• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK BAGI HASIL MUKHABARAH DI DESA TLOGOREJO KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK BAGI HASIL MUKHABARAH DI DESA TLOGOREJO KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Dalam Hukum Islam"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK

BAGI HASIL MUKHABARAH DI DESA TLOGOREJO

KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Dalam Hukum Islam

Oleh:

MUKHAMMAD SUKRON

NIM 214 11 007

JURUSAN S1-HUKUM EKONOMI

SYARI’AH

FAKULTAS SYARI’AH

(2)

NOTA PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga

di Salatiga

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa :

Nama : Mukhammad Sukron NIM : 214 11 007

Judul : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK

MUKHABARAH DI DESA TLOGOREJO KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG

Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqosyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.

Wassalamu’alaikumWarahmatullahi Wabarakatuh

Salatiga, Februari 2016

Pembimbing,

(3)

KEMENTERIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

FAKULTAS SYARI’AH

Jalan Nakula Sadewa V No. 9 Telp.(0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50722

Website : www.iainsalatiga.ac.id E-mail :adminitrasi@iainsalatiga.ac.id

PENGESAHAN

Skripsi Berjudul :

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK MUKHABARAH DI

DESA TLOGOREJO KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG

Oleh :

Mukhammad Sukron NIM: 214 11 007

Telah dipertahankan di depan sidang munaqosyah skripsi Fakultas Syari‟ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada……., tanggal………, dan telah dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana syari‟ah (S.Sy).

Dewan Sidang Munaqosyah

Ketua Sidang : 1.

Sekretaris Sidang : 2.

Penguji I : 3.

Penguji II : 4.

Salatiga, Februari 2016 Dekan Fakultas Syari‟ah

(4)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Mukhammad Sukron NIM : 214 11 007

Jurusan : S1 Hukum Ekonomi Syari‟ah Fakultas : Syari‟ah

Judul : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK

MUKHABARAH DI DESA TLOGOREJO KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG

Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan (Plagiat) dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah (Buku Pedoman IAIN Salatiga).

Salatiga, Febuari 2016

Yang Menyatakan,

(5)

Moto Penulis



















Dan Barangsiapa yang bersunguh-sungguh, Maka Sesungguhnya kesungguhan itu adalah untuk dirinya sendiri. (QS. Al-Ankabut: 6)

Sesuatu Yang Belum Dikerjakan, Seringkali Tampak Mustahil, Kita Baru Yakin Kalau Kita Telah Berhasil Melakukannya Dengan Baik (Andrew Jackson)

---o---

(6)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan dengan cinta dan ketulusan hati karya ilmiah berupa skripsi ini kepada :

1. Kedua orang tuaku Bapak Muhlasin (alm) dan Ibu Nuriyah tercinta, yang telah memberikan dukungan, doa, kasih sayang serta penyemangat hidupku.

2. Semua keluargaku yang selalu memberikan semangat dan motivator dalam menjalanni proses belajar ini.

3. Kepada seseorang yang telah memberikan berbagai warna kehidupan dan mensupport dalam hal apapun serta memberikan waktunya untuk menemani proses ini.

4. Kapada bapak dan Ibu Guru mulai dari SD hingga ke perguruan tinggi, yang selalu memberikan ilmu-ilmunya.

5. Almamater tercinta Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang penulis banggakan.

(7)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang tiada kira penulis haturkan kepada-Nya yang telah memberikan semua yang kami butuhkan dalam hidup ini. Terima kasih untuk semua limpahan berkah, rezeki rahmat, hidayat, kesehatan serta kesempatan yang Engkau berikan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan judul: TINJAUAN

HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK BAGI HASIL MUKHABARAH

DI DESA TLOGOREJO KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG.

Sholawat dan salam-Nya Allah semoga tercurahkan kepada junjungan Nabi agung yaitu Nabi Muhammad SAW. Nabi Kekasih, Spirit Perubahan, beserta segenap keluarga dan para sahabat-sahabatnya, syafa‟at beliau sangat peneliti harapkan di dunia ini hingga di hari pembalasan nanti.

Laporan ini disusun dan diajukan sebagai skripsi untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Syariah (S.Sy). penulis mengakui bahwa dalam penyusunan Laporan Penelitian ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya, serta ungkapan terima kasih yang banyak. Maka perlu kiranya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.

(8)

pengarahan dan masukan berkaitan penulisan skripsi sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuai yang diharapkan.

3. Bapak Ilya Muhsin, S.H.i., M.Si, selaku Wakil Dekan Fakultas Syari‟ah Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama yang selalu memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar dan baik.

4. Ibu Evi Ariyani, M.H, selaku Ketua Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari‟ah di IAIN Salatiga.

5. Ibu Lutfiana Zahriani, M.H, selaku Kepala Lab. Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang memberikan pemahaman, arahan dalam penulisan skripsi sehingga penulisan skripsi ini bisa saya selesaikan.

6. Bapak dan Ibu Dosen pengajar dan seluruh staf adminitrasi Fakultas Syari‟ah yang tidak bisa kami sebut satu persatu yang selalu memberikan

ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa halangan apapun.

7. Masyarakat Desa Tlogorejo khususnya Bapak Slamet, Bapak Damhuri, Bapak Nardi, Bapak Supari, Bapak Jamroni, Ibu Nuriyah, Ibu Sofiatun, Ibu Komariyah dan semua yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah mendukung penelitian sehingga dapat terlaksana dengan lancar.

(9)

9. Sahabat-sahabtku yang tidak henti-hentinya memberi motifasi dan bantuannya sehingga dapat menyelesaikan laporan ini dengan lancar. 10.Teman-teman Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari‟ah angkatan 2011 di

IAIN Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh pendidikan di IAIN Salatiga

11.Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan ini. Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis jazakumullah khoiro jaza‟, agar pula senantiasa mendapatkan maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan

cinta-Nya. Amiin.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun analisanya, sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapan demi kenyamanan dibaca dan dipahami.

Akhirnya, penulis berharap semoga skrispi ini bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri, bagi Fakultas Syariah dan umumnya bagi pembaca.

ِاوَ صَّلا ِ ُ َ ْ َو ُاو

“Dan Allah lebih mnegetahui yang sebenar-benarnya”

Salatiga, 20 Februari 2016

(10)

ABSTRAK

Sukron, Mukhammad. 2016. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Bagi Hasil Mukhabarah di Desa Tlogorejo Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang. Penelitia. Fakultas Syariah. Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syariah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.

Kata Kunci : Tinjauan, Hukum Islam, Praktek, Bagi Hasil Mukhabarah

Kerjasama bagi hasil dalam pertanian merupakan tindakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang salah satunya dilakukan oleh masyarakat Desa Tlogorejo. Dalam muammalah kerjasama bagi hasil pertanian disebut muzara‟ah yaitu pemilik tanah memberikan modal kepada petani untuk digarap dan mukhabarah yaitu pemilik tanah hanya menyerahkan tanahnya dan modal pertanian dari petani.

Dalam penelitian ini penulis mempunyai pertanyaan, yaitu: (1) Bagaimanakah praktek mukhabarah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlogoreo. (2) bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktek mukhabarah tersebut. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui bagaimana praktek mukhabarah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlogorejo, (2) untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktek mukhabarah di Desa Tlogorejo tersebut, (3) untuk memberikan informasi yang benar tentang praktek mukhabarah.

(11)

DAFTAR ISI

G. Metodologi Penelitian………...

H. Sistematika Penulisan……….

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MUKHABARAH

A. Pengertian dan Dasar Hukum Mukhabarah……….... 1. Pengertian Mukhabarah………....………. 2. Dasar Hukum Mukhabarah………...…………. B. Pendapat Ulama Tentang Praktek Mukhabarah...………… 1. Mukhabarah yang diperbolehkan………...……. 2. Mukhabarah yang dilarang………. C. Rukun dan Syarat Mukhabarah…………...………

(12)

1. Rukun Mukhabarah... 2. Syarat Mukhabarah... 3. Tinjauan Tentang akad... 4. Zakat dalam Mukhabarah... 5. Tinjauan Tentang Bagi Hasil Dalam Mukhabarah... D. Akibat Hukum Dari Praktek Mukhabarah... E. Berakhirnya Akad Mukhabarah...

MUKHABARAH DI DESA TLOGOREJO KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG

A.Gambaran Umum Desa Tlogorejo Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang………...

1.Tata Letak geografis Desa Tlogorejo………

2.Keadaan Demografi Desa Tlogorejo……….

3.Keadaan Tanah Desa Tlogorejo... 4.Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat... B. Pelaksanaan Praktek Bagi Hasil Mukhabarah di Desa

Tlogorejo…...

(13)

Tlogorejo Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang Ditinjau Secara Hukum Islam... 1. Akad... 2. Modal... 3. Jangka Waktu Perjanjian... 4. Bagi Hasil Pertanian... 5. Zakat Mukhabarah... B. Hikmah Adanyan Praktek Mukhbarah...………….

75 76 79 80 82 84 86

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan………..

B.Saran……….

DAFTAR PUSTAKA...

LAMPIRAN-LAMPIRAN

88

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk... Tabel 3.2 Tingkat Pendidikan...

(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang komprehensif (Rahmatal lil‟alamin) yang mengatur semua aspek kehidupan manusia yang telah disampaikan oleh Rosulallah Muhammad SAW. Yang salah satunya adalah mengatur kehidupan bersosial atau bermasyarakat yaitu yang saling melibatkan dan membutuhkan bantuan kepada satu sama lain. Islam juga tidak mengabaikan setiap perkara yang ada dalam kehidupan manusia yaitu perkara yang dihalalkan dan perkara yang diharamkan.

(16)

ketentuanya agar manusia tidak salah dan sesuai dengan syariat Islam yang tujuanya untuk menyejahterakan kehidupan manuisa dalam beribadah, baik itu Ibadah Mahdhoh yaitu suatu perbuatan yang langsung dengan Allah atau disebut dengan habluminallah (Vertikal), maupun ibadah Ghoirumahdhoh yaitu ibadah yang tertuju kepada manusia atau disebut dengan habluminannas (Horisontal).

Hukum amaliyah yang dimaksud disni adalah peraturan dalam bermuammalah. Sedangkan pengertian muammalah secara bahasa adalah bentuk masdar dari kata „amala yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling beramal. Sedangkan secara istilah muammalah merupakan sistim kehidupan, sistim kehidupan itu sendiri tidak terlepas dari dunia ekonomi, bisnis dan masalah sosial. Kegiatan ekonomi yang dilakukan bukan hanya berbasis pada nilai material saja, melainkan terdapat sandaran transendental atau bersifat kerohanian di dalamnya, sehingga bernilai ibadah. Oleh karena itu muammalah mempunyai beberapa kaidah yaitu : Hukum asal muammalah adalah diperbolehkan, konsep fikih muammalah untuk mewujudkan kemaslahatan, menetapkan harga yang kompetitif, meninggalkan intervensi yang terlarang, menghindari eksploitasi, memberikan kelenturan dan toleransi. (Nawawi, 2012: 10).

(17)

dengan manusia yang lain. Muammalah yang juga dapat diakatan ilmu ekonomi syariah adalah ilmu yang mempelajari aktivitas atau perilaku manusia secara aktual dan empirical, baik dalam produksi, distribusi maupun konsumsi berdasarkan syariat islam yang bersumber al-Qur‟an dan as-Sunnah sera Ijma‟ para Ulama‟ dengan tujuan untuk mecapai kebahagiaan dunia dan akhirat. (Nurul Hak, 2011: 6). Muammalah berbeda dengan ibadah, dalam ibadah semua perbuatan dilarang kecuali yang diperintahkan. Oleh karena itu semua perbuatan yang dikerjakan harus sesuai dengan tuntutan yang diajarkan Rasulullah. Dalam kaidah Ibadah yang berlaku adalah:

ُع َ ِ ِ َ ُ ْ ِ ْ صَّتَّلاو ِاوَا َ ِ ْاو ِ ُ ْ َْ َو

.

“Pada dasarnya dalam ibadah harus menunggu (perintah)dan mengikuti”.

Sebaliknya, dalam muammalah semuanya boleh kecuali yang dilarang. Semua bentuk akad dan berbagai cara transaksi yang dibuat oleh manusia hukumnya sah dan dibolehkan, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam syara‟. Hal tersebut sesuai dengan kaidah:

َ َ ٌ ْ ِاَا َمْ ُقَتَّي صَّتَح ُةصَّحِّلَاو ِاَلام َ ُمْاوَ ِاْ ُقُ ْاو ْيِ ُ ْ و

ِ ْيِ ْحصَّلاوَ ِنَلاْ ُ

(18)

Dalam kaidah fiqih yang lain juga disebutkan ;

َهِمْيِ ْحَ َ َ ٌ ْ ِاَا َلُدَي ْنَو صَّلاإ ُةَح َ و ِةَ َم َ ُمْاو ْيِ ُ ْ َو

“Hukum asal dalam semua bentuk muammalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.

Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muammalah dan tranksaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerjasama (Mudharabah atau Musyarakah), perwakilan dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemadharatan, tipuan, judi dan riba. (Djazuli, 2006: 130)

Bagi hasil adalah suatu jenis kerjasama antara pekerja dan pemilik tanah. Terkadang si pekerja memiliki kemahiran di dalam mengolah tanah sedangkan dia tidak memiliki tanah. Dan terkadang ada pemilimtanah yang tidak mempunyai kemampuan bercocok tanam. Maka islam mensyariatkan kerjasama seperti ini sebagai upaya/bukti pertalian dua belah pihak. (Sabiq, 1987:159).

(19)

Manusia adalah makhluk sosial yang telah dikodratkan hidup dalam masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia saling memerlukan dan membutuhkan satu sama lain. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia secara tidak langsung selalu berhubungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, manusia tidak lepas dari pergaulan hidup itu sendiri. (Basyir, 2000: 11). Secara adi kodrati (sunatullah), manusia diciptakan untuk bermasyarakat, hidup berkelompok dan interdependensi antara satu dengan yang lainya. Tidak ada satu manusiapun yang dapat hidup menyendiri dan bertahan hidup lama, apalagi sampai menciptakan sebuah peradaban. (Farkhani, 2011: 1). Dalam Islam telah diterangkan bahwa manusia diciptakan di dunia salah satunya adalah untuk saling tolong menolong dan kerjasama dalam kebaikan terhadap sesama makhluk. Allah berfirman dalam surat at-Maidah ayat 2 :

(20)

karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.

Dalam kehidupan bermasyarakat banyak hal yang terjadi untuk saling tolong menolong dan saling menguntungkan satu sama lain, salah satunya adalah bermuammalah yang berupa kerjasama dalam pertanian, perkebunan, pengairan, pemberdayaan tanah dan masih banyak lagi kegiatan bermuammalah. dalam hal ini yang akan difokuskan oleh peneliti adalah sistem perekonomian atau bermuammalah melalui sistem pertanian. Bagi hasil dalam pertanian merupakan bentuk pemanfaatan tanah dimana pembagian hasil terdapat dua unsur produksi, yaitu modal dan kerja atau tenaga dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil tanah.

Di dalam al-Qur‟anpun telah diterangkan dalam surat Yasin ayat 33 yang di dalamnya diterangkan bahwa Allah menghidupkan tanah yang mati dan menjadikanya subur agar manusia dapat makan dari apa yang dihasilkan bumi tersebut, yaitu:

(21)

Imam Qurthubi mengatakan: pertanian termasukf ardhu kifayah. Karena itu wajib bagi imam memaksakan manusia ke arah itu dan apa saja yang termasuk pengertiany; dalam bentuk menanam pohon. ( Sabiq, 1987: 158). Kerjasama dalam hal pertanianpun ada beberapa macam kerjasama, salah satunya adalah penggarapan sawah orang lain dan hasilnya dibagi dua antara pemilik tanah dan penggarap sawah. Dalam bahasa arab pertanian disebut dengan muzara‟ah dan mukhabarah. Taqiyyuddin menyatakan bahwa muzara‟ah dan mukhabarah merupakan satu pengertian. Tetapi pada saat yang bersamaan keduanya mempunyai dua arti, yang pertama berarti tharh az-zurrah (melemparkan tanaman), yang kedua adalah al-hadr (modal). Meskipun demikian masih banyak ulama‟ yang mengartikan keduanya memiliki makna yang berbeda. Sedangkan secara istilah muzara‟ah dan mukhabarah menurut Syeikh Ibrahim Al-Banjuri yaitu mukhabarah adalah pemilik tanah hanya menyerahkan tanahnya kepada pekerja dan modal dari pengelola. Sedangkan muzara‟ah yaitu pekerja hanya mengelola tanah dan modal dari pemilik tanah. (Nawawi, 2012: 161). Muzara‟ah (mengerjakan tanah orang lain dengan memperoleh sebagian hasil tanag tersebut), sedangkan bibit (biji) yang ditanam dari pemilik tanah, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena tidak syahmenyewakan tanah dengan hasil yang diperoleh daripadenya. Demikian yang mu‟tamad dalam madzhab Syafi‟i sebelum ulama‟

Syafi‟iyah membolehkan sama dengan Musaqoh (orang upahan). ( Hsbi,

(22)

Dari definisi di atas ada persamaan dan perbedaan antara muzara‟ah dan mukhabarah, persamaanya yaitu pemilik tanah

menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola, sedangkan perbedaanya adalah berkaitan pada modal, apabila modal dari pengelola atau penggarap tanah maka disebut mukhabarah, apabila modal dari pemilik tanah maka disebut muzara‟ah. (Nawawi, 2012: 162).

Dasar hukum yang digunakan oleh ulama untuk menetapkan mukhabarah dan muzara‟ah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a., sebagaimana yang dikutip oleh Suhendi (2010: 156) dalam bukunya yaitu:

َ

“Sesungguhnya Nabi Saw. tidak mengaharamkan ber

-muzara‟ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain”. Dalam redaksi lain, “barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu”.(Riwayat Bukhori).

Diriwayatkan dari Abu Dawud dan an-Nasa‟i dari Rifa‟i r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda: “Yang boleh bercocok tanam hanya tiga macam orang: laki-laki yang mempunyai tanah, dialah yang berhak

menanamnya; laki-laki yang diserahi manfaat tanah, dialah yang

menanaminya; dan laki-laki yang menyewa tanah dengan emas dan

(23)

Diriwayatkan oleh Muslim dan Thawus r.a., “Sesungguhnya

Thawus r.a., ber-mukhabarah, Umar r.a., berkata, dan aku berkata kepadanya, Ya Abdurrohman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa nabi melarangnya”. Kemudian Thawus

berkata, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW tidak melarang mukhabarah, hanya beliau berkata, “Bila seseorang memberi manfaat

kepada saudaranya, hal itu lebih baik daripada mengambil manfaat dari saudaranya dengan yang telah dimaklumi”. (Nawawi, 2012: 162).

Selain ulama di atas, ulama‟ lain yang menguatkan bahwa

mukhabarah tidak ada halangan adalah Nawawi, Ibnu Munzir dan khatabi, mereka mengambil alasan hadis Ibnu Umar sebagaimana dikutib oleh Rasjid (2012:302) dalam bukunya.

ِطْ َشِ َ َتَّ ْ َخ ِ ْهَو َ َم َ َ صَّ َسَ ِهْ َ َ ُاو ّ َ صَّ ِ صَّلاو صَّنو َ َمُ ِ ْ و ْ َ

Dari ibnu Umar, “sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan (palawija)”. (Riwayat Muslim).

(24)

Para pemilik tanah menggarapkan tanahnya sudah bertahun-tahun dan hasil yang diperoleh dari tanahnya dibagi rata antara pemilk tanah dan penggarap sawah, yang mana pembagian hasil belum jelas pada awal perjanjian. Selain itu pemilik tanah tidak mengetahui secara langsung benih-benih yang akan ditanam. Sehingga pemilk tanah hanya menerima hasil bersih dari semua panenannya. Sehingga dari pembagian hasil yang seperti diatas belum diketahui akan untung dan ruginya masing-masing antara pemilik tanah dan penggarap sawah.

Selain tentang benih dan pembagian hasil panen, jangka waktu penggarapanpun tidak jelas, bahkan sampai berkali-kali panen dan sampai bertahun-tahun, antara penggarap sawah dan pemilik sawah tetap melanjutkan kerjasama tersebut. Dalam akad awal perjanjian antara pemilik tanah dan penggarap sawah hanya serah terima sawah atau ladang untuk dikerjakan atau digarapke. Kemudian diantara mereka melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Hak dari pemilik tanah adalah menerima hasil panenan dari sawahnya, dan kewajibannya yaitu memberikan tanahnya untuk dikerjakan. Sedangkan hak dari penggarap sawah adalah menerima hasil panen dan kewajibanya adalah mengelola tanah dan tanamanya serta memberikan hasil panenanya kepada pemilik tanah..

(25)

apabila dikemudian hari terdapat permasalahan atau kesenjangan antara pemilik tanah dan penggarap sawah. Oleh karena itu orang-orang pedesaan dalam melakukan kerjasama terkadang tidak memperhatikan syariat maupun akibat hukum dari suatu perjanjian, yang ada diantara mereka yang terpenting adalah keuntungan.

Setelah melihat beberapa masalah diatas, Peneliti akan lebih fokus membahas tentang akad yang dilakukan oleh masyarakat dusun Tlogorejo, Grabag Magelang dalam melakukan perjanjian atau perikatan mengenai mukhabarah, karena dari setiap kegiatan muammalah berawal dari akad.

Serta akan melihat pengetahuan mereka dalam bermuammalah. Sedikit gambaran tentang proses kerjasama dalam pertanian telah dituliskan diatas yang dilakukan oleh masyarakat Tlogorejo, Grabag, Magelang.

Setelah ada pembagian kata dalam kerjasama di sektor pertanian peneliti bermaksud meneliti kerjasama yang berupa mukhabarah yaitu pemilik tanah hanya menyerahkan tanahnya untuk digarap oleh penggarap dan benihnya dari penggarap itu sendiri. Maka dari itu sebelum peneliti melanjutkan penelitian dipandang perlu melihat pengertian mukhabarah secara mendalam. Berangkat dari latar belakang di atas penulis bermaksud untuk meneliti praktek bagi hasil mukhabarah yang ada di Desa Tlogorejo, kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. Dan mecari kebenaran dengan analisis data yang diperoleh dari penelitian.

(26)

Setelah memaparkan keterangan di atas, maka peneliti mempunyai beberapa persoalan yang perlu dijawab dalam penelitiana yaitu :

1. Bagaimanakah praktek kerja sama kemitraan dalam pertanian yang berupa bagi hasil mukhabarah di Desa Tlogorejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang ?

2. Apakah prakterk bagi hasil mukhabarah tersebut sudah sesuai dengan hukum Islam ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang disampaikan dalam rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan kerjasama kemitraanbagi hasil mukhabarah di Desa Tlogorejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang.

2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktek bagi hasil mukhabarah yang ada di Desa Tlogorejo.

3. Untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat tentang praktek bagi hasil mukhabarah .

D. Kegunaan Penelitian

(27)

1. Kegunaan teoritis

Setiap ilmu yang telah diajarkan disetiap lembaga formal maupun nonformal di Indonesia adalah untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Maka dari itu penulis berharap dengan penelitian ini dapat mamajukan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu muammalah khususnya, yang berkaitan dengan kerjasama kemitraan bagi hasil (mukhabarah), sehingga dapat mengungkap permasalahan-permasalahan yang saling berhubungan dengan masyarakat. Dalam hal ini peneliti akan mengungkap praktek bagi hasil mukhabarah yang ada di Desa Tlogorejo Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang ditinjau dari hukum Islam.

2. Kegunaan Praktis a. Bagi Masyarakat

Memberikan wawasan dan pengarahan kepada masyarakat cara bermuammalah yang baik sesuai syariat Islam khusunya dalam bidang pertanian yaitu mukhabarah.

b. Bagi Peneliti

Menambah ilmu pengetahuan dan pola berfikir dalam setiap melihat hal-hal yang terjadi dalam masyarakat, sehingga mampu menjadi perubahan yang baik dalam masyarakat. Dan memberikan informasi tentang akad mukhabarah dalam masyarakat.

(28)

Peneliti berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi kalangan pendidikan sebagai bahan referensi tentang tinjauan hukum islam terhadap praktek bagi hasil mukhabarah dalam masyarakat. Kuhusunya bagi jurusan Hukum Ekonomi Syaria‟ah (HES)

Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

E. Telaah Pustaka

Setiap penelitian hal baru tidaklah salah apabila menelaah penelitian-penelitian terdahulu. Maka dari itu penulis melakukan telaah terhadap penelitian yang terdahulu yang hampir sama untuk dijadikan bahan acuan dan perbandingan bagi penelitian ini.

Peneliti menemukan sekripsi atau penelitian tentang mukhabarah dan muzara‟ah. Oleh karena itu peneliti menelaah pustaka terhadap skripsi ataupun penelitian yang bersangkutan dengan muzara‟ah, karena pengertian antara mukhabarah dan muzara‟ah adalah hampir sama, yaitu bagi hasil pertanian atau ladang, namun berbeda dalam segi akad.

Telaah pustaka yang peneliti gunakan diantaranya adalah skripsi yang ditulis oleh Zaini dari UIN Sunan Kalijaga tahun 2014 dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Paron Tanah Cato (Bengkok) Studi Kasus Di Desa Jenangger Kecamatan Batang Kabupaten Sumenep”.

(29)

menyediakan benih untuk ditanam. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa dalam kerjasama mukhabarah tersebut terdapat pihak ketiga, sehungga tercipta dua akad diantara pihak tersebut, sehingga melahirkan model akad baru yang belum diatur dalam hukum muammalat yaitu mukhabarah dan muzara‟ah.

Selanjutnya skripsi yang bertema mukhabarah adalah skripsi yang diselesaikan oleh Nurhidayah Marsono di UIN Sunan Kalijaga tahun 2013 dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Penggarapan Sawah di Desa Cikalong Kecamatan Sidamulih Kabupaten Ciamis”.

Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa akad yang digunakan adalah akad mukhabarah yaitu bagi hasil dengan kesepakatan diawal sesuai kesepakatan di awal menurut kebiasaan. Hasil penelitian yang diungkapkan adalah bahwa perjanjian di desa tersebut sudah sesuai hukum Islam. Dan dalam bagi hasil juga tidak bertentangan dengan Hukum Islam.

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek

Bagi Hasil Pengolahan Lahan Sawah Di Desa Pasirgeulis Kecamatan Padaherang Kabupaten Ciamis” yang diselesaikan oleh Barokah Hasanah

(30)

Selanjutnya skripsi yang diselesaikan oleh Iin Hamidah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Kesesuaian Konsep Islam

Dalam Praktek Kerjasama Bagi Hasil Petani Desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur”. Dijelaskan bahwa dalam

bagi hasil masyarakat tersebut menggunakan kebiasaan setempat berdasarkan kata sepakat atau kepercayaan. Kesimpulan yang disampaikan adalah praktek bagi hasil tersebut adalah aplikasi dari mukhabarah. Akan tetapi belum sepenuhnya sesuai dengan Hukum Islam karena ada beberapa syarat yang belum dipenuhi.

Penelitian terdahulu yang menjadi acuan penelitian ini selanjutya adalah skripsi yang disusun oleh Erma Nur Afifah dengan judul “Pengaruh Muzara‟ah Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Penggarap di Desa Kliris Kecamatan Boja Kabupaten Kendal”. Dalam skripsi ini dijelaskan

bahwa berdasarkan hasil penelitian penulisan skripsi dengan judul “pengaruh muzara‟ah terhadap kesejahteraan para petani penggarap Desa

Kliris Kecamatan Boja Kabupaten Kendal” tersebut, di lapangan dapat

disimpulkan bahwa dari 97 petani yang melakukan sistem Muzaro‟ah 56

diantaranya memiliki kesejahteraan yang baik sedangkan 41 diantaranya kesejahteraannya tidak baik. Sistem Muzara‟ah yang dilakukan tidak didapatkan hasil yang maksimal dikarenakan jumlah lahan sawah yang diolah tidak sebanding dengan tanggungan keluarga petani.

(31)

Kecamatan Tayu Kabupaten Pati Dalam Perspektif Ekonomi Islam”.

Dalam skripsi ini dijelaskan penerapan akad muzara‟ah dan penerapan

hasil yang ada di Desa itu ada istilah hasil yang disishkan, namun hal itu dianggap kebiasaan dalam masyarakat tersebut atau „urf maka hal itu diperbolehkan dalam Islam.

Setelah menelaah dan meninjau pustaka di atas, maka penelitian yang akan penulis lakukan belum ada penelitian yang fokus terhadap bagi hasil mukhabarah. Sehingga penelitian ini berbeda dengan penelitian yang lain.

F. Penegasan Istilah

Agar tidak salah pengertian dalam memahami dalam penelitian ini, maka perlu kiranya peneliti menjelaskan beberapa istilah yang ada dalam judul skripsi ini, yaitu:

Tinjauan, dalam kamus besar bahasa Indonesia di sebutkan

tinjauan adalah pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari dan sebagainya). (Poerwadarminta, 2006: 1281).

Hukum Islam, adalah peraturan-peraturan dan

ketentuan-ketentuan berdasarkan syariat islam. (Fajri, 365)

Praktek, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan

(32)

Bagi Hasil, yaitu merupakan rancangan pembiayaan yang berbeda

dengan bunga. secara istilah yaitu suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana. (Rafiq, 2004: 153).

Mukhabarah, menurut Syafi‟iyah ialah:

ِضْاَْ و َ ِم ُ ُ ْخَي َم ِضْ َتَّ ِ ِعْاصَّ او َ َ ٌدْقَ

“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari bumi”

Sedangkan menurut dhahir, al-Syafi‟i berpendapat bahwa mukhabarah ialah:

Dan Syaikh Ibrahim al-Banjuri berpendapat bahwa mukhabarah adalah :

“Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola”.

(33)

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah fokus pada penelitian lapangan (Field reserch) yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung dan berinteraksi terhadap obyek penelitian. Setelah terjun ke lapangan, peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif, yakni sebuah metode penelitian yang menjelaskan kenyataan di lapangan serta mengungkapkan hal-hal yang belum jelas di masyarakat agar dapat mengetahui hal yang sebenarnya terjadi.

Meurut Lodico, Spaulding dan Voegtle penelitian kualitatif, yang juga disebut penelitian interpretif atau penelitian lapangan adalah suatu metodologi yang dipinjam dari disiplin ilmu seperti sosiologi dan antropologi dan diadaptasi ke dalam setting pendidikan. Peneliti kualitatif menggunakan metode penalaran induktif dan sangat percaya bahwa terdapat banyak perspektif yang akan dapat diungkapkan. Penelitian kualitatif berfokus pada fenomena saosial dan pada pemberian suara pada perasaan dan persepsi dari partisipan dibawah studi. Hal ini di dasarkan pada kepercayaan bahwa pengetahuan dihasilkan dari setting sosial dan bahwa pemahaman pengetahuan sosial adalah suatu proses ilmiah yang sah. (Emzir, 2011: 2).

(34)

hasil pengkajian tentang hubungan antar sejumlah toeri yang sudah ada dan relevan, hasil kajian tersebut dikaitkan dengan fenomena yang terjadi. Hasil kajian dapat menemukan masalah dan toeri yang perlu dikaji kebenaranya berdasarkan atas fakta-fakta. (Maslikhah, 2013: 176-177)

Sedangkan pengertian dari penelitian deskrikriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki keadaan, kondisi atau hal lain-lain yang sudah disebutkan, yang hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian. (Arikunto, 2010: 3).

2. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara

(35)

jenis wawancara yang hanya memuat garis besar tentang hal yang akan ditanyakan. (Arikunto, 2010: 227). Dalam penelitian ini yang akan diwawancarai diantaranya adalah pemilik sawah dan penggarap sawah serta yang bersangkutan tentang tema judul skripsi ini yaitu tentang tinjauan hukum Islam terhadap praktek mukhabarah.

b. Observasi

(36)

3. Metode Analisis Data

Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan pengaturan transkripsi wawancara, catatan lapangan dan materi-materi lain yang telah dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman tentang materi-materi tersebut. Analisis melibatkan pekerjaan dengan data, penyusunan dan pemecahannya ke dalam unit-unit yang dapat ditangani, perangkuman, pencarian pola-pola dan penemuan penting yang perlu dipelajari. (Emzir, 2011: 85).

Peneliti dalam menganalisis data-data penelitian menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu analisis yang bertujuan memberikan deskriptif atau menggambarkan sifat dan keadaan mengenai subjek peneltian berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian lapangan. Data-data tersebut diperoleh melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Peneliti fokus terhadap analisis praktek mukhabarah yang dalam akad dan pembagian hasil panen belum jelas.

H. Sistematika Penulisan

(37)

bab dilengkapi dengan sub babnya sesuai dengan judulnya. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut ;

BAB I : Pada bab pertama ini adalah pendahuluan, yang mana penulis akan memaparkan garis-garis besar dan pokok permasalahan yang melatarbelakangi penelitian. Disamping itu penulis juga akan memaparkan poin-poin dalam pendahuluan ini yaitu; latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, penegasan istilah, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Pada bab ini menerangkan tentang teori-teori atau kerangka teori, yang berkaitan dengan hukum dalam bermuammalah berupa mukhabarah, mulai dari pengertian mukhabarah, syarat dan rukun hingga pendapat Ulama‟.

(38)

BAB IV : Bab ini merupakan pembahasan hasil penelitian, mulai dari teori sampai dengan menganalisis praktek mukhabarah, dimana peneliti mengemukakan “Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Praktek Mukhabarah” yang ada di Desa Tlogorejo Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. BAB V : Bab ini adalah bab terakhir dari keseluruhan isi skripsi,

dalam bab ini ada tiga pemaparan yaitu ; kesimpulan isi skripsi, saran-saran yang konstruktif, serta penutup.

BAB II

(39)

A. Pengertian dan Dasar Hukum Mukhabarah

1. Pengertian Mukhabarah

Muzara‟ah dan Mukhabarah memiliki makna yang berbeda,

pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi‟i dan al-Nawawi. Sedangkan menurut al-Qadhi Abu Thouib, muzara‟ah dan mukhabarah merupakan satu pengertian. (Suhendi, 2014: 153). Taqiyyuddin menyatakan bahwa muzara‟ah dan mukhabarah merupakan satu pengertian, tetapi pada saat

yang bersamaan keduanya mempunyai dua arti, yang pertama berarti tharh az-zurrah (melemparkan tanaman), yang kedua adalah al-hadr (modal). Meskipun demikian masih banyak ulama‟ yang mengartikan

keduanya memiliki makna yang berbeda. Sedangkan secara istilah muzara‟ah dan mukhabarah menurut Syeikh Ibrahim Al-Banjuri yaitu

mukhabarah adalah pemilik tanah hanya menyerahkan tanahnya kepada pekerja dan modal dari pengelola. Sedangkan muzara‟ah yaitu pekerja hanya mengelola tanah dan modal dari pemilik tanah. (Nawawi, 2012: 161).

Mukhabarah menurut Syafi‟iyah adalah:

ِضْاَ و َ ِم ُ ُ ْخَي َم ٍضْ َتَّ ِ ِعْاصَّ او َ َ ٌدْقَ

“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari bumi”

Imam Syafi‟i berpendapat bahwa mukhabarah ialah:

(40)

“Menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut”

Syaikh Ibrahim al-Banjuri berpendapat bahwa mukhabarah ialah:

ِ ِم َ ْاو ُ َمَ

َ ِم ُاْ َ ْاوَ َهْتَّلِم ُ ُ ْخَي َم ِضْ َتَّ ِ ِ ِا َمْاو ِضْا ِ

ِ ِم َ ْاو

“sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola”.

Menurut Hendi Suhendi, mukhabarah yaitu mengerjakan tanah (menggarap ladang atau sawah) dengan mengambil sebagian dari hasilnya, sedangkan benihnya dari pekerja. (Suhendi, 2014: 154-158).

Menurut Amir Syarifuddin, mukhabarah adalah kerjasama dalam usaha pertanian. Dalam kerjasama ini pemilik lahan pertanian menyerahkan lahanya sedang bibit disediakan oleh pekerja. Hasil yang diperoleh daripadanya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. (Syarifuddin, 2003: 240-241).

Menurut Ahmad mukhabarah adalah mengerjakan tanah (menggarap ladang atau sawah) dengan mengambil sebagian dari hasil, sedang benihnya dari pekerja. (Nawawi, 2021: 162).

(41)

namun jika bibit berasal dari pemilik lahan, objeknya adalah amal/tenaga penggarap, tapi jika panen telah dihasilkan, keduanya bersekutu untuk mendapatkan bagian tertentu.(al-Mishri, 2006: 110)

Seperti yang diungkapkan diatas, bahwa mukhabarah hampir sama dengan sewa (ijarah) maka B.W. dalam pasal 1548 menentukan bahwa sewa-menyewa itu adalah untuk selama waktu tertentu, jadi hal ini sama dengan ketentuan fiqih. Tapi dalam praktek sewa-menyewa juga dapat untuk waktu yang tidak ditentukan lebih dulu. Ukuran sewa dalam hal yang demikian ditentuka kemudian sesuai dengan kelaziman. (Hamid, 1983: 70).

Perbedaan yang jelas dari pengertian mukhabarah dan muzara‟ah adalah pada segi permodalan, ketika pemilik tanah memberikan semua modal untuk penggarapan sawah, kecuali tenaga, maka praktek itu dinamakan muzara‟ah. Dan dinamakan mukhabarah apabila modal ditanggung petani penggarap.

(42)

2. Dasar Hukum Mukhabarah

Dasar hukum yang digunakan oleh ulama untuk menetapkan mukhabarah dan muzara‟ah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a., seperti yang dikutip oleh Suhendi (2010:156) dalam bukunya Fiqh Muammalah yaitu;

أَ

“Sesungguhnya Nabi Saw. tidak mengaharamkan ber-muzara‟ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain”. Dalam redaksi lain, “barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu”. (Riwayat Bukhori).

Dalam Bukunya Rasjid (2012: 302) disebutkan bahwa selain ulama di atas, ulama‟ lain yang menguatkan bahwa mukhabarah tidak ada

halangan adalah Nawawi, Ibnu Munzir dan khatabi, mereka mengambil alasan hadis Ibnu Umar. mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan (palawija)” (Riwayat Muslim).

(43)

sebagian dari bebijian dan buah-buahan yang dapat ditumbuhkan oleh tanah Khaibar.

Menurut Amir Syarifudin (2003: 203) dalam bukunya disebutkan jual beli mukhabarah adalah muammalah dalam penggunaan tanah dengan imbalan bagian dari apa yang akan dihasilkan oleh tanah tersebut. Hukum tranksaksi ini adalah haram. Dasar hukum harambya adalah hadis Nabi:

ِةَ َ َلُمْاوَ ِةَ َتَّ َحُمْاو ِ َ َهَتَّن َ صَّ َسَ ِهْ َ َ ُاو صَّ َ َيِ َلاو صَّنَ

َ َتَّلُتَّثاو ِيَ َ ِةَ َتَّ َخُمْاوَ

.

Sesungguhnya Nabi SAW. Melarang jual beli muhaqalah, muzabanah, mukhabarah dan tsunaiya.

Muhammad al-Baqir bin Ali bin al Husain ra. Berkata: “tak ada seorang muajirin pun yang ada di Madinah kecuali mereka menjadi petani dengan mendapatkan sepertiga atau seperempat. Dan Ali ra, Said bin Malik, Abdullah bin Mas‟ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali dan ibnu Sirin, semua terjun ke dunia pertanian. (Sabiq, 1987: 159).

Ibnu Hazm mengatakan:

(44)

dan ada kalanya ia menyerahkan lahan pertanian berikut bibit, alat, atau hewanya kepada orang lain untuk menggarapnya, namun setelah mendapatkan hasil ia mendapatkan bagian setengah atau sepertiga, dan inilah yang diperbolehkan”.

Dengan demikian, Ibnu Hazm hanya memperbolehkan konsep “menyewakan tanah kepada orang lain dengan imbalan setengah atau

sepertiga dari hasil panen” atas lahan pertanian, dan jika lahan pertanian tersebut mengalami gagal panen, maka orang yang menyewakan tidak mendapatkan apapun. (al-Mishri, 2006: 41)

B. Pendapat Ulama’ Tentang Praktek Mukhabarah

An-Nawawi, Ibnu Munzir dan Khatabi berpendapat bahwa hukum mukhabarah dan muzara‟ah adalah boleh, sesuai hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari ibnu Abbas r.a., “Sesungguhnya Nabi saw. Tidak mengharamkan ber-muzara‟ah, bahkan

beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyanyangi sebagian yang lain. Dalam redaksi lain, “Barang siapa memiliki tanah maka hendaklah

ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak

mau maka boleh ditahan saja tanah itu”.

(45)

beralasan kepada hadis shahih, antara lain hadis Tsabit Ibn Adh-Dhahak, karena akibat buruk yang sering terjadi ketika berubah.

Selanjutnya dalam hadisnya Imam Muslim disebutkan sebagai berikut;

(46)

menceritakan kepada kami Ats Tsaqafi dari Ayyub. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim semuanya dari Waki' dari Sufyan. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh telah mengabarkan kepada kami Al Laits dari Ibnu Juraij. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku Ali bin Hujr telah menceritakan kepada kami Al Fadll bin Musa dari Syarik dari Syu'bah semuanya dari 'Amru bin Dinar dari Thawus dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti hadits merek”. (Kitab Muslim, Hadist No. 2893: Lidwa Pusaka i-Software.)

Sebagian Ulama ada yang melarang praktek bagi hasil tanah pertanian semacam ini. Mereka beralasan pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, yaitu:

َضْاَلاْو ىِ ُن صَّلُ َ ًلاْقَحِا َلْنَلا وَ َتَّثْكَو صَّلُك َل َ ْجْيِدَخ ِ ْ ِ ِ وَا ْ َ

mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka yang mengerjakanya. Kadang-kadang tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil. Oleh karena itu Rasulullah melarang paroan dengan cara demikian. (Riwayat Bukhori).

(47)

SAW. Sebab pekerjaan demikian buknlah dengan cara adil dan insaf. (Rasjid. 2012: 302-303).

Menurut Imam Syafi‟i:

َهَ َاْ َتَّ ِا ًضْاَ ٍ ُجَا َاِإ َ َ َا وَ ِإَ

:

ْ ِم ًمْ ُ ْ َم ًءوْ ُج ُهَا َطَ َشَ

ْ ُجَي ْ َا َهِ ْيَا

,

ًم َ َ ُهَا َطَ َشْ َو ٍةَضِ ْ َو ٍبَهَ ِ َهصَّتَّيِو ُهوَ َتَّلْكو ِنِوَ

َ َج ِهِلصَّمِ ِ ًمْ ُ ْ َم

.

Bila seseorang menyerahkan kepada orang lain sebidang tanah untuk ditanami, dan menjajikan kepadanya bagian tertentu dari hasil tanamanya maka (hukumnya) tidak boleh. Dan bila ia menyerahkan tanah itu kepadanya dengan emas atau perak, atau menjajikan kepadanya makanan tertentu dalam tanggungan, maka (hukumnya) boleh. (Bigha, tt: 470).

Setelah melihat beberapa pendapat para Ulama‟ tentang praktek

mukhabarah di atas, maka ada hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang dalam praktek mukhabarah tersebut, yaitu sebagai berikut:

1. Mukhabarah yang diperbolehkan

Dalam mukhabarah yang mana telah disebutkan ketentuan-ketentuanya dalam fiqih, maka hal-hal yang dibolehkan dalam mukhabarah adalah sebagai berikut:

(48)

menyetujui bahwa pemilik tanah akan memperoleh bagian tertentu dari hasil.

2. Kedua belah pihak sepakat atas tanah, benih, perlengkapan pertanian dan tenaga serta menetapkan bagian masing-masing yang akan diperoleh dari hasil. (Rahman, 1995: 288).

3. Keuntungan yang diperoleh jelas pembagiannya menurut kesepakatan, dalam ukuran angka persentase, bukan dalam bentuk angka mutlak yang jelas ukuranya.

4. Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.

5. Kedua belah pihak dalam akad telah dewasa dan sehat akalnya serta tanpa paksaan darimanapun. (Syarifuddun, 2003: 242).

2. Mukhabarah yang dilarang

Dalam Mukhabarah yang dilarang salah satunya adalah jika bagiannya dutentukan dalam jumlah tertentu berdasarkan hasil luas tertentu yang hasilnya menjadi miliknya, sedangkan sisanya untuk penggarap atau dipotong secukupnya. Maka dalam keadaan seperti ini dianggap fasid karena mengandung gharar dan dapat membawa kepada perselisihan. Al-Bukhori meriwayatkan dari Rafi‟bin al Khudaij, berkata: “Dahulu kami termasuk orang yang paling banyak

(49)

Kadang-kadang untung dan Kadang-kadang-Kadang-kadang tidak memberikan untung. Lalu kami dilarang”.(Sabiq. 1987: 162).

Selain hal di atas, hal-hal dibawah ini juga dilarang dalam mukhabarah yaitu:

1. Perjanjian yang menetapkan sejumlah hasil tertentu yang harus diberikan kepada pemilik tanah, yaitu suatu syarat yang menentukan bahwa apapun dan berapapun hasilnya, pemilik tanah tetap menerima lima atau sepuluh mound dari hasil panen.

2. Hanya bagian lahan tertentu yang berproduksi, misalkan bagian utara atau selatan, maka bagian tersebut diperuntukan bagi pemilik tanah.

3. Penyerahan tanah kepada seseorang dengan syarat tanah tersebut akan tetap menjadi miliknya jika sepanjang pemilk tanah masih menginginkannya dan akan menghapuskan kepemilikannya manakala pemilik tanah menghendaki.

(50)

5. Adanya hasil panen lain (selain daripada yang ditanam di ladang itu) harus dibayar oleh satu pihak sebagai tambahan kepada hasil pengeluaran tanah. (Rahman, 1995:286-287).

C. Rukun Dan Syarat Mukhabarah

Kerjasama dalam bentuk mukhabarah adalah kehendak dan keinginan dua pihak, oleh karena itu harus teradi dalam suatu akad atau perjanjian, baik secara formal dengan ucapan ijab dan qabul, maupun dengan cara lain yang menunjukan bahwa keduanya telah melakukan kerjasama secara rela sama rela.

Unsur yang terdapat dalam kerjasama ini adalah: pemilik tanah, pekerja pertanian, objek mukhabarah yaitu lahan dan hasil keuntungan. Masing masing harus memenuhi syarat yang ditentukan. (Syarifuddin, 2003: 242).

1. Rukun Mukhabarah

Menurut Hanafiyah, rukun muzarah ialah akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja. Karena pengertian Muzara‟ah dan

Mukhabarah hampir sama, yang membedakan adalah modal. Maka rukun dalam mukhabarah secara rinci ada empat, yaitu:

1. Tanah

2. Perbuatan Pekerja 3. Modal

(51)

Menurut Syarifuddin (2003: 242) kerjasama adalah kehendak dan keinginan dua pihak, maka harus ada akad atau perjanjian baik secara formal maupun cara yang lain dengan ucapan ijab dan qabul.

Melihat hal diatas penulis berkesimpulan bahwa rukun dalam praktek kerjasama mukhabarah ada lima yaitu:

1. Akad (sighat ijab dan qabul). 2. Tanah.

3. Perbuatan pekerja. 4. Modal/benih.

5. Alat-alat untuk menanam.

2. Syarat Mukhabarah

Melihat rukun-rukun di atas, maka tidak akan lepas dari syarat-syarat yang ditentuntakan mengenai rukun-rukunya. Maka syarat-syarat-syarat-syarat praktek mukhabarah ialah sebagai berikut:

1. Syarat yang bertalian dengan “aqidain (orang yang berakad) antara pemilk tanah dan penggarap yaitu harus berakal.

2. Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.

3. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu: a) Bagian masing-masing harus disebutkan jumlanya

(52)

a. Bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama, misalnya dari kapas, bila Malik bagianya padi kemudian Amil bagianya singkong, maka hal ini tidak sah.

c) Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui

d) Tidak disyaratkan bagi keduanya penambahan yang maklum

4. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu: a) Tanah tersebut dapat ditanami

b) Tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya. 5. Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya ialah:

a) Waktunya telah ditentukan

b) Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud, seperti menanam padi waktunya kurang lebih 4 bulan (tergantung teknologi yang dipakainya, termasuk kebiasaan setempat

c) Waktu tersebut memungkinkan kedua belah pihak hidup menurut kebiasaan. (Suhendi, 2014: 158-159).

Dalam hal bagi hasil antara Malik dan Amil masing-masing harus mempunyai rasa kemanusiaan. Dalam al-Qur‟an Allah berfirman:

(53)

(balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.

Mohammad Syauqi al-Fanjari bahwa makna kontekstual dari ayat diatas adalah bahwa upah yang diberikan kepada para pekerja didasarkan atas pertimbangan kerja, bukan atas dasar eksploitasi kedhaliman. (Abu Yasid, 2005: 164).

3. Tinjaun Tentang Akad

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk saling berhubungan dengan mahkluk yang lainya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi manusia tidak mampu memenuhi kebutuhanya dan harus berhubungan dengan orang lain. Dalam hubungan manusia satu dengan yang lainya terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban, keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan antar keduanya lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak (Djuwaini, 2010: 47).

(54)

Niat dalam urusan muamalat atau tranksaksi pada umumnya terkait dalam satu kaidah berikut:

ا

ْيِن َ َمْاوَ ِظ َ ْاَ ِا َلا يِن َ َمْاوَ ِدِ ِقَمْ ِا ِاْ ُقُ ْاو ِ ُةَ ْتَّ ِ ْا

“Hal yang dipertimbangkan dalam akad-akad (tranksaksi) adalah maksud dan maknanya, bukan pada ucapan dan rangkaian kata-katanya”.

Maksud dari kaidah ini bahwa pertimbangan utama dalam sebuah akad (tranksaksi) adalah dilakukan tujuan tranksaksi tersebut, bukan pada ungkapan atau rangkaian kata yang diucapkan. (Fadal, 2008:26)

Dalam bahasa Arab lafal akad berasal dari kata: „aqada-ya‟qidu -„aqdan, yang sinonimnya :

1. Ja‟ala „uqdatan, yang artinya: menjadikan ikatan; 2. Akkada yang artinya: memperkuat;

3. Lazima yang artinya: menetapkan.

Wahab Zuhaili mengartikan lafal akad menurut bahasa sebagai berikut.

(55)

Muhammad Abu Zahroh mengemukakan pengertian akad menurut bahasa sebagai berikut.

ُهُّدِ َ ، َهُ ْ َاَ ِءْيصَّشاو ِفوَ ْ َ ْ َتَّ ِ ْمَجْاو َ َ ِةَغُا ْيِ ُدْقَ ْاو ُقَ ْ ُي

ُهُلَتَّيِ ْقَتَّ َ ِءْيصَّشاو ُم َ ْحِإ َلْ َمِ ُقَ ْ ُيَ ُّ ِحْاو

.

Akad menurut etimologi diartikan untuk menggabungkan antara ujung sesuatu dan mengikatnya, lawanya adalah “al-hillu” (melepaskan), juga diartikan mengokohkan sesuatu dan memperkuatnya.

Para fuqaha‟ membedakan pengertian akad secara bahasa menjadi dua arti, yaitu arti secara umum dan arti secara khusus. Pengertian secara umum berkembang dikalangan Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabila,

yaitu: dikerjakan, baik timbul karena satu kehendak, seperti wakaf, pembebasan, talak dan sumpah, maupun yang memerlukan dua kehendak di dalam menimbulkanya, seperti jual beli, sewa menyewa, pemberian kuasa dan gadai.

(56)

ْيِ ُهُ َتَّ ُتُ ْثَتَّي ٍعْ ُ ْشَم ِهْجَ َ َ ٍلْ ُتَّ َقِ ِا َجشإ ُط َ ِ ْاَو َ ُه ُدْقَ ْاو

redaksi yang lain: keterkaitan antara pembicaraan salah seorang yang melakukan akad dengan yang lainya menurut syara‟ pada segi yang tampak pengaruhnya pada objek. (Muslich, 2010: 109-111)

Adapun makna akad secara syar‟i yaitu hubungan antara ijab dan kabul dengan cara yang diperbolehkan oleh syar‟i dan mempunyai pengaruh secara langsung. Ini berarti bahwa akad termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandanga syara‟ antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduanya yang kemudian du keinginan ini dinamakan ijab dan kabul. (Azam, 2010: 17) Menurut pasal 262 Mursyid al-Harian, akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak denga kabul dari pihak yang lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad. Sedangkan menurut Syamsul anwar dalam bukunya “Hukum Perjanjian Syariah”,

akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.

(57)

pihak, dan kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran. Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. (Anwar, 2010: 68-69)

Dengan adanya akad maka timbulah perikatan atau ikatan antara „aqidain (dua orang yang berakad). Dalam perikatan tersebut terdapat

ketentuan, sebagaimana yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam B.W. (pasal 1234), maka tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. (Hamid, 1983: 51).

Asas-asas yang terdapat dalam „aqad adalah sebagai berikut; asas ridha‟iyah (saling Rela), asas manfaat, asas keadilan, asas saling

menguntungkan. (Nurul Hak, 2011: 128-129). Disebutkan kaidah fiqih bahwa dalam akad adalah keridhaan kedua belah pihak, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah, yaitu:

ِ ْيَدِ َ َتَّلُماو َ ِا ِاْ ُقُ ْاو يِ ُ ْ َْ َو

“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak”. (Djazuli, 2007: 131).

(58)

berhak mengetahui dan menentukan besar kecilnya pembagian hasil dari kerjasama tersebut. Dengan demikian tidak akan ada penyesalan dikemudian hari. Karena, kedua belah pihak telah melakukan negoisasi (memperbincangkan untuk mencapai kata sepakat) tentang jumlah pembagian hasil kerjasama jauhari sebelunya. ( Abu Yasid, 2005: 164).

Akad bila ditinjau dari orang yang mengakadkan dan yang diakadkan ada tiga macam, yaitu:

a. Akad antara Allah dengan Hambanya b. Akad antara hamba sesama hamba

c. Akad antara seseorang hamba dengan dirinya.

Dari tiap-tiap akad jika dipandang kepada yang mengerjakan, maka akad dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Diwajibkan oleh akal

b. Diwajibkan oleh syara‟, yaitu yang ditunjuk oleh kitabullah dan sunnaturrosul. (Ash Shiddieqy, 1997:470).

Ulama telah menuliskan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh objek akad dalam sebuah akad:

a. Objek akad itu harus ada ketika dilakukan akad.

b. Objek akad harus disebutkan / dijelaskan secara transparan, jelas dan terhindar dari gharar yang dapat menyebabkan pertentangan pada kedua belah pihak.

(59)

d. Dapat diserah terimakan. (al-Mishri, 2006: 100).

4. Zakat Dalam Mukhabarah

Zakat ialah nama atau sebutan dari suatu hak Allah Ta‟ala yang

dikeluarkan sesorang kepada fakir miskin. Dinamakan zakat karena di dalamnya terkandung harapan untuk memperoleh berkat, membersihkan jiwa dan memupuknya dengan pelbagai kebaikan.

Kata-kata zakat itu arti aslinya ialah tumbuh, suci dan berkah. kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Sabiq, 1978: 5)

(60)

Dalam zakat, terdapat beberapa unsur yang telah dijelaskan oleh para ulama‟, sebua unsur yang dapat mencirikan zakat:

a. Waktu pembayaran zakat, Islam mengetahui waktu-waktu yang tepat untuk mengeluarkan zakat, zakat harta perdangangan misalnya, dikeluarkan setahun setelah harta tersebut dikuasaioleh pemiliknya, selain itu juga merupakan kelebihanatas kebutuhan pokok yang ada. Zakat pertanian dibayarkan setelahpanen dituai, begitu juga dengan barang tambang.

b. Kewajiban zakat bersifat absolut dan tidak berubah secara terus menerus. Harta yang wajib dizakati sudah ditentukan, begitu juga dengan kadar yang harus dibayarkan. Kewajiban itu bersifat mutlak dan berlaku sampai akhir zaman, tidak seorangpun berhak mengubahnya. Berbeda dengan pajak, besar beban dan objeknya bisa berubah sesuai dengan kebijakan penguasa.

c. Keadilan, dalam arti adil dalam pendistribuan maupun pengambilan harta yang menjadi objek zakat. (al-Mishri, 2006: 136).

(61)

namun jika tidak, zakatnya sebesar 10%. Untuk buah-buahan juga sama adanya, baik nishab maupun zakat yang harus dikeluarkan. (al-Mishri, 2006: 141).

Nisab zakat pertanian dan buah-buahan adalah Nisabnya 5 Wasak, sedangkan satu wasak dalam satuan liter adalah 164,88 liter. Jadi jumlah nisab zakat pertanian dan buah-buahan dalam liter adalah 824, 4 liter. (Lam bin Ibrahim, 2005:205)

Sabda Rosulullah diterangkan apabila hasil bumi dan buah-buahan yang kurang dari lima wasaq tidak berkewajiban mengeluarkan zakat, sabdanya yaitu: ada kewajiban zakat”.(HR. Bukhori dan Muslim).

Disebutkan lagi oleh Mustofa Dibbul Bigha (tt: 326) dalam bukunya

“Tidak terkena zakat biji-bijian dan buah-buahan tidak terkena zahat sehingga sampai lima wasaq”.(HR. Muslim).

(62)

dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, zakat diajibkan atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi. (Rasjid, 2012: 303).

5. Tinjauan Tentang Bagi Hasil Dalam Mukhabarah

Bagi hasil dalam pertanian dapat diartikan pembagian hasil atas pengolahan sawah atau ladang dalam awal perjanjian dengan persentase tertentu.

Dalam hal bagi hasil antara Malik dan Amil masing-masing harus mempunyai rasa kemanusiaan. Dalam al-Qur‟an Allah berfirman:

Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.

Mohammad Syauqi al-Fanjari menjelaskan bahwa makna kontekstual dari ayat diatas adalah bahwa upah yang diberikan kepada para pekerja didasarkan atas pertimbangan kerja, bukan atas dasar eksploitasi kedhaliman. (Abu Yasid, 2005: 164).

(63)

Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor 714/Kpts/Um/9/1980 yang menjelaskan perimbangan hak antara pemilik tanah dan penggarap, yang mana dalam keputusan tersenbut di atas dikemukakan pada poin kedua, yaitu sebagai berikut :

Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik sebagai yang dimaksud dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 sepanjang mengenai padi yang ditanam ditetapkan oleh bupati/walikotamadya Kepala Daerah dengan menggunakan pedoman sebagai tersbut dibawah ini :

a. Oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah berdasarkan usul dan pertimbangan camat/kepala wilayah kecamatan serta instansi-instansi yang bidang tugasnya berkaitan dengan kegiatan usaha produksi pangan dan pengurus organisasi tani yang ada di daerahnya dengan terlebih dahulu mendengar usul dan pertimbangan kepala Desa atau kepala keluarahan dengan lembaga ketahanan masyarakat Desanya.

(64)

Z = ¼ X

Dalam mana Z = biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan penen, X = hasil kotor

c. Jika hasil yang dicapai penggarap tidak melebihi hasil produksi rata-rata Daerah tingkat II atau kecamatan sabagai yang ditetapkan oleh bupati/walikotamadya kepala daerah yang bersangkutan, maka hasil kotor, setelah dikurangi biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan panen yang dihitung menurut rumus 2 di atas, dibagi dua sama besar antara penggarap dan pemilik, atau dalam bentuk rumus sebgain berikut (rumus I) :

Hak penggarap = hak pemilik 𝑥 − 𝑧

2 =

x−1/4x

2

d. jika hasil yang dicapai oleh penggarap diatas hasil produksi rata-rata daerah tingkat II/kecamatan sebagai yang ditetapkan oleh bupati/walikotamadya kepala daerah yang bersangkutan, maka besarnya bagian yang menjadi hak penggarap dan pemilik ditetapkan sebagai berikut :

1) hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi menurut rumus I.

(65)

bagian, 4 bagian dari penggarap dan 1 bagian dari

e. jika di suatu daerah bagian yang menjadi hak penggarap pada kenyatannya lebih besar dari apa yang ditentukan pada rumus I dan rumus II di atas, maka tetap diperlakukan imbangan yang lebih menguntungkan penggarap.

f. Ketetapan bupati/walikotamadya kepala daerah mengenai besarnya imbangan bagi hasik tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik serta hasil produksi rata-rata tiap Ha (Hektar) di daerah tingkat II atau kecamatan yang bersangkutan, diberitahu kepada dewan perwakilan rakyat daerah tingkat II setempat.

(66)

h. Sesuai dengan ketentuan pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, pemberian “sromo” oleh calon penggarap kepada pemilik tanah dilarang.

i. Sesuai dengan ketentuan pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, pajak tanah sepenuhnya menjadi beban pemilik tanah dan dilarang untuk dibebankan kepada penggarap. (Pasribu & Lubis, 1996: 61-66).

D. Akibat Hukum Dari Praktek Mukhabarah

Setelah adanya pemaparan tentang pengertian, rukun, serta syarat mukhabarah di atas, maka akan ada hak dan kewajiban diantara kedua

belah pihak yang mengadakan adak mukhabarah tersebut. Oleh karena itu ada akibat hukum yang mengikat diantara pemilik tanah dan pekerja, diantaranya yaitu:

1. Petani penggarap bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian tersebut.

2. Hasil panen dibagi antara kedua belah pihak sesuai kesepakatan.

(67)

4. Apabila salah satu diantara kedua belah pihak meninggal dunia sebelum panen, maka akan diwakili oleh ahli warisnya, karena jumhur ulama berpendapat bahwa akad upah mengupah (ijarah) bersifat mengikat kedua belah pihak. Seperti halnya yang disampaikan oleh Hamid (1983: 83) lazimnya di Indonesia apabila salah satu pihak meninggal, maka haknya beralih kepada ahli warisnya, sampai habisnya jangka waktu sewa-menyewa.

5. Kedua belah pihak harus menghormati perjanjian, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyid Sabiq, (1987: 190) bahwa penghormatan terhadap perjanjian menurut Islam hukumnya wajib, melihat pengaruhnya yang positif dan perannya yang besar dalam memelihara perdamaian dan melihat urgensinya dalam mengatasi kemusykilan, menyelesaikan perselisihan dan menciptakan kerukunan.

E. Berakhirnya Akad Mukhabarah

Dalam kerjasama mukhabarah, akan berakhir apabila: 1. Kematian salah satu pihak yang mengadakan akad.

2. Atas permintaan salah satu pihak sebelum panen. Dengan alasan yang dapat dimaklumi.

Gambar

Tabel 3.2 Tingkat pendidikan

Referensi

Dokumen terkait

• PKMT merupakan kreativitas yang inovatif dalam menciptakan suatu karya teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah dan dibutuhkan oleh suatu kelompok masyarakat

Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 menyatakan bahwa Rancangan Renja PD disusun dengan mengacu rancangan awal RKPD. Oleh sebab itu sebelum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan serta pengaruh waktu dan variasi penambahan air terhadap kadar karbohidrat, air, dan asam sianida dari kulit singkong

Dari hasil penelitian ini, maka dibuatlah aplikasi berbasis data warehouse yang mampu mengolah dan menampilkan data menjadi informasi yang rinci, jelas, terintegrasi, historis,

Di samping itu, pengamatan dan analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran uang (M2) merupakan variabel kunci bagi otoritas moneter untuk menetapkan

Ketika pemerintah menerapkan liberalisasi perdagangan beras maka pasar beras Indonesia terintegrasi dengan pasar beras internasional dan harga beras dalam negeri akan

perataan laba dengan perusahaan yang tidak melakukan bahwa mempunyai. reaksi pasar

Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang