• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEK POSISI BIJI MUDA DALAM POLONG TERHADAP PERTUMBUHAN IN-VITRO PLANTLET KEDELAI ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEK POSISI BIJI MUDA DALAM POLONG TERHADAP PERTUMBUHAN IN-VITRO PLANTLET KEDELAI ABSTRACT"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 03 September 2013, ISSN 0854-0128

EFEK POSISI BIJI MUDA DALAM POLONG TERHADAP PERTUMBUHAN IN-VITRO PLANTLET KEDELAI

Oleh: Teguh Wijayanto1), Gusti Ray Sadimantara1), dan Nurdin2)

ABSTRACT

One main problem of soybean breeding program is a long generative period for seed maturity. The culture of immature embryo offers an alternative solution for shortening the soybean generative period. This research aimed to know the growth of soybean plantlets originated from in vitro-cultured immature embryo of different seed position in the pod. This research was conducted at the Agrotechnology Laboratory, Faculty of Agriculture, University of Halu Oleo. The experiment used the randomized complete design (RCD) of a single experimental treatment of seed position in the pod (L), with 3 (three) treatment levels, namely seed at nearest position (dorsal) (L1), seed in the middle position (middle) (L2), and seed at farthest position (axial) (L3). The experiment data were analyzed descriptively. The research results showed that the treatment of seed position in the pod gave no real effect on all observed variables. However, the nearest seed position (L1) in general gave slightly better plantlet growth.

Keywords: anthesis, breeding cycle, pod age, soybean immature embryos

PENDAHULUAN

Kedelai (Glycine max (L.) Merill)

merupakan tanaman pangan penting

Indonesia. Akan tetapi dalam memproduksi benih unggul pemulia dihadapkan dengan persoalan lamanya periode pematangan (fase generatif) biji kedelai, sehingga memerlukan waktu yang lama untuk periode perbanyakan atau siklus pemuliaan berikutnya. Menurut Purnawati dan Hidajat (1994), kedelai di Indonesia mulai berbunga rata-rata sekitar umur 35 hari dan baru matang rata-rata sekitar umur 90 hari, sehingga dengan kata lain fase generatifnya sekitar 55 hari.

Untuk memecahkan masalah

lamanya waktu pematangan biji dan penanaman kembali benih kedelai untuk

generasi berikutnya dalam kegiatan

pemuliaan tanaman kedelai, maka

diperlukan suatu strategi untuk

mempersingkat siklus generatif tanaman

kedelai. Kultur embrio muda (immature)

adalah satu teknik kultur jaringan dengan

menumbuhkan embrio muda secara in vitro

pada kondisi aseptik. Keberhasilan teknik kultur embrio ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah umur biji muda

(embrio) (Kosmiatin dan Mariska, 2005).

Selain umur polong, letak/posisi biji dalam

polong juga diduga mempengaruhi

pertumbuhan plantlet kedelai dalam tabung

kultur.

Croser et al. (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan embrio muda, selain dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti medium, suhu, dan cahaya, di duga juga dipengaruhi oleh umur polong dan letak biji dalam polong.

Di dalam polong kedelai biasanya terdapat biji yang berjumlah 3 buah (Irwan, 2006). Secara umum biji yang berada di bagian pangkal polong (dorsal) diduga akan mendapatkan asupan asimilat lebih banyak dibanding biji bagian tengah (middle) dan ujung (aksial). Distribusi asimilat dari daun ke tongkol dan bulir pada tanaman jagung dan padi terjadi variasi yang mengakibatkan perbedaan kadar nutrisi pada biji yang dipengaruhi letak biji pada tongkol dan bulir (Mugnisjah dan Setiawan, 1990). Oleh sebab itu, untuk mendapatkan jawaban apakah ada pengaruh letak biji terhadap pertumbuhan embrio muda kedelai maka perlu dilakukan penelitian tentang

1

(2)

respon pertumbuhan embrio muda kedelai secara in vitro pada variasi letak biji.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian dilaksanakan di

laboratorium yang disusun dengan

Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan perlakuan letak/posisi biji, yang terdiri atas: biji pada bagian pangkal polong (L1), biji pada bagian tengah polong (L2), dan biji

pada bagian ujung polong (L3). Setiap

perlakuan diulang 15 kali, dengan demikian didapatkan 45 unit percobaan dimana setiap unit terdiri dari dua sampel. Data yang diambil hanya pada tanaman yang tumbuh baik (bebas kontaminasi).

Penanaman dan Pemeliharaan tanaman kedelai sebagai sumber eksplan

Media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan volume 3 : 1 digunakan sebagai media tumbuh tanaman kedelai di dalam pot

ukuran 30 x 40 cm dalam glasshouse. Setiap

pot ditanam sebanyak tiga benih kedelai dan apabila sudah tumbuh hanya dua tanaman terbaik yang dipertahankan.

Tanaman dipupuk sekitar 2 minggu

setelah tanam dan setiap 2 minggu

berikutnya, sesuai rekomendasi dosis

pemupukan.

Pembuatan media kultur

Media yang digunakan untuk kultur embrio muda kedelai ini adalah kombinasi medium padat B5 dan medium cair L6KK

(Croser et al.,2010; Wijayanto et al., 2012).

Medium B5 pH 5,5 (sebanyak 5 mL) dimasukkan ke tabung kontainer ukuran 30

mL, disterilkan dengan autoclave, kemudian

setelah sterilisasi setiap tabung dibiarkan dingin di suhu ruang, dengan posisi

dimiringkan (45o) sampai medium

memadat. Medium cair L6KK diberikan (1 mL) ditambahkan pada medium padat B5 setelah embrio muda nantinya ditanam.

Pemanenan polong muda dan sterilisasi

Polong yang belum matang

(immature) dipanen secara hati-hati pada sekitar umur 21 hari setelah pembungaan.

Prosedur sterilisasi standar (Croser

et al., 2010; Wijayanto, et al., 2012)

diterapkan untuk polong kedelai. Polong

dicuci dengan alkohol 70% selama 5 menit, kemudian dengan larutan sodium hipoklorit 2.5 % + 1 tetes Tween-20 selama 5 menit dengan pengocokan. Tahap akhir, polong dibilas 3 kali dengan aquades steril selama

masing-masing 5 menit, kemudian

ditiriskan dan dikeringanginkan pada kertas saring steril sekitar 15 menit.

Pengambilan biji muda dari polong dan Isolasi immature embrio

Polong yang sudah steril dijepit dengan pinset pada posisi horizontal lalu dipotong melintang pada pertengahan antara biji bagian pangkal dengan biji bagian tengah, pemotongan juga dilakukan antara biji bagian tengah dengan biji bagian ujung.

Agar lebih teratur pembedahan biji

dilakukan pada biji bagian pangkal terlebih dahulu. Biji pangkal dijepit dengan pinset dengan posisi vertikal, ujung mata pisau bedah diletakkan pada bagian bawah kulit polong (titik temu antara kulit) kemudian pisau ditekan dengan pelan hingga kulit polong mulai terbelah. Setelah itu, kulit polong yang sebelah ditekan dengan pisau bedah dan kulit yang sebelahnya lagi ditarik dengan pinset sehingga kulit polong terbelah.

Prosedur isolasi embrio dilakukan

secara aseptik di dalam laminar air flow

cabinet dengan bantuan mikroskop

disecting, seperti yang dilakukan Croser et

al. (2010) dan Wijayanto et al. (2012).

Isolasi embrio dari biji dilakukan dengan

mengupas selaput benih dengan

menggunakan pisau bedah, kemudian biji dijepit dengan pinset dilanjutkan dengan membelah kotiledon. Setelah kotiledon

terpisah embrio diisolasi dengan

menggunakan ujung pisau lalu embrio ditanam pada medium padat B5 dalam tabung polikarbonat 30 mL, yang telah disiapkan.

(3)

Kultur embrio muda

Satu embrio ditanam dalam satu tabung yang berisi medium B5 padat (5 mL), selanjutnya ditambahkan medium

L6KK cair (1 mL) pada suhu sekitar 20o C,

seperti diuraikan dalam Croser et al. (2010).

Embrio yang telah ditanam dalam tabung polikarbonat diletakkan pada rak kultur di ruang kultur. Suhu ruangan kultur sekitar

22-25oC, dengan penyinaran lampu

influorescens (12 jam terang dan 12 jam gelap).

Pengamatan dan Analisis Data

Pengamatan variabel pertumbuhan dilakukan setiap 5 hari selama 20 hari. Variabel penelitian diamati adalah sebagai berikut:

1. Tinggi plantlet (mm): tinggi plantlet

diukur mulai dasar hipokotil bawah

sampai titik tumbuh. Plantlet diukur

setiap lima hari.

2. Jumlah daun (helai): jumlah daun

plantlet yang telah membuka penuh, diukur setiap lima hari.

3. Jumlah akar (buah): jumlah akar yang tumbuh diukur setiap lima hari

4. Panjang akar (mm): panjang akar diukur

pada umur 20 HST (pengamatan

terakhir). Akar yang diukur adalah akar terpanjang.

Data pengamatan dianalisis secara deskriptif. Data yang dianalisis bersumber

dari unit (plantlet) bebas kontaminan.

Perlakuan untuk variabel tinggi plantlet,

jumlah daun, jumlah akar, dan panjang akar dihitung rata-rata dan standar deviasinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan

adanya perbedaan persentase embrio

berkecambah (data tidak ditampilkan) pada

berbagai perlakuan letak/posisi biji.

Perbedaan ini dapat disebabkan oleh ukuran embrio yang berbeda dan sangat kecil. Hal

ini sejalan dengan pernyataan Kosmiatin dan Mariska (2005) bahwa penanaman

embrio yang masih sangat muda

menghadapi kendala teknis sulitnya

mengisolasi embrio dari polong karena ukuran embrio yang sangat kecil.

Selama masa kultur, terjadi

kontaminasi pada beberapa tabung kultur, dan menyisakan sekitar 10 ulangan per perlakuan. Kesepuluh ulangan ini yang

selanjutnya digunakan sebagai objek

pengamatan. Data rata-rata pertumbuhan

plantlet kedelai pada berbagai letak biji disajikan pada Tabel 1.

Berdasarkan rekapitulasi nilai rata-rata pertumbuhan (Tabel 1), secara umum terlihat bahwa perlakuan letak biji dalam polong (L) tidak memberikan keragaman

nilai rata-rata pertumbuhan plantlet yang

cukup tinggi, meskipun perlakuan L1 cenderung sedikit lebih baik dibanding perlakuan L2 dan L3. Setelah dilakukan uji t, tidak terdapat perbedaan yang nyata antar taraf perlakuan letak biji (L).

Embrio berasal dari peleburan gamet jantan dan gamet betina yang berkembang menjadi zigot (pro-embrio). Seiring dengan perkembangan biji (embrio) dengan tahapan

zigot, globular, hati (heart), kotiledon dan

matang tentu ada proses pertumbuhan embrio (Tilton dan Russel, 1984). Menurut

Wattimena et al., (2011), kejadian yang

menentukan dalam perkembangan embrio adalah pembentukan meristem apikal pucuk dan meristem apikal akar. Organisasi dari meristem apikal akar dapat dilihat mulai

dari awal tahap hati, saat hipokotil

memanjang dan kotiledon mulai terbentuk, sedangkan pembentukan meristem apikal pucuk baru mulai kelihatan pada saat akhir tahap hati, setelah meristem apikal akar terbentuk. Dengan demikian, embrio tahap pada akhir hati sudah bisa ditumbuhkan

secara in vitro, namun yang menjadi

masalah adalah komposisi medium, ukuran embrio sangat kecil (0,5 mm), sebagaimana juga dilaporkan oleh Tilton dan Russel (1984), dan lembek sehingga mudah rusak.

(4)

Tabel 1. Rekapitulasi nilai rata-rata pertumbuhan plantletembrio muda kedelai pada variasi letak biji

No Variabel Letak Biji

1 Tinggi Plantlet L1 L2 L3 5 HST 20±9,41 18,7±9,71 18,7±9,02 10 HST 36±8,22 34,9±4,44 34,7±7,70 15 HST 40,8±5,47 39,7±6,41 40,8±5,41 20 HST 43±4,5 41,9±4,09 42,6±4,6 2 Jumlah Daun 15 HST 1,33±1 1,1±0,99 1,1±0,99 20 HST 2,0±0 1,9±0,32 2,1±0,32 3 Jumlah Akar 5 HST 1,8±0,67 1,7±0,67 1,9±0,74 10 HST 11±5,17 10±5,08 9,9±4,91 15 HST 19,1±3,89 18,1±4,65 17,7±3,97 20 HST 43±4,5 42,2±4,8 42,7±4,74 4 Panjang Akar 20 HST 69,8±22,52 68,2±23,37 68,6±23,21

Gambar 1. Tahapan isolasi benih muda (A) dan kultur immature embrio (B), sampai

dihasilkan plantlet kedelai (C) (umur 30 HST), pada variasi letak biji dalam

polong

Menurut Tilton dan Russel (1984), sitokinin mengontrol perkecambahan biji,

mempengaruhi transfer auksin dan

memungkinkan bekerjanya giberelin dengan

menghilangkan penghambat tumbuh.

Menurut Kartina (1993), respon auksin dalam jaringan dipengaruhi oleh kadar

giberelin dalam jaringan. Selanjutnya

Christianingsih (2008) menyatakan bahwa peranan giberelin dalam pemanjangan sel adalah menginduksi pembentukan enzim hidrolase dan proteolase yang diharapkan dapat melepaskan asam amino triptofan sebagai prekursor auksin, sehingga kadar auksin meningkat. Dengan meningkatnya auksin dan dihambatnya asam absisat

(5)

(ABA) maka dormansi embrio akan pecah, sehingga embrio dapat berkecambah dan tumbuh.

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa benih muda kedelai, baik benih yang letaknya di pangkal, tengah, maupun ujung polong, dapat tumbuh dengan baik pada medium kultur embrio (Gambar 1). Namun, perlakuan letak biji (L) dalam polong memberikan tingkat keragaman yang rendah

terhadap nilai rata-rata pertumbuhan

plantlet kedelai. Hal ini diduga karena translokasi fotosintat dari tanaman induk (daun dan polong) ke embrio yang sedang

berkembang dalam polong tidak

dipengaruhi oleh jarak biji dalam polong. Asimilat yang ditranslokasikan dari daun dan polong dipicu oleh difusi dan sel-sel

transfer melalui unting (strand) pembuluh

yang bercabang dari jaringan pembuluh yang merentang melalui polong dan kemudian lewat melampaui tali pusar ke

dalam integumen (Mugnisjah dan

Setiawan,1990).

KESIMPULAN

Perbedaan letak biji dalam polong (L)

tidak memberikan pengaruh terhadap

pertumbuhan plantlet kedelai yang

ditumbuhkan dari embrio muda secara

in-vitro. Namun secara umum biji pada bagian pangkal polong (L1) memberikan nilai

rata-rata variabel pertumbuhan plantlet (tinggi,

jumlah daun, jumlah akar dan panjang akar) sedikit lebih tinggi dibanding biji pada bagian tengah (L2) dan bagian ujung (L3)

polong. Hasil penelitian ini juga

menunjukkan bahwa teknik kultur embrio

muda merupakan suatu teknik yang

menjanjikan, dan berpeluang untuk

diterapkan dalam rangka mempersingkat siklus pemuliaan tanaman kedelai.

DAFTAR PUSTAKA

Christianingsih, R., 2008. Pengaruh

triakontanol dan giberelin terhadap pertumbuhan dan persentase buah jadi

tanaman buncis. J. Agros. 10 (2):

35-42.

Croser, J., M.C. Castello dan K. Edwards, 2010. Lupin immature seed culture for

generation acceleration. CLIMA

report.

Irwan, A.W., 2006. Budidaya Tanaman

Kedelai. Fakultas Pertanian

Universitas Padjajaran. Jatinangor. Kartina, A.M., 1993. Pengaruh variasi jarak

tanam dan pemangkasan pada

tanaman buncis. Tesis. UGM.

Yogyakarta.

Kosmiatin, M dan I. Mariska, 2005. Kultur embrio dan penggandaan kromosom hasil persilangan kacang hijau dan kacang hitam. Jurnal Bioteknologi Pertanian 10 (1): 24-34.

Mugnisjah, W.Q., dan A. Setiawan, 1990. Pengantar Produksi Benih. Rajawali, Jakarta.

Purnawati, E., dan J.R. Hidajat, 1994. Karakterisasi Plasmanutfah Kedelai,

Dalam Koleksi dan Karakterisasi Plasmanutfah Pertanian. Balitbangtan, Jakarta.

Tilton, V.R., dan S.H. Russel., 1984. In

vitro culture of immature Soybean

embryos. Plant Physiol. 115: 191-200.

Wattimena, G.A., A.M. Nurhajati, N.M.A. Wiendi, D. Efendi, B.S. Purwoko dan

N. Khumaida, 2011. Bioteknologi

dalam Pemuliaan Tanaman. IPB Press. Bogor.

Wijayanto, T., G.R. Sadimantara, dan D.

Erawan, 2012. Percepatan fase

generatif menggunakan Immature

Embryo Culture untuk membantu

memperpendek siklus breeding

kedelai (Penelitian Riset Unggulan Unhalu 2012).

Gambar

Tabel 1.    Rekapitulasi nilai rata-rata pertumbuhan plantlet embrio muda kedelai pada variasi  letak biji

Referensi

Dokumen terkait

untuk membantu peneliti mengetahui tanda -tanda etika dalam film ters ebut peneliti menganalis is dengan metode analis is s emiotika. Semiotika adalah s uatu

Cek garis median model kerja yang telah dipasang dalam artikulator harus sebidang dengan garis median artikulator... Lakukan pemasangan full veneer crown dengan

Hasil penelitian telah sesuai dengan teori Health Belief Model dalam Glanz (2008), yang menjelaskan bahwa rendahnya persepsi terhadap manfaat berhenti merokok

Hal ini jelas bertentangan dengan yang disampaikan oleh Kotler (2005:49) adalah kualitas produk merupakan keseluruhan ciri serta dari suatu produk atau pelayanan pada

Aluminium merupakan salah satu logam anorganik yang dijumpai dalam air minum. Aluminium juga merupakan salah satu elektroda yang dapat digunakan dalam proses

Individu berasal dari kata in dan devided. Dalam Bahasa Inggris in salah satunya mengandung pengertian tidak, sedangkan devided artinya terbagi. Jadi individu artinya

Dengan demikian penelitian ini sendiri akan membahas pandangan Abū Zayd sebagai pemikir Islam kontemporer dan tokoh hermeneutik yang menghadirkan perspektif berbeda pada

Iktiosis acquired, biasanya muncul untuk pertama kalinya dalam masa dewasa, adalah kondisi nonhereditary yang terkait dengan penyakit sistemik.. Iktiosis acquired jarang