• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II 2.1 Anak Pelaku Tindak Pidana - PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS) Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II 2.1 Anak Pelaku Tindak Pidana - PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (Studi Kasus Putusan Nomor 162/Pid.B/2013/PN.PMS) Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

2.1 Anak Pelaku Tindak Pidana

Anak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keturunan

kedua. Dalam Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Anak, Anak adalah

amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga

karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang

harus dijunjung tinggi.

Mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention On The Right

Of The Child) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa

Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun, kecuali

menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.

Berdasarkan aturan dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak, Indonesia

membuat batasan umur untuk anak. Batasan umur untuk anak diatur dalam

peraturan perundang-undangan di Indonesia dan juga yurisprudensi serta hukum

adat yang berlaku di Indonesia.

Batasan Usia Anak dalam Perundang-Undangan, Yurisprudensi, dan Hukum Adat

di Indonesia

1. Undang-Undang

Kesejahteraan

Anak

Anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 (dua

(2)

2. Undang-Undang

tahun dan belum menikah ada dibawah kekuasaan orang

tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaanya.

4. Undang-Undang

Perlindungan

Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan.

5. Yurisprudensi

Mahkamah Agung

Penetapan batas kedewasaan tidak seragam. Seperti

dalam Putusan MA Nomor 53 K/Sip/1952 tanggal 1 Juni

1955, 15 tahun dianggap telah dewasa untuk perkara

dikatakan dewasa dan mempunyai wewenang untuk

bertindak dalam melakukan sesuatu. Namun, menurut

hasil penelitian Mr. R. Soepomo tentang hukum perdata

Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan

seseorang diukur dari segi: (1) dapat bekerja sendiri; (2)

cakap untuk melakukan apa yang diisyaratkan dalam

kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab; (3)

dapat mengurus harta kekayaan sendiri. Dari syarat

diatas didapati kesimpulan bahwa kedewasaan

9

(3)

seseorang menurut hukum adat tidak dinilai dari umur

seseorang melainkan dari ciri tertentu sebagaimana yang

disebutkan.10

Dari berbagai macam peraturan yang menentukan batasan umur untuk anak

menunjukkan adanya disharmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada.

Sehingga pada prakteknya dilapangan akan banyak kendala yang terjadi dari

perbedaan tersebut.11

Hadi Supeno mengungkapkan pendapatnya bahwa semestinya setelah lahir

Undang-Undang Perlindungan Anak yang dalam strata hukum dikategorikan

sebagai lex-specialist, semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus

disesuaikan, termasuk kebijakan yang dilahirkan dan berkaitan dengan

pemenuhan hak anak.12

Dengan adanya satu konsep tentang anak dalam peraturan

undangan, maka akan mencegah timbulnya tumpang tindih peraturan

perundang-undangan. Untuk itu, Undang-Undang Perlindunga Anak menjadi rujukan dalam

penentuan kebijakan yang berhubungan batasan umur anak dan pengaturan hak

dan kewajiban anak.

10

Ibid.

11

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h.10 12

(4)

Konsep anak pelaku tindak pidana atau juvenile delinquent diatur dari

berbagai instrumen, baik instrumen hukum internasional maupun peraturan

perundang-undangan di Indonesia.

Dalam Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimun Rules for the

Administration of Juvenile Justice, selanjutnya disebut dengan Beijing Rules,

khususnya dalam Rule 2.2 menyatakan :

For purposes of these Rules, the following definitions shall be applied by Member

States in a manner which is compatible with their respective legal systems and

concepts:

( a ) A juvenile is a child or young person who, under the respective legal systems,

may be dealt with for an offence in a manner which is different from an adult;

( b ) An offence is any behaviour (act or omission) that is punishable by law under

the respective legal systems;

( c ) A juvenile offender is a child or young person who is alleged to have

committed or who has been found to have committed an offence.

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang

Perlindungan Anak, pada dasarnya anak pelaku tidak pidana dikategorikan dalam

istilah anak nakal, yang mengacu pada Undang-Undang Pengadilan Anak.

Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Pengadilan Anak bahwa yang

(5)

a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Ketentuan dalam pasal diatas dinilai telah bertentangan dengan asas

legalitas, karena memasukkan peraturan lain yang hidup dan berlaku dalam

masyarakat yang bersangkutan dengan kategori pidana. Sebagai contoh, ketika

kenakalan anak menurut hukum adat dapat diselesaikan melalui Pengadilan Anak.

Dalam hal ini dapat berakibat adanya pengkriminalisasian kenakalan anak,

padahal belum tentu itu sesuai dengan konsep hukum pidana yang berlaku di

Indonesia.13 Sehingga, berdasarkan asas legalitas, dari dua pengertian Anak Nakal dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Pengadilan Anak yang dapat diselesaikan

melalui jalur hukum hanyalah anak nakal dalam pengertian huruf a, yaitu anak

yang melakukan tindak pidana karena pada dasarnya KUHP hanya mengatur

tentang tindak pidana dan tidak mengenal anak nakal dari pengertian huruf b.14

Setelah diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Anak, maka istilah

tersebut berubah menjadi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Pasal 59

Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa :

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya

13

M. Nasir Djamil, op.cit, 2013, h.33. 14

(6)

(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Namun, setelah diundangkannya dan berlakunya Undang-Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak maka anak pelaku tindak pidana disebut dengan istilah

anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan

Pidana Anak disebut dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Pasal 1 ayat 3

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa: Anak yang

Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,

tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak

pidana.

Paul M. Tappan memberikan perumusan tentang pengertian Juvenile

Delinquent sebagai berikut : “The juvenile delinquent is a person has been

ajudicated as such by a court proper jurisdiction though he may be no different up

until the time of court contact and ajudication at any rate, from masses of

children who are not delinquent.”15

Tentang Juvenile Delinquency, beberapa sarjana memberikan padangannya

tentang kenakalan anak atau yang dikenal dengan Juvenile Delinquency.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, delinkuensi diartikan sebagai

tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam

suatu masyarakat.

15

(7)

Dalam bukunya, Wagiati Soetodjo menjabarkan istilah kenakalan anak.

Kenakalan Anak diambil dari istilah asing yaitu Juvenile Delinquency, tetapi

kenakalan anak disini bukan yang dimaksud dalam Pasal 489 KUHP. Juvenile

memiliki arti young, anak-anak, anak muda, atau ciri karakteristik pada masa

muda dan sifat-sifat khas pada periode remaja. Sedangkan Delinquency artinya

doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya jahat,

anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak

dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.16

Paul Moedikno memberikan perumusan mengenai pengertian juvenile

delinquency sebagai berikut :17

a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu

kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi, semua tindakan yang

dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan

sebagainya.

b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang

menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki

tidak sopan, mode you can see, dan sebagainya.

c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial,

termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain.

16

Wagiati Soetodjo, Op.Cit, h.8-9. 17

(8)

R. Kusuanto Setyonegoro mengungkapkan pendapatnya tentang

juvenile delinquency sebagai berikut:18

Tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh suatu lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan tertentu. Apabila individu itu masih anak-anak, maka sering tingkah laku serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha adolescent atau preadolescent, maka tingkah laku itu sering disebut delinkuen dan jika ia dewwasa maka tingkah laku ia seringkali disebut psikpatik dan jika terang-terangan melawan hukum disebut kriminal.

Romli Atmasasmita mengatakan bahwa delinquency adalah suatu tindakan

atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan

dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh

masyarakat itu dirasakan sendiri serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.19

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan dari berbagai pendapat sarjana

bahwa Juvenile Delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang

melanggar norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh

anak-anak dalam usia muda. Secara etimologis, juvenile delinquency memiliki arti

kejahatan anak.20 Namun istilah kejahatan anak dirasakan sangat tajam dan memiliki konotasi negatif terhadap kejiwaan anak itu sendiri, sehingga para

18Ibid, h.10-11.

19

Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak dan Remaja, Armico, Bandung, 1984, h.23.

20

(9)

sarjana sepakat dengan penggunaan kenakalan remaja atau kenakalan anak

sebagai pengartian dari juvenile delinquency.21

2.2 Tujuan Pemidanaan dan Jenis-Jenis Pidana

Berdasarkan pandangan sarjana, Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam

bukuya “Teori-Teori dan Kebijakan Pidana”, menyimpulkan bahwa ciri-ciri

pidana yaitu:22

a. pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa

atau derita atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh kekuasaan atau badan yang

berwenang;

c. pidana itu diberikan kepada seseorang yang telah melakukan tindak

pidana menurut undang-undang.

Widodo mengemukakan bahwa pengertian pemidanaan adalah penjatuhan

pidana oleh negara melalui organ-organnya tehadap seseorang yang terbukti

secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana.23

Dalam bukunya yaitu Asas-Asas Hukum Pidana, Andi Hamzah menulis

bahwa tujuan pidana dalam literatur Bahasa Inggris, 3R dan 1D yaitu:24

21

. Ibid.

22

Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.63 23

Widodo, Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2012. h.26.

24

(10)

1. Reformation, yang berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat

menjadi orang baik berguna bagi masyarakat;

2. Restrain, maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat;

3. Retribution, yang berarti pembalasan terhadap pelanggar karena telah

melakukan kejahatan;

4. Deterrence, berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa

sebagai individu maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera

atau takut melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan terhadap

terdakwa.

Untuk melihat tujuan dari adanya pemidanaan, maka ditinjau dari sejarah

perkembangan hukum pidana dikenal tentang 3 (tiga) teori pemidanaan, yaitu

teori absolut (pembalasan), teori relatif (tujuan), dan teori gabungan.

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Menurut teori pembalasan, titik pangkal penjatuhan pidana adalah pada

pembalasan yang diberikan kepada penjahat sebagai pelaku tindak pidana

sehingga siapa saja yang berbuat jahat harus dipidana tanpa melihat akibat-akibat

atau manfaat apa saja yang dapat timbul karena penjatuhan pidana.25 Disebut absolut, sebab pidana merupakan suatu tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu

yang perlu dijatuhkan tetapi merupakan sebuah keharusan karena hakikat dari

25

(11)

pidana dalam teori ini adalah pembalasan.26 Tokoh-tokoh yang menganut teori ini adalah Van Hattum, Krannenburg, Immanuel Kant, Vos, Hegel, Herbart, Sthal,

dan Leo Polak.

Menurut Vos, teori absolut ada 2 (dua) macam, yaitu :27

1. Pembalasan subjektif, yaitu pembalasan terhadap kesalahan pelaku.

2. Pembalasan objektif, yaitu pembalasan terhadap apa yang telah

diciptakan oleh pelaku di dunia luar.

Dalam hal ini, teori absolut memiliki kelemahan, yaitu :28

1. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Sebagai contoh pada pembunuh

tidak semua pelaku dijatuhkan hukuman mati, tetapi harus didasarkan pada

pembuktian;

2. Dalam teori ini hanya negara yang memberikan pidana, padahal yang

menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Andi Hamzah dan Siti Rahayu menulis bahwa dalam teori ini, adanya

pemidanaan adalah diarahkan agar kejahatan yang pernah terjadi tidak diulang

26

Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.92. 27Ibid

28

(12)

lagi.29 Tokoh dalam teori ini adalah von Feurbach, Muller, Utrech, van Hamel, von Listz. Ada beberapa tujuan pemidaan menurut teori relatif, yaitu :30

a. Menyelenggarakan tertib masyarakat;

b. Memperbaiki kerugian masyarakat akibat tindak pidana;

c. Memperbaiki si penjahat;

d. Membinasakan si penjahat;

e. Mencegah kejahatan (preverensi).

Preverensi dibagi menjadi 2 (dua), yaitu preverensi khusus dan preverensi

umum. Preverensi khusus menjadikan tujuan pemidanaan adalah memperbaiki

narapidana sehingga tidak melakukan tindak pidana lagi setelah menjalankan

masa hukuman. Sedangkan menurut preverensi umum, pemidanaan bertujuan agar

masyarakat tidak melakukan perbuatan pidana yang serupa atau tindak pidana

lainnya di kemudian hari.31

Dalam hal ini, teori relatif memiliki kelemahan, yaitu:32

1. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Sebagai contoh pelaku kejahatan

ringan dijatuhi pidana berat sekedar hanya untuk menakut-nakuti;

2. Kepuasan masyarakat terabaikan, semata-mata demi si penjahat;

29

Andi Hamzah, Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemdianaan di Indonesia,

Akademi Presindo, Jakarta, 1983, h.26 30

Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.93. 31

Andi Hamzah, Siti Rahayu, op.cit, 1983, h.26. 32

(13)

3. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktik, sebagai contoh terhadap residive.

c. Teori Gabungan

Teori gabungan mucul dengan beberapa pandangan tentang pemidanaan,

yaitu:33

a. Adanya pidana bertujuan untuk membalas kesalahan dan mengamankan

masyarakat. Adanya tindakan dimaksudkan untuk mengamankan dan memelihara

tujuan yang ingin dicapai. Sehingga, adanya pidana dan tindakan bertujuan untuk

mempersiapkan pelaku tindak pidana yang telah menjalani masa hukuman dalam

rangka kembali ke kehidupan dan lingkungan masyarakat.

b. Keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang

berguna bagi masyarakat. Dalam hal ini, pemidanaan memberikan titik berat yang

sama antara pembalasan dan sebagai hal yang berguna untuk masyarakat dalam

rangka perlindungan terhadap masyarakat dan pembelajaran terhadap masyarakat

itu sendiri.34.

c. Dasar-dasar pidana adalah adanya penderitaan yang beratya sesuai dengan

beratnya perbuatan yang dilakukan terpidana. Namun, penerapan pidana tersebut

tidak boleh melampaui batas dan cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib

dan menegakkan aturan yang ada.35

33

Ibid.

34

Made Sadhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP Malang, Malang, 1997, h. 33.

35

(14)

Berdasarkan pada uraian diatas maka dapat diketahui bahwa teori gabungan

merupakan teori kombinasi antara teori absolut dan teori relatif. Dalam teori

gabungan, aspek pembalasan dengan aspek mempertahankan tata tertib guna

ketentraman dalam masyarakat diakumulasikan dalam bentuk suatu kebijakan

pemidanaan dan konsep inilah yang mengilhami sistem lembaga permasyarakatan

sebagai pengganti sistem pemenjaraan di Indonesia.36 Tokoh yang menganut teori ini adalah Pompe, Van Bemmelen, Grotius, Rossi, dan Zevenbergen.

Didik Endro Purwoleksono dalam bukunya Hukum Pidana menulis tentang

teori keseimbangan sebagai salah satu bentuk teori pemidanaan. Dasar adanya

teori keseimbangan adalah:37

1. Bahwa ketiga teori yaitu teori Absolut, teori Relatif, dan Teori

Gabungan hanya tertuju kepada pelaku dan masyarakat, artinya dalam

hal ini mengabaikan hak-hak korban atau keluarga korban dari tindak

pidana.

2. Pihak-pihak dalam hukum acara pidana selain aparat penegak hukum,

yang terdiri dari aparat kepolisian, pengadilan, dan lembga

permasyarakatan, juga ada pihak korban.

3. Dalam praktiknya, baik penuntut umum maupun terdakwa dalam

mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan atau meringankan sudah

memasukkan unsur korban dan keluarga korban.

36

Sri Sutatiek, op.cit, 2013, h.23. 37

(15)

Teori keseimbangan dalam dilihat dengan jelas dalam Undang-Undang

Sistem Peradilan Pidana Anak salah satunya dalam Pasal 60 ayat (2) yang

disebutkan bahwa dalam hal tertentu Anak Korban diberi kesempatan oleh Hakim

untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan. Anak Korban

adalah menurut Pasal 1 angka 4 yaitu anak yang menjadi korban tindak pidana

yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik,

mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

Jenis-jenis pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Alasan

penetapan jenis-jenis pidana dalam undang-undang yaitu:38

1. Menyediakan sarana untuk penegak hukum dalam rangka menanggulangi

kejahatan;

2. Membatasi para penegak hukum dalam menggunakan sarana berupa

pidana yang telah ditetapkan.

Jenis jenis pidana umum diatur dalam pasal 10 KUHP, yaitu Pidana Pokok

dan Pidana Tambahan. Pidana Pokok terdiri dari Pidana Mati, Pidana Penjara,

Kurungan, dan Denda. Sedangkan Pidana Tambahan terdiri dari pencabutan

hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan

hakim.

Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak diatur tentang jenis-jenis pidana

yang dapat diterapkan kepada anak pelaku tindak pidana. Dalam Pasal 23

Undang-Undang Pengadilan Anak disebutkan bahwa:

38

(16)

Ayat (1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

Ayat (2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:

a. pidana penjara;

b. pidana kurungan;

c. pidana denda; atau

d. pidana pengawasan.

Ayat (3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan/atau pembayaran ganti rugi.

Ayat (4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan jenis-jenis pidana dalam Undang-Undang Sistem Peradilan

Pidana Anak diatur dalam Pasal 71 yang disebutkan ada 2 jenis pidana yaitu

Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Pidana pokok bagi anak yang terdiri atas a)

pidana peringatan; b) pidana dengan syarat: pembinaan di luar lembaga;

pelayanan masyarakat; atau pengawasan; c) pelatihan kerja; d) pembinaan dalam

lembaga; dan e) penjara. Sedangkan Pidana tambahan terdiri atas a) perampasan

keuntungan yang diperoleh dari tindakan pidana; atau b) pemenuhan kewajiban

adat.

Ketentuan dalam Pasal 71 ayat (3) disebutkan bahwa apabila dalam hukum

materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda

diganti dengan pelatihan kerja dan dalam Pasal (4) disyaratkan bahwa pidana yang

dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak.

(17)

Moeljatno dalam bukunya Hukum Pidana memisahkan antara perbuatan

pidana dan pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang

dilarang oleh sutau aturan hukum yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana bagi siapapun yang melanggar larangan tersebut.39

Dalam hal pertanggungjawaban pidana dikenal asas tidak dipidana jika tidak

ada kesalahan (geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist

rea).40Menurut Didik Endro Purwoleksono unsur kesalahan terdiri dari:41

a. Melakukan tindak pidana

Mengenai hal melakukan tindak pidana, parameter seseorang melakukan

tindak pidana adalah adanya aturan yang mengatur tentang perbuatan tersebut atau

dikenal dengan asas legalitas. 42 Aturan tersebut bisa jadi melarang atau mewajibkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Contohnya adalah pencurian

yang dilakukan oleh Doni Yoga Simangunsong dan Rinaldy Sinaga. Pencurian

diatur dalam Pasal 362 KUHP dan dalam hal ini pencurian yang dilakukan oleh

Doni Yoga Simangunsong dan Rinaldy Sinaga diatur dalam Pasal 363 ayat (1)

angka 4 KUHP

b. Diatas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab

39

Moeljatno, op.cit, 2009, h.59. 40Ibid, h. 165

41

Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h.63. 42

(18)

Mengenai batasan umur anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban

pidana, diatur berbeda sepanjang peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang peradilan anak di Indonesia.

Tanggal 3 Januari 1997 diundangkan Undang-Undang Pengadilan Anak

yang berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan, yang berarti Undang-Undang

Pengadilan Anak berlaku sejak 3 Januari 1998. Berdasarkan Undang-Undang

Pengadilan Anak Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa: batas umur anak nakal yang

dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun

tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Setelah adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi tentang batas usia dalam

kriteria anak nakal dan dikabulkannya gugatan tersebut dengan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010, maka batas umur untuk anak

pelaku tindak pidana yang dapat dimintai pertanggung jawaban adalah 12 tahun.

Dalam amar putusannya disebutkan bahwa:

“Menyatakan frasa,”... 8 (delapan) tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa “...8 (delapan) tahun...” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “...12 (dua belas) tahun...”;

(19)

mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “...12 (dua belas) tahun...”

Putusan ini berlaku mengikat sejak diputus hari Kamis, 24 Februari 2011

untuk seluruh perkara yang melibatkan anak pelaku tindak pidana dengan adanya

amar putusan yang menyatakan untuk memerintahkan pemuatan Putusan ini

dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Dan dengan

adanya putusan ini, ketentuan dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) secara otomatis

tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.43

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berlaku sejak 2 (dua)

tahun diundangkan dan sejak tanggal 30 Juli 2014 undang-undang ini sudah

berlaku sehingga Undang-Undang Pengadilan Anak dinyatakan tidak berlaku.

Pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana menurut Pasal 69

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak hanya bisa dilakukan :

(1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan

ketentuan dalam Undang-Undang ini.

(2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai

tindakan.

Dari ketentuan pasal diatas, dapat ditarik pernyataan bahwa batasan umur

anak pelaku tindak pidana yang dapat dimintai pertanggung jawaban dalam

bentuk pemidanaan adalah 14 (empat belas) tahun sampai 18 (delapan belas)

tahun.

43

(20)

Dalam hal ini, tahun 2014 merupakan masa transisi dari perubahan

Undang-Undang Pengadilan Anak ke Undang-Undang-Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Banyak sekali orang-orang awam yang berfikir bahwa perbuatan pidana yang

dilakukan oleh anak sebelum tanggal 30 Juli 2014 dapat diadili dengan

menggunakan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Untuk itu, asas

tempus delikti berlaku terhadap penerapan undang-undang tentang peradilan anak.

Tempus Delicti sangat berhubungan erat dengan :

1. Apakah perbuatan yang bersangkutan ada saat itu sudah dilarang dan

diancam dengan pidana (dalam Pasal 1 KUHP yaitu asas legalitas).

2. Apakah terdakwa pada saat melakukan tindak pidana sudah dewasa atau

belum dewasa.

4. Apakah perbuatan itu sudah kadaluarsa atau belum (dalam Pasal 78

KUHP).

5. Diketahuinya perbuatan dalam keadaan tertangkap tangan (dalam Pasal 1

angka 19 KUHAP).

6. Alibi.

7 Upaya Hukum.

Mezger dalam hal ini berpendapat bahwa untuk tempus delicti dibedakan

menurut maksud dari peraturan, yaitu:44

44

(21)

1. Untuk keperluan dari tanggal daluwarsa dan hak penuntutan, yang

diperlukan adalah dihitung dimulai setelah terjadinya tindakan pidana atau

adanya akibat.

2. Untuk keperluan dalam asas legalitas, apakah pelaku mampu bertanggung

jawab, atau ada tidaknya perbuatan melawan hukum, tempus delicti adalah

waktu melakukan kelakuan dan waktu terjadinya akibat tidak mempunya

arti.

Jika dilihat dari pendapat Mezger diatas tentang asas tempus delicti, maka

untuk menentukan undang-undang mana yang dapat digunakan dalam hal

mengadili anak pelaku tindak pidana adalah saat terjadinya peristiwa atau waktu

melakukan pidana. Sehingga, anak yang melakukan tindak pidana sebelum

tanggal 30 Juli 2014 tetap diadili dengan menggunakan hukum acara dalam

Undang-Undang Pengadilan Anak. Seluruh ketentuan dalam Undang-Undang

Pengadilan Anak berlaku bagi anak pelaku tindak pidana yang melakukannya

sebelum tanggal 30 Juli 2014, seperti batasan umur anak pelaku tindak pidana,

penahanan, pemidanaan dan tindakan.

Undang-Undang Sistem Peradilan Anak berlaku tanggal 30 Juli 2014

sehingga anak yang melakukan tindak pidana setelah diberlakukannya

undang-undang tersebut diadili dengan hukum acara dalam Undang-Undang Sistem

(22)

Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Sistem

Peradilan Pengadilan Anak diatur tentang tempus delicti mengenai persidangan

terhadap pelaku pidana anak yang telah dewasa.

Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak, disebutkan

bahwa dalam hal anak melakukan tindak pidana pada umur 12 tahun (setelah

diganti dengan Putusan Mahkaman Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010) dan

diajukan ke sidang pengadilan anak yang bersangkutan melampaui batas umur

tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetap diajukan ke

Sidang Anak.

Begitu pula dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang ini juga mengatur hal yang sama seperti undang-undang

sebelumnya. Dalam Pasal 20 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap

berumur 18 tahun (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah

anak yang bersangkuan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi

belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak.

Dari kedua aturan diatas, ditentukan bahwa untuk menentukan tempus

delikti dalam hal menerapkan sistem peradilan anak adalah waktu ketika

dilakukannya perbuatan pidana.

Dalam hal bertanggung jawab, seeorang dinyatakan sebagai orang yang

(23)

a. Jika mampu menentukan niat, kehendak, dan rencana atas perbuatan yang

dilakukannya.45

b. Mengetahui atau menginsafi bahwa perbuatannya dipandang tidak patut

oleh masyarakat.46

c. Mempunyai kemampuan untuk membedakan perbuatan yang baik dan

buruk, yang sesuai dengan hukum atau melawan hukum.47

Dalam Pasal 44 KUHP disbutkan tentang orang yang tidak dapat dimintai

pertanggungjawabannya, yaitu karena jiwanya cacat atau jiwanya terganggu

karena penyakit. Pelaku yang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya

sebagaimana yang memenuhi syarat dalam Pasal 44 KUHP maka tidak dipidana

melainkan dimasukkan ke rumah sakit jiwa untuk disembuhkan sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP.

c. Dengan kesengajaan atau kealpaan;

Yaitu ketika seseorang dalam hal melakukan tindak pidana mempunyai

maksud, dengan mengetahui, dengan berkehendak, dengan perencanaan, dengan

tujuan, dengan pemaksaan, dengan kekerasan, dan dengan memalsuka. Adanya

syarat-syarat tersebut menjadikan unsur kesengajaan terpenuhi. Sedangkan untuk

kealpaan dengan adanya syarat kurang berhati-hati atau praduga-duga.

d. Tidak ada alasan pemaaf

45

Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014,h. 68 46Ibid.

47

(24)

Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.

Perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan suatu tindak pidana, namun tidak

dapat dipidana karena tidak adanya kesalahan.48

Dalam hal ini, anak pelaku tindak pidana yang memenuhi syarat-syarat

dalam unsur kesalahan dapat dimintai pertanggungjawabannya.

2.4 Pemidanaan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

Jika unsur-unsur kesalahan telah terpenuhi oleh anak yang melakukan

tindak pidana, maka diperlukan adanya pembuktian untuk membuktikan

terpenuhinya unsur-unsur dalam suatu tindak pidana. Maka dari itu, pembuktian

dilakukan jika ada tindak pidana dan ada kesalahan pada pelakunya.49

Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak pelaku tindak pidana dibatasi

oleh Undang-Undang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan

Pidana Anak.

Pidana dalam Undang-Undang Pengadilan Anak hanya bisa diterapkan pada

anak pelaku tindak pidana. Dalam pasal 25 ayat (1) disebutkan bahwa terhadap

anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, Hakim

menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atau tindakan

sebagaimana dalam Pasal 24. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) disebutkan bahwa

pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah ½ (satu per dua)

dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Jika anak nakal

48

Didik Endro Purwoleksono, op.cit, 2014, h. 76 49

(25)

diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka sesuai

dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2), pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak

nakal adalah paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Sama halnya dengan Undang Pengadilan Anak, dalam

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 81 ayat (2) disebutkan bahwa pidana

penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama ½ (satu per dua) dari

maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Dalam Pasal 81 ayat (5)

disebutkan bahwa pidana penjara merupakan upaya terakhir yang sebelumnya

harus didahulukan dengan adanya diversi. Pasal (6) disebutkan bahwa jika tindak

pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, maka pidana yang

dijatuhkan adalah paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pemberlakuan pembuktian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak

pelaku tindak pidana dalam KUHAP didasarkan pada Pasal 40 Undang-Undang

Pengadilan Anak, disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku diterapkan pula

dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain. Dalam Undang-Undang

Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan pula dalam Pasal 16 bahwa ketentuan

beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana

anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah

(26)

1. Asas Minimum Pembuktian

Dalam KUHAP diatur jelas tentang alat bukti yang sah dan yang diakui oleh

undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu:

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

2. Asas Pembuktian menurut undang-undang secara negatif

Asas ini merupakan suatu prinsip hukum pembuktian yang mengajarkan

bahwa disamping kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus diikuti dengan adanya

keyakinan hakim akan kebenaran-kebenaran tentang kesalahan terdakwa.

Penjatuhan pidana dapat dilakukan jika memenunhi kedua syarat adanya

alat bukti minimum dan keyakinan hakim. Apabila tidak memenuhi syarat dalam

Pasal 183 KUHAP tersebut maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana50. Dalam Pasal 191 KUHAP juga disebutkan bahwa jika tidak terbukti bahwa terdakwa

bersalah dalam perbuatan pidana sebagaimana didakwakan sehingga berakibat

putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP) dan jika tidak terbukti adanya tindak

50

(27)

pidana yang didakwakan sehingga mengakibatkan adanya putusan lepas dari

segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).

Mengenai apa yang diatur dalam Pasal 191 KUHAP bisa diperluas dengan

syarat-syarat putusan pembebasan atau pelepasan yang ada di dalam KUHP.51 Dalam Pasal 45 yang telah dicabut dengan adanya Undang-Undang Pengadilan

Anak yang telah digantikan dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana

Anak bahwa terhadap anak yang melakukan tindak pidana namun bukan termasuk

kedalam kategori anak nakal yang dapat diajukan ke persidangan anak atau Anak

yang Berkonflik dengan Hukum, maka putusan yang seharusnya diberikan hakim

adalah memerintahkan supaya anak dikembalikan kepada orang tua atau pihak

yang bewenang sebagaimana diatur dalam undang-undang tanpa adanya hukuman

pidana52. Maka, putusan yang diterima anak yang belum termasuk dalam batasan umur anak pidana dalam undang-undang mendapatkan putusan bebas.

Pemberian putusan bebas dilakukan karena adanya penghapusan pidana,

yang diperluas dengan tidak terpenuhinya syarat batas umur anak yang dapat

dimintai pertanggung jawaban pidana. Pada dasarnya, ada beberapa alasan

penghapusan pidana yaitu:53

1. Menurut Undang-undang

a. tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP);

51

M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 348.

52Ibid, h. 349. 53

(28)

b. daya paksa dan keadaan darurat;

c. pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa melampaui batas;

d. menjalankan peraturan perundang-undangan;

e. menjalankan perintah jabatan.

2. Di luar undang-undang

a. tidak ada kesalahan sama sekali;

b. tidak ada sifat melawan hukum materiil.

Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1)

bahwa anak yang belum mencapai umur 12 tahun yang melakukan atau diduga

melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan

pemeriksaan oleh penyidik. Kemudian Pasal 5 ayat (2) disebutkan jika penyidik

berpendapat bahwa anak masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua

asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali,

atau orang tua asuhnya. Dan jika anak tersebut menurut penyidik tidak dapat

dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, maka sesuai dengan

ketentuan Pasal 5 ayat (3) anak tersebut diserahkan kepada Departemen Sosial

setelah mendengar pertimbangan pembimbing Kemasyarakatan.

Begitu pula dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam

ketentuan Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa dalam hal anak belum berumur 12

(29)

pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil

keputusan untuk:

a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali;

b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan

pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang

menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah,

paling lama 6 bulan.

Dalam hal pemidanaa terhadap anak pelaku tindak pidana, tidak lepas dari

adanya asas ultimum remidium. Asas tersebut menjadikan pidana sebagai upaya

terakhir dalam hal penegakan hukum. Asas tersebut berlaku dalam hal penjatuhan

pidana terhadap anak pelaku tindak pidana, baik dalam Undang-Undang

Pengadilan Anak maupun Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak disebutkan

bahwa anak nakal dapat dikenai sanksi pidana dan tindakan. Hal ini mejadikan

bahwa hakim memiliki pilihan terhadap sanksi yang dijatuhkan kepada anak

pelaku tindak pidana. Dalam penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Pengadilan

Anak disebutkan bahwa:

(30)

Penjatuhan sanksi pidana atau tindakan terhadap perkara anak masih

digantungkan pada putusan hakim anak. Namun dalam menerapkan hukum positif

hakim tetap harus memahami doktrin dalam ilmu pengetahuan hukum (Pidana)

sebagai salah satu sumber hukum.54 Kecenderungan hakim menjatuhkan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana bertentangan atau tidak sesuai dengan asas

ultimum remidium karena pemberian pidana walaupun dalam jangka waktu

pendek memberikan stigma yang buruk kepada pelaku dalam hal ini anak yang

harus dilindungi kepentingannya (masa depan anak).55

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan secara tegas

dalam Pasal 81 ayat (5) disebutkan bahwa pejatuhan pidana hanya dilakukan

sebagai upaya terakhir. Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

juga diwajibkan adanya diversi sebelum hakim menjatuhkan pidana terhadap anak

pelaku tindak pidana. Hal ini menyatakan secara tegas bahwa asas ultimum

remidium harus ditegakkan dalam penjatuhan putusan pidana terhadap anak

pelaku tindak pidana.

54

Riza Alifianto Kurniawan, Asas Ultimum Remedium Dalam Pemidanaan Anak Nakal,

Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2008 55

Referensi

Dokumen terkait

Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan

[r]

Berikut adalah hasil analisis aliran daya yang dilakukan menggunakan metode Backward-Forward Sweep sebelum dihubungkannya DG ke dalam jaringan pada sistem distribusi

Elastisitas penawaran output (jagung) baik di Provinsi Jawa Timur maupun di Jawa Barat terhadap perubahan harga sendiri adalah elastis, sedangkan terhadap perubahan harga

penelitian ini perlu dilakukan untuk menelaah kembali pengaruh rasio keuangan (CR, DER, TATO, dan ROE) terhadap pertumbuhan laba pada perusahaan manufaktur

Two Bayesian estimators of µ using two different priors are derived, one by using conjugate prior by applying gamma distribution, and the other using

Pada tanggal 28 Desember 2010 dan 21 April 2011, Entitas Induk bersama dengan SDN, DKU, BIG dan PT Mitra Abadi Sukses Sejahtera, pihak berelasi, menandatangani

[r]