asetilkholinesterase (AChE). 3. Penurunan penetrasi toksikan (insektisida) ke arah tempat aktif (saraf dan

AChE).

Mekanisme resistensi serangga terhadap insektisida organofosfat dan karbamat yang dilaporkan oleh French-Constant dan Bonning (1989), Mardihusodo (1996), Mulyaningsih (2004), yaitu terjadinya peningkatan aktivitas enzim esterase nonspesifik dan insensitivitas asetilkholinesterase. Peningkatan aktivitas enzim esterase nonspesifik akan menurunkan dosis letal insektisida organofosfat menjadi subletal, sehingga tidak mematikan serangga sasaran. Kedua mekanisme tersebut berperan dalam penurunan status kerentanan pada sebagian besar serangga, baik di bidang kesehatan maupun pertanian.

Menurut Sucipto (2015) proses terjadinya penurunan kerentanan (resistensi) pada beberapa serangga termasuk nyamuk dapat dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu :

(5)

heterozygote yang terdapat pada nyamuk maupun serangga lainnya. Faktor genetik seperti gen-gen yang menjadi pembentukan enzim esterase, yang dapat menyebabkan resistensi serangga terhadap insektisida organofosfat dan pyrethroid. Faktor genetik lain seperti adanya gen knock down resistence (kdr) sehingga serangga resisten terhadap DDT dan dieldrin.

2. Faktor biologis, meliputi biotik (adanya pergantian generasi, perkawinan monogamy atau poligami dan waktu berakhirnya perkembangan setiap generasi pada serangga di alam), perilaku serangga misalnya: migrasi, isolasi, monofagi atau polifagi serta kemampuan serangga di luar kebiasaannya dalam melakukan perlindungan terhadap bahaya atau perubahan tingkah laku.

3. Faktor operasional, meliputi bahan kimia yang digunakan dalam pengendalian vektor (golongan insektisida, kesamaan target dan sifat insektisida yang pernah digunakan, persistensi residu dan formulasi insektisida yang digunakan) serta aplikasi insektisida tersebut di lapangan (cara aplikasi, frekuensi dan lama penggunaan).

(6)

cross resistance antara insektisida organofosfat dan karbamat. Populasi serangga yang sudah resisten terhadap insektisida DDT cenderung resisten terhadap piretroid. Demikian halnya populasi serangga yang sudah kebal terhadap insektisida golongan organofosfat cenderung resisten terhadap insektisida karbamat. Penggunaan insektisida secara terus menerus cenderung mempercepat proses terjadinya resistensi serangga. Sementara penggunaan insektisida secara bergantian dengan insektisida dari kelompok kimia yang berbeda dan cara kerja yang berbeda akan menghambat terjadinya resistensi serangga.

2.1.4 Deteksi Resistensi Vektor Terhadap Insektisida

Penentuan status kerentanan spesies nyamuk vektor secara berkala sangat diperlukan untuk mendapatkan data dasar deteksi lebih lanjut dan monitoring terjadinya resistensi. Dengan mengetahui status kerentanan spesies vektor, maka akan memberikan masukan terhadap kebijakan program dalam menentukan jenis insektisida dan strategi yang akan digunakan. Disamping itu hasil uji resistensi dapat digunakan dalam memahami mekanisme terjadinya penurunan kerentanan vektor (resistensi). Pemantauan resistensi vektor terhadap insektisida pada setiap spesies vektor di setiap strata eko-epidemiologi seharusnya dilakukan secara berkala 1-2 tahun oleh sektor kesehatan tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota (Kementerian Kesehatan RI, 2012).

(7)

1. Deteksi secara konvensional dengan metode standar WHO susceptibility test menggunakan impregnated paper. Deteksi secara susceptibility adalah uji tingkat resistensi yang digunakan oleh WHO dengan menggunakan impregnated paper (lembaran yang sudah mengandung insektisida). Uji susceptibility dilakukan menggunakan stadium dewasa dari serangga uji. Persyaratan untuk uji susceptibility yang harus dipenuhi adalah jumlah yang cukup serta kondisi fisiologis serangga yang baik. Kondisi fisiologis yang baik diantaranya keseragaman umur serangga, stadium, ukuran, harus hidup dan kenyang darah atau kenyang gula. Pada uji susceptibility kematian serangga uji dicatat setelah pemaparan insektisida dan setelah diholding (dipisahkan dari paparan insektisida) selama semalam (24 jam).

2. Deteksi secara biokimia atau enzimatis menggunakan mikroplat. Deteksi secara biokimia adalah uji resistensi nyamuk terhadap insektisida yang sangat esensial berdasarkan kuantifikasi enzim yang bertanggung jawab pada proses resistensi seperti uji mikroplat untuk insensitive asetilkholinesterase dan uji mikroplat untuk aktivitas enzim esterase non-spesifik. Keunggulan dari uji biokimia adalah informasi status kerentanan diperoleh lebih cepat dan dapat menunjukan mekanisme penurunan kerentanan (Resistensi dan toleransi) yang di ukur pada serangga secara individu (Widiarti, 2002).

(8)

konvensional, yang salah satunya adalah gen voltage gated sodium channel (VGSC). Gen VGSC merupakan mekanisme resistensi serangga terhadap insektisida DDT dan golongan piretroid yang ditunjukkan dengan adanya titik mutasi. Mutasi gen VGSC pada nyamuk Aedes Aegypti terjadi pada sembilan lokus yang berbeda (Brengues, et al., 2003).

2.2 Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.2.1 Defenisi DBD

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan di tularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang serta dapat mengakibatkan

kematian terutama pada anak – anak dan sering menimbulkan wabah. Jika nyamuk Aedes aegypti menggigit penderita demam berdarah maka virus dengue akan masuk kedalam tubuh bersama darah yang diisapnya kemudian virus dengue berkembang biak dan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk dan sebagian besar berada di kelenjar liur, selanjutnya apabila nyamuk menggigit orang lain maka air liur bersama virus dengue akan dilepas terlebih dahulu agar darah yang akan di hisap tidak membeku dan pada saat yang bersamaan virus dengue ditularkan ke orang lain tersebut (Soegijanto, 2006).

(9)

DEN-4 dari genus Flavivirus. Penyakit ini merupakan penyakit yang timbul di negara-negara tropis, termasuk di Indonesia (Depkes RI, 2010 ; Dantje, 2009). 2.2.2 Epidemiologi DBD

Wabah dengue pertama kali ditemukan di dunia tahun 1635 di Kepulauan Karibia dan selama abad 18, 19 dan awal abad 20, wabah penyakit yang menyerupai dengue telah digambarkan secara global di daerah tropis dan beriklim sedang. Vektor penyakit ini berpindah dan memindahkan penyakit dan virus dengue melalui transportasi laut. Seorang pakar bernama Rush telah menulis tentang dengue berkaitan dengan break bone fever yang terjadi di Philadelphia tahun 1780. Kebanyakan wabah ini secara klinis adalah demam dengue walaupun ada beberapa kasus berbentuk haemorrhargia. Penyakit DBD di Asia Tenggara ditemukan pertama kali di Manila tahun 1954 dan Bangkok tahun 1958 (Soegijanto, 2006).

Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Depkes RI 2014).

(10)

Penyakit demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini mendapat virus dengue sewaktu mengisap darah orang yang sakit demam berdarah dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya terdapat virus dengue. Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan

sumber penularan penyakit demam berdarah. Virus dengue berada dalam darah selama 4 - 7 hari mulai 1 - 2 hari sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Menurut WHO (1999) lama waktu yang diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik tergantung pada kondisi lingkungan sekitarnya Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya (Soegijanto, 2012).

Nyamuk Aedes aegypti yang telah mengisap virus dengue itu menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (Soegijanto, 2006).

(11)

a. Wilayah yang banyak kasus DBD atau rawan endemis DBD.

b. Tempat-tempat umum yang merupakan tempat berkumpulnya orang, orang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar seperti sekolah, pasar, hotel, puskesmas, rumah sakit dan sebagainya.

c. Pemukiman baru di pinggir kota, karena dilokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka memungkinkan diantaranya terdapat penderita atau karier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi asal.

2.3 Nyamuk Aedes aegypti

Taksonomi nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut: Filum : Artropoda

Kelas : Hexapoda/lnsecta Subklas : Pterygota

Ordo : Diptera Familia : Culicidae Subfamilia : Culicinae

Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti (C'rosskey, 1993)

(12)

Pada dasarnya siklus hidup nyamuk berawal dari peletakan telur oleh nyamuk betina. Dari telur muncul fase kehidupan air yang masih belum matang disebut larva yang berkembang melalui empat tahap kemudian bertambah ukuran hingga mencapai kepompong nyamuk dewasa membentuk diri sebagai betina atau jantan dan tahap nyamuk dewasa muncul dari pecahan di belakang kulit kepompong. Nyamuk dewasa makan, kawin dan nyamuk betina memproduksi telur untuk melengkapi siklus dan memulai generasi baru. Beberapa spesies nyamuk hanya satu generasi per tahun yang lainnya bisa mempunyai beberapa generasi selama musim dengan kondisi iklim yang menguntungkan. Mereka sangat bergantung pada iklim dari kondisi lingkungan lokal terutama suhu dan curah hujan (Achmadi, 2011).

(13)

Gambar 1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

2.3.2 Morfologi Nyamuk Aedes aegypti

1. Telur

Setiap kali bertelur, nyamuk betina Aedes aegypti dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir, dengan ukuran 0,5-0,8 mm, berbentuk elips atau oval memanjang, berwarna hitam, permukaan poligonal yang mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding tempat penampungan air. Telur ini ditempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan, dan menetas menjadi jentik dalam waktu lebih kurang 2 hari setelah terendam air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh kepermukaan (Soegijanto, 2006).

(14)

Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit. Ada 4 tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut yaitu :

a. Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam.

b. Instar II : berukuran 2,5-3,9 mm, duri-duri dada belum jelas, dan corong pernapasan sudah berwarna hitam.

c. Instar III: berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II.

d. Instar IV: berukuran paling besar 5 mm, telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen).

Jenis Aedes aegypti akan selalu bergerak aktif dalam air, gerakan berulang-ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas (mengambil udara) kemudian turun, kembali kebawah dan seterusnya. Pada waktu istirahat, posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air. Biasanya berada disekitar dinding tempat penampungan air. Setelah 6-8 hari jentik akan berkembang / berubah menjadi kepompong (Soegijanto, 2006).

(15)

Kepompong atau pupa seperti “koma”, bentuknya lebih besar namun lebih

ramping dibanding larva atau jentiknya. Pupa berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain, gerakan lamban, sering berada di permukaan air, setelah 1-2 hari akan menjadi nyamuk dewasa (Soegijanto, 2006).

4. Nyamuk Dewasa

Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik- bintik putih pada bagian badan dan kaki. Hidup di dalam dan di sekitar rumah, juga ditemukan di tempat-tempat umum, dan mampu terbang sampai 100 meter. Nyamuk betina aktif menggigit (menghisap) darah pada pagi hari sampai sore hari. Nyamuk jantan biasa menghisap sari bunga/ tumbuhan yang mengandung gula. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan atau rata-rata 1,5 bulan . Perbedaan morfologi antara nyamuk Aedes aegypti yang betina dengan jantan terletak pada perbedaan morfologi antenanya. Aedes aegypti betina memiliki antena berbulu jarang sedangkan yang jantan memiliki antena berbulu lebat. Dada nyamuk ini tersusun atas 3 ruas, porothorax, mesothorax, dan metathorax. Perut terdiri dari 8 ruas dan pada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih (Soegijanto, 2006).

2.3.3 Bionomik Aedes aegypti

(16)

1. Perilaku Makan

Nyamuk Aedes aegypti mempunyai perilaku makan yaitu mengisap nectar dan jus tanaman sebagai sumber energinya. Tetapi setelah kawin, nyamuk betina memerlukan darah untuk bertelur. Menurut Achmadi (2011), nyamuk betina membutuhkan protein untuk memproduksi telur yang didapatkannya dari darah. Nyamuk tertarik pada host berdasarkan faktor-faktor yang berbeda. Semakin hangat suhu dan semakin tinggi kelembaban sekitar host ditambah dengan gerakan host dan perbedaan warna disekitar mereka akan lebih mempermudah nyamuk untuk mendekati host dan menghisap darahnya demi kelangsungan keturunannya. Sumber darah secara epidemiologis adalah penting karena beberapa mikroorganisme patogen dan parasit yang menyebabkan penyakit dihubungkan dengan host tertentu. Nyamuk yang mencari makan pada burung dan/atau host mamalia dan juga pada manusia disebut perilaku mencari makan oportunistik.

Menurut Sutanto (2008), sebagai hewan nocturnal (kebiasaan yang aktif pada malam hari) nyamuk betina memiliki dua periode aktivitas menggigit, pertama di pagi hari (diurnal) selama beberapa jam setelah matahari terbit dan sore hari selama beberapa jam sebelum gelap. Aedes aegypti biasanya tidak menggigit di malam hari tetapi akan menggigit saat malam di kamar yang terang. Kebiasaan menggigit Aedes aegypti pada pagi hari hingga sore yaitu pukul 08.00 - 10.00 dan pukul 15.00 -17.00. Lebih banyak menggigit di dalam rumah daripada di luar rumah.

(17)

Aedes aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembap dan tersembunyi dalam rumah atau bangunan termasuk kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil maupun di dapur (Achmadi, 2008).

3. Jarak Terbang

Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah, tetapi tampaknya terbatas sampai jarak 100 meter dari lokasi kemunculan (WHO, 2004).

4. Lama Hidup

Menurut Achmadi (2011), semakin tua nyamuk semakin penting dalam penyebaran penyakit. Nyamuk harus bertahan selama mungkin agar cukup bagi mikroorganisme yang dikandungnya cukup waktu untuk ditransmisikan. Ketika nyamuk ada kesempatan menggigit manusia atau hewan untuk kedua kali, maka transmisi akan terjadi. Masa inkubasi ini bervariasi tergantung dari iklim, beberapa nyamuk bereproduksi sepanjang tahun. Sebagian besar cenderung menghabiskan masa hidup pada kondisi yang berlawanan pada musim dingin atau selama musim kemarau dalam keadaan tidur atau istirahat.

(18)

semakin membaiknya transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas.

5. Tempat Perkembangbiakan

Menurut Depkes RI (2008), tempat perkembangbiakan utama Aedes aegypti ialah tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah. Jenis tempat perkembang-biakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.

b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).

c. Tempat penampungan air alamiah seperti: lobang pohon, lobang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu.

Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2 hari setelah telur terendam air.

(19)

Sebagaimana telah diketahui Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit DBD. Untuk mengatasi penyakit DBD sampai saat ini masih belum ada cara yang efektif, karena sampai saat ini masih belum ditemukan obat anti virus Dengue yang efektif maupun vaksin yang dapat melindungi diri terhadap infeksi virus Dengue. Oleh karena itu perlu dipikirkan cara penanggulangan penyakit DBD dengan melalui pengendalian terhadap nyamuk Aedes aegypti.

Tujuan pengendalian vektor utama adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti sampai serendah mungkin sehingga kemampuan sebagai vektor menghilang. Menurut Soegijanto (2006), pengendalian vektor dapat dilakukan dengan cara : kimiawi, biologis, radiasi, dan mekanik/pengelolaan lingkungan.

2.4.1 Pengendalian Secara Kimiawi

(20)

Di dalam pelaksanaannya penentuan jenis insektisida, dosis dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang di satuan ekosistim akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga sasaran. Pendapat itu juga di dukung oleh Kasumbogo (2004), beliau mengatakan bahwa ada beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat resistensi nyamuk terhadap suatu pestisida. Variabel-variabel tersebut antara lain konsentrasi pestisida, frekuensi penyemprotan, dan luas penyemprotan. Fenomena resistensi itu dapat dijelaskan dengan teori evolusi yaitu ketika suatu lokasi dilakukan penyemprotan pestisida, nyamuk yang peka akan mati, sebaliknya yang tidak peka akan tetap melangsungkan hidupnya. Paparan pestisida yang terus menerus menyebabkan nyamuk beradaptasi sehingga jumlah nyamuk yang kebal bertambah banyak. Apalagi, nyamuk yang kebal tersebut dapat membawa sifat resistensinya ke keturunannya. Tak berhenti sampai disitu, nyamuk yang sudah kebal terhadap satu jenis pestisida tertentu akan terus mengembangkan diri agar bisa kebal terkadap jenis pestisida yang lain (Kasumbogo, 2004).

Pemberantasan secara kimia menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI (2010) dikelompokkan menjadi:

1. Surface spray (IRS)

(21)

aplikasi residual insektisida (secara aktif melawan insekta dewasa). Tujuan penyemrpotan ini adalah untuk memutuskan penularan karena umur nyamuk menjadi lebih pendek sehingga tidak sempat menghasilkan sporozoit di dalam kelenjar ludahnya.

2. Kelambu Berinsektisida

Kelambu berinsektisida adalah kelambu yang sudah dilapisi racun serangga (insektisida) yang dibuat oleh pabrik kelambu. Kelambu berinsektisida ini digunakan dalam pengendalian nyamuk malaria. WHO telah merekomendasi penggunaan kelambu berinsektisida tahan lama yang disebut Long Lasting Insecticide Nets (LLINs). Pengunaan kelambu akan menghindari terjadinya kontak langsung antara nyamuk dengan manusia, dan dengan kelambu tersebut diharapkan mass killing dari nyamuk malaria dapat dicegah dibandingkan dengan yang tidak menggunakan kelambu

3. Larvasida

(22)

4. Space Spray (Pengkabutan panas/fogging)

Pengasapan (fogging) adalah penyemprotan dengan cara mencampurkan minyak dengan insektisida kemudian dipanaskan sehingga menjadi semacam kabut asap yg sangat halus. Fogging merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengendalikan DBD dengan menggunakan senyawa kimia seperti Malathion dan Sipermethrin atau senyawa kimia lain yang berasal dari golongan insektisida yang lain. Metode ini melibatkan pengasapan droplet-droplet kecil insektisida ke dalam udara untuk membunuh nyamuk dewasa. Ukuran diameter droplet (partikel) pada pengasapan dengan uap panas biasanya berukuran kurang dari 15 mikron. Ukuran droplet pada pengasapan bergantung pada jenis mesin dan kondisi operasionalnya (WHO, 2004).

5. Insektisida Rumah Tangga

Penggunaan repelen, anti nyamuk bakar, liquid vaporizer, paper vaporizer, mat, aerosol dan lain-lain yang digunakan masyarakat.

2.4.2 Pengendalian Secara Biologis

(23)

2.4.3 Pengendalian Secara Radiasi

Pengendalian secara radiasi dilakukan dengan nyamuk dewasa jantan diradiasi dengan bahan radioaktif dengan dosis tertentu sehingga mandul. Kemudian nyamuk jantan yang telah diradiasi ini dilepaskan ke alam bebas. Meskipun nanti akan berkopulasi dengan nyamuk betina tapi nyamuk betina tidak akan dapat menghasilkan telur yang fertil.

2.4.4 Pengelolaan lingkungan

Pengelolaan lingkungan mencakup semua perubahan yang dapat mencegah atau meminimalkan perkembangan vektor sehingga kontak antara vektor dengan manusia berkurang. Metode pokok dalam manajemen lingkungan meliputi:

1. Modifikasi lingkungan

Menurut Kusnoputranto (2000), modifikasi lingkungan suatu transformasi fisik yang permanen (jangka panjang) terhadap tanah, air dan tumbuh-tumbuhan untuk mencegah/menurunkan habitat larva tanpa mengakibatkan kerugian bagi manusia. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan modifikasi lingkungan antara lain : perbaikan penyediaan air, tangki dan reservoir diatas atau dibawah tanah anti nyamuk dan perubahan fisik habitat larva yang tahan lama (WHO, 2001).

2. Manipulasi lingkungan

(24)

untuk manipulasi lingkungan antara lain: drainase instalasi penyediaan air, penyimpanan air rumah tangga dan pengubahan sementara habitat vektor atau pemusnahan tempat perkembangbiakan vektor. Pengubahan sementara habitat vektor yang dapat dilakukan di rumah tangga pot bunga, vas bunga dilubangi untuk saluran air keluar, pemeriksaan wadah penampungan hasil kondensasi kulkas atau lemari es/AC, pemeriksaan pipa aliran air talang atap secara berkala (WHO, 2001).

3. Perubahan habitat atau perilaku manusia

Upaya untuk mengurangi kontak antara manusia dengan vektor, misalnya: pakaian pelindung, pemakai obat nyamuk baker dan aerosol, penolak serangan, pemakaian kelambu atau gorden (WHO, 2001).

Pengendalian lingkungan dapat juga dilakukan dengan cara mencegah nyamuk kontak langsung dengan manusia yaitu dengan memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak terjangkau sinar matahari. Pencegahan yang paling tepat dan efektif serta aman untuk jangka panjang adalah dilakukan dengan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan 3M yaitu :

1. Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan 2. Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat

(25)

3. Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya dapat menampung air hujan sebagai tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti (DepKes dan Kesejahteraan Sosial RI, 2001).

2.5 Insektisida

2.5.1 Pengertian Insektisida

Insektisida berasal dan kata insect, yang berarti serangga sedangkan cide berarti membunuh. Dengan kata lain pengertian insektisida secara luas adalah semua bahan atau campuran bahan yang digunakan unruk membunuh, mengendalikan, mencegah, menolak atau mengurangi serangga (Hadi, 2006).

Insektisida berasal dari bahasa latin insectum yang mempunyai arti potongan, keratan, atau segmen tubuh, seperti kita lihat pada bagian tubuh serangga. Insektisida umumnya dapat menimbulkan efek terhadap sistem saraf (Soemirat, 2009). Dalam PP No. 7 tahun 1973 tentang Pengawasan atas peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Insektisida, insektisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik, serta virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia.

(26)

Ada bermacam-macam golongan insektisida yang berasal dari bahan sintetik yaitu golongan Organofosfat, Organoklorin. Karbamat dan Piretroid. 2.5.2.1 Organofosfat

Organofosfat (OP) adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel darah merah (Darmono, 2003).

Organofosfat merupakan insektisida yang mengandung fosfat dalam susunan kimianya (Magaliona, 1980). Awal penemuan insektisida ini terjadi pada masa perang dunia II dalam rangka penelitian “gas saraf” untuk kepentingan

perang. Menurut Diana (2009) Organofosfat merupakan racun yang tidak selektif, insektisida paling toksik diantara jenis pestisida lainnya, degradasinya berlangsung lebih cepat, atau kurang bertahan lama di lingkungan, menimbulkan resisten terhadap berbagai serangga, memusnahkan populasi predator dan serangga parasit, lebih toksik terhadap manusia daripada organoklorin. Contoh golongan Organofosfat adalah Fenitrothion, Temefos, Pirimiphos methyl, Malathion dan lain-lain.

(27)

nyamuk. Pirimiphos methyl dikenal dengan nama dagang Actellic. Pirimiphos methyl adalah salah satu dari beberapa senyawa yang digunakan untuk pengendalian vektor Triatoma . Serangga ini terlibat dalam penularan penyakit Chagas di Amerika .

Malathion dikenalkan pada 1950 dan dengan cepat dipergunakan dalam bidang pertanian untuk membunuh serangga hama pada sayuran, buah-buahan dan juga sering digunakan untuk keperluan perlindungan dari gangguan serangga di rumah-rumah. Sekitar 1981 malathion digunakan secara besar-besaran untuk mengendalikan lalat buah di California. Malathion dicampur dengan suatu protein dari molasses dan yeast, kemudian disemprotkan dengan menggunakan helikopter pada daerah yang terserang lalat buah. Ternyata malathion cukup efektif membunuh lalat buah (Sudarmo, 2007).

Malathion termasuk golongan organofosfat yang banyak digunakan dalam program pengendalian serangga. Ciri khas malathion adalah mempunyai kemampuan melumpuhkan serangga dengan cepat toksisitasnya terhadap mamalia relatif rendah dan terhadap vertebrata kurang stabil, korosif, berbau, dan memiliki rantai karbon yang pendek. Juga bekerja sebagai racun perut, sebagai racun kontak (contact poison) daa racun inhalasi. Insektisida organofosfat merupakan racun saraf yang bekerja deagaa cara menghambat kolinestrase (ChE) yang mengakibatkan serangga sasaran mengalami kelumpuhan dan akhirnya mati (Djojosumarto, 2008).

(28)

nyamuk anopheles sp di dalam dan di luar ruangan. Malathion termasuk golongan organofosfat parasimpatomimetik, yang berarti berikatan ireversibel dengan enzim kolinesterase pada sistem saraf seraagga. Akibatnya otot tubuh serangga mengalami kejang, kemudiaa lumpuh, dan akibatnya mati. Malathion digunakan dengan cara pengasapan (Kasumbogo, 2004).

2.5.2.2 Organoklorin

Organoklorin merupakan racun yang universal, degradasinya berlangsung sangat lambat, larut dalam lemak. Tergolong insektisida dengan toksisitas relatif rendah tetapi mampu bertahan lama dalam lingkungan, berakumulasi pada jaringan lemak, sangat stabil di air, tanah, dalam jaringan tanaman dan hewan.

(29)

Insektisida ini masih digunakan pada negara sedang berkembang terutama negara pada daerah ekuator karena murah, efektif dan persisten. Contoh golongan Organoklorin adalah diklorodifeniletan (DDT, DDD, portan, metoksiklor, metioklor), siklodin (aldrin, dieldrin, heptaklor, chlordane, dan endosufan), dan sikloheksan benzene terklorinasi (HCB dan HCH). Semua organoklorin merupakan racun saraf (Soemirat, 2009).

2.5.2.3 Karbamat

Insektisida dari golongan karbamat adalah racun saraf yang bekerja dengan cara menghambat kolinesterase (ChE). Jika pada organofosfat hambatan tersebut bersifat irreversible (tidak bisa dipulihkan), pada karbamat hambatan tersebut bersifat reversible (bisa dipulihkan). Insektisida dari kelompok karbamat relatif mudah terurai di lingkungan (tidak persisten) dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak (Djojosumarto, 2008).

(30)

2.5.2.4 Piretroid

Insektisida dari kelompok piretroid merupakan insektisida sintetik yang merupakan tiruan atau analog dari piretrum. Efikasi biologis piretroid bervariasi, tergantung pada bahan aktif masing-masing. Kebanyakan piretroid yang mermliki efek sebagai racun kontak yang sangat kuat. Insektisida piretroid merupakan racun yang mempengaruhi saraf serangga (racun saraf) dengan berbagai macam cara kerja pada susunan saraf sentral (Djojosumarto, 2008).

Piretroid adalah racun saraf yang bekerja dengan cepat dan menimbulkan paralisis yang bersifat sementara. Efek piretroid sama dengan DDT tetapi piretroid memiliki efek tidak persisten. Generasi pertama piretroid adalah alletrin bersifat stabil dan persisten yang cukup efektif untuk membunuh lalat rumah dan nyamuk. Contoh golongan Piretroid adalah Deltamethrin, Lambda-cyhalothrin, Sipermethrin dan lain-lain.

(31)

Sipermethrin ditemukan pada tahun 1975. Insektisida non-sistemik ini bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Efektif terutama untuk mengendalikan Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, Hemiptera, dan kelas-kelas lainnya. Sipermethrin digunakan di bidang pertanian, rumah tangga, kesehatan masyarakat, dan keschatan hewan (Djojosumarto, 2008).

Sipermethrin merupakan racun kontak dan racun perut yang penggunaannya selain untuk pengendalian serangga juga untuk lahan pertanian. Penggunaan sipermethrin sangat populer karena efektifitasnya dan murah harganya. Di Indonesia sipermethrin digunakan untuk pengendalian serangga atau hama pemukiman seperti pengendalian nyamuk, lalat dan kecoa (Magallona, 1980).

Struktur kimia sipermethrin menyerupai pyrethrum (racun pembasmi serangga alami yang terdapat pada bunga krisan), dengan daya racun yang tinggi secara biologi dan lebih stabil dibanding racun alami lainnya. Cypermetrin berwujud cairan kental, berbau menyengat, relatif tidak menguap, stabil terhadap panas, dan larut dalam pelarut non polar (aceton, alkohol, xylene, dan khloroform), serta mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (0,009 ppm) (Haryati, 2006). Sipermethrin juga digunakan pada pencelupan kelambu berinsektisida untuk mencegah malaria. Insektisida yang terdaftar dengan bahan aktif sipermethrin antara lain cynoff, seruni, ciplus, cytrin, hit, baygon dan mortein (Deptan, 2008). 2.6 Cara Masuk Insektisida ke Dalam Tubuh Serangga

(32)

insektisida dengan cara kontak langsung, termakan, melalui pernafasan. Insektisida sebagai racun kontak, racun perut atau racun pernafasan tergantung pada cara masak (mode of entry) insektisida ke dalam tubuh serangga. Menurut Djojosumarto (2008) cara masuknya insektisida kedalam tubuh serangga dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu :

2.6.1 Racun Lambung atau Racun Perut

Racun lambung atau perut adalah insektisida yang membunuh serangga sasaran jika termakan serta masuk ke dalam organ pencernaannya. Selanjutnya insektisida tersebut diserap dinding saluran pencernaan makanan dan dibawa oleh cairan tubuh serangga kemudian ditranslokasikan ke tempat sasaran yang mematikan sesuai dengan jenis bahan aktif insektisida. Misalnya menuju ke susunan syaraf serangga, menuju ke organ-organ respirasi meracui sel-sel lambung dan sebagainya. Oleh karena itu, serangga harus memakan tanaman yang sudah disemprot insektisida yang mengandung residu dalam jumlah yang cukup untuk membunuh.

Insektisida yang benar-benar murni racun perut tidak terlalu banyak. Kebanyakan insektisida mempunyai efek ganda, yakni sebagai racun perut dan racun kontak, hanya da perbedaan kekuatan antara keduanya. Ada insektisida yang kontaknya lebih kuat daripada racun perutnya, demikian sebaliknya. Contoh insektisida yang memiliki efek ganda adalah golongan Piretroid dan Organofosfat sedangkan insektisida yang bersifat sebagai racun perut murni adalah Bacillus thuringiensis.

(33)

Racun kontak adalah insektisida yang masuk kedalam tubuh serangga sasaran melalui kulit (kutikula), celah/lubang alami pada tubuh atau langsung mengenai mulut si serangga. Serangga akan mati apabila bersinggungan langsung (kontak) dengan insektisida tersebut. Kebanyakan insektisida dari kelompok piretroid memiliki efek kontak yang sangat kuat. meskipun memiliki efek sebagai racun perut. Ada yang efek kontaknya sangat kuat dengan efek racun perut sebagai tambahan, ada pula efek racun perutnya lebih kuat daripada sifat kontaknya. Contoh golongan insektisida yang termasuk dalam racun kontak adalah golongan Piretroid, Karbamat, Organoklorin dan Organofosfat.

2.6.3 Racun Pernapasan

Racun pernapasan merupakan insektisida yang masuk atau bekerja lewat sistem pernapasan dalam bentuk partikel mikro yang melayang di udara. Serangga akan mati bila menghirup partikel mikro insektisida dalam jumlah yang cukup masuk kedalam sistem pernapasan serangga dan selanjumya ditransportasikan ke tempat racun tersebut bekerja. Racun pernapasan adalah insektisida yang mematikan serangga karena mengganggu kerja organ pernapasan. Kebanyakan racun pernapasan berupa gas, asap, maupun uap dari insektisida cair. Contoh insektisida yang termasuk dalam racun pernapasan adalah insektisida golongan Organofosfat.

2.7 Cara Kerja Insektisida dalam Tubuh Serangga

(34)

insektisida di dalam tubuh serangga, sehingga menimbulkan eksitasi (kegelisahan), konvulsi (kekejangan), paralisis (kelumpuhan) dan akhinrya mati (Deptan, 2008).

Menurut Hamid (2014) cara kerja insektisida dalam tubuh serangga dibagi dalam 5 (lima) kelompok, yaitu :

1. Mempengaruhi sistem saraf 2. Menghambat produksi energy

3. Menghambat keseimbangan air tubuh

4. Mempengaruhi pertumbuhan serangga (IGR, insect growth regulator) 5. Merusak jaringan pencernaan serangga.

2.7.1 Mempengaruhi Sistem Saraf

(35)

Insektisida Organofosfat dan Karbamat mengikat enzim asetilkolinesterase yang berfungsi menghidrolisis asetilkolin. Dalam keadaan normal asetilkolin berfungsi menghantar impul saraf, setelah itu segera mengalami hidrolisis dengan bantuan enzim asetilkolinesterase menjadi kolin dan asam asetat. Dengan terikatnya enzim asetilkolinesterase terjadi penumpukan asetilkolin, akibatnya impul saraf akan terstimulasi secara terus menerus menyebabkan gejala tremor/gemetar dan gerakan tidak terkendali. Golongan Piretroid juga termasuk insektisida yang bekerja mempengaruhi system saraf dengan mengikat protein “voltage-gated sodium channel” yang mengatur denyut impuls syaraf. Efeknya

sama seperti yang disebabkan oleh Organofosfat dan Karbamat, impuls saraf akan mengalami stimulasi secara terus menerus dan mengakibatkan serangga menunjukkan gejala tremor/gemetar, gerakan tak terkendali. Golongan Organoklorin juga insektisida yang bekerja mengganggu system saraf yeng efeknya mirip dengan Organofosfat dan Karbamat.

2.7.2 Menghambat Produksi Energi

(36)

2.7.3 Menghambat Keseimbangan Air Tubuh

Tubuh serangga dilapisi oleh zat lilin/minyak untuk mencegah hilangnya air dari tubuhnya. Diatom, silica aerogels dan asam borat adalah bahan yang dapat menyerap lilin/lemak, sehingga lapisan lilin akan hilang, serangga akan banyak kehilangan air dan mengalami desikasi dan akhirnya mati.

2.7.4 Mempengaruhi Pertumbuhan Serangga (IGR, Insect Growth Regulator)

Insektisida ini dibagi menjadi dua yaitu yang mempengaruhi sistem endokrin dan yang menghambat sintesis kitin. Pertumbuhan serangga pada fase muda (larva), dikendalikan oleh hormon juvenil (juvenile hormon) yang diproduksi di otak. Hormon juvenil mengatur kapan fase larva berakhir kemudian dilanjutkan dengan molting kemudian menjadi dewasa. Insektisida ini bekerja menyerupai hormon juvenil, menyebabkan larva terganggu pertumbuhannya, tetap dalam fase muda, tidak dapat bekepompong dan akhirnya mati.

2.7.5 Merusak Jaringan Pencernaan Serangga

Insektisida golongan ini adalah yang berbahan aktif mikroorganisme Baccilus thuringiensis (Bt). Bt membentuk endotoksin yang bila masuk ke dalam

pencernaan serangga (larva dari golongan lepidoptera) yang bersifat asam akan terlarut dan merusak sel-sel jaringan pencernaan dan menyebabkan kematian.

2.8 Penyemprotan Insektisida

(37)

mikron), yang disemprotkan ke udara dan diharapkan droplet berada di udara dalam waktu yang cukup lama, sehingga kontak antara insektisida dengan serangga menjadi maksimal. Droplet-droplet kecil tersebut dihasilkan dengan melibatkan energi antara lain energi panas (thermal), seperti pada thermal fogging, energi mekanik seperti pada cold fogging atau Ultra Low Volume dan energi gas seperti pada aerosol dalam tabung (Hadi, 2006).

Insektisida yang digunakan dalam penyemprotan ruangan biasanya mempunyai efek kelumpuhan cepat dan bersifat non residual, sehingga penyemprotan harus dilakukan saat serangga sasaran dalam keadaan aktif. Untuk mendapat hasil yang maksimal di dalam ruangan biasanya disarankan untuk menutup ruangan dalam kurun waktu yang cukup sehingga kontak insektisida dengan serangga menjadi maksimal.

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan penyemprotan insektisida antara lam:

1. Ukuran droplet Alat Fogging

Penyemprotan ruangan hanya efektif pada saat droplet berada di udara, sebab droplet akan jatuh ke permukaan karena daya tarik bumi, bahkan dapat hilang ke atmosfer pada aplikasi di luar ruangan. Ukuran yang cukup baik untuk besaran droplet aplikasi < 100 milimikron, sebab droplet akan mudah melayang saat penguapan (Dent, 2000).

2. Flow Rate

Flow rate adalah volume larutan yang dikeluarkan per satuan waktu,

(38)

yang dihasilkan. Jadi harus dilakukan penyetelan flow rate sebelum penyemprotan berlangsung.

3. Konsentrasi Insektisida

Konsentrasi insektisida yang digunakan harus mengacu pada label, karena bila dosis yang digunakan tidak tepat akan menimbulkan kerugian, tidak hanya dari segi biaya dan efikasi pengendalian tetapi juga berpengaruh terhadap keamanan manusia itu sendiri serta lingkungan (Magallona, 1980).

4. Arah dan Kecepatan Angin

Dalam melakukan aplikasi arah angin harus diperhatikan. Kecepatan angin akan berpengaruh terhadap aplikasi di luar ruangan. Untuk aplikasi di luar ruangan insektisida space spray berkisar 1-4 m/detik atau sekitar 3,6 - 15 Km/jam. Angin diperlukan untuk membawa droplet masuk ke celah-celah bangunan, namun jika angin terlalu kencang maka droplet akan cepat hilang terbawa angin. Penyemprotan harus berjalan mundur melawan arah angin, sehingga droplet tidak mengenai penyemprot.

5. Suhu

Suhu adalah keadaan udara yang akan mempengarahi penyemprotan. Penyemprotan di luar ruangan pada waktu tengah hari atau pada saat suhu tinggi akan sia-sia karena droplet akan menyebar keatas, bukan kesamping sehingga penyemprotan tidak maksimal. Oleh sebab itu penyemprotan sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari.

(39)

Penyemprotan dapat dibagi menjadi dua yaitu Thermal fog (pengasapan) dan cold fog (pengkabutan).

2.8.1.1 Thermal fog/Fogging

Dalam teknik aplikasi, fogging disebut thermal aerosol/thermal fogging atau thermal fog atau aerosol panas, sedangkan alatnya disebut thermal aerosol generator, fogger, thermal fogging machine, atau hot fogging machine.

Karakteristik utama dari aplikasi dengan metode fogging adalah ukuran butiran semprot yang dihasilkannya sangat halus. Spektrum butiran pada fogging mulai dari <1 hingga 150 mikron. Oleh karena halusnya, butiran semprot membentuk semacam kabut asap (fog) yang bisa melayang lama di udara serta sanggup menyusup ke seluruh ruangan atau bidang sasaran dengan baik, bahkan ke dalam lubang serta retakan tanah (Djojosumarto, 2008).

Pengasapan (fogging) yaitu suatu teknik yang digunakan untuk mengendalikan DBD dengan menggunakan insektisida tertentu yang berguna untuk mengurangi penularan sampai batas waktu tertentu (Depkes RI, 2007). Upaya untuk menekan laju penularan penyakit DBD, salah satu- nya ditujukan untuk mengurangi kepadatan vektor DBD secara kimiawi yang dikenal dengan istilah pengasapan {fogging). Selama ini masyarakat begitu mengandalkan fogging untuk menekan laju penularan penyakit DBD. Karena itu, ada beberapa hal penting yang perlu kita ketahui mengenai fogging, antara lain sebagai berikut :

(40)

penularan penyakit DBD di masyarakat meski tidak berarti upaya melakukan fogging sia-sia.

2. Efek fogging hanya efektif bertahan selama dua hari.

3. Jenis insektisida yang dipergunakan mesti diganti secara periodik untuk menghindari kekebalan (resistensi) nyamuk Aedes aegypti (Ginanjar, 2008).

Pengendahan kimiawi secara massal pada suatu area pemukiman biasanya dilakukan dengan menggunakan alat semprot bertekanan, misalnya pada pengasapan (fogging). Fogging biasanya dilakukan bila di suatu daerah ditemukan kasus penyakit yang mematikan seperti demam berdarah dengue. Hal ini dilakukan untuk membunuh nyamuk dewasa yang diduga terinfeksi virus dengue dan memutuskan mata rantai penularan penyakit agar penyebaran tidak meluas. Fogging yang efektif biasanya dilakukan pada saat pagi maupun sore hari, saat

angin tidak begitu kencang dan aktifrtas nyamuk menggigit sedang memuncak (Hadi, 2006).

Insektisida yang digunakan pada thermal fogging berbentuk cair dan biasanya dilarutkan dalam minyak, seperti solar atau minyak tanah. Formulasi larutan atau dosis aplikasi insektisida disesuaikan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh produk penghasil insektisida tersebut. Penggunaan Malathion dan Sipermethrin sebagai bahan aktif pengendali vektor diaplikasikan dengan metode pengasapan (thermal fog).

(41)

Penggunaan cold fog mirip dengan thermal fog, tetapi pelarut yang digunakan adalah air dan tidak menghasilkan kabut yang banyak seperti thermal fogging. Droplet yang dihasilkan pada aplikasi ini tidak melibatkan panas, namun

menggunakan energi mekanik. Kelebihan cold fog adalah pengencer yang sedangkan kekurangan nya adalah konsentrasi larutan semprotnya lebih tinggi sehingga perlu penanganan yang lebih hati-hati (Yamin, 2007).

2.9 Kerangka Konsep

Adapun alur kerangka konsep dari pemikiran penelitian ini adalah :

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

Jenis Insektisida 1. Malathion 0,8%

Suhu dan Kelembaban

Status Resistensi Nyamuk

Gambar

Gambar 1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian adalah 1) menganalisis dan memetakan status resistensi Ae. aegypti terhadap insektisida malathion, bendiocarb dan deltamethrin, dan 2) menganalisis

Status endemisitas merupakan salah satu faktor operasional yang dapat mempengaruhi status resistensi karena pada umumnya menggunakan insektisida dilakukan pada

Penelitian ini bertujuan menganalisis status kerentanan Aedes aegypti terhadap insektisida yang sering digunakan program untuk pengendalian vektor DBD yaitu kelompok

Faktor perilaku menggunakan insektisida yang tidak tepat dapat mengakibatkan terjadinya resistensi Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat

Sebagai contoh resistensi silang dapat terjadi pada serangga terhadap organofosfat dan karbamat karena kedua insektisida tersebut mempunyai target kerja yang sama.. Resistensi

Efektivitas Malathion dalam Pengendalian Vektor DBD dan Uji Kerentanan Larva Aedes aegypti Terhadap temephos di Kota Palembang.. Loka

Jumlah Nyamuk Mati is constant when jenis pestisida = Kontrol.. It has

Penelitian ini bertujuan menganalisis status kerentanan Aedes aegypti terhadap insektisida yang sering digunakan program untuk pengendalian vektor DBD yaitu kelompok