• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar Lokasi pengambilan sampel X-Ray Diffraction batu hornfels, marmer, dan skarn pada lereng barat daya Gunung Jabalkat STA 1...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar Lokasi pengambilan sampel X-Ray Diffraction batu hornfels, marmer, dan skarn pada lereng barat daya Gunung Jabalkat STA 1..."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

xi Gambar 5.15. Lokasi pengambilan sampel X-Ray Diffraction batu hornfels, marmer, dan

skarn pada lereng barat daya Gunung Jabalkat STA 1 ... 64

Gambar 5.16. Lokasi pengambilan sampel mikrodiorit pada puncak Gunung Merak STA 2... 65

Gambar 5.17. Lokasi pengambilan sampel serpentinit pada lereng barat laut Gunung Jabalkat STA 5 ... 65

Gambar 5.18. Lokasi pengambilan sampel gabro pada lereng tenggara Gunung Jabalkat STA 6... 66

Gambar 5.19. Lokasi pengambilan sampel filit pada lereng timur Gunung Jabalkat STA8... 67

Gambar 5.20. Kenampakan mikroskopis hornfels klinopiroksen ... 68

Gambar 5.21. Kenampakan mikroskopis marmer kalsit ... 68

Gambar 5.22. Kenampakan mikroskopis skarn prograde garnet klinopiroksen ... 69

Gambar 5.23. Kenampakan mikroskopis mikrodiorit klinopiroksen ... 69

Gambar 5.24. Kenampakan mikroskopis serpentinit ... 70

Gambar 5.25. Kenampakan mikroskopis gabro olivin... 70

Gambar 5.26. Kenampakan mikroskopis filit kuarsa ... 71

Gambar 5.27. Kenampakan mikroskopis skarn prograde ... 71

Gambar 5.28. Kenampakan mikroskopis skarn prograde ... 72

Gambar 5.29. Kenampakan mikroskopis skarn prograde ... 72

Gambar 5.30. Kenampakan mikroskopis skarn prograde ... 73

Gambar 6.1. Hubungan antara struktur ekstensi dan mineralisasi (Corbett dan Leach). 80 Gambar 6.2. Interpretasi pola struktur pada daerah penelitian. ... 80

Gambar 6.3. Model endapan mineral (Corbett, 2004 dengan modifikasi)... 81

Gambar 6.4. Tekstur sisa (relict texture) pada hornfels. ... 81

Gambar 6.5. Kenampakan secara mineragrafi mineral-mineral sulfida dan oksida. ... 82

Gambar 6.6. Kenampakan mineral garnet dan klinopiroksen pada conto tangan. ... 84

Gambar 6.7. Kenampakan zona proksimal prograde eksoskarn di lapangan. ... 85

Gambar 6.8. Pembagian zonasi skarn ... 86

Gambar 6.9. Peta zonasi ubahan batuan skarn pada Desa Pagerjurang ... 87

Gambar 6.10. Profil sayatan zonasi ubahan batuan skarn Desa Pagerjurang ... 88

(2)

xii Gambar 6.12. Model genetik pembentukan endapan skarn pada daerah Desa

(3)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Jadwal penelitian ... 6

Tabel 3.1. Zonasi pada skarn (Kerrick, 1977 dalam Winter, 2001) ... 33

Tabel 3.2. Mineral-mineral skarn (Meinert, 1992) ... 37

Tabel 4.1. Peralatan lapangan ... 43

Tabel 5.1.Data hasil analisis menggunakan metode X-Ray Diffraction (XRD) STA 1 . 73 Tabel 5.2.Mineral-mineral logam yang dijumpai pada daerah penelitian ... 74

(4)

xiv

SARI

Daerah Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah merupakan daerah yang relatif sempit namun memiliki kondisi geologi yang kompleks. Salah satu batuan yang tertua di Jawa, yang berupa kompleks batuan metamorf dan batuan Paleogen juga tersingkap di daerah ini. Metamorfisme yang terdapat di daerah ini secara umum merupakan metamorfisme regional yang ditandai oleh kehadiran dari batuan-batuan metamorf berfoliasi seperti sekis mika. Namun demikian, pada daerah penelitian juga dijumpai kehadiran metamorfisme kontak yang merupakan indikasi dari keberadaan batuan skarn. Ubahan batuan tipe skarn disebabkan oleh metamorfisme kontak dan proses metasomatisme oleh karena adanya larutan hidrotermal yang berasal dari intrusi yang menerobos batugamping dan batulanau. Karakteristik mineralogi dan paragenesis mineral di daerah penelitian merupakan kumpulan hasil interpretasi data petrografi, mineragrafi, dan XRD pada tiap sampel batuan yang mewakili zona skarn prograde dan zona skarn retrograde. Mineralisasi endapan skarn yang ada pada daerah penelitian terjadi pada kontak litologi batugamping dengan batulanau yang telah terubah menjadi marmer dan hornfels. Mineralisasi pada daerah penelitian dikontrol oleh tren geologi struktur dengan arah NE-SW dan NW-SE, yaitu struktur geologi Sesar Mendatar Dekstral Melikan dan Sesar Mendatar Sinistral Pagerjurang. Pembagian zonasi skarn pada daerah penelitian dibagi menjadi 3, yaitu 1) zona proksimal prograde eksoskarn yang dicirikan dengan kehadiran mineral garnet (grosular) yang lebih melimpah dibandingkan kehadiran klinopiroksen (wolastonit-augit-diopsid-hedenbergit); 2) zona distal prograde eksoskarn yang dicirikan oleh kehadiran garnet lebih sedikit dibandingkan dengan kehadiran klinopiroksen; dan 3) zona retrograde eksoskarn yang dicirikan oleh kehadiran mineral epidot, kaolin, klorit, dan goetit. Sistem endapan skarn pada daerah penelitian yaitu skarn Fe-Cu-Pb-Zn.

(5)

xv

ABSTRACT

Jiwo Hills area in the Bayat District, Klaten Regency, Central Java Province is a relatively small area but with a complex geological condition. Some of the oldest rocks in Java, that consist of metamorphic rocks and Paleogene sedimentary rocks, are exposed in this area. Metamorphism is generally of a regional metamorphism style characterized by the presence of mica schist. However, at Pagerjurang village we found a contact metamorphism as indicated by the occurence of skarn rocks. Skarn is likely to be formed by contact metamorphism and metasomatism by hydrothermal solutions derived from magma (intrusion) that affected limestone and siltstone. Characteristics of mineralogy and mineral paragenesis of the skarn are studied by petrography, mineragraphy, and XRD analysis on rock samples representing different zone of prograde and retrograde skarn. Skarn alteration and mineralization focus at the bedding contact of limestone and siltstone, that has been altered to marble and hornfels. Mineralization is controlled by the NE-SW and NW-SE trending geological structures, there are Melikan Dextral Strike Slip Fault and Pagerjurang Sinistral Strike Slip Fault. The skarn can be divided into three zones, namely 1) proximal prograde exoskarn zone characterized by the presence of garnet (grossular) more abundant than clinopyroxene (wollastonite-augite-diopside-hedenbergite); 2) distal prograde exoskarn zone, characterized by the presence of garnet which is less than clinopyroxene; and 3) retrograde exoskarn zone, that is characterized by the presence of epidote, kaolin, chlorite, and goethite. Skarn system in the research area is characterized by Fe-Cu-Pb-Zn skarn system. Keywords: contact metamorphism, Fe-Cu-Pb-Zn skarn, Jiwo Hills, Bayat

(6)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Judul Penelitian

Penelitian ini berjudul ”Studi Ubahan Batuan Tipe Skarn di Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah”.

I.2. Latar Belakang Masalah

Daerah Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah merupakan daerah yang relatif sempit namun memiliki kondisi geologi yang kompleks. Semua jenis batuan dapat dijumpai di daerah ini pada tempat-tempat singkapan yang mudah dicapai. Salah satu batuan yang tertua di Jawa, yang berupa kompleks batuan metamorf dan batuan Paleogen juga tersingkap di daerah ini. Metamorfisme yang terdapat di daerah ini secara umum merupakan metamorfisme regional yang ditandai oleh kehadiran dari batuan-batuan metamorf berfoliasi seperti sekis mika. Namun demikian, pada daerah penelitian dijumpai indikasi kehadiran metamorfisme kontak yang merupakan tipe metamorfisme yang berlangsung pada daerah intrusi batuan beku sebagai akibat dari panas yang merupakan efek dari magma yang mengintrusi batuan dingin yang berada di sekitarnya. Fenomena ini, yang belum pernah dilaporkan sebelumnya, dijumpai di Desa Pagerjurang dan sekitarnya, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Tersingkapnya batuan yang dimaksud merupakan akibat dari suatu kegiatan pembukaan lahan untuk pembangunan areal pertokoan gerabah yang menjadi komoditi dagang sebagian besar warga Desa Pagerjurang dan sekitarnya, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.

Di sekitar Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah, batuan yang dijumpai didominasi oleh batuan metamorf, batuan sedimen Eosen, dan intrusi batuan beku. Batuan sedimen berumur Eosen yang dijumpai berupa batupasir dengan sisipan batugamping yang kaya akan foraminifera besar (Samodra dan Sutisna, 1997). Batuan tersebut diterobos oleh tubuh batuan beku yang terutama terdiri dari mikrodiorit anggota dari Diorit Pendul (Surono dkk., 2006). Penerobosan ini diduga terjadi pada Oligosen Awal

(7)

(Soeria-2 Atmadja dkk., 1991), yang menjadi fokus penelitian akan keterdapatan batuan skarn yang ada di daerah penelitian. Namun demikian, bukti efek dari intrusi seperti metamorfisme kontak sangatlah sulit untuk ditemukan.

Endapan skarn pertama kali dinyatakan sebagai batuan metamorf hasil kontak antara batuan sedimen karbonatan dengan intrusi magma oleh ahli petrologi metamorf, dengan terjadinya perubahan kandungan batuan sedimen yang kaya karbonat, besi, dan magnesium menjadi kaya akan kandungan Si, Al, Fe dan Mg akibat proses metasomatisme pada intrusi atau di dekat intrusi batuan beku (Best, 2003).

Pada penelitian ini akan dilakukan pemetaan penyebaran alterasi tipe skarn serta analisis mineralogi pada endapan skarn yang terdapat pada daerah penelitian. Hal ini penting dilakukan untuk memahami karakteristik dan genesa atau asal mula terbentuknya skarn yang terdapat pada daerah penelitian serta penentuan batuan asal dari endapan skarn serta batuan penorobos.

I.3. Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik dan genesa batuan skarn di daerah penelitian.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui karakterstik ubahan batuan tipe skarn yang terdapat di daerah penelitian.

2. Mengetahui genesa atau asal mula terbentuknya ubahan batuan tipe skarn di daerah penelitian, termasuk batuan asalnya.

3. Mengetahui penyebaran batuan skarn di daerah penelitian.

I.4. Batasan Masalah

Masalah utama yang akan dibahas dalam penelitian ini terfokus pada penyebaran ubahan batuan tipe skarn dan karakteristiknya, serta genesa atau asal mula terbentuknya ubahan batuan tipe skarn di daerah penelitian. Batasan masalah pada penelitian ini yaitu pemetaan penyebaran skarn di daerah penelitian dan penggunaan analisis laboratorium berupa petrografi, mineragrafi, dan analisis X-Ray Diffraction (XRD). Kemudian, untuk penentuan umur batuan yang terdapat

(8)

3 pada daerah penelitian, digunakan data sekunder yaitu geologi regional Perbukitan Jiwo dan Pegunungan Selatan.

I.5. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian mengenai Studi Ubahan Batuan Tipe Skarn di Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah ini, diharapkan dapat memberikan Gambaran mengenai genesa terbentuknya ubahan batuan skarn, tipe batuan skarn, karakteristik mineralisasi endapan skarn berdasarkan pada studi megaskopis, mikroskopis, dan analisis X-Ray Diffraction (XRD) serta penyebarannya yang terdapat di daerah penelitian.

Selain berguna untuk keperluan ilmu pengetahuan, harapannya hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi tambahan dan bahan pembelajaran dalam Kuliah Lapangan Geologi Bayat yang diselenggarakan oleh Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada tiap tahunnya, maupun penyelenggara dari institusi lain. Selain itu juga dapat memberikan informasi mengenai kegunaan mineral-mineral endapan skarn yang terdapat di daerah penelitian pada industri-industri yang bernilai ekonomis.

I.6. Ruang Lingkup

I.6.1. Ruang Lingkup Wilayah

Wilayah penelitian (Gambar 1.1) berada pada Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Daerah penelitian termasuk ke dalam peta geologi regional lembar Surakarta-Giritontro, Jawa (Surono dkk., 1992), peta geologi regional lembar Klaten (Bayat), Jawa (Samodra dan Sutisna, 1997), dan peta Rupabumi Digital Indonesia lembar Cawas. Daerah penelitian dapat dicapai dengan menempuh selama 45 menit dari Kota Yogyakarta dengan menggunakan kendaraan darat.

(9)

4 Gambar 1.1. Lokasi daerah penelitian

I.6.2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian berupa identifikasi tipe dan karakterisasi ubahan batuan tipe skarn, pemetaan penyebaran ubahan batuan skarn serta genesanya, dan melakukan pemetaan geologi dengan areal daerah penelitian sebesar 1,5x2 km dengan skala 1:25.000 (Gambar 1.2). Pemetaan geologi dilakukan pada bagian selatan dari Perbukitan Jiwo Barat. Kemudian pada daerah fokus penelitian ubahan batuan skarn dilakukan pemetaan penyebaran skarn secara lebih detail dan sistematik. Pemetaan pada daerah fokus penelitian tersebut dilakukan dengan skala 1:350 (Gambar 1.3). Daerah fokus penelitian berada pada lereng sisi barat daya dari Gunung Jabalkat, tepatnya pada Desa Pagerjurang.

(10)

5 Gambar 1.2. Peta topografi daerah Jiwo Barat

(11)

6

I.6.3. Ruang Lingkup Waktu

Penelitian diawali dengan studi pustaka dan pengambilan data lapangan yang dilakukan mulai bulan Mei 2013 – September 2013, setelah itu dilakukan analisa dan interpretasi data dan dilanjutkan dengan pembuatan laporan. Di bawah ini rincian waktu penelitian.

(12)

7

BAB II

GEOLOGI REGIONAL

II.1 Geologi Regional Pegunungan Selatan

Zona regional Pegunungan Selatan merupakan suatu barisan bukit yang memanjang di selatan Pulau Jawa tepatnya dari bagian tenggara dari Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan memanjang ke arah timur di sepanjang pantai selatan Jawa Timur. Litologi penyusun dari zona Pegunungan Selatan ini merupakan batuan sedimen dengan jenis vulkaniklastik, karbonat, dan batuan terobosan. Litologi penyusun zona ini lebih didominasi oleh batuan karbonat berumur Neogen, yang melampar luas dan menumpang di atas batuan vulkaniklastik berumur Paleogen dan Neogen awal secara tidak selaras di atas bidang erosi (Rahardjo, 2004).

Secara umum, batuan yang terendapkan di zona ini termiringkan ke arah selatan dengan kemiringan terjal di bagian utara dan landai di bagian selatan. Struktur sesar dan kekar yang berkembang mengontrol pola pengaliran yang ada di daerah Pegunungan Selatan (Rahardjo, 2004).

II.1.1 Geomorfologi

Secara garis besar Fisiografi Jawa Bagian Tengah-Timur dan Pulau Madura (Gambar 2.1) dapat dibagi menjadi lima zona fisiografis menurut van Bemmelen (1970), yaitu:

1. Zona Pegunungan Selatan 2. Zona Solo atau Depresi tengah 3. Zona Kendeng

4. Depresi Randublatung 5. Zona Rembang

Zona Pegunungan Selatan merupakan pegunungan struktural yang memanjang timur-barat searah bentuk geometri Pulau Jawa dan terbagi menjadi Pegunungan Selatan Jawa Timur dan Pegunungan Selatan Jawa Barat. Daerah penelitian termasuk pada bagian barat Pegunungan Selatan Jawa Timur, yang

(13)

8 secara fisiografi masih dapat dibagi menjadi 3 bagian morfologi (Toha dkk., 1994 dalam Wartono, 2004), yaitu :

1. Bagian utara yang ditandai oleh rangkaian Baturagung Masif - Panggung Masif, dicirikan oleh relief yang kuat dan tersusun dominan oleh batuan vulkaniklastik.

2. Bagian tengah merupakan cekungan Wonosari yang tersusun oleh perselingan batugamping berlapis dan napal.

3. Bagian selatan yang disebut sebagai kompleks Gunung Sewu, memiliki karakteristik bentang alam kars, tersusun oleh batugamping terumbu dan batugamping berlapis.

Gambar 2.1. Fisiografi Jawa Bagian Tengah – Timur dan Pulau Madura (Van Bemmelen, 1970 dengan modifikasi)

II.1.2 Stratigrafi

Secara stratigrafi Pegunungan Selatan tersusun oleh 8 formasi yang ditutup oleh endapan-endapan alluvium Holosen. Hampir keseluruhan batuan sedimen penyusun ke 8 formasi tersebut mempunyai kemiringan ke arah selatan. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan bagian barat dari tua ke muda (Surono dkk., 1992; lihat Gambar 2.2) adalah Formasi Wungkal-Gamping, Formasi Kebo– Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, kemudian dilanjutkan Formasi

(14)

9 Sambipitu dan Formasi Oyo. Selanjutnya, di atasnya diendapkan batugamping terumbu dan asosiasinya secara menjari dan tidak selaras setempat yang disebut Formasi Wonosari. Selanjutnya formasi ini di bagian barat pada Kala Miosen Akhir berubah menjadi Formasi Kepek. Kemudian dilanjutkan oleh Endapan Kuarter yang tidak selaras menumpang di atasnya (Samodra dan Sutisna, 1997).

1. Formasi Wungkal-Gamping

Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Wungkal dan G. Gamping, keduanya di Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier tertua di daerah Pegunungan Selatan ini di bagian bawah terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping. Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal, Desa Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter (Bronto dkk., 2004).

Di bagian bawah, Formasi Wungkal-Gamping mengandung fosil foraminifera besar, yaitu Assilina sp., Nummulites javanus VERBEEK, Nummulittes bagelensis VERBEEK, dan Discocyclina javana VERBEEK. Kelompok fosil tersebut menunjukkan umur Eosen Tengah bagian bawah sampai tengah. Sementara itu bagian atas formasi ini mengandung asosiasi fosil foraminifera kecil yang menunjukkan umur Eosen Akhir. Jadi umur Formasi Wungkal-Gamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir (Sumarso dan Ismoyowati, 1975).

Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan endapan laut dangkal yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di lereng bawah laut, formasi ini kemudian meluncur ke bawah dan diendapkan kembali di laut dalam. Formasi ini tersebar luas di Perbukitan Jiwo dan Kali Oyo di utara Gunung Gede, menindih secara tidak selaras batuan metamorf serta diterobos oleh Diorit Pendul dan di atasnya secara tidak selaras dan tertutupi oleh batuan sedimen klastika gunungapi (volcaniclastic sediments) yang dikelompokkan ke dalam Formasi Kebo-Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu (Samodra dan Sutisna, 1997).

(15)

10 2. Formasi Kebo–Butak

Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir dan batulempung yang menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid maupun pengendapan gaya berat yang lain, dan bersifat andesitan sampai dasitan (Toha dkk., 1994 dalam Rahardjo, 2004). Di bagian bawah disebut sebagai Kebo beds yang tersusun antara batupasir, batulanau, dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit dengan perselingan batupasir, batupasir konglomeratan yang mengandung klastika lempung (Bothe, 1929 dalam Rahardjo, 2004).

Bagian atas dari formasi ini termasuk anggota Butak yang tersusun oleh pengulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung atau lanau. Ketebalan rata–rata formasi ini kurang lebih 800 meter. Litologi yang membentuk Formasi Kebo – Butak ini diinterpretasikan mengendap di daerah submarine fan dengan interupsi sesekali oleh mid fan (Rahardjo, 1983 dalam Rahardjo 2004), serta terbentuk saat Oligosen Akhir (N2/N3) (Sumarso & Ismoyowati, 1975; van Gorsel, 1987 dalam Rahardjo, 2004).

3. Formasi Semilir

Secara umum formasi ini tersusun oleh batupasir dan batulanau yang bersifat tufaan, ringan, dan kadang-kadang diselingi oleh selaan breksi vulkanik (Rahardjo, 2004). Tuff yang menjadi penyusun Formasi ini berada di bagian tengah dengan warna abu – abu cerah dan dapat dijejaki hingga jauh ke arah timur (Bothe, 1929 dalam Rahardjo, 2004).

Di lapangan biasanya dijumpai pelapisan yang begitu baik, dan struktur yang mencirikan turbidit banyak dijumpai. Langkanya kandungan fosil pada formasi ini menunjukkan bahwa pengendapan berlangsung secara cepat atau berada pada daerah yang sangat dalam dan berada pada daerah ambang kompensasi karbonat (CCD), sehingga fosil gampingan sudah mengalami korosi sebelum mencapai dasar pengendapan. Formasi Semilir ini menumpang secara selaras di atas anggota Butak dari Formasi Kebo-Butak yang tersingkap secara baik di wilayahnya yaitu di tebing gawir Baturagung di bawah puncak Semilir (Rahardjo, 2004). Umur dari formasi ini diduga adalah awal Miosen (Samodra dan Sutisna, 1997).

(16)

11 4. Formasi Nglanggran

Formasi ini berbeda dengan formasi-formasi sebelumnya yang dicirikan oleh penyusun utamanya berupa breksi dengan penyusun material vulkanik dan tidak menunjukkan perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup besar pada bagian yang terkasar. Breksi hampir seluruhnya tersusun oleh bongkah-bongkah lava andesit sebagian besar telah mengalami breksiasi. Formasi ini ditafsirkan sebagai pengendapan dari aliran rombakan yang berasal dari gunungapi bawah laut, dalam lingkungan laut, dan proses pengendapan berjalan cepat hanya selama Awal Miosen (Rahardjo, 2004). Singkapan utama dari formasi ini adalah di Gunung Nglanggran pada Perbukitan Baturagung. Kontak dengan Formasi Semilir pada bagian bawah merupakan kontak yang tajam. Hal inilah yang menyebabkan Formasi Nglanggran dianggap menumpang tidak selaras di atas Formasi Semilir. Namun harus diperhatikan bahwa pengendapan formasi ini terjadi akibat adanya peningkatan kekuatan pengendapan dari sedang atau rendah ke energi yang jauh lebih tinggi, sehingga sangat dimungkinkan hal ini terjadi sebagai dampak dari gaya berat (van Gorsel, 1987 dalam Rahardjo, 2004).

5. Formasi Sambipitu

Di atas Formasi Nglanggran kembali terdapat formasi batuan yang menunjukkan ciri-ciri turbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun oleh batupasir yang bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Di bagian bawah, batupasirnya masih menunjukkan sifat vulkanik sedang ke arah atas sifat vulkanik ini berubah menjadi batupasir yang bersifat gampingan. Pada batupasir gampingan ini sering dijumpai fragmen dari koral dan foraminifera besar yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal, yang terseret masuk dalam lingkungan yang lebih dalam akibat arus turbid (Rahardjo, 2004).

Perubahan menjadi Formasi Oyo yang berada di atasnya adalah secara gradasional seperti yang tersingkap di Sungai Widoro dekat Hutan Bunder.

(17)

12 Formasi ini mengalami pembentukan pada Kala Miosen, yaitu N4 – N8 (Kadar, 1986 dalam Rahardjo, 2004).

Gambar 2.2. Tatanan stratigrafi Pegunungan Selatan menurut Bothe (1929), Van Bamelen (1949), Sumarso (1976), Surono (1992)

6. Formasi Oyo

Formasi ini terutama terdiri dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas hampir setengah bagian dari Pegunungan Selatan memanjang ke timur, membelok ke arah utara di sebelah Perbukitan Panggung hingga mencapai bagian barat dari daerah depresi Wonogiri-Baturetno. Formasi ini merupakan formasi yang tertua di antara seri Formasi Oyo – Wonosari dan Kepek. Bagian terbawah dari Formasi Oyo terutama tersusun dari batugamping berlapis yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang terendapkan pada kondisi laut yang lebih dalam, seperti yang terlihat pada singkapan di daerah dekat muara sungai Widoro masuk ke Sungai Oyo (Rahardjo, 2004).

Di lapangan, batugamping Formasi Oyo terlihat sebagai batugamping berlapis. Pada bagian yang halus banyak dijumpai fosil jejak tipe burial yang

(18)

13 terdapat pada bidang permukaaan perlapisan ataupun memotong sejajar perlapisan (Bothe, 1929 dalam Rahardjo, 2004). Umur dari formasi ini adalah N8 – N11 dan memiliki tebal 140 m (Surono dkk., 1992).

7. Formasi Wonosari

Selaras di atas Formasi Sambipitu dan Formasi Oyo, terdapat Formasi Wonosari. Lokasi tipenya berada di daerah Wonosari. Litologi penyusun dari formasi ini semakin ke selatan berupa batugamping berlapis yang berubah menjadi batugamping terumbu yang berupa rudstone, framestone, floatstone, bersifat lebih keras (Bothe, 1929 dalam Rahardjo, 2004). Selain itu secara setempat ditemukan batupasir tuffan, napal tuffan, serta batulanau. Sifat tuffan akan semakin dominan pada batuan anggota formasi ini di bagian utara. Umur dari formasi ini adalah Miosen Tengah – Miosen Akhir (N12 – N17) dan memiliki tebal 750 m (Surono dkk., 1992).

8. Formasi Kepek

Di barat daya Kota Wonosari, batugamping terumbu anggota Formasi Wonosari berubah menjadi batugamping berlapis yang bergradasi menjadi napal, yang disebut sebagai Formasi Kepek. Formasi Kepek ini juga tersingkap di bagian timur, yaitu di daerah depresi Wonogiri – Baturetno, di bawah endapan Kuarter seperti yang terdapat pada daerah Eromoko (Rahardjo, 2004). Formasi ini berdasarkan kandungan fosil foraminifera memiliki umur awal Pliosen (Rahardjo, 2007). Selain itu, satuan ini memiliki tebal sekitar 200 m (Surono dkk., 1992).

9. Endapan Kuarter

Di atas seri batuan Tersier menumpang kelompok sedimen yang sudah agak mengeras hingga masih lepas secara tidak selaras (Samodra dan Sutisna, 1997). Proses pembentukannya masih berlanjut hingga saat ini, sehingga disebut sebagai endapan Kuarter. Penyebarannya meluas mulai dari timur laut Wonosari hingga daerah depresi Wonogiri-Baturetno serta dataran Bantul. Singkapan yang baik dari endapan Kuarter ini terdapat di daerah Eromoko sekitar Waduk Gadjah Mungkur. Secara stratigrafi endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri terletak tidak selaras di atas Endapan Tersier yang berupa batugamping berlapis dari Formasi Wonosari atau breksi polimik dari Formasi

(19)

14 Nglanggran. Ketebalan tersingkap dari endapan Kuarter tersebut adalah lebih dari 25 meter (Samodra dan Sutisna, 1997). Umur endapan Kuarter tersebut diperkirakan Plistosen Bawah. Stratigrafi endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri secara vertikal tersusun dari perulangan tufa halus putih kekuningan dengan perulangan gradasi batupasir kasar ke batupasir sedang dengan lensa-lensa konglomerat. Batupasir tersebut mempunyai struktur silang-siur tipe palung, sedangkan lapisan tufa terdapat di bagian bawah, tengah dan atas. Pada saat lapisan tufa terbentuk, terjadi juga aktivitas sungai yang menghasilkan konglomerat (Surono dkk., 1992).

II.1.3 Struktur Geologi

Menurut penelitian Sudarno (1997), pola struktur geologi yang berkembang di Pegunungan Selatan dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu :

1. Arah timur laut – barat daya yang umumnya menyebabkan sesar geser sinistral akibat penunjaman lempeng Indo-Australia selama Eosen Akhir- Akhir Meosen Tengah. Arah ini juga ditunjukkan oleh kelurusan di sepanjang Sungai Opak dan Bengawan Solo.

2. Arah Utara – Selatan yang sebagian besar juga menyebabkan sesar geser sinistral, kecuali pada batas barat Pegunungan Selatan sebagian besar merupakan sesar turun.

3. Arah Barat Laut - Tenggara yang umumnya menyebabkan sesar geser dekstral. Tahapan kedua dan ketiga ini tampak seperti pasangan rekahan yang terbentuk akibat gaya kompresi berarah Barat Laut - Tenggara yang berkembang selama Pliosen Akhir.

4. Arah Timur – Barat yang sebagian besar menyebabkan sesar turun akibat gaya regangan berarah Utara – Selatan yang berkembang selama Pleistosen Awal. Gaya regangan ini pula yang mengaktifkan kembali sesar- sesar yang telah ada sebelumnya menjadi patahan normal.

II.2 Geologi Regional Perbukitan Jiwo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah

Perbukitan Jiwo adalah merupakan serangkaian perbukitan rendah yang terletak di sebelah selatan Kota Klaten. Perbukitan ini merupakan perbukitan

(20)

15 terisolir, mencuat pada dataran rendah di sebelah utara dari perbukitan Baturagung dan merupakan bagian dari Pegunungan Selatan di Jawa Tengah. Dataran rendah yang mengelilinginya terutama tersusun oleh endapan limpahan dari Sungai Dengkeng dan bercampur dengan endapan fluvio-volcanic dari Gunung Merapi. Sedangkan perbukitannya sendiri tersusun dari komplek batuan metamorf yang di perkirakan terbentuk pada Pra-Tersier, batuan sedimen baik klastik non karbonat maupun batuan karbonat. Batuan sedimen yang ada umumya berkisar antara Eosen hingga Miosen Atas. Batuan metamorf yang ada diterobos oleh batuan beku yang bersifat basa hingga menengah (intermediate), kemudian di atasnya diendapkan secara tidak selaras oleh batuan karbonat yang berumur Eosen (Rahardjo, 2004).

Adanya berbagai jenis batuan yang komplek ditambah dengan adanya struktur akibat gaya endogen yang bekerja di daerah Bayat serta gaya eksogen yang kemudian mengenainya membentuk bentang alam yang beraneka ragam yang terwujudkan dalam kenampakan yang dapat terlihat sekarang.

II.2.1 Geomorfologi

Secara morfologis dan geografis, Perbukitan Jiwo terbagi menjadi dua bagian, masing-masing perbukitan Jiwo Barat dan Jiwo Timur. Kedua bagian ini terpisah oleh aliran Sungai Dengkeng dari desa Bayat ke utara. Perbukitan Jiwo Barat merupakan perbukitan yang mempunyai arah memanjang selatan ke utara kemudian membelok ke arah barat di sekitar Gunung Tugu, mengelilingi bagian selatan, timur dan timur laut Rawa Jombor. Pada bagian utara Rawa Jombor terdapat keterlanjutan dari pebukitan tersebut yang menpunyai arah memanjang timur-barat yaitu Perbukitan Gunung Kapak dan sekitarnya. Dari daerah sekitar desa Bayat ke utara sampai dengan Gunung Sari, perbukitan ini terutama tersusun oleh batuan metamorf dengan terobosan batuan beku. Kelompok ini umumnya mudah lapuk membentuk tanah hasil pelapukan berupa lempung dan lempung pasiran yang bersifat rapuh, dan mudah tererosi, ditambah dengan terjadinya gejala struktur yang mengenai kelompok batuan ini yang berupa kekar, sesar, yang mengakibatkan bahwa aliran permukaan berkembang relatif baik berupa alur-alur dan sungai kecil. Berkembangnya aliran permukaan ini, berakibat terbentuknya relief yang nyata pada perbukitan Jiwo barat berupa puncak-puncak yang

(21)

16 membulat dan meruncing seperti yang terlihat pada Gunung Jabalkat dan daerah sekitar Gunung Pegat. Pembentukan relief ini masih terus terjadi, terwujudkan dalam proses longsoran tanah yang banyak dijumpai di lembah dan alur kaki bukit yang menyebabkan pencuraman dan pelebaran lembah itu sendiri. Adanya penerobosan batuan beku sering ditunjukkan dengan adanya puncak dan di sekitarnya terdapat bongkah-bongkah batuan beku yang seolah-olah mengambang pada batuan sekitarnya (Rahardjo, 2004).

Di sekitar Gunung Tugu dan Gunung Kapak, perbukitan tersusun oleh batuan karbonat. Pada jenis batuan ini aliran permukaan tidak berkembang secara baik, sehingga sungai dan alurnya hanya beberapa saja yang dijumpai. Relief tidak berkembang sehingga perbukitan yang tersusun oleh batuan karbonat ini umumnya memiliki puncak-puncak yang relatif rata dan luas. Pada bagian lereng timur, di sekitar Perbukitan Tugu, terdapat gawir yang relatif curam.

Perbukitan Jiwo Timur umumnya mempunyai arah memanjang barat daya-timur laut di bagian barat sekitar gunung Konang dan perbukitannya menunjukkan gejala terbiku (dissected) seperti halnya perbukitan Jiwo Barat sebelah selatan. Lebih ke arah timur yaitu sekitar Gunung Pendul, perbukitan tersusun oleh batuan beku. Pelapukan yang intesif terutama pada bagian barat menghasilkan tanah hasil pelapukan yang tebal, sebagian telah terangkut ke ketinggian yang lebih rendah. Erosi kuat yang mengikutinya mengakibatkan longsoran tanah dan pembentukan lembah yang sangat curam (Rahardjo, 2004). Di sekitar Gunung Temas di ujung timur laut merupakan kenampakan morfologi menyerupai dengan apa yang terlihat di sekitar Gunung Tugu.

Perbukitan Jiwo Barat maupun Jiwo Timur dikelilingi oleh dataran rendah. Di sebelah barat Jiwo Barat, dataran rendah tersebut terisi oleh endapan pasir yang merupakan endapan fluvio volcanic dari Merapi. Rawa Jombor yang terdapat di sebelah utara merupakan sisa dari rawa besar yang pernah ada di sebelah barat Perbukitan Jiwo, di sebelah utara Perbukitan Baturagung. Dataran di antara Jiwo Barat dan Jiwo Timur serta dataran yang ada di sebelah utara Jiwo Timur tersusun oleh endapan aluvial hasil limpahan banjir dari Sungai Dengkeng serta hasil pengendapan erosi Perbukitan Jiwo tersebut, sedangkan dataran yang ada di sebelah selatan Perbukitan Jiwo terutama tersusun oleh pengendapan hasil erosi dari

(22)

17 perbukitan yang ada di sebelah selatan yaitu perbukitan Baturagung, bercampur dengan endapan luapan sungai Dengkeng terutama di bagian barat. Di sebelah utara dan di sebelah selatan dari Perbukitan Jiwo timur terdapat bukit-bukit kecil yang letaknya terisolir. Bukit-bukit ini, oleh Sunusumosusastro (1956) dalam Rahardjo (2004), ditafsirkan terpisah dari Perbukitan Jiwo akibat sesar, dan bidang sesar telah tertutup endapan aluvial yang menyusun dataran tersebut.

II.2.2 Stratigrafi

Penyelidikan stratigrafi di daerah Perbukitan Jiwo untuk pertama kali dilakukan oleh Bothe (1929), dalam rangkaian laporannya tentang Pegunungan Selatan. Peneliti berikutnya adalah Sunusumosusastro (1956) dan penelitian paleontologi di

(23)

18 daerah ini masing-masing dilakukan oleh Purwoko (1960), Sumarso & Ismoyowati (1975) dalam Rahardjo (2004).

Gambar 2.4. Stratigrafi Pegunungan Baturagung dan Perbukitan Jiwo (Sudarno, 1997 dalam Rahardjo 2004)

(24)

19 1. Komplek batuan metamorf

Batuan metamorf yang tersingkap di daerah Perbukitan Jiwo merupakan landasan dari pada cekungan sedimentasi tersier yang terjadi pada bagian selatan dari Jawa Tengah, yang kemudian dikenal dengan nama cekungan sedimentasi Pegunungan Selatan (Southern Mountains sedimentary basin), stratigrafi dari cekungan ini telah dikemukakan oleh Bothe (1929) dalam Rahardjo (2004). Dari seluruh satuan lithostratigrafi yang disebutkan oleh Bothe tersebut adalah Formasi Nglangran, Sambipitu, dan Formasi Kepek yang tidak tersingkap di daerah Perbukitan Jiwo.

2. Formasi Wungkal-Gamping

Di sekitar Desa Gamping di Jiwo Timur, tersingkap suatu komplek batuan yang terdiri dari napal, batupasir kuarsa dan batugamping yang kaya akan foraminifera besar. Di tempat ini dijumpai spesimen lepas dari Diskosiklina javana, Discosielina dispansa dan Numulites bagelensis. Assilina tidak dijumpai lagi. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya Pelatispira mandrazi, bersama dengan spesies foraminifera plangtonik Truntorotaloides rohri, Truntorotaloides topilensis, Globorotalia pameroi dan Globorotalia spinulosa dimana semuanya menunjukkan umur Eosen Atas bagian bawah (Sumarso & Ismoyowati, 1975 dalam Rahardjo, 2004). Tebal satuan tidak kurang dari 150 m. Nama satuan pertama kali diusulkan oleh Bothe (1929) dalam Samodra dan Sutisna (1997), dengan tipe lokasi tipe di Gunung Gamping dan Gunung Wungkal.

3. Formasi Kebo

Formasi ini tersingkap di sebelah selatan dari perbukitan Jiwo, yaitu di bagian bawah dari kaki perbukitan Baturagung. Litologinya terutama tersusun oleh perselingan antara batupasir jenis greywacke, batupasir konglomeratan, konglomerat polimik dan batulanau. Di samping itu terdapat pula batulanau tuffan yang terkloritkan berwarna kehijauan. Formasi ini hanya sedikit sekali mengandung fosil. Dari fosil foraminifera plangtonik yang ditemukan disimpulkan bahwa Formasi Kebo ini terbentuk pada kala Oligosen Atas (Purwoko, 1969; Sumarsono & Ismoyowati ,1975 dalam Rahardjo, 2004). Di antara perselingan batupasir pada formasi ini, dijumpai dua buah sill andesit

(25)

20 piroksen. Berdasarkan atas struktur dan tekstur sedimen serta banyaknya dijumpai struktur sedimen biogenik tipe nereites, Formasi Kebo ini diduga terendapkan di laut yang relatif dalam. Karena letak singkapannya yang terpisah dari perbukitan Jiwo, maka jenis kotak antara formasi ini dengan Formasi Wungkal-Gamping tidak dijumpai (Muhamadi, 1978 dalam Rahardjo, 2004). 4. Formasi Butak

Selaras di atas Formasi Kebo, terdapat Formasi Butak. Singkapannya juga di lereng utara perbukitan Baturagung menempati lereng bagian tengah. Litologinya terutama terdiri dari konglomerat, breksi, batupasir tuffan, batulanau, dan batupasir. Beberapa peneliti (Bothe, 1929; Sumarso & Ismoyowati, 1975 dalam Rahardjo, 2004) tidak memisahkan formasi ini dengan Formasi Kebo secara bersama-sama yang disebut sebagai Formasi Kebo-Butak. Dengan ditemukannya Globigerinoides primordius dan Globigerinita dissinilis pada formasi ini, ditafsirkan bahwa formasi ini terbentuk pada kala Miosen bagian bawah.

5. Formasi Semilir

Formasi ini menempati bagian teratas dari lereng utara perbukitan Baturagung. Posisinya adalah selaras menumpang di atas Formasi Butak. Secara litologis, formasi ini tersusun terutama dari perselingan antara batupasir tuffan, breksi dengan fragmen tuff dan batuapung, serpih tuffan, dan sisipan tuff halus. Formasi ini bercirikan warna yang cerah putih kekuning- kuningan. Di bagian tengah dijumpai perlapisan batu pasir tuffan yang kompak yang relatif tahan terhadap pelapukan. Perlapisan ini sangat homogen dan penyebarannya ke samping dengan mudah diikuti sampai jarak yang cukup jauh. Dari bawah gawir Baturagung, perlapisan ini nampak jelas sebagai sabuk putih yang menonjol pada arah memanjang dari lereng perbukitan. Pada sisipan serpih yang bersifat gampingan dijumpai fosil Globigerina tripartite dan Orbulina universa. Atas dasar ini ditafsirkan bahwa formasi Semilir ini diendapkan pada kala Miosen Tengah (Rahardjo, 2004).

(26)

21 6. Formasi Oyo

Formasi ini tersingkap di daerah Gunung Tugu dan di sekitar Gunung Temas di sebelah barat dan utara. Secara litologis, formasi ini tersusun dari perulangan dari kalkarenit tuffan, batupasir tuffan, napal tuffan, kalsirudit dengan fragmen koral dan algae serta sisipan tuff gelas. Formasi ini tercirikan dengan kenampakan perlapisan yang baik dan terdapat gradasi butir. Pada bagian pasir tuffan gampingan yang halus, sering ditemukan struktur sedimen biogenik dari tipe Fodinichania (feeding-burrows). Pada sisipan napal, formasi ini banyak dijumpai foraminifera plangtonik yang bertipe Globorotalia Foshi dan Globigerinoides subguandratus yang menunjukkan bahwa formasi ini diendapkan pada kala Miosen Tengah bagian tengah (Rahardjo, 2004).

7. Formasi Wonosari

Secara selaras, makin ke arah atas Formasi Oyo berubah menjadi Formasi Wonosari. Formasi ini bercirikan litologi yang berupa batugamping terumbu yang masif berseling dengan kalkarenit dan kalsirudit yang tersusun oleh hancuran koral dan algae. Sifat tufaannya lebih rendah dibandingkan Formasi Oyo. Demikian pula gejala perlapisannya kurang berkembang dibandingkan formasi yang ada di bawahnya tersebut. Di sekitar Gunung Kapak dan Desa Temas, batugamping dari formasi ini banyak digali oleh penduduk setempat untuk dibakar dan dijadikan kapur. Dengan dijumpainya fosil foraminifera besar dari spesies Tribliolepidina ruttoni, Nephrolopidina feroroi, Nephrolopidina inflata, Miogypsina ihecideifermis dan Myogisina polintorpha, menunjukkan bahwa batugamping tersebut diendapkan pada kala Miosen Tegah bagian atas (Rahardjo, 2004).

8. Kelompok Batuan Beku

Di muka telah dinyatakan bahwa baik di Perbukitan Jiwo Barat maupun Jiwo Timur dijumpai tubuh batuan beku. Tubuh batuan beku ini tersingkap relatif luas, yaitu di sekitar Gunung Pendul dan juga di sekitar Gunung Temas. Batuan ini umumnya mempunyai komposisi menengah berupa andesit, diorit, mikrodiorit dan diabas yang tersingkap dalam keadaan lapuk. Singkapan segar hanya dijumpai pada dasar-dasar lembah yang curam. Di samping itu, banyak batuan beku tersebut telah mengalami ubahan hidrotermal, yang kemudian

(27)

22 menghasilkan mineral ubahan, misalnya yang tersingkap di Bendungan (Jiwo barat). Tubuh batuan beku ini menerobos komplek batuan metamorf dan juga batuan yang berumur Eosen. Oleh karenanya batuan beku ini terjadi setelah kala Eosen. Di samping itu pada batuan beku tersebut banyak dijumpai terobosan yang berupa retas dari batuan yang kemungkinan bersifat basa. Umumnya retas-retas ini sudah lapuk lanjut sehingga komposisi aslinya sudah sukar dikenal (Bronto dkk., 2004).

II.2.3 Struktur Geologi

Secara regional, daerah Perbukitan Jiwo merupakan perbukitan yang terbentuk sebagai akibat terjadinya sesar bongkah (block-faulting) yang terjadi pada Pegunungan Selatan pada akhir Tersier. Sesar bongkah ini pula yang menyebabkan pembentukan gawir Baturagung yang curam dengan serangkaian hogbag yang ada di depannya. Sistem sesar ini pula yang menyebabkan terdapatnya singkapan Formasi Semilir di dekat Gunung Lanang, serta terendapkannya Formasi Oyo dan Formasi Wonosari yang lebih muda dari Formasi Semilir di daerah Perbukitan Jiwo yang secara topografis jauh lebih rendah dari pada posisi tempat tersingkapnya Formasi Semilir tersebut.

Di daerah Perbukitan Jiwo, pengaruh aktifitas tektonik terwujud dalam bentuk kekar dan sesar. Foliasi pada batuan metamorf di perbukitan Jiwo Barat bagian selatan dan Jiwo Timur bagian barat menunjukkan perlipatan pada foliasi tersebut yang umumnya menunjam ke arah selatan dan barat daya dengan sudut penunjaman 18° hingga 26° (Wisoko, 1972 dalam Rahardjo, 2004). Kekar banyak dijumpai pada batuan beku dan kekar ini umumnya bersifat terbuka. Sebagai akibatnya, air mudah masuk dan batuan tersebut menjadi lapuk dan membentuk gejala pelapukan membola (speroidal weathering.) Di samping itu kekar-kekar yang ada terisi oleh mineral sekunder yang umumnya adalah kalsit.

Akibat kuatnya pelapukan di daerah Jiwo ini, maka sesar yang ada sangat sukar dilihat secara jelas. Indikasi sesar dapat dilihat dari orientasi bidang perlapisan seperti di sekitar Gunung Temas, terbentuknya lembah yang menunjukkan kelurusan seperti di sekitar Gunung Jokotuo, dan terdapatnya secara berdampingan dua macam litologi yang generasinya lain sama sekali seperti yang terdapat di sekitar Gunung Sari (Wisoko, 1972 dalam Rahardjo, 2004).

(28)

23

BAB III

DASAR TEORI

III.1. Metamorfosis

Pada pemanasan lempung hingga suhu 1000° C, mineral lempung terubah sehingga atom dan ion yang ada di dalamnya mengalami reaksi atau berikatan untuk membentuk mineral baru, sehingga membentuk suatu sifat yang keras dan kuat. Proses perubahan sifat fisik ini terjadi tanpa melalui fase cair atau disebut dengan solid state reaction karena berlangsung dalam fase padat. Walaupun demikian, kehadiran dari sedikit fluida tetap terjadi. Fluida dalam hal ini berfungsi mempermudah proses perpindahan ion. Tanpa fluida ion-ion dan molekul dalam batuan tidak dapat berpindah sehingga reaksi kimia tidak dapat berlangsung (Winter, 2001).

Metamorfosis berasal dari bahasa Yunani yang berarti perubahan bentuk, sedangkan metamorfosis sendiri diartikan sebagai suatu proses di mana batuan dan mineral berubah sebagai respon dari perubahan temperatur, tekanan serta kondisi lingkungan yang lain. Mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia batuan mengalami perubahan selama proses metamorfosis berlangsung. Seperti pada pemanasan lempung, proses metemorfosa berlangsung pada fase padat namun kehadiran air/ fluida tetap terjadi untuk mempermudah proses reaksi kimia yang berlangsung (Winter, 2001).

Ketika batuan mengalami proses metamorfosis, akan terjadi perubahan pada batuan di antaranya adalah perubahan tekstur maupun mineralogi sebagai akibat dari pengaruh tekanan dan temperatur yang dialami oleh batuan seperti halnya perubahan yang terjadi pada pemanasan lempung. Pada proses metamorfosis terkadang juga diikuti oleh adanya perubahan kimia pada batuan. Perubahan ini terjadi pada kondisi yang berbeda dari kondisi permukaan dan terjadi proses sedimentasi maupun proses diagenesis di bawah permukaan serta sering berasosiasi dengan proses partial melting (Winter, 2001).

1. Perubahan Tekstur

Batuan tersusun oleh individu kristal dan selama proses metamorfosis terjadi perubahan ukuran kristal, susunan, maupun bentuk mineral juga

(29)

24 mengalami perubahan. Sebagai contoh pada batugamping berfosil yang mengalami proses metamorfosis akibat pengaruh suhu dan tekanan, maka mineral-mineral kalsit yang menyusun butiran fosil maupun sebagai matriks mengalami rekristalisasi sehingga bentuk maupun tekstur awal dari batuan tidak tampak. Batuan metamorf yang dihasilkan adalah marmer yang masih tersusun oleh mineral kalsit, tetapi dengan tekstur ukuran butir yang lebih kasar, bentuk yang tidak teratur, butiran yang saling interlocking, walaupun komposisinya sama dengan batugamping tetapi marmer memiliki sifat yang lebih kompak. 2. Perubahan Mineralogi

Ketika batuan mengalami metamorfosis, mineral- mineral penyusun batuan akan mengalami perubahan dan menghasilkan mineral baru, sebagai contoh pada shale yang mengandung mineral lempung, kuarsa dan feldspar. Ketika mengalami pemanasan, mineral lempung mengalami perubahan membentuk batuan yang disebut hornfels yang terbentuk sebagai hasil dari metamorfosis serpih dan terjadi perubahan tekstur maupun komposisi mineral pada batuan asal. Dalam hal ini terdapat dua jenis reaksi pada batuan metamorf, yang pertama yaitu reaksi saat mineral lama mengalami rekristalisasi membentuk mineral yang sama hanya dengan ukuran kristal yang lebih kasar. Kedua, mineral lama mengalami perubahan yang ditandai dengan reaksi antar atom penyusun membentuk mineral baru yang berbeda. Kedua jenis reaksi tersebut sama-sama berlangsung pada fase padat.

Dari kedua kasus perubahan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika batuan induk tersusun oleh satu jenis mineral, proses metamorfosis akan berlangsung membentuk batuan dengan komposisi mineral yang sama namun dengan ukuran kristal yang berbeda, sebagai contohnya adalah metamorfosis pada marmer. Sedangkan metamorfosis yang berlangsung pada batuan induk dengan komposisi mineralogi yang beragam seperti pada shale akan dihasilkan mineral-mineral baru yang berbeda dan terjadi pula perubahan tekstur pada batuan asal.

III.1.1. Batasan Metamorfosis

Batas maksimum dari proses metamorfosis adalah kondisi pada tekanan dan temperatur di mana mineral dalam batuan mengalami pelelehan menghasilkan

(30)

25 magma. Pada kebanyakan batuan dengan berbagai komposisi akan mengalami pelelehan secara keseluruhan pada suhu dan temperatur tertentu. Posisi dari fase solidus maupun fase liquidus tergantung dari komposisi batuan asal yang mengalami proses metamorfosis dan juga dipengaruhi oleh kehadiran dari H2O, sehingga dalam hal ini akan dapat dijumpai overprint antara proses kristalisasi sebagai akibat metamorfosis dengan kristalisasi pada pembentukan batuan beku, dan kembali lagi posisi dari overprint ini akan sangat ditentukan oleh komposisi batuan asal dan kehadiran air pada kondisi dan temperatur tertentu (Winkler, 1974) Batasan minimum dari proses metamorfosis sebagian dipengaruhi oleh kondisi gradient geothermal suatu tempat pada suatu periode selama terjadi proses metamorfosis, sejalan dengan bertambahnya kedalaman akan menyebabkan semakin besarnya tekanan dan temperatur yang bekerja. Suatu daerah dengan kondisi tekanan yang besar namun dengan kondisi temperatur rendah sangat jarang dijumpai kehadiranva di alam. Demikian juga pada kedalaman yang besar batuan tidak akan berada pada kondisi temperatur rendah. Pada tekanan rendah batasan minimum dari proses metamorfosis adalah pada kondisi tekanan dan temperatur di atas proses kristalisasi, reaksi, maupun deformasi yang berlangsung pada batuan yang disebut sebagai proses diagenesis pada penimbunan batuan sedimen, proses deformasi brittle- ductile, rekristalisasi pada temperatur rendah, serta diikuti oleh proses pelapukan (weathering). Pada batuan yang sangat reaktif dengan komposisi yang komplek sebagai contohnya tufaceous graywackes, batas antara proses metamorfosis dengan proses diagenesis berada pada temperatur 200°C dengan tekanan rendah yang pada bagian terbawah masih dijumpai kehadiran mineral yang terbentuk sebagai hasil dari proses diagenesis tingkat lanjut (Turner, 1980).

Proses migrasi kimia difasilitasi oleh kehadiran intergranular fluids. Jika proses migrasi berlangsung tidak lebih dari skala hand specimen, maka proses metamorfosis termasuk dalam proses yang isokimia. Proses redistribusi komponen kimia pada skala kecil merupakan salah satu ciri dari proses metamorfosis. Sebagian proses segregasi beberapa mineral menghasilkan mineral baru yang merupakan bagian dari proses metamorphic differentiation. Jika di dalamnya melibatkan lebih banyak kehadiran fluida dalam batuan, dan boleh dikatakan proses migrasi kimia dan perubahan yang menyertainya berlangsung lebih dari skala hand

(31)

26 specimen, proses ini dapat dikatakan sebagai proses metasomatic metamorphism (Beach, 1979). Kehadiran dari fluida yang sangat besar yang tercampur dengan air dalam proses disebut dengan proses hidrothermal yang juga dapat sebagai penciri hidrothermal metasomatism.

Metamorfosis sering diikuti oleh proses hydrothermal. Reaksi hidrothermal berlangsung pada kisaran tekanan dan temperatur yang sama dengan proses metamorfosis. Dalam hal ini kehadiran asosiasi mineral yang terbentuk sebagai hasil dari reaksi hidrothermal tidak akan mencerminkan komposisi batuan asal baik batuan beku ataupun batuan sedimen sebagai batuan asal. Sebagai contohnya adalah batuan dengan kandungan mineral andradite garnet atau serisitik mika yang tidak dijumpai baik pada batuan beku maupun batuan sedimen. Kehadiran mineral yang sangat melimpah merupakan suatu indikasi terjadinya perubahan kimia yang melibatkan fluida dalam jumlah yang besar.

Perbedaan mineralogi baik pada proses isokimia maupun metasomatic hydrothermal akan semakin sulit ditentukan apabila dalam batuan terdapat kumpulan mineral yang dapat terbentuk oleh kedua proses tersebut, diantaranya adalah kuarsa, klorit, K-feldspar, albit, epidot, klinozoisit, muskovit, biotit, kalsit, dan dolomit. Pada kondisi tertentu mineral penting sebagai penciri proses isokimia dapat terbentuk sebagai hasil proses aktivitas hydrothermal, sebagai contohnya adalah glaukophan.

III.1.2. Faktor yang Berpengaruh pada Proses Metamorfosis

Faktor yang berpengaruh pada proses metamorfosis antara lain adalah suhu, tekanan, proses migrasi fluida, dan besarnya tegangan atau proses deformasi (Winter, 2001). Reaksi pada fase padat dengan jenis fluida yang umum adalah jenis pore fluid serta dijumpai material terlarut di dalam fluida. Temperatur adalah faktor utama yang berpengaruh dalam proses metamorfosis. Kenampakan umum yang sering dijumpai pada batuan metamorf adalah ditandai dengan kenaikan temperatur yang ditunjukkan perubahan ukuran butir ditambah kehadiran asosiasi mineral tertentu sebagai penciri suhu yang tertentu pula. Reaksi yang terjadi pada kenaikan suhu menyebabkan devolatilization (dehydration dan decarbonation). Mineral pertama yang terbentuk akibat dari dehydration dan decarbonation adalah zeolit,

(32)

27 klorit dan serpentin sehingga pada metamorfosis derajat tinggi akan terdiri dari mineral non volatile.

1. Temperatur

Temperatur akan bertambah sesuai dengan bertambahnya kedalaman (gradien geothermal) yang besarnya rata-rata 10-40°C per kilometer. Reaksi pada batuan metamorf berlangsung sebagai akibat dari sifat-sifat mineral yang stabil hanya pada kondisi tekanan dan temperatur tertentu. Jika temperatur dan tekanan meningkat di atas batas kondisi stabil suatu mineral, maka mineral akan mengalami perubahan dengan komponen penyusun saling berinteraksi membentuk suatu kumpulan mineral yang baru yang lebih stabil pada kondisi tersebut. Perubahan pada proses metamorfosis berlangsung lebih cepat pada kondisi suhu yang tinggi. Batas atas dari proses metamorfosis berlangsung saat mulai terjadi proses pelelehan parsial membentuk magma yang besarnya suhu bervariasi tergantung dari komposisi batuan, tekanan, serta jumlah kehadiran air dalam batuan. Namun, secara umum berkisar pada suhu antara 600-12000 C untuk sebagian besar batuan kerak serta mantel atas.

Kristalisasi meliputi pembentukan mineral baru dan rekristalisasi mineral yang sudah ada (neo crystalization). Pada suhu tinggi, proses reaksi berlangsung sehingga hanya terdapat kumpulan mineral yang hanya dijumpai pada kondisi equilibrium di mana kondisi ini tidak tercapai pada proses diagenesis maupun pada metamorfosis derajat rendah sehingga mineral stabil dapat hadir bersama dengan mineral kurang stabil.

2. Tekanan

Reaksi kimia yang berlangsung pada batuan sangat dipengaruhi oleh perubahan tekanan. Jika atom-atom pada batuan mengalami tekanan yang besar maka ikatan-ikatan di dalamnya dapat terputus dan membentuk ikatan antar atom yang baru serta dihasilkan mineral baru yang lebih stabil pada kondisi tekanan dan temperatur baru. Beberapa mineral lebih sensitif terhadap perubahan tekanan bila dibandingkan dengan perubahan suhu. Namun demikian, tekanan merupakan faktor yang kurang berperan di dalam proses metamorfosis. Tekanan dinyatakan dalam Kilobar yang besarnya setara dengan 1000 ATM. Tekanan yang diterima oleh batuan tiap pertambahan kedalaman

(33)

28 sebesar 1 km, besarnya rata-rata adalah 0,3 kbar. Oleh karena itu, besarnya tekanan sebanding dengan kedalaman dan dapat disimpulkan bahwa besarnya tekanan batuan menunjukkan kedalaman dari batuan pada saat batuan mengalami metamorfosis. Tekanan terdiri dari:

a. Lithostatic pressure atau confining pressure

Tekanan akibat beban batuan yang ada di atasnya dengan gradien geothermal kecil, misalnya terjadi pada zona subduksi, sedangkan gradien geothermal tinggi banyak terjadi pada lingkungan intrusi, hotspot, crustal thickening, ekstension. Pusat orogen dicirikan dengan adanya asosiasi mineral yang hadir pada tekanan dan temperatur tinggi.

b. Lithostatic stress atau hydrostatic

Tekanan yang besarnya sama ke segala arah seperti tekanan hidrostatik pada kedalaman air. Karena besarnya sama ke segala arah, maka tekanan ini tidak menghasilkan deformasi pada batuan. Yang terjadi adalah pengurangan volume (peningkatan densitas batuan) tanpa terjadinya perubahan bentuk. c. Diavatorik stress

Tekanan yang besar dan arahnya tidak seragam ke segala arah sehingga menghasilkan deformasi pada batuan (kebalikan dari lithostatic stress). Diavatorik stress dibedakan menjadi tiga gaya utama yaitu σ 1,2,3 yang pada hydrostatic atau lithostatic besarnya sama ke segala arah. Deviatorik stress banyak terjadi pada daerah sepanjang sabuk orogenik, rift, shear zone atau dekat dengan batas plate. Batuan yang terdeformasi akibat strain diavatorik stress menyebabkan perubahan tekstur dan struktur batuan, namun tidak berpengaruh terhadap kumpulan asosiasi mineral yang ada di dalamnya. Deformasi dapat bertindak sebagai katalitik dalam penghilangan kchadiran mineral yang kurang stabil, mineral ini disebut dengan antistress mineral (Harker 1932 dalam Winter, 2001). Tekanan dan temperatur hanya berasal dari hasil interpretasi, karena proses yang berlangsung tidak dapat diamati.

3. Deformasi

Deformasi adalah perubahan bentuk dari mineral sebagai akibat dari gaya atau tenaga yang bekerja terutama pada daerah tektonik aktif. Ketika

(34)

29 metamorfosis bekerja tanpa adanya deformasi, maka mineral akan tumbuh dengan orientasi yang acak. Ketika batuan mengalami deformasi akibat pergerakan tektonik, akan dihasilkan batuan metamorf dengan orientasi penjajaran mineral (metamorphic layering) atau disebut juga dengan ibliasi. Sebagai contoh perlapisan pada shale yang mendatar berubah menjadi terlipat-lipat dan jika metamorfosis bekerja bersamaan dengan proses deformasi maka mineral lempung yang ada di dalamnya terubah menjadi mika dan klorit yang pipih dengan arah tumbuh mineral yang tegak lurus terhadap arah kompresi yang bekerja. Foliasi adalah istilah yang sering dipakai untuk menyebut tipe-tipe layering pada batuan metamorf hasil dari penjajaran mineral pipih sebagai hasil deformasi batuan, sedangkan komposisi dari batuan metamorf ditentukan oleh komposisi batuan asal, temperatur, dan tekanan.

4. Migrasi fluida

Batuan sedimen banyak mengandung air yang mengisi pori batuan. Air juga hadir dalam sebagian besar kerak bumi dan juga dalam magma. Air dan fluida yang lain dapat bermigrasi dari batuan yang satu ke batuan yang lain dengan membawa ion-ion yang terlarut di dalamnya. Ion dapat bereaksi dengan batuan menghasilkan komposisi mineralogi maupun kimia yang berbeda. Sebagai contoh magma granit mengandung silika (Si02) melimpah dan sedikit kandungan air. Jika magma granit menerobos batuan gamping, maka pada zona kontak terjadi reaksi antara larutan silika (Si02+air), dengan batugamping dalam hal ini silika tertambahkan dalam kalsium karbonat dengan reaksi (Winter, 2001):

CaCO3 + Si02  CaSiO3 + CO2 Kalsit + Kuarsa (silika) Wolastonit

Proses metamorfosis pada kasus ini ditandai dengan penambahan ion yang berasal dari luar. Proses ini yang disebut dengan metasomatisme, sedangkan material pembawa ion disebut dengan metasomatik fluid.

Dengan demikian, fenomena di atas merupakan komposisi mineral dari batuan metamorf yang dipengaruhi oleh komposisi batuan induk dan penambahan oleh proses metasomatik, ataupun perubahan mineral selama proses metamorfosis.

(35)

30

III.1.3. Tipe-tipe Metamorfosis

Terdapat beberapa pendekatan dalam pengklasifikasian batuan metamorf, di antaranya adalah agen geologi yang berperan di dalamnya yang meliputi proses thermal metamophism, yaitu sebagai hasil dari agen perpindahan panas yang dominan bekerja pada batuan. Metamorfosis dinamik yaitu jika diavatorik stress dominan bekerja pada batuan yang menyebabkan deformasi dan rekristalisasi pada batuan. Dinamothermal metamorfosis dihasilkan ketika terjadi kombinasi antara temperatur dan tekanan, seperti berlangsung pada orogenic belt. Dari ketiga pengelompokan klasik tersebut masih ditambahkan lagi satu jenis metamorfosis yaitu metasomatisme yang terjadi karena perpindahan fluida dan alterasi pada batuan. Proses ini berbeda dengan ketiga proses yang ada di atas.

Berdasarkan klasifikasi IUGS-SCMR dalam Winter (2001), metamorfosis dibagi lagi menjadi beberapa tipe di antaranya adalah:

1. Contact metamorphism

Metamorfosis kontak berlangsung pada daerah intrusi batuan beku sebagai akibat dari panas (kemungkinan terjadi metasomatisme) yang merupakan efek dari magma yang mengintrusi batuan dingin yang berada di tempat yang lebih dangkal. Metamorfosis kontak dapat berlangsung pada semua tempat di mana terdapat aktivitas magma dan tidak hanya dibatasi oleh lokasi pada setting tektonik tertentu, seperti hanya pada batas plate dikarenakan magma dapat naik dan mentransfer panas sampai pada kedalaman yang dangkal (epizone). Pada jenis metarmorfosa ini berlangsung pada kisaran tekanan yang luas bahkan dapat terjadi pada tekanan mendekati permukaan.

Pyrometamorphism adalah tipe minor dari kontak metamorfosis yang dicirikan oleh temperatur yang sangat tinggi dan tekanan sangat rendah yang disebabkan oleh tubuh batuan vulkanik-subvulkanik. Secara umum dijumpai dalam xenolith yang terdapat dalam suatu tubuh batuan, tetapi juga dapat ditemukan pada kontak batuan dinding. Pyrometamorphism adalah tipe yang sering berasosiasi dengan berbagai variasi tingkatan partial melting.

2. Regional Metamorphism

Metamorfosis regional pada pengertian umum adalah proses metamorfosis yang melibatkan sejumlah besar masa batuan dan meliputi

(36)

31 penyebaran lateral yang sangat luas (10 km atau lebih). Dengan definisi ini metamorfosis regional dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu orogenic metamorphism, burial metamorphism, dan ocean floor metamorphism.

a. Orogenic metamorphism adalah tipe metamorfosis yang berasosiasi dengan batas plate convergen, terjadi selama perkembangan pembentukan busur kepulauan, continental arc, dan zona tumbukan benua. Sebagian besar studi batuan metamorf terkonsentrasi pada daerah sabuk orogenik.

b. Burial metamorphism merupakan istilah yang digunakan oleh Coombs (1967) untuk menyatakan metamorfosis derajat rendah yang terdapat di dalam cekungan sedimentasi yang terkubur oleh lapisan batuan sedimen di atasnya.

c. Ocean floor metamorphism yaitu batuan metamorf yang terbentuk sebagai akibat dari proses pemekaran pada kerak samudra (mid oceanic ridge center). Pada lokasi ini dijumpai adanya batuan metamorfosis dari basal maupun gabro sebagai penyusun (Humphirs and Thompson 1978, dalam Winter, 2001).

3. Hydrothermal metamorphism

Prinsip umumnya adalah jika batuan mengalami perubahan akibat proses metamorfosis yang di dalamnya melibatkan hot water/ larutan hydrothermal, disebut dengan istilah hydrothermal metamorphism.

4. Fault zone metamorphism

Merupakan tipe metamorfosis yang berlangsung pada area di mana terjadi deformasi sangat intensif dan dengan efek rekristalisasi termal yang rendah. Fault zone metamorphism belangsung pada daerah dengan shear stress yang tinggi.

5. Impact atau shock metamorphism

Jenis metamorfosis ini terdapat pada zona meteorite impact. Baik antara fault zone dan impact metamorphism saling berhubungan dengan dynamik metamorphism atau high stress metamorphism (Spers, 1993 dalam Winter, 2001).

(37)

32

III.2. Pengertian Skarn

Skarn merupakan suatu istilah untuk menyebut suatu batuan alterasi kalk-silikat yang kaya akan kalk-silikat Ca, Fe, Mg, dan Al, terbentuk akibat dari penggantian batuan yang kaya karbonat hasil dari proses metasomatisme (Einaudi dkk, 1981 dalam Best, 2006). Proses tersebut merupakan hasil respon batuan dari intrusi batuan beku. Proses metasomatisme sendiri adalah suatu proses perubahan semua komposisi kimia batuan akibat dari masuknya (perkolasi) larutan hidrotermal ke dalam batuan saat proses metamorfisme terjadi (Best, 2006). Masuknya larutan hidrotermal ini dapat melalui rekahan atau pori – pori yang ada dari batuan tersebut, sedangkan terminologi dari skarnoid dapat dijelaskan sebagai batuan dengan kenampakan seperti skarn tetapi memiliki genesis yang sangat komplek. Endapan skarn umumnya terbentuk pada lingkungan geologi yang berumur Pre-Kambrian sampai Tersier Akhir. Endapan yang bernilai ekonomis umumnya memiliki umur relatif muda dan berhubungan dengan aktifitas hidrotermal-magmatik yang berasosiasi dengan intrusi granitik hingga dioritik pada sabuk orogenik. Yang membedakan endapan skarn dari model endapan lainnya adalah skarn memiliki ukuran kristal relatif kasar, kaya akan kandungan besi, merupakan campuran antara Ca-Mg-Fe-Al silikat, dan terbentuk akibat proses metasomatisme yang terjadi pada suhu tinggi (Einuadi dan Burt, 1982). Batuan ini dapat terbentuk sebagai hasil proses metasomatisme pada batuan karbonat yang memiliki banyak pengotor atau juga dapat merupakan hasil overprinting dari skarn menjadi hornfels atau reaction skarn.

Skarn terbentuk pada metamorfisme kontak atau regional dan pada proses metasomatisme yang berkaitan dengan fluida magmatik, metamorfik, meteorik, ataupun air laut. Skarn umumnya ditemukan di dekat tubuh plutonik, sepanjang sesar atau rekahan yang bersifat regional, pada sistem panas bumi, di bawah lantai samudera, dan pada kerak yang terkubur di bagian bawah bentang lahan metamorfik. Dari berbagai lingkungan yang berbeda ini dapat didefinisikan sebagai skarn umumnya didominasi oleh garnet dan piroksen. Tidak semua skarn menghasilkan mineralisasi yang bernilai ekonomis (Meinert, 1992).

Winter (2001) berpendapat bahwa skarn adalah batuan yang didominasi oleh Ca-Fe-Mg-Si yang terbentuk karena proses replacement batuan karbonat

(38)

33 selama proses metamorfisme regional atau metamorfisme kontak. Skarn sebagian besar terbentuk karena proses metasomatisme, baik itu bimetasomatisme antara kontak dua litologi maupun infiltrasi fluida silika ke dalam batuan karbonat. Pada saat ini istilah tersebut berkembang untuk penamaan batuan yang berkomposisi calc-silicate akibat adanya proses pengubahan pada batuan sedimen akibat intrusi batuan beku (Antoro dan Wahab, 1999)

Kerrick (1977) dalam Winter (2001) mengungkapkan adanya zona-zona skarn. Zona-zona ini bergantung pada kondisi temperatur dan tekanannya. Tabel 3.1. menunjukkan adanya beberapa kemungkinan zonasi pada skarn.

(39)

34 Secara umum skarn terbentuk akibat dari penggantian batuan yang kaya akan unsur karbonat. Skarn juga dapat terbentuk akibat dari penggantian batuan vulkanik yang kaya akan unsur kalsium seperti tuff (Ray dan Webster, 1991).

Skarn menurut Ray dan Webster (1991) dapat terbentuk dari beberapa proses, yaitu :

1. Rekristalisasi isokimia dari batuan yang kaya unsur karbonat sebagai hasil dari proses metamorfisme regional atau metamorfisme kontak.

2. Reaksi metasomatisme antara dua litologi yang berbeda, misal argilit dan batugamping.

3. Masuknya larutan hidrotermal pada batuan dari proses magmatisme atau metamorfisme.

III.3. Jenis-jenis Endapan Skarn

Skarn dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok berdasarkan jenis batuan asal, jenis mineral penyusunnya, dan jarak pembentukan dari sumber panas (Lawless dkk, 1996). Berdasarkan jenis batuan asalnya (protolith), skarn di bagi menjadi dua, yaitu:

1. Endoskarn

Endoskarn adalah skarn yang terbentuk akibat penggantian atau perubahan mineral di dalam intrusi batuan beku pembawa mineralisasi itu sendiri.

2. Eksoskarn

Eksoskarn adalah skarn yang terbentuk akibat penggantian atau perubahan mineral di luar intrusi batuan beku pembawa mineralisasi itu sendiri, baik itu di dalam batuan dinding maupun di sepanjang kontak antara intrusi dengan batuan dinding. Biasanya sebagian besar mineral logam terkonsentrasi pada endapan eksoskarn daripada endoskarn (Evans, 1993). Eksoskarn masih dibagi lagi menjadi dua berdasarkan mineralogi, yaitu:

a. Magnesian Skarn, yaitu skarn yang terbentuk oleh replacement dolomit yang menghasilkan alterasi yang kaya akan Mg (Mg-rich alteration) seperti fosterit, serpentin, phlogopit dan diopsid.

(40)

35 b. Calcic Skarn, yaitu skarn yang terbentuk oleh replacement batugamping yang menghasilkan alterasi yang kaya akan Ca (Ca rich alteration) seperti garnet (grossular, andradit), klinopiroksen (hedenbergit, diopsid), wollastonit.

Berdasarkan jenis mineralnya, skarn dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu : 1. Skarn prograde

Skarn prograde adalah skarn yang terbentuk pada fase awal pembentukan skarn. Suhu pembentukan tinggi dan masih dipengaruhi oleh air magmatik. Mineral penciri dari skarn prograde yaitu mineral yang terbentuk pada suhu tinggi seperti garnet dan piroksen.

2. Skarn retrograde

Skarn retrograde adalah skarn yang terbentuk pada fase sesudah pembentukan endapan prograde (fase lanjut atau fase pendinginan). Suhu pembentukan rendah dan sudah dipengaruhi oleh air meteorik. Menurut Robb (2005) skarn retrograde ini ditandai dengan munculnya mineral epidot, biotit, klorit, plagioklas, kalsit, kuarsa (ubahan semua varian garnet), tremolit-aktinolit dan talk (ubahan dari piroksen) dan serpentin (ubahan dari olivin).

Berdasarkan jarak pembentukan dari sumber panas, skarn dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Skarn proksimal

Skarn proksimal adalah skarn yang terbentuk di dekat dengan sumber panas atau intrusi. Mineral penciri dari skarn proksimal hampir sama dengan mineral penciri pada skarn prograde yaitu garnet dan piroksen.

2. Skarn distal

Skarn distal adalah skarn yang terbentuk jauh dari sumber panas atau intrusi. Karena terbentuk jauh dari sumber panas, maka mineral – mineral yang terbentuk merupakan mineral yang terbentuk pada suhu yang relatif rendah. Terminologi untuk skarn distal ini dapat disamakan dengan skarn retrograde karena kesamaan mineral pencirinya.

Menurut Meinert (1992) skarn dibedakan berdasarkan jenis mineral ekonomis yang ditemukan pada endapan tersebut, misalnya skarn Fe, skarn Au, skarn Cu, skarn W, skarn Mo, skarn Pb-Zn, dan skarn Sn. Bahkan dimungkinkan

Gambar

Gambar 1.3. Peta topografi daerah Pagerjurang
Tabel 1.1 Jadwal penelitian
Gambar 2.1. Fisiografi Jawa Bagian Tengah – Timur dan Pulau Madura (Van Bemmelen,  1970 dengan modifikasi)
Gambar 2.2. Tatanan stratigrafi Pegunungan Selatan menurut Bothe (1929), Van  Bamelen (1949), Sumarso (1976), Surono (1992)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Persentase keberhasilan kalus yang dapat hi- dup setelah diseleksi dalam media yang mengandung filtrat lebih tinggi berasal dari penggunaan filtrat yang diletakkan di bawah

Chord Recognition atau pengenalan chord adalah bentuk transkripsi atau konversi dari suara berupa file audio menjadi chord, yang mana dapat dikelompokkan sesuai

berbeda tidak nyata pada variabel tinggi bibit, jumlah daun bibit kakao, luas daun bibit kakao, berat kering bibit kakao dan rasio tajuk akar, tetapi pada variabel

128/Pid/B/2017/PN.Smg, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang yang terdiri dari satu Hakim sebagai Hakim ketua majelis dan dua Hakim lainnya sebagai Hakim anggota, menyatakan

seorang anggota direksi ingin menolak bertanggung jawab atas kerugian suatu perseroan maka anggota direksi tersebut harus memenuhi semua syarat yang ada diatas,

- Meniru teks interaksi transaksional lisan dan tulis yang melibatkan tindakan memberi dan meminta informasi terkait hubungan sebab akibat, dengan memperhatikan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Primer Mikrosatelit pada Proses Seleksi Padi Varietas Code untuk Sifat Umur Berbunga adalah benar karya saya dengan

Thrips parvispinus yang terdapat pada daerah dengan ketinggian tempat yang tinggi (1200 dan 1207 mdpl) memiliki ukuran tubuh yang lebih panjang dibandingkan trips yang terdapat