• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT, CUTI MENJELANG BEBAS DAN CUTI BERSYARAT DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS II B MAMUJU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT, CUTI MENJELANG BEBAS DAN CUTI BERSYARAT DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS II B MAMUJU"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT,

CUTI MENJELANG BEBAS DAN CUTI BERSYARAT

DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS II B MAMUJU

IMPLEMENTATION OF PAROLE, LEAVE BEFORE BEING

RELEASED, AND LEAVE ON BAIL IN STATE CUSTODY OF

CLASS II B MAMUJU

Nurul Farida Basir,

1

M. Syukri Akub,

2

Muhadar

3

1

Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin,

2

Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin,

3

Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin.

Alamat Korespondensi :

Perdos Antang, Jl. Arsitektur 2 Blok D. Nomor 117 e-mail : nhoenu_nurul@yahoo.com

(2)

ABSTRAK

Penyampaian salinan putusan (vonis) hakim kepada Lembaga Pemasyarakatan sering mengalami keterlambatan, sehingga akan mempengaruhi hak – hak narapidana, pelaksanaannyapun berdasarkan sikap dan moral positif narapidana. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat di Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, dan pendekatan yuridis empiris. menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada sekarang, berkaitan dengan pelaksanaan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat. Data-data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, harus memenuhi syarat substantif dan syarat adminstratif yang tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01. PK. 04.10 Tahun 2007 dalam pelaksanaannya menemui hambatan. Untuk memperoleh cuti menjelang bebas, harus memenuhi syarat yang serupa dengan pembebasan bersyarat. Yang membedakan adalah pada syarat substantif yaitu telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama 6 (enam) bulan, untuk memperoleh cuti bersyarat, narapidana harus memenuhi persyaratan yang sama, namun yang membedakan ada pada syarat substantif yaitu berkelakuan baik dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir dan jangka waktu cuti paling lama 3 (tiga) bulan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Pelaksanaan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat di RUTAN Klas II B Mamuju mengalami hambatan, narapidana dan anak didik pemasyarakatan sering tidak mendukung pelaksanaan karena tidak menunjukkan sikap dan moral yang positif. Serta seringkali pemberitahuan dan permohonan litmas oleh Lapas tidak terkoordinasi dengan baik sehingga proses pengurusan pembebasan bersyarat sering terlambat. Hambatan lain yaitu, ada kekhawatiran masyarakat akan gangguan Kamtibmas, tidak adanya fasilitas Balai Pemasyarakatan di kabupaten serta terlambatnya kutipan putusan hakim (ekstra vonis).

Kata Kunci : Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Cuti Bersyarat

ABSTRACT

The delay of the judges decisions quotation (extra sentence) to state custody will influence right’s inmates. The implementation depends of positive attitude and moral. The research aimed at investigating the implementation of parole, leave before being released and leave on bail in the state custody of class II B Mamuju. This was analytic descriptive research with an empirical juridical approach. The data obtained werw analysed qualitatively. The research result indicates that to gets parole must qualified substantive and administrative requirements set out in The Ministerial Rules Of Law And Human Right Number. M.01. PK. 04.10 .2007. to gets leave before being released must qualified the same as parole’s qualified, the difference is in substantive terms that have 2/3 criminal past and the period of leave equal to the remmisions last longer than 6 months. To get leave in bail, inmates must qualified the same requirements the different is in substantive terms that good behaved and never get disciplined within the last 6 months. The leave period maximum 3 months. The research was concluded that the implementation of the parole, leave before released and leave on bail in the state custody of class II B Mamuju undergoes the obstacles, inmate and proteges of the correctional institution who frequently do not support the implementation because they do not indicate the positive attitude and moral. Frequently, in practice, the notice and petition of the research community by the correctional institution are not well coordinated, so that there is the delay of the process of the parole arrangement. Whereas the external obstacles occuring are the community’s worry of the disturbance of community order the securit, no facilities of the board of the correctional institution in the regency, and the delay of the judges decision quotition (extra sentence). Keywords : Parole, leave before being released, leave on bail.

(3)

PENDAHULUAN

Dalam rangka mewujudkan sistem pembinaan pemasyarakatan, upaya yang ditempuh adalah pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat, yang merupakan bagian dari hak – hak warga binaan pemasyarakatan. Pelaksanaan hak – hak warga binaan pemasyarakatan diatur dalam Undang – Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan jo. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disebut PP No. 28 tahun 2006) serta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.

Ada unsur-unsur pokok dalam menunjang tujuan pembinaan dalam sistem pemasyarakatan, antara lain : Narapidana itu sendiri, Para petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan, Masyarakat, dalam hal ini yang meliputi instansi-instansi pemerintah dan swasta, organisasi sosial kemasyarakatan, keluarga dari narapidana itu sendiri. (Sujatno, 2004).

Mengenai hak dan kewajiban dari para Narapidana dimulai sejak Narapidana tersebut masuk atau diterima di Lembaga Pemasyarakatan. Pertama sekali Narapidana yang masuk atau diterima di Lembaga Pemasyarakatan tersebut terlebih dahulu dilakukan pengecekan terhadap vonis Hakim, hal tersebut bertujuan untuk mengetahui berapa lama Narapidana tersebut akan menjalani hukuman di dalam Lembaga Pemasyarakatan serta menentukan hak-hak Narapidana untuk mendapat Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Berdasarkan Pasal 14

UUP.

(

Pristiwati, 2009)

Terkait dengan pembinaan narapidana sebagai sebuah proses, harus dipahami bahwa reintegrasi dengan masyarakat ataupun program lanjutan setelah bebas ke masyarakat harus melalui sebuah perencanaan sejak seseorang dijatuhi (vonis)

hukuman. Disinilah seharusnya Bapas sudah berperan untuk membuat rencana

berkelanjutan dengan bekerja sama dengan Lapas. Sehingga Litmas yang dilakukan sejak masa hukuman dijalankan, sudah dapat digunakan untuk menentukan program

(4)

pembinaan yang tepat. Pembimbing Kemasyarakatan dapat berperan menjelaskan tahap tahap yang akan dilalui saat menjalani hukuman dalam Lapas dan hak-hak yang dimiliki dalam pembinaan seperti pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas hingga pada tahap akhir pada pembimbingan dan program perlakuan berkelanjutan setelah bebas. ( Sueb dkk., 2008 ).

Penyampaian salinan putusan (vonis) hakim kepada Lembaga Pemasyarakatan sering mengalami keterlambatan, sehingga hal tersebut akan mempengaruhi hak – hak narapidana yang akan diberikan. Selain itu ada narapidana yang tidak memperoleh remisi sehingga tidak dapat diberikan Hak Cuti Menjelang Bebas. Disamping hal tersebut ada hal lain yang harus diperhatikan seperti, tidak semua narapidana dan anak didik pemasyarakatan dapat melaksanakan hak – hak tersebut dikarenakan kelakuan dan sikap yang tidak terpuji dari narapidana dan anak didik pemasyarakatan sehingga hak-haknya tersebut harus ditangguhkan dan tindakan tersebut diambil oleh pihak petugas Lembaga Pemasyarakatan. (Irmayani, 2009)

Begitu juga dengan pembebasan bersyarat untuk anak pidana, yang untuk mendapatkannya harus memenuhi syarat telah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Seharusnya mereka bisa mendatkan remisi, dan sebagiannya bisa memperoleh pembebasan bersyarat. Namun sayangnya Lembaga Pemasyarakatan tidak membuat data atau register tentang anak pidana yang mendapatkan remisi, pembebasan bersyarat, ataupun cuti. ( Nilma dkk., 2008 ).

Petugas Pembimbing kemasyarakatan melaksanakan tugasnya juga tidak luput dari permasalahan – permasalahan yang menjadi penghambat, khususnya dalam rangka melaksanakan penelititan kemasyarakatan guna persidangan dan menentukan rencana terapi pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan serta Bapas apabila putusan merupakan pembebasan bersyarat. ( Surbakti, 2009 )

Berdasarkan teori di atas dan berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat di Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju.

(5)

BAHAN DAN METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat. Dan objek penelitian ini adalah Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju yang mengkaji atau menganalisis Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat di Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah penghuni Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju yaitu narapidana dan tahanan, serta Petugas atau pegawai Rumah Tahanan Negara Klas II B mamuju. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dari penghuni Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju yang akan memberikan informasi mengenai hak apa yang mereka peroleh selama menjalani pembinaan di RUTAN. Petugas atau pegawai RUTAN dapat memberikan informasi mengenai cara pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang diperoleh untuk menjawab masalah dalam

penelitian ini digunakan metode penelitian kepustakaan dan pedoman

wawancara/interview. Adapun metode penelitian dengan mengambil sumber bahan

hukum dari kepustakaan yang mencakup: Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat antara lain Undang-Undang Dasar 1945, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan atau yurisprudensi, KUHPidana, KUHAPidana dan sebagainya. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain berupa makalah, lokakarya, seminar, simposium, diskusi, hasil-hasil penelitian, majalah/koran, pendapat pakar, tesis atau disertasi yang ada hubungannya dengan objek penelitian ini. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder contohnya kamus, ensiklopedi dan sebagainya.

Mengenai wawancara/interview dilakukan terhadap individu yang menjadi pelaku

dan petugas lapas. Di mana wawancara yang dimaksud wawancara yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

(6)

Analisis Data

Analisis data dalam penelititan ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atas fenomena sosial yang bersifat unik dan komplek. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan menggunakan metode berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang dimulai dari hal – hal yang bersifat umum untuk menuju kepada hal – hal yang bersifat khusus dalam menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian.

(7)

HASIL PENELITIAN

Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat.

Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa pada Rumah Tahanan Negara Klas

II B Mamuju terjadi over capacity atau kelebihan penghuni. Kapasitas kamar hunian

pada Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju adalah 90 penghuni sedangkan jumlah

penghuni yaitu sebanyak 124.

Tabel 2 menunjukkan bahwa dari tahun 2010 hingga tahun 2012 pemberian pembebasan bersyarat kepada para narapidana dan anak didik pemasyarakatan mengalami peningkatan.

Pelaksanaan pembebasan bersyarat di RUTAN Klas II B Mamuju mengalami hambatan, hambatan internal yang terjadi adalah dari pihak narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang sering tidak mendukung pelaksanaan karena tidak menunjukkan sikap dan moral yang positif. Serta pemberitahuan dan permohonan litmas oleh Lapas tidak terkoordinasi dengan baik sehingga terlambatnya proses pengurusan pembebasan bersyarat. Sedangkan hambatan eksternal adalah kekhawatiran masyarakat akan gangguan Kamtibmas, tidak adanya fasilitas Balai Pemasyarakatan di kabupaten serta terlambatnya kutipan putusan hakim (ekstra vonis).

Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas

Tabel 3 menunjukkan bahwa Pelaksanaan cuti menjelang bebas mengalami hambatan, dapat dilihat dari jumlah pemberian cuti menjelang bebas yang sedikit, hambatan tersebut sama halnya dengan hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat. Ditemui pula hambatan lain yakni terdapat narapidana yang

tidak mendapatkan remisi sehingga tidak diberikan hak cuti menjelang bebas.

Untuk memperoleh cuti menjelang bebas, narapidana harus memenuhi persyaratan substantif dan adminstratif yang serupa dengan pembebasan bersyarat. Yang membedakan adalah pada syarat substantif yaitu telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama 6 (enam) bulan.

Pelaksanaan Cuti Bersyarat

Tabel 4 menunjukkan bahwa dari tahun 2010 hingga tahun 2012 pemberian CB

(8)

yang sama, hambatan lain yang dialami yaitu terdapat kebijakan yang justru mereduksi peran Bapas, seperti kebijakan terkait dengan cuti bersyarat yang tidak melibatkan Bapas dalam proses pembuatannya, namun cukup dibuat oleh wali warga binaan pemasyarakatan di Rutan. Idealnya Litmas untuk cuti bersyaratpun menjadi kewenangan Bapas.

Untuk memperoleh proses pembinaan ini, narapidana harus memenuhi persyaratan yang sama dengan pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas namun yang membedakan ada pada syarat substantif yaitu berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir dan masa pidana yang telah dijalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dan jangka waktu cuti paling lama 3 (tiga) bulan dengan ketentuan apabila selama menjalani cuti melakukan tindak pidana baru maka selama di luar Lapas tidak dihitung sebagai masa menjalani pidana.

Tabel 5 menunjukkan Jumlah pegawai/petugas yang ada pada RUTAN Klas II B Mamuju masih belum sebanding dengan jumlah penghuni (Narapidana/Tahanan) yang pada kenyataannya mengalami over capacity atau melebihi kapasitas yang seharusnya hanya dihuni oleh 90 orang penghuni. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa perbandingan antara jumlah Petugas/Pegawai RUTAN Mamuju dengan Narapidana/Tahanan adalah 1 (satu) banding 3 (tiga).

(9)

PEMBAHASAN

Penelitian menunjukkan bahwa untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat, narapidana harus memenuhi syarat substantif dan syarat adminstratif. Syarat tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. 01. PK. 04.10 Tahun 2007. Persyaratan substantif yaitu: Narapidana telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana. Narapidana telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif. Narapidana berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana dan anak pidana yang bersangkutan. Berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir. Masa pidana yang telah dijalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.

Persyaratan adminstratif yaitu: Salinan putusan hakim (ekstrak vonis). Laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau laporan perkembangan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dibuat oleh Wali Pemasyarakatan. Surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang bersangkutan. Salinan register F (daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana dan anak didik pemasyarakatan selama menjalani masa pidana) dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Kepala Rumah Tahanan (Rutan). Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi, dan lain-lain dari Kepala Lapas atau Kepala Rutan. Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana dan anak didik pemasyarakatan, seperti pihak keluarga, sekolah, instansi pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa. Bagi narapidana atau anak pidana warga negara asing diperlukan syarat tambahan berupa surat jaminan dari Kedutaan Besar/Konsulat Negara orang asing yang bersangkutan dan surat keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai status keimigrasian yang bersangkutan.

(10)

Pembebasan bersyarat berbeda dengan cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat, cuti menjelang bebas tidak bertujuan untuk mengakhiri hukuman, sebab narapidana dan anak didik pemasyarakatan (kecuali anak sipil) yang telah selesai menjalani cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat akan kembali lagi ke dalam Lembaga Pemasyarakatan untuk menyelesaikan masa hukumannya, sedangkan pembebasan bersyarat bertujuan untuk mengakhiri hukumannya.

Ada beberapa pengertian tentang Cuti Menjelang Bebas, antara lain : Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.01.PK.04-10 Tahun 1999 Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti menjelang Bebas, yang menyatakan bahwa : cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan bagi narapidana yang menjalani msa pidana atau sisa masa pidana yang pendek.

Pengertian pembebasan bersyarat adalah : Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana dan anak pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan. Tujuan dari adanya pembebasan bersyarat adalah untuk memudahkan narapidana kembali ke masyarakat (resosialisasi), serta mendorong narapidana untuk berkelakuan baik selama masa hukumannya di penjara. Pada dasarnya pembebasan bersyarat memberikan kesempatan bagi narapidana untuk lebih cepat membaur dengan masyarakat dengan cara menjalani sisa waktu hukumannya di luar lembaga pemasyarakatan. ( Yeni dkk., 2007 ).

Selain itu ada pengertian tentang Pembebasan Bersyarat, yaitu : Pembebasan bersyarat menurut Pasal 15 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa : orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah lalu dua pertiga bagian dari hukumannya yang sebenarnya dan juga paling sedikit sembilan bulan dari pada itu. Pembebasan bersyarat menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa : Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan telah mengeluarkan perintah sepuluh wajib pemasyarakatan. Perintah ini tidak lain untuk meningkatkan kualitas pelayanan

(11)

berdasarkan asas pemasyarakatan yang menjunjung tinggi hak-hak warga binaan. Substansi dari sepuluh wajib pemasyarakatan itu adalah menjunjung tinggi hak warga binaan pemasyarakatan, bersikap welas asih dan tidak menyakiti, adil, menjaga rahasia, memperhatikan keluhan dan keadilan masyarakat, menjaga kehormatan dan menjadi teladan, waspada dan peka terhadap ancaman, sopan dan tegas, serta menjaga keseimbangan antara kepentingan pembinaan dan keamanan. (Sueb dkk., 2008).

Tujuan pemidanaan reformatif adalah memperbaiki kembali para narapidana. Teori ini mempunyai nama lain antara lain : rehabilitasi, pembenahan, perlakuan (perawatan). Usaha untuk memberikan program selama pemulihan benar-benar diarahkan kepada individu narapidana. ( Abdussalam, 2006 ). Sehubungan dengan tujuan pemidanaan tersebut Sneca seorang filosof Romawi yang terkenal sudah

membuat formulasi yakni nemo prudens puint quia peccatum est, sed ne peccetur, yang

artinya adalah tidak layak orang memidana karena telah terjadi perbuatan salah, tetapi dengan maksud agar tidak terjadi lagi perbuatan yang salah. ( Priyanto, 2006 ).

Beberapa prinsip untuk membimbing dan melakukan pembinaan bagi Narapidana, salah satunya adalah : Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.(Sujatno, 2004 )

Pejabat yang berwenang memberikan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M. 01. PK. 04.10 Tahun 2007 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat, yaitu Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia setempat atas nama Menteri untuk Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk Pembebasan Bersyarat

(12)

KESIMPULAN DAN SARAN

Pelaksanaan pembebasan bersyarat di RUTAN Klas II B Mamuju mengalami hambatan. Hambatan internal yang terjadi adalah dari pihak narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang sering tidak mendukung pelaksanaan karena tidak menunjukkan sikap dan moral yang positif, seringkali pemberitahuan dan permohonan litmas oleh Lapas tidak terkoordinasi dengan baik sehingga proses pengurusan pembebasan bersyarat mengalami keterlambatan. Sedangkan hambatan lain yang terjadi adalah kekhawatiran masyarakat akan gangguan Kamtibmas, tidak adanya fasilitas Balai Pemasyarakatan di kabupaten serta terlambatnya kutipan putusan hakim (ekstra vonis). Pelaksanaan cuti menjelang bebas mengalami hambatan yang sama dengan hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat. Ditemui pula hambatan lain yakni terdapat narapidana yang tidak mendapatkan remisi sehingga tidak diberikan hak cuti menjelang bebas. Pelaksanaan cuti bersyaratpun mengalami hambatan yang sama, hambatan lain yang dialami yaitu terdapat kebijakan yang justru mereduksi peran Bapas, seperti kebijakan terkait dengan cuti bersyarat yang tidak melibatkan Bapas dalam proses pembuatannya, namun cukup dibuat oleh wali warga binaan pemasyarakatan di Rutan. Idealnya Litmas untuk cuti bersyaratpun menjadi kewenangan Bapas. Dari penelitian diharapkan kepada pihak yang terkait dengan Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju seperti pihak Pengadilan, dalam mengeluarkan kutipan putusan hakim tidak terlambat menyampaikan kutipan tersebut ke Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju agar proses perhitungan masa pidana untuk pelaksanaan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat. Diharapkan pula agar pihak pemerintah pusat dapat mempertimbangkan agar di setiap ada Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan, maka didaerah tersebut agar dibangun juga Balai Pemasyarakatan untuk memperlancar proses pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan di setiap daerah dan khusunya di daerah Mamuju.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Adi Sujatno, (2004). Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia

Mandiri. Jakarta. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI.

Abdussalam, H.R. (2006). Prospek Hukum Pidana Indonesia, Dalam Mewujudkan

Keadilan Masyarakat. Jakarta : Restu Agung..

Irmayani, (2009). Akuntabilitas Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) pada

Pelaksanaan Pembinaan Narapidana dalam Perspektif Undang – Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

No.M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi,

Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.

Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH.01.PK.05.06 Tahun 2008 Tentang

Perubahan Permen Kum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.

Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No : M.HH-02.PK.06 Tahun 2010 Tentang

Perubahan Kedua atas Permen Kum HAM RI No : M1.01.PK.04.10 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan

Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disebut PP No. 28 tahun 2006)

Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan

Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

Pristiwati, Rita, (2009). Pola Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan.

Priyanto, Dwidja, (2006). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia. Bandung :

Refika Aditama.

Sueb, Mochamad, dkk, (2008). Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem

Pemasyarakatan. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Sujatno, Adi, (2004). Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri.

Jakarta : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI.

Surbakti, Lamarta, (2009). Peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam Membuat

Penelitian Kemasyarakatan pada Persidangan Anak.

Suryani, Nilma; Andriani, Henny, (2008). Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang

Menjalani Pidana Penjara di Lembaga Pemasyarakatan.

Undang – Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

(14)

Lampiran

Tabel 1. Penghuni RUTAN Mamuju

No Kapasitas Narapidana Tahanan Jumlah

1 90 59 65 124

Sumber : Data Sekunder Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju

Tabel 2. Jumlah Penerima Pembebasan Bersyarat di Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju ( Tahun 2010-2012)

No. Tahun Jumlah

1 2010 25 orang 2 2011 30 orang 3 2012 31 orang

Sumber : Data Sekunder Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju

Tabel 3. Jumlah Penerima Cuti Menjelang Bebas di Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju ( Tahun 2010-2012)

No. Tahun Jumlah

1 2010 2 orang 2 2011 2 orang 3 2012 3 orang

Sumber : Data Sekunder Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju

Tabel 4. Jumlah Penerima Cuti Bersyarat di Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju ( Tahun 2010-2012)

No. Tahun Jumlah

1 2010 24 orang 2 2011 24 orang 3 2012 32 orang Sumber : Data Sekunder Rumah Tahanan Negara Klas II B Mamuju

Tabel 5. Jumlah Pegawai / Petugas di Rumah Tahanan Klas II B Mamuju Tahun 2013

No. Jabatan Jumlah

1. Kepala RUTAN Klas II B Mamuju 1 Orang 2. Kasubsi 3 Orang 3. Bendahara 1 Orang 4. Staf/Petugas 13 Orang 5. Petugas Keamanan 24 Orang Jumlah 42 orang

Gambar

Tabel 2. Jumlah Penerima Pembebasan Bersyarat di Rumah Tahanan Negara  Klas II B Mamuju ( Tahun 2010-2012)

Referensi

Dokumen terkait

Kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan masalah produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas

Saklar tunggal S1 (b) berfungsi untuk menyalakan coil pada kontaktor A1 dan A2 dimana rangkaian diamankan oleh pengaman fuse (F2) dan disuplai oleh fasa S.. Saklar tunggal S3

Jika suatu kumparan dihubungkan dengan sumber arus DC, maka dalam rangkaian tertutup kumparan tersebut dapat berprilaku seperti magnet batang, yang sifatnya

Atribut-atribut yang memberikan kontribusi terbesar pada setiap dimensi adalah atribut yang perlu ditangani dengan baik untuk keberhasilan pengelolaan terum- bu

Graf prikazuje kretanje pokazatelja efikasnosti svakog resursa (fizičkog i financijskog kapitala, ljudskog kapitala i strukturnog kapitala) u stvaranju dodane vrijednosti od

Ucapan terimakasih selanjutnya disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan Nasional dalam Kabinet Indonesia Bersatu 2009-2014 dilanjutkan Menteri

[r]

dengan sampel yang digunakan sebanyak 92 orang. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diperoleh bahwa pemanfaatan bahan pustaka perpustakaan SMAN 1 Bandung secara